You are on page 1of 6

KEMBALI MEMERDEKAKAN INDONESIA

Oleh: Hendri Teja*

Pada dini hari 17 Agustus 1945, Mayjend Nishimura, Kepala Staf Urusan Umum
Tentara Jepang, merah wajahnya. Nasionalisme Indonesia menggelinding sudah. PPKI
pun sudah terbentuk. Tapi lacur, Jepang kalah dalam Perang Pasifik, dan Sekutu
menetapkan status quo bagi Indonesia. Tentara Jepang di Indonesia diperintahkan untuk
berperan hanya sebagai alat keamanan.
Impotensi Jepang atas pemenuhan janji politiknya membikin Soekarno naik
pitam. Trlontarlah kalimat kecaman dari pemimpin besar revolusi Indonesia itu. Kalimat
yang menjadi landasan filoshophi perjuangan bangsa ini di masa depan :
Kami hendak merebut kemerdekaan dengan kekerasan… kami tidak ingin diserahkan
kepada sekutu sebagai inventaris. Dengan pertimbangan yang masak kami bermaksud
meneruskan usaha sebagaimana telah dijanjikan Tenno Haika1.
Bila ditelisik lebih dalam, pernyataan Soekarno tersebut mengandung beberapa
makna penting bagi arah bagi pergerakan pembangunan bangsa ini. Pertama,
kemerdekaan adalah harga mati, yang mesti diwujudkan bahkan dengan tindakan
kekerasan. Soekarno dikenal sebagai figur yang cenderung kooperatif. Melalui desakan
Soekarno, tokoh-tokoh nasional akhir sepakat untuk berkumpul dalam naungan PPPKI –
yang notabene merupakan produk pemerintah Jepang untuk menarik dukungan
masyarakat Indonesia. Lalu kenapa Soekarno nekad menggelontorkan istilah “merebut
dengan kekerasan”? Jawabannya adalah karena masalah pemindahan kekuasaan dari
Jepang kepada Sekutu, kemudian dari Sekutu kepada Belanda, merupakan persoalan
substansial dan fundamental bagi perkembangan bangsa ini. Persoalan serupa itu tidak
memadai untuk diselesaikan dalam kaidah politik baku
Kemerdekaan suatu bangsa dapat dimaknai sebagai kehendak bebas dari suatu
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan adalah otoritas dari suatu
bangsa untuk membentuk pemerintahannya sendiri, dalam kaitan untuk melaksanakan
harapan dan keinginan luhur masyarakatnya, tanpa ada tekanan dari bangsa-bangsa

1
Handayani, Ines, Sekali PPKI Tetap Merdeka, Tempo Edisi 19 Agustus 2001
manapun.Kehendak bebas adalah fitrah manusia. Dan bila kehendak bebas tersebut
dipadukan maka akan terbentuk kehendak bebas kolektif. Kehendak bebas suatu bangsa.
Kehendak bebas adalah hasrat dan keinginan yang kemudian menjadi motivasi bagi
pemiliknya untuk melakukan aktivitas produktif. Ketiadaan kehendak bebas akan
membikin manusia tergerus menjadi basyar2.
Perjuangan mewujudkan masyarakat adil makmur tidak akan terwujud bila
masyarakatnya masih bermental, berpikir, dan bersikap seperti budak. Perjuangan itu
hanya akan terwujud bila bertumpu pada semangat kolektif dan partisipasi aktif dari
setiap individu yang bernaung dalam masyarakat tersebut. Dengan kemerdekaan maka
bumi, air, tanah dan segala kekayaan yang tergantung di dalamnya menjadi hak
masyarakat tersebut, dan pengelolaannya pun bertujuan untuk mensejahterakan
pemiliknya.
Konsepsi itu pernah ditegaskan Soekarno dengan pernyataan sebagai berikut :
“imperialisme berbuahkan negeri-negeri madat, daerah pengaruh… yang di dalam
sifatnya menaklukkan negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan… syarat yang
amat penting untuk perbaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu
ialah Kemerdekaan Nasional…”3
Karena itu, kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Jangankan terpaksa melakukan tindak kekerasan, bahkan bila perlu nyawapun
akan dikorbankan demi pencapaian tujuan tersebut. Bukankah semboyan “merdeka atau
mati” begitu menguat di masa-masa itu. Harga kemerdekaan memang mahal, tapi itu
masih lebih baik ketimbang hidup tertindas, terjajah dan menderita.
Kedua, kemerdekaan Indonesia adalah persoalan martabat bangsa. Soekarno sadar
betul kalau sejak penjajahan VOC sampai Jepang minggir, bukan hanya kekayaan negeri
ini yang dikuras. Harga diri bangsa Indonesia pun diinjak-injak. Bukan hanya masyarakat
kalangan akar-rumput mengalami politik dehumanisasi penjajah. Bahkan tokoh-tokoh
bangsa Indonesia yang sekolah ke Belanda pun acap merasa minder di hadapan para bule
itu. Dan apalagi yang balik tepat untuk menjadi puncak penghinaan itu kalau bukan

2
Mamalia yang tegak dengan dua kaki (Syariati Ali, Tugas Cendikiawan Muslim, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 1995.
3
Soekarno, Pledooi di Pengadilan Bandung : Indonesia Menggugat, 1930
menjadikan Indonesia selayak sandal jepit atau sabun mandi yang bisa diwariskan
kepemilikannya?
Dengan kondisi perekonomian penjajah yang morat-marit, pembangunan
Indonesia ke depan jelas akan sangat tergantung kepada sumber daya alam dan
manusianya. Indonesia masih sangat kekuarangan para teknokrat. Dan dengan anjloknya
martabat bangsa, maka Indonesia jelas akan serupa bola yang disepak para atlit
internasional di pasar dunia.
Ketiga, kemerdekaan Indonesia adalah ketidakberhinggaan kerja keras. Indonesia
ibarat seorang gadis yang terlalu jelita untuk menerima kata talaq. Tidak ada bangsa
penjajah manapun yang akan rela melepas Indonesia. Bayangkan saja, kemerdekaan
Indonesia bermakna Belanda kehilangan sekitar £ 500.000.000 karena penyusutan sampai
tiga perempat pendapatan kaum buruhnya4. Politik etis Belanda jangan pernah dimaknai
sebagai politik balas budi. Kebijakan itu hanya benteng dari tekanan kalangan sosialis di
negeri kincir angin, tetapi implementasinya tak lebih dari sekolah untuk para jongos
keresidenan Belanda.
Bahkan, kalangan sosialis internasional pun berpendapat kalau tanah jajahan
memang budak yang wajib menghasilkan keuntungan bagi penguasanya. Kongres
Sosialis Internasional pada tahun 1925, memutuskan kalau Indonesia tidak boleh
merdeka. Indonesia hanya diizinkan membentuk pemerintahan sendiri dalam persekutuan
kemakmuaran Belanda. Penjajah Jepang juga tak jauh beda. Persatuan Asia Raya tak
lebih dari candu yang membikin para pemuda berbondong-bondong mati konyol
diterjang peluru bedil sekutu –demi mimpi Indonesia yang mendeka
Kemerdekaan Indonesia adalah ketidakberhingga kerja keras dan pertimbangan
yang masak. Kemerdekaan Indonesia murni merupakan cucuran darah, keringat dan air
mata dari entitas-entitas pembentuknya. Mulai dari perjuangan tradisionil-primordial
sampai modern-kebangsaan, semua aktor sama-sama bergerak menuju tanah air yang
masyarakatnya memiliki kehendak bebas.
Kaum-kaum terpelajar yang tercerahkan akan nasib bangsanya kemudian berlarat-
larat melakukan perdebatan, diskusi dan bergerak untuk menyusun skenario kemerdekaan
Indonesia. Mereka bergerilya untuk membangkitkan rasa cinta pada tanah air dan
4
Hatta, Socialist Internationaal dan Kemerdekaan Indonesia, Soeloeh Indonesia Moeda, Edisi 10
September 1928
semangat patriotik rakyat Indonesia. Proses itu berkelindan dalam ruang refresif penjajah,
sampai terbentuknya berbagai organisasi pergerakan dan kesepakatan gerakan tingkat
nasional.
Kemerdekaan Indonesia memang erat kaitannya dengan hasil akhir PD II. Tetapi
ibarat tanah yang subur, tak akan rimbun tetanaman di atasnya bila sang petani tak cerdas
menggarap lahan. Desakan Sorkarno Hatta adalah faktor kunci lelehnya Tenno Haika
sehingga janji kemerdekaan Indoensia paska 23 Agustus 1945 pun terucap. Bahkan
Syahrir, untuk menghindari kecurigaan Sekutu kalau kemerdekaan Indonesia adalah
rekayasa Jepang, sampai menyerukan founding father’s untuk meninggalkan PPPKI.
Soekarno Hatta sebenarnya sepakat. Tetapi terpaksa membatalkan niat tersebut setelah
mempertimbangkan persatuan bangsa karena tokoh-tokoh tua yang duduk di PPPKI saat
itu dianggap merupakan perwakilan semua daerah.
Pemuda pun turut berpartisipasi aktif. Dengan cerdas mereka menyadap siaran
radio berita kekalahan Jepang. Bahkan sampai kurang ajar, mendikte Soekarno Hatta
untuk memproklamasikan kemerdekaan RI secepat mungkin.

Kemerdekaan Indonesia Dewasa Ini.


Beberapa bulan terakhir, media massa ramai mewacanakan kalau Indonesia yang
sekarang belum dapat dikatakan merdeka. Sebab nilai-nilai luhur dari kemerdekaan
tersebut, faktanya belum diadopsi penuh oleh negara, pemerintah dan rakyat Indonesia
sendiri. Perlu ada perjuangan baru merebut kemerdekaan Indonesia yang hakiki. Disebut
perjuangan baru karena perjuangan kali ini masih meniti pada seutas tali kegaliban musuh
bersama, entah itu elit penguasa, kapitalis domestik, maupun aktor transnasional.
Pola perjuangan masa silam setidaknya bisa dipertimbangkan dalam penyusunan
skenario perlawanan tersebut. Pertama, meskipun metode perjuangan bersifat
konvensional, tetapi ketika situasi kondisi menuntut metode radikal progresif, maka aktor
tidak selayaknya menutup mata. Mulanya pergerakan kemerdekaan Indonesia juga
bersifat primordial, tetapi para intelektual produk politik etis kemudian menggagas pola
baru perjuangan kemerdekaan yaitu nasionalis kebangsaan, penggorganisiran dalam
organisasi tertentu, dan mulai mengedepankan aspek politik ketimbang gerakan
bersenjata. Soekarno pun tak terlepas dari pola ini. Pendudukan Indonesia oleh tentara
Jepang, mengubah strategi politik Soekarno dari non cooperative menjadi cooperative.
Dan ketika Jepang melanggar perjanjian, Soekarno adalah salah satu tokoh yang pertama
mengibarkan bendera perang terbuka dengan pasukan Tenno Haika.

Kedua, perjuangan kemerdekaan memerlukan sinergi antara ketiga pelakunya,


yaitu aktor utama, elit dan rakyat. Ketiganya adalah tritunggal dengan peran masing-
masing. Penguatan kapasitas ketiganya adalah hal yang penting, sementara pengkebirian
peran dan penghegemonian ruang gerak kepada seluruh atau salah satunya akan
memperlemah gerakan tersebut.
Ketiga, pemetaaan common enemy. Sebelum mencambuk mental budak rakyat
Indonesia akan pentingnya kemerdekaan, para founding father’s, secara tidak disengaja,
sukses bersama-sama menjabarkan wujud konkrit dari musuh bersama tersebut.
Pengkonkritan common enemy membantu rakyat untuk memfokuskan energi
perlawanannya dengan efektif dan efisien. Keempat, gerakan mesti dijiwai oleh sinergi
antar pelaku, berorientasi kesejahteraan bersama, kerja keras dan keberanian, serta
pemikiran cerdas dan kreatif.

*penulis adalah Direktur YASIN-Padang

You might also like