You are on page 1of 17

PENGERTIAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Lulus Mata Kuliah Teori Sastra






Oleh
Christopher Allen Woodrich : NIM 084114001


PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

2010






PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daItar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ........................................
Penulis


Christopher Allen Woodrich

















KATA PENGANTAR
Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini saya ucapkan terima
kasih kepada orang-orang berikut:
O Sie Yulyani Retno Nugroho, atas dukungannya yang setia.
O Drs. B. Rahmanto, M. Hum., untuk bantuan dan kesabarannya
O Para pemikir dalam Sosiologi Sastra yang mengembangkan ilmu kajian
sastra.
Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi kekurangan saya mohon maaI
lebih dahulu. Terima kasih.


Yogyakarta, ......... 2010



Christopher Allen Woodrich
NIM: 084114001











DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB 1: PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
1.2. Tujuan dan Metode Analisis ........................................................ 1
1.3. Sistematika Penyajian .................................................................. 2
BAB 2: PENGERTIAN SOSIOLOGI SASTRA MENURUT BERBAGAI
PEMIKIR .................................................................................... 3
BAB 3: CONTOH PENERAPAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA ........... 6
3.1. Kebudayaan Keris ....................................................................... 6
3.2. Roh-Roh ...................................................................................... 7
3.3. Kekeramatan ............................................................................... 8
3.4. Religi .......................................................................................... 9
3.5. Nasib ........................................................................................... 9
3.6. Nerima / Cipto Tunggal ................................................................ 10
3.7. Keperawanan ............................................................................... 10
3.8. Pernikahan ................................................................................... 11
BAB 4: KESIMPULAN ........................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16







A 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dunia kajian sastra kaya raya dengan berbagai jenis teori mengenai cara
pelaksanaannya, dari teori seperti strukturalisme dan Iormalisme yang hanya
memandang karya sastra sendiri hingga teori seperti intertekstualisme dan resepsi
sastra yang tidak terlepas dari unsur-unsur di luar karya sastra.
Teori sosiologi sastra termasuk di kategori kedua. Biarpun belum lama resmi
menjadi teori telaahan sastra, sosiologi sastra sudah banyak berkembang. Diharapkan
makalah ini dapat menjelaskan teori dinamis ini dengan jelas.

1.2. Tufuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dimaksud untuk menjelaskan apa itu teori sosiologi sastra. Ini
akan digarap dengan menggunakan metode penelitian pustaka, serta studi kasus.

1.3. Sistematika Penyafian
Makalah ini dibagi menjadi empat bab. Bab satu adalah bab pendahuluan,
yang berIungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi tiga subbab dan
menjelaskan latar belakang masalah, tujuan dan metode penelitian, dan sistem
penyajian.
Bab dua menjelaskan teori sosiologi sastra, sebagaimana digarap dari kajian
pustaka. Dalam bab ini termuat berbagai aspek kajian sosiologi sastra.
Bab tiga adalah studi kasus mengenai penelitian sosiologi sastra. Dalam bab
ini digunakan teori sosiologi sastra untuk menjelaskan kebudayaan Jawa yang tampak
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari.
Bab terakhir adalah bab empat. Bab ini merupakan kesimpulan dari makalah.



A 2:
PENGERTIAN SOSIOLOGI SASTRA MENURUT ERAGAI PEMIKIR
Sosiologi sastra (juga disebut sosiokritik) adalah ilmu sastra interdisiplin
(ilmu sastra dengan ilmu sosiologi)
1
yang dipicu sebagai tanggapan atas kekurangan
teori strukturalisme. Oleh karena dipercaya bahwa karya sastra harus dipahami
sebagai satu aspek kebudayaan yang melengkapi kebudayaan lain, sosiologi sastra
berusaha untuk memahaminya dalam konteks kebudayaan itu. Semua aspek saling
melengkapi, baik pengarang, artiIak, pembaca, maupun interteks.
2

Menurut Jonathan Culler, karya sastra, yang merupakan suatu sistem simbol,
hanya dapat mempunyai arti apabila dijelaskan dari mana asal-usulnya dan untuk
siapa dimanIaatkan. Penelitian yang tidak memperhatikan ini tidak dapat menjelaskan
karya sastra dengan sesungguhnya.
3

Dalam penerapannya, teori sosiologi sastra dinyatakan lebih mudah
dipergunakan untuk prosa, khususnya novel. Menurut Nyoman Kutha Ratna, ini
terjadi karena:
O Novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, serta paling
luas.
O Bahasa yang digunakan cenderung bahasa sehari-hari, sehingga paling
mudah dipahami.
4

Sosiologi sastra dianggap teori yang baru. Biarpun dinyatakan telah lahir pada
abad ke-18, baru ada buku teks yang diterbitkan pada tahun 1970.
5
Walaupun
demikian, perkembangannya sudah pesat. Di bawah ini dijelaskan berbagai aspek
teori sosiologi sastra.

1
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. dari Strukturalisme hingga
Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan Kelima. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hal. 338.
2
Ibid. Hal. 332.
3
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. Structuralism, Linguistics, and the Study of
Literature. Routledge & Kegan Paul: London. Hal. 5. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal.
337.
4
Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 335 336.
5
Ibid. Hal. 331.
Menurut Nyoman Kutha Ratna, kedudukan karya sastra adalah sebagai
berikut:
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin
oleh penyalin. Ketiga subjek itu adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga digunakan masyarakat.
3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain,
dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas;
artinya, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
6

Dengan demikian, menurut Nyoman Kutha Ratna kekayaan karya sastra
terjadi karena dua hal, sebagaimana dijelaskan di bawah:
1. Pengarang, dengan pengetahuan intersubjektivitasnya, menggali kebudayaan
masyarakat lalu memasukkan kebudayaan itu dalam karyanya. Keberhasilan
pemasukan kebudayaan itu bertitik tolak pada kemampuan pengarang dalam
melukiskannya.
2. Pembaca, dengan pengertian kebudayaan itu, memahami apa yang dibaca
dengan kaca mata budaya itu. Apabila pembaca tidak memahami atau berasal
dari kebudayaan itu, sangat susah untuk karya sastra berhasil mengesankan
pembaca.
7

Menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra selamanya milik masyarakat yang
melahirkan pengarangnya. Selama hidup pengarang, dia dapat diakui sebagai
pengarang karya sastra. Namun, setelah kematiannya pengarang tunggal itu diganti

6
Ibid. Hal. 333.
7
Ibid. Hal. 333 334.
dengan pengarang jamak, yaitu masyarakat yang melahirkan situasi sosio-budaya
yang mewarnai karya sastra. Pengarang jemak ini yang dinamakan pengarang implisit.
Tidak ada karya sastra yang merupakan hanya hasil dunia batin pengarang sendiri.
8

Pernyataan serupa dinyatakan oleh ahli ilmu sastra lain. Menurut Jonathan
Culler, tidak ada karya sastra yang berasal dari pikiran yang benar-benar independen
yang dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Apabila karya sastra diharapkan untuk
dibaca, dipahami, dan dinikmati masyarakat, harus termasuk horison harapan
pembaca, atau sistem kebiasaan dan pikiran umum di masyarakat itu yang sudah pasti
akan dipahami pembaca.
9

Sebagai ilmu interdisiplin antara ilmu sastra dan sosiologi, sosiologi sastra
juga menerapkan berbagai aspek kebudayaan, di antara lain sejarah, IilsaIat, agama,
ekonomi, dan politik. Namun, prioritas dalam penelitian sosiologi sastra adalah karya
sastra sendiri, dengan ilmu-ilmu lain sebagai ilmu pembantu.
10

Ada tiga macam model penelitian karya sastra yang dapat digunakan seorang
peneliti, sebagai berikut:
1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah
terjadi.
2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh inIormasi tertentu,
dilakukan dengan menggunakan disiplin tertentu. Model ini mudah diterapkan
dengan cara yang salah, sehingga karya sastra menjadi objek kedua.
11



A 3

8
Ibid. Hal. 336.
9
Culler, Jonathan. Op. Cit. Hal. 5. dalam Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 337.
10
Ratna, Nyoman Kutha. Op. Cit. Hal. 339.
11
Ibid. Hal. 340
ONTOH PENERAPAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA
Demi pemahaman teori sosiologi sastra, di bawah tersedia contoh sederhana
penelitian dengan menggunakan model kedua teori itu. Kajian ini menjelaskan
kebudayaan Jawa yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad
Tohari.

3.1 Budaya Keris
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua.
Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara
lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya
berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung
(keris yang berkeluk sembilan).
12
Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai
senjata.
13

Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris
merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria
dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria
berhalangan hadir.
14

Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat
membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain,
keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain.
15

Kebudayaan keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris
merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan;

12
Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta. Hal. 681.
13
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Keris. http://www.karatonsurakarta.com/keris.html.
Didownload Agustus 2010.
14
Ibid.
15
Ibid.
dipercaya bahwa pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi
semakin dahsyat.
16

Ini disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai
daya tarik seksual. Selain berbentuk phallus,
17
keris itu mempunyai enerji yang selalu
digunakan oleh ronggeng:
'(Sakarya dan Kartareja) mengatakan keris itu bernama Kyai
Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris
pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga
mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke
tanganku. . dengan keris ini aku akan menjadi ronggeng tenar.`
18

Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana
dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Oleh karena tarian ronggeng
digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat (seperti malam bukak-klambu),
keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan ronggeng memakai keris, pria dan
wanita menyatu.

3.2. Roh-Roh
Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus yang dapat
menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh
halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga.
Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan.
19

Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada
dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh

16
Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta. Hal. 43.
17
Ibid. Hal. 40.
18
Ibid. Hal. 43
19
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Orang Jawa. http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html.
Didownload Agustus 2010.
keluarga dan dipercaya masih dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).
Apabila ini terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik.
20

Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam plot Ronggeng Dukuh
Paruk. Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa diajari,
Sakarya dan Kartareja merasa bahwa dia dirasuk indang ronggeng. Kepercayaan ini
menjadi dasar mereka untuk melatihkan Srintil menjadi ronggeng.
21
Sementara,
ketika Rasus mengambil keris dari rumahnya, dia memberi alasan menerima wangsit
dari ayah kepada neneknya supaya tidak banyak ditanya.
22

Ada pula kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara
pemandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk:
'Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata
dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah
oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia
melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah
terpejam.
23

Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan. Dengan
demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Setelah
Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala melepaskannya.

3.3. Kekeramatan
Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang keramat. Ini
disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa roh orang mati
masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara tertentu, misalnya
nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan santun tinggi saat di
kuburan.
24


20
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Adat Istiadat Jawa
http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.
21
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 13
22
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 40.
23
Ibid. Hal. 47.
24
Karaton Surakarta. 'Orang Jawa. Op. Cit.
Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama, saat
diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan restu Ki Secamenggala
agar Srintil menjadi ronggeng.
25
Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus
bercinta di pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat
itu adalah tempat yang keramat.
26


3.4. Religi
Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu:
1. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan tradisional Jawa dan
memeluk semua aspek Islam
2. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi mengakui Islam tetapi masih
memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada umumnya termasuk
kejawen.
Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain, misalnya orang Jawa
Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit.
27

Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan perbedaan itu. Di
Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran Islam dengan baik.
Rasus tidak memahami konsep 'dosa sampai pindah ke Dawuan. Hal-hal seperti
pergaulan bebas sudah umum di Dukuh Paruk.
28

Sementara, di Dawuan ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara
yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti, seorang gadis seusia Srintil,
memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus mencubit pipinya. Ada pula
seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang tidak ada di Dukuh Paruk.
29



25
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 43 50.
26
Ibid. Hal. 66 67.
27
Karaton Surakarta. 'Orang Jawa. Op. Cit.
28
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 85 86.
29
Ibid. Hal. 85 86.



3.5. Nasib
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah
ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh,
kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir.
30

Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya
mendiskusikan rasuknya Srintil oleh indang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja
berpendapat:
'. Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki
Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.
31


3.6. Nerima / Cipto Tunggal
Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa adalah konsep nerima,
atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena emosi dianggap sesuatu yang
selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk menerima keadaan apa adanya
dengan senang hati.
32

Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap upacara bukak klambu
sebagai sebuah keharusan dan karenanya dia tidak memberontak terhadap upacara itu.
Dia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua
yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan
pasrah. Karena itu, walaupun dia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika
menjalani upacara itu, dia tidak berani melawan atau memberontak karena menjadi

30
Karaton Surakarta. 'Orang Jawa. Op. Cit.
31
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 20.
32
Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Cipto Tunggal
http://www.karatonsurakarta.com/ciptotunggal.html. Didownload Agustus 2010.
seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam kedudukan sosial dan budaya
Dukuh Paruk.
33




3.7. Keperawanan
Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat berarti.
Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk bercerai, dan wanita
tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan dianggap sangat rendah.
Biarpun hymen rusak karena hal selain berhubungan seks, itu masih dianggap bukan
perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha untuk menjaganya sampai
menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul dengan lelaki.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut pandang mengenai
keperawanan: satu di Pasar Dawuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di Pasar Dawuan,
keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional, yaitu harus
dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah bukan perawan
lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti dengan adanya tokoh Siti
dan satu perempuan tak ternama.
34

Keperawanan di Dukuh Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak
klambu. Konsep inisiasi ini bertitik tolak dari pandangan bahwa seseorang calon
ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral
upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan
semacam itu berasal dari konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati
bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang
dimuliakan di dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para ibu di dukuh itu
merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri
merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan demikian,

33
Tohari, Ahmad. Op. Cit. Hal. 74 78.
34
Ibid. Hal. 85 86.
kita bisa memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih merupakan hal yang
istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa tradisional: mengambil
keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra baik, dan menyerahkan
keperawanan dapat menghasilkan keuntungan Iinansial.
35


3.8. Pernikahan
Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah perjalanan hidup yang
ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri. Biarpun sultan dan raja zaman
kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak dianggap setara dengan istri. Dalam
kalangan orang awam, pernikahan berarti hanya boleh bersetubuh dengan istri dan
selir tidak diizinkan. Biarpun menurut ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih
dari satu istri, itu harus dengan izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang
yang diketahui telah selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir
dari kampung mereka.
Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak dihormati. Apabila
seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional pasangan mereka tidur
dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan itu. Setelah itu, semua
urusan dianggap beres.
36
Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak
digambarkan.









35
Ibid. Hal. 30 70.
36
Ibid. Hal. 85.


A 4:
KESIMPULAN
Sosiologi sastra adalah teori yang menjelaskan bagaimana karya sastra dapat
dikaji dengan menitikberatkan masyarakat yang melahirkan pengarang dan pembaca.
Pengarang, karya sastra, dan pembaca dianggap merupakan anggota-anggota atau
bagian-bagian masyarakat yang lahir dan mati di antara masyarakat. Dengan
demikian, yang melahirkan karya sastra adalah masyarakat, dan untuk memahami
karya sastra dengan baik harus memahami masyarakat itu.





















DAFTAR PUSTAKA
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. Structuralism, Linguistics, and the
Study of Literature. Routledge & Kegan Paul: London. dalam Ratna, Nyoman
Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan Pertama. 2004.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Adat Istiadat Jawa
http://www.karatonsurakarta.com/tradisi.html. Didownload Agustus 2010.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Cipto Tunggal
http://www.karatonsurakarta.com/ciptotunggal.html. Didownload Agustus
2010.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Keris.
http://www.karatonsurakarta.com/keris.html. Didownload Agustus 2010.

Karaton Surakarta. Tanpa Tahun. 'Orang Jawa.
http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html. Didownload Agustus 2010.

Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Gramedia: Jakarta

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Cetakan
Kelima. 2009. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. 2009. Cetakan Keempat. Gramedia: Jakarta.

You might also like