You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Trauma okuli bisa merupakan penyebab kebutaan unilateral yang umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, mereka yang termasuk dalam golongan umur ini merupakan bagian terbesar penderita cidera. World Health Organization (WHO) memperkirakan 55 juta trauma okuli terjadi setiap tahun. Dari jumlah ini, 750 ribu membutuhkan perawatan di bangsal rumah sakit, kira-kira 200 ribu merupakan trauma bola mata terbuka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 10 % pasien rawat inap di bangsal mata, disebabkan oleh trauma (Supartoto, 2007). Secara umum trauma mata dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa) (Rahman, 2009). Trauma tumpul sering terjadi pada kasus-kasus trauma okuli. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa kontusio (trauma tertutup) atau jika gaya yang mengenai orbita sangat kuat dapat mengakibatkan ruptur bola mata (trauma terbuka) (Supartoto, 2007). Trauma tumpul pada mata yang berupa kontusio dapat disertai dengan hifema. Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. (Sankar, 2002). Penanganan dan penatalaksanaan yang cepat dan terpadu pada penderita yang mengalami trauma tumpul pada mata, dapat mencegah penyulit maupun komplikasi yang timbul akibat trauma tersebut (Vaughan, 2000). Berdasarkan National for The Prevention of Blindness (WHO) memperkirakan bahwa 55 juta trauma mata terjadi di dunia setiap tahunnya, 750.000 orang dirawat di rumah sakit dan kurang lebih 200.000 kasus adalah trauma pada bola mata. Sedangkan di Indonesia khususnya di pulau Sumatra didapatkan kejadian 2,2% kebutaan dikarenakan trauma tumpul pada mata dengan atau tanpa hifema (Aldy, 2009). Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid, serta
1

avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut keluar maka terapi yang diberikan juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul. Sehingga sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat dan tepat. (Sankar, 2002)

B. Tujuan Penulisan 1. Untuk memahami penatalaksanaan kontusio okuli dengan hifema. 2. Sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir stase Ilmu Penyakit Mata di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori 1. Anatomi Mata Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisanlapisan tersebut adalah lapisan pertama sclera, kornea; lapisan kedua: koroid, badan siliaris, iris, dan lapisan ketiga yaitu retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkasberkas cahaya ke interior mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan sebuah lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf (James, 2003).

Gambar 1: Anatomi Mata

Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua komponenkomponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls impuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak (Suhardjo, 2007).

2. Vaskularisasi Bola Mata Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari

arteriophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalisoptikus menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralisretina, yang memasuki nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas, cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supratroklearis (Vaughan, 2000).

Gambar 2: Vaskularisasi Mata

Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian nervusoptikus. Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar dan bersama arteri siliaris anterior membentuk sirkulus arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-cabang muskularis dan menuju ke muskuli rekti. Arteri ini memvaskularisasi sklera, episklera, limbus, konjungtiva, serta ikut membentuk sirkulus arteriosus major iris. Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena vorticosae, vena siliaris anterior,dan vena sentralis retina. Vena oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melaluifisura orbitalis inferior (Vaughan, 2000). Terjadinya trauma okuli dapat menyebabkan berbagai kerusakan jaringan mata,yaitu : a. Palpebra Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot, dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungi struktur-struktur mata yang rentan. Meskipun bergantung kekuatan trauma, trauma tumpul yang mengenai mata dapat berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi palpebra (Khaw, 2004). b. Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi dan terjadi perdarahan jika trauma. Dampak trauma pada konjungtiva adalah perdarahan subkonjungtiva atau khemosis dan edema. Perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak memerlukan terapi karena akan hilang dalam beberapa hari. Pola perdarahan dapat bervariasi, dari ptekie hingga makular. Bila terdapat perdarahan atau edema konjungtiva yang hebat, maka harus diwaspadai adanya fraktur orbita atau ruptur sklera (Hilman, 1998).

c. Sklera Sklera merupakan dinding bola mata yang padat dan paling keras, terdiri atas jaringan fibrosa, tidak jernih, dan tampak berwarna putih. Permukaan luar meliputi jaringan elastik tipis, namanya episklera, mengandung banyak pembuluh darah yang memberi nutrisi bagi sklera. Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat rendah, dan pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi karena trauma langsung mengenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada trauma tak langsung (Khaw, 2004). d. Koroid dan korpus vitreus Koroid terdiri atas anyaman-anyaman pembuluh darah. Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan koroid ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra-coup) sehingga dapat menyebabkan edema, perdarahan, dan robekan stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat terjadi di subretina dan suprakoroid. Akibat perdarahan dan eksudasi di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari sklera (Khaw, 2004). Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih berbatas tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering terjadi pada membran Bruch. Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid (Hilman, 1998). e. Kornea Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, dan merupakan jaringan penutup bola mata sebelah depan yang terdiri dari : 1) Epitel, terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih. 2) Membran Bowman, merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti strorma. 3) Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya.

4) Membran descemet, atau yang disebut sebagai lamina elastika posterior. 5) Endotel, yang berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal (Ahmed, 1993).

Gambar 3: Lapisan Kornea

Edema superfisial dan aberasi kornea dapat hilang dalam beberapa jam. Edema interstisial dalah edema yang terjadi di substania propria yang membentuk kekeruhan seperti cincin dengan batas tegas berdiameter 2 3 mm (Hilman, 1998). Membran descemet bila terkena trauma dapat berlipat atau robek dan akan tampak sebagai kekeruhan yang berbentuk benang. Bila endotel robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke dalam stroma kornea, sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan endotel kornea ini kecil, maka kornea akan jernih kembali dalam beberapa hari tanpa terapi (Hilman, 1998). Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea, disebabkan oleh adanya segmen iris yang terlepas ke depan. Laserasi kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea secara terpisah atau bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi (Hilman, 1998). e. Iris dan Korpus Siliaris Iris melekat di perifer pada bagian anterior korpus siliaris, dan membentuk pupil di tengahnya. Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan
7

kembali normal bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan segera diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan kacamata (Berke, 2004). Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat melalui deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris, akar iris, dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah di kamera okuli anterior, yang disebut hifema. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamera okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera okuli anterior, mengotori permukaan dalam kornea (Berke, 2004). f. Lensa Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Kerusakan yang terjadi pada lensa paskatrauma adalah kekeruhan, subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin pigmen yang terdapat pada kapsul anterior karena pelepasan pigmen iris posterior yang disebut cincin Vosslus. Kekeruhan lain adalah kekeruhan punctata, diskreta, lamelar aau difus seluruh massa lensa (Khaw, 2004). Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau posterior. Bila robekan kecil, lesi akan segera tertutup dengan meninggikan kekeruhan yang tidak akan mengganggu penglihatan. Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap, sedangkan pada orang tua dapat progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain, trauma dapat mengaktivasi proses degeneratif lensa (Khaw, 2004). Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-kadang tidak mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan diplopia monokular, bahkan dapat mengakibatkan reaksi fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus, subskleral, ruang dalam
8

retina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO (Khaw, 2004). g. Retina Retina adalah selapis tipis sel yang terletak pada bagian belakang bola mata vertebrata dancephalopoda. Retina merupakan bagian mata yang mengubah cahaya menjadi sinyal syaraf. Terdiri dari berbagai lapisan seperti gambar dibawah ini:

Gambar 4: Lapiran Retina

Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan konkusio okuli. Bila hebat dapat meninggalkan bekas yang permanen. Edem retina bisa terjadi pada tempat kontusio, tetapi yang paling sering terjadi mengenai sekeliling diskus dan makula. Dapat pula terjadi nekrosis dan perdarahan retina yang pada proses penyembuhan akan meninggalkan atrofi dan sikatrik (Asbury, 2000). Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula berwarna putih ke abu-abuan dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema dapat berkembang menjadi kistik atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan meninggalkan pigmentasi dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi vasokonstriksi yang
9

diikuti oleh vasodilatasi, menyebabkan edema dan perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di retina, subhyaloid, atau bahkan dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya menyebabkan retinopati proliferative (Hilman, 1998). Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan retina terjadi pada mata yang memang telah mengalami degenerasi sebelumnya, sehingga trauma yang ringan sekalipun dapat memicu robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis ora serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal atau nasal atas, berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai dengan ablasio retina (Hilman, 1998). h. Nervus Optikus Dibentuk oleh akson-akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina, yang membentuk lapisan serabut saraf, lapisan retina terdalam. Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edem dan inflamasi di sekitar diskus optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan mata berat (Asbury, 2000).

B. Kontusio Okuli Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya (Asbury, 2000). Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas (Asbury, 2000). Trauma tumpul dapat bersifat Coupe maupun Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horisontal di sisi yang berseberangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan macula (Asbury, 2000).

10

Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT) klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan berikut:

Gambar 6: Skema diagram alur mengenai trauma okuli

Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi menimbulkan ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil. Trauma tumpul mampu menimbulkan trauma okuli non perforans yang dapat menimbulkan komplikasi sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga retina). Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu: Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans) Trauma tajam (perforans) Trauma Radiasi Trauma radiasi sinar inframerah Trauma radiasi sinar ultraviolet Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi

Trauma Kimia Trauma asam Trauma basa

11

Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina,papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata (Kuhn, 1995).

C. Hifema 1. Definisi Hifema adalah suatu keadaan dimana adanya darah dalam bilik mata depan yang bersal dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah yang dapat terjadi akibat trauma ataupun secara spontan, sehingga darah terkumpul di dalam bilik mata, yang hanya mengisi sebagian ataupun seluruh isi bilik mata depan. Perdarahan bilik depan bola mata akibat rudapaksa ini merupakan akibat yang paling sering dijumpai karena persentuhan mata dengan benda tumpul. Berat ringannya traumatik hifema ini selain tergantung pada tingginya perdarahan juga tergantung pada ada tidaknya komplikasi yang menyertainya (Sheppard, 2008).

2. Etiologi Penyebab tersering dari hifema adalah trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tembus. Hifema juga dapat disebabkan oleh perdarahan spontan. Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retinoblastoma dan kelainan darah (Sheppard, 2008).

3. Patofisiologi Trauma merupakan penyebab tersering dari hifema. Oleh karena itu hifema sering terutama pada pasien yang berusia muda. Trauma tumpul pada kornea atau limbus dapat menimbulkan tekanan yang sangat tinggi, dan dalam waktu yang singkat di dalam bola mata terjadi penyebaran tekanan ke cairan badan kaca dan jaringan sklera yang tidak elastis sehingga terjadi peregangan dan
12

robekan pada kornea, sklera sudut iridokornea, badan siliar yang dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan sekunder dapat terjadi oleh karena resorbsi dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi (Vaughan, 2000). Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari setelah trauma yang disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah yang mungkin diakibatkan karena terjadi suatu kelemahan dinding-dinding pembuluh darah. Pada proses penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal scelemn dan permukaan depan iris. Penyerapan melalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim proteolitik yang dapat berlebihan di dataran depan iris (Sheppard, 2008).

Gambar hifema, tampak darah pada bilik mata depan, hanya memenuhi sebagian bilik mata depan

Gambar hifema, tampak darah pada bilik mata depan, hanya memenuhi sebagian bilik mata depan

Gambar hifema, menunjukkan gambar hifema spontan

13

Gambar hifema, menunjukkan darah hampir memenuhi seluruh seluruh bilik mata depan

Gambar 7: Gambaran Hifema

4. Gejala klinis Biasanya pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan blefaropasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun , bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis (Sheppard, 2008).

5. Diagnosis Untuk mengetahui kelainan yang ditimbulkan perlu diadakan pemeriksaan yang cermat, terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan. Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi trauma dan benda yang mengenai mata tersebut. Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat dari kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan sekunder. Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan apakah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat perdarahan atau penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin. Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lengkap. Semua hal yang berhubungan dengan cedera bola mata ditanyakan. Dilakukan pemeriksaa hifema
14

dan menilai perdarahan ulang. Bila ditemukan kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar, hal ini penting karena mungkin saja pada riwayat trauma tumpul akan ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti ekimosis, laserasi kelopak mata, proptosis, enoftalmus, fraktur yang disertai dengan gangguan pada gerakan mata (Sheppard, 2008). Kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edema kornea dan imbibisi kornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari. Ditemukan darah didalam bilik mata depan. Menentukan derajat keparahan hifema antara lain, menurut Edward Layden: 1) Hyphaema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata. 2) Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata. 3) Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari bilik depan mata.

Gambar 8: Pembagian Hifema Menurut Rakusin

Rakusin membaginya menurut: 1) Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata. 2) Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata. 3) Hyphaema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata. 4) Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata. Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan. Saat melakukan pemeriksaan, hal terpenting adalah hati-hati dalam memeriksa kornea karena akan meningkatkan resiko bloodstaining pada lapisan endotel kornea. Keadaan iris dan lensa juga dicatat, kadang-kadang pada iris dapat terlihat iridodialisis atau robekan iris.
15

Akibat trauma yang merupakan penyebab hifema ini mungkin lensa tidak berada ditempatnya lagi atau telah terjadi dislokasi lensa. Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata untuk mengetahui apakah sudah terjadi peningkatan tekanan bola mata. Penilaian fundus perlu dicoba tetapi biasanya sangat sulit sehingga perlu ditunggu sampai hifema hilang. Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan untuk mengetahui akibat trauma pada segmen posterior bola mata. Kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media penglihatan (Sheppard, 2008).

6. Pemeriksaan Penunjang

Tonometri, untuk memeriksa tekanan intra okuler USG untk menyingkirkan adanya perdarahan vitreus atau ablasio retina Skrining sickle cell X-ray CT-scan orbita Gonioskopi (Vaughan, 2000).

D. Penatalaksanaan Kontusio Okuli Dengan Hifema Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obatsikloplegik atau antiobiotik topikal karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung Fox (atau sepertiga bagian bawah corong kertas) pada mata. Analgetik, antiemetik, dan antitoksin tetanus harus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum jangan menggunakan obat-obat penghambat depolarisasi neuromuscular. Karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan

kecenderungan herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anestesi umum yang bekerja singkat (Sheppard, 2008). Pada cedera yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Perlu diperhatikan
16

bahwa pemberian anestesi topikal, zat warna, dan obat lain yang diberikan ke mata yang cedera harus steril. Tetrakain dan fluorescein tersedia dalam satuansatuan dosis individual yang steril. Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati karena dapat menambah kerusakan epitel, yang lebih tepatnya jangan pernah memberi larutan anestesi topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah cedera kornea, karena hal inidapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea permanen. Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin, kloramfenikoldan sufasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar makadapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida (Vaughan, 2000). Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman serta lebih tertutup pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam. Walaupun perawatan penderita hifema ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya penatalaksanaan hifema ditujukan untuk :

Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulang Mengeluarkan darah dari bilik mata depan Mengendalikan tekanan bola mata Mencegah terjadinya imbibisi kornea Mengobati uveitis bila terjadi akibat hifema ini Menemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadi Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan

traumatic hyphaema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu (1) Perawatan dengan cara konservatif / tanpa operasi, dan (2) Perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.

17

1. Tindakan Konservatif / Tanpa Operasi a) Tirah baring sempurna (bed rest total) Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala di angkat (diberi alas bantal) kurang dari 600, hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada persesuaian pendapat dari banyak sarjana mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila mengenai kasus traumatic hyphaema. Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hyphaema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder (Sheppard, 2008).

b) Bebat mata Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara para sarjana. Edward-Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Bila mungkin kedua mata ditutup untuk memberikan istirahat pada mata. Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita gelisah, cemas dan merasa tidak enak, dengan akibat penderita (matanya) tidak istirahat. Akhirnya Rakusin mengatakan dalam pengamatannya tidak

ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbulnya komplikasi maupun prognosis dari tajamnya penglihatannya.

c) Pemakaian obat-obatan Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatic hyphaema tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti: 1) Koagulansia Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan,
18

Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K, dan vit C. 2) Midriatika Miotika Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. 3) Ocular Hypotensive Drug Semua sarjana menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. 4) Kortikosteroid dan Antibiotika Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotik. 5) Obat-obat lain Sedatif diberikan bilamana penderita gelisah. Bila ditemukan rasa sakit diberikan analgetik aau asetozalamid bila sakit pada kepala akibat tekanan bola mata naik. Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri seperti asetaminofen dengan atau tanpa kodein (Sheppard, 2008).

2. Tindakan Operasi Operasi dilakukan bila TIO tetap tinggi (> 35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk mencegah kerusakan saraf optik (atrofi N II), juga apabila terjadi pewarnaan kornea karena penimbunan pigmen darah dalam kornea (hemosiderosis kornea), serta apabila didapatkan sinekia anterior perifer. Apabila peningkatan TIO tidak segera diatasi dapat terjadi perlekatan antara iris bagian tepi dan jaringan tuberkulum (Supartoto, 2007). Atas dasar di atas Darr menentukan cara pengobatan traumatic hyphaema, sedang Rakusin menganjurkan tindakan operasi setelah hari kedua bila ditemukan hyphaema dengan tinggi perdarahannya bilik depan bola mata. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah:

19

a)

Paracentesa: mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui lubang yang kecil di limbus. Metode paling sederhana dan paling aman, dapat mengevakuasi sel darah merah yang bersirkulasi. Keuntungannya meliputi kemudahan pengerjaan, dapat diulang-ulang, aman bagi konjungtiva atau pembedahan filtrasi nantinya, perdarahan intraoperatif terkontrol, penurunan TIO dengan cepat. Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah dari KOA, dengan cara dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari KOA keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka KOA dibilas dengan garam fisiologik (Gharaibeh, 2011).

b) c)

Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoscleranya sebesar 1200

d)

Expression dan pengeluaran bekuan hifema melalui limbus. Cara ini memerlukan insisi luas di limbus dan luka pada konjungtiva. Waktu yang ideal untuk melakukan ekspresi limbus adalah pada hari 4-7 (saat konsolidasi dan retraksi bekuan yang maksimal). Manipulasi cermat untuk menghindari kerusakan epitel kornea, iris dan lensa (Gharaibeh, 2011).

e)

Pemotongan

bimanual

atau

aspirasi

hifema

yang

menggumpal

menggunakan probe vitrektomi yang bertujuan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior. Vitrektomi dilakukan dengan cara tonggak irigasi dimasukan dan probe mekanis di sebelah anterior

20

limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa (Vaughan, 1995). Tindakan pembedahan parasentese dilakukan bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah 5 hari tidak memperlihatka tanda-tanda berkurang. Untuk mencegah atropi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila :

Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari Untuk mencegah imbibisi kornea,dilakukan pembedahan bila :

Tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari Bila terdapat tanda-tanda dini imbibisi kornea Untuk mencegah sinekia posterior perifer dilakukan pembedahan bila :

Hifema total bertahan selama 5 hari Hifema difus bertahan selama 9 hari (Sheppard, 2008).

3. Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatic hifema adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis, selain komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan irido dialysis.Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hyphaema. a) Perdarahan sekunder Komplikasi ini sering terjadi pada hari ketiga sampai keenam. Sedangkan insidensinya sangat bervariasi, antara 10-40 persen. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. b) Glaukoma Sekunder Timbulnya glaukoma sekunder pada traumatic hyphaema disebabkan oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir/gumpalan darah. Residensinya 20 persen. c) Hemosiderosis Kornea Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena
21

hemosiderosis tidak selalu permanen, tapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (dua tahun). Insidensinya 1-10 persen (Sheppard, 2008).

4. Prognosis Dikatakan bahwa prognosis hifema bergantung pada jumlah darah di dalam bilik mata depan. Bila darah sedikit di dalam bila mata depan, maka darah ini akan hilang dan jernih dengan sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka prognosis buruk yang akan disertai dengan beberapa penyulit. Hifema yang penuh di dalam bilik mata depan akan memberikan prognosis lebih buruk di bandingkan dengan hifema sebagian. Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat dipikirkan kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat trauma tersebut, seperti luksasi lensa, ablasi retina dan edema makula. Hifema sekunder yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma, biasanya lebih masif dibanding dengan hifema primer dan dapat memberikan rasa sakit sekali.7 Dapat terjadi keadaan yang disebut hemoftalmitis atau peradangan intraokular akibat adanya darah yang penuh didalam bola mata. Dapat juga terjadi siderosis akibat hemoglobin atau siderin tersebar dan diikat oleh jaringan mata. Prognosa dari hifema sangat bergantung pada:

Tingginya hifema Ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya Cara perawatan Keadaan dari penderitanya sendiri (Sheppard, 2008).

22

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Kontusio okuli merupakan trauma bola mata yang sering terjadi pada lingkungan ini yang dapat menimbulkan perdarahan di dalam kamera okuli anterior yang disebut hifema. Hifema dibedakan menjadi primer dan sekunder. Hifema primer terjadi sesaat setelah terjadinya trauma, sedangkan hifema sekunder terjadi sesudah hari ke-3, antara 3 sampai 5 hari terjadinya trauma atau setelah perdarahan yang pertama. Akibat hifema dapat menyebabkan penglihatan menurun mendadak, edema retina, peningkatan tekanan intraokuler, bahkan bisa menyebabkan glaukoma sekunder. Oleh karena itu, prinsip penatalaksanaan hifema yakni menghentikan perdarahan, menghindari timbulnya perdarahan sekunder, mengeliminasi darah dari KOA dengan mempercepat absorbsi, serta mengontrol terjadinya glaukoma sekunder. Pentingnya penegakan diagnosis pertama secara cepat dan tepat membuat penatalaksanaan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat pula dan dapat mencegah komplikasi-komplikasi yang menyertai. Sehingga seorang dokter dapat menghadapi apakah kasus tersebut merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam hitungan jam atau hari.

B. Saran 1. Untuk pasien. Pentingnya proteksi diri terhadap resiko-resiko terjadinya trauma/benturan dimata. Bisa menggunakan kacamata pelindung saat bekerja di tempat terbuka atau saat berolahraga. Berhati-hati dalam mengendarai kendaraan. Apabila mata terkena trauma tumpul segera menghubungi dokter umum atau dokter spesialis mata.

23

2. Untuk dokter umum Pentingnya penilaian triase pada kasus kontusio okuli dengan hifema, melalui anamnesis dan pemeriksaan lampu sederhana / penlight. Apabila terdapat darah pada kamera okuli anterior, pasien harus ditatalaksana sebagaimana mestinya dan terkadang memerlukan penutup mata/shield protection, dan rujuk ke dokter spesialis mata secepatnya. Diperlukan pemberian terapi suportif seperti analgesia, untuk pembatasan dan aktivitas, elevasi puasa kepala. apabila Sehingga

dipertimbangkan

pembedahan,

penanganan kasus tersebut bisa cepat dan tepat. Diharapkan juga dapat membantu dokter spesialis mata melaksanakan tindakan sesuai

kompetensinya.

24

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, E. (1993). A Textbook of Ophthalmology. Delhi: Calcutta. Aldy, F. (2009). Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata di Kabupaten Tapanuli Selatan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan. Asbury T, Sanitato JJ. (2000). Trauma dalam Oftalmologi Umum edisi 14. Editor Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Alih Bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Widyamedika: Jakarta. Berke SJ. (2004). Post-traumatic glaucoma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. Mosby. Gharaibeh, A. (2011). Medical Interventions for Traumatic Hyphaema (Review). The Cochrane Collaboration: Wiley. Hilman H. Setyowati EE, Hamdanah. (1998). Ilmu Penyakit Mata I. SMC press. James, B. (2003). Lecture Notes on Ophtamology. Buckinghamshire: Blackwell Science Ltd. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. (2004). Injury to the eye. Br Med J 2004;328:36-8 Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. (1995). BETT: The Terminology of Ocular Trauma Layden WE,. Edwards WC. (1973). Traumatic hyphema. A report of 184 consecutive cases. Am J Ophthalmol. Jan 1973;75(1):110-6. [Medline]. National for The Prevention of Blindness (WHO. http://www.who.int/en/ Rahman A, (2009). Trauma Tumpul Okuli. http://belibis-a17.com/2009/10/11/traumatumpul-okuli Rakusin W. (1972). Traumatic hyphema. Am J Ophthalmol. Aug 1972;74(2):284-92. [Medline] Sangkar PS, Chen TC, Grosskreutz CL, Pasquale LR. (2002). Traumatic hyphema. Int Ophthalmol Clin 2002; 42:57. Sheppard J, Crouch E (2008). Hyphema. Available http://emedicine.medscape.com/ophthalmology#anterior . Suhardjo, S.U. (2007). Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.

25

Supartoto, Agus. 2007. Trauma Mata dan Rekonstruksi. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada: Yogyakarta. Vaughan, Daniel, G. 2000. Trauma : Oftamologi Umum edisi ke-14. Jakarta : Widya Medika. Hal: 380,384.

26

You might also like