You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa: Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura. Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter. Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter Tindakan utama dari syok hemoragik adalah mengontrol sumber perdarahan secepat mungkin dan pengganti cairan. Pada syok hemoragik terkontrol dimana sumber perdarahan telah dihentikan, maka penggantian cairan bertujuan untuk menormalkan parameter hemodinamik. Pada syok hemoragik tak terkendali di mana perdarahan itu berhenti sementara karena hipotensi, vasokonstriksi, dan pembentukan pembekuan, terapi cairan bertujuan untuk pemulihan denyut nadi radial, atau pemulihan kesadaran.1 1.2 Permasalahan Banyaknya kasus kecalakaan lalu lintas dewasa ini menyebabkan banyak perdarahan. Hal ini sering menyebabkan terjadinya syok hemoragik. Tidak hanya kecelakaan namun perdarahan post partum, perdarahan pada saat operasi juga menyebabkan perdarahan yang mudah mengarah ke syok hemoragik namun penanganan yang kurang baik dapat menyebabkan akibat yang fatal seperti kematian. 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas penanganan syok hemoragik secara umum agar dapat tertangani dengan baik sehingga kasus kematian akibat syok hemoragik dapat berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompartemen Cairan Tubuh Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair 60% berat badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan cairan ekstraselular 20 % berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular 5 % berat badan dan cairan interstisial 15 % berat badan.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh Ada pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan ekstraselular. Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lainlain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.2 Cairan intraselular Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter ratarata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.3

Cairan ekstraselular Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan

ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.3

Gambar 2. Susunan Kimia Cairan Ekstraselular dan Intraselular4 Cairan ekstraselular dibagi menjadi:3 Cairan Interstitial Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.3

Cairan Intravaskular Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume

plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter, dimana 3 liter merupakan plasma, dan sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, serta platelet.3

Cairan Transselular Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti

serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transelular adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transselular.3

Gambar 3. Anatomi cairan tubuh5 Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein plasma. Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraselular, di cairan intravaskular (plasma) dan interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L. Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui membran semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total cairan di kedua sisi membran berbeda. Air akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat dipengaruhi oleh albumin. Apabila kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah sehingga tekanan hidrostatik dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.

Cairan ekstraselular adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan intravaskular adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat distribusi K+, PO4 . Elektrolit terpenting di dalam cairan intraselular: K+ dan PO4- dan di cairan ekstraselular: Na+ dan Cl. Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas merupakan osmolalitas relatif suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen adalah 280 300 mOsm/L. Larutan dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan tonisitas serum darah yaitu 275 295 mOsm/kg. Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh di seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (pelarut), tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut. Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan hidrostatik di dalam pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan konsentrasi. Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; mekanisme transpor aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump yang membutuhkan energi ATP. Pompa Natrium-Kalium adalah pompa yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 4. Pompa Natrium-Kalium Berikut ini merupakan kebutuhan air dan elektrolit perhari: Dewasa: Air 30 35 ml/kg Setiap kenaikan suhu 10 C diberi tambahan 10-15 % K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g ) Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g ) Bayi dan Anak: Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g ) 10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg) > 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg) K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg) Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)2 Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia3

Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa

2.2 Definisi Syok Hemoragik Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang menyebabkan suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok.6 2.3 Patofisiologi Syok Hemoragik Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang baroreseptor di aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga

mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.6 2.4 Gejala Klinis Syok Hemoragik Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang. Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan hebat, sampai dibuktikan sebaliknya. Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura, kavum abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam jumlah yang sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa ditaksir secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi kulit kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar. Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan Lokasi Estimasi Perdarahan Fr. Femur tertutup 1.5-2 liter Fr.Tibia tertutup 0.5 liter Fr. Pelvis 3 liter Hemothorax 2 liter Fr. Iga (tiap satu) 150 ml Luka sekepal tangan 500 ml Bekuan darah sekepal 500 ml Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung berhubungan dengan penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat ringannya darah yang hilang bisa terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan

pasien trauma. Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara bersamaan. Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti: hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh. Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan. Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan. Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang dapat mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di kulit kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum pemeriksaan lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring. Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi dan ekimosis mengindikasikan adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi atau instabilitas mengindikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat mengancam jiwa karena perdarahan terjadi pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis adalah pecahnya aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis yang bisa mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan ekstremitas bawah dan lemahnya nadi femoralis.

Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur. Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan di
sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan terutama fraktur femur, karena dapat mengakibatkan

hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi
secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang

mungkin terjadi di intratorakal, intra-abdominal,atau retroperitoneal.6 Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila ada darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat jarang curigai perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi portal. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik. Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik. Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya Perdarahan CRT Nadi Tek. sistolik Nafas Kesadaran < 750 ml Normal < 100 Normal Normal Sedikit cemas 750-1500 ml memanjang > 100 Normal 20-30 x/m Agak cemas 1500-2000 ml memanjang > 120 Menurun > 30-40 x/m Cemas, bingung >2000 ml memanjang > 140 Menurun >35 x/m Bingung, lesu

Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan. Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam. Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan : a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.

10

b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat. c. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata, d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intravaskular), penderita masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7 Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah: (cardiac output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003) Unsur cardiac output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada orang normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik. Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan kompensasi dari curah jantung. Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, maka curah jantung akan mampu berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.

2.5 Pengaruh Usia Pada Syok Hemoragik Tubuh akan mentoleransi syok hemoragik secara berbeda sesuai derajatnya dan pada keadaan tertentu sesuai dengan usia pasien. Pasien bayi dan usia lanjut akan sangat rentan terjadi gagal kompensasi saat tubuh kehilangan volume sirkulasi.

11

Pasien anak yang memiliki volume darah yang lebih sedikit dibandingkan orang dewasa sehingga secara proporsional persentase kehilangan darah dan volum sirkulasi juga akan jauh lebih besar. Anak dibawah 2 tahun pun fungsi ginjalnya belum sempurna, sehingga produksi konsentrat urin belum baik. Anak usia muda dalam mempertahankan volume sirkulasinya belum seefektif anak besar. berhati-hatilah akan bahaya koagulopati karena proporsi luas permukaan tubuh akan meningkat sesuai berat badannya dan membuat mudah kehilangan air lewat panas serta terjadinya hipotermia dini. Usia lanjut memiliki penurunan kondisi fisik dan kesehatan dalam mempertahankan kehilangan volum sirkulasi. Penyakit arterosklerosis dan penurunan elastin menyebabkan fungsi dinding arteri menurun, yang akan menurunkan kemampuan kompensasi kehilangan volume sirkulasi. Menurunnya aliran arteriolar pada jantung karena vasodilatasi dan penyakit angina atau infark akan membutuhkan oksigenasi tinggi otot jantung. Pada usia lanjut mekanisme takikardi untuk respons peningkatan curah jantung melemah karena turunnya rangsang beta-adrenergik dalam memacu sel miosit di nodul sinoatrial. Penggunaan obat-obat jantung juga akan mengurangi respons normal tubuh dalam mengkompensasi syok, terutama penggunaan obat golongan beta-blocker, nitrogliserin, ca-blocker, dan obat anti aritmia. Penurunan fungsi ginjal juga berkorelasi dengan bertambahnya usia serta kemampuan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance) turun pada usia lanjut dibanding nilai kreatin normalnya. Kemampuan mengkonsentrat urin pun menurun karena sensitifitas terhadap ADH menurun. Semua gangguan pada jantung, pembuluh darah dan ginjal ini secara keseluruhan membuat tubuh gagal menjalankan mekanisme kompensasinya di saat kehilangan darah. Faktor komorbid lainnya pun perlu dipertimbangkan saat melakukan tatalaksana perdarahan pada usia lanjut.

2.6 Penatalaksanaan Perdarahan Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui tandatanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran 12

darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.8 Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.8 Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.8 Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah olah penderita menderita syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah menghentingan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8 a. Pemeriksaan jasmani Pemeriksaan jasmaninya diarahkan lepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respons penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.8
1) Airway dan Breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.8

2) Circulation (Sirkulasi Kontrol Perdarahan)

Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan

13

menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.8
3) Disability (Pemeriksaan neurologis)

Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.8
4) Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)

Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting dilakukan tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.8 5) Dilatasi lambung Dekompresi Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anakanak, dan dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.8 6) Pemasangan kateter urin Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.8
b.

Akses pembuluh darah

14

Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting dilakuakan dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral.8 c. Terapi awal cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada respons ini.8 Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah, dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Bila, sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab lain untuk syok.8

Penderita datang dengan perdarahan

15

Pasang infus jarum besar ambil sampel darah

Catat tekanan darah, nadi, ambil perfusi, (produksi urin)

Ringer Laktat atau NaCl 0,9% 20ml/kgBB cepat, ulangi. 1000-2000 ml dalam 1 jam

Hemodinamik baik - Tekanan sistolik 100, nadi 100, - Perfusi hangat, kering, - Urin ml/kg/jam Hemodinamik baik A B

Hemodinamik buruk Teruskan cairan 2-4 x estimated loss Hemodinamik buruk C

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.7 Pada jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.7

2.7

Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya

16

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8 Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume yang hilang.7 Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi diberikan.7 Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9

Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya

17

menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,

kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.


2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9

Tabel 5. Traumatic status dari Giesecke Tanda Sesak nafas Tekanan darah Nadi Urin Kesadaran Gas darah CVP Blood loss % EBV TS I N Cepat N N N N Sampai 10% TS II Ringan Turun Sangat cepat Oliguria Disorientasi pO2 Rendah Sampai 30% / pCO2 TS III ++ Tak teratur Tak teraba Anuria / Koma pO2 / pCO2

Sangat rendah Lebih 50%

18

Tabel 6. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Kelas I Kehilangan darah (ml) Sampai 750 Kelas II 750 - 1500 Kelas III 1500 - 2000 30% - 40% Kelas IV >2000 >40%

Kehilangan darah (% volume Sampai 15% 15% - 30% darah) Denyut nadi Tekanan darah Tekanan nadi Frekuensi pernapasan Produksi urin (ml/jam) CNS/Status mental <100 Normal Normal / 14-20 >30 Sedikit Cemas Penggantian cairan (hukum 3:1) Kristaloid Kristaloid >100 Normal 20 -30 20-30 Agak Cemas

>120 Menurun 30-40 5-15 Cemas, Bingung Kristaloid dan darah

>140 Menurun >35 <5 Bingung, Lesu Kristaloid dan darah

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)

Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki keadaan sirkulasi.

2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)

19

Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak jelas seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran air kencing biasanya 20-30 ml/jam untuk orang dewasa. Kehilangan cairan tambahan dapat memperberat manifestasi klinis dari jumlah kehilangan darah ini.
3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)

Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat.
4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)

Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit. Produksi urin hampir tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat dan teraba dingin. Penderita ini sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi pembedahan segera. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.8

20

2.8

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk

diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan.8 Tabel 7. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal RESPONS CEPAT Tanda vital Kembali ke normal RESPONS SEMENTARA Perbaikan sementara, tensi dan nadi kembali Dugaan kehilangan Minimal darah Kebutuhan kristaloid Kebutuhan darah Persiapan darah (10 - 20%) Sedikit Sedikit turun Sedang, masih ada (20 - 40%) Banyak Sedang-banyak Berat (> 40%) Banyak Segera Emergensi TANPA RESPONS Tetap abnormal

Specific type dan Specific type crossmatch

Operasi

Mungkin

Sangat mungkin Perlu

Hampir pasti Perlu

Kehadiran dini ahli Perlu bedah

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8 Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5

21

ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.8 Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi, takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok: respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.8 a. Respons cepat Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8

b. Respons sementara 22

Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8 c. Respons minimal atau tanpa respons Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8
2.9

Jenis Cairan Intravena

Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu: a. Transfusi darah Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.7 b. Plasma Expander Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxyethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal daripada Ringer Laktat (kirakira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat terjadi, baik karena dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini dapat terjadi disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya. Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch 23

darah dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.7 c. Albumin Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.7 d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9% Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infus IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah cairan interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.7 Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.10 Tabel 8. Berbagai Cairan Kristaloid10 Cairan Na+ K+ ClCa++ HCO3 Tekanan (mOsm/L) 273 273

(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) Osmotik Ringer Laktat Ringer As et at NaCl 0,9% 154 0 0 0 0 308 130 130 4 4 190 109 3 3 28* 28#

24

* #

sebagai laktat sebagai asetat

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.11 Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.7 Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.6 Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:
1. Cairan rumatan (maintenance).

Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi cairan intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline / NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)

Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan cairan melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 295 mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, koloid 3. Cairan khusus

25

Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat hipertonik.

2.10

Penyulit

Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses metabolisme atau pada paru.7 Dekompensasi jantung Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang potensial akan mengalami dekompensasi jantung.7 Edema paru Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/Qt. Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient hypoalbuminemia 2,5 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 0,1 mg%. Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4 menjadi 13 + 1,0. Penurunan selisih tekanan COP PCWP tidak selalu menyebabkan edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 20 25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0,25 -0,50 mg%.7 Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak nafas akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan dopamin drip 5 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Insiden dari pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.7 Asidosis asam laktat

26

Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis asam laktat karena syok. Asam laktat dirubah hepar menjadi bikarbonat yang menetralisir asidosis metabolik pada syok. Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan laktat darah karena perbaikan transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.7

Gangguan hemostasis Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit. Pemberian Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit, sedangkan faktor V dan VIII dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal). Trombosit dapat diberikan sebagai fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyte concentrate dengan masa simpan kurang dari 6 jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.7

27

BAB III KESIMPULAN


Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Cairan di tubuh manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraselular terbagi dalam:

Cairan intravaskular Cairan interstisial Cairan transelular

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama.

Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor pasif dan aktif. Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan : Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolism anaerobik dengan produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu.

28

Tabel Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Persentasi Penderita Semula Kelas III 1500-2000 30%-40% >120 Menurun 30-40 5-15 Cemas, Kelas IV >2000 >40% >140 Menurun >35 <5 Bingung, Lesu

Kelas I Kelas II Kehilangan Darah (ml) Sampai 750 750-1500 Kehilangan Darah (%volume Sampai 15% 15%-30% darah) Denyut nadi Tekanan Darah Tekanan Nadi Frekuensi pernapasan Produksi Urin (ml/jam) CNS/Status Mental Penggantian Cairan (Hukum 3:1) <100 Normal Normal/ 14-20 >30 Sedikit Cemas Kristaloid >100 Normal 20 -30 20-30 Agak Cemas Kristaloid

Bingung Kristaloid dan Kristaloid dan darah darah

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock; Israel :

Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the Technion-Israel Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari : http://www.wjes.org/content/1/1/14
2. Leksana,

Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; Diunduh dari : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_177Terapicai randandarah.pdf
3. Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed.

Missouri: Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari : http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan %20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
4. Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania:

W.B.Saunders company;: 375-393; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari : http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan %20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
5. Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung;

Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari : http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan %20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
6. Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Shock; New York: Department of Emergency

Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; Diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/19834799/Hemorrhagic-Shock
7. Wirjoatmodjo, Karjadi; 2000; Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
8. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors; Jakarta :

Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).

30

9. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip dari:

Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
10.

Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh dari : http://cme.medscape.com/viewarticle/503138
11.

31

You might also like