You are on page 1of 52

SPACE IKLAN

dari redaksi
Medica dengan nama VACLO bioekivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembanding. Kami juga menampilkan artikel-artikel lain pada rubrik research, case report dan medical review yang pastinya menarik untuk dibaca. Pada rubrik profil kami menampilkan DR. Yaya Rukayadi, beliau adalah seorang pakar Microbiologist dan juga Research Professor di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan. Sudah banyak pula hasil-hasil penelitiannya dipublikasikan baik di jurnal internasional maupun nasional. Sedangkan pada rubrik events kami menampilkan hasil liputan Workshop Inhalation Agents in New Perspective dan acara simposium DOC-LINK. Selamat membaca!!!! REDAKSI

daftar isi
49 Dari Redaksi 50 Petunjuk Penulisan
Original Article (Research)

51 Bioequivalence Study of 75 mg Clopidogrel


Tablets Produced by PT DEXA MEDICA in Comparison with the Reference Tablet

sis dan Penyakit Muskuloskeletal Lainnya

63 Hubungan Persentase Agregasi Trombosit


dengan Lamanya Konsumsi Aspirin pada Penderita Aterosklerosis di Poli Penyakit Jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang Original Article (Case Report)

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Sutanto, M biomed., dr. Prihatini, dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom. Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med. Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com

49

66 Reseksi Tumor pada Dinding Posterior Faring dengan Teknik Pendekatan Transpalatal dan Transhioid-Lateral Faringotomi

69 Tonsilitis Akut dengan Komplikasi Multipel


Medical Review

71 Hipertensi Sekunder 80 Penyakit-Penyakit yang Meningkat Kasusnya Akibat Perubahan Iklim Global

86 Meet the Expert: Yaya Rukayadi, Ph.D 89 OGBdexa Tingkatkan Distribusi ke Apotik
mechanism of antiplatelet SUMBANGAN TULISAN Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

di Indonesia

91 Calender Events 92 Events 96 Literatur Services

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Pada edisi ini kami menampilkan research article yang salah satunya merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari PT Equilab International, Jakarta yang berjudul Bioequivalence study of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT DEXA MEDICA (Vaclo) in comparison with the reference tablet dimana dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tablet copidogrel 75 mg produksi PT Dexa

55 Profil Product: VACLO


Original Article (Research)

57 Efek Parasetamol terhadap Kadar SGPT dan


SGOT Darah Mencit yang Diberikan Alkohol Akut dan Alkohol Kronis

60 Non Tuberculous Mycobacteria pada Rheumatoid Arthritis, Osteomyelitis, Osteoporo-

instructions for authors

Petunjuk Penulisan
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. CONTOH PENULISAN DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. ARTIKEL DALAM JURNAL 1. Artikel standar Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii BUKU DAN MONOGRAF LAIN 12. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. Editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. Organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. Laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20. Artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. Materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995 MATERI ELEKTRONIK 22. Artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23. Monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24. Arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

50

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

original article
research

Danang Agung Yunaidi, Asriningtyas PS, Lucia Rat Handayani, Iwan Dwi Santoso, Purwati, Siti Hawa Deniati, Gunawan Harinanto
PT Equilab International, Jakarta

ABSTRAK. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah bioavailabilitas clopidogrel 75 mg yang diproduksi oleh PT Dexa Medica (Vaclo) sebanding dengan bioavailabilitas produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembandingnya. Parameter farmakokinetik yang dinilai dalam studi ini ialah luas daerah di bawah kurva kadar-waktu dari waktu 0 sampai 24 jam (AUCt), luas daerah di bawah kurva kadar-waktu dari waktu 0 sampai tak terhingga (AUCinf), kadar puncak (Cmax), waktu untuk mencapai kadar puncak (tmax), dan waktu paruh eliminasi (t1/2). Parameter farmakokinetik tersebut diukur berdasarkan konsentrasi plasma dari metabolit clopidogrel (clopidogrel carboxylic acid). Penelitian ini menggunakan desain menyilang, acak, dan tersamar tunggal yang mengikutsertakan 24 sukarelawan laki-laki dan wanita dewasa sehat. Sukarelawan dipuasakan semalam dan keesokan harinya diberi 1 tablet obat uji (Vaclo, produksi PT Dexa Medica) atau 1 tablet obat pembanding per oral. Contoh darah diambil pada saat sebelum minum obat (kontrol), dan pada menit ke-15, 30, 45, dan jam ke-1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, dan 24 setelah minum obat. Satu minggu setelah pemberian obat pertama (periode washout), prosedur yang sama diulang dengan memberikan obat pembandingnya. Kadar clopidogrel carboxylic acid ditentukan secara kromatografi gas dengan detektor spektrometri massa. Pada penelitian bioavailabilitas ini, rata-rata (SD) AUCt, AUCinf, Cmax, dan t1/2 dari obat uji masing-masing adalah 5377,44 (3991,08) g.h/mL, 6130,75 (4442,18) g.h/mL, 2219,11 (1612,96) g/mL, dan 7,99 (4,46) jam, dengan median (kisaran) tmax 0,75 (0,251,50) jam. Rata-rata (SD) AUCt, AUCinf, Cmax, dan t1/2 dari obat pembanding masing-masing adalah 5649,33 (3901,19) g.h/mL, 6394,23 (4152,62) g.h/mL, 2392,51 (1699,43) g/mL, dan 8,01 (5,31) jam dengan median (kisaran) tmax 0,75 (0,251,50) jam. Rasio nilai rata-rata geometrik obat uji terhadap obat pembanding ialah 93,19% untuk AUCt, 94,17% untuk AUCinf, dan 92,01% untuk Cmax. Nilai 90% confidence interval (90% CI) nya adalah 81,73106,26% untuk AUCt, 83,19106,60% untuk AUCinf, dan 73,84114,65% untuk Cmax. Dengan menggunakan uji Wilcoxon berpasangan terhadap data asli, tidak ditemukan perbedaan yang berarti secara statistik antara nilai tmax dari obat uji dan obat pembanding. Tidak dijumpai adanya kejadian tidak diinginkan dan pelanggaran terhadap protokol selama penelitian berlangsung. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, yakni nilai 90% convidence interval (90% CI) dari rasio nilai AUC dan Cmax berada di antara rentang yang dapat diterima untuk bioekuivalensi, dapat disimpulkan bahwa tablet clopidogrel 75 mg produksi PT Dexa Medica (Vaclo) bioekivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik obat pembanding.
Kata kunci : clopidogrel kromatografi gas spektrometri massa bioekivalen

ABSTRACT. The present study was conducted to find out whether the bioavailability of 75 mg clopidogrel tablet (Vaclo) produced by PT Dexa Medica was equivalent to the reference product. The pharmacokinetic parameters assessed in this study were area under the plasma concentration time curve from time zero to 24 hours (AUCt), area under the plasma concentration-time curve from time zero to infinity (AUCinf), the peak plasma concentration of the drug (Cmax), time needed to achieve the peak plasma concentration (tmax), and the elimination half life (t1/2). These parameters were determined on plasma concentrations of clopidogrel carboxylic acid metabolite. This was a cross-over, randomized, single-blind study which included 24 healthy adult male and female subjects. The participating subjects were required to have an overnight fast and in the next morning were given orally 1 tablet of the test drug (Vaclo, produced by PT Dexa Medica) or 1 tablet of the reference drug. Blood samples were drawn immediately before taking the drug (control), at 15, 30, 45 minutes, 1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, and 24 hours after drug administration. One week after the first drug administration (washout period), the procedure was repeated using the alternate drug. Plasma concentrations of clopidogrel carboxylic acid were determined by gas chromatography with mass spectrometry detector (GC/MS). In this study, the mean (SD) AUCt, AUCinf, Cmax, and t of clopidogrel carboxylic acid from the test drug were 5377.44 (3991.08) ng.h/ mL, 6130.75 (4442.18) ng.h/mL, 2219.11 (1612.96) ng/mL, and 7.99 (4.46) h, respectively, with the median (range) tmax of 0.75 (0.251.50) h. The mean (SD) AUCt, AUCinf, Cmax, and t of clopidogrel carboxylic acid from the reference drug were 5649.33 (3901.19) ng.h/mL, 6394.23 (4152.62) ng.h/mL, 2392.51 (1699.43) ng/mL, and 8.01 (5.31) h, respectively, with the median (range) tmax of 0.75 (0.251.50) h.

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

51

The geometric mean ratios (90% CI) of the test drug/reference drug for clopidogrel carboxylic acid were 93.19% (81.73106.26%) for AUCt, 94.17% (83.19106.60%) for AUCinf, and 92.01% (73.84114.65%) for Cmax. Using Wilcoxon matched-pairs test on the original data, the difference between the test and reference drug products for clopidogrel carboxylic acid tmax values was found not significantly different (p<0.05). There was no adverse event and no protocol deviation during the study. Based on the results shown in this study, where geometric mean and 90% confidence interval of the test/reference AUC-and Cmax-ratio of clopidogrel carboxylic acid were found within the acceptance ranges for bioequivalence, it was concluded that the 75 mg clopidogrel tablets produced by PT Dexa Medica (Vaclo) was bioequivalent to the reference product.
Keywords: clopidogrel gas chromatography with mass spectrometry detector bioequivalent

INTRODUCTION
Bioequivalence studies should be conducted for the comparison of two medicinal products containing the same active substance. The studies should provide an objective means of critically assessing the possibility of alternative use of them. Two products marketed by different licensees, containing the same active ingredients, must be shown to be therapeutically equivalent to one another in order to be considered interchangeable. One of several test methods that can assess equivalence is bioequivalence studies, in which the active drug substance or one or more metabolites is measured in an accessible biological fluid such as plasma, blood or urine. For a drug to be considered bioequivalent to a reference drug, the area under plasma concentration-time curve (AUC) of the drug should be within 80-125% of the AUC of the references drug. Clopidogrel is an inhibitor of platelet aggregation through selective binding to adenylate cyclase-coupled ADP receptors on the platelet surface. Clopidogrel is inactive and needs hepatic metabolism which generates an active metabolite. In human, very low levels of the parent compound are detectable in plasma samples. The major circulating compound (85% of the circulating compound in human) is the carboxylic acid derivative of clopidogrel that does not have any pharmacological activity. Nevertheless, as the active metabolite is not detectable in blood, it is used to document the pharmacokinetic profile of clopidogrel. Clopidogrel bisulphate is chemically described as methyl (+)-S-a(2-chlorophenyl)-6,7-dihydrothieno[3,2-c]pyridine-5(4H)-acetate sulfate. Its empirical formula is C16H16Cl NO2SH2SO4 with a molecular weight of 419.9. Clopidogrel bisulfate is a white to off-white powder, practically insoluble in water at neutral pH, but freely soluble at pH 1. It also dissolves freely in methanol, sparingly in methylene chloride, and practically insoluble in ethyl ether. The chemical structure is:

tabolite of clopidogrel formed by hydrolysis of the methyl ester of clopidogrel. The chemical structure of this metabolite is:

MEDICINUS

Figure ii. Chemical structure of clopidogrel carboxylic acid (SR 26334)

52

Figure i. Chemical structure of clopidogrel

Clopidogrel carboxylic acid (SR 26334) is the main identified me-

Clopidogrel is indicated for the reduction of atherosclerotic events (myocardial infarction, stroke, and vascular death) in patients with atherosclerosis documented by recent stroke, recent myocardial infarction, or established peripheral arterial disease. Recommended dose of clopidogrel is 75 mg once daily with or without food. No dosage adjustment is necessary for elderly patients or patients with renal disease. Clopidogrel is an inhibitor of platelet aggregation. Clopidogrel selectively inhibits the binding of adenosine diphosphate (ADP) to its platelet receptor and the subsequent ADP-mediated activation of the glycoprotein GPIIb/IIIa complex, thereby inhibiting platelet aggregation. Biotransformation of clopidogrel is necessary to produce inhibition of platelet aggregation, but an active metabolite responsible for the activity of the drug has not been isolated. Clopidogrel also inhibits platelet aggregation induced by agonist other than ADP by blocking the amplification of platelet activation by released ADP. Clopidogrel does not inhibit phosphodiesterase activity. Clinically important adverse events observed are hemorrhage, gastrointestinal disturbance (e.g. abdominal pain, dyspepsia, gastritis, diarrhea and constipation), neutropenia and rash. Clopidogrel prolongs the bleeding time and should be used with caution in patients who may be at risk of increased bleeding from trauma, surgery, or other pathological conditions (such as gastrointestinal ulcers). After repeated 75-mg oral doses of clopidogrel (base), plasma concentrations of the parent compound, which has no platelet inhibiting effect, are very low and are generally below the quantification limit (0.00025 g/ml) beyond 2 hours after dosing. Clopidogrel is extensively metabolized by the liver. The main circulating metabolite is the carboxylic acid derivative, and it too has no effect on platelet aggregation. It represents about 85% of the circulating drug-related compounds in plasma. The elimination hal-life (t) of the main circulating metabolite is 8 hours after a single and repeated administration.

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Clopidogrel is rapidly absorbed after oral administration of repeated doses of 75 mg clopidogrel (base), with peak plasma levels (Cmax) about 3 g/ml of the main circulating metabolite occurring approximately 1 hour after dosing. The pharmacokinetics of the main circulating metabolite are linear (plasma concentrations increase in proportion to dose) in the dose range of 50 to 150 mg of clopidogrel. Absorption is at least 50% based on urinary excretion of clopidogrel-related metabolites. Clopidogrel and the main circulating metabolite bind reversibly in vitro to human plasma proteins (98% and 94%, respectively). In vitro and in vivo, clopidogrel undergoes rapid hydrolysis into its carboxylic acid derivative. In plasma and urine, the glucuronide of the carboxylic acid derivative is also observed. Administration of clopidogrel with meals does not significantly modify the bioavailability of clopidogrel as assessed by the pharmacokinetics of the main circulating metabolite. The objective of this study is to find out whether the bioavailability of PT Dexa Medicas formulation of 75 mg clopidogrel tablet (Vaclo) is equivalent to that of the reference drug (Plavix, Sanofi Synthelabo).

METHODS
The final version of the protocol with the written informed consent statement (16.06.2005) has been submitted to the Ethics Committee of the Medical Faculty, University of Indonesia and the written ethical approval has been obtained on July 11th, 2005. There were two protocol amendments during the study. The first amendment of the final protocol (19.10.2006) conformed to the new format of BA/BE study according to National Food and Drug Control instruction. The second amendment of the final protocol (25.10.2007) conformed to the change of number of subjects. The study was conducted according to the Declaration of Helsinki and its amendments and to the relevant Good Clinical Practice Guideline and in agreement with the local Ethics Committee. Prior to starting this study, the purpose and the risks involved were fully explained to the subjects by the Investigator or his/her nominee. Subjects were given ample time to decide independently whether they wished to participate in the study. They were asked to sign a form (informed consent form) indicating that they agreed to participate on this basis. Written informed consent was obtained from each volunteer prior to their participation. Twenty-four (24) healthy adult male and female subjects aged between 18-55 years, body weight within normal range (BMI=18-25 kg/ m2), blood pressure within normal range (100-130 mmHg for systolic, and 6085 mmHg for diastolic blood pressure), pulse rate between 6090 bpm, and had signed the informed consent, were recruited to participate in this study. Pregnant or lactating women, women of childbearing potential without adequate contraception, subjects with known contraindications or hypersensitivity to clopidogrel, chronic gastrointestinal problems, clinically significant ECG abnormalities, clinically significant hematology, blood glucose, renal and hepatic function abnormalities, and positive test result of HBsAg, anti-HCV, and/or antiHIV were excluded. This was a randomized, single-blind (investigator blind), two-sequence, cross-over study with one-week washout period. The study compared bioavailability of 75 mg clopidogrel tablets produced by PT Dexa Medica (Vaclo) with reference tablets. At least one week before and during the study period, subjects were not allowed to take any drug, including OTC, food supplement, herbal medicine, and at least two weeks for any prescription drug. Subjects attended to PT Equilab International a night before drug administration and they were requested to fast from any food and drink except mineral water from 21:00 PM. In the morning (approximately 06:00 AM) of the dosing day (day 1), after an overnight fast, a pre-dose pharmacokinetic blood sample was taken. Then the study drug (one tablet of Vaclo or Plavix) was given at 07.00 AM with 200 mL of water. Blood samples were drawn 10 mL immediately before taking the

drug (control), and 5 mL each at 15, 30, 45 minutes and 1, 1.5, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, 16, and 24 hours after drug administration. Blood samples were collected into EDTA tubes for the measurement of plasma levels of clopidogrel carboxylic acid. The date and the time of taking each sample were recorded in the CRF. Lunch and dinner were served 4 hours and 10 hours after drug administration. On day-2, breakfast was served after blood sampling at time point +24 hours. The amount of food and water intake and physical activity for each individual subject were standardized during the sampling days. Smoking, xanthine containing food or beverages and fruit juices were not allowed for 24 hours before and during the entire sampling days. One week after the first drug administration (washout period), the same procedure was repeated with the alternate drug. Clopidogrel carboxylic acid concentrations in plasma were assayed using a fully validated gas chromatography with mass spectrometry (GC/MS) detection method, with respect to adequate sensitivity, specificity, linearity, recovery, accuracy and precision (both within and between days). Stability of the samples under frozen conditions, at room temperature, and during freeze-thaw cycle was also determined. Two calibration curves was prepared by least square linear regression (Y = aX + b; where X was the concentration of clopidogrel carboxylic acid, and Y was the peak area ratio of clopidogrel carboxylic acid to ketoprofen). The concentration of clopidogrel carboxylic acid in plasma sample was determined by entering the peak area ratio of clopidogrel carboxylic acid to ketoprofen into the regression line equation of the standard calibration curve. Plasma concentration-time data such as maximum observed serum concentration (Cmax), time to reach Cmax (tmax), area under the serum concentration vs time curve up to the last quantifiable concentration (AUCt), area under the serum concentration vs time curve extrapolated to infinite time (AUCinf), and terminal phase half-life time (t) were analyzed from the serum concentrations of both drug products. The criteria for bioequivalence are that the 90% Cls of the geometric mean ratios 0.801.25 for the AUC and 0.701.43 for the Cmax. EquivTest version 2.0 (Statistical Solution Ltd., Saugus, MA, USA) was used to perform the statistical analyses of AUCt, AUCinf, and Cmax using analysis of variance (ANOVA) after transformation of the data to their logarithmic (ln) values. The tmax difference was analyzed non-parametrically on the original data using Wilcoxon matched-pairs test.

53

RESULTS
The means of clopidogrel carboxylic acid plasma concentrations in 24 subjects after oral administration of T and R are plotted in Fig. III. In this study, the mean (SD) AUCt of clopidogrel carboxylic acid for the test drug (T) and the reference drug (R) were 5377.44 (3991.08) and 5649.33 (3901.19) ng.h/mL, respectively. The mean (SD) AUCinf of clopidogrel carboxylic acid for T and R were 6130.75 (4442.18) and 6394.23 (4152.62) ng.h/mL, respectively. The mean (SD) Cmax of clopidogrel carboxylic acid for T and R were 2219.11 (1612.96) and 2392.51 (1699.43) ng/mL, respectively. The mean (SD) of t1/2 for T and R were 7.99 (4.46) and 8.01 (5.31) h, respectively. The median (range) of tmax for T and R were 0.75 (0.251.50) and 0.75 (0.251.50) h, respectively. The individual pharmacokinetic parameters (AUCt, AUCinf, Cmax, tmax, and t of clopidogrel carboxylic acid are tabulated in Table I. The geometric mean ratios (90% confidence intervals) of the AUCt, AUCinf, and Cmax of clopidogrel carboxylic acid were 93.19% (81.73 106.26%), 94.17% (83.19106.60%), and 92.01% (73.84114.65%), respectively. Using Wilcoxon matched-pairs test on the original data, the difference between the test drug and reference drug for tmax values of clopidogrel carboxylic acid plasma concentration was not significantly different (NS). There was no adverse event encountered during the study.

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Figure iii. Mean plasma concentration-time profiles of clopidogrel carboxylic acid in human subjects (n=24) after oral administration of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica (test Product=Clopidogrel DXM) and that produced by the innovator (Reference Product)

Table I. Pharmacokinetic parameters of clopidogrel carboxylic acid after oral administration of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica (Test Product = Clopidogrel DXM) and the reference product Subject ID S-1 S-2 S-3 S-4 S-5 S-6 S-7 S-8 S-9 S-10 S-11 S-12 S-15 S-16 S-17 S-18 S-19 S-20 S-21 S-22 S-23 S-24 S-25 S-26 Mean SD Minimum Maximum Median MEDICINUS AUCt(ng.h/mL) T 10625.12 9960.90 7494.26 4794.95 16151.45 3157.87 14365.35 1901.31 5352.22 906.21 1138.74 6112.31 5362.64 3181.22 2773.23 3151.78 7635.46 3844.40 5407.55 2705.56 4769.61 1838.90 1313.51 5113.94 5377.44 3991.08 906.21 16151.45 R 8521.96 9641.94 5144.06 4541.20 17616.75 4140.87 14089.33 3262.15 4812.11 836.86 767.65 8194.84 4935.97 3163.20 3949.23 3923.89 6033.93 8013.37 3907.39 4347.74 4455.60 5850.08 972.89 4460.80 5649.33 3901.19 767.65 17616.75 Fref (%) 124.68 103.31 145.69 105.59 91.68 76.26 101.96 58.28 111.22 108.29 148.34 74.59 108.64 100.57 70.22 80.32 126.54 47.97 138.39 62.23 107.05 31.43 135.01 114.64 98.87 31.01 31.43 148.34 AUCInf(ng.h/mL) T 12322.39 10061.32 9240.91 4973.58 16972.65 3333.97 17488.07 1964.74 6762.15 1045.62 1232.33 6779.35 5839.62 3747.80 3989.81 3851.71 8502.19 4163.23 6419.56 3062.24 5247.19 2518.60 1868.45 5750.62 6130.75 4442.18 1045.62 17488.07 R 10487.52 9841.39 6956.61 4944.57 19218.96 4540.73 14551.47 3391.98 5370.31 905.28 855.12 9442.30 5434.00 3867.09 5205.64 4757.37 6279.23 8443.77 5006.43 4474.14 6377.11 6834.84 1098.20 5177.41 6394.23 4152.62 855.12 19218.96 Fref (%) 117.50 102.23 132.84 100.59 88.31 73.42 120.18 57.92 125.92 115.50 144.11 71.80 107.46 96.92 76.64 80.96 135.40 49.31 128.23 68.44 82.28 36.85 170.14 111.07 99.75 32.30 36.85 170.14 AUCt/AUCInf - ratio (%) T 86.23 99.00 81.10 96.41 95.16 94.72 82.14 96.77 79.15 86.67 92.41 90.16 91.83 84.88 69.51 81.83 89.81 92.34 84.24 88.35 90.90 73.01 70.30 88.93 86.91 8.11 69.51 99.00 R 81.26 97.97 73.95 91.84 91.66 91.19 96.82 96.17 89.61 92.44 89.77 86.79 90.83 81.80 75.86 82.48 96.09 94.90 78.05 97.17 69.87 85.59 88.59 86.16 87.79 7.83 69.87 97.97 Cmax (ng/mL) T 4692.11 3218.83 2604.84 1059.25 7024.40 1911.47 4456.40 2330.15 889.22 487.66 581.62 4258.03 2610.11 941.44 833.62 2127.46 2990.38 1204.91 2132.71 1867.65 2159.24 554.27 476.03 1846.97 2219.11 1612.96 476.03 7024.40 R 3554.77 3030.86 1037.15 2204.96 7518.30 2744.95 5396.18 2204.86 875.14 692.17 1484.77 3446.29 2313.26 900.77 698.78 839.07 2588.37 4594.00 1527.06 2591.04 976.54 2595.29 339.41 3266.26 2392.51 1699.43 339.41 7518.30 T 0.75 0.25 0.75 1.50 0.75 0.75 0.25 0.50 0.75 0.50 1.00 0.75 0.50 0.75 0.50 0.75 1.00 0.50 0.75 0.50 1.00 1.00 0.75 0.50 0.71 0.25 1.50 0.75 tmax (h) R 0.75 0.75 0.50 0.75 0.75 0.50 0.50 0.75 1.00 0.50 0.75 0.25 0.75 0.75 0.50 0.50 0.50 0.75 0.75 0.75 1.50 0.50 0.75 0.50 0.68 0.25 1.50 0.75 T 10.64 2.12 13.44 3.59 10.35 3.51 9.38 1.81 10.53 3.44 1.77 3.13 5.37 10.15 13.50 13.16 5.47 4.78 13.52 9.79 8.59 17.59 8.13 8.02 7.99 4.46 1.77 17.59 t (h) R 12.79 5.85 12.52 4.81 7.34 7.73 3.56 2.44 8.33 1.94 2.20 2.77 10.46 12.14 19.54 13.69 3.35 2.43 14.72 1.67 13.80 15.66 3.32 9.24 8.01 5.31 1.67 19.54

54

CONCLUSION
Based on the results shown above, that the geometric mean and 90% confidence interval of the test/reference AUC-and Cmax-ratios were within the acceptance ranges for bioequivalence, it was concluded that the 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica (Vaclo) was bioequivalent to the reference product.
2. 3. 4. 5. 6.

ACKNOWLEDGEMENT
We thank the subjects for their participation in this study, and we appreciated PT Dexa Medica for funding the study.
REFERENCES 1. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman uji bioekivalensi. Jakarta:BPOM;

2004. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman cara uji klinik yang baik. Jakarta: BPOM; 2001. Lainesse A, Ozalp Y, Wong H, Alpan RS. Bioequivalence study of clopidogrel bisulfate film-coated tablets. Arzneimittelforschung. 2004: 54(9a): 600-4. McEwen J, Strauch G, Perles P, Pritchard G, Moreland TE, Necciari J, Dickinson JP. Clopidogel bioavailability: absence of influence of food or antacids. Semin Thromb Hemost. 1999: 25(2): 47-50. Lagorce P, Perez Y, Ortiz J, Necciari J, Bressolle F. Assay method for the carboxylic acid metabolite of clopidogrel in human plasma by gas chromatographymass spectrometry. J Chromatogr Biomed Sci Appl. 1998; 720: 107-17. Plavix Online. Description, chemistry, ingredients, pharmacology, pharmacokinetics, studies and metabolism of clopidogrel: monograph. Available from: http://www.rxlist.com/cgi/generic/clopidog.htm

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

profil product

VACLO Clopidogrel

enyebab kematian akibat penyakit kardiovaskular yang paling besar dikarenakan coronary heart diseasse (53%) dan stroke (17%). Kasus stroke iskemia, infark miokard maupun vascular death merupakan kasus yang sering dijumpai. Obat-obat yang sering digunakan pada kasus tersebut, antara lain obat antihipertensi, hiperlipidemia dan antiplatelet, dan lain-lain.1

miokard, stroke, dan vascular death) pada pasien dengan riwayat aterosklerotik oleh stroke, infark miokard, atau penyakit arteri perifer

Dosis:3-5

Dosis yang direkomendasikan 75 mg sekali sehari dengan atau tanpa makanan.

Pemberian obat antiplatelet biasanya diberikan dalam pemberian jangka panjang, selain itu juga hendaknya diikuti dgn pola makan yg baik, olahraga teratur dan menghindari obesitas.1 Macam-macam obat-obat antiplatelet yang ada saat ini antara lain:2 1. Cyclooxygenase inhibitors (aspirin) 2. Adenosine diphosphate (ADP) receptor inhibitors (Clopidogrel, Ticlopidine) 3. Phosphodiesterase inhibitors (Cilostazol) 4. Glycoprotein IIB/IIIA inhibitors (Abciximab, Eptifibatide) 5. Adenosine reuptake inhibitors (Dipyridamole) Untuk memberikan solusi pada kasus tersebut pada bulan Juni 2008 PT Dexa Medica meluncurkan VACLO yang berisi clopidogrel tablet salut selaput 75 mg.3 Vaclo bekerja dengan cara menghambat ikatan ADP yang dihasilkan pada saat terjadi luka (eksternal) maupun pelepasan ADP yang dihasilkan pada saat aktivasi oleh kolagen, thrombin dan thromboxan A2 (internal) secara spesifik dan irreversibel, sehing-ga menghambat aktivasi reseptor GP IIb/IIIa sehingga fibrinogen dan vWF tidak dapat berikatan kemudian tidak terjadi agregasi platelet.3,4,5

Kesimpulan:

Clopidogrel termasuk ke dalam obat antiplatelet dengan mekanisme kerja sebagai Adenosine diphosphate (ADP) receptor inhibitors. Pemakaiannya luas untuk berbagai kasus herosklerotik (infark miokard, stroke, dan vascular death) pada pasien dengan riwayat aterosklerotik oleh stroke, infark miokard, atau penyakit arteri perifer

55

Vaclo bioekuivalen dengan reference product.

Referensi:

Indikasi:3-5

Mengurangi kejadian aterosklerotik (infark

1. Thom T, et al. Heart diseasse and statistic. Update: A report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistic Subcommitee 2006. Circulation;113;e85-e151. 2. Dailey JH, editors. FDA approved for selected antiplatelet agents. In: Drug Class Review on Newer Antiplatelets Agents. California evidence-Based Practice Center, Oregon; 2006.p.7

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Obat-obat antiplatelet digunakan untuk mencegah terjadinya agregasi platelet. Agregasi platelet disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, serebrovaskular dan pembuluh darah.

Tidak perlu penyesuaian dosis untuk pasien usia lanjut atau pasien dengan penyakit ginjal. Berdasarkan penelitian PT Equilab International Jakarta, disimpulkan bahwa tablet clopidogrel 75 mg (Vaclo produksi PT Dexa Medica bio-ekuivalen dengan produk yang sama yang dibuat oleh pabrik produk referensi (Plavix , Sanofi Synthelabo).6

3. Vaclo. Package insert. PT Dexa Medica. 4. Mc. Evoy GK, Litvak K, Snow EK, Kester L, Dewey DR, Bollingeer LA, et al. Clopidogrel bisulfate. In: AHFS Drug Information 2007. Bethesda: American Society of Health System Pharmacists, Inc; 2007.p.1482-85 5. Jarvis B, Simpson K. Clopidogrel: A review of its use in the prevention of atherothrombosis. Drug 2000;60(2);34777 6. Yunaidi DA, et al. Bioequivalence study of 75 mg clopidogrel tablets produced by PT Dexa Medica (Vaclo) in comparison with the reference tablet (Plavix, Sanofi Synthelabo). Study report 2008 PT Equilab International Jakarta

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

original article
research

I Made Jawi*, Agung Indrayani*, I Wayan Sumardika*, IWP Sutirta Yasa**


* Bagian Farmakologi FK Unud ** Bagian Patologi Klinik FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK. Penggunaan parasetamol sebagai analgesik amat luas di masyarakat, baik sebagai obat bebas maupun diberikan oleh petugas kesehatan. Penggunaan alkohol sebagai minuman juga meningkat di masyarakat. Interaksi antara parasetamol dengan alkohol terutama di dalam hati merupakan interaksi yang sangat kompleks. Penggunaan alkohol akut dan alkohol kronis dapat menginduksi enzim secara berbeda di dalam hati sehingga efek toksik parasetamol juga berbeda. Untuk mengetahui efek parasetamol terhadap hati pada pemberian alkohol akut dan kronis dilakukan penelitian pada mencit jenis Balb/C betina dewasa, dengan rancangan randomized control group post test only design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi FK Unud dengan 36 ekor mencit yang dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing 6 ekor. Pengamatan dilakukan terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit kelompok kontrol, kelompok parasetamol, kelompok alkohol akut, kelompok alkohol kronis, kelompok alkohol akut dengan parasetamol dan kelompok alkohol kronis dengan parasetamol. Data yang didapat diuji dengan uji nonparametrik Mann-Whitney U, masing-masing dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna (p<0,05) pada kelompok yang diberikan parasetamol. Pada kelompok yang diberikan alkohol kronis dan akut bersama parasetamol juga terjadi peningkatan SGOT dan SGPT yang tidak bermakna (p>0,05). Pada kelompok yang lain terjadi peningkatan namun tidak bermakna. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian parasetamol meningkatkan kadar SGOT dan SGPT. Pemberian parasetamol secara bersamaan dengan alkohol akut dan kronis menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada mencit dibandingkan dengan parasetamol saja.
Kata Kunci: paracetamol, alkohol, SGOT, SGPT, mencit

PENDAHULUAN
Parasetamol merupakan salah satu analgesik yang tergolong sebagai obat bebas. Banyak jenis nama dagang dari obat yang mengandung parasetamol yang beredar dan telah dikenal oleh masyarakat sehingga penggunaannya sangat luas. Di lain pihak, pada masa global saat ini penggunaan alkohol sebagai minuman juga semakin meningkat. Masyarakat yang mengonsumsi alkohol bila menderita sakit tentu akan berusaha menghilangkan rasa sakit tersebut dengan berbagai cara, misalnya mengonsumsi obat bebas seperti parasetamol. Pasien yang berobat pada tenaga medis tertentu, kemungkinan adalah seorang peminum alkohol. Bila pasien tersebut diberikan parasetamol maka akan terjadi interaksi antara parasetamol dengan alkohol. Meskipun telah diketahui bahwa kelebihan dosis parasetamol dapat menyebabkan efek hepatotoksik, namun bila diberikan bersama alkohol akan terjadi potensiasi efek hepatotoksik tersebut. Efek hepatotoksik parasetamol dapat terjadi pada dosis terapi bila diberikan bersama
Artikel telah diseminarkan dalam kongres Nasional Ikatan Farmakologi Indonesia di Medan 14 Februari 2007

alkohol pada orang tertentu.1 Banyak peneliti telah menyatakan bahwa pada peminum alkohol kronis terjadi peningkatan risiko terhadap efek hepatotoksik dari parasetamol. Efek toksik tersebut bahkan dapat terjadi pada dosis terapi.12 Karena terjadi peningkatan efek hepatotoksik pada peminum alkohol kronis maka FDA di Amerika menyatakan bahwa setiap penjualan parasetamol hendaknya diberikan label yang menyatakan: bila minum alkohol 3 kali sehari atau lebih maka perlu hati-hati memakai parasetamol sebagai analgesik.1 Peneliti lain menemukan terjadi peningkatan produksi radikal bebas di dalam hepar akibat induksi terhadap microsomal cytochrome P-450 oleh etanol.2 Pada binatang percobaan yang diberikan etanol 0,8 gram/kg BB/ hari, terjadi peningkatan radikal bebas yang akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel hepatosit dan menimbulkan inflamasi pada jaringan hepar.3 Walaupun pada peminum alkohol kronis dapat meningkatkan efek hepatotoksik parasetamol, namun peneliti lain menemukan terjadi penurunan metabolisme oksidatif parasetamol. Peneliti juga menemukan terjadi penurunan metabolisme oksidatif parasetamol bila diberikan secara bersamaan dengan alkohol.

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS MEDICINUS

57

Penurunan metabolisme oksidatif parasetamol bila diberikan bersamaan dengan alkohol terjadi baik pada manusia maupun pada binatang percobaan karena terjadi penurunan NADPH bebas dalam cytosol.4 Interaksi antara parasetamol dengan alkohol ternyata merupakan interaksi yang sangat kompleks dan pemberian alkohol akut dan kronis bersama parasetamol menimbulkan efek yang berlawanan.5 Nampaknya efek parasetamol antara peminum alkohol kronis dan peminum alkohol akut masih diperdebatkan. Oleh karena itu, perlu diteliti apakah terjadi perbedaan kadar SGPT dan SGOT dalam darah mencit bila diberikan parasetamol baik secara bersamaan dengan alkohol akut atau alkohol kronis.

C. Kelompok yang diberikan alkohol akut 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) D. Kelompok yang diberikan alkohol kronis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor), setiap hari selama 14 hari E. Kelompok yang diberikan alkohol akut 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) diikuti pemberian parasetamol 7,5 mg/ekor, sekali pemberian F. Kelompok yang diberikan alkohol kronis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari, diikuti parasetamol 7,5 mg hanya sekali

BAHAN DAN CARA KERJA


Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan rancangan randomized control group posttest only. Sampel dalam penelitian ini adalah mencit Balb/C betina dengan umur 4-5 bulan yang diperoleh dari kandang hewan percobaan Laboratorium Farmakologi FK Unud. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 36 ekor. Sampel dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing 6 ekor mencit. Kelompok 1 atau kelompok kontrol tanpa diberi perlakuan. Kelompok 2 adalah kelompok perlakuan dengan pemberian parasetamol secara oral dengan dosis 7,5 mg/hari/ekor, satu kali pemberian. Kelompok 3 diberi perlakuan alkohol sekali pemberian secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor). Kelompok 4 diberi alkohol secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari. Kelompok 5 diberi perlakuan alkohol sekali pemberian secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) diikuti pemberian parasetamol dengan dosis 7,5 mg. Kelompok 6 diberi alkohol secara oral dengan dosis 0,8 gram/kg BB (32 mg/ekor) setiap hari selama 14 hari, dan diberikan parasetamol sekali pemberian pada hari ke-14 dengan dosis 7,5 mg/ekor. Perlakuan ini dilakukan di Lab. Farmakologi FK Unud. Setelah 24 jam perlakuan terakhir, darah diambil secara intrakardia dan dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik FK Unud untuk dilakukan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT. Variabel dalam penelitian ini meliputi: (a) variabel bebas yaitu parasetamol dan alkohol baik akut maupun kronis, (b) variabel tergantung yaitu kadar SGOT dan SGPT darah, (c) variabel kendali yaitu jenis kelamin hewan percobaan, umur dan kandang hewan percobaan. Uji statistik yang digunakan adalah uji nonparametrik Mann Whitney U.

Grafik 2. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

58

Pada grafik 1 dan 2 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok yang diberikan parasetamol sangat meningkat dibandingkan semua kelompok. Secara statistik perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Pada grafik tersebut juga terlihat pemberian alkohol akut dengan parasetamol menurunkan kadar SGOT dan SGPT dibandingkan parasetamol saja (p<0,05). Pemberian alkohol kronis dengan parasetamol menyebabkan kadar SGOT dan SGPT lebih tinggi dari alkohol akut namun secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Pada grafik ini terlihat pemberian alkohol dengan parasetamol memperkecil kenaikan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna (p<0,05).

MEDICINUS

HASIL PENELITIAN
Hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT darah mencit pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dapat dilihat pada grafik 1-4.

Grafik 3. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol, kelompok perlakuan alkohol akut dengan parasetamol dan kelompok alkohol kronis dengan parasetamol
A. Kontrol, B. Parasetamol, C. Alkohol Akut, D. Alkohol Kronis, E. Alkohol Akut Parasetamol, F. Alkohol Kronis Parasetamol

Grafik 1. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Keterangan: Data menunjukkan nilai rata-rata pada setiap kelompok (6 ekor tiap kelompok) A. Kelompok kontrol (tanpa diberikan alkohol maupun parasetamol) B. Kelompok yang diberikan parasetamol 7,5 mg/ekor secara oral

Pada grafik 3 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok alkohol akut dengan parasetamol dan kelompok alkohol kronis dengan parasetamol. Secara statistik hanya kelompok alkohol kronis dengan parasetamol yang berbeda dengan kontrol (p<0,05). Kadar SGOT dan SGPT pada kelompok alkohol akut dengan parasetamol dan kelompok alkohol kronis dengan parasetamol juga berbeda. Perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p>0,05).

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Grafik 4. Perbandingan SGOT dan SGPT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, alkohol akut dan alkohol kronis

Pada grafik 4 terlihat kadar SGOT dan SGPT kelompok kontrol sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronis. Kadar SGOT dan SGPT pada kelompok alkohol akut dan kelompok alkohol kronis hampir sama. Secara statistik ketiga kelompok tidak berbeda (p>0,05). Pemberian alkohol akut dan alkohol kronis (14 hari) tidak menimbulkan kenaikan SGOT dan SGPT secara bermakna.

binatang yang diberikan etanol kronis menimbulkan induksi terhadap microsomal enzyme pada hepar. Enzim yang diinduksi oleh etanol adalah CYP2E1 yang merupakan enzim yang penting dalam proses metabolisme oksidatif dari parasetamol.12 Enzim CYP2E1 akan memecah parasetamol menjadi metabolit toksik yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine.13 Pada peminum alkohol kronis terjadi induksi oleh alkohol tersebut terhadap enzim CYP2E1 bisa mencapai 2 kali lipat.1 Alkohol/etanol ternyata dapat menghambat kerja dari enzim CYP2E1 sehingga pembentukan metabolit toksik dari parasetamol dihambat. Ini berarti pemberian alkohol dan parasetamol secara bersamaan akan menguntungkan sebab alkohol dapat sebagai pelindung.1 Perlindungan etanol terhadap hepar akibat parasetamol akan hilang setelah 6 jam pemberian etanol. Pada binatang percobaan efek hepatotoksik dari parasetamol akan meningkat 16-18 jam setelah etanol dihentikan. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa efek hepatotoksik dari parasetamol pada peminum alkohol kronis akan meningkat pada keadaan puasa. Pada keadaan puasa atau kurang gizi kemampuan konjugasi dari metabolit toksik parasetamol akan menurun.12 Efek hepatotoksik dari parasetamol juga akan meningkat akibat menurunnya sintesis glutation.4 Pemberian alkohol juga akan meningkatkan pembentukan radikal bebas dalam hepar. Radikal bebas akan memerlukan glutation, sebab pada setiap sel diperlukan glutation sebagai antioksidan penting.14 Akibatnya efek hepatotoksik parasetamol akan meningkat.

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT darah mencit setelah pemberian parasetamol dengan dosis 7,5 mg/ekor. Kadar SGOT dan SGPT tersebut diukur setelah 24 jam pemberian parasetamol. Kenaikan kadar SGOT dan SGPT disebabkan karena terbentuknya metabolit toksik atau metabolit reaktif dari parasetamol yaitu N-acetyl-p-benzoquinon imine (NABQI) yang terjadi akibat dari aktivasi enzim cytochrome P-450. Ada beberapa jenis enzim yang tergolong dapat mengoksidasi parasetamol yaitu cytochromes 2E1, 1A2, 3A4 dan 2A6 menjadi metabolit reaktif. Dalam keadaan normal NABQI akan ditoksifikasi oleh glutation (GSH) menjadi acetaminophen-GSH. Pemberian parasetamol dosis tinggi (7,5 mg/ekor) menyebabkan penurunan GSH hingga 90%. Akibatnya metabolit reaktif NABQI akan berikatan dengan cystein group protein membentuk acetaminophen-protein adducts baik dengan enzim maupun protein dalam sel dan dalam mitokondria,6 sehingga terjadi gangguan fungsi pada akhirnya terjadi kerusakan sel/ lisis/nekrosis.7-9 Gangguan pada mitokondria menyebabkan kekurangan ATP. Gangguan tersebut menyebabkan hilangnya keseimbangan ion dalam sel dan mitokondria sehingga terjadi peningkatan calcium sitosolik pada akhirnya menyebabkan aktivasi protease, endonuclease dan kerusakan DNA. Keracunan parasetamol menyebabkan meningkatnya peroxynitrite, dan selama pembentukan NABQI terbentuk juga ion superoxide yang menyebabkan oxidative stress karena kekurangan glutation.7 Keracunan parasetamol juga meningkatkan nitric oxide setelah 4-6 jam pemberian, yang akan menimbulkan oxidative stress sehingga terjadi peningkatan SGOT dan SGPT.10 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pada tikus yang diberikan acetaminophen intraperitoneal 700 mg/kg. Terjadi peningkatan aktivitas SGOT dan SGPT setelah 24 jam.11 Hasil yang menarik pada penelitian ini adalah pemberian parasetamol yang diawali dengan alkohol akut dan kronis ternyata me-nurunkan kadar SGOT dan SGPT dibandingkan dengan pemberian parasetamol saja (p<0,05). Pemberian parasetamol dosis terapi dalam beberapa kepustakaan dapat bersifat hepatotoksik pada pasien peminum alkohol sedang sampai berat, terutama peminum alkohol kronis. Alkohol dan parasetamol bila dikonsumsi secara bersamaan dapat bersifat potensiasi terhadap efek hepatotoksik pada orang tertentu. Interaksi antara parasetamol dengan alkohol di dalam hepar merupakan interaksi yang sangat kompleks sebab pemberian alkohol akut dan kronis menimbulkan efek yang berlawanan.1,12 Pada percobaan dengan

KESIMPULAN
MEDICINUS

Pemberian parasetamol meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada mencit namun pemberian parasetamol bersamaan dengan alkohol baik akut maupun kronis memperkecil kenaikan kadar SGPT dan SGOT darah pada mencit dibandingkan parasetamol saja.

SARAN
1. Untuk dapat mengaplikasikan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. 2. Pemberian alkohol kronis perlu diperpanjang/lebih dari 2 minggu. 3. Pemberian parasetamol pada kelompok alkohol kronis perlu dipertimbangkan waktu pemberian obat agar efek alkohol dapat diamati dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA 1. Graham GG, Scott KF, Day RO. Alcohol and paracetamol. Australian Prescri-ber 2004; 27:14-5 2. Skrzydlewska E, Roszkowska A, Kozusko B. Influence of ethanol on oxidative stress in the liver. Przegl Lek 2002; 59(10):848-53 3. Chamulitrat W, Carnal J, Reed NM, et al. In vivo endotoxin enhances biliary ethanol-dependent free radical generation. AJP-Gastrointest Liver Physiol 1998; 274(4):G653-G661 4. Riordan SM, Williams R. Alcohol exposure and parasetamol-induced hepatotoxicity. Addict Biol 2002; 7(2):191-206 5. Tanaka E, Yamazaki K, Misawa S. Update: The clinical importance of acetaminophen hepatotoxicity in non alcoholic and alcoholic subjects. J Clin Pharm Ther 2000; 25(5):325-32 6. Masabuchi Y, Suda C, Horie T. Involvement of mitochondrial permeability transition in acetaminophen-induced liver injury in mice. J Hepatol 2005; 42(1):110-6 7. James LP, Mayyeux PR, Hinson JA. Acetaminophen-induced hepatotoxicity. Drug Metabolism and Disposition 2003; 31:1499-1506 8. Reid AB, Kurten RC, McCullough SS, et al. Mechanisms of acetaminophen-induced hepatotoxicity: role of oxidative stress and mitochondrial permea-bility transition in fresh isolated mouse hepatocytes. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics 2004; 312:509-16 9. Slitt AM, Dominick PK, Roberts JC, et al. Effect of ribose cysteine pretreatment on hepatic and renal acetaminophen metabolite formation and gluta-thione depletion. Basic Clin Pharmacol Toxicol 2005; 96(6):487-94 10. Gamal el-din AM, Mostafa AM, Al-Shabanah OA, Al-Bekairi AM, Nagi MN. Protective effect of arabic gum against acetaminophen-induced hepatotoxicity in mice. Pharmacol Res 2003; 48(6):631-5 11. Yoon MY, Kim SN, Kim YC. Potentiation of acetaminophen hepatotoxicity by acute physical exercise in rats. Res Commun Mol Pathol Pharmacol 1997; 96(1):35-44 13. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, et al. Anti-inflammatory and immunosuppressant drugs. Pharmacology. 5th edition. London:Churchill Livingstone, 2003 14. Droge W. Free radicals in the physiological control of cell function. Physiological Reviews 2002; 82(1):47-95

59

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

original article
research

Puslitbang Pemberantasan Penyakit, Badan Litbang Kesehatan


ABSTRAK. Atypical mycobacterium (AM) atau mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) atau non tuberculous mycobacteria (NTM) dilaporkan dapat menginfeksi otot, tulang, kulit dan jaringan lunak (penyakit muskuloskeletal). Salah satu dari kegawatan dalam bidang reumatologi, disebabkan oleh infeksi AM. Dilaporkan beberapa spesies dari AM pada penyakit-penyakit: rheumatoid spondylitis, rheumatoid arthritis, osteomyelitis dan osteoporosis yaitu: M. kansasii, M. chelonae, M. fortuitum, M. haemophylum, M. intrecellulare, M. avium complex. Anti-mycobacterial untuk AM seperti: rifampicin, ciprofloxacine, clofazimine, clarithromycin telah dilaporkan. Identifikasi dari spesies AM untuk penentuan regimen terapi untuk menambah pelayanan kesehatan amat penting. upaya ini kita harapkan dapat mengurangi dan menghambat angka penyakit muskuloskeletal yang diperkirakan akan berkembang pesat di tahun 2020. TUJUAN: Untuk memberi informasi tentang atypical mycobacteria pada penyakit muskuloskeletal (rheumatoid spondylitis, reumatoid athritis, osteomyelitis, sampai osteoporosis) di luar negeri dan situasi di indonesia. METODOLOGI: Mengumpulkan beberapa informasi tentang infeksi AM di otot, tulang (muskuloskeletal) infeksi kulit, dll dari internet, text book, dan melaporkan hasil riset tentang AM di beberapa penyakit, juga dari infeksi tulang, dan lain-lain dari penelitian kami. HASIL: Dilaporkan 6 spesies AM pada rheumatoid spondylitis, 4 spesies pada rheumatoid arthritis, 2 spesies pada osteomyelitis dan 5 spesies pada osteoporosis. Dari hasil penelitian kami di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan 18 spesies AM dari 36 kasus atypical mycobacterium di paru dan ekstra paru termasuk tulang, dengan teknik isolasi dan identifikasi yang dilakukan di laboratorium TB Puslitbang Pemberantasan Penyakit. KESIMPULAN: Penelitian atypical mycobacteria pada rheumatoid spondylitis, arthritis, osteomyelitis dan juga osteoporosis, penting untuk dilakukan, hendaknya meliputi identifikasi spesies dan resistensi terhadap obat guna penentuan terapi regimen yang tepat guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Kata kunci: Infeksi, mycobacteria, atypical, reumatoid, osteomyelitis, osteoporosis.

Misnadiarly AS

60

MEDICINUS

PENDAHULUAN
Atypical mycobacteria (AM) atau mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) disebut pula dengan NTM (non tuberculous mycobacteria), dilaporkan dapat menginfeksi kulit dan jaringan lunak, otot, tulang (penyakit muskuloskeletal).1,2 Salah satu kegawatan dalam bidang reumatologi disebabkan oleh infeksi AM. Dilaporkan beberapa spesies dari AM pada osteomyelitis, osteoporosis, dan beberapa penyakit muskuloskeletal lain, yaitu: M. kansasii, M. chelonae, M. fortuitum, M. haemophylum, M. intracellulare, M. avium complex, dan lain-lain. Antimycobacterial untuk AM seperti: rifampicin, ciprofloxacine, clofatimine, clarythromycine dan lain-lain telah dilaporkan. Pengetahuan mengenai berbagai aspek penyakit infeksi tetap masih harus menjadi prioritas termasuk infeksi atypical mycobacteria, terutama di negara maju, yang perlu kiranya diikuti oleh Indonesia. Identifikasi dari spesies AM untuk penentuan regimen terapi untuk menambah pelayanan kesehatan amat penting. Upaya ini kita harapkan dapat mengurangi dan menghambat angka penyakit muskuloskeletal yang diperkirakan akan berkembang pesat di tahun 2020.

Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kondisi tulang di mana kehilangan masa tulang dan densitas tulang, merupakan kemunduran atau degeneratif atau penuaan tulang yang terjadi pada usia menua.3 Osteomyelitis adalah suatu penyakit infeksi tulang, biasanya disertai pembentukan pus yang dihasilkan oleh bakteri. Akhir- akhir ini Atypical mycobacteria, menjadi populer dan banyak diteliti oleh peneliti dari berbagai negara maju dari berbagai bidang ilmu dan berbagai penyakit antara lain, paru, diabetes mellitus, nosokomial, infeksi jaringan lunak, dan termasuk bidang reumatologi, untuk membantu mengatasi masalah dan dapat menekan angka prevalensi penyakit muskuloskeletal antara lain (rheumatoid, osteomyelitis, osteoporosis) yang diperkirakan oleh WHO akan berkembang dengan cepat di tahun 2020, dimana pada waktu ini banyak penduduk berusia di atas 50 tahun akan menderita akibat penyakit ini. Salah satu upaya adalah dengan menggalakkan penelitian penyakit infeksi AM yang sering dilaporkan ditemui, namun di Indonesia belum ada data yang memadai, diperkirakan akan dapat membantu keluar dari masalah tersebut di atas.

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Tujuan dari tulisan ini, memberi informasi mengenai infeksi AM khususnya pada bidang reumatologi dari luar negeri dan mengenai bagaimana situasinya di Indonesia.

Ditemukan 6 spesies AM pada rheumatoid spondylitis 4 spesies pada rheumatoid arthritis, 2 spesies pada osteomyelitis dan 5 spesies pada osteoporosis, seperti terlihat pada tabel 3. Tabel 3. Pola infeksi spesies atypical mycobacteria pada beberapa kasus penyakit muskuloskeletal
No 1 2 3 4 5 6 Kasus Infeksi Rhematoid Spondylitis Rhematoid Arthritis Osteomyelitis non HIV Osteomyelitis dengan HIV positif Osteoporosis non HIV Osteoporosis dengan HIV positif Total species 2 1 1 2 2 4 1 2 + + + + + + 1 2 1 + + a + b + c + d + + e + + f + + + g h i j + k Total 6 4 1 1 1 5 1 19

BAHAN DAN CARA


Mengumpulkan beberapa informasi tentang Atypical mycobacterium pada penyakit muskuloskeletal dan AM pada beberapa penyakit di luar negeri dan hasil penelitian AM yang telah dilakukan di Indonesia dan juga hasil penelitian kami yang diringkas pula dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL DAN DISKUSI


Hasil beberapa literatur yang di review Atypical myobacteria (AM) dengan nama alternatif mycobacteria other than tuberculosis (MOTT) adalah basil tahan asam (BTA) selain M. tuberculosis atau non-tuberculous bacteria, yang hanya dapat dibedakan dengan M. tuberculosis melalui study kultur dan identifikasi. Jauh sebelum kuman M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch tahun 1985, pada abad pertengahan Earnes Runyon telah mengklasifikasikan mikroorganisme AM ini berdasarkan karakteristik kultur di laboratorium yang membaginya atas 4 golongan.
Tabel 1. Klasifikasi Runyon untuk atypical mycobacteria dan AM sebagai penyebab beberapa penyakit
Group Runyon I Species M. kansasii M. marinum M. simiae M. sropulaceum M. zenoopi M. szulgai M. gordonae M. flavesceans M. avium complex (termasuk M. intracellare) M. malmoense M. hemophilum M. terrae M. ulcerans M. nonchromogenicum M. fortuitum complex (termasuk M. chelonae) M. termoresistible M. neoaurium Kelompok Penyakit yang Disebabkan AM Pulmonary disease, lymph nodes disease Skin disease Pulmonary Lymph node disease, pulmonary disease Pulmonary disease Pulmonary disease Nonpathogen* Nonpathogen* Pulmonary disease, disseminated disease, lymph node disease Pulmonary disease Skin, soft tissue disease Nonpathogen* Skin ucers Skin ucers Soft-tissue and bone disease, pulmonary disease Nonpathogen* Nonpathogen*

(+) spesies yang ditemukan: a. M. haemophylum b. M. kansasii c. M. scrofulacium d. M. chelonae e. M. fortuitum f. M. marinum g. M. absescens h. M. avium intracelulare i. M. paratuberculosis j. M. avium complex k. M. tuberculosis Dari hasil review literature dapat disimpulkan bahwa AM pada berbagai penyakit termasuk pada penyakit muskuloskeletal mendapatkan perhatian dikalangan peneliti dan klinisi di luar negeri, ditangani dengan diagnosis dan terapi yang baik dan memadai yang perlu dilaksanakan juga di Indonesia. Penelitian atypical mycobacteria kami di Indonesia Dari beberapa penelitian yang telah kami lakukan di beberapa daerah tentang atypical mycobacteria pada TB paru dan TB ekstra paru termasuk tulang, di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya dengan melakukan kultur spesimen berupa sputum, biopsi, dan aspirasi kelenjar getah bening, biopsi sumsum tulang dan lain-lain, telah ditemukan berbagai spesies AM, yang hasilnya diberikan secara ringkas sebagai berikut:
Tabel 4. Temuan AM menurut daerah geografi No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jakarta Padang/Sumbar Semarang Surabaya Bandung/Jakarta Jakarta/Bandung Jakarta/Bandung Bandung Daerah Frekuensi AM (%) 1,7 8,02 24 11,5 61,1 20,7 18,8 15,4 Kasus TB paru TB paru TB paru TB paru TB gagal terapi TB paru TB ekstra paru TB ekstra paru MEDICINUS

II

III

61

IV

Habitat dari atypical mycobacteria terdistribusi meluas di alam bebas (tanah, debu, air), pada sistem saluran air panas di rumah sakit, dan di dalam mesin pendingin. Penyakit-penyakit yang ditemukan di klinik yang biasanya disebabkan oleh AM yang tumbuh cepat adalah seperti tercantum pada tabel berikut ini. Tabel 2. Penyakit yang ditemui di klinik dan infeksi mikrobakteria spesies yang tumbuh cepat3
No 1 Penyakit Postraumatic (paska trauma/kecelakaan) Cellulitis (pada orang obesitas) Osteomyelitis Mammaplasty (kanker payudara) Sternal wound infection (infeksi luka bedah tulang) Disseminated diseases (HIV/AIDS) Pulmonary disease (penyakit paru) Patogen M. fortuitum, M. chelonae, M. fortuitum M. fortuitum, M. smegmatis M. chelonae. Sub sp. abscessens M. chelonae. Sub sp. abscessens M. chelonae. Sub sp. abscessens

2 3 4 5

Hasil Penelitian atypical mycobacteria pada TB ekstra paru menurut spesimen yang di kultur sebagai berikut: Biopsi dan aspirasi lymphadenitis TB: M. scrofulaceum Pus: M. marinum Asites: M. malmoense Aspirasi tulang femur: M. kansasii

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Tabel 5. Spesies-spesies yang ditemukan pada penderita TB Paru di Padang, Semarang, Surabaya
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 M. simiae M. fortuitum M. kansasii M. plhei M. gastri M. chelonae M. scrofulaceum M. avium M. smegmatis M. Flavescens M. teraee complex M. szulgai M. malmoense M. xenopi M. marinum M. gordonae M. ulcerans M. unknown Spesies Atypical mycobacteria % 9,73 6,38 11,98 2,53 2,3 3,3 1,85 0,88 0,88 0,94 0,09 7 4,5 0,25 1 0,5 3,2

MEDICINUS

Tabel 6. Hasil identifikasi spesimen aspirasi tulang paha dari penderita TB ekstra paru di rumah sakit Hasan Sadikin, Bandung
Kasus Infeksi Tulang 1 2 3 Spesimen Aspirasi sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang Hasil Identifikasi M. kansasii M. unknown Cultur negatif

kesehatan lainnya yang disebarluaskan melalui internet dalam bentuk laporan kasus, artikel hasil penelitian dan juga melalui majalah maupun buku atau textbook. Pada bidang reumatologi, meliputi penyakit rheumatoid spondylitis, rheumatoid arthritis, osteomyelitis dan sampai osteoporosis telah dilaporkan berbagai spesies AM, yang mana di Indonesia belum ada datanya, sehingga perlu kiranya dilakukan suatu penelitian ataupun semacam pemeriksaan rutin tentang mikroba AM pada berbagai penyakit tersebut di atas (muskuloskeletal). Penelitian di Indonesia, masih terbatas tentang AM pada TB paru dan TB ekstra paru, di mana hanya dijumpai 3 kasus infeksi tulang, yang ternyata adalah infeksi dari AM spesies M. kansasii. Suatu study dari negara luar tentang infeksi M. xenopi pada spine, menunjukkan hasil ditemukannya M. xenopi pada wanita usia 73 tahun. Dilaporkan secara ringkas bahwa ditemukan 4 kasus infeksi M. xenopi, 3 diantaranya pada pasien dengan immunosuppressed dan keempatnya adalah pasien dengan spine TB osteomyelitis. M. xenopi tumbuh optimal pada suhu 42C seperti telah dikemukan di atas. Jadi untuk mencegah infeksi ataupun membunuhnya sesaat setelah kemungkinan telah terjadi kontak dengan mikroba ini (berhabitat di air, yaitu river estuaries dan costal areas), perlu segera mencuci bagian yang kena kontak dengan air panas bersuhu 43C, atau mengoles dengan Counterpain yang dapat menimbulkan panas dan meminum air panas. Infeksi M. haemophylum pada osteomyelitis, pada ulcerasi kulit dan penderita AIDS juga telah dilaporkan. Mycobacteria ini tumbuh pada media kultur mengandung haemin pada suhu 30C. Selain itu dilaporkan pula ditemukan bakteri atypical mycobacterium ini pada penderita bird flu/flu burung, terutama Mycobacterium avium. Belum ada treatment standar untuk mikroba ini, namun kombinasi dari antimycobacterial seperti rifampicin, ciprofloxacin, ethambutol dan clofazimine, telah dilaporkan. Pada penelitian kami juga ditemukan bahwa rifampicin memiliki sensitivity yang masih tinggi terhadap mikroba AM.

62

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan terima kasih kepada kepala badan 2 dan kepala puslit 2 selama saya bekerja di Badan Litbangkes, kepada dr. Cyrus HS, dan peneliti dari RS dan Puskesmas yang telah membantu pelaksaaan penelitian ini. Kepada WHO yang pernah mendanai salah satu penelitian yaitu Penelitian kultur mikrobakteria pada penderita TB paru dengan kondisi klinis bervariasi dan sensitivity-nya, disampaikan terima kasih.

Hasil global penelitian kami tentang AM yang diliput dari beberapa penelitian AM pada TB paru dan ekstra paru termasuk tulang dari 2.035 sampel spesimen dapat dilihat pada grafik 1, yang dibandingkan dengan hasil temuan spesies AM dari United States.

KESIMPULAN
Penelitian ataupun minimum pemeriksaan rutin atypical mycobacteria pada kelompok penyakit muskuloskeletal yang meliputi, reumatoid, osteomyelitis, osteoporosis masih penting untuk dilakukan di Indonesia, meliputi isolasi, identifikasi, dan resistensinya.
DAFTAR PUSTAKA 1. Rosihan Anwar. Mikobakterium yang patogen terhadap manusia. MKI:1086 2. O Brien, Richard J, The epidemiology of non-tuberculous micobacterial diseses. Clinics & Chest Medicine 1989 3. Menyiasati osteoporosis seri buku Populer Nirmala 4. Wallance, Jr, Richard J. The clinical presentation, diagnosis and therapy of cutaneous and therapy of due to the rapidly growing mycobacteria M. fortuitum, M. chelonae. CCM:1089 5. http://www.etf.edu,tr/farma/05.Dys infectant.pdf 6. www.medscape.com/viewarticle/459/88-print-21l 7. www.aidsmap.com/en/docs/67126B42-794C-43B5-A888-67F7 8. Otaki Y, Nakanishi T, e al. A rare combination of sites of involvement of mycobacterium into or hydrolysis patients: muliple synovitis, spondylitis, and multiple skin lesion 9. http://www.marchofdimes. com/professionals/681_1159.asp 10. http://www.aidsmap.com/en/docs/0C7E580D-1971-4F32-B185-12623184FB64.asp 11. Coneman, Allen, Dowel, et al. Color atlas and texbook of diagnostic mycrobiology 12. Misnadiarly AS, Amin Z, Raharjo E, et al. Discovery and againts mycrobacterium other than tuberculosis (MOTT) is one effort to decrease infection diseases rate in Indonesia. 6th Jakarta Antimicrobial Update 2005 13. Misnadiarly. Distribusi geografis spesies mycobacterium atipik di beberapa daerah di pulau Jawa. Majalah Mikrobiologi Klinik Indonesia 1993; 6(2):8-10 14. Misnadiarly, Cyrus HS. Frekuensi mikobakterium atipik di jakarta. CDK 1993; 84

Grafik 1. Temuan hasil global penelitian atypical mycobacteria pada TB paru termasuk tulang

1. 2. 3. 4. 5.

M. avium complex M. kansasii M. fortuitum M. scrofulaceum M. chelonae

6. 7. 8. 9.

M. xenopi M. simae M. marinum M. szuday

Berdasarkan data-data yang ditampilkan pada makalah ini dapat diperoleh gambaran bahwa atypical mycobacteria cukup banyak mendapat perhatian dari kalangan peneliti ataupun dokter dan profesi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

original article
research

Laboratorium Patologi Klinik FKUB/RSU Dr. Saiful Anwar, Malang


ABSTRAK. Latar Belakang: Terapi antiagregasi trombosit untuk mencegah terjadinya aterotrombosis bersifat jangka panjang, terfokus pada thromboxane pathway. Jalur ini dihambat oleh aspirin. Dosis yang sering digunakan adalah 80160mg/hari, karena dinilai cukup efektif, dengan efek samping lebih kecil. Beberapa penelitian membuktikan adanya peningkatan angka kejadian penderita yang tidak memberi respon adekuat terhadap aspirin. Cara untuk mengetahui kegagalan terapi aspirin adalah dengan menilai fungsi trombosit, dengan standar baku emas saat ini adalah pemeriksaan agregasi trombosit. Materi dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 100 orang nakan Oneway Anova, sedangkan korelasi dilakukan dengan teknik korelasi Pearson. Hasil: Hanya 40% saja responden yang mengonsumsi aspirin dapat mencapai target agregasi trombosit, sedangkan 60% responden tidak dapat mencapai target agregasi trombosit. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan persentase agregasi trombosit antara <1 bulan, 1 bulan1 tahun, 1-2 tahun, dan >2 tahun dengan p=0.001, yaitu pada kelompok kurang dari 1 tahun dengan lebih dari 1 tahun, tetapi tidak terdapat perbedaan persentase agregasi trombosit antara dosis aspirin 80, 100, dan 160mg/hari dengan p=0,286. Penelitian ini juga membuktikan tidak ada hubungan antara persentase agregasi trombosit dengan lamanya konsumsi aspirin dengan r= 0,138 dan p=0,172. Kesimpulan: Pada penelitian ini terapi aspirin tidak efektif lagi setelah dikonsumsi lebih dari 1 tahun, baik dengan dosis 80, 100, maupun 160 mg/hari. Kata Kunci : aspirin, pemeriksaan agregasi trombosit, kegagalan terapi aspirin
MEDICINUS MEDICINUS

Juliani Dewi, Tinny Endang Hernowati

yang mengonsumsi aspirin dengan dosis 80160mg/hari. Penelitian ini menggunakan alat dan agonis kolagen dari Helena. Uji yang digu-

1563

PENDAHULUAN
Proses aterosklerosis mendasari sebagian besar kasus penyakit jantung koroner (PJK). Manifestasi klinisnya biasanya berupa infark jantung, stroke, angina, atau kematian mendadak (sudden death). Kejadiankejadian ini umumnya terjadi pada usia antara usia 5060 tahun pada laki-laki dan usia antara 6070 tahun pada wanita.1-4 Terjadinya aterosklerosis dimulai dengan terbentuknya plak. Bagian luarnya ditutupi oleh fibrous cap, yang apabila terjadi ruptur maka isi plak akan berhubungan langsung dengan darah, sehingga terjadi agregasi trombosis dan terbentuklah trombus.5 Terapi antiagregasi trombosit untuk mencegah terjadinya aterotrombosis bersifat jangka panjang. Selama beberapa dekade, terapi antiagregasi trombosit terfokus pada thromboxane pathway, dan jalur ini dihambat oleh aspirin.6 Dosis yang sering digunakan adalah 80160 mg/hari, karena dosis ini dinilai cukup efektif, dan mempunyai efek samping perdarahan yang lebih kecil dibandingkan dosis yang lebih tinggi.7 Beberapa penelitian membuktikan adanya peningkatan angka kejadian penderita yang tidak menunjukkan respon adekuat terhadap aspirin.7,8 Cara untuk mengetahui kegagalan terapi aspirin adalah dengan menilai fungsi trombosit. Yang menjadi standar baku emas saat ini adalah pemeriksaan agregasi trombosit.9 Sampai saat ini belum ada upaya untuk memonitor efektifitas terapi aspirin atau menilai adanya kegagalan terapi aspirin pada penderita yang mendapat aspirin

dosis 80160 mg/hari di poli penyakit jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Berdasarkan hal ini maka kami melakukan penelitian untuk melihat adanya hubungan antara persentase agregasi trombosit dengan lamanya konsumsi aspirin pada penderita aterosklerosis di poli penyakit jantung RSU Dr. Saiful Anwar Malang.

SAMPEL DAN METODE


Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Sampel diambil secara purposive sampling. Sampel diambil dari 100 orang yang mendapat terapi aspirin dengan dosis 80-160 mg/hari sebagai te-rapi antiagregasi trombosit. Seratus orang penderita tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing diwakili oleh 25 sampel, yaitu kelompok penderita yang telah menggunakan aspirin kurang dari 1 bulan, antara 1 bulan sampai 1 tahun, 1 tahun sampai 2 tahun, dan lebih dari 2 tahun. Masingmasing kelompok kemudian diperiksa agregasi trombositnya. Kriteria inklusi sampel meliputi orang yang mengonsumsi aspirin dengan dosis 80160 mg/hari, dewasa (17-55 tahun), laki-laki, 2 minggu terakhir tidak mengonsumsi antibiotika, beta-blockers, NSAIDs, dan antihistamin. Sedangkan kriteria eksklusi sampel bila wanita, berusia lanjut (>55 tahun), hiperlipidemi, penderita diabetes mellitus, perokok, anemia, terdapat insufisiensi ginjal, sedang minum obat-obatan seperti antibiotika, beta-blockers, NSAIDs, dan antihistamin. Pende-rita yang akan menjalani pemeriksaan ini harus berpuasa sedikitnya selama 8

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

64

jam dan diharapkan tidak menjalani olahraga berat dalam waktu 3 hari sebelum pemeriksaan.10,-12 Untuk pengumpulan sampel diperlukan tabung silikon vakum berisi 3,2% sitras yang sudah terukur, spuit 10 cc, kapas alkohol 70%, pipet dengan tip plastik, seperangkat alat pengukur agregasi trombosit yang meliputi cuvette, stir bar, seperangkat 4 channel platelet aggregation AggRAM Helena, dan CollagenHelena product 5368 100 g/ml sebagai agonis. Dalam penelitian ini, korelasi antara variabel persentase agregasi trombosit dengan variabel lama pemberian aspirin dilakukan dengan teknik korelasi Pearson (product moment). Penentuan nilai signifikansi suatu butir pertanyaan ditentukan dengan tingkat signifikansi 5%. Sedangkan uji beda persentase agregasi trombosit lama pemberian aspirin kurang dari 1 bulan, antara 1 bulan sampai dengan 1 tahun, antara 1 tahun sampai dengan 2 tahun, dan lebih dari 2 tahun, serta perbedaan persentase agregasi trombosit pada pemberian aspirin dengan dosis 80 mg/hari, 100 mg/hari, dan 160 mg/hari menggunakan Oneway Anova, kemudian dilanjutkan dengan post hoc tests. Darah vena diambil sebanyak 10 ml. Darah (9 bagian) dicampur dengan antikoagulan sodium citrate 3,2% (1 bagian) dan sisanya dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan EDTA untuk keperluan pemeriksaan hitung trombosit. Darah tersebut kemudian dipusing pada 1.000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang untuk mendapatkan platelet rich plasma (PRP). PRP dipindahkan dengan pipet plastik dan ditempatkan pada suatu wadah plastik bertutup. Sisa spesimen darah dipusing kembali pada 3.500 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan platelet poor plasma (PPP). Setelah itu PPP dipindahkan dengan pipet plastik dan ditempatkan pada wadah plastik bertutup. Konsentrasi platelet dalam PRP diatur menjadi 200300X109/L menggunakan PPP, dibiarkan tegak pada suhu ruang selama 30 menit. Tes harus sudah selesai dalam 3 jam setelah pengambilan darah. Aggregation level diatur pada aggregometer pada level 0% dan 100% menggunakan PPP dan PRP. Kemudian 0,45 ml PRP dipipet ke dalam cuvette dan stir bar dimasukkan. Setelah itu diinkubasi 37C selama 120 detik. 50 ml kolagen sebagai agonis agregasi ditambahkan langsung ke dalam cuvette, kemudian dibiarkan terjadi agregasi selama minimal 10 menit. Alat akan melakukan penghitungan secara otomatis. Salah satu dari metode untuk menghitung agregasi trombosit adalah rumus Weiss. Yaitu mengukur absorbansi (O.D) initial dan absorbansi (O.D) maksimum dengan memberikan hasil dalam persen agregasi. O.D Initial O.D Maximum --------------------------------------- X 100 = O.D Initial % Agregasi

Dilihat dari diagnosis responden, dari 5 responden penderita kelainan katup jantung, 2 orang mengonsumsi aspirin <1 bulan, dan 3 orang mengonsumsi aspirin antara 1 bulan1 tahun. Kelimanya dapat mencapai target terapi aspirin. Satu orang penderita Marfan syndrome yang mengonsumsi aspirin dengan dosis 160 mg/hari kurang dari 1 bulan mempunyai hasil pemeriksaan TAT >70,1%. Sedangkan dari 94 responden penderita penyakit jantung koroner, 59 responden dengan TAT >70,1%. Sebelas dari 59 responden dengan TAT >70,1% mengonsumsi aspirin <1 bulan, 10 responden mengonsumsi aspirin antara 1 bulan1 tahun, 21 responden mengonsumsi aspirin antara 1 tahun2 tahun, dan 17 responden mengonsumsi aspirin >2 tahun.
Tabel 2. Data deskriptif persentase agregasi trombosit responden yang dibagi menurut lamanya pemberian aspirin dibanding nilai target terapi (70,1%, lihat definisi operasionalnya) Lama Pemberian Aspirin <1 bulan 1 bulan-1 tahun 1 tahun-2 tahun >2 tahun Jumlah 70,1% (Target Terapi Tercapai) 14 (56%) 14 (56%) 4 (16%) 8 (32%) 40 >70,1% (Target Terapi Tidak Tercapai) 11 (44%) 11 (44%) 21 (84%) 17 (68%) 60 Jumlah

25 25 25 25 100

MEDICINUS

Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan persentase agregasi trombosit antara <1 bulan, 1 bulan1 tahun, 1-2 tahun, dan >2 tahun. Bila dilihat nilai rata-rata (mean) tampak terlihat bahwa kelompok waktu 1 bulan-1 tahun memiliki persentase agregasi trombosit paling rendah dibandingkan dengan kelompok waktu yang lain (tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji Oneway Anova perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan lamanya pemberian aspirin Rata-rata (Mean) Variabel Persentase agregasi trombosit <1 bulan 1 bulan1 tahun 1- 2 tahun >2 tahun Oneway Anova F htung Sig.

63.7240

62.8160

84.3480

76.5280

5.986

0.001

Tabel 4. Post hoc tests perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan lamanya pemberian aspirin
Multiple Comparisons Persentase Depender LSD Mean Difference (I-J) .90800 -20.62400* -12.80400* -.90800 -21.53200* -13.71200* 20.62400* 21.53200* 7.82000 12.80400* 13.71200* -7.82000 Std. Error 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 6.02301 95% Confidence Interval Lower Bound -11.0476 -32.5796 -24.7596 -12.8636 -33.4876 -25.6676 8.6684 9.5764 -4.1356 .8484 1.7564 -19.7756 Upper Bound 12.8636 -8.6684 -.8484 11.0476 -9.5764 -1.7564 32.5796 33.4876 19.7756 24.7596 25.6676 4.1356 Hambatan Agregasi Trombosit

Persentase agregasi inilah yang diambil sebagai hasil pemeriksaan dan dibandingkan dengan target pencapaian terapi.13

HASIL PENELITIAN
Dari 100 orang responden tersebut, 5% berusia antara 17-30 tahun, 10% berusia 30-40 tahun, dan 85% berusia 40-55 tahun. Lima orang responden mengonsumsi aspirin karena menderita kelainan katup jantung, dan 1 orang mengalami penyakit jantung bawaan akibat Marfan syndrome, sedangkan sisanya yaitu 94 orang mengonsumsi aspirin karena menderita penyakit jantung koroner, baik berupa iskemia maupun old myocard infarct.
Tabel 1. Distribusi responden menurut dosis aspirin dan lama pemberian aspirin Lama Dosis
80 mg/hari 100 mg/hari 160 mg/hari Jumlah

(I) Lama

(J) Lama

Sig.

<1 bulan

1 bulan-1 tahun 1-2 tahun >2 tahun <1 bulan 1-2 tahun >2 tahun <1 bulan 1 bulan-1 tahun >2 tahun <1 bulan 1 bulan-1 tahun 1-2 tahun

.880 .001 .036 .880 .001 .025 .001 .001 .197 .036 .025 .197

1 bulan-1 tahun

Pemberian 1 tahun2 tahun


20 1 4 25

Aspirin >2 tahun


19 5 1 25

<1 bulan
14 1 10 25

1 bulan1 tahun
19 1 5 25

Jumlah
72 8 20 100

1-2 tahun

>2 tahun

*. The mean difference is significant at the .05 level

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Tampaknya efektifitas aspirin, yang ditunjukkan dengan persentase agregasi trombosit, mulai berkurang jika aspirin dikonsumsi >1 tahun. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok lama konsumsi aspirin <1 bulan dengan 1 bulan1 tahun. Tetapi mulai berbeda bermakna bila dibandingkan dengan lama konsumsi aspirin >1 tahun. Demikian juga lama konsumsi aspirin >1 tahun tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan konsumsi aspirin >2 tahun (tabel 4).
Tabel 5. Hasil uji Oneway Anova perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan dosis aspirin Variabel Persentase agregasi trombosit Rata-rata (Mean) 80 mg 73.7222 100 mg 73.1625 160 mg 64.6050 Oneway Anova F hitung 1.267 Sig. 0.286

Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persentase agregasi trombosit yang bermakna antara dosis aspirin 80 mg, 100 mg, dan 160 mg. Meskipun bila dilihat nilai rata-rata (mean) tampak terlihat bahwa dengan dosis 160 mg persentase agregasi trombosit paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Tabel 6. Post host tests perbedaan persentase agregasi trombosit berdasarkan dosis aspirin Mean Difference (I-J) .55972 9.11722 -.55972 8.55750 -9.11722 -8.55750 95% Confidence Interval Lower Bound -16.2937 -2.3133 -17.4131 -10.3604 -20.5477 -27.4754 Upper Bound 17.4131 20.5477 16.2937 27.4754 2.3133 10.3604

rin, kemungkinan penyebab inilah yang ada kaitannya dengan tidak beresponnya responden pada penelitian ini dengan aspirin. Beberapa literatur tidak menyebutkan terapi spesifik untuk kelainan ini, oleh karena itu masih diperlukan penelitian lebih jauh efektifitas pemberian terapi aspirin pada penderita Marfan syndrome.16,17 Bila dibandingkan dengan rentang harga normal pemeriksaan agregasi trombosit menggunakan alat Helena di Laboratorium Paviliun RSU Dr. Saiful Anwar (87,6%-93,6%) dan target terapi aspirin 70,1% (20% nilai normal terendah) maka hanya pemberian aspirin <1 tahun saja yang mencapai target terapi berdasarkan pemeriksaan agregasi trombosit. Dengan kata lain terjadi resistensi terhadap aspirin setelah pemakaian aspirin jangka lama (>1 tahun). Sebanyak 60% responden mengalami resistensi aspirin. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan penelitian dari Hankey dan Eikelboom yang menemukan sedikitnya 75% penderita yang mendapat terapi aspirin yang masih mengalami kejadian kardiovaskular. Pada penderita-penderita yang mengalami resistensi aspirin ini perlu dipikirkan untuk mengganti jenis obat antiagregasi trombosit dengan kelompok dipyridamole atau thienopyridine. Selain itu perlu dipikirkan untuk pemberian secara alternating, meskipun hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa efektifitas terapi aspirin, yang ditunjukkan dengan persentase agregasi trombosit, menurun setelah dikonsumsi lebih dari 1 tahun, baik dosis 80 mg/hari, 100 mg/hari, maupun dosis 160 mg/hari, pada penderita laki-laki dewasa, yang tidak dalam keadaan hiperlipidemia, tidak menderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol, tidak merokok, tidak anemia, tidak terdapat insufisiensi ginjal, dan tidak sedang minum obat-obatan seperti antibiotika, beta blockers, NSAIDs, dan antihistamin.
Daftar Pustaka 1. Albert CM, Jing Ma, Rifai N, et al. Prospective study of C-reactive protein, homocysteine, and plasma lipid levels as predictors of sudden cardiac death. Circulation 2002; 105:2595-606 2. Rifai N, Ridker PM. High-sensitivity C-reactive protein; A Novel and promising marker of coronary heart disease. Clin chem 2001; 47:403-11 3. Biasucci LM, Liuzzo G, Grillo RL et al. Elevated levels of C-reactive protein at discharge in patients with unstable angina predict recurrent instability. Circulation 1999; 99:855-60 4. Middleton J. Effect of analytical error on the assessment of cardiac risk by the high-sensitivity C-Reactive protein and lipid screening model. Clin Chem 2002; 48:1955-62 5. Ross R. Atherosclerosis-an inflamatory disease. The New England Journal of Medicine 1999:115-17 6. Bhatt DL, Topol EJ. Scientific and Therapeutic Advances in Antiplatelet Therapy. Nature Reviews 2003 Jan 2;1:15-28. 7. Rodgers GM. Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, editors. Wintrobes Clinical Hematology. 10th ed. Baltimore, Maryland: Williams & Wilkins; 1999.p.1781818 8. Chow SL, Cheung RJ. Aspirin resistance: a growing concern. Skyscape 2006 April 1, Available from: e-mail:schow@westernu.edu 9. Brozovi M. Investigation of haemostasis. In: Dacie JV, Lewis SM. Practical Haematology. 7th ed. Singapore: Longman Singapore Publishers Pte Ltd; 1991.p.267-9 10. Smith JF. Platelet aggregation test. In: Smith JF. Medical Library 1999-2001. Wausau: The Thomson Corporation; 2001 11. Cutler C. Medical testsplatelet aggregation test. Adam Article Manager 2003 12. Partners healthcare Systems, Inc. Platelet aggregation. 2004 Nov 9. No CO003900 13. Olsen R. Interpretation of platelet aggregation. Australia: Helena Laboratories Pty Ltd. Prepared specially for Abadinusa customers in Indonesia 14. Mason PJ, Freedman JE, Jacobs AK. Aspirin resistance: Current concepts. Rev Cardiovasc Med 2004;5(3):156-63 15. Efthymios, Deljargyris, Boudoulas H. Aspirin resistance. Helenic J Cardiol 2004; 45:1-5 16. Pyeritz RE. Inherited disease of connective tissue. In: Goldman L, Ausiello D, editors. Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.1636-7 17. Robinson LK. Marfan syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.2338-40

80 mg 100 mg 160 mg

100 mg 160 mg 80 mg 160 mg 80 mg 100 mg

8.49156 5.75925 8.49156 9.53175 5.75925 9.53175

.948 .117 .948 .372 .117 .372

65

Tabel 7. Hasil uji korelasi Pearson (product moment) Variabel Lama pemberian aspirin Persentase Agregasi Trombosit r 0.138 p 0.172

Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terjadi hubungan yang signifikan antara persentase agregasi trombosit dengan lama pemberian aspirin, meskipun hubungan antara keduanya positif. Artinya jika lama pemberian aspirin mengalami peningkatan, akan terjadi kecenderungan peningkatan persentase agregasi trombosit dan demikian pula sebaliknya.

DISKUSI
Dalam mencari hubungan antara lama pemberian aspirin dengan persentase agregasi trombosit sebenarnya desain penelitian yang paling tepat adalah studi kohort, tetapi karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini menggunakan studi potong lintang (cross sectional). Pada penelitian ini, penurunan efektifitas aspirin terjadi setelah konsumsi aspirin >1 tahun. Selain waktu, faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan efektifitas aspirin kemungkinan adalah faktor-faktor intrinsik seperti peningkatan aktivitas COX-2, dan platelet alloantigen 2 (PLA2) polymorphism of platelet glycoprotein IIIa, karena faktor-faktor ekstrinsik yang sekiranya dapat mengganggu hasil pemeriksaan sedapat mungkin sudah disingkirkan.14,15 Pada Marfan syndrome terdapat mutasi gen prokolagen tipe I dan III, terjadi abnormalitas biosintesis fibrillin-I sehingga mengakibatkan terjadinya kelainan jaringan ikat. Meskipun belum ada penelitian yang menyebutkan hubungan mutasi ini dengan terjadinya resistensi aspi-

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

(I) dosis

(J) dosis

Std. Error

Sig.

original article
case report

Sutji Pratiwi Rahardjo, Eryadi Djamzuli


Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

MEDICINUS MEDICINUS

ABSTRAK. Ekstirpasi tumor-tumor faring merupakan tantangan bagi ahli THT, karena sempitnya akses ke daerah tersebut dan banyaknya struktur-struktur penting di sekitarnya. Oleh karena itu pengetahuan anatomi yang baik merupakan syarat mutlak untuk melakukan prosedur di daerah tersebut. Kami melaporkan satu kasus, seorang laki-laki 32 tahun dengan tumor yang besar dan mengisi rongga nasofaring, orofaring dan hipofaring. Hasil biopsi menunjukkan tumor adalah nodul reaktif suatu jaringan limfoid. Tumor berbatas tegas dan masih dilapisi oleh mukosa faring yang utuh. Operasi dilakukan dengan pendekatan transpalatal dan transhioid lateral faringotomi oleh karena sulitnya mengekstirpasi sempurna tumor yang sangat besar. Keluhan pasca operasi adalah disfagia motorik. Diduga komplikasi tersebut diakibatkan oleh trauma n. laryngeus superior. Pasien harus menjalani fisioterapi untuk memulihkan kembali fungsi menelan.
Kata kunci: Tumor faring, pendekatan transpalatal, transhyoid lateral pharyngotomy.

66

PENDAHULUAN
Tumor faring merupakan suatu tantangan bagi ahli THT, karena faring adalah bagian integral dari traktus aerodigestif bagian atas. Faring adalah kesatuan antara nasofaring, orofaring dan hipofaring yang hampir tidak nampak batas-batasnya secara anatomik dan fungsional. Struktur-struktur di atas memiliki fungsi yang multipel, seperti berbicara dan menelan, pertahanan imunologik dan respirasi. Tumor pada stadium lanjut akan menganggu fungsi-fungsi tersebut. Menurut asal tumor, biologi dan stadium pada saat ditemukan, sifat-sifat tumor faring bervariasi dari yang jinak, sampai ganas dan membutuhkan lebih dari satu jenis penanganan. Pencegahan dan diagnosis dini sangat penting supaya prognosis dan hasil fungsional operasi lebih baik.2,4 Evaluasi dan penanganan tumor faring memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dan embriologi yang relevan, keuntungan dan kelemahan sistem staging tumor, faktor etiologi, histopatologi, biologi tumor dan sifat-sifat klinis tumor. Pengetahuan yang baik mengenai beberapa pilihan terapi bedah dan non bedah sangat penting untuk melakukan konsultasi dengan pasien dan merencanakan terapi.1,2,3

tahun. Insidens menurut umur dan angka mortalitas akan meningkat sesuai peningkatan umur dan lebih tinggi 3 kali lipat pada pria dibandingkan dengan wanita.7,8

GEJALA KLINIS
Gejala dapat dibagi ke dalam tanda-tanda awal dan tanda-tanda lanjut. Tanda-tanda awal tumor faring sering diabaikan oleh penderita. Gejala-gejala tersebut berupa iritasi tenggorok, rasa terbakar bila memakan makanan yang asam-asam, benjolan pada leher dan odynophagia. Nyeri alih telinga unilateral juga sering ditemukan. Hemoptisis atau perdarahan melalui mulut juga dapat terjadi.2,3 Tanda-tanda lanjut meliputi disfagia, disartria atau Hot Potato Voice, trismus, gejala sumbatan jalan napas, otitis media serosa akibat sekunder dari obstruksi tuba eustasius, dan penurunan berat badan.5

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, 32 tahun, rujukan dari RS. Kendari Sulawesi Tenggara, datang ke RS Wahidin Sudirohusodo dengan: Keluhan utama: disfagia makanan padat dialami sejak 2 bulan yang lalu. Anamnesis: Makanan cair masih bisa ditelan sedikit-sedikit. Terdapat benjolan yang mengisi rongga mulut mulai sejak 6 bulan yang lalu. Odynophagia (+). Sesak dialami hanya bila beraktivitas atau posisi tidur telentang dan mendatar. Dalam keadaan istirahat, tidak dirasakan sesak maupun napas yang berbunyi.
Disartria (+), trismus (-), batuk-batuk (-).

INSIDENS
Di seluruh dunia, kira-kira ditemukan 390,000 kasus baru kanker cavum oris dan faring yang didiagnosis setiap tahun. Insidens tumortumor ini sangat tinggi di Asia Tengah, Afrika Selatan, dan Eropa. Data dari negara berkembang menunjukkan bahwa insidensnya pun meningkat.5,6 Di Amerika Serikat, insidens kanker mulut dan faring adalah 11,9/100,000 populasi per tahun dengan rerata 30,000 kasus baru per-

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Hidung tersumbat total (+).

Pemeriksaan Fisis: Tanda Vital: Tensi = 120/80 mmHg, Nadi = 100x/menit Pernapasan = 20x/mnt, pernapasan torakoabdominal, stridor (-), retraksi dinding dada (-). Rinoskopi Anterior: Tampak massa tumor di bagian posterior kavum nasi, mengisi penuh. Permukaan massa tumor halus tetapi tidak berlobi-lobi, tidak ada ulkus atau perdarahan lokal.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: dalam batas normal. Histopatologi: Kesan: reaktif lymphoid nodule dengan adanya peradangan kronik nonspesifik. Foto Thoraks: tidak ada kelainan CT Scan Kepala Potongan Koronal: kesan massa nasofaring dekstra meluas ke orofaring

67

Instruksi Pasca Operasi: IVFD RL: Dextrose 5%= 1:1= 24 tetes/mnt Cocktail (Kalnex, Vit K, Vit C, Adona)/500 cc cairan Cefotaxime 1 gr/ 12 jam/IV Metronidazole 500 mg/12 jam/drips Dexamethasone 1 amp/8 jam/IV Metamizole 500 mg/8 jam/IV Cimetidine 200 amp/8 jam/IV Bisolvon syrup 3x1 sdt Diet cair per NGT 8x200 cc (2.000 kkal), stop asupan oral sampai sutura di dinding faring menutup Hasil pemeriksaan histopatologi jaringan yang diperoleh saat operasi adalah Low Grade Sarkoma suspek Malignant Peripheral Nerve Sheath Tumor. Operasi lanjutan dilakukan dan tindakan ekstirpasi tumor dengan transhyoid pharyngotomy approach + transpalatal. Jalannya Operasi: Pasien baring telentang dalam GA melalui inhalasi zat anestesi lewat trakeostomi.

Diagnosis Kerja: Kesan jinak tumor pada dinding posterior faring. Tindakan: trakeostomi dilanjutkan dengan ekstirpasi massa tumor dengan pendekatan transpalatal. Jalannya Operasi: Pasien baring telentang dalam neuroleptik. Buat trakeostomi pada cincin trakea 3-4, pasang endotracheal tube, fiksasi dengan baik. Selanjutnya operasi dilakukan dengan anestesi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Faringoskopi: Massa tumor pada dinding posterior orofaring, permukaan halus, warna sama dengan mukosa sekitarnya. Massa melekat pada dinding lateral. Kanan orofaring. Celah masih ada sedikit antara tumor dengan dinding lateral kiri.

umum. Pasang mouth gag. Dilakukan infiltrasi mukosa palatum dengan lidocaine 2% secukupnya, tunggu 5 menit. Dengan pisau no. 15, buat insisi vertikal pada mukosa palatum molle tepat di sebelah kanan uvula, sampai kira-kira perbatasan palatum durum dengan palatum molle. Insisi diperdalam lapis demi lapis, berturut-turut mulai dari mukosa orofaring, musculus palatopharyngeus, sampai dengan mukosa kavum nasi. Tampak massa tumor pada dinding posterior faring menyatu dengan tepi lateral kanannya, sampai ke hipofaring. Kemudian dibuat insisi vertikal pada permukaan mukosa mulai dari lapisan atas tumor. Lapisan mukosa dilepaskan dengan menggunakan artery clamp, dan raspatorium, dari massa tumor yang berkapsul dengan permukaan yang halus dan tidak berbenjol-benjol. Tumor sukar dilepaskan dari dasarnya (dinding posterior) dan hanya sebagian kecil tumor yang dikeluarkan. Pada waktu melepaskan tumor dari dinding lateral kanan terjadi perdarahan yang sukar diatasi, sehingga diputuskan untuk mengakhiri operasi dan segera luka insisi dijahit dengan jahitan yang rapat. Palatum dijahit lapis demi lapis, lapisan otot dan mukosa nasal dengan benang vicryl 3-0 dan mukosa orofaring dengan benang prolene 3-0.

MEDICINUS

Buat landmark insisi dengan spidol, dengan collar incision, mulai dari angulus mandibula D/S lalu ditarik garis setengah lingkaran yang melalui os hyoid Infiltrasi daerah insisi dengan lidocaine 2%, tunggu 5 menit Buat insisi lapis demi lapis, mulai dari kulit, subkutan, platisma, fasia servikalis sampai laring teridentifikasi Dengan kauter, os hyoid dipisahkan dari perlekatannya dengan musculus genichyoideus dan mylohyoideus. Kemudian dengan gunting kosta, os hyoid dipatahkan di midline. Tampak massa tumor yang permukaannya halus pada dinding posterior dan melekat pada dinding lateral faring. Membran thyrohyoid kanan diinsisi untuk semakin membuka akses terhadap tumor dan a. laringeus superior dipotong. Karena tumor masih meluas sampai ke orofaring dan nasofaring, maka dilakukan insisi pada palatum molle pada tempat bekas insisi operasi pertama. Tampak massa tumor yang kenyal, dengan permukaan halus dan berbatas tegas. Massa tumor mulai ditemukan dari nasofaring sampai ke hipofaring. Daerah glotis dan supraglotis tidak ditemui massa tumor. Mukosa faring di atas massa tumor lalu diinsisi, dan tumor berusaha dilepaskan dari jaringan sekitarnya secara tumpul lapis demi lapis. Setelah berusaha, massa tumor tidak dapat dilepaskan secara in toto. Sehingga massa tumor dilepaskan secara mencabik-cabik dengan cutting forceps sampai kesan bersih. Kontrol perdarahan. Jahit kembali mukosa faring yang diinsisi secara primer setelah membuang jaringan yang berlebihan. Insisi palatum dijahit lapis demi lapis.

Pasien setelah operasi

DISKUSI
Tumor faring merupakan kasus yang menantang bagi para ahli bedah. Hal tersebut disebabkan karena kompleksnya struktur pembuluh darah dan saraf yang berada pada daerah tersebut. Selain hal tersebut, penanganan jalan napas harus menjadi perhatian serius.4,5 Pada kasus ini dilakukan dua kali operasi untuk melakukan ekstirpasi tumor orofaring yang sudah ekstensi ke nasofaring dan hipofaring. Pasca operasi, terjadi keluhan berupa disfagia motorik, yang terjadi akibat paralisis n. X.6,8 Dilakukan fisioterapi selama 3 minggu, terdapat perbaikan signifikan yang menunjukkan pasien dapat menelan kembali.

KESIMPULAN
Pada operasi pertama hanya dilakukan ekstirpasi sebagai tumor melalui insisi transpalatal oleh karena terjadi perdarahan massif pada massa tumor, sehingga memperburuk visualisasi laporan operasi. Sedangkan operasi kedua dipilih cara transhioid faringotomi karena mampu menjangkau tumor yang sudah masif ke hipofaring. Keuntungan teknik ini adalah dapat mempertahankan kontinuitas mandibula dan dapat melakukan penutupan primer pada defek, tetapi perlunya pemeriksaan secara cermat lokasi tumor melalui palpasi, pemeriksaan radiologi dan endoskopi.
Daftar Pustaka 1.Bailey BJ. Partial anterior glosectomy. In: Atlas of Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia:Lippincott Williams Wilkins, 2001.p.66-7 2.Beasley P. Anatomy of the pharynx and oesophagus. In: ScottBrowns Otolaryngology. 6th ed. United Kingdom:Butterworth Heinemann, 1997.p.1/10/20-1 3. Boies LR, Adams GL, Hilger PA. Anatomi dan embriologi faring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT. ed 6. Jakarta:EGC, 1997.p.270 4. Gassner HG, Sabri N, Olsen K. Oropharyngeal malignancy. In: Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th ed, Vol. 2. Philadelphia:Elsevier Mosby, 2005.p.1736-9 5. Lee KJ. Carcinoma of the oral cavity and pharynx. In: Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. Vol 2. New York:McGraw-Hills, 2003.p. 582-8 6. Lore JM, Medina JE. Resection of carcinoma at posterior wall of hypopharynx and oropharynx and radical neck dissection (lateral pharyngotomy approach). In: An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia, 1988.p.1182-5 7. Maves M. Surgical anatomy of the head and neck. In: Bailey B, ed. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed. New York:Lippincott-Raven, 1998.p.17-9 8. Munir M. Tumor ganas rongga mulut. Dibawakan dalam: Makalah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher. Sub Bagian FKUI, Jakarta, 2003 9. Seikaly H, Christopher CH. Oropharyngeal cancer. In: Bailey B, ed. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed. New York:Lippincott-Raven, 1998.p. 1661-4 10.Spector G. Anatomi perkembangan laring. Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. (bahasa Indonesia) Ed 13. Vol 1. Jakarta:Binarupa Aksara, 1994.p.319-21

68

Pasca operasi : Di bawah laporan operasi

CT Scan setelah operasi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

original article
case report

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar


ABSTRAK. Abses retrofaring sering dijumpai pada anak namun jarang pada orang dewasa. Penyebab pada orang dewasa adalah trauma dinding retrofaring, TBC servikal dan infeksi banal yang berasal dari struktur sekitarnya seperti: tonsil, faring dan sinus paranasalis. Dilaporkan satu kasus tonsilitis peritonsilitis akut dengan komplikasi multipel berupa abses retrofaring dan pneumonia masif yang jarang terjadi pada seorang laki-laki, 22 tahun. Kasus ini berhasil ditangani dengan insisi transoral dan pemberian berbagai macam antibiotik mulai dari cefuroxime axetil, ciprofloxacin dan ceftazidine penthahydrate.
Kata kunci : Tonsilitis Akut, Abses Retrofaring, Pneumoni.

Sutji Pratiwi Rahardjo

PENDAHULUAN
Abses retrofaring adalah timbuan nanah pada ruang retrofaring.1,6,13,14 Ruang retrofaring terletak di antara dinding posterior faring (fascia buccopharyngealis) dan fascia prevertebralis.1,3,5,13,14 Abses retrofaring dapat terjadi pada semua umur tetapi lebih banyak ditemukan pada bayi dan anak kecil, biasanya dalam bentuk akut sedangkan bentuk kronis lebih sering pada orang dewasa.2,5,7,8,12-14 Pada umumnya dengan penanganan yang optimal adekuat, abses retrofaring biasanya dapat disembuhkan dengan baik tetapi bila terjadi komplikasi maka penanganan dan kesembuhan akan menjadi lebih sulit.13,14 Salah satu komplikasi yang mungkin terjadi adalah abses yang pecah spontan sehingga menyebabkan pneumonia dan asfiksia. Selain itu bila terjadi perdarahan masif membutuhkan ligasi arteri karotis. Infeksi dapat meluas ke mediastinum mengakibatkan terjadinya mediastinitis.1,2,6,10,14

seperti faringitis akut dan tonsilitis akut yang hebat. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi benda asing misalnya tulang ikan atau tindakan medis seperti anestesia lokal (jarum tidak steril), intubasi endotrakea dan tindakan endoskopik. Abses ini terdapat di depan fascia prevertebralis dan menonjol ke dalam faring. Penyebab infeksi biasanya karena ditemukan kuman aerob dan anaerob secara bersamaan.1,2,5,6,10 Abses retrofaring kronik terletak di bagian dorsal fascia prevertebralis dengan kuman tuberkulosis.1,2,5,6,10

69

DIAGNOSIS
Secara anamnesis abses retrofaring pada anak biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas, demam, kesukaran menelan disertai nyeri dan pembengkakan pada leher. Pada pemeriksaan tenggorok dapat terlihat dinding retrofaring menonjol (bombans) dan tampak berwarna merah. Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi kurang baik, terdapat kekakuan otot leher, leher sedikit hiperekstensi disertai nyeri pada penekanan. Jika pembengkakan dinding posterior faring semakin besar dapat timbul perubahan suara, hipersalivasi, sendi leher menjadi kaku dan kesukaran bernafas. Keadaan di atas menjadi tanda kegawatan yang harus segera ditangani. Bila terjadi ruptur spontan dari abses tersebut akan terjadi sesak napas berat oleh karena aspirasi pus yang dapat menimbulkan pneumonia aspirasi, abses paru dan sepsis. Pada orang dewasa biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior, pasca tindakan endoskopi atau riwayat batuk kronik. Gejala yang timbul tidak begitu berat, biasanya terdapat sakit menelan, kesukaran menelan yang ringan, nyeri leher dan keterbatasan gerak leher serta gejala lain sesuai penyebabnya.1,2,5,6,7,13 Pemeriksaan Penunjang X-foto leher pada abses retrofaring akibat proses akut tampak soft tissue yang tebal di depan vertebra servikalis sehingga terdapat pertambahan jarak antara rongga faring dengan korpus vertebra dan mungkin terlihat gambaran air fluid level pada jaringan lunak retrofaring.1,2,5-7,13,14 Abses retrofaring akibat proses kronis didapatkan adanya klasifikasi pada kelenjar limfa dan kerusakan pada korpus vertebra servikalis serta jarak dinding faring dan korpus vertebra bertambah.5,7,13,14 X-foto toraks untuk mengetahui adanya pneumonia aspirasi, me-

ANATOMI
Ruang retrofaring terletak di antara dinding posterior faring dan fascia prevertebralis dan merupakan rongga potensial yang mengelilingi faring dan esofagus di bagian anterior dan bagian luar lapisan dalam fasia servikal profunda di bagian posterior. Ruang retrofaring ini meluas dari permukaan anterior dasar oksiput kira-kira setinggi prominensia vertebra servikal dua ke bawah sampai mediastinum posterior. Di sebelah lateral berhubungan dengan ruang parafaring. Kelenjar limfa retrofaring umumnya terdiri dari 2 sampai 5 kelenjar, terletak di belakang dinding posterior faring. Kelenjar limfa retrofaring ini menampung aliran limfa dari otot-otot dan tulang-tulang yang berdekatan, sinus paranasal, faring, telinga tengah, telinga dalam serta tuba eustachius.3,5,12

INSIDENS
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur namun jarang pada orang dewasa. Pada anak ditemukan usia antara 3 bulan hingga 5 tahun. Pada orang dewasa kelenjar limfa retrofaring sudah mengalami atrofi.1,10

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Abses retrofaring akut pada bayi dan anak kecil terjadi dari limfadenitis retrofaring sebagai komplikasi dari infeksi saluran napas atas

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

diastinitis dan tuberkulosis.1,3 Punksi aspirasi merupakan tindakan diagnostik yang penting.8 Kultur dan uji kepekaan.8 Diagnosis Banding 1. Malformasi oleh penonjolan korpus vertebra. 2. Aneurisma arteri.4

PENATALAKSANAAN
Pada abses retrofaring akut harus segera diberikan antibiotik yang adekuat secara parenteral. Trakeostomi bila terdapat obstruksi jalan napas, selanjutnya disiapkan untuk tindakan insisi dan drainase pus. Insisi vertikal dilakukan pada titik di mana terdapat pembengkakan yang paling menonjol secara transoral atau eksternal pada posisi trendelenberg dan kepala hiperekstensi untuk mencegah terjadinya aspirasi, selanjutnya insisi diperlebar dengan hemostat.1,2,4,7,9,13,14 Pada abses retrofaring kronik umumnya dilakukan insisi eksternal untuk drainase pus melalui bagian posterior dari muskulus sternocleidomastoideus kemudian diberikan terapi spesifik dengan tuberkulostatik.1,2,4,7,14

KOMPLIKASI
1. Aspirasi, abses yang pecah spontan dapat mengakibatkan asfiksia, pneumonia dan empiema. 2. Perdarahan 3. Mediastinitis 4. Septikemia1,2,6,10,14
MEDICINUS

PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh kecermatan diagnosis dan ketepatan tindakan. Bila pemberian antibiotik dan tindakan insisi yang tepat dan adekuat, maka prognosis umumnya baik, tetapi bila keadaan di mana sudah terdapat komplikasi berupa pneumonia aspirasi, abses paru ataupun mediastinitis, prognosis akan menjadi kurang baik apalagi bila kuman penyebabnya fulminans.13,14

tonsilitis, tidak ada riwayat tertusuk duri ikan, batuk dan sakit paruparu tetapi kemudian pada perjalanan penyakit keadaan ini berkembang terjadi komplikasi abses retrofaring dan pneumoni masif di mana penanganan yang dilakukan adalah tindakan insisi transoral, drainase pus dan pemberian berbagai macam antibiotik berturut-turut mulai dari cefuroxime, ciprofloxacin dan akhirnya dengan ceftazidine pentahydrate baru dapat memberikan respons dan kesembuhan. Pada hari kesepuluh tampak keadaan umum penderita melemah disertai sesak napas dan hemoptisis, pus tetap banyak dan foeter. Penderita dimasukkan ke ICU untuk perawatan intensif. X-foto leher, kesan abses prevertebralis kanan leher dan daerah bahu kanan disertai penyempitan lumen trakea, x-foto toraks kesan pneumonia masif kanan. Paru kiri, jantung dan diafragma dalam batas-batas normal. Selanjutnya dikonsulkan ke bagian penyakit dalam (sub divisi pulmonologi), jawaban kesan masif atelektasis paru kanan dengan diagnosis banding pneumoni yang luas. Seminggu kemudian keadaan menjadi lebih baik, tidak sesak napas dan pus berkurang. X-foto toraks ulangan kesan foto sudah lebih baik dibandingkan dengan foto lama. Setelah pasien dirawat 30 hari, keadaan umum baik, tidak sesak, tidak ada abses dan luka insisi membaik. Hasil x-foto toraks gambaran pneumonia sudah tidak ditemukan dan dikatakan pasien ini telah sembuh Komplikasi pneumonia masif ini mungkin terjadi akibat aspirasi pus pasca insisi yang merupakan komplikasi abses retrofaring yang bisa terjadi.7,9,10,11 Kegunaan kasus ini dapat diperlihatkan dengan menggunakan berbagai antibiotik menunjukkan adanya kuman penyebab tonsilitis+peritonsilitis yang diduga sangat fulminans, sehingga terjadi komplikasi abses retrofaring dan pneumonia masif walaupun telah diberikan bermacam-macam golongan antibiotik.

KESIMPULAN
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi bakteri maupun virus. Akibat pengobatan dari tonsilitis akut yang tidak adekuat dan adanya faktor predisposisi berupa rangsangan menahun dari rokok, higiene mulut yang buruk, beberapa jenis makanan, pengaruh cuaca, dan lain-lain sehingga dapat mengakibatkan komplikasi multipel berupa abses retrofaring dan pneumonia masif, seperti yang terjadi pada kasus ini.
Daftar Pustaka 1. Adam GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi VI, ECG, 1994.p.347-8 2. Arfandy BR. Bahan kuliah laring faring, Lab. Ilmu Penyakit THT, FK.UH, Ujung Pandang, 1989.p.6-7 3. Bailey BJ. Deep neck space infections. Head and Neck Surgery otolaryngology Philadelphia, 1993.p.738-41 4. Ballantyne J. Surgical treatment of parapharyngeal and retropharyngeal abcess, operativesurgery nose and throat II. London:Butterworths, p.166-7 5. Ballenger L. Ruang-Ruang Fascia, Penyakit THT Kepala dan Leher. edisi 13, Jakarta:Bina Rupa Aksara, 1994.p.295-8 6. Basjroh R., Abses Retrofaring, Faringologi. Bandung:Penerbit Alumni, 1986.p. 117-20 7. Becker W, et al. Clinical aspect of diseases of the mouth and pharynx, ear, nose and throat diseases. Thieme Flexibook, ed.2nd, New York, 1993.p.360-1 8. Cody DTR. Abses retrofaring, penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1993.p.309 9. Dolowitz D. The Throat, Basic Otolaryngology. New York, 1964.p.351-52 10.Fachruddin D. Abses leher. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit THT, edisi III. Jakarta:FKUI, 1997.p.184-7 11.Kusuma H. Infeksi leher. Dalam: KONAS XI PERHATI, Yogyakarta, 1995.p. 38393 12.Scott BA and Stiernberg C. Deep Neck Space Infection, Head and Neck Surgery Otolaryngology, ed. Byron J. Bayley, JB Lippincontt Co., Philadelphia, 1993, pp.738-80. 13.Purnama H. Abses retrofaring. KONAS XI PERHATI, Yogyakarta, 1995.p.37380 14.Schenck. Diseases of The Pharynx and Fauces. In: Jackson & jackson., editor Diseases of The Nose, Throat, and Ear. Philadelphia:WB Saunders Co., 1959.p. 246-7

70

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, 22 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam, odynophagia dan disfagia. Sebelumnya tidak terdapat riwayat tertusuk duri ikan, batuk dan sakit paru-paru. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum baik, kompos mentis, tidak sesak napas, 16 x/menit, nadi 80 x/menit, suhu 380C. Jantung, paru-paru dalam batas-batas normal. Status THT: telinga dan hidung normal. Faringoskopi T2-T2 hiperemis, detritus ada dan hiperemis pada daerah peritonsil. Dinding posterior faring normal, tak tampak adanya penonjolan. Diagnosis pada saat ini adalah tonsilitis peritonsilitis akut. Terapi yang diberikan cefuroxime 750 mg/8 jam/IV dan novalgin 1 ampul/8 jam/IV. Keesokan harinya tampak leher membengkak dan ada penonjolan pada dinding posterior faring yang pada pemeriksaan x-foto leher, didapatkan kesan abses prevertebralis. Pemeriksaan laboratorium darah rutin kesan normal (Hb: 18,7 gr %, leukosit: 7100/mm3, trombosit 220.000/mm3, waktu perdarahan 150, waktu pembekuan 1315). Dilakukan insisi transoral pus (+) dan foetor. Kemudian dikirim ke bagian mikrobiologi untuk pemeriksaan mikroorganisme, uji kepekaan dan BTA. Hasil pemeriksaan mikroorganisme dan uji kepekaan, basil tahan asam, bakteri gram positif tidak ditemukan. Kultur tidak ada pertumbuhan. Terapi diberikan cefuroxime 750 mg/8 jam/IV, flagyl 500 mg/12 jam/ infus dan oradexon 1 ampul/ 8 jam/IV. Setiap hari dilakukan drainase abses, pus tidak berkurang malah bertambah terapi diganti dengan ciprofloxacin 400 mg/8 jam/infus, flagyl 500 mg/12 jam/infus.

DISKUSI
Pada kasus ini pasien datang hanya dengan tonsilitis akut dan peri-

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

medical review

Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM


ABSTRAK. Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang cukup banyak di masyarakat. Menurut data JNC-7, hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi. Bila hipertensi tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan masalah lain berupa komplikasi berbagai organ penting. Hampir sebagian besar kasus hipertensi adalah hipertensi primer dan sebagian kecil merupakan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyebab lain. Memang tidak mudah untuk menentukan apakah hipertensi primer atau sekunder yang diderita pasien. Untuk itu dibutuhkan beberapa test untuk menentukan jenis hipertensi. Dengan mengetahui penyebab hipertensi sekunder, maka penatalaksanaan hipertensi akan lebih baik.

Ismail Yusuf

PENDAHULUAN
Definisi Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memiliki risiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Menurut JNC-7, kriteria hipertensi adalah tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg. JNC-7 2003 membagi hipertensi menjadi 2 stadium sedangkan pedoman lain masih membagi dalam 3 derajat hipertensi. Pada JNC-7 2003 TDS 120-139 mmHg atau TDD 80-89 mmHg dimasukkan dalam klasifikasi prehipertensi, di mana pedoman lain menyebutkan nya sebagai tekanan darah normal atau normal tinggi, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran individu akan risiko terjadinya hipertensi sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk memperlambat perkembangan penyakit.2-5
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa berdasarkan JNC-7 20034 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 TDS (mmHg) <120 120-139 140-159 160 TDD (mmHg) dan <80 atau 80-89 atau 90-99 atau 100

ETIOLOGI
Walaupun pemahaman mengenai patofisiologi peningkatan tekanan darah semakin meningkat, namun 90-95% etiologi hipertensi masih belum diketahui (hipertensi primer). Pada tabel 2 dapat diketahui berbagai bentuk hipertensi dan keadaan yang menyebabkannya (hipertensi sekunder).4,8
Tabel 2. Faktor risiko penyakit kardiovaskular Faktor risiko utama hipertensi usia (> 55 tahun untuk pria dan >65 tahun untuk wanita) diabetes mellitus peningkatan kolesterol LDL (atau total) atau penurunan kolesterol HDL laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit riwayat penyakit jantung dalam keluarga (<55 tahun pada pria atau <65 tahun pada wanita) mikroalbuminuria obesitas (body mass index >30 kg/m2 aktivitas fisik kurang merokok, terutama cigarette

Klasifikasi ini tidak mengelompokkan hipertensi dengan atau tanpa faktor risiko atau kerusakan target organ.

EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan penatalaksanaan yang baik. Di Amerika Serikat sekitar 50 juta penduduk mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg. Beberapa faktor yang mempeng-aruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi dan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.7 Di Indonesia belum ada penelitian nasional multicenter yang menggambarkan prevalensi secara tepat. Boedhi Darmojo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8-28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah pasien hipertensi. Pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Terlihat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan, seperti pada penelitian Susalit E laporan yang mendapatkan angka 14,2% pada masyarakat di pinggiran kota Jakarta. Syakib Bakri dan kawankawan mendapatkan prevalensi hipertensi 11,75% pada kelompok industri, 9,75% pada kelompok nelayan, dan 7,92 pada kelompok tani di

Kerusakan target organ Jantung Otak stroke atau transient ischemic attack demensia hipertrofi ventrikel kiri infark miokard angina riwayat revaskularisasi koroner gagal jantung

Penyakit ginjal kronik Penyakit arteri perifer Retinopati

Semakin tinggi tekanan darah, maka akan semakin tinggi kemungkinan untuk mengalami serangan jantung, gagal jantung, stroke dan

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Ujung Pandang.7 Data di atas menggambarkan bahwa masalah hipertensi perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik, mengingat prevalensi yang tinggi dan komplikasi yang ditimbulkan cukup berat. Dari uji klinik diketahui bahwa dengan penatalaksanaan yang baik, dapat mengurangi insiden stroke 35-40%, infak miokard 20-25%, dan gagal jantung >50%.4,6

71

penyakit ginjal. Systolic Blood Pressure (SBP) adalah faktor risiko utama Cardiovascular Disease (CVD) di samping faktor-faktor risiko yang lainnya (tabel 2).3,4

PATOGENESIS
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Di dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem kontrol tersebut ada yang bereaksi segera seperti refleks kardiovaskular melalui baroreseptor, refleks kemoreseptor, respon iskemia susunan saraf pusat, dan refleks yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis dan otot polos; sistem yang bereaksi kurang cepat dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresor; dan bereaksi jangka panjang dengan melibatkan ginjal.6,7 Pada hipertensi primer terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi peningkatan tekanan darah berupa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan sisten renin-angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer meningkat karena refleks autoregulasi. Oleh karena curah jantung meningkat terjadi konstriksi sfingter prekapiler yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan peninggian tahanan perifer. Kelainan hemodinamik tersebut diikuti pula kelainan struktural pada pembuluh darah dan jantung. Pada pembuluh darah terjadi hipertrofi dinding, sedangkan pada jantung terjadi penebalan dinding ventrikel.6 Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi membran sel dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural. Faktor lain yang berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor. Berbagai promotor pressor-growth bersama dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskular akan menyebabkan peninggian tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah. Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) telah membuktikan adanya defek transpor Na+ dan atau Ca+ lewat membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau oleh peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular. Selain itu juga terjadi perubahan intraseluler di mana kenaikan kadar Na+ intraseluler akibat penghambatan pompa Na+ akan meningkatkan kadar Ca+ intraseluler sehingga menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah maupun konstriksi fungsional yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah yang menetap.6 Sistem renin, angiotensin dan aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi, dimana renin berperan pada konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang mempunyai efek vasokonstriksi dan angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan retensi Na+ dan air.6 Studi pasien Framingham melaporkan adanya korelasi antara gangguan toleransi glukosa dan hipertensi. Selain itu ada penelitian yang melaporkan bahwa pada pasien hipertensi tanpa pengobatan, kadar insulin darah meningkat setelah pembebanan glukosa pada tes toleransi glukosa oral yang sejalan dengan peningkatan kadar glukosa darah. Pada keadaan hiperinsulinisme kemungkinan terjadi pengaktifan saraf simpatis, peningkatan reabsorpsi Na+ oleh tubulus proksimal dan gangguan transport membran sel berupa penurunan pengeluaran Na+ dari dalam sel akibat kelainan pada sistem Na+K+ATPase dan Na+H+ exchanger dan terganggunya pengeluaran ion Ca+ dari dalam sel. Akibat peningkatan kadar ion Na+ dan Ca+ di dalam sel terjadi peninggian sensitivitas otot polos pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktor sehingga terjadi peninggian kontraktilitas. Sementara itu kadar ion H+

intrasel merendah (alkalosis intraseluler) akan meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah.6 Faktor lingkungan seperti stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi primer. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal sedangkan aktivitas saraf simpatis meningkat dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Rokok dan alkohol juga dihubungkan dengan hipetensi.6

HIPERTENSI SEKUNDER1,2,8,9
Sekitar 5%-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya (tabel 3). Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, dapat diketehui penyebabnya.
Tabel 3. Penyebab hipertensi sekunder Penyebab Penyakit parenkim ginjal Penyakit renovaskular Aldosteronisme Penyakit tiroid Feokromositoma Sindrom cushing Obat Kehamilan Prevalensi % 5 0,5-5 0,5-1 0,5-1 <0,2 <0,2 0,1-1 0,1-1 Sumber: nephrology and HT

MEDICINUS

Dengan menanyakan riwayat keluarga, riwayat hipertensi sebelumnya, dan refakter dengan pengobatan dapat mengarahkan diagnosis hipertensi sekunder.1,7,8 Gejala Klinis Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang gejala didominasi penyakit dasarnya dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala seperti sakit kepala (biasanya oksipital), epistaksis, pusing dan migren. Pada survei hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai, selain gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak napas. Rasa berat di tengkuk, mata berkunangkunang, palpitasi, dan mudah lelah juga banyak dijumpai.4,6 Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Selain itu juga dapat ditemukan gejala penyakit yang mendasarinya (misalnya sakit kepala, palpitasi, diaforesis, dan pusing postural pada feokromositoma).4,6 Penyakit Parenkim Ginjal Penyebab hipertensi yang disebabkan penyakit parenkim ginjal adalah yang terbanyak. Penyakit ini berasal dari penyakit-penyakit glomerular, tubulointerstisial dan penyakit ginjal polikistik. Banyak kasus yang terjadi adalah karena retensi air dan garam tapi sekresi renin dan angiotensin juga ikut berperan. Hipertensi yang terjadi akan menyebabkan fungsi ginjal menurun. Oleh karena itu target tekanan darah adalah <130/85 mmHg untuk mengurangi risiko penurunan fungsi ginjal. Dilatasi arteriol efferen dengan penghambat ACE akan mengurangi progresivitas penurunan fungsi ginjal. Calsium antagonist juga dapat digunakan di samping diet rendah garam. Penyakit Renovaskular Penyakit ini lebih banyak pada usia muda dan penyebabnya adalah fibromuskular hiperplasia. Penyebab lain adalah aterosklerosis yang menyebabkan stenosis arteri renalis proksimal. Mekanismenya adalah produksi renin yang meningkat karena aliran darah ke ginjal yang berkurang dan akhirnya rentensi garam dan air. Penyakit renovaskular harus dipikirkan bila8,9

72

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

1. Usia di bawah 20 tahun. 2. Terdengar bruits pada auskultasi epigastrium. 3. Jika terdapat aterosklerotik di aorta dan arteri perifer (15-25% pasien dengan gejala aterosklerotik di ekstremitas didapatkan stenosis arteri renalis). 4. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah pemberian ACE inhibitor. 5. Hipertensi resisten dengan 2 atau lebih obat. 6. Cenderung menjadi hipertensi maligna. 7. Riwayat merokok. 8. Edema paru berulang. 9. Ukuran ginjal yang tidak sama >1,5 cm. 10. Hipokalemi dan alkalosis (curiga hipoaldsteronisme). Tidak ada tes yang ideal untuk skrining hipertensi karena penyakit renovaskular. Walaupun demikian pemeriksaan arteriografi dapat dilakukan. Pemeriksaan lain adalah captopril challenge test dan USG doppler. Persiapan captopril challenge test: 1. Kecurigaan hipertensi renovaskular. 2. Kreatinin tidak lebih dari 2,5 mg/dl, penyakit cerebrovascular dan tidak ada edema. 3. Antihipertensi dan diuretik distop > 10 hari atau diganti labetolol/ kalsium antagonis. 4. Captopril 50 mg. Monitor tekanan darah. 5. Darah diambil setelah 60 menit pemberian captopril. 6. Captopril > 5,7 ng/ml/jam merupakan menunjukkan hasil yang positif. Pengobatan Tujuan adalah perbaikan tekanan darah. Percutaneus transluminal renal angioplasty (PTRA) dapat mengatasi stenosis sekitar 80%. Pheochromocytoma Hipertensi yang sebabkan oleh karena sekresi katekolamin. Neural crest adalah sel yang terdapat pada medula adrenal, ganglion autonom, organ Zuckendal (terletak anterio bifurcatio aorta), dan kandung kemih. Pheochromocytoma dapat terjadi di tempat-tempat tersebut tetapi hampir 90% adalah di adrenal. Pheochromocytoma adalah penyakit yang diturunkan secara genetik autosom dominan. Gejala klinis Hipertensi adalah klinis yang sering terjadi dapat berkembang menjadi hipertensi berat bila tiba-tiba katekolamin meningkat. Gejala lain adalah sakit kepala, gemetar, banyak keringat, cemas, dan tremor. Katekolamin yang meningkat biasanya karena aktivitas, defekasi, berkemih, anestesi, dan obat-obatan seperti vasodilator. Kecurigaan penyakit ini bila hipertensi disertai dua dari gejala (sakit kepala, banyak keringat, dan palpitasi), hipertensi paroksismal, dan tekanan diastolik >120 mmHg. Test diagnosis dapat dilakukan dengan (clonidin test): 1. Beta bloker dan diuretik distop 2 minggu. 2. Berikan antihipertensi pada hari pemeriksaan. 3. Pasien berbaring dengan IV line selama 30 menit sebelum dan selama test. 4. Berikan clonidin 0,3 mg oral. 5. Periksa katekolamin plasma sebelum dan 3 jam sesudahnya. 6. Test positif bila kadar katekolamin > 500 pg/ml atau tekanan darah tidak turun sedikitnya 50%. Tingkat sensitivitas test ini mencapai 95%. Cara noninvasif yaitu dengan CT scan dan MRI. Pengobatan Adalah operasi pengangkatan tumor. Kombinasi -blocker dan -blocker dapat digunakan dalam pengobatan. Hiperaldosteronisme Primer Adalah hipertensi akibat peningkatan aldosteron tanpa peningkatan renin. 60% kasus biasanya karena adenoma di zona sel glomeru-

losa (APA = aldosteron producing adenoma) yang disebut juga Conns syndrome. Selebihnya adalah idiopatik hiperaldosteronisme (IHA). Kondisi ini dapat didiagnosa dengan menekan ACTH oleh dexametasone. Hipertensi terjadi karena retensi cairan dan natrium. Pada kasus ini juga terjadi perubahan ekskresi K+ dan H+ sehingga terjadi hipokalemi dan alkalosis metabolik. Jadi dapat ditegakkan diagnosis bila didapatkan hipokalemi tanpa penggunaan diuretik, kadar renin yang rendah, dan kadar Natrium > 140 mEq/L.

Gejala klinis lain akibat hipokalemi: Kelemahan otot. Aritmia. Hipotensi ortostatik karena disfungsi autonom. Poliuria karena gangguan pemekatan urin. Insulin resistensi.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes skrining: 1. Pengukuran kadar kalium urin dalam 24 jam. Biasanya >140 mEq/L. 2. Perbandingan kadar aldosteron plasma aktivitas renin plasma 50100. 3. Ekskresi aldosteron urin yang meningkat. Untuk membedakan APA dan IHA dapat dilakukan saline suppresion test dan postural stimulation test. Saline suppression test adalah: dilakukan infus NaCl 0,9% 1,25 L dalam waktu 2 jam untuk menekan plasma renin activity (PRA) dan angiotensin II (A-II). Darah diambil sebelum dan sesudah test untuk pemeriksaan kortisol dan aldosteron. APA akan terus memproduksi aldosteron tanpa tergantung A-II. Oleh karena itu rasio aldosteron:kortisol >2,2. Postural stimulation test: pada keadaan ortostatik, terjadi peningkatan PRA dan A-II. Test ini dimulai saat aldosteron dan kortisol normal rendah. Oleh karena itu pasien berbaring kurang lebih 1 jam pada pagi hari jam delapan. Darah diambil untuk pengukuran aldosteron, PRA, 18-hydroxycorticosteron (18-OHB), dan kortisol. Kemudian diukur setelah 4 jam berjalan biasa. Pada APA terjadi peningkatan aldosteron dan 18-OHB dan tidak meningkat saat berdiri. Pada orang normal dan IHA pada keadaan ortostatik terjadi peningkatan aldosteron, 18-OHB, dan PRA tapi kortisol menurun. Pemeriksaan diagnostik lain adalah dengan CT scan dapat mendeteksi tumor >1 cm. Pengobatan Untuk APA dengan operasi pengangkatan tumor. Pada IHA dapat diberikan spironolactone atau amiloride.

73

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN1,2,8,9


Keadaan hamil, CO meningkat 40% karena adanya peningkatan isi sekuncup jantung mulai pada minggu ke-6 mencapai maksimum pada trimester ke-2. Aktivitas renin plasma, aldosteron meningkat pada minggu ke-6. Aldosteron akan meningkat terus sampai minggu ke-36 kehamilan. ANP juga meningkat pada minggu ke-24 hingga ke-36 kehamilan. Hipertensi (HT) pada kehamilan dapat dikelompokkan dalam: 1. HT gestational HT yang terjadi pada selama kehamilan atau 24 jam pasca partus tanpa disertai proteinuria atau tanda-tanda preeklampsia Biasanya tekanan darah (TD) kembali normal 12 minggu pasca partus. Patogenesis Sebab belum jelas. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab timbulnya hipertensi (HT) ini. Menurut penelitian terdapat kelainan mutasi pada reseptor mineralokortikoid (MR) yaitu substitusi leusin terhadap serin pada codon 810 di reseptor tersebut sehingga reseptor tersebut mudah diaktivasi oleh progesteron dan menimbulkan HT. HT timbul karena aktivasi MRL 810 oleh progesteron. Menurut penelitian pasien preeklampsia dengan pemberian asam folat dapat mengurangi risiko HT pada wanita hamil. Pada kea-

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

daan HT dan preeklampsia pada wanita hamil terdapat peningkatan kadar homosistein dalam darah. Risiko HT gestational dapat dicegah dengan menurunkan kadar homosistein ini. Suplementasi asam folat ternyata lebih efektif bila dimulai pemberiannya pada kehamilan kurang dari 8 bulan. Riwayat perokok sebelum dan selama kehamilan menyebabkan risiko timbulnya HT pada kehamilan lebih besar. Resisten terhadap insulin merupakan salah satu yang dipikirkan sebagai patogenesis terjadinya HT pada kehamilan. Kelainan metabolik yang berkaitan dengan resistensi terhadap insulin yang bermakna ditemukan pada wanita hamil dengan HT seperti intoleransi terhadap glukosa, hiperinsulinemia, hiperlipidemia, serta meningkatnya kadar PAI1 (plasminogen activator inhibitor-1), leptin, dan TNF- (tumor necrosis factor-). Kondisi yang terkait dengan resistensi terhadap insulin seperti diabetes gestational, sindrom polikistik ovarium, dan obesitas merupakan predisposisi bagi timbulnya HT pada wanita hamil. Gangguan keseimbangan hemostasis (keadaan hiperkoagulasi) melalui faktor genetik protrombosis merupakan predisposisi untuk timbulnya HT gestational. 2. HT Kronik HT kronik adalah HT yang sudah ada sejak sebelum kehamilan. Sering terjadi kematian janin perinatal atau pertumbuhan janin menjadi terganggu atau peningkatan kejadian preeklampsia superimpose dan solusio plasenta. Apakah TD dapat menjadi normal setelah partus dapat dilihat secara immunohistokimia. Bila protein kontraktil (SM2) tidak berkurang di arteriol aferen, ternyata TD dapat kembali normal setelah partus, jadi bukan HT kronik. 3. Preeklampsia/Eklampsia Disebut preeklampsia bila ditemukan HT, proteinuria, dan edema pada wanita hamil yang biasanya timbul mulai akhir trimester kedua atau ada yang timbul pada awal pasca partus. Disebut HT bila TD lebih dari 140/90 mmHg dan proteinuria lebih dari 300 mg/24 jam. Proteinuria terus meningkat sesuai dengan lamanya preeklampsia bahkan dapat mencapai rentang angka status nefrotik. Pada keadaan nefrosklerosis, proteinuria tidak melebihi 1 g/24 jam. Meningkatnya kadar asam urat plasma juga merupakan tanda khas preeklampsia sehingga dapat dibedakan dengan HT kronik pada kehamilan di mana kadar asam urat kurang dari 5,5 mg/dl.15 Pada kehamilan normal, bersihan asam urat akan meningkat oleh karena laju filtrasi glomerulus juga meningkat. Pada keadaan preeklampsia, ini terganggu sehingga kadar asam urat plasma meningkat. Terjadi disfungsi glomerular dan penurunan kapasitas ultrafiltrasi glomerulus. Patogenesis Belum jelas, akan tetapi adanya gangguan pada sirkulasi uteroplasental sebagai penyebab berkurangnya perfusi plasental sebagai pemicu terjadinya disfungsi endotel vaskular ibu yang sampai saat ini masih diakui sebagai patogenesis terjadinya preeklampsia. Banyak hal yang mungkin menjadi penyebab berkurangnya sirkulasi uteroplasental ini, akan tetapi dari banyak studi yang dilakukan dibuktikan bahwa invasi abnormal sitotropoblas pada arteri spiralis merupakan faktor penyebab terpenting. Disfungsi endotel yang ditimbulkan pada wanita dengan preeklampsia oleh gangguan sirkulasi uteroplasental ini dapat dilihat dari bukti-bukti bahwa terjadi peningkatan fibronektin dan faktor von Willebrand dalam sirkulasi ibu yang merupakan petanda kerusakan sel endotel serta penurunan kadar NO dan prostasiklin, peningkatan endotelin dan thromboxane, peningkatan reaksi vaskular terhadap angiotensin-II menunjukkan adanya gangguan fungsi endotel. Terdapatnya peningkatan TNF- dan IL-6 pada pasien dengan preeklampsia diduga memberi kontribusi terhadap terjadinya di-

sfungsi endotel. Hasil akhir dari gangguan dan penurunan fungsi endotel ini adalah penurunan kemampuan pressure natriuresis ginjal dan peningkatan resistensi perifer yang keduanya mengakibatkan peningkatan TD atau HT. Turunnya kadar prostacycline pada keadaan preeklampsia menyebabkan sekresi renin ginjal akan berkurang sehingga kadar aldosteron menurun yang akhirnya menyebabkan menurunnya volume plasma. Kerusakan pada sel endotel juga dapat menimbulkan aktivasi koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin pada dinding vaskular. Peningkatan thromboxane disertai peningkatan permeabilitas dinding vaskular pada preeklampsia dapat menimbulkan edema perifer maupun edema paru. Penelitian yang dilakukan oleh Marc Spaanderman dkk.21 melaporkan adanya suatu maladaptasi pada pasien preeklampsia di mana pada awal kehamilan sudah terjadi peningkatan kadar ANP bersamaan dengan volume plasma yang lebih rendah pada minggu ke-7 kehamilan dibandingkan dengan kehamilan normal. Maladaptasi ini khususnya ditemukan pada pasien dengan HT sebelum kehamilan dan pasien dengan TD normal sebelum kehamilan yang tidak memiliki kecenderungan hiperkoagulasi. Sebanyak 15-25% pasien HT gestational dapat berubah menjadi preeklampsia bila HT timbul pada awal kehamilan atau memiliki riwayat keguguran sebelumnya, berkurang jadi 10% bila HT timbul setelah minggu ke-36. 4. Penyakit ginjal Pada wanita hamil dengan riwayat penyakit ginjal dan HT, kehamilannya dapat memperberat keadaan penyakit ginjal dan HT yang sudah ada. Kadar kreatinin 1,5 mg/dl, merupakan batas yang masih aman untuk kehamilan. Bila terjadi perburukan fungsi ginjal perlu ada kerja sama antara nephrologist dan spesialis kebidanan (subspesialis fetomaternal). Pengobatan Menurunkan TD sampai pada tingkat yang aman. Tujuan pengobatan mengurangi risiko pada ibu seperti infark serebri atau gagal jantung dan juga untuk mengurangi gangguan pada sirkulasi uteroplasental. Penurunan TD yang terlalu rendah dapat mengganggu aliran darah kepada janin. Di samping itu perlu diperhatikan jenis obat antihipertensi yang diberikan agar tidak mengganggu sirkulasi uteroplasental serta obat yang mengganggu pertumbuhan janin seperti penghambat-ACE atau angiotensin reseptor blockers (ARB). Pemberian penghambat-ACE akan menimbulkan oligohidramnion oleh karena gangguan pada ginjal janin. Dalam memilih atau memutuskan pengobatan HT perlu diperhatikan: 1. Sedapat mungkin mengindarkan pemberian antihipertensi pada trimester pertama. Hari 017 merupakan masa fertilisasi dan implantasi dan hari 1855 merupakan fase organogenesis yaitu masa kritis yang mengganggu pertumbuhan organ janin, sedang lebih dari hari ke-55 janin lebih resisten terhadap efek buruk obat walaupun ada sebagian obat dapat juga memberi efek buruk. 2. Pakailah obat antihipertensi yang sudah diketahui dalam jangka panjang tidak memberi efek buruk pada ibu dan janin. 3. Hindarkan pemberian obat secara episodik. 4. Harus diingat bahwa semua jenis obat antihipertensi berpotensi memberi efek yang tak diinginkan pada ibu dan janin. 5. Pemantauan ketat pada ibu dan janin perlu dilakukan. 6. Kemungkinan gangguan kepribadian dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan. Obat-obat oral yang sering dipakai dan telah dibuktikan aman pada ibu dan janin untuk HT ringan dan sedang antara lain: 1. Metildopa. Dapat dipakai pada HT ringan dan sedang secara aman. Tidak mengganggu CO, aliran darah ke uterus dan ginjal. Dosis maksimal dapat sampai 2 g sehari, 2-4 kali pemberian.

74

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

DIAGNOSIS
Tujuan evaluasi pasien hipertensi:4,6 1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi. 2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular, beratnya penyakit serta respons terhadap pengobatan. 3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskular yang lain atau penyakit penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan. Evaluasi pasien dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin dan prosedur diagnosis lainnya.3,4,6 Anamnesis Selain ditanyakan gejala-gejala yang menyertai, pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat penyakit hipertensi dalam keluarga, riwayat peningkatan tekanan darah sebelumnya. Hipertensi sekunder sering terjadi sebelum usia 35 tahun atau sesudah usia 55 tahun. Riwayat infeksi traktus urinarius berulang dengan dugaan adanya pielonefritis, walaupun keadaan ini dapat terjadi tanpa gejala. Adanya riwayat peningkatan berat badan dapat menunjang sindrom Cushing, sedangkan penurunan berat badan menunjang keadaan feokromositoma.2 Obatobat yang sedang diminum seperti golongan kortikosteroid, golongan monoamin oksidase dan golongan simpatomimetik yang dapat menimbulkan hipertensi serta obat-obat hipertensi yang telah diminum untuk mengetahui efektivitas dan efek samping obat juga perlu ditanyakan.6 Selain itu, pada anamnesis juga perlu ditanyakan adanya penyakit vaskular yang membahayakan seperti angina pektoris, gejala insufisiensi cerebrovascular, gagal jantung kongestif dan insufisiensi vaskular perifer. Faktor risiko lain yang perlu ditanyakan adalah kebiasaan merokok, diabetes mellitus, gangguan lipid dan riwayat keluarga yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Gaya hidup pasien meliputi diet, aktivitas fisik, status keluarga, pekerjaan dan tingkat pendidikan juga perlu ditanyakan karena selain berhubung-an dengan penyakitnya juga mempengaruhi penatalaksanaan.4 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dimulai dengan melihat penampakan pasien sePemeriksaan Laboratorium

75
3

Tabel 5. Laboratory tests for evaluation of hypertension BASIC TESTS FOR INITIAL EVALUATION 1. Always included a. b. c. d. e. f. g. h. a. b. c. d. e. 1. Urine for protein, blood and glucose Microscopic urinalysis Hematocrit Serum potassium Serum creatinine and/or blood urea nitrogen Fasting glucose Total cholesterol Electrocardiogram Thyroid-stimulating hormone White blood cell count HDL and LDL cholesterol and triglycerides Serum calcium and phosphate Chest x-ray; limited echocardiogram

2. Usually included, depending on cost and other factors

SPECIAL STUDIES TO SCREEN FOR SECONDARY HYPERTENSION Renovascular disease: angiotensin-converting enzyme inhibitor radionuclide renal scan, renal duplex, Doppler flow studies, and MRI angiography 2. Pheochromocytoma: 24-h urine assay for creatinine, metanephrines, and catecholamines 3. Cushings syndrome: overnight dexamethasone suppression test or 24-h urine cortisol and creatinine 4. Primary aldosteronism NOTE: HDL, high-density lipoprotein; LDL. low-density lipoprotein; MRI, magnetic resonance imaging.

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum terapi dimulai mencakup EKG 12 lead, urinalisis, glukosa darah (diabetes mellitus sering ditemukan pada hipertensi) dan hematokrit, kalium serum (skrining terhadap aldosteronisme primer, kreatinin (untuk menilai Laju Filtrasi Ginjal/LFG), kalsium dan lipid profile yang meliputi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

2. Labetalol. Kombinasi penyekat alfa dan beta yang aman diberikan pada wanita hamil dengan HT tanpa memberi efek buruk pada janin seperti prematur, berat badan bayi yang rendah dan penghambatan pertumbuhan janin. Dosis yang diberikan 200 600 mg dua kali sehari. 3. Penyekat beta. Aman diberikan pada trimester ketiga. Obat yang dipakai adalah pindolol dua kali 5-15 mg, oxprenolol dua kali 20-40 mg. Pemberian atenolol tidak dianjurkan karena terbukti menurunkan berat badan bayi dan mengganggu perkembangan janin. 4. Penyekat kalsium. Obat yang sudah banyak dipakai adalah nifedipine dan sangat dianjurkan untuk memakai jenis yang slowrelease dua kali 20-40 mg. 5. Clonidine. Dapat diberikan dua atau empat kali 0,05-0,2 mg/ hari. Tidak ada satu pun obat antiHT yang dapat mencegah terjadinya preeklampsia kecuali ketanserin yang dibuktikan dapat mengurangi kejadian preeklampsia dibandingkan dengan obat lain. 6. Obat-obat yang dipakai untuk HT berat, diberikan secara parenteral antara lain: Hidralazine. Diberikan 5-10 mg bolus IV setiap 20 menit (dapat sampai 30 mg) atau dengan tetesan IV 3-10 mg/jam. Labetalol. Diberikan 10-20 mg bolus IV setiap 10 menit atau dengan infus 1-2 mg/menit. Bila dengan hidralazine dan labetalol tidak memberi respons dapat diberikan sodium nitroprusside dengan IV drip 0,5-10 Ug/kg/menit. Tujuan pengobatan pada HT berat ini adalah untuk mencegah timbulnya perdarahan intraserebral pada ibu.

cara umum seperti apakah terdapat moon face dan obesitas trunkal yang biasa terdapat pada sindrom Cushing. Pada pemeriksaan fisik mencakup pengukuran tekanan darah dan nadi, dengan membandingkan lengan kontralateral pada keadaan berbaring dan berdiri, pemeriksaan fundus optik, pengukuran Body Mass Index (BMI) (pengukuran lingkar perut juga sangat berguna), auskultasi bruits pada karotis, abdominal dan femoral, palpitasi kelenjar tiroid, pemeriksaan paru dan jantung untuk mengetahui apakah terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan dekompensasi kordis, pemeriksaan abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, massa, kandung kemih yang distensi, pulsasi aorta abnormal dan bruits akibat stenosis arteri renal, palpasi ekstremitas bawah untuk pemeriksaan edema dan nadi serta melakukan pemeriksaan neurologi.4 Dalam melakukan pengukuran tekanan darah dalam menegakkan diagosis hipertensi, selain diperlukan cara pengukuran yang tepat dengan alat ukur yang akurat, juga perlu dilakukan pemeriksaan minimal 2 kali pada masing-masing kedatangan dengan minimal kedatangan 2 kali.
Tabel 3. Rekomendasi follow-up berdasarkan pengukuran tekanan darah inisial pada dewasa tanpa kerusakan target organ Tekanan Darah Inisial (mmHg) Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Follow-up Cek ulang dalam 2 tahun Cek ulang dalam 1 tahun Konfirmasi dalam 2 bulan Evaluasi dalam 1 bulan. Untuk tekanan darah yang lebih tinggi (>180/110 mmHg), evaluasi dan tatalaksana secepatnya atau dalam 1 minggu tergantung keadaan klinik dan komplikasi

kolesterol HDL, LDL dan trigliserida (faktor predisposisi aterosklerosis). Pemeriksaan pilihan meliputi pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin/kreatinin. Kecuali pada diabetes dan penyakit ginjal, dimana pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tahun. Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab secara umum tidak diindikasikan kecuali tekanan darah yang terkontrol tidak tercapai atau evaluasi klinis dan laboratorium rutin terdapat dugaan kuat penyebab sekunder (misalnya bruits vaskular, gejala katekolamin yang berlebihan, hipokalemia tanpa penyebab yang jelas).4 Prosedur diagnosis tambahan mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi, terutama pada pasien dengan: (1) umur, anamnesis, pemeriksaan fisik, derajat beratnya hipertensi atau penemuan laboratorium ke arah beberapa penyebab hipertensi; (2) respon yang buruk terhadap pengobatan; (3) tekanan darah mulai me-ningkat tanpa alasan yang jelas setelah terkontrol dengan baik; (4) onset hipertensi yang tiba-tiba. Pemeriksaan tersebut misalnya: pemeriksaan LFG untuk mengetahui adanya penyakit ginjal kronik, CT-angiography untuk mendiagnosis koarktasio aorta, pengukuran metaepinefrin dan normetaepinefrin urin 24 jam untuk mendiagnosis feokromositoma, dan masih banyak yang lainnya.4

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ditujukan untuk dapat melakukan proteksi kepada target organ penting. Fokus yang ditujukan kepada evaluasi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi pada target organ penting seperti susunan saraf pusat, retina mata, jantung, ginjal serta pembuluh darah secara umum merupakan jalur berpikir rutin pada setiap penanganan hipertensi.8 Pada clinical trial, terapi antihipertensi berhubungan dengan penurunan insiden stroke 35-40%,

76

infark miokard 20-25%, gagal jantung >50%.4 Target TDS dan TDD adalah <140/90 mmHg yang berkaitan dengan penurunan komplikasi CVD.2,3 Pasien hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal, target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. Sedangkan tujuan terapi individu dengan prehipertensi tanpa penyakit penyerta adalah dengan menurunkan tekanan darah ke normal dengan modifikasi gaya hidup untuk mencegah progresivitas peningkatan tekanan darah.3 Dalam mencapai tujuan terapi dapat dilakukan penatalaksanaan terhadap hipertensi berdasarkan algoritma yang telah ditetapkan. (Gambar 3)3 Apabila diagnosis hipertensi telah ditegakkan maka pengobatan dapat dimulai dengan terapi non-farmakologi dengan modifikasi gaya hidup berupa pengurangan asupan garam, olah raga teratur, menghentikan rokok, dan mengurangi berat badan. Pengobatan non-farmakologik dapat mendahului atau bersama-sama sejak awal dengan pengobatan farmakologi.3 Tingginya tekanan darah merupakan salah satu faktor yang menentukan dimulainya pengobatan farmakologi.1 Pedoman menurut JNC-7 2003 memberikan rekomendasi pengobatan farmakologi pada hipertensi stadium 1 apabila terapi non-farmakologi tidak mencapai target TD yang ditetapkan. Individu yang mengalami prehipertensi tidak diberikan pengobatan tetapi dengan melakukan modifikasi gaya hidup untuk mengurangi risiko berkembangnya ke arah hipertensi dikemudian hari. Namun, individu dengan prehipertensi yang juga mengalami diabetes mellitus atau penyakit ginjal seharusnya diberikan pengobatan apabila modifikasi gaya hidup gagal menurunkan tekanan darah menjadi 130/80 mmHg atau kurang.4 Pedoman menurut JNC-7 2003 membagi pengobatan menjadi dua yaitu tanpa atau dengan indikasi memaksa (compelling indication), ti-dak didasarkan atas ada atau tidak adanya faktor risiko dan kerusakan organ target. Yang dimaksud dengan indikasi memaksa adalah keadaan medik seperti diabetes, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, pasca infark miokard, stroke berulang, penyakit pembuluh darah perifer dan risiko tinggi penyakit jantung koroner yang mengharuskan digunakannya obat antihipertensi tertentu sebagai pilihan pengobatan (tabel 6).3,4 Sebagai terapi inisial bila dengan modifikasi gaya hidup target tekanan darah tidak tercapai, thiazide sebaiknya digunakan baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan obat antihipertensi dari kelas lain (ACEI, ARB, BB, CCB). Pemilihan obat dari kelas yang lain juga dipertimbangkan bila thiazide tidak dapat digunakan atau terdapat keadaan penyerta yang membutuhkan terapi yang spesifik. Kebanyakan pasien hipertensi membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diharapkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda sebaiknya dimulai ketika penggunaan obat tunggal dalam dosis yang adekuat gagal untuk mencapai target. Ketika SBP >20 mmHg atau DBP >10 mmHg di atas target, maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi inisial dengan 2 obat, baik dalam 1 kemasan maupun terpisah.3,7 Terapi kombinasi yang dianjurkan adalah diuretik dan BB, ACE-I dan diuretik, BB dan CCB dan ACE-I dan CCB.8

MEDICINUS

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan hipetensi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Table 6. Clinical Trial and Guideline Basis for Compeling Indication for Individual Drug Classes
RECOMMENDED DRUGS COMPELLING INDICATION* ALDO ANT DIURETIC CLINICAL TRIAL BASIS

Heart failure

ACC/AHA Heart Failure Guideline,40 MERIT-HF,41 COPERNICUS,42 CIBIS,43 SOLVD,44 AIRE,45 TRACE,46 ValHEFT,47 RALES48 ACC/AHA Post-MI Guideline,49 BHAT,50 SAVE,51 Capricorn,52 EPHESUS53 ALLHAT,33 HOPE,34 ANBP2,36 LIFE,32 CONVINCE31 NFK-ADA Guideline,21,22 UKPDS,54 ALLHAT33 NFK Guideline,33 Captopril Trial,55 RENAAL,56 IDNT,57 REIN,58 AASK59 PROGRESS35

Postmyocardial infarction

pasien diabetes.4 Obat ini juga merupakan salah satu obat utama dalam gagal jantung kiri, dan juga bermanfaat untuk infark jantung akut, terutama dengan gangguan faal jantung kiri. Efek samping yang terjadi berupa batuk (5-10%), hiperkalemia pada pasien insufisiensi renal dan angioedema. Pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, penurunan fungsi ginjal yang cepat dapat terjadi.5 Obat golongan ini yang pertama kali digunakan di klinik adalah enalapril dan captopril, namun saat ini telah banyak beredar ACE-I yang lain. Pada hipertensi ringan dan sedang, captopril dapat diberikan 12,5 mg, 2x/hari. Dosis yang biasa adalah 25-50 mg/hari. Saat ini telah diketahui bahwa aktivasi sistem renin angiotensin bertanggungjawab terhadap efek merusak pada kardiovaskular dan ginjal dan dengan dihambat oleh ACE-I, maka efektif dalam melawan perubahan organorgan ini, walaupun pasien tanpa hipertensi.5,6 Angiotensin II Reseptor Blockers (ARB) Obat ini yang paling selektif dalam menghambat sistem reninangiotensin, dan mempunyai efek yang sama dengan ACE-I. Obat ini secara kompetitif menghambat pengikatannya terhadap reseptor angiotensin II subtipe AT1. Perangsangan pada AT1 akan menyebabkan vasokonstriksi, retensi air dan garam, pembentukan aldosteron, perangsangan simpatis, hipertrofi jantung, pembuluh darah dan glomerulus, pembentukan radikal bebas, oksidasi LDL, menyebabkan adesi, proses peradangan, dan merangsang efek proaterogenesis. Sedangkan reseptor AT2 mempunyai efek antiproliferatif organ target, efek sel diferensiasi, regenerasi, apoptosis dan efek vasodilatasi. ARB secara selektif menghambat perangsangan AT1 sehingga efek vasokonstriksi dan proaterogenik dari angiotensin II dapat dicegah, sedangkan AT2 tidak dihambat sehingga terjadi vasodilatasi dan antiproliferasi. Jadi kedua efek tersebut dapat menurunkan tekanan darah dan memberikan proteksi organ target, seperti jantung, pembuluh darah dan ginjal.11 Efikasi dan tolerabilitas ARB serupa dengan ACE-I tetapi dengan sedikit efek samping. Secara spesifik, ARB tidak menyebabkan batuk 2977 dan angioedema karena tidak meningkatkan kadar bradikinin.5,6 Seperti ACE-I, ARB juga dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan stenosis arteri renalis bilateral.12 Calcium Channel Blocker (CCB) Terdapat 3 subkelas CCB yaitu derivat phenyilalkilamine (verapamil), benzothiazepine (diltiazem) dan dihydropyridine (amlodipine).5,6 Golongan obat ini menghambat masuknya Ca2+ melalui saluran kalsium, menghambat pengeluaran Ca2+ dari pemecahan retikulum sarkoplasma, dan mengikat Ca2+ pada otot polos pembuluh darah.5 Selain efek pada pembuluh darah perifer dengan menurunkan resistensi perifer se-hingga dapat menurunkan tekanan darah, CCB juga mempunyai efek hormonal dan renal yang mempengaruhi efek antihipertensi.9 Ketiga subtipe ini menyebabkan vasodilatasi, namun hanya dyhidropyridine yang menyebabkan takikardi sementara diltiazem dan verapamil menyebabkan perlambatan konduksi atrioventrikular.5 Saat ini semua obat golongan CCB menunjukkan efek antihipertensi yang efektif dan aman, sehingga obat golongan ini diusulkan sebagai obat antihipertensi lini pertama.6,10 Penggunaan CCB saat ini luas baik dalam penatalaksanaan hipertensi dengan penyakit jantung koroner maupun keadaan lain seperti hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi dengan asma bronkial, pasien diabetes melitus, gagal ginjal kronis, dan pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer. Dan pada akhir-akhir ini CCB dianjurkan untuk hipetensi dengan usia lanjut. Saat ini, CCB diharapkan mempunyai efek anti aterosklerosis seperti yang ditunjukkan dalam studi INSIGHT di mana progresivitas penebalan intima media thickness dapat dihambat dan kalsifikasi pembuluh koroner dapat dikurangi. Namun, pemberian CCB haruslah memperhatikan kontraindikasi seperti gagal jantung yang berat, sindrom sick sinus, adanya gangguan konduksi di nodus atrioventrikular ataupun sinoatrial. Efek samping yang timbul dapat berupa rasa panas pada muka dan edema pada ekstremitas bawah.6,8,10
MEDICINUS

ACEI

ARB

High coronary disease risk Diabetes

Chronic kidney disease Recurrent stroke prevention

* Compelling indications for antihypertensive drugs are based on benefits from outcome studies or existing clinical guidelines; the compelling indication is managed in parallel with the BP. Drug abbreviations: ACEI, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptorblocker; Aldo ANT, aldosterone antagonist; BB, beta-blocker; CCB, calcium channel blocker. Conditions for which clinical trials demonstrate benefit of specific classes of antihypertensive drugs..

Untuk dapat menggunakan obat antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat kerja dan mekanisme kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam golongan obat, yaitu diuretik, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator, dan antagonis reseptor mineralokortikoid. Dosis obat-obat tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini. Diuretik Diuretik mempunyai efek antihipertensi dengan cara menurunkan volume ekstraselular dan plasma sehingga terjadi penurunan curah jantung.5 Thiazide menghambat reabsorpsi Na+ di segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Pada studi ALLHAT menunjukkan bahwa diuretika golonga thiazide lebih baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular dibandingkan dengan ACE-I dan CCB, di samping itu harganya tidak mahal, sehingga dianjurkan sebagai obat lini pertama hipertensi baik sebagai monoterapi ataupun dengan kombinasi dengan golongan lain. Pada penggunaan jangka panjang juga dilaporkan terjadi penurunan resistensi vaskular perifer.2,5 Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia, hiponatremia, hiperurisemia, dan gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing. Pada gangguan fungsi ginjal thiazide tidak dianjurkan karena tidak menunjukkan efek antihipertensi dan pada keadaan ini dapat digunakan diuretik loop seperti furosemide dan asam etakrinat yang merupakan diuretik kuat. Golongan ini bekerja pada segmen tebal medullary ascending limb, loop Henle. Diuretik jenis lain adalah potasium sparing diuretics seperti aldactone dan triamteren yang menghambat ekskresi Na+, sekresi K+ dan H+ pada tubulus distal. Hiperkalemia adalah efek samping yang dapat terjadi sehingga obat ini jarang dipakai pada hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal.6 Angiotensin Converting Enzym-Inhibitors (ACE-I) Obat golongan ini menghambat ACE (enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II). Obat ini semakin dikenal dalam terapi inisial. Obat ini berguna karena tidak hanya menghambat pembentukan vasokonstriktor poten (angiotensin II) tetapi juga memperlambat degradasi vasodilator (bradikinin), mengubah produksi prostaglandin dan mengubah aktivitas sistem saraf adrenergik.4,5 Obat ini berguna terutama pada hipertensi renal atau renovaskular dan pada

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

CCB

BB

Antiadrenergik a. Penghambat reseptor -adrenergik Obat ini menghambat efek simpatik pada jantung dan paling efektif dalam menurunkan cardiac output dan menurunkan tekanan darah arteri pada keadaan terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis jantung. Obat ini sering digunakan sebagai terapi lini pertama. Obat ini terutama berguna bila diberikan bersama vasodilator, di mana cenderung untuk meningkatkan denyut jantung dan diuretik yang meningkatkan aktivitas renin. Dalam prakteknya, -blocker efektif walaupun tidak terdapat peningkatan tonus simpatis. Obat ini dapat mempresipitasi gagal jantung dan asma dan sebaiknya digunakan dengan perhatian pada pa-sien diabetes yang menerima terapi hipoglikemik karena -blocker menghambat reaksi simpatis akibat hipoglikemi. -blocker kardioselektif (beta blocker seperti metaprolol, atenolol) lebih superior dibandingkan dengan yang nonkardioselektif seperti propanolol dan timolol pada pasien dengan bronkospasme.5,6 Obat yang bekerja sentral seperti clonidine dan metildopa menstimulasi reseptor 2 vasomotor di otak, sehingga dapat menurunkan simpatis dan tekanan arteri. Biasanya penurunan cardiac output dan denyut jantung juga terjadi. Hipertensi rebound dapat terjadi bila clonidine dihentikan, hal ini mungkin secara sekunder akibat peningkatan pelepasan epinefrin. Obat ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. b. Penghambat reseptor -adrenergik Obat golongan ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Terdapat 2 reseptor yaitu 1 dan 2, dimana 2 berkaitan dengan kejadian toleransi. Prazosin, terazosin, dan doxazosin lebih efektif dibandingkan dengan phentolamine dan phenoxybenzamine karena secara selektif hanya menghambat reseptor 1. Ketiga obat ini dapat menyebabkan hipotensi pada dosis pertama. Penggunaan obatobat tersebut menurun berkaitan dengan pelaporan peningkatan kejadian kardiovaskular.4 Vasodilator Golongan obat ini tidak digunakan sebagai terapi inisial. Hidralazine dapat menyebabkan relaksasi langsung otot polos pembuluh darah terutama pada resistensi arterial. Namun obat ini dapat menyebabkan refleks peningkatan simpatis yang meningkatkan frekuenis jantung dan cardiac output sehingga penggunaannya terbatas terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Diazoxide, nitroprusside dan nitrogliserin digunakan pada terapi hipertensi emergency Antagonis Reseptor Mineralokortikoid Saat ini diketahui bahwa aldosteron tidak hanya mempunyai efek pada ginjal tetapi juga pada jantung dan pembuluh darah berkaitan dengan fibrosis dan hipertrofi. Spironolactone lebih efektif digunakan pada terapi hipertensi dengan kadar mineralokortikoid berlebih seperti pada aldosteronisme sekunder. Namun pada studi uji klinis RALES pada gagal jantung, penggunaan spironolactone dosis rendah dapat menurunkan mortalitas 30%, sehingga diduga bahwa antagonis repetor aldosteron berguna walaupun kadar aldosteron relatif normal.5 Bila diketahui adanya hipertensi sekunder, maka perlu penatalaksanaan sesuai dengan penyebabnya. Hipertensi ginjal selain dilakukan pembatasan natrium dan pemberian obat antihipertensi (diuretik thiazide, diuretik loop, ACE-I, CCB) juga dengan diet rendah protein. Sedangkan penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi obat, Percutaneus Transluminal Renal Angioplasty (PTRA), nefrektomi dan ablasi renal. Penatalaksanaan sindrom Cushing tergantung penyebabnya, bila tumor adrenal sebagai penyebab maka dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian kortikosteroid sebagai substitusi, sedangkan apabila karena hiperplasia akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal maupun hipofisis. Penatalaksanaan hiperaldosteronisme primer juga tergantung penyebab, dimana bila penyebabnya adalah adenoma, maka dilakukan pembedahan, sedangkan pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit dengan pemberian antagonis

aldoseron atau diuretik hemat kalium. Pemberian pengobatan medikamentosa (fenoksibenzamin atau prazosine oral) pada feokromositoma sangat bermanfaat sebelum tindakan pembedahan.6

FOLLOW-UP DAN MONITOR


Sekali obat antihipertensi diberikan, kebanyakan pasien sebaiknya kembali untuk follow-up dan menilai kembali obat yang diberikan dalam interval 1 bulan atau kurang sampai target tekanan darah dicapai. Kedatangan yang lebih sering diperlukan untuk pasien hipertensi derajat 2 atau adanya komplikasi. Kalium dan kreatinin serum sebaiknya dimonitor paling sedikit 1-2x/tahun. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, follow-up biasanya dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Adanya komorbiditas seperti gagal jantung yang berhubungan dengan penyakit seperti diabetes, dan perlunya pemeriksaan laboratorium mempengaruhi frekuensi kedatangan. Faktor risiko kardiovaskular lainnya sebaiknya dimonitor dan diterapi. Terapi aspirin dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan hanya pada hipertensi yang terkontrol karena risiko stroke hemoragik akan meningkat pada hipertensi yang tidak terkontrol.

KEADAAN-KEADAAN KHUSUS PADA HIPERTENSI


Indikasi Memaksa (Compelling Indications) Compelling indications untuk terapi spesifik mencakup kondisi risiko tinggi yang dapat menyebabkan secara langsung gejala sisa hipertensi (gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik dan stroke yang berulang) atau penyakit yang berhubungan dengan hipertensi (diabetes, risiko tinggi penyakit jantung), sehingga diperlukan obat antihipertensi tertentu. Pemilihan obat-obat ini didasarkan atas uji klinis.4 Penyakit Jantung Iskemik Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target utama yang paling sering yang berhubungan dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris atabil, BB adalah pilihan pertama dan CCB kerja panjang dapat digunakan sebagai obat alternatif. Pada pasien sindrom koroner akut, dalam terapi inisial sebaiknya diberikan BB dan ACE-I, dengan tambahan obat lain bila diperlukan untuk mengontrol tekanan darah. Pada pasien post-infark miokard, ACE-I, BB dan antagonis aldosteron dapat diberikan. Selain itu, perlu juga penatalaksanaan dalam hal gangguan lipida dan pemberian aspirin.4 Gagal Jantung Gagal jantung baik disfungsi ventrikular sistolik maupun diastolik merupakan akibat primer hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Pengontrolan tekanan darah yang ketat dan pengontrolan kadar kolesterol adalah tindakan preventif pada pasien dengan risiko tinggi gagal jantung. Pada pasien disfungsi ventikular asimptomatik, ACE-I dan BB direkomendasikan. Sedangkan untuk pasien dengan disfungsi ventikular simptomatik dan penyakit jantung stadium akhir, selain digitalis, ACE-I, BB, ARB dan aldosterone blockers direkomendasikan bersama dengan diuretik loop.5,11,13-15 Penyakit Ginjal Kronik Hipertensi sering ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, sehingga penatalaksanaan agresif terhadap tekanan darah sebaiknya diberikan dalam hal memperlambat penurunan fungsi ginjal dan mencegah penyakit jantung yang merupakan tujuan terapi pada penyakit ginjal kronik. Obat antihipertensi sering dibutuhkan 3 macam atau lebih untuk mencapai target tekanan darah <130/80 mmHg. ACE-I atau ARB mempunyai efek pada progresivitas penyakit ginjal diabetik atau nondiabetik. Pada penyakit penyakit ginjal lanjut (LFG <30 ml/ menit 1,73 m2, kreatinin serum 2.5-3 mg/dl)), diperlukan peningkatan dosis diuretik loop dalam kombinasi dengan obat lain. Penyakit cerebrovascular Risiko dan keuntungan penurunanan tekanan darah secara akut se-

78

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

lama stroke akut masih belum jelas, kontrol tekanan darah pada level intermediate (kira-kira 160/100 mmHg) telah cukup sampai keadaan stabil atau membaik. Kejadian stroke berulang dapat diturunkan dengan kombinasi ACE-I dan thiazide.3,15 Hipertensi Diabetik Pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi, biasanya diperlukan 2 atau lebih antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah < 130/80 mmHg. Diuretik thiazide, BB, ACE-I, ARB dan CCB dapat menurunkan insidens CVD dan stroke pada pasien diabetes. ACE-I dan ARB mempunyai efek terhadap progresivitas nefropati diabetik dan menurunkan albuminuria.4

KEADAAN KHUSUS LAINNYA


Obesitas dan Sindrom Metabolik Obesitas (IMT >30 kg/m2) meningkatkan prevalensi faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dan CVD. The Adult Treatment Panel III guideline for cholesterol management mendefinisikan sindrom metabolik bila terdapat 3 atau lebih keadaan: obesitas abdominal (lingkar pinggang >102 cm pada pria atau >88 cm pada wanita), intoleransi glukosa (glukosa puasa > 110 mg/dl), TD >130/85 mmHg, trigliserida tinggi (>150 mg/dl) atau HDL rendah (<40 mg/dl pada pria atau <50 mg/dl pada wanita). Pada pasien ini dianjurkan untuk melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi antihipertensi yang sesuai.2,8 ACE-I, SRB, CCB dan -blocker adalah terapi lini pertama bagi pasien hipertensi dengan obesitas. Hal ini didasarkan pada efektivitasnya untuk mengontrol tekanan darah dan tidak didapatkannya gangguan metabolisme lipid dan glukosa selama pemberian obat tersebut.8 Hipertrofi Ventrikel Kiri Regresi hipertrofi ventrikel kiri terjadi dengan pengaturan tekanan darah secara agresif, termasuk penurunan berat badan, restriksi sodium, dan terapi dengan antihipertensi kecuali vasodilator hydralazine dan minoksidil.4 Penyakit Arteri Perifer Penyakit arteri perifer ekuivalen dengan risiko terhadap penyakit jantung iskemik. Selain diberikan antihipertensi, juga dapat dipertimbangkan pemberian aspirin.4 Hipertensi Pada Usia Lanjut Hipertensi terjadi pada lebih dari dua pertiga pasien berusia setelah 65 tahun. Rekomendasi penatalaksanaan untuk usia lanjut dengan hipertensi, termasuk hipertensi sistolik terisolasi, mengikuti prinsip yang sama dengan penatalaksanaan umum hipertensi.4 Hipotensi Postural Penurunan tekanan darah saat berdiri (TDS >10 mmHg) yang berkaitan dengan pusing atau pingsan, lebih sering terjadi pada usia lanjut dengan hipertensi sistolik, diabetes, terapi diuretik, venodilator (mis. Nitrat, -blockers, dan sildenafil) dan beberapa obat psikotropik. Pada pasien ini sebaiknya dicegah kekurangan volume dan titrasi dosis antihipertensi yang berlebihan secara cepat.4 Demensia Demensia dan penurunan kognitif terjadi lebih sering pada pasien hipertensi. Keadaan ini dapat diturunkan dengan terapi antihipertensi yang efektif. Krisis Hipertensi Krisis hipertensi adalah keadaan yang potensial dapat mengancam jiwa sehingga memerlukan tindakan medik segera untuk mencegah atau memperkecil kerusakan organ target.7 Ditinjau dari kecepatan

DAFTAR PUSTAKA 1. Clarkson MR, Brenner BM. The Kidney: Hypertension. Seventh Edition. USA: Elsevier, 2005; 419-67. 2. Wilcox CS. Hypertension. Dalam: Greenberg A, Cheung A, Coffman TM, Falk RJ, Jennette JC, editor. Primary on Kidney Disease: National Kidney Foundation; 2005. 555-82 3. Naskah Lengkap The 4th Jakarta Nephrology & Hypertension Course and Symposium of Hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2004. h. 94-132 4. Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Available at: http://www.hypertensionaha.org 5. Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (editors). Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 252-263 6. Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Setiati S, Sundaru H, dkk (editor). Buku ajar penyakit dalam jilid II ed.3.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. h. 453-489 7. Johnson RJ, Feehally J. (Editors). Comprehensive Clinical Nephrology 2nd Ed. Philadelphia: Mosby; 2003. p. 463-510 8. Massie, BM. Systemic Hypertension. Dalam: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editor. Current Medical Diagnosis & Treatment. San Fransisco: The McGraw-Hill Companies; 2002, 459-84 9. Wilcox CS. Secondary Form Hypertension. Dalam: Tisher CC, Wilcox CS, editor. Nephrology and Hypertension: Washington: Lippincott Williams & Wilkings; 1999.p.179-89 10. Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati, Aspek Klinik dan Patologi Ginjal, Pengelolaan Hipertensi Saat Ini. Jakarta: PERNEFRI; 2003.h.93-126 11. Trisnohadi HT. Peran Antagonis Kalsium Dalam Penatalaksanaan Pasien Hipertensi. Dalam: Alwi I, Nasution S. (Ed). Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular III dan KARIMUN III. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.h.124-126 12. Prodjosudjadi W. Perlindungan. Ginjal Pada Hipertensi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kolopaking MS, Sari NK, Kie.(Ed) Current Diagnosis and Treatment In Internal Medicine 2004. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.h.95-100 13. Trisnohadi HT. Pengobatan Hipertensi dan Proteksi Kardiovaskular: Apakah Peran AIIRA? Dalam:Makmun LH, Alwi I, Mansjoer A.(Ed). Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2003. h. 113-117. 14. Sower JR, Haffer S. Treatment of Cardiovascular and Renal Risk Factors in the Diabetic. Hypertension 2002; 780-88. 15. Nathan S, Pepin CJ, Bakris JL. Calcium Antagonist: Effects on Cardio-Renal Risk in Hypertension Patients. Hypertension 2005; 46:637

79

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

pengobatan yang diperlukan, krisis hipertensi dibedakan menjadi kegawatan hipertensi (hypertensive emergency) dan hipertensi mendesak (hypertensive urgency). Hypertensive emergency digambarkan sebagai peningkatan tekanan darah yang berat (>180/120 mmHg) dengan kerusakan organ target akut (mis. hipertensi ensefalopati, perdarahan intraserebral, infark miokard akut, gagal ventrikel kiri akut dengan edema pulmonal, angina pektoris tidak stabil, eklampsia, perdarahan arterial yang mengancam jiwa atau diseksi aorta).3 Keadaan ini membutuhkan penurunan tekanan darah segera dalam waktu beberapa menit. Tujuan pengobatan pada keadaan ini adalah memperkecil kerusakan kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat pengobatan dengan menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) tidak lebih dari 25% (dalam menit sampai 1 jam), kemudian bila stabil, diturunkan 160/100 mmHg sampai 110 mmHg dalam 2 sampai 6 jam berikutnya. Bila tekanan darah pada level ini dapat ditoleransi dan keadaan klinis pasien stabil, penurunan bertahap ke arah normal dapat dilakukan dalam 24-48 jam berikutnya.3 Pengobatan hypertensive emergency dilakukan di unit perawatan intensif yang dilengkapi dengan monitor tekanan darah dan antihipetensi yang diberikan umumnya intravena baik dengan bolus maupun infus kontinu karena dapat bekerja secara cepat.4,8 Sedangkan hypertensive urgency adalah peningkatan tekanan darah yang berat tanpa kerusakan organ target progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilakukan lebih lambat dalam waktu beberapa jam. Keadaan ini biasanya tidak membutuhkan perawatan di RS, tetapi membutuhkan pemberian kombinasi terapi antihipertensi segera, seperti captopril, labetalol, atau klonidin diikuti dengan beberapa jam observasi.4,8

Medical Review

Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan


ABSTRAK. Perubahan iklim adalah suatu fenomena global. Perubahan iklim adalah berubahnya pola iklim global berupa peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Perubahan iklim ini menimbulkan dampak di berbagai bidang kehidupan manusia termasuk kesehatan. Dari segi kesehatan, perubahan iklim akan berdampak pada peningkatan frekuensi penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk seperti malaria, demam berdarah dan filariasis. Ini disebabkan naiknya suhu udara yang menyebabkan perkembangbiakan nyamuk semakin cepat. Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan peluang terbukanya daerah baru sebagai endemik penyakit tersebut. Sementara intensitas hujan yang tinggi dengan periode yang singkat menyebabkan bencana banjir yang mengontaminasi persediaan air bersih. Pada akhirnya, perubahan iklim juga berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pascabanjir. Perubahan iklim global akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit infeksi baru seperti SARS dan flu burung. Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya penurunan produksi pangan yang akan meningkatkan kejadian gizi buruk.
Kata kunci: iklim, penyakit

Khrisma Wijayanti

80

MEDICINUS MEDICINUS

PENDAHULUAN
Meningkatnya banjir dan badai karena perubahan iklim akan semakin mengancam Indonesia, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan adanya dampak-dampak dari perubahan iklim yang sudah ada dan yang mungkin terjadi di masa depan. WHO telah memiliki telaahan tentang perkiraan perubahan kesehatan global akibat perubahan iklim yang lengkap sampai tahun 2000 dan juga telah membuat perkiraan risiko kesehatan sampai dengan tahun 2030. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan iklim yang telah terjadi sejak pertengahan 1970-an telah menyebabkan 150.000 kematian dan kirakira lima juta kecacatan per tahun sebagai akibat meningkatnya jumlah penyakit.1 Berbagai penyakit baik yang menular maupun tidak menular berpotensi untuk meningkat akibat pengaruh kenaikan suhu bumi atau pemanasan global. Beberapa variabel yang merupakan komponen iklim seperti suhu lingkungan, kelembapan lingkungan, kelembapan ruang, kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel kependudukan. Iklim juga berperan terhadap budaya dan behavioral aspect manusia. Peningkatan suhu bumi memberikan dampak terhadap kesehatan penduduk bumi baik secara langsung maupun tidak langsung. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai pe-nyakit yang berbeda dan dengan cara berbeda satu sama lain pula. Salah satu pengaruh perubahan iklim adalah terhadap potensi pe-ningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti Malaria, Filariasis, Chikungunya, Japanese Encephalitis, dan Demam Berdarah. Perubahan iklim juga mempengaruhi timbulnya berbagai penyakit infeksi baru seperti SARS, Avian Influenza, Ebola, West Nile Virus, Hantaan virus, Japanese Encephalitis serta banyak penyakit infeksi baru muncul

maupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali.2 Diperkirakan jika suhu meningkat 3C pada tahun 2100, maka akan terjadi peningkatan proses penularan penyakit oleh nyamuk dua kali lipat. Peningkatan penyebaran berbagai penyakit terkait dengan perubahan iklim terjadi karena semakin banyak media, lokasi, dan kondisi yang mendukung perkembangbiakan bibit penyakit dan media pembawanya. Musim hujan berkepanjangan memperluas area genangan air dan menjadi tempat ideal perkembangbiakan nyamuk penyebab penyakit malaria dan demam berdarah. Penyakit-penyakit ini selain berkaitan dengan perubahan iklim, juga berkaitan dengan perubahan perilaku dan mobilitas penduduk bumi. Tingginya radiasi ultraviolet juga diperkirakan dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap mikroba patogen, sehingga menjaditerkena penyakit infeksi. Kepadatan, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya juga mempengaruhi timbulnya penyakit infeksi baru. Perubahan iklim juga mempengaruhi pola curah hujan dan menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Seiring penggundulan hutan dan konversi lahan sumber emisi terbesar, terjadi peningkatan temperatur udara setiap tahun sejak tahun 1990. Curah hujan yang lebat juga meningkat hingga 3 persen per tahun. Saat ini sekitar 41 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah pantai permukaan rendah yang berpotensi tenggelam lantaran kenaikan permukaan laut setinggi 15 sentimeter akibat kenaikan suhu permukaan bumi. Banjir akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Banjir merupakan penyebab tersebarnya agen penyakit dan wabah penyakit menular seperti leptospirosis, typhoid, diare dan cholera. Perubahan iklim juga menimbulkan bencana kekeringan. Bencana kekeringan pada dasarnya juga merupakan perubahan ekosistem yang akhirnya berdampak pada kesehatan. Salah satu dampak secara langsung adalah terhadap ketersediaan pangan terutama

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

untuk penduduk miskin. Akibat kurangnya ketersediaan pangan dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk terutama pada balita.3,4 Pada tulisan ini akan dibahas pengertian perubahan iklim global dan beberapa penyakit yang akan meningkat kasusnya sebagai akibat perubahan ikim global.

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL


Secara umum iklim didefinisikan sebagai keragaman keadaan fisik atmosfer. Sistem iklim dalam hubungannya dengan perubahan iklim menurut United Nation Framework Convention on Climate Change adalah totalitas atmosfer, hidrosfer, biosfer dan geosfer dengan interaksinya. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas/kegiatan manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas inilah yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi gas rumah kaca. Perubahan iklim secara alami terjadi secara gradual. Sejak zaman revolusi industri pembakaran bahan bakar fosil meningkat secara nyata. Meningkatnya laju pertambahan penduduk dunia yang besar pada zaman modern, serta pemakaian dan eksplorasi bahan-bahan di bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah yang merubah dan mempercepat perubahan susunan atmosfer bumi. Perubahan iklim global tidak terjadi seketika, walaupun laju perubahan lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim secara alami, perubahan terjadi dalam periode dekadal, sehingga issue perubahan iklim masih menjadi hal yang menimbulkan pro dan kontra. Perubahan konsentrasi gas rumah kaca global ini juga berpengaruh pada kenaikan suhu lokal, di Indonesia perubahan terjadi secara perlahan-lahan lebih kurang 0,03C per tahun. Jika ditinjau dalam periode puluhan tahun (dibandingkan dengan puluhan juta tahun usia bumi kita) maka perubahan ini cukup besar. Apalagi jika kenaikan suhu menyertai kejadian iklim ekstrim. Perubahan iklim global ini memberikan dampak di berbagai bidang kehidupan termasuk kesehatan.5,6 A. Penyakit Yang Ditularkan Melalui Gigitan Nyamuk 1. Malaria Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12% pendapatan nasional, negaranegara yang memiliki malaria. Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria

Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas/kegiatan manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang.

terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Pada survei kesehatan nasional tahun 2001 didapatkan angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program (UNDP, 2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta pertahun. Kasus malaria di Jawa dan Bali selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari 18 kasus per 100 ribu penduduk pada 1998, menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk pada 2000, atau naik hampir tiga kali lipat. Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar 60% dari tahun 19982000. Kasus terbanyak ada di NTT yaitu 16.290 kasus per 100 ribu penduduk.7,8 Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Indonesia. Penyakit malaria sering dikaitkan dengan perubahan iklim, karena baik nyamuk Anopheles maupun Plasmodium sensitif terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim akan mempengaruhi pola penularan malaria. Peningkatan suhu akan mempeng-aruhi perubahan bionomik atau perilaku menggigit dari populasi nyamuk, angka gigitan rata-rata yang meningkat (biting rate), perubahan kegiatan reproduksi nyamuk yang ditandai dengan perkembangbiakan nyamuk yang semakin cepat, pemendekan masa kematangan parasit nyamuk. Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan terbukanya peluang daerah baru sebagai endemik penyakit tersebut. Dengan adanya pemanasan global, nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk perkembangbiakan yaitu isotherm 16 Lintang utara dan Lintang selatan. Sejumlah penyakit memang endemis di wilayah tertentu, namun perubahan iklim berdampak terhadap penyebaran penyakit ke daerah lain. Anopheles adalah jenis nyamuk vektor utama penyakit malaria yang selama ini dianggap mampu berkembangbiak pada daerah tropis dengan suhu tidak kurang dari 16C dan pada ketinggian kurang dari 1.000 m. Namun laporan terakhir menunjukkan nyamuk ini telah ditemukan di daerah subtropis dan pada ketinggian dimana anopheles sebelumnya tidak ditemukan seperti di Afrika Tengah dan Ethiopia. Penelitian badan litbang depkes tahun 1999-2000 di kabupaten Banjarnegara, menunjukkan bahwa curah hujan dan indeks hujan berhubungan secara bermakna dengan kejadian malaria. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina. Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah Plasmodium falcifarum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, plasmodium malariae. Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falcifarum dan P. vivax. Infeksi malaria dapat memberikan gejala klinik berupa gejala klasik maupun tidak klasik bahkan kadang-kadang asimtomatik. Hal ini dipengaruhi oleh imunitas tubuh dan virulensi strain Plasmodium. Pada penderita tanpa imunitas atau imunitas partial, gejala malaria dapat klasik atau bahkan cenderung berat. Gejala prodromal yang umum dan tidak spesifik berupa lesu, malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, perut tidak nyaman dan diare ringan. Gejala klasik yaitu terjadinya trias malaria secara berurutan yaitu 1) periode dingin, pada periode ini penderita malaria akan mengalami keadaan menggigil, seluruh badan bergetar, kulit dingin dan ker-

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

81

82

ing. Periode ini berlangsung selama 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur. 2) Periode panas, pada periode ini suhu tubuh tinggi bisa sampai 40C atau lebih, kulit panas dan kering, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama daripada fase dingin, bisa sampai 2 jam atau lebih yang akan diikuti keadaan berkeringat.3) Periode berkeringat, pada periode ini penderita akan berkeringat seluruh tubuh, suhu tubuh turun, penderita merasa capek dan sering tertidur. Gejala trias malaria tidak selalu ada pada semua penderita, sering pen-derita hanya mengeluh satu atau dua gejala misalnya demam dan menggigil. Muka pucat yang disebabkan infeksi kronik malaria sering dijumpai pada penderita malaria di daerah endemis. Pada malaria berat dapat terjadi komplikasi berupa koma (malaria serebral), anemia berat Hb <5 gr% atau hematokrit <15%, gagal ginjal akut (kreatinin >3 mg%, urin <400 ml/24 jam), edema paru, hipoglikemia, gagal sirkulasi atau syok, perdarahan spontan dari hidung, gusi dan alat pencernaan, kejang berulang >2 kali per 24 jam. Upaya pemberantasan malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab malaria yaitu nyamuk Anophe-les. Untuk membunuh nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan penyemprotan rumah dan sekeliling rumah dengan racun serangga. Untuk membunuh larva dapat dilakukan dengan cara kimiawi dan hayati. Pemberantasan larva nyamuk Ano-pheles secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan larvasida. Pemberantasan larva nyamuk Anopheles secara hayati dilakukan dengan menggunakan beberapa agen biologis seperti ikan pemakan jentik. Pencegahan penyakit malaria juga dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan pengubahan lingkungan hidup sehingga larva nyamuk Anopheles tidak mungkin hidup. Kegiatan ini antara lain berupa penimbunan tempat perindukan nyamuk.9,10

2. Demam Berdarah Dengue Jumlah kejadian DBD sepanjang tahun 2007 mencapai total 139.695 kasus (incidance rate 64 kasus per 100.000 populasi) dengan total meninggal mencapai 1.395 kasus (CFR 1 %). Keadaan DBD 2007 ini meningkat lebih tinggi dibanding kea-daan tahun-tahun sebelumnya.11 Intergo-vernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Penyebaran penyakit demam berdarah dipengaruhi perubahan iklim, karena perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam habitat nyamuk Aedes aegypti. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu udara dan curah hujan pada suatu daerah. Dengan tidak adanya sistem drainase yang baik maka akan terbentuk genangan-genangan air yang sangat cocok untuk tempat perkembangbiakan nyamuk-nyamuk tersebut. Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata pun dapat mempengaruhi perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari fase telur menjadi nyamuk dewasa. Pada suhu 26C diperlukan 25 hari untuk virus dari saat pertama nyamuk terinfeksi virus sampai dengan virus dengue berada dalam kelenjar liurnya dan

Pada demam berdarah dengue gejala panas dapat terjadi gejala perdarahan berupa petechie, purpura, ekimosis, hematesis, melena dan epistaksis. Pada dengue shock syndrome timbul gejala renjatan yang ditandai dengan kulit lembab, dingin, sianosis perifer terutama tampak pada ujung hidung, jarijari tangan dan kaki, terjadi penurunan tekanan darah. Renjatan terjadi pada saat demam turun antara hari ke 3 dan hari ke 7.

siap untuk disebarkan kepada calon penderita demam berdarah. Sebaliknya, hanya diperlukan waktu yang relatif pendek yaitu 10 hari pada suhu 30C. Faktor iklim yang panas dan lembab akibat musim hujan darat memperpanjang umur nyamuk Aedes aegypti.12 Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik DBD mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue yang menginfeksi. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan subtropis. Disetiap negara, penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda. Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis. Kejadian penyakit DBD semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yang dikenal dengan dengue hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS). Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya demam berdarah dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, hingga yang paling berat yaitu dengue shock syndrome (DSS). Pada demam dengue terjadi peningkatan suhu disertai sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, mual, muntah dan batuk ringan. Pada demam berdarah dengue gejala panas dapat pula terjadi gejala perdarahan berupa petechie, purpura, ekimosis, hematesis, melena dan epistaksis. Pada dengue shock syndrome timbul gejala renjatan yang ditandai dengan kulit lembab, dingin, sianosis perifer terutama tampak pada ujung hidung, jarijari tang-an dan kaki, terjadi penurunan tekanan darah. Renjatan terjadi pada saat demam turun antara hari ke 3 dan hari ke 7. Ba-nyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor agent yaitu sifat virus dengue. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu : 1. Metode lingkungan, digunakan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh: - Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

- Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali. - Menutup dengan rapat tempat penampungan air. - Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya. 2. Metode biologis, pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) dan bakteri (Bt.H-14). 3. Metode kimiawi, cara pengendalian ini antara lain dengan: - Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. - Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat.13,14 3. Filariasis Data subdirektorat filariasis departemen kesehatan tahun 1999 menyebutkan prevalensi filariasis di Indonesia bervariasi antara 0,5 persen hingga 19,64 persen dengan rata-rata 3,1%. Sedangkan jumlah penderita kronis berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh sub direktorat tersebut pada tahun yang sama mencapai 6.233 orang di 1.533 desa pada 231 kabupaten di Indonesia. Penyakit kaki gajah (filariasis/elephantiasis) hingga kini masih menjadi endemi di ratusan kabupaten di Indonesia.15 Di dunia sekitar 120 juta orang dari 80 negara menderita filariasis. Di Indonesia sekitar 10 juta orang telah terinfeksi filariasis, 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk). Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh investasi satu atau lebih cacing filaria yaitu Wuchereria brancofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Masa inkubasi penyakit ini kurang lebih 1 tahun. Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk Culex quinquefasciatus, Aedes dan Anopheles yang biasanya menghisap darah pada malam hari. Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah. Gejala klinis filariasis Akut adalah: demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis); filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). Pencegahan dapat dilakukan dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengering-

kan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk; membersihkan semak-semak disekitar rumah.16,17 B. Penyakit Akibat Banjir 1. Diare Banjir besar yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia mengawali tahun 2008. Dari segi kesehatan, banjir berdampak buruk bagi para pengungsi lantaran adanya perubahan pada tiga faktor penting penyakit, antara lain, kuman penyakit, lingkungan, dan daya tahan tubuh seseorang. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam penyakit. Hasil pemeriksaan kesehatan oleh Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia Medical Relief di 51 titik di Jakarta pada 3.000 pasien korban banjir menunjukkan, beberapa penyakit terbanyak yang diderita di antaranya diare, ISPA, leptospirosis dan penyakit kulit. Data Departemen Kesehatan memperlihatkan, diare menjadi penyakit pembunuh kedua anak di bawah usia lima tahun atau balita di Indonesia, setelah radang paru atau pneumonia. Saat terjadi pengungsian besar-besaran, kondisi kebersihan, baik lingkungan maupun makanan dan minuman yang dikonsumsi, sangat tidak memadai. Sebagian pengungsi juga memanfaatkan sumber air bersih yang telah tercemar banjir. Kualitas air minum yang buruk menyebabkan terjadinya wabah diare. Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Diare akan menyebabkan terjadi-nya dehidrasi yang akan membahayakan jiwa terutama pada balita dan orang lanjut usia. Penyebab diare bermacam-macam, bisa disebabkan oleh virus, di mana virus melekat para permukaan sel mukosa usus dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel usus. Penyerapan pada usus menjadi menurun dan pengeluaran air dan elektrolit meningkat. Diare juga bisa disebabkan oleh enterotoksin atau racun yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium dan endotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus. Penyebab diare yang terbanyak adalah karena infeksi bakteri E. coli. Diare dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. Membersihkan tangan dengan sabun, meminum air minum yang telah diolah, menggunakan air yang tidak terkontaminasi, pengelolaan sampah yang baik agar makanan tidak tercemar dan membuang air besar pada tempatnya akan mengurangi penularan diare. 2. Leptospirosis Leptospirosis merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh mikroorganisma leptospira yang ditularkan melalui hewan pengerat terutama tikus, Penyakit ini sebenarnya sudah ada sejak abad 19 dan mulai muncul kembali sejak terjadinya banjir di Jakarta tahun 2002. Penyakit leptospirosis ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan subtropis. Hal ini akibat curah hujan yang tinggi yang disertai dengan kesehatan lingkungan yang kurang baik sehingga mempermudah penularan leptospirosis. Kejadian leptospirosis di Indonesia cukup tinggi dan angka kematian karena penyakit ini cukup besar. Data dari Pusat Pengendalian Krisis Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa selama Februari 2007 di seluruh Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi, pasien leptospirosis mencapai 193 orang dengan 14 pa-sien meninggal. Manifestasi klinis yang timbul pada stadium awal adalah demam menggigil, sakit kepala, malaise, muntah, komjungtivitis, rasa nyeri otot betis dan punggung. Pada stadium dua akan timbul komplikasi pada beberapa organ tubuh terutama hati dan ginjal. Pada sekitar 5-10% penderita leptospirosis akan mengalami gejala ikterus yang berat yang disebut dengan sindrom Weil. Penularan leptospirosis terjadi jika ada kontak antara kulit yang luka dengan air, tanah dan lumpur yang telah tercemar oleh air kemih hewan yang terinfeksi bakteri leptospira.20 Penanggulangan penyakit leptospirosis dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan terutama saat banjir, meng-

83

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

gunakan pelindung berupa sarung tangan dan sepatu bot untuk menghindari kontak dengan bahan-bahan yang tercemar bakteri leptospira, pemberantasan tikus yang merupakan reservoir penyakit ini.21 C. Penyakit Infeksi Baru 1. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Perubahan iklim dan cuaca, ternyata mengakibatkan proses mutasi sejumlah jenis virus menjadi lebih cepat. Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, merupakan yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim dan cuaca. Pemanasan global mengakibatkan perubahan jalannya evolusi flora dan fauna, yaitu memudahkan kuman bertumbuh dan mutasi. Pada tahun 2003 mutasi corona virus yang baru menyebabkan pandemi severe acute respiratory syndrome (SARS) atau corona virus pneumonia (CVP). Setelah itu, muncul kasus hebat di kawasan Asia, Eropa dan Amerika Latin, yakni flu burung.22 Kasus SARS (severe acute respiratory syndrome) atau sindrom pernapasan akut berat pertama kali ditemukan di propinsi Guangdong (China) pada bulan November 2003. Severe acute respiratory syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi pada ja-ringan paru manusia. Penyakit SARS ini mempunyai tingkat penularan yang tinggi terutama diantara petugas kesehatan yang selanjutnya menyebar ke anggota keluarga dan pasien-pasien Rumah Sakit. Angka kematian di antara penderita (CFR) diketahui sekitar 4%. Hingga saat ini SARS dilaporkan telah menyebar di berbagai negara ditandai dengan ditemukannya penderita yang dicurigai SARS. Dengan kenyataan di atas maka pada tanggal 15 Maret 2003, WHO menetapkan SARS merupakan ancaman kesehatan global (Global Threat) yang harus mendapat perhatian dari semua negara di dunia.23 Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah yang luas dan berbatasan dengan negara-negara terjangkit dan negara tempat ditemukannya penderita SARS. Keadaan ini menjadi ancaman terhadap masuknya penyakit ini ke wilayah Indonesia dan didukung oleh banyaknya jalur transportasi langsung dengan daerah-daerah di Indonesia. Pertama kali ditemukan di Asia pada pertengahan Februari, SARS telah menyerang lebih dari 450 orang di 3 benua dan menyebabkan pneumonia berat pada sebagian besar pengidap. Data ter-akhir yang dikumpulkan oleh WHO menunjukkan kecenderungan penyakit tersebut telah meluas di seluruh dunia. Pada bulan April 2003 jumlah kumulatif penderita SARS di seluruh dunia mencapai 2601 dengan 98 kasus kematian.24 Walaupun sampai saat ini penyebab pasti dari SARS belum diketahui, namun data laboratorium menunjukkan kemungkinan keterlibatan metapneumovirus (sejenis Paramyxovirus) dan Coronavirus sebagai virus penyebab. Infeksi Coronavirus pada manusia dapat menyebabkan penyakit saluran nafas bagian bawah yang berat baik pada orang dewasa maupun anak-anak serta dapat menimbulkan necrotizing enterocolitis (sejenis infeksi

84

Gejala dan tanda-tanda klinis sindrom pernafasan akut berat atau severe acute respiratory syndrome (SARS) meliputi panas tinggi (lebih dari 38C), disertai gejalagejala gangguan pernafasan seperti batuk, sesak nafas dan gejala-gejala lain berupa sakit kepala, nyeri/kaku otot, lemas, nafsu makan menurun bercak-bercak kemerahan dikulit, gelisah dan diare. Gejala klinis di atas biasanya timbul dalam 2 sampai 7 hari (pada beberapa kasus sampai 10 hari) Pada 10-20% kasus, gejala klinis terjadi sangat berat sehingga pasien memerlukan alat bantu nafas (ventilator).

pada usus besar) pada bayi baru lahir. Penularan infeksi virus ini dapat terjadi melalui inhalasi pernafasan dari pasien-pasien yang menderita SARS pada saat batuk atau bersin, atau melalui kontaminasi tangan penderita. Gejala dan tanda-tanda klinis sindrom pernafasan akut berat atau severe acute respiratory syndrome (SARS) meliputi panas tinggi (lebih dari 38C), disertai gejala-gejala gangguan pernafasan seperti batuk, sesak nafas dan gejala-gejala lain berupa sakit kepala, nyeri/kaku otot, lemas, nafsu makan menurun bercakbercak kemerahan dikulit, gelisah dan diare. Gejala klinis diatas biasanya timbul dalam 2 sampai 7 hari (pada beberapa kasus sampai 10 hari). Pada 10-20% kasus, gejala klinis terjadi sangat berat sehingga pasien memerlukan alat bantu nafas (ventilator). Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengkonsumsi makanan bergizi dan vitamin serta menghindari berpergian ke daerah-daerah yang dilaporkan terjadi wabah SARS.25,26 2. Flu Burung Pemanasan global mengakibatkan meningkatnya kasus flu burung (avian influenza/AI). Ini karena meningkatnya suhu udara mendorong peningkatan penguapan sehingga kondisi udara lebih lembab, sementara virus AI sangat menyukai kondisi lembab dan dingin.27 Secara kumulatif kasus Flu Burung di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 118 orang, 95 orang diantaranya meninggal dunia. Angka kematian (CFR = Case Fatality Rate) 80,5% Pada Februari 2008 jumlah kasus flu burung di Indonesia mencapai 126 kasus dengan 103 orang meninggal dunia.28 Flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza yang ditularkan oleh unggas yang dapat menyerang manusia. Nama lain dari penyakit ini antara lain avian influenza. Etiologi penyakit ini adalah virus influenza. Dikenal beberapa tipe virus influenza, yaitu; tipe A, tipe B dan tipe C. Virus Inluenza tipe A terdiri dari beberapa strain, yaitu: H1N1, H3N2, H5N1, H7N7, H9N2 dan lain-lain. Saat ini, penyebab flu burung adalah Highly Pathogenic Avian Influenza Virus, strain H5N1. Virus Influenza A (H5N1) merupakan penyebab wabah flu burung pada unggas. Secara umum, virus flu burung tidak me-nyerang manusia, namun beberapa tipe tertentu dapat mengalami mutasi lebih ganas dan menyerang manusia. Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari bahan yang terkontaminasi tinja dan sekret unggas, dengan beberapa tindakan seperti mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang mengalir sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan, melaksanakan kebersihan lingkungan dan melakukan kebersihan diri, tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata khusus), bahan yang berasal dari saluran cerna unggas, seperti tinja harus ditatalaksana dengan baik (ditanam atau dibakar) agar tidak

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

menjadi sumber penularan bagi orang disekitarnya.29 D. Masalah Kesehatan Akibat Gangguan Ketahanan Pangan Gizi Buruk Masalah kelaparan, rawan pangan, gizi buruk dan kesehatan yang diakibatkan kurang pangan adalah persoalan kronis yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Masalah gizi buruk merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terkait juga dengan masalah kesejahteraan masyarakat (pendidikan, sosial ekonomi, budaya dan politik). Penyebabnya selain kemiskinan adalah akibat dari produksi pangan yang kurang dalam suatu wilayah, tidak adanya akses terhadap pangan, bencana alam dan perubahan iklim. Di dalam suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Dari data Departemen Kesehatan, angka kejadian gizi buruk dan kurang pada balita tahun 2002 masing-masing 8% dan 27,3%. Pada 2003 mengalami peningkatan, masing-masing menjadi 8,3% dan 27,5%. Tahun 2005 naik lagi menjadi masing-masing 8,8% dan 28,0%. Di Indonesia berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UNICEF jumlah balita penderita gizi buruk pada tahun 2005 sekitar 1,8 juta. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut terdapat 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut maras-mus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Pada tahun 2006 penderita gizi buruk meningkat menjadi 2,3 juta jiwa. Sementara, prevalensi gizi kurang pada tahun 2007 untuk 116 kabupaten/kota di Indonesia masih di atas 40 persen dari populasi balita. Masalah gizi kurang itu tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.30 Berdasarkan kriteria organisasi kesehatan dunia (WHO), kasus kurang gizi dan gizi buruk di Indonesia tergolong tinggi. Keadaan gizi atau status gizi masyarakat menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat-zat gizi yang dikonsumsi seseorang. Bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan kebutuhan disebut gizi baik, bila asupan zat gizi lebih rendah dari kebutuhan disebut gizi kurang, bila asupan gizi sangat kurang dari kebutuhan disebut gizi buruk. Keadaan itu berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi menyebabkan penurunan produktivitas antara 20%-30%. Anak yang kekurangan gizi akan bertubuh pendek, mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak. Akibatnya tingkat kecerdasan rendah. Kasus kurang gizi dan gizi buruk cenderung meningkat dari tahun ketahun. Masalah ini jelas disebabkan oleh berbagai faktor yang mengakibatkan anak tidak mendapat asupan gizi yang cukup selama kurun waktu yang lama. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya gizi buruk adalah adanya gangguan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pang-an yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Perubahan iklim global dapat mengganggu ketahanan pangan. Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akan berdampak besar terhadap sektor pertanian, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Hal tersebut juga menyebabkan keterlambatan musim tanam yang berdampak pada hasil panen. Tingginya intensitas hujan dalam periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Semua keadaan di atas bisa mengancam ketahanan pangan. Dan bukan tidak mungkin bisa menyebabkan bencana kelaparan.31

PENUTUP
Masalah perubahan iklim adalah masalah yang akan memberikan dampak global bagi seluruh umat manusia di bumi. Di bidang kesehatan perubahan iklim menyebarkan peningkatan frekuensi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk seperti malaria, demam berdarah dan filariasis; penyakit akibat banjir seperti diare dan leptospirosis; beberapa jenis penyakit infeksi yang baru timbul seperti SARS dan flu burung. Perubahan iklim juga menyebabkan gangguan ketahanan pangan yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penderita gizi buruk. Upaya pengelolaan lingkungan yang baik merupakan salah satu cara untuk memutus rantai penularan penyakitpenyakit tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA 1. Perubahan iklim menyumbang peningkatan jumlah penyakit dan kematian dini. Available from http://www.ppkdepkes.org/index.php?option=com_ content&task=view&id=451&Itemid=102 2. Fahmi Umar. Dampak Perubahan Iklim Dalam Perspektif Kesehatan Lingkungan. Available from: http:// www. Technologi indonesia 3. AJ Mc Michael, et al. (Eds). Climate change and human health, risk and responses, WHO. 2003 4. T Mc Michael, et al. Global environmental change, climate and health. 2003 5. Perubahan iklim global. Available from: http://climatechange.menlh.go.id/ index.php?option=content&task=view&id=14&Itemid=2 6. Hidayati Rini. Masalah perubahan iklim di Indonesia. Beberapa contoh kasus. Available from: http://www.bdg.lapan.go.id/index.php?nama=reinstra& opt=detail&id=53 7. Malaria pembunuh terbesar sepanjang abad. Available from: http://kesehatanlingkungan.wordpress.com 8. Meiviana Armely, Sulistiowati Diah, Soejachmoen Moekti. Bumi makin panas, ancaman perubahan iklim di Indonesia. Pelangi, Kementerian Lingkungan Hidup, 2004 9. Daily Johanna. Malaria. Availble from: http://www.emedicine.com/med/topic1385.htm 10. Malaria. Available from: http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=46 11. Perkembangan kejadian DBD di Indonesia 2004-2007. Available from http://www.penyakitmenular.info/pm/default_sub.asp?m=5&s=13 12. Daryono. Demam berdarah berbasis perubahan iklim. Available from: http://www.balipost.com 13. Demam berdarah. Available from: http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=53 14. Shepherd Suzanne Moore. Dengue fever. Available from http://www.emedicine.com/med/topic528.htm 15. Kaki gajah masih menjadi endemi di ratusan Kabupaten. Available from http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=3969&tbl=cakrawala) 16. Filariasis. Available from: http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=32 17. Nissen Michael. Filariasis. Available from: http://www.emedicine.com/med/ topic794.htm 18. Diare. Availabel from: http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=11 19. Diare. Available from: http://www.esp.or.id/handwashing/media/diare 20. Wijayanti Khrisma. Penegakan diagnosa leptospirosis. Dexa Media 2008; 21 21. Penanggulangan leptospirosis. Available from: http://www.lkpk-indonesia. blogspot.com 22. Pemanasan global percepat mutasi virus. Available from: http://www.technologyindonesia.com/university.php?page_mode=detail&id=21 23. Evaluasi penanggulangan SARS di Indonesia. Available from: http://www. infeksi.com 24. WHO. Cumulative number of reported cases of severe acute Respiratory syndrome (SARS). Available from: http://www.who.int/csr/ sarscountry/2003_04_08/en/ 25. Oehler Richard. Severe acute respiratory syndrom. Available from: http:// www.emedicine.com/med/topic3662.htm 26. Shahab Alwi. Ancaman global sindrom pernafasan akut berat. Available from http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=915&tbl=artikel 27. Pemanasan global meningkatkan kasus flu burung. Available from: http:// www.depkes.go.id/index.php?option=news 28. Kasus flu burung di indonesia. Available from http:://kkpmedan.blogspot. com/2008/01 29. Patu Ilham. Flu burung di Indonesia. Available from http://www.infeksi.com/ articles.php?lng=in&pg=36 30. Budaya patriarkhi penyebab gizi buruk. Available from: http://www.ypha. or.id/information.php?subaction=showfull&id=1175675812&archive=star t_from=&ucat=2& 31. Perkembangan penanggulangan gizi buruk di Indonesia 2005. Available from: http://www.gizi.net/busung-lapar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-Final.pdf

85

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

Profil

Seorang Microbiologist & Research Professor yang ingin lebih banyak berbuat untuk sesama, terutama bagi masyarakat Indonesia

Dr. Yaya Rukayadi. Redaksi MEDICINUS (RM): Mengapa Dr. Yaya tertarik menjadi peneliti tanaman obat dan pengajar? Yaya Rukayadi (YR): Sebenarnya Ph.D saya dalam bidang mikrobiologi, apalagi saya mendapat pendidikan khusus tentang keragaman bakteri atau microbial diversity di Marine Biologycal Laboratory, Wood Hole, Massachusetts, USA. Tapi ketika bekerja di Korea saya jadi tertarik deng-an tanaman obat tropis. Santernya masalah resistensi antibiotik kimia pada berbagai patogen manusia mendorong saya untuk melakukan penelitian antimikroba dari tanaman obat. Sebenarnya tugas utama saya di Universitas Yonsei Korea adalah peneliti, saya seorang research professor, tapi saya juga dilibatkan dalam mengajar. Saya mengajar bioactive compound asal tanaman obat khususnya antimikroba dari tanaman obat. RM: Apakah menjadi peneliti dan pengajar adalah cita-cita Dr. Yaya? YR: Menjadi pengajar atau tepatnya guru merupakan cita-cita saya sejak kecil, saya ingin jadi guru SD, makanya saya bercitacita ingin masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru), cuman karena sesuatu hal akhirnya saya masuk SMAN I Situraja-Sumedang. Lulus SMA saya diterima di Farmasi ITB dan Pendidikan Biologi IKIP Bandung, saya selesaikan pendidikan S1 saya di IKIP Bandung karena memang ingin jadi guru atau pengajar. Tentang penelitian? Sewaktu kecil saya tidak tahu apa itu penelitian, baru setelah di perguruan tinggi saya mengerti penelitian, dan sayapun tertarik ingin jadi pengajar sekaligus peneliti. RM: Hobi Dr. Yaya sendiri apa ya? YR: Hobi saya menulis, membaca dan memo-

86

i kalangan dunia medis nama Dr. Yaya Rukayadi yang lahir di Sumedang 17 Agustus 1964 ini tentulah sudah sangat dikenal. Dr. Yaya Rukayadi adalah seorang Microbiologist dan Research Professor yang sekarang ini menetap di Korea dan juga tercatat sebagai pengajar di Yonsei University, Seoul, Korea Selatan. Doktor yang mempunyai hobi menulis, membaca dan memotret dan juga sebagai penyiar di Korean Boadcasting System (KBS) World Radio. Pengalamannya di komunitas internasional telah membantunya menjadi seorang yang open-minded. Salah satu penelitian yang dikerjakannya disana adalah penelitian Temulawak, dimana hasil penelitian Temulawak ini sudah dipublikasikan baik di jurnal internasional maupun jurnal nasional. Sekarang ini Dr. Yaya juga sedang mendalami Quorum Sensing. Kami berkesempatan mewawancarai Dr. Yaya Rukayadi. Seseorang yang perlu kita kagumi dan tentunya mengharumkan nama bangsa Indonesia bahwa sebagai seorang Microbiologist dan Research Professor beliau menghasilkan suatu karya ilmiah yang hasilnya bisa digunakan untuk kepentingan medis. Berikut hasil wawancara kami dengan

tret. Saya menulis sejumlah cerita pendek berbahasa Sunda (Carpon: carita pondok). Cerpen/carpon saya banyak dimuat di majalah berbahasa Sunda Mangle. Saya banyak membaca, selain jurnal ilmiah juga saya banyak membaca novel dan sejumlah buku. Memotret adalah hobi saya yang lain, bagus untuk menghilangkan stress, dengan memotret kita bisa berdialog dengan alam. Tak jarang saya mendapatkan inspirasi untuk menulis cerpen. Bahkan ide riset dan mesti diapakan data yang saya dapat, sering muncul saat saya memotret alam. Karena memotret juga saya dua kali ditangkap dan diinterogasi tentara dan keamanan Korea. Tahun 2001 saya jalan-jalan ke perbatasan Korea Selatan-Utara, saya banyak memotret pemandangan yang begitu indah, ada laut, gunung dan pemandangan lainnya. Tiba-tiba satu truk tentara Korea Selatan yang lengkap dengan pakaian seragamnya mendatangi saya, mereka menginterogasi saya, saya heran dan tentu kaget dan takut. Akhirnya film saya diambil, kameranya dikembalikan. Belakangan baru tahu bahwa di wilayah tertentu diperbatasan Korea Selatan-Utara dilarang memotret, saya juga heran karena saya tidak menemukan pengumuman larangan memotret. Pengalaman kedua terjadi beberapa minggu lalu di pusat kota Seoul, Kwanghwamun, saat itu ada demonstrasi besar-besaran dari rakyat Korea menentang kebijakan impor daging sapi Amerika Serikat. Tentu saja hal ini merupakan peristiwa yang bagus untuk dipotret. Tetapi saat asyik-asyiknya memotret aksi para demonstran, sejumlah demonstran mendekati dan mengelilingi saya, saya diinterogasi dan tentu saja akhirnya compactflash saya diambil. RM: Kegiatan lain selain sebagai peneliti dan pengajar di Yonsei University? YR: Saya punya banyak kegiatan di samping riset, salah satunya yang rutin adalah saya menjadi penyiar di Korean Boadcasting System (KBS) World Radio, saya membawakan acara Nafas Kehidupan Korea, acara itu seminggu sekali tiap hari Sabtu, jadi tidak mengganggu kegiatan riset saya. Pada acara itu, saya mesti menjelaskan tentang keseharian atau info apa yang sedang trend di Korea. Ini sangat menarik bagi saya,

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

sebab riset dan dunia penyiaran merupakan dua hal yang berbeda, it is so challenging. Saya juga suka akan budaya, jadi saya sering mengikuti kegiatan budaya Korea. Di Korea banyak sekali klub-klub misalnya klub naik gunung, nah saya juga ikut disana. RM: Kalau untuk kegiatan ilmiah yang selama in pernah Dr. Yaya ikuti? YR: Sebagai peneliti, kegiatan saya sebagian besar berhubungan dengan kegiatan ilmiah tentunya. Misalnya, paling tidak dalam setahun saya mengikuti 4 sampai 6 kali seminar atau simposium bertaraf internasional di berbagai negara. Kemudian 2-3 kali dalam setahun mengikuti seminar atau simposium nasional, baik di Korea ataupun di Indonesia. Dalam seminar atau simposium itu tentu saja saya sebagai keynote speaker dan saya juga selalu mempresentasikan hasil riset saya baik oral maupun poster. Kegiatan lain, saya sering diundang untuk memberikan kuliah umum di universitas-universitas di luar Universitas Yonsei di Korea. Saya juga sering diundang memberikan kuliah di Indonesia misalnya di ITB, Unpad, ITENAS, Atmajaya, UI dan lain-lain. Lembaga lain seperti Biofarma juga pernah mengundang saya untuk sharing hasil riset. Sejumlah perusahaan juga mengundang saya untuk memberikan pengetahuan hasil riset misalnya Kalbe Farma, Nutrifood dan lain sebagainya. Saya juga sering pergi ke hutan-hutan, kampung-kampung, pasar tradisional untuk sampling mencari sample baru, baik di Indonesia maupun negara lain misalnya Thailand. RM: Prestasi apa saja yang pernah Dr. Yaya dapatkan selama ini? YR: Saya pernah mendapatkan Carl Zeiss Award melalui Marine Biologycal Laboratory saat saya mengikuti kursus microbial diversity di MBL, Wood Hole, Massachusett, USA. Juga saya pernah mendapatkan award sebagai pempresentasi poster terbaik pada berbagai acara Internasional Seminar atau Simposium. RM: Apa yang membuat Dr. Yaya menetapkan hati untuk menjalani profesi peneliti dan pengajar di Korea dibandingkan di Indonesia? YR: Wah menetapkan hati, sebenarnya saya datang ke Korea awalnya ingin melakukan posdoct. Saya kan lulusan atau produk dalam negeri, sekolah formal saya dari SD sampai S3 semuanya dari dalam negeri. Saya merasakan perlunya pengalaman luar negeri, tepatnya pengalaman di negara-negara yang dunia risetnya sudah maju. Setelah mengikuti kursus microbial diversity di Marine Biologycal Laboratory, Wood Hole, Massachusetts, USA, saya selanjutnya melakukan short posdoct di University of Edinburgh, Skotlandia. Setelah selesai program di Edinburgh, saya pindah ke Korea, ke Bioproducts Research Center Yon-

sei University sebagai postdoc juga. Setelah selesai program postdoct saya ditawari jadi peneliti di lembaga yang sama. Selanjutnya saya jadi peneliti di Natural Products and Biomaterial Laboratory, Department of Biotechnology, Yonsei University. Sejak tanggal 1 Maret 2008 saya mendapatkan research professor. Selain itu juga saya sering dilibatkan dalam pengajaran mulai dari undergraduate sampai graduate. Kalau yang menetapkan hati bagi saya adalah saya ingin membuktikan bahwa produk atau lulusan dalam negeri pun bisa laku di luar negeri, artinya saya pun bisa bersaing dengan lulusan luar negeri dalam bidang sains. Alasan lain, saya di luar negeri bisa riset sebebas-bebasnya tanpa memikirkan dana riset, artinya negara maju mempunyai dana cukup untuk riset. RM: Adakah penghargaan yang didapatkan selama Dr. Yaya tinggal di Korea? YM: Pemerintah Korea melalui Kotamadya Seoul tahun 2007 memberikan Honorary Citizen, saya mendapatkan berbagai fasilitas gratis selain saya punya ID khusus. Saya gratis masuk berbagai objek wisata serta selalu mendapatkan undangan khusus pada acara-acara resmi kota Seoul. RM: Adakah pengalaman suka maupun duka selama menjalani penelitian dan pengajar di Yonsei University? YR: Pengalaman? Wah banyak sekali. Salah satunya, ketika saya postdoct dulu di Korea, orang selalu memandang sebelah mata, look down gitu, wah orang Indonesia, lulusan domestik lagi. Suatu ketika ada alat baru datang ke Lab, namanya PFGE, saya tahu persis alat itu, pembimbing saya dulu Prof. Antonius Suwanto mengajarkan banyak PFGE karena memang beliau Bapak PFGE Indonesia. Di Lab itu tak ada yang bisa mengo-perasikan PFGE, akhirnya saya tunjukkan pada mereka bahwa saya tahu banyak PFGE, akhirnya sedikit demi sedikit pandangan mereka jadi berubah, bahkan setelah saya mampu mempublikasikan hasil-hasil riset saya di jurnal-jurnal internasional, mereka sangat menghargai saya. Begitupun saat saya pertama kali berdiri di depan kelas, ketika saya memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia lulusan universitas di Indonesia, mereka memandang saya dengan ngantuk. Tapi akhirnya mereka suka dengan lecture saya, setelah saya selalu berusaha yang terbaik dan semenarik mungkin. RM: Balik lagi ke masalah penelitian, mengapa Dr. Yaya sangat tertarik meneliti Temulawak? YR: Saya tidak mempunyai cita-cita untuk melakukan penelitian temulawak. Sebenarnya kan Doktor saya dalam bidang mikrobiologi bukan tanaman obat. Ketika saya diajak bekerja dengan Professor Jae Kwan Hwang, beliau yang sangat tertarik deng-

an tanaman obat terutama tanaman obat tropis, jadi saya berpikir, kenapa tidak dicoba? Selain itu slogan back to natural dan hebohnya masalah resistensi mikroba patogen terhadap antibiotik kimia atau semikimia semakin memberikan dorongan bagi saya untuk melakukan penelitian tanaman obat. Prof. Hwang lebih menekankan pada tanaman obat yang edible yang bisa dimakan, yang bisa sebagai makanan, bumbu, minuman sekaligus mengandung khasiat. Karena kalau edible lebih mudah untuk aplikasi industrinya. Nah temulawak atau dalam bahasa Sunda disebut koneng gede sangat menarik kami sebab selain mengandung senyawa aktif untuk berbagai anti-antian misalnya antibakteri, antiinflammatori, antioksidan dan lain sebagainya. Juga Temulawak bisa dimakan atau sudah biasa dikonsumsi. Kalau saya balik ke belakang, ke jaman saya masih kecil di Situraja Sumedang, dodol koneng gede atau dodol temulawak adalah sarapan pagi saya, dodol koneng gede sangat terkenal di kampung saya. Makanya saya makin tertarik dengan penelitian temulawak. RM: Bagaimana perkembangan hasil penelitian Temulawak 2 tahun terakhir? YR: Penelitian temulawak akhir-akhir ini, sudah lebih jauh lagi bahkan sudah sampai ke tingkat industrialisasi. Sejak dua tahun terakhir odol temulawak sudah beredar di pasaran Korea, xanthorrhizol yang terkandung dalam ekstrak temulawak mempunyai kemampuan untuk oral care. Tahun lalu yakult dan berbagai lotion yang mengandung ekstrak temulawak (mengandung xanthorrhizol juga sudah beredar di pasaran Korea. Anak-anak kan malas sikat gigi tapi suka minum yakult dengan minum yakult yang mengandung ekstrak temulawak diharapkan giginya akan terlindung dari over aktivitas dari oral bakteria. Xanthorrhizol pada ekstrak temulawak juga bagus untuk melawan ber-bagai bakteri dan fungi kulit sehingga bagus untuk perawatan kulit, makanya lotion yang mengandung temulawak diproduksi. Awal tahun ini malah permen karet temulawak sudah beredar di pasaran Korea. Penelitian terakhir saya, kita sudah buktikan bahwa xanthorrhizol dari temulawak bisa membunuh fungi penyebab ketombe, siapa tahu nanti ada sampoo temulawak. Jadi penelitian temulawak sudah berkembang jauh saat ini. RM: Selain Temulawak, apakah ada tanaman lain yang sedang diteliti? YR: Tentu saja ya, temulawak hanya salah satunya saja, kita sedang meneliti terutama dari Famili Zingiberaceae, khususnya temukunci, temuputih, temuhitam, selain itu dari tanaman obat lain misalnya pala, jongrahap dan kemukus atau Piper cubeba.
MEDICINUS

87

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

RM: Apa yang paling membanggakan Dr. Yaya selama menjalani penelitian tanaman obat khususnya Temulawak? YR: Yang membanggakan bagi saya adalah meskipun saya bekerja di luar negeri tapi saya masih bekerja dengan sesuatu yang ada hubungannya dengan Indonesia. Temulawak adalah khas asli tanaman obat Indonesia, temulawak tidak tumbuh di Korea karena temulawak salah satu tanaman tropis. Sehingga kebutuhan temulawak Korea mesti di pasok dari Indonesia. Korea mengimpor banyak temulawak dari Indonesia. Sekarang tambah lagi satu pasar temulawak bagi Indonesia, kan bagus bagi petani Indonesia. Tapi kalau Indonesia hanya bisa menjual raw temulawak atau bahan dasarnya saja, maka tidak ada nilai tambahnya, mestinya kedepan, Indonesia bisa paling tidak mengekspor ekstrak temulawak, bahkan kalau berbagai produk industri temulawak seperti yang sekarang beredar di Korea juga bisa dibuat di Indonesia untuk pasar Indonesia akan bagus. Yang paling utama saya merasa bangga bahwa temulawak dikenal di luar negeri sekarang. RM: Adakah hasil penelitian tanaman Temulawak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal nasional maupun internasional? Bila ada bisakah disebutkan judul beserta nama jurnalnya? YR: Tentu saja ya, tahap akhir dari metoda ilmiah kan publikasi, hasil riset kita harus dipublikasikan demi perkembangan ilmu. Saya punya sejumlah penelitian temulawak yang saya publikasikan di jurnal nasional (Indonesia) dan internasional, yang saya sebutkan yang baru-baru saja, ya yang tahun 2006-2007 saja, sebagai berikut: Nasional: a. Rukayadi, Y and JK. Hwang. 2007. The effects of xanthorrhizol on the morphology of Candida cells examined by scanning electron microscopy. Microbiology Indonesia 1: 98 100. b. Rukayadi, Y. 2006. Effect of xanthorrhizol on Streptococcus mutans biofilms in vitro. Indonesian Journal of Microbiology 11:40-43 Internasional: a. Rukayadi, Y. and JK. Hwang. 2007. In vitro antimycotic activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. against opportunistic filamentous fungi. Phytotherapy Research 21: 434-438. b. Rukayadi, Y. and JK. Hwang. 2007. In vitro anti-Malassezia activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. Letter in Applied Microbiology 44: 126-130. c. Rukayadi, Y. and JK. Hwang. 2006. Effect of coating the wells of polystyrene microtiter plate with xanthorrhizol on the biofilm formation of Streptococcus mutans. Journal of Basic Microbiology 46: 411-416. d. Rukayadi, Y, D. Yong and JK. Hwang. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. Journal of Antimicrobial and Chem-

otherapy 57: 1231-1234. e. Rukayadi, Y. and JK. Hwang. 2006. In vitro activity of xanthorrhizol against Streptococcus mutans biofilms. Letter in Applied Microbiology 42: 400-404. RM: Dr. Yaya juga expert masalah Quorum Sensing, mohon dijelaskan secara singkat mengenai Quorum Sensing dan apa dampaknya terhadap dunia pengobatan. YR: Quorum sensing (QS), adalah fenomena yang baru terungkap kurang lebih sejak 15 tahun yang lalu. Malah istilah QS sendiri baru diperkenalkan tahun 1994 oleh Prof. Fuqua. Pada kenyataannya bakteri melakukan sesuatu, setelah jumlah mereka mencapai quota atau mencapai quorum tertentu. Berbagai kebiasan bakteri termasuk ekspresi faktor virulen dan faktor patogenisitas bakteri ternyata diatur oleh QS sistem. Jadi sejumlah bakteri patogen dapat mengekspresikan sifat patogenisitasnya jika jumlahnya mencapai suatu quota tertentu atau suatu densitas tertentu. Untuk mencapai densitas tersebut maka bakteri melakukan komunikasi dengan jalan mengsekresikan apa yang disebut autoinduser sebagai alat komunikasi tersebut. Senyawa homoserin lakton merupakan autoinduser atau alat komunikasi bagi bakteri Gram-negatif dan hanya bisa digunakan untuk komunikasi dengan spesies yang sama. Sedangkan pada Gram-positif autoindusernya adalah polipeptida sama dengan homoserin lakton peptida inipun hanya bisa dipakai untuk komunikasi dengan spesies yang sama. Bagaimana kalau ingin berkomunikasi dengan spesies berbeda? Nah sejumlah bakteri menggunakan fosfoborat diester misalnya sebagai autoinduser untuk komunikasi interspesies. Kita semuanya sudah mengerti tentang adanya resistensi pada kuman patogen. Kenapa mereka resisten terhadap sejumlah antibiotik, salah satunya karena kita selalu menghantam atau membunuh kuman patogen dengan antibiotik dan kita setuju akibatnya muncul galur-galur kuman yang resisten. Nah deng-an memahami QS kita mencoba untuk tidak membunuh kuman tersebut, tetapi kita mencegah agar kuman itu tidak berkomunikasi, karena tidak mampu berkomunikasi akhirnya mereka tidak bisa berkumpul akibatnya quota atau quorum itu tidak tercapai, akhirnya faktor-faktor patogenisitasnya tidak terekspresi, menarik bukan? Jadi dengan pendekatan mencari senyawa-senyawa anti-QS (anti-quorum sensing) kita akan mencegah kuman berkomunikasi jadi tidak membunuh kuman, karena mereka tidak berkomunikasi maka patogenisitas atau virulen faktornya tidak terekspresi dengan kata lain kita menghambat patogenisitas kuman. Jadi ada dua hal penting tentang anti-QS pertama tidak membunuh kuman, kedua hanya mencegah kuman jadi patogen.

Ini tentu saja dapat memberikan dampak lain pada pengobatan, sekarang para ahli pencari obat baru, rame-rame mencari senyawa yang bisa mengkelat homoserin lakton, peptida dan fosfoborat diester untuk mencegah bakteri berkomunikasi dengan maksud mencegah patogenisitas terekspresi. Tentu saja bukan hanya untuk mengkelat autoinduser, tapi senyawa-senyawa yang bisa bersifat sebagai antagonis, degadrasi dan kompetitor terhadap autoinduser juga rame sedang dicari, dan mekanisme lainya. Banyak para peneliti memfokuskan penelitian untuk mencari senyawa-senyawa anti-QS termasuk saya sendiri. Memang sejauh ini belum ada laporan resistensi akibat penggunaan anti-QS, lagi pula obat anti-QS masih dalam tahap eksplorasi dan penelitian dan belum ada obat komersialnya. Yang jelas dengan dipahaminya sistem QS pada kuman patogen akan memberikan kerangka kerja baru bagi pharmancist, foodsciencist, microbiologist, dan para ahli terkait. RM: Apa harapan Dr. Yaya pada 5 tahun mendatang di pekerjaan maupun kehidupan pribadi? YR: Harapan saya di pekerjaan 5 tahun mendatang, tentunya saya sebagai penyandang research professor, mesti lebih professional lagi ya, artinya saya mesti lebih banyak lagi menghasilkan data riset dan paper-paper internasional demi kemajuan ilmu pengetahuan. Paling tidak 5 papers dalam setahun yang bertaraf internasional tentunya. Sejumlah hasil riset kami sudah diindustrialisasikan misalnya odol, permen karet, lotion, yakult yang mengandung ekstrak temulawak, dan sudah banyak di pasaran Korea. Kalau kehidupan pribadi, saya ingin berbuat lebih banyak untuk sesama, terutama bagi masyarakat Indonesia. Saya ingin membuat perpustakaan umum atau paling tidak rumah baca bagi masyarakat kecamatan Situraja-Sumedang, Jawa Barat, tempat dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya sedang mengkoleksi buku-buku sekarang. RM: Apa harapan Dr. Yaya, khususnya untuk para peneliti di Indonesia? YR: Saya mempunyai harapan besar agar para peneliti Indonesia dapat mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya di jurnaljurnal internasional, bukan di jurnal-jurnal nasional atau buletin-buletin lokal saja. Publikasi internasional akan dibaca oleh masyarakat dunia, yang pada gilirannya orang luar akan tahu bahwa di Indonesia juga aktif melakukan penelitian. Indonesia mempunyai banyak lembaga riset, balai penelitian, juga perguruan tinggi, jika satu lembaga mentargetkan satu atau dua saja jurnal publikasi internasional, berapa jumlah paper yang bisa dihasilkan Indonesia, yang nantinya akan me-ningkatkan ranking Indonesia di bidang ilmu pengetahuan dunia. Galih

MEDICINUS

88

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

events

OGBdexa
Tingkatkan Distribusi ke Apotik di Indonesia

Distribusi OGBdexa terus ditingkatkan di Apotik dan Rumah Sakit

erlahan namun pasti, popularitas obat generik berlogo (OGB) di Indonesia terus meningkat. Meski kon-

sumsi OGB di tanah air masih jauh tertinggal dibandingkan dengan obat-obatan bermerek (branded), ke depan pasar OGB

memiliki potensi yang besar. Saat ini, pasar OGB di Indonesia baru sekitar 10% dari total pasar obat. Apalagi sejak pemerintah mencanangkan berbagai program, seperti Jamkesmas yang akan menjadi salah satu pintu masuk penggunaan OGB di dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Bagi rakyat yang kurang mampu, keberadaan OGB yang produknya lengkap, kualitas dijamin, dan harga terjangkau menjadi pilihan terbaik. Salah satu pabrik farmasi swasta nasional yang terus memproduksi OGB secara berkesinambungan sejak tahun 1991

adalah Dexa Medica. Saat ini, OGBdexa sudah sebanyak 90 item. Kami terus melakukan inovasi, dan dalam waktu dekat ini, kami akan memasarkan 3 produk baru OGBdexa, jelas Head of Marketing and Sales OGBdexa, Tarcisius T. Randy. Range product OGBdexa hampir menjangkau semua kelas terapi, mulai dari antihipertensi, antikolesterol, antidiabetes, antibiotik, antipiretik, antijamur, antivirus, antimual, dan lain-lain. OGBdexa tersedia dalam sediaan oral (tablet, kapsul, sirup), sediaan injeksi (ampul, vial, infus), maupun sediaan tropikal (krim). Dari 90 item ini, sebanyak 5 item produk belum diproduksi oleh produsen OGB lain. Di tengah persaingan yang ketat, peluncuran OGB yang cepat ke pasar menjadi salah satu strategi yang penting. Apalagi, tambah Tarcisius, siklus produk OGB semakin lebih pendek, karena produsen lain juga meluncurkan produk tersebut. Selain menambah range products, OGBdexa juga terus memperluas area distribusi. Menurut

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

89

events
lu diragukan lagi, karena diproduksi oleh perusahaan yang memiliki tradisi kuat menjunjung mutu setiap obat yang dihasilkan. Bahkan, untuk produk Cephalosporin, dibuat di unit produksi Cephalosporin yang baru, yang diresmikan beroperasinya pada 6 Februari 2006. Pembangunan unit produksi Cephalosporin ini, didisain berdasarkan cGMP (current Good Manufacturing Practices) sehingga akan menjadi new center of excellence bagi Dexa Medica. Unit Cephalosporin ini merupakan fully independent unit, yang terpisah dari unit-unit produksi lain untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang. 2. Range Product Luas. Keunggulan OGBdexa adalah range product yang luas untuk berbagai penyakit baik yang sifatnya akut seperti infeksi, nyeri, demam, mual maupun yang kronis (jangka panjang) seperti hipertensi, kolesterol, diabetes, rematik. Kami selalu proaktif dalam upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai OGB. Kami juga melakukan program-program edukasi antara lain talkshow dan radio, di pertemuan-pertemuan masyarakat, kami juga melakukan pembagian brosur awam mengenai apa itu OGB, yang tentunya isi brosur tersebut telah disetujui oleh BPOM. Penyuluhan kesehatan, dan pengobatan gratis yang bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, tambah Tarcisius. Ke depan, OGBdexa akan terus berinovasi untuk menyediakan produkproduk yang bermutu dan memiliki jangkauan produk untuk penyakitpenyakit yang banyak diderita oleh masyarakat. Pada kesempatan ini, pesan Tarcisius, jangan ragu menggunakan OGBdexa.
RM

MEDICINUS

OGBdexa terus memberikan edukasi kepada masyarakat melalui talkshow di radio dexa

90

Tarsicius, distribusi OGBdexa kini terus ditingkatkan. Dengan demikian, resep OGB dari dokter telah tersedia di apotikapotik di seluruh Indonesia, tambahnya. Perluasan area distribusi ke apotik-apotik di seluruh Indonesia kini terus dilakukan, karena peluang penjualan di apotik masih besar. Untuk rumah sakit, penyebaran sudah memadai. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan sosialisasi kepada dokter dan masyarakat awam mengenai OGB. Sosialisasi tersebut antara lain: memberikan informasi ke dokter, melakukan pengobatan gratis, talkshow dan pemberian edukasi ke masyarakat dengan penyebaran brosur awam. Rangkaian kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan. Dalam acara sosialisasi, OGBdexa terus meyakinkan masyarakat untuk tidak ragu lagi menggunakan OGB, terutama OGBdexa. Setiap produsen yang memproduksi OGB harus memiliki sertifikat CPOB

(Cara Pembuatan Obat yang Baik) yang ditetapkan pemerintah untuk menjamin mutu dan kualitas produk yang dihasilkan. Keunggulan OGBdexa antara lain: 1. Kualitas dijamin. OGBdexa diproduksi di pabrik Dexa Medica yang merupakan salah satu perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia, yang menjunjung tinggi mutu setiap produk yang

dihasilkannya. Dexa Medica didirikan tahun 1969 di Palembang, dan telah mendapatkan sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) pada tahun 1990. Pada tahun 2007, Dexa Medica memperoleh sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sebagai perusahaan yang konsisten dalam manajemen mutu dan lingkungan. Jadi mutu OGBdexa tidak per-

OGBdexa, dharma dexa & IDI adakan pengobatan gratis memperingati Hari Kebangkitan Nasional & Seabad Kiprah Dokter di Indonesia, di Petojo, Jakarta Pusat

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

calendar event
1. The 5th National Symposium on Heart Brain Interaction Tema: Dengan Jantung yang Sehat Terpelihara, Inteligensia yang Berkualitas Tanggal: 8-9 Agustus 2008 Tempat: Hotel Bumi Minang, Padang Sekretariat: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Andalas/RS. dr. M. Djamil Padang Telp./Faks: 0751 36248 Contact Person: dr. Muhammad Syukri, SpJP (Hp: 08126632786); dr. Syarif Indra, SpS (Hp: 08126771521) 2. The 37th IOA Annual - The 1st Indonesian Ophtalmologists Association and Singapore Ophthalmology Joint Meeting Tanggal: 9-11 Agustus 2008 Tempat: Clarion Hotel & Convection, Makassar Sekretariat: PERDAMI: Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (INDONESIAN OPHTHALMOLOGISTS ASSOCIATION) Department of Ophthalmology University of Indonesia Telp.: +62 21 580678 Faks: +62 21 580678 E-mail: perdami_sulsel@yahoo.co.id; perdami@indo.net.id Website: http://www.perdami.or.id/event_index.php?ids=16 3. Transformasi Ilmu Dan Teknologi Dalam Praktek Profesi Kefarmasian Tanggal: 11-12 Agustus 2008 Tempat: Hotel Inna Garuda Sekretariat: Gedung Unit 1 Lt. 2 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Yogyakarta Telp.: +62 274 543120/6844582 Faks: +62 274 543120/553110 E-mail: panitia@kongres-isfi.info Website: http://www.kongres-isfi.info Contact Person: Susiana Sari 4. 15th International Symposium on Critical Care 2008 Tanggal: 13-16 Agustus 2008 Tempat: Kartika Plaza Discovery, Bali Sekretariat: Q-Citra Organizer, Jl. Raya Kalibata No. 5 Pancoran Jakarta Selatan 12750 Telp.: +62 21 79194377/98286548 Faks: +62 21 79194377 E-mail: qcitra@yahoo.com Contact Person: Mia/Cindy 5. Indonesia International Pharma Expo Tanggal: 20-23 Agustus 2008 Tempat: Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Sekretariat: Krista Exhibition, Jl. Blandongan 28DG, Jakarta Telp.: 62-21-6345861, 6345862, 6334581 Faks: 62-21-6340140, 6342113 E-mail: marketing@geoconvex.co.id Contact Person: Jery Londa 6. National Seminar PASTI-PERPASTI The 3rd Jakarta //international Meeting on Anti-Aging Medicine & Expo 2008 Mens and Womens Health Bringing Better Healthy Aging Life in Indonesia Tanggal: 22-24 Agustus 2008 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Jl. Sawo 15, Menteng Jl. Janur Indah 5 LA 15 No. 7 Kelapa Gading Telp: +62 21 4532202 Faks: +62 21 4535833 E-mail: globmed@yahoo.co.id 7. A Course on Epilepsy Surgery: Evaluation, Surgical Procedures and Rehabilitation Tanggal: 22-23 Agustus 2008 Tempat: Convention Hall, Patra Jasa Hotel, Semarang Sekretariat: Medical Faculty Diponegoro University (MFDU) Semarang, Indonesia Faks: +62 24 8443239 E-mail: undipneurologi@yahoo.com 8. International Summit on Aesthetic Medicine: The Advances of Aesthetic Medicine in the Globalization era Tanggal: 28-30 November 2008 Tempat: Aston International Hotel, Denpasar, Bali Sekretariat: Jl. Hang Lekir Raya No. 26, Kebayoran Baru, Jakarta 12120, Indonesia Telp.: +62 21 7260088 Faks: +62 21 7397555 E-mail: pco@aestheticmedicineina.com Website: www.aestheticmedicineina.com 9. The 7th Asia Pasific Conference on AntiAging Medicine 2008 Tanggal: 10-12 Oktober 2008 Tempat: Grand Hyatt Bali Nusa Dua Sekretariat: Asia Anti Aging 2008 Conference Secretariat c/o VICTUS Life-Spa & Longevity Institute Kawasan Pariwisata BTDC Lot C-3, Nusa Dua Resort 80363, Bali Telp.: 62 361565/3617423649/ 08123940113 Faks: 61 733196527 (Intl); 0361 773570 (lokal) Email: info@AsiaAntiAging.net Website: http://www.AsiaAntiAging.net Contact Person: Mel Tjandra 10. 2nd Indonesian PICU-NICU Update 2008 Tanggal: 23-26 Oktober 2008 Tempat: Crowne Plaza Hotel, Jakarta Sekretariat: Geoconvex Office & Mailing Address: Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340 Telp.: 62 21 3149318/3149319/2305835 Faks: 62 21 3153392 Contact Person: Jerry Londa 11. 5th Congress of Asia-Pacific Knee Society Tanggal: 30 Oktober - 1 November 2008 Tempat: Bali Intercontinental Hotel, Bali Sekretariat: Jl. Durentiga Selatan VII No. 51 - Jakarta Selatan 12760 Telp./Faks: 021 79190124 Email: info@apks2008bali.com 12. Seminar Nasional IX Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Indonesian Hospital Association) 21th Indonesian International Hospital, Medical, Pharmaceutical and Clinical Laboratories Equipment Exhibition Tanggal: 4-7 November 2008 Tempat: Plenary Hall, Assembly Hall, Main Lobby, Jakarta Convention Center) Sekretariat: PT. OKTA SEJAHTERA INSANi (OSI) Perkantoran Kebun Jeruk Baru Blok A No. 13 14, Jl. Arjuna Selatan, Jakarta 11530 Telp.: 62 21 53677981/53677982 Faks: 62 21 53677983 E-mail: hospex@cbn.net.id, hospital.expo@gmail.com Website: http://www.hospital-expo.com 13. Alternatives Pain Management Courses & Symposium 2008 Tanggal: 8-9 November 2008 Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta Sekretariat: Geoconvex Office & Mailing Address Jl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340 Telp.: 62 21 3149318/3149319/2305835 Faks: 62 21 3153392 Contact Person: Jery Londa 14. Asia Pacific Geriatric Conference Tanggal: 13 - 16 November 2008 Tempat: Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Sekretariat: Division of Geriatric Medicine, Department of Internal Medicine Jl. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp./Faks: 62 21 3146633 E-mail: apgc@pharma-pro.com Contact Person: Dr. Cz. Heriawan Soejono, Dr. Edy Rizal Wahyudi, Ms. Ismayanti 14. 2nd International Seminar and Workshop on Ambiguous Genitalia and Hypospadias Tanggal: 20-22 November 2008 Tempat: Hotel Patrajasa, Semarang Sekretariat: Department of Urology, Dr. Kariadi Hospital/ Faculty of Medicine Diponegoro University, Semarang Jl. Dr. Soetomo 16-18 Semarang Telp./Faks: 024 8310153 E-mail: urologysmg@yahoo.com Contact Person: Mrs. Dra. Sri Supriyasih (Asih)

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

91

events

Workshop Inhalation Agents in New Perspective


21 Juni 2008
Department of Anesthesiology & Intensive Care FKUI RSCM Gedung A Lantai 6

P
92
MEDICINUS

engurus Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI) Jaya bekerjasama dengan Departemen Anestesiologi FKUI RSCM dan didukung oleh PT Dexa Medica mengadakan acara dengan tema Workshop Inhalation Agents in New Perspective pada tanggal 21 Juni 2008. One Day Workshop ini dimulai pukul 09.00-15.30 WIB, bertempat di Departement of Anesthesiology and Intensive Care FKUI RSCM Gedung A lantai 6 dan diikuti oleh sekitar 30 peserta. Pada workshop ini akan dibahas hal yang terkini mengenai gas inhalasi halogenated serta diskusi mengenai beberapa kasus khusus yang berhubungan dengan penggunaan gas anestetik inhalasi. Acara ilmiah ini juga dilaksanakan untuk mendukung kegiatan Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDSAI. Workshop Inhalation ini dibuka oleh Dr. Arif H.M. Marsaban, SpAn selaku ketua IDSAI Jaya dan Dr. Susilo Chandra, SpAN selaku Ketua Departemen Anesthesi FKUI. Workshop Inhalation Agents in New Perspective ini terdiri dari 3 sesi, pada sesi I dengan topik Update in Pharmacology of Inhaled Anesthetics, sesi II mengenai Clinical Practice of Inhaled Anesthetics dan sesi III mengenai Skill Scenario. Sesi I diisi oleh tiga orang pembicara pertama yaitu Dr. Arif H.M. Marsaban, SpAn menyampaikan mengenai Mechanism of Actions of Inhaled Anesthetics: New Evidence. Sebelum materi disampaikan, dilakukan pre-test terlebih dahulu terhadap seluruh peserta workshop. Pre-test ini terdiri dari

9 soal pilihan berganda, pertanyaan seputar anestesi inhalasi secara umum. Pada sesi ini, Dr. Arif menyampaikan mengenai perkembangan, sejarah singkat dan jenis-jenis anestesi yang digunakan di Indonesia dan dunia. Selain itu juga disampaikan bahwa semua anestesi inhalasi dapat menyebabkan amnesia dan penekanan pada respon noxious stimuli, tetapi efek terhadap respon perilkaku dan fisiologi sangat bervariasi tergantung site of action, serta ion channels yang berbeda menunjukkan mekanisme kerja yang berbeda juga. Pembicara kedua dalam sesi I ini adalah Dr. Ratna Farida, SpAn. Pada sesi ini materi yang sisampikan mengenai Cardioprotection with Volatile Anesthetics: Mechanisms and Clinical Implications. Dr. Ratna menyampaikan bahwa tidak semua IV anestesi lebih superior dibandingkan dengan volatile anesthetics, begitu juga sebaliknya. Selain itu, dibahas pula bahwa prekondisi dapat mencegah iskemia lebih lanjut pada pasien CAD, serta volatile anesthetics memiliki proteksi terhadap miokard yang lebih baik dibandingkan dengan anestetik lain. Pada sesi ini juga dibahas mengenai volatile anesthetics yang bisa menjadi anestesi pilihan yang paling baik untuk pasienpasien yang memiliki risiko iskemia miokard. Setelah dr. Farida, pembicara selanjutnya pada sesi I ini yaitu Dr. Susilo Chandra, SpAn. dr. Susilo berbicara dengan topik Neuroprotection with Volatile Anesthetics: Mechanisms and Clinical Implications. Menyambung yang telah disampaikan oleh Dr. Far-

ida, Dr. Susilo juga menekankan mengenai prekondisi, prekondisi diibaratkan seperti helm yang digunakan oleh pengendara motor untuk mencegah kecelakaan (helm=prekondisi). Di sesi ini juga dibahas bahwa sampai saat ini penelitian volatile anesthetics masih sebatas uji pada hewan, bukan pada manusia, sehingga masih banyak menimbulkan pertanyaan apakah benar bahwa volatile anesthetics memiliki efek neuroprotektor?. Salah satu volatile anesthetics yang umum digunakan yaitu halotan. Di USA, halotan tidak lagi digunakan untuk manusia, hal ini berkaitan dengan efek sampingnya yaitu hepatotoksik, tetapi untuk hewan, halotan masih digunakan. Sesi I ini dilanjutkan dengan sesi tanyajawab dan Coffee/Tea Break. Usai Coffee/Tea Break acara dilanjutkan ke sesi II dengan topik Clinical Practice of Inhaled Anesthetics. Di sesi II ini juga terdiri dari tiga orang pembicara. Pembicara pertama yaitu Dr. Siti Sugesti, SpAn yang menyampaikan materi dengan tema Adverse Events of Inhaled Anesthetics. Dr. Siti Sugesti, SpAn menguraikan mengenai sejarah dan efek samping dari anestesi inhalasi. anestesi inhalasi secara umum dapat menyebabkan efek samping di berbagai organ seperti CNS, cardiovascular, sistem pernapasan, liver dan ginja. Pembicara kedua pada sesi II ini adalah Dr. Aries Perdana, SpAn dengan topik The Role of Inhaled Anesthetics in One Day Surgery. Dr. Aries menguraikan mengenai teknik anestesi dengan ambulatory surgery yang baik harus didasarkan pada kondisi masing-masing individu/pasien. Tantangan un-

tuk para anesthesiologist adalah bagaimana menentukan teknik yang dapat membuat pasien cepat sadar dan efek samping yang minimal. Setelah Dr. Aries, Dr. Hendrotomo, SpAn melanjutkan sesi ini sebagai pembicara ketiga dengan tema Inhaled Anesthetics for Pediatric Surgery. Dalam sesi ini, Dr. Hendrotomo juga membahas mengenai sejarah anestesi inhalasi secara umum dan penggunaan anestesi inhalasi pada anak. Menurut Dr. Hendrotomo halotan umum digunakan sebagai anestesi inhalasi pada pasien anak dan bayi karena sifatnya yang cepat bangun (sadar) dan mudah menidurkan, aman dan harga yang relatif murah. Selain itu, anestesi inhalasi sangat baik penerimaannya pada pasien anak dibandingkan dengan pemberian anestesi secara iv (injeksi). Sesi II ini diakhiri dengan makan siang bersama. Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan sesi III, yaitu Skill Scenario. Pada sesi ini para peserta dibagi menjadi tiga grup kecil, tiap grup membahas dan mendiskusikan berbagai kasus penggunaan anestesi inhalasi dalam praktik sehari-hari. Grup pertama mendapatkan kasus mengenai High Risk Cardiac Case dipandu oleh Dr. Herdono Poernomo, SpAn dan Dr. Ratna Farida, SpAn. Grup kedua mendapatkan kasus mengenai Neurosurgery Case yang dipandu oleh Dr. Susilo Chandra, SpAn, dan grup ketiga mendapatkan kasus mengenai Pediatric Case yang dipandu Dr. Andi Ade, SpAn dan Dr. Abd Munim, SpAn. Acara ini berakhir sekitar pukul 15.30 WIB. Wila & Rangga

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

events

11 to 13 July 2008

Diabetes, Obesity and Cardiovascular Disease The LINK and The FUTURE
New Perspectives in the Transition of Primary Diabetes Care
93
MEDICINUS

cara Seminar DOC LINK berlangsung dari tanggal 11 Juli 2008 hingga 13 Juli 2008, di Wisma Nusantara, Annex Building.

Dari tim redaksi Medicinus mengikuti acara tersebut pada tanggal 11 Juli 2008. Seminar dibuka oleh opening lecture dari Prof. Sri Hartini K.S. Kariadi MD, PhD dengan tema New Perspective in Diabetes Care. Dalam opening lecture-nya, Prof. Sri mengemukakan bahwa selama ini dalam mengelola diabetes yang lebih banyak ditekankan adalah pengendalian gula darah dibandingkan pengendalian faktor risiko penyakit kardiovaskular. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kematian pada diabetes paling banyak, lebih dari 65%, disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Diabetes tipe 2 hampir selalu berada

dalam kesatuan sindroma metabolik dengan faktor risiko obesitas, khususnya obesitas viseral dan selalu disertai cardiometabolic risk (CMR). Oleh karena itu selain pengenda-lian gula darah, sekarang orang meningkatkan perhatiannya pada pengobatan CMR yang meliputi dislipidemi, hipertensi, dan faktor risiko disfungsi endotel. Selain itu, Prof. Sri juga mengemukakan bahwa sejak dini kita bisa mengurangi risiko terkena diabetes tipe 2, salah satunya dengan cara memperhatikan gizi bagi para ibu hamil, karena janin yang kurang nutrisi serta memiliki berat badan yang kurang memiliki potensi untuk terkena diabetes tipe 2. Opening lecture yang berlangsung selama kurang lebih 15 menit itu kemudian dilanjutkan oleh Prof. Nasrin Kodim MD, MPH, PhD yang memaparkan Facts and Figures of Diabetes Melli-

tus. Diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang meningkat pesat dan berkontribusi besar terhadap cacat dan kematian. Prevalensi DM meningkat segera setelah penduduk dewasa dan urbanisasi meningkat. Meskipun teknologi kedokteran telah makin efektif, tetapi akses dan ketaatan masih rendah. Disarankan untuk mengembangkan panduan tata laksana praktis DM di tingkat individu, mengembangkan dan membina program cegah kendali DM di masyarakat, melibatkan jaringan pelayanan primer melalui panduan teknis, pelatihan dan kewenangan, memperjuangkan program obat generik dengan harga terjangkau, serta menggalakan program askes di semua golongan. Pada pukul 08.15 dimulai educational lecture 1, dengan tema Cardio metabolic risk factors vs metabolic syndrome: current up-

date, yang dibawakan oleh Prof. Sidartawan Soegondo MD, PhD, FACE. Prof. Sidartawan membawakan materi dengan jelas dan gamblang, sehingga materi yang disampaikan selama kurang lebih satu jam terasa sangat cepat. Disampaikan oleh Prof. Sidartawan bahwa diagnosis dari metabolik sindrom adalah salah satu cara untuk mengidentifikasi adanya risiko terkena kardiovaskular atau diabetes. Pada bulan Agustus 2008, Badan POM Indonesia akan memperlihatkan data hasil penelitian, dan menjadi tugas bagi kita semua untuk mengevaluasi bagaimana faktor CMR dapat mempengaruhi penduduk Indonesia. Prevalensi diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh penumpukan lemak pada abdomen (abdominal fat) lebih tinggi terjadi pada orang Asia dibandingkan dengan orang Eropa. Tetapi gejala seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko yang absolut

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

menyebabkan terjadinya penyakit jantung atau diabetes, tetapi harus diwaspadai, sehingga para dokter dapat lebih fokus dalam menangani pasien dan menentukan tindakan. Fokus pada gejala yang timbul, dapat membawa diabetologists dan cardiologists untuk memberi perhatian lebih kepada pasien dengan risiko diabetes. Hubungan metabolik sindrom dengan resistensi insulin, pre-diabetes dan diabetes tipe 2, diantaranya adalah resistensi insulin (menurut hipotesa resistensi insulin) dapat menyebabkan terjadinya metabolik sindrom. Yang juga pada akhirnya berhubungan dengan prediabetes dan diabetes tipe 2. Sekitar 75% penderita prediabetes dan 86% penderita diabetes tipe 2 memiliki metabolik sindrom. Pada pukul 09.15 WIB disajikan tontonan menarik, yaitu demonstrasi senam bagi penderita diabetes, yang dilanjutkan dengan pembukaan expo. Diberi waktu selama setengah jam untuk berkeliling melihat booth yang terdapat di dalam expo, sambil menikmati snack yang disediakan. Setengah jam telah berlalu, dan materi yang kedua pun disampaikan oleh Prof. Karel Pandelaki MD, PhD. Prof. Karel menyampaikan penggunaan insulin secretagogues di masa sekarang dan masa yang akan datang. Tema The Present and Future use of Insulin Secretagogues in clinical practise ini disampaikan dalam durasi satu jam, termasuk diskusi dengan peserta. Terdapat 5 kelas obat untuk diabetes, yaitu mengaktifkan sekresi insulin (secretagogues), mengurangi produksi glukosa di hati (metformin), meningkatkan aktivitas insulin pada otot, hati, dan adiposit (thiazolidine), mengurangi absorpsi glukosa dari saluran

cerna (alpha-glucosidase inhibitors), dan meningkatkan level incretin (incretin mimetics atau DPP-4 inhibitors). Disampaikan bahwa patofisiologi diabetes tipe 2 adalah insulin resistance dan cell dysfunction. Oleh karena itu, kombinasi obat yang digunakan untuk diabetes adalah yang memiliki cara kerja mengatasi kedua patofisiologi tadi. Salah satu contoh kombinasi obat yang digunakan adalah metformin dengan insulin secretagogues, yang cara kerjanya dapat mengatasi resistensi insulin serta mengatasi cell deficiency. Pada pukul 10.45 WIB sampai dengan 11.45 WIB dilanjutkan dengan seminar singkat mengenai Early and Intensive Approach and treating to target in managing type 2 diabetes yang disampaikan oleh Prof. Sidartawan. Ditekankan bahwa penanganan pada diabetes tipe 2 bagi penderita diabetes tipe 2 yang baru, dengan penderita diabetes yang sudah berkelanjutan adalah berbeda. Pada penderita baru diabetes tipe 2, glukosa darah puasa akan sedikit kenaikannya, sedangkan pada penderita diabetes tipe 2, glukosa darah akan naik secara signifikan. Perubahan pada gaya hidup, masih efektif bagi penderita baru, sementara bagi penderita berkelanjutan, efektivitasnya lebih kecil. Penanganannya pada penderita baru masih dapat menggunakan monoterapi, sementara pada penderita berkelanjutan, monoterapi efektivitasnya berkurang. Obat diabetes pun harus digunakan secara seksama, apabila dalam dosis menengah tidak terdapat perubahan, maka segera tambahkan obat lain sebagai kombinasi, jangan tunggu sampai dosis maksimal, karena dosis maksimal tidak meningkatkan efektivitas kerja obat. Diabetes tipe 2 yang berkelanjutan, lamakelamaan akan membutuhkan

insulin. Angka HbA1c pada penderita dapat menjadi patkan bagi pengobatan yang akan diberikan, apabila angka HbA1c berada diantara 8-8,5, maka masih bisa mendapatkan terapi pengobatan minum obat, tetapi apabila angka HbA1c-nya 11, maka terapi awalnya adalah dengan menggunakan insulin. Oleh karena itu, para dokter diharapkan lebih cermat untuk mengatasi penderita diabetes tipe 2, agar pengobatan yang diberikan efektif. Pada pukul 13.13 WIB, Prof. Sidartawan menjelaskan materi Post meal glucose and cardiovascular events: Does Acarbose fit in? Acarbose dapat memperbaiki toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Acarbose secara statistik juga dapat menurunkan berat badan dan tekanan darah pada penderita hipertensi. Efek samping acarbose terhadap saluran pencernaan termasuk ringan. Materi selanjutnya adalah Introducing a new pathway in diabetes management: Incretins, yang dibawakan oleh Prof. Asman Manaf MD, PhD. Prof. Asman menerangkan bahwa pemberian kombinasi vildagliptin dan metformin dapat memperbaiki dan meningkatkan sensitivitas serta sekresi insulin, menghambat glukosa serta meningkatkan adaptasi. Vildagliptin efektif untuk digunakan pada penderita diabetes yang juga menderita kardiovaskular. Vildagliptin dapat digunakan kombinasi terapi dengan TZD, metformin, insulin, dan acarbose. Tema yang terakhir pada agenda hari jumat, 11 Juli 2008 adalah Metformin and glitazones in reducing insulin resistance yang disampaikan oleh Prof. Ketut Suastika MD, PhD. Prof. Ketut mengemukakan bahwa resistensi insulin berperan utama dalam terjadinya diabetes melitus tipe 2. Kelainan transport

glukosa yang distimulasi insulin di otot skeletal mungkin merupakan kelainan metabolik utama pada diabetes tipe 2 akibat resistensi insulin. Asam lemak berperan besar dalam terjadinya transport glukosa dengan menghambat fosforilasi tirosin insulin receptor substrate-1 (IRS-1) dan aktivitas fosfatidilinositol 3 kinase terkait IRS-1. Sejumlah kelainan metabolik yang berbeda mungkin meningkatkan metabolit asam lemak intramioseluler atau intrahepatik; ini termasuk meningkatnya masuknya lemak ke otot atau hati sebagai akibat dari kelebihan asupan energi atau kelainan metabolisme lemak di adiposit, dan kelainan bawaan pada oksidasi asam lemak mitokondria. Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk diabetes tipe 2 dan kardiovaskular. Obesitas dihubungkan dengan resistensi insulin dapat melalui berbagai cara, diantaranya jalur endokrin, inflamasi dan neuronal. Metformin memiliki kerja utama yaitu menurunkan glukosa hati dan meningkatkan ambilan glukosa di otot. Metformin juga dapat mengaktifkan adenosin monophosphate-activated protein kinase (AMPK) di hati dan otot. Glitazon (TZD), obat diabetes golongan insulin sensitizer, bekerja dengan cara mengikat peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR), yang terutama dieskpresikan di adiposit. TZD memperbaiki sensitivitas insulin, terutama pada jaringan perifer dalam hal ini khususnya sel lemak. Materi Prof. Ketut berakhir pada pukul 16.15 WIB, dan para peserta dipersilahkan untuk menikmati coffee break sambil berkeliling melihat booth. Setelah itu, pada pukul 16.45 sampai 18.00 WIB para peserta dapat mengikuti workshop, sesuai dengan tema yang diminati. Vivi & Wila

94

MEDICINUS

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

events

Dharma Dexa & Sahabat Anak Ikuti Jambore Anak Jalanan


ertempat di bumi perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan, tim Dharma Dexa partisipasi dalam kegiatan jambore anak jalanan yang dilaksanakan oleh LSM Sahabat Anak, pada Sabtu, 5 Juli 2008. Kegiatan Jambore tersebut merupakan event tahunan yang diikuti oleh hampir sekitar 600 anak jalanan usia 6- 18 tahun yang merupakan binaan Sahabat Anak dari berbagai lokasi di Jakarta. Tim Dharma Dexa yang sebagian besar terdiri dari rekan-rekan medical information melakukan kegiatan penyuluhan kepada hampir sekitar 60 anak usia 7-11 tahun tersebut. Mengingat tema

jambore adalah Aku dan CitaCitaku, tim dharma dexa mengusung tema penyuluhan mengenai peran dokter dan P3K. Tim Dharma Dexa yang diwakili oleh dr. Novita M mengajarkan cara-cara P3K yang baik. Mulai dari membalut luka, seperti membalut kepala, lengan, kaki sampai cara menggunakan bidai. Selain itu, anak-anak juga diajarkan cara menghadapi mimisan, tersengat listrik, keracunan atau tergigit binatang beracun. Diakhir acara, tim Dharma Dexa memberikan bingkisan berupa 10 kotak P3K kepada LSM Sahabat Anak untuk bisa dipergunakan di berbagai lokasi bim-

bingan belajar mereka, kain mitela untuk membalut serta bingkisan snack kepada seluruh anak yang hadir. Tidak ketinggalan diberikan donasi buku pelajaran dan alat tulis yang berhasil dikumpulkan oleh karyawan Dexa Medica Group melalui program pengumpulan buku. Tema penyuluhan mengenai P3K dirasakan tepat bagi anakanak jalanan karena mereka sering berhadapan dengan kasus

kecelakaan di jalan. Tim Dharma Dexa berharap bahwa dengan partisipasi di kegiatan ini, dapat menyumbangkan ilmu kepada anak-anak sehingga mereka bisa sadar mengenai kesehatan dan keselamatan diri mereka. Gweny

Babak Baru: PT Ferron Ekspor Perdana ke Eropa


atu lagi, milestone penting yang berhasil ditorehkan PT Ferron Par Pharmaceuticals (Ferron), yaitu: Melakukan Ekspor Perdana ke Eropa, pada Senin, 21 Juli 2008, di Ferron Site Cikarang. Acara dibuka dengan sambutan Managing Director Ferron Pharmaceuticals, Djoko Sujono. Dilanjutkan dengan sambutan Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Bachrul Chairi, Sekjen Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Johannes Setijono, dan Kepala Badan Pengawas Obat & Makanan (BPOM) RI yang diwakilkan oleh Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik & Napza, Dra. Lucky S. Slamet MSc.. Usai itu, pengguntingan pita oleh Djoko Sujono, President Director Dexa Medica (DXM), Rudy Soetikno, Dra. Lucky S. Slamet MSc., Johannes Setijono, Komisaris DXM, Hetty Soetikno, Bachrul Chairi, disaksikan oleh Corporate Managing Director Dexa Medica Group (DXG), Ferry Soetikno, Head of Plant Site Ferron Cikarang, Bapak Krestijanto Pandji, serta jajaran Ka Dept, dan Manager DXG. Dalam jumpa pers dengan

beberapa wartawan, Djoko Sujono menjelaskan langkah kecil dari Ferron ini, akan menjadi awal sebuah pencapaian besar bagi industri farmasi generik Indonesia, yang selama ini terkungkung oleh paradigmanya sendiri, untuk tetap berada di luar pasar regulated. Keberhasilan Ferron menembus pasar Eropa, merupakan pencapaian tersendiri, ujarnya.

Djoko Sujono menambahkan pencapaian Ferron ini, tidak datang tiba-tiba. Tiga tahun lebih, Ferron berusaha memahami faktor-faktor yang diperlukan untuk memasuki pasar Eropa. Daya saing harga, memang merupakan satu unsur penting. Tetapi bukan satu-satunya. Fasilitas produksi dengan Sistem dan Kultur Kualitas yang baik, serta kompetensi pengembangan produk yang comply dengan kaidah-kaidah regulasi, dan standar yang berlaku di kawasan Eropa, merupakan hal yang tidak kalah penting.

Itu semua dicapai melalui proses pembelajaran yang panjang dan seringkali melelahkan. Awal tahun 2008, hasil dari segala perjuangan itu mulai tampak. Pada bulan Januari 2008, audit dari MHRA (Medicine and Healthcare Products Regulatory Agency), badan yang berwenang dalam menangani masalah obatobatan di Inggris, dilakukan dengan hasil yang memuaskan. Bulan Maret 2008, Ferron mendapatkan sertifikat GMP dari MHRA untuk sediaan Padat. Dan pada akhirnya, pada hari ini, Ferron berhasil membuktikan realisasi pengiriman produk yang pertama kalinya (perdana) ke Inggris. Produk yang diekspor Ferron ke Inggris adalah Terbina-fine tablet. Pengiriman perdana ke Eropa ini juga akan menjadi pembuktian dan sekaligus menciptakan paradigma baru bahwa produsen generik di Indonesia dapat berkompetisi dan mampu memasuki pasar Eropa yang ketat. Pada akhirnya, diharapkan apa yang telah dicapai oleh Ferron akan diikuti oleh industriindustri generik di Indonesia yang lain, sehingga akan membentuk kepercayaan internasional kepada industri farmasi di Indonesia. This small step for a company shall be a quantum leap for the pharma industry in Indonesia. Kristi

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

95

literature services

Pembaca yang budiman, Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group. Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.

Screening for dementia in primary care: A summary of the evidence for the U.S. preventive services task force. Annals of Internal Medicine 2008; 138(11):927-37

and lowers bacterial translocation in a rat model of major abdominal surgery. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition 2008; 32(3):247-53

The staging of cancer: A retrospective and prospective appraisal. CA: A Cancer Journal for Clinicians 2008; 58:180-90

Necrotizing candida infection after percutaneous endoscopic gastrostomy: A fatal and rare complication. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition 2008; 32:285-87

o
MEDICINUS

Olanzapine/Fluoxetine. A review of its use in the treatment of acute bipolar depression. Drugs 2008; 68(8):1115-37

o Onset

of cardiac iron loading in pediatric

patients with thalassemia major. Haematologica 2008; 93(6):917-20

Management of pulmonary arterial hypertension associated with congenital systemic-topulmonary shunts and eisenmengers syndrome. Drugs 2008; 68(8):1049-66

96

HIV protease inhibitors provide neuroprotection through inhibition of mitochondrial apoptosis in mice. The Journal of Clinical Investigation 2008; 118:2025-38

Glycoprotein IIb/IIIa antagonists in acute ischaemic stroke. Current status and future directions. Drugs 2008; 68(8):1019-28

Late diagnosis of early disseminated lyme disease: perplexing symptoms in a gardener. The Journal of American Board of Family Medicine 2008; 21:234-6

Plasma connective tissue growth factor is an independent predictor of end-stage renal disease and mortality in type 1 diabetic nephropathy. Diabetes Care 2008; 31:1177-82

o o

Lumbar spinal stenosis. The New England Journal of Medicine 2008; 358:818-25 Lung volume reduction surgery. TEchnique, operative mortality, and morbidity. Proceedings of the American Thoracic Society 2008; 5:442-6

Validation of syndromic surveillance for respiratory pathogen activity. Emerging Infectious Diseases 2008; 14(6):917-25

Managing asthma patients: Which outcomes matter? European Respiratory Review 2008; 17(108):53-61

A clinical trial of a whole-virus H5N1 vaccine derived from cell culture. The New England Journal of Medicine 2008; 358:2573

Carbohydrate supplementation before operation retains intestinal barrier function

Graves disease. The New England Journal of Medicine 2008; 358:2594-605

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

Vol. 21, No.3, Edisi Juli - September 2008

MEDICINUS

You might also like