You are on page 1of 14

Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit (terutama minyak sawit) mempunyai peran yang cukup strategis.

Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Ini penting, sebab minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditas ini memiliki prospek yang baik sebagai sumber perolehan devisa maupun pajak. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditas perkebunan selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah dalam bentuk Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun oleh perusahaan swasta dalam bentuk Perkebunan Besar Swasta (PBS). Pada masa kolonial Belanda, perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa alasan, mengapa perkebunan kelapa sawit tidak muncul dikalangan masyarakat petani. Salah satu alasan yang penting adalah karena membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan sumber daya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Sampai saat ini belum ditemukan suatu teknologi yang sederhana yang bisa digunakan oleh petani untuk memproses buah kelapa sawit menjadi minyak sawit yang siap untuk dipasarkan oleh petani. Kelapa menjadi salah satu hasil pertanian yang mengalami pengolahan lebih lanjut yang diharapkan mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi bila dibandingkan jika kelapa itu hanya dijual dalam bentuk buah saja. Pengolahan buah kelapa yang sering dilakukan oleh pengusaha sebelum dikenal kembali pengolahan minyak kelapa murni adalah pengolahan buah kelapa menjadi kopra. Pengolahan kopra yang menggunakan buah kelapa sebanyak 5 butir mampu menghasilkan 1 kg kopra. Menurut Rendengan (2004), harga jual kopra pernah mencapai Rp 4.000,00/kg pada tahun 1998 namun harga jual turun pada tahun 2000 menjadi Rp

850,00/kg sedangkan pada pertengahan tahun 2003 mulai meningkat namun tidak kembali ke posisi semula yaitu Rp 1.700,00/kg. Dengan menurunnya harga jual kopra membuat para pengusaha mulai berpikir kreatif dalam mengolah buah kelapa baik yang berasal dari usaha taninya maupun yang diperoleh dari pembelian. Pada akhirnya pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa murni atau sering disebut VCO (Virgin Coconut Oil) kembali dilirik, 1 liter VCO dapat dihasilkan dengan mengolah 10 15 butir kelapa.

Permintaan dan Penawaran Minyak Kelapa Industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa baik dari bahan olahan kopra atau kelapa segar adalah industri minyak goreng, minyak kelapa dimurnikan, desicated coconut, makanan dan minuman lainnya. Pada tahun 2001, total produksi minyak kelapa Indonesia adalah 693,8 ribu metrik ton. Sebagian besar, yaitu 395,02 ribu metrik ton diekspor ke luar negeri sehingga total penawaran domestik adalah 278,82 ribu metrik ton. Permintaan berasal dari industri makanan sebesar 215 ribu metrik ton dan penggunaan lainnya sebesar 63,82 ribu metrik ton. Dengan penawaran dan permintaan seperti itu, kebutuhan domestik masih belum tercukupi sebesar 20 ribu metrik ton. Konsumsi minyak kelapa domestik rata-rata per kapita tahun 1996, menurut data BPS adalah 0,1 liter per minggu. Konsumsi ini paling tinggi diantara konsumsi minyak dan lemak lainnya yang berkisar pada rata-rata 0 - 0,095 perkapita. Pada tahun 2003 pola konsumsi minyak dan lemak tidak jauh berubah, di mana konsumsi minyak kelapa masih cukup tinggi yaitu 0.1 liter per minggu sementara konsumsi minyak lainnya juga antara 0 - 0.01 liter per minggu (BPS, 2003). Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa permintaan minyak kelapa Indonesia juga berasal dari luar negeri. Perkembangan permintaan tersebut sangat dipengaruhi oleh konsumsi minyak kelapa dunia. Pada tahun 2001, konsumsi minyak kelapa dunia mencapai 3.366 ribu metrik ton. Konsumsi minyak kelapa tertinggi berasal dari negara-negara Eropa Barat, yaitu 570 ribu metrik ton (20,3%), USA 467 ribu metrik ton (16,6%), India 451 ribu metrik ton (16,1%), Philipina 289 ribu metrik ton (10,3%),

Indonesia 228 ribu metrik ton (8,1%), Mexico 123 ribu metrik ton (4,4%) dan negara lainnya 677 ribu metrik ton (24,2%).

Persaingan dan Peluang Pada umumnya, minyak kelapa yang diproduksi oleh industri kecil dijual dalam bentuk minyak curah. Persaingan pada usaha ini berasal dari penjualan minyak goreng perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai merek dagang tertentu yang berasal dari minyak kelapa sendiri ataupun minyak kelapa sawit namun dijual dalam bentuk minyak curah. Mayoritas persaingan yang terdapat di daerah survei datang dari minyak kelapa yang bermerek. Persaingan dapat diidentifikasi dari: harga, jenis dan mutu, dan penyediaan input. Meskipun demikian peluang usaha untuk usaha kecil masih tetap baik di daerah survei. Hal ini disebabkan oleh beberapa sebab: a) semakin langkanya minyak kelapa tradisional akan tetapi permintaan terhadap minyak kelapa ini cenderung meningkat; b) kecenderungan preferensi konsumen yang semakin tinggi terhadap minyak goreng yang bebas dari bahan pengawet; dan c) masih tingginya permintaan yang datang dari luar daerah maupun permintaan dari luar negeri Peningkatan produksi kelapa telah mendorong peningkatan volume dan nilai ekspor minyak kelapa. Devisa negara yang diperoleh dari ekspor produk kelapa mencapai US$ 320 juta pada tahun 2000 sedangkan perkembangan volume dan nilai ekspor-impor minyak kelapa dari tahun 1968 2002. Perkembangan volume dan nilai ekspor berfluktuasi yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dalam negeri yang cenderung meningkat dan harga di pasar internasional. Pada tahun 1968, nilai ekspor minyak kelapa Indonesia hanya mencapai US$ 3,2 juta atau 174,2 metrik ton. Ekspor minyak kelapa Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1997 yang mencapai 6,4 ribu metrik ton dengan nilai US$ 401,65 juta. Sementara itu, pada tahun 2000, ekspor minyak kelapa mencapai 7,3 ribu metrik ton dengan nilai US$

319,67 juta. Tujuan ekspor utama minyak kelapa Indonesia adalah ke Amerika Serikat, Eropa Barat, Irlandia, Singapura, Malaysia, Bangladesh, India, Srilanka, China, Taiwan, dan Korea Selatan.

RESIKO ASPEK KEUANGAN Didalam perusahaan, resiko dalam aspek keuangan cukup tinggi. Pada bagian ini resiko keuangan yang akan dipaparkan adalah mengenai : Biaya produksi yang berlebihan, biaya produksi yang tinggi akan mengakibatkan harga jual produk yang tinggi pula, sehingga produk akan sulit bersaing di pasar. Cara pengurangan biaya dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya, melalui efisiensi dan otomatisasi. Efisiensi yang ditingkatkan dapat mengurangi biayabiaya, tetapi hal ini memerlukan perencanaan yang baik. Otomatisasi merupakan salah satu jalan keuar untuk mengurangi biaya produksi, yaitu dengan mengantikan peran manusia dengan mesin. Biaya overheads yang tinggi, bagi perusahaan berskala besar, biasanya biaya per unit produk yang dihasilkan lebih rendah dari perusahaan yang lebih kecil, hal ini karena misalnya pangsa pasar yang dimiliki lebih besar. Bagi industry VCO yang ada di Kabupaten Nias sendiri juga pasti mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, pemotongan biaya perlu dilakukan, tetapi hendaknya diprioritaskan pada biaya kegiatan-kegiatan yang tidak signifikan untuk menghasilkan penjualan walaupun tidak mudah melakukannya. Utang yang berlebih juga menjadi factor utama penyebab suatu perusahaan mengalami kabangkrutan, hal ini disebabkan karena kurangnya control pada manajemen keuangannya. Oleh karena itu, kiranya setiap perusahaan khususnya Industri VCO di Kabupaten Nias perlu mengendalikan uatang-utang agar terhindar dari kebangkrutan usaha. Pinjaman yang berlebihan, disebabkan oleh ketergesaan manajemen seperti investasi yang berlebihan, diversivikasi yang lemah dan investasi pada saat yang tidak tepat. Dan factor ketidakaktifan manajemen seperti kegagalan dalam

merespon periode jatuhnya penjualan, kegagalan mencegah jatuhnya penjualan pada lokasi pasar yang ditentukan, dan harga barang terlalu tinggi. Serta factor kenaikan nilai bunga seperti nilai utang yang harus dibayarkan ternyata lebih tinggi, dan kebutuhan akan modal kerja yang juga lebih besar.

RESIKO ASPEK PEMASARAN Kegagalan pemasaran tidak lepas dari banyak permasalahan yang ada, seperti : kebijakan pemerintah, perubahan permintaan di pasar, perang harga, pemalsuan, performance produk yang rendah, promosi yang kurang baik, kesalahan dalam merek, kegagalan dalam mengembangkan produk baru, dan masalah distribusi. Masalah kebijakan pemerintah seperti kenaikan pajak akan mengakibatkan naiknya pajak kekayaan atau akan terjadi inflasi yang menyebabkan turunnya permintaan, peraturan pemerintah yang berdampak pada meningkatnya biaya perusahaan. Masalah perubahan permintaan di pasar, produk yang mempunyai daur hidup produk yang pendek sangat sulit untuk dapat bertahan lama. Produk yang tidak memenuhi standar yang diubutuhkan oleh pasar juga merupakan factor penyebab suatu perusahaan mengalami kegagalan dalam menjalankan usahanya. Masalah perang harga dapat terjadi antar produsen suatu produk sejenis oleh beberapa sebab seperti dampak dari kapasitas produk, dan kegiatan inovasi yang rendah di pasar serta pasar oligopoly. Pemalsuan atas merek produk merupakan ancaman bagi perusahaan, selain akan mengurangi pendapatan, juga akan mengurangiu reputasi perusahaan karena biasanya kualitas dari barang yang menggunakan merek palsu tersebut tidak sebaik yang aslinya. Performance produk yang rendah akan menghambat proses promosi produk tersebut. Ini sangat berbahaya karena konsumen hanya akan membeli produk yang dapat memuaskan kebutuhannya, sehingga hanya produk dengan kinerja terbaik saja yang akan menjadi pemimpin pasar. Promosi hendaknya dilakukan secara berencana dan continyu agar efektif sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Perlu diingat bahwa konsumen potensial agar mau melakukan action pembelian peerlu mendapat informasi, sedangkan konsumen yang telah

melakukan pembelian perlu terus dibina agar melakukan pembelian ulang atau mereka dapat menjadi pemasar tidak langsung oleh karena kepuasan yang mereka terima diinformasikan kepada orang lain. Setiap produk baru yang akan diluncurkan hendaknya bagian riset dan pengembanga poerusahaan telah mantap dengan rancangan produk barunya, sehingga kelak produk baru ini dapat diterima konsumen.

RESIKO ASPEK PRODUKSI Didalam proses produksi/operasi produk barang dan jasa khususnya produk minyak inti kelapa atau yang lebih dikenal dengan VCO cukup banyak resiko yang perlu diantisipasai. Resiko-resiko tersebut yaitu mengenai : Masalah pemasok, resiko terjadi apabila perusahaan mengunakan pemasok yang ternyata tidak memenuhi komitmen yang sudah disepakati, misalnya komponenkomponen yang dibutuhkan ternyata terlambat dikirim atau rusak. Kerusakan kualitas produk, misalnya kualitas dan kuantitas barang yang tidak sesuai, misalnya ada barang yang hilang dan mutu produk yang rendah serta karena barang ditawarkan di pasar adalah produk-produk yang tidak aman dikonsumsi. Produsen harus sadar bahwa akan muncul resiko yang disebabkan oleh produknya. Jadi harus sanggup mengidentifikasikan produk yang rusak atau yang tidak aman juga sanggup untuk menarik kembali produk tersebut dari pasar jika diperlukan. Berkurangnya daya saing, resiko karena berkurangnya daya saing produk dengan produk sejenis di pasar, misalnya karena desain yang dibuat dengan teknologi yang sudah tertinggal. A. Perkebunan Kelapa Sawit Secara garis besar ada tiga bentuk utama usaha perkebunan, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara. Bentuk lain yang relatif baru, yaitu bentuk perusahaan inti rakyat (PIR), yang pola dasarnya merupakan bentuk

gabungan antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar negara atau perkebunan besar swasta, dengan tata hubungan yang bersifat khusus. Produktivitas perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh kelas lahan, tanaman, umur dan jenis bibit yang digunakan. Lubis (1992) membedakan kelas lahan pengembangan kelapa sawit ke dalam empat kelas dengan produktivitas rata-rata untuk kelas I, II, III dan IV pada umur 4 25 tahun berturut-turut sebesar 25,10 ton TBS/ha/tahun; 22,95 ton TBS/ha/tahun; 20,86 ton TBS/ha/tahun; dan 17,71 ton TBS/ha/tahun. Untuk semua kelas lahan, produktivitas meningkat antara umur 15 hingga 21 tahun dan memasuki masa tua pada umur 22 tahun. Berdasarkan data tersebut maka tanaman kelapa sawit digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu : a. Tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu tanaman berumur 1-3 tahun. Tanaman remaja menghasilkan (TRM) berumur 4 8 tahun. Tanaman dewasa menghasilkan I (TDM I) berumur 9 14 tahun. Tanaman dewasa menghasilkan II (TDM II) berumur 15 21 tahun. Tanaman tua menghasilkan (TTM) berumur 20 25 tahun. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada tahun 2007. Mencapai Rp 8,97 miliar Dolar Amerika Serikat, nilai tersebut meningkat 39,5% persen menjadi senilai 12,38 Dolar Amerika Serikat pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2009). Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia setelah menggeser dominasi Malaysia sejak tahun 2006

b. Tanaman menghasilkan (TM) yaitu tanaman berumur 4 25 tahun.

Sumber : MPOB dan Dirjenbun (2009) B. Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan secara logika merupakan wadah untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan dalam satu unit. Proyek merupakan elemen operasional yang paling kecil yang disiapkan dan dilaksanakan sebagai suatu kesatuan yang terpisah dalam suatu perencanaan menyeluruh perusahaan, perencanaan nasional atau programpembangunan pertanian. Berdasarkan definisi tersebut maka proyek dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang mengeluarkan biaya untuk mendapatkan manfaat. Kasmir (2003) menyimpulkan bahwa pengertian studi kelayakan adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha dijalankan. Umar (2007) menyatakan bahwa studi kelayakan proyek merupakan penelitian tentang layak atau tidaknya suatu proyek dibangun untukjangka waktu tertentu. Pemilihan proyek sebagian didasarkan kepada indikator, nilai dan hasilnya. Manfaat suatu proyek didefenisikan sebagai segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Sedangkan biaya suatu proyek merupakan segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Paling tidak ada lima tujuan mengapa sebelum proyek dijalankan perlu dilakukan studi kelayakan (Kasmir,2003) yaitu: (1) menghindari resiko, (2) memudahkan perencanaan, (3) memudahkan pelaksanaan pekerjaan, (4) memudahkan pengawasan, dan

(5)memudahkan pengendalian.

C.

Aspek-Aspek Analisis Kelayakan Dalam menganalisis dan merencanakan suatu proyek harus mempertimbangkan

banyak aspek yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang dapat diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu. Masing-masing aspek saling berhubungan dan saling mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek-aspek tersebut terdiri dari aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manajerial, aspek sosial, aspek pasar, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Pada penelitian ini aspek yang dipertimbangkan dan dianalisis yaitu aspek teknis, aspek pasar, aspek institusionalorganisasi-manajerial, aspek finansial, dan aspek sosial/lingkungan. Urutan penilaian aspek mana yang harus didahulukan tergantung dari kesiapan penilai dan kelengkapan data yang yang ada. Tentu saja dalam hal ini dengan mempertimbangkan prioritas mana yang harus didahulukan lebih dahulu dan mana yang berikutnya.

D.

Analisis Sensitivitas Salah satu keuntungan analisis proyek secara finansial ataupun ekonomi yang

dilakukan secara teliti adalah bahwa dari analisis tersebut dapat diketahui atau diperkirakan kapasitas hasil proyek bila ternyata terjadi hal-hal di luar jangkauan asumsi yang telah dibuat pada waktu perencanaan. Analisis sensitivitas adalah meneliti kembali suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Yang dimaksud dengan analisis kepekaan atau sensitivitas adalah suatu teknis analisis untuk menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang di buat dalam perencanaan. Selain itu proyeksi selalu menghadapi ketidakpastian yang dapat saja terjadi pada keadaan yang telah diperkirakan. Pada bidang pertanian terdapat empat masalah utama yang sensitif yaitu: (1) harga, (2) keterlambatan pelaksanaan, (3) kenaikan biaya, dan (4) hasil. Analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan pendekatan nilai pengganti (switching value), dilakukan secara coba-coba terhadap perubahan-perubahan yang terjadi sehingga

dapat diketahui tingkat kenaikan ataupun penurunan maksimum yang boleh terjadi agar NPV sama dengan nol.

E.

Arus Kas (Cash Flow) Cash flow merupakan arus kas atau aliran kas yang ada di perusahaan dalam suatu

peride tertentu. Dalam cash flow semua data pendapatan yang diterima (cash in) dan biaya yang dikeluarkan (cash out) baik jenis maupun jumlahnya diestimasi sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang (Kasmir,2003). Cash flow mempunyai tiga komponen utama yaitu Initial Cash flow yang berhubungan dengan pengeluaran investasi, Operasional cash flow berkaitan dengan operasional usaha dan Terminal cash flow berkaitan dengan nilai sisa aktiva yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis lagi Penilaian kelayakan proyek/ perbandingan costs dan benefits dimungkinkan,

karena seluruh items input dan output ditransformasi ke nilai rupiah. Hasil identifikasi costs dan benefit dirangkumkan dalam proyeksi Cash Flow. Cash Flow ini digunakan dalam evaluasi financial melalui analisis investment criteria, seperti NPV, Net B/C, dan IRR. a) Net Present Value (NPV) NPV merupakan selisih antara nilai sekarang (present value benefit) dan nilai biaya sekarang (present value cost) selama umur proyek dengan tingkat bunga tertentu. Dimana : Bt Ct n i = Manfaat tahun pada proyek t = Biaya Proyek pada tahun t = Umur Ekonomis Proyek = Tingkat bunga

= Tahun

Dari perhitungan tersebut, apabila diperoleh: NPV > 0, maka proyek layak diteruskan NPV < 0, maka proyek tak layak diteruskan NPV = 0, maka proyek akan mengembalikan tepat sebesar tingkat bunga yang sedang berlaku Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan perbandingan antara manfaat dan biaya, pada awalnya biaya lebih besar daripada benefit sehingga Bt-Ct negatif, kemudian pada tahun-tahun berikutnya benefit lebih besar dari biaya sehingga Bt-Ct positif. Jadi Net B/C merupakan perbandingan antara jumlah present value Bt-Ct yang positif dengan jumlah present value Bt- Ct yang negatif dengan persamaan sebagai berikut: Dari perhitungan tersebut apabila diperoleh: Net B/C Ratio >1, maka proyek layak diteruskan. Net B/C Ratio < 1, maka proyek tidak layak diteruskan. Net B/C Ratio = 1, maka proyek akan cukup menutupi biaya dan investasi selama umur proyek

b)

c)

Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah nilai discount i yang membuat NPV daripada proyek = 0. Besarnya IRR diketahui dengan rumus:

Dimana: IRR = Tingkat keuntungan internal

NPV = Nilai Rp pada tingkat bunga terendah dengan NPV positif NPV = Nilai Rp pada tingkat bunga tertinggi dengan NPV negatif i i = Tingkat bunga terendah yang memberikan nilai NPV positif = Tingkat bunga tertinggi yang memberikan nilai NPV negatif

Dari perhitungan IRR apabila diperoleh: IRR > i, maka NPV > 0, maka proyek layak diteruskan. IRR < i, maka NPV < 0, maka proyek tidak layak diteruskan. IRR = i, maka NPV = 0, maka proyek akan cukup menutupi seluruh biaya dengan tingkat bunga yang sedang berlaku

d)

Payback Period (PBP) Payback Period merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu investasi, yang digunakan untuk mengukur periode pengembalian modal. Dasar yang digunakan untuk perhitungan adalah aliran kas (Net Cashflow). Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan. Payback period dapat dirumuskan sebagai berikut

F.

Kerangka Pemikiran Operasional Industri hulu dan industri hilir kelapa sawit memiliki keterkaitan yang sangat erat

dalam perkembangan industri kelapa sawit. Di antara kedua industry tersebut terdapat

industri perantara yaitu pabrik kelapa sawit (PKS). Penelitian tentang analisis kelayakan investasi pabrik kelapa sawit didasari oleh meningkatnya luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit yang tidak dibarengi dengan penambahan jumlah pabrik kelapa sawit. Lonjakan hasil produksi kebun kelapa sawit tidak dapat ditampung dengan baik oleh pabrik kelapa sawit yang ada. Kondisi tersebut tentu saja tidak efisien bagi petani, karena harus menambah biaya transportasi untuk mengangkut TBS ke pabrik pengolahan yang jaraknya jauh dari areal perkebunan yang diusahakan. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan pembangunan pabrik kelapa sawit untuk memaksimalkan potensi yang ada secara optimal. Sebelum pembangunan pabrik kelapa sawit maka diperlukan studi kelayakan untuk menilai aspek-aspek yang terkait agar investasi yang dilakukan bisa memberikan manfaat serta untuk menghindari resikoresiko yang ditimbulkan oleh pembangunan pabrik kelapa sawit. Studi kelayakan investasi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi. Hasil perhitungan kriteria investasi digunakan untuk menentukan layak atau tidak investasi pabrik kelapa sawit dilaksanakan. Hasil analisis diharapkan dapat membantu dalam pengabilan keputusan untuk pembangunan pabrik kelapa sawit.

Gambar : Kerangka Pemikiran Operasional Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit

You might also like