You are on page 1of 19

Pengertian self-regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana seseorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur

bagi belajarnya sendiri (Zimmerman & Martinez-Pons, dalam Schunk & Zimmerman,1998). Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) mengatakan bahwa self-regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan tersebut meliputi pengetahuan maka yang dibicarakan adalah self-regulated learning.

Self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk mengingatnya serta

mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya tentang kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk, dalam Schunk & Zimmerman, 1998).

Self-regulated learning merupakan proses dimana peserta didik mengaktifkan pikirannya, perasaan dan tindakan yang diharapkan dapat mencapai tujuan khusus pendidikan (Zimmerman, Bonner & Kovach, 2003). Selain itu Schunk & Zimmermann (1998) menegaskan bahwa peserta didik yang bisa dikatakan sebagai self-regulated learners adalah yang secara metekognisi, motivasional dan behavioral aktif ikut serta dalam proses belajar. Peserta didik dengan sendirinya memulai usaha belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian bergantung pada guru, orang tua, dan orang lain. yang diinginkan tanpa

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian self-regulated learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya sendiri dengan mengaktifkan kognitif, afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.

Vicarious Learning Consumer Behavior #1

Hi! ini adalah tulisan pertama saya mengenai major study yang tengah saya ambil kini di FEUI, yakni Manajemen. Salah satu kasus yang sudah pernah saya dengar cukup lama di tahun 2010, tepatnya ketika saya masih menjadi internship di Internal Communications, PT. Unilever Indonesia, Tbk. Berikut kisahnya: http://gugling.com/2010/07/04/gugat-axekarena-tidak-bisa-dapat-pacar/Pria India Gugat AXE Karena Tidak Bisa Dapat Pacar! Apa Hubungannya? Karena tidak dapat memikat gadis seorang pun, seorang pria asal India berusia 26

tahun menjadi frustasi dan menggugat perusahaan & distributor HUL (Hindustan Unilever Limited), yang memasarkan produk bermerk Axe, dengan tuduhan telah menipu dan menyebabkan penderitaan mental. Pemuda itu menyebutkan kegagalannya untuk menarik gadis manapun meskipun dia telah menggunakan produk Axe selama lebih dari tujuh tahun sampai sekarang. Iklan Axe menunjukkan bahwa produkproduk itu membantu kaum pria untuk bisa langsung menarik wanita.

Vaibhav Bedi, sang penggugat, juga menyerahkan semua bukti ke pengadilan dari semua produk yang telah digunakan maupun yang belum terpakai, yang berupa deodorant sprays, perfume sticks and rollons, anti-perspirants, aftershaves, body washes, shampoos, dan hair gels dengan merek Axe. Penggugat juga meminta agar semua produk itu diperiksa di laboratorium. Vaibhav terpaksa mengambil langkah ini karena pembantunya memukulinya dengan sapu ketika ia mencoba untuk membuatnya terkesan dengan tampil telanjang di

depannya setelah menggunakan semua produk Axe. Lalu mana Axe Effect-nya? Saya sudah menunggu selama lebih dari tujuh tahun. Sejak kuliah sampai dengan saya bekerja di kantor, tidak ada satupun gadis yang mau saya ajak bahkan hanya untuk minum teh atau kopi dengan saya, meskipun saya yakin mereka bisa membaui parfum, deodorant dan aftershaves yang saya pakai. Saya selalu menggunakan produk itu dengan harapan bisa seperti apa yang terjadi pada iklan di televisi. Akhirnya saya berusaha untuk menarik perhatian

pembantu saya yang telah bertengkar dengan suaminya dan tinggal sendirian selama lebih dari setahun. Dan ternyata saya malah dipukuli dengan sapu! Vaibhav mengungkapkan keluhannya. Vaibhav mengklaim bahwa dia telah menggunakan semua produk Axe sesuai instruksi yang ada bahkan sejak dia pertama kali membelinya. Dia berargumen bahwa jika dia tidak bisa mengalami Axe Effect meskipun telah menggunakan produk sesuai petunjuk, berarti perusahaan telah menipu atau menjual produk palsu.

Saya selalu menyimpannya di tempat sejuk dan kering, dan menjauhkan mereka dari cahaya matahari langsung atau panas. Saya selalu menggunakan penggaris sebelum menyemprotkan untuk memastikan bahwa jarak antara nozzle dan ketiak saya adalah sekurang-kurangnya 15 cm. Saya selalu melakukan sesuai petunjuk pemakaian. Saya bahkan memukul keponakan saya yang berusia 5 tahun karena telah mendekati lemari saya, sesuai dengan anjuran yang menyatakan agar menjauhkan dari jangkauan anak-anak. Namun, akhirnya yang saya dapatkan

adalah pukulan sapu dari pembantu saya, Lanjutnya. Vaibhav mengklaim bahwa dia telah mengalami banyak penderitaan mental dan penghinaan di depan umum karena tidak adanya Axe Effect dan dia ingin agar perusahaan Axe mengkompensasi dia untuk semua penderitaan tersebut. HUL secara resmi telah menolak berkomentar mengenai kasus tersebut, tetapi salah satu sumber menyebutkan bahwa HUL cukup khawatir atas perkembangan kasus ini. Perusahaan mungkin berpendapat bahwa Vaibhav itu

memang tidak berpenampilan menarik dan tidak memiliki persyaratan minimal agar Axe Effect terjadi. HUL secara resmi memang belum mengeluarkan pernyataan apapun, namun para ahli hukum percaya bahwa HUL akan sulit untuk meyakinkan pengadilan. (Intinya adalahSelanjutnya Terserah Anda )

Saya masih ingat sekali ketika membaca berita melalui internet di PC kantor, sontak saya langsung berbicara dengan partner

samping saya, yakni Mas Hami. Ini beneran ya mas? dan ia pun menjawab Oh, hoax itu, beritanya juga lama. pernah ada sebelumnya. 14 Maret 2012, tepatnya di ruang A.109. kami sekelompok (Ata, Chrisna, Intan, dan saya) sedang mempresentasikan mengenai Classical Conditioning & Learning Process juga Influencing Consumer Behavior, ketika kelompok kami mendapatkan pertanyaan dari kelompok penanya mengenai KASUS ini. Tentu saja pada saat itu saya tidak bisa menjawab bahwa itu merupakan artikel hoax, tapi haruslah

dikaitkan dengan sub bab bahasan kami mengenai Vicarious Learning. Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana kasus ini dikaitkan dengan Vicarious Learning? Tentunya ini menjadi sebuah dampak yang buruk bagi HUL. Bagaimana sih sebenarnya sebuah pemodelan yang baik bagi konsumen? Dan pada akhirnya bagaimana kita jika berada di pihak produsen harus bertindak? Vicarious Learning merupakan suatu metode mengikuti perilaku seseorang atau sering disebut dengan pemodelan. Seperti contoh sebuah iklan shampo yang

memberitahu step by step bagaimana pemakaian shampo dengan baik dan benar sehingga rambut menjadi sehat dan kulit kepala bebas dari ketombe. Konsumen yang melihat ini pemodelan ini tentunya akan mengikuti jika ia melihat konsekuensinya adalah positif bagi dirinya. Yang menarik dari kasus ini adalah seorang pria India yang sudah memakai AXE selama 7 tahun lebih dan ia tidak mendapatkan seorang wanita pun yang mau jadi kekasihnya. Padahal jika melihat dari iklan AXE adalah pria yang memakai AXE sudah pasti akan menjadi rebutan para

wanita (bahkan memikat malaikat dalam varian terbarunya). Jika pertanyaannya adalah apakah strategi Vicarious Learning ini berhasil terhadap konsumen pria India ini? Jawabannya adalah YA. Tentu saja. Pria ini sudah memakai AXE selama lebih dari 7 tahun dan mengikuti semua petunjuknya. AXE telah berhasil meyakinkan sang konsumennya. Namun permasalahan berikutnya adalah konsekuensi yang didapat pria ini ternyata berbeda dengan yang ada di iklan. Tentu saja sebagai konsumen biasa jika ditanya apakah iklan

ini masuk akal maka kita akan menjawab dengan Tidak. Terlalu lebay, dibuat-buat, berlebihan singkat kata. Namun itulah advertising. Selanjutnya yang bisa dilakukan oleh HUL adalah tentunya selama proses pembuatan materi promo ini telah dijalankan sejumlah trial dengan mengajak beberapa orang untuk diriset tanggapannya mengenai iklan ini. Dan hasilnya semua masih dalam batas normal. Hanya saja kita tidak bisa memungkiri bahwa selalu saja ada pengecualian dalam setiap peristiwa. Anomali yang membuatnya berbeda dari

yang lainnya. Dan pria India ini merupakan contoh nyata pengecualian yang terjadi di dunia.
Belajar sosial (juga dikenal sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah proses belajaryang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan dan, dalam kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di dalamnya ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui

pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan operant.[1] Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam hal ini

adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar observasional tanpa adanya imitasi. Walau belajar observasional dapat terjadi dalam setiap tahapa kehidupan, tapi terutama terjadi saat pada anak-anak, karena pada saat itu otoritas dianggap penting. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya,

seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.

About these ads

You might also like