You are on page 1of 18

Retensio Plasenta

4 04 2009

Retensio Plasenta by.rara

Definisi keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir. Epidemiologi 16-17 % dari kasus perdarahan postpartum Penyebab 1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya : a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam. b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium. c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa. d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim. 2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.

Penegakan diagnosis Plasenta belum lahir selama 1jam setelah bayi lahir Faktor Risiko Manifestasi Klinik Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang. DD/ Berdasarkan penyebab perdarahan postpartum 1. Atoni uteri (50-60%). 2. Retensio plasenta (16-17%). 3. Sisa plasenta (23-24%). 4. Laserasi jalan lahir (4-5%). 5. Kelainan darah (0,5-0,8%). Penatalaksanaan Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan. Tindakan penanganan retensio plasenta : 1. Memberikan informasi kepada ibu tentang tindakan yang akan dilakukan 2. Mencuci tangan secara efektif 3. Melaksanakan pemeriksaan umum 4. Mengukur vital sign,suhu,nadi,tensi,pernafasan 5. Melaksanakan pemeriksaan kebidanan a.inspeksi, b.palpasi, c.periksa dalam 6. Memakai sarung tangan steril 7. Melakukan vulva hygiene 8. Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta

9. Bila placenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir,atau terjadi perdarahan sementara placenta belum lahir,maka berikan oxytocin 10 IU IM. pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi,kemudian coba melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali 10. Bila dengan tindakan tersebut placenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,maka placenta harus dilahirkan secara manual 11. Berikan cairan infus NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan KAlo yang itu kepanjangan yang ini aja juga boleh: 1. Coba 1-2 kali dengan perasat Crede. 2. Mengeluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta). 3. Memberikan transfusi darah bila perdarahan banyak. 4. Memberikan obat-obatan misalnya uterotonika dan antibiotik. Manual plasenta : 1. Memasang infus cairan dekstrose 5%. 2. Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama. 3. Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas disisihkan dengan tepi jari-jari tangan bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi Prognosis Tergantung penanganan perdarahan. Komplikasi Perdarahan menyebabkan syok hemoragik yang berakibat pada kematian.

A.PENGERTIAN RETENSIO PLASENTA Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir atau terlambatnya dalam kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan banyak perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, polip plasenta dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma. Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena: a). Plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau b). Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan. Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena: a.Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva). b.Plasenta melekat erat pada dinding uterus karena vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta). Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). B.INSIDEN Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16%17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun (1997-1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu. C.ANATOMI Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm. beratnya rata-rata 500 gram. Tali-pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertio sentralis).Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis. Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-lahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua. Plasenta berfungsi: sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa metabolisme janin, memberi zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormon, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.

D.ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu: 1.Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis. 2.Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm). 3.Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa. 4.Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta : 1.Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.

2.Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta. 3.Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus. E.GEJALA KLINIS a.Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan. b.Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus. F.PEMERIKSAAN PENUNJANG a.Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat. b.Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain. G.PENATALAKSANAAN Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah: a.Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah. b.Drip oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi. c.Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus. d.Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus. e.Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. f.Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. g.Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.

H.KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi meliputi: . 1.Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan. 2.Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ. 3.Sepsis yaitu keadaan menyebarnay mikroorganisme patogen atau toksinnyake dalam darah atau jaringan. 4.Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya. PLASENTA MANUAL Plasenta manual merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Eknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita. Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan : 1.Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta adhesive plasenta akreta. Plasenta inkreta dan plasenta perkreta. 2.Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan. 3.Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan : Darah penderita terlalu banyak hilang. Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi. Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam. 4.Plasenta manual dengan segera dilakukan : Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang. Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc. Pada pertolongan persalinan dengan narkosa. Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam. Persiapan plasenta manual : Peralatan sarung tangan steril . Desinfektan untuk genitalia eksterna Teknik. Sebaiknya dengan narkosa Desinfektan untuk genitalia eksterna. Tangan kanan dimasukkan secara obsteris sampai mencapai tepi plasenta dengan menelusuri tali pusat. Tepi plasenta dilepaskan dengan bagian ulnar tangan kanan sedangkan tangan kiri menahan fundus uteri sehingga tidak terdorong ke atas. Setelah seluruh plasenta dapat dilepaskan. Maka tangan dikeluarkan bersama dengan plasenta. Dilakukan eksplorasi untuk mencari sisa plasenta atau membrannya. Kontraksi uterus ditumbulkan dengan memberikan uterotonika. Perdarahan diobservasi. Bagaimana sikap bidan berhadapan dengan retensio plasenta ? Bidan hanya diberikan kesempatan untuk melakukan plasenta manual dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah menunggu jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta kdapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang adekuat. Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan

memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat. I.EFEK DAN MANIPULASI RETENSI PLASENTA (RETENSIO SECUNDINAE) Retensio secundinae terjadi pada 69 % sapi dari suatu kelompok ternak tersebut yang diberikan makanan dengan kadar karotin yang. Avitaminose-A menyebabkan hiperkeratosis, metritis abortus dan retensio secundinae. Kemungkinan besar vitamin A perlu untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel uterus dan plasenta. Kadar vitamin A yang rendah memudahkan terjadinya infeksi. Kelemahan dan atoni uterus karena berbagai penyakit dapat menyebabkan retensio secundinae. Penyakit-penyakit tersebut adalah penimbunan cairan di dalam selaput foetus, torsio uteri, kembar, monstrositosis, distokia dan kondisi patologik lainnya. Retensio secundinae jarang terjadi pada sapi potong dibandingkan dengan sapi perah yang dipelihara di kandang untuk waktu lama. Kejadian retensio secundinae berbeda-beda antara satu kelompok ternak dengan kelompok lainnya pada waktu yang berbeda. Sekali terjadi retensio pada seekor sapi, terdapt 20 persen kemungkinan bahwa sapi tersebut menderita lagi retensio pada partus berikut. Gejala retensio secundinae cukup jelas, yaitu sebagian selaput foetus menggantung keluar dari vulva 12 jam atau lebih sesudah kelahiran normal, abortus atau distokia. Kadang-kadang selaput foetus tidak keluar melewati vulva tetapi menetap di dalam uterus dan vagina. Pemeriksaan terhadap selaput foetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk mengetahui apakah terjadi retensio atau tidak. Pemeriksaan melalui uterus harus dilakukan dalam waktu 24 sampai 36 jam postpartum. Sesudah 48 jam biasanya sulit atau tidak ada selaput foetus di dalam cervix. Adanya selaput foetus di dalam cervix cenderung menghambat kontraksi cervix. Pada kasus yang berat, retensio secundinae dapat disertai dengan mastitis, metritis septik, perimetritis, peritonitis, vaginitis nekrotik, paresis pueruralis dan acetonameia. Pada kasus yang tidak terkomplikasi, angka kematian sangat sedikit dan tidak melebihi satu sampai dua persen. Apabila ditangani dengan segera dan baik maka kesuburan sapi yang bersangkutan tidak terganggu. Pada kasus retensio secundinae kerugian yang diderita peternak bersifat ekonomis karena produksi susu agak menurun dan kelambatan involusi dan konsepsi. Berbagai cara dan sarana telah dipakai untuk menangani retensio secundinae. Cara yang masih populer di kalangan dokter hewan praktek adalah menyingkirkan selaput foetus secara manual dan memberikan obat seperti antibiotika dan preparat hormon. Walaupun selaput foetus sudah dapat dilepaskan dalam waktu 12 sampai 24 jam sesudah partus, tetapi terbaik dilakukan sesudah 24 jam sesudah partus, tetapi terbaik dilakukan sesudah 24 jam sampai 48 jam postpartus. Pelepasan secundinae sebaiknya jangan dilakukan sebelum 72 jam sesudah partus, kecuali apabila terjadi anorexia, peningkatan suhu tubuh atau gejala septikemia yang lain. Pada saat itu umumnya uterus sudah berkontraksi sehingga apeks dapat terjangkau. Cervix biasanya masih membuka dan tangan dapat dimasukkan ke uterus tanpa menimbulkan trauma. Kapan pun waktunya, penyingkiran plasenta harus dilakukan secara halus dan cepat dalam waktu 5 sampai 20 menit dengan cara higienik dan frekuensi pemasukkan dan pengeluaran tangan sesedikit mungkin. Anastesi epidural sangat membantu mencegah pengejanan dan defekasi. Apabila kedapatan bahwa cervix sudah menutup dan pelepasan plasenta sulit dilakukan, sebaiknya dibiarkan saja, jangan dipaksakan, dan hanya dapat diberikan preparat antibiotika dan hormon (Robert, 1971). Pelepasan plasenta foetalis dilakukan dengan menempatkan tangan diantara endometrium dan

chorion di ruang interkotiledoner dan kotiledon foetal serta karunkelnya dipegang secara individual, ditekan, dan dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua struktur itu dipisahkan secara hati-hati dengan gerakan menggulung, mengupas, mendorong dan menekan. Gerakan ini dibantu dengan tarikan oleh tangan yang lain terhadap selaput foetus yang terdekat. Kotiledon dekat dengan cervix dilepaskan terlebih dahulu dari karunkel dan dengan tangan lain dari luar plasenta ditegangkan sewaktu pelepasan serta pengupasan kotiledon diteruskan ke bagian tengah cornue uteri mendekati cervix dan membantu pelepasan kotiledon di daerah tersebut. Semua selaput foetus harus dikeluarkan secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa di dalam uterus karena dapat berfungsi sebagai tempat infeksi. Preparat-preparat hormon telah dipakai secara meluas pada pengobatan retensio secundinae. Penyuntikan oxytocin segera sesudah partus akan mencegah terjadinya retensio. Manfaat pemberian hormon ini sesudah 24 sampai 48 jam postpartum masih menjadi tanda tanya. Estrogen mempengaruhi uterus dengan meningkatan tonus dan aktivitas muskulernya, serta relaksasi cervix. Di samping itu uterus di bawah pengaruh estrogen dapat lebih mengatasi infeksi.Pemberian preparat antibiotika berspektrum luas seperti Oxytetracyclin (Terramycin), Chlortetracyclyn (Aureomycin) atau Tetracyclin kini terbukti lebih efektif bila diberikan secara lokal intrauterin dibandingkan dengan penicillin, streptomycin atau preparat-preparat sulfa. Preparat antibiotika berspketrum luas dalam berbagai nama kini dapat diperoleh di pasaran. Antibiotika tersebut diberikan dalam jumlah satu sampai 3 gram di dalam larutan 100 sampai 300 ml air suling atau NaCl fisiologik. Dapat pula diberikan dalam bentuk bolus

RETENSIO PLASENTA
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih 500 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir. Pembagian perdarahan post partum : 1. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi selama 24 jam setelah anak lahir. 2. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam anak lahir. Biasanya hari ke 5-15 post partum. Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi perdarahan post partum : 1. Menghentikan perdarahan. 2. Mencegah timbulnya syok. 3. Mengganti darah yang hilang. Frekuensi perdarahan post partum 4/5-15 % dari seluruh persalinan. Berdasarkan

penyebabnya : 1. Atoni uteri (50-60%). 2. Retensio plasenta (16-17%). 3. Sisa plasenta (23-24%). 4. Laserasi jalan lahir (4-5%). 5. Kelainan darah (0,5-0,8%). Etiologi perdarahan post partum : 1. Atoni uteri. 2. Sisa plasenta dan selaput ketuban. 3. Jalan lahir : robekan perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim. 4. Penyakit darah Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia yang sering dijumpai : - Perdarahan yang banyak. - Solusio plasenta. - Kematian janin yang lama dalam kandungan. - Pre eklampsia dan eklampsia. - Infeksi, hepatitis dan syok septik. Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri : - Umur - Paritas - Partus lama dan partus terlantar. - Obstetri operatif dan narkosa. - Uterus terlalu regang dan besar misalnyaa pada gemelli, hidramnion atau janin besar. - Kelainan pada uterus seperti mioma uterii, uterus couvelair pada solusio plasenta. - Faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi. Cara membuat diagnosis perdarahan post partum : 1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uterus. 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak. 3. Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari : - Sisa plasenta dan ketuban. - Robekan rahim. - Plasenta suksenturiata. 4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises yang pecah. 5. Pemeriksaan laboratorium : periksa darah, hemoglobin, clot observation test (COT), dan lain-lain. Perdarahan post partum adakalanya merupakan perdarahan yang hebat maupun perdarahan perlahan-lahan tetapi terus-menerus. Keduanya dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan dapat menjadi syok. Oleh karena itu penting sekali

pada setiap ibu bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin; serta pengawasan tekanan darah, nadi dan pernapasan ibu, kontraksi uterus dan perdarahan selama 1 jam. Beberapa menit setelah janin lahir, biasanya mulai terjadi proses pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan. Bila plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim maka uterus akan berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta (his pengeluaran plasenta). Penanganan Perdarahan Post Partum __________________________________ Penanganan perdarahan post partum berupa mencegah perdarahan post partum, mengobati perdarahan kala uri dan mengobati perdarahan post partum pada atoni uteri. Cara mencegah perdarahan post partum yaitu memeriksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar hemoglobin, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah, kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena). Hasilnya biasanya memuaskan. Cara mengobati perdarahan kala uri : - Memberikan oksitosin. - Mengeluarkan plasenta menurut cara Credee (1-2 kali). - Mengeluarkan plasenta dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan segera sesudah janin lahir dilakukan bila : - Menyangka akan terjadi perdarahan post ppartum. - Perdarahan banyak (lebih 500 cc). - Retensio plasenta. - Melakukan tindakan obstetri dalam narkossa. - Riwayat perdarahan post partum pada perssalinan yang lalu. Jika masih ada sisa-sisa plasenta yang agak melekat dan masih terdapat perdarahan segera lakukan utero-vaginal tamponade selama 24 jam, diikuti pemberian uterotonika dan antibiotika selama 3 hari berturut-turut dan pada hari ke-4 baru dilakukan kuretase untuk membersihkannya. Jika disebabkan oleh luka-luka jalan lahir, luka segera dijahit dan perdarahan akan berhenti.

Pengobatan perdarahan post partum pada atoni uteri tergantung banyaknya perdarahan dan derajat atoni uteri yang dibagi dalam 3 tahap : 1. Tahap I : perdarahan yang tidak banyak dapat diatasi dengan memberikan uterotonika, mengurut rahim (massage) dan memasang gurita. 2. Tahap II : bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya berikan infus dan transfusi darah lalu dapat lakukan : - Perasat (manuver) Zangemeister. - Perasat (manuver) Fritch. - Kompresi bimanual. - Kompresi aorta. - Tamponade utero-vaginal. - Jepit arteri uterina dengan cara Henkel. 3. Tahap III : bila belum tertolong maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan dengan 2 cara yaitu meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi. Retensio Plasenta _________________ Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta : 1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya : a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam. b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium. c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa. d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim. 2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.

Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai perdarahan. Tindakan penanganan retensio plasenta : 1. Coba 1-2 kali dengan perasat Crede. 2. Mengeluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta). 3. Memberikan transfusi darah bila perdarahan banyak. 4. Memberikan obat-obatan misalnya uterotonika dan antibiotik. Manual plasenta : 1. Memasang infus cairan dekstrose 5%. 2. Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan suci hama. 3. Teknik : tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas - disisihkan dengan tepi jari-jari tangan - bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkanlah. Manual plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan jalan lahir (uterus) dan membawa infeksi. Inversio Uteri _______________ Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Pembagian inversio uteri : 1. Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum keluar dari ruang rongga rahim. 2. Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina. 3. Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina. Penyebab inversio uteri : 1. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk). 2. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim. Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri : 1. Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya. 2. Tarikan tali pusat yang berlebihan.

3. Patulous kanalis servikalis. Frekuensi inversio uteri : angka kejadian 1 : 20.000 persalinan. Diagnosis dan gejala klinis inversio uteri : 1. Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis. 2. Pemeriksaan dalam : - Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam. - Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak. - Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik). Penanganan inversio uteri : 1. Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu mendorong rahim atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat serta melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam. 2. Bila telah terjadi maka terapinya : - Bila ada perdarahan atau syok, berikan infus dan transfusi darah serta perbaiki keadaan umum. - Segera itu segera lakukan reposisi kalau perlu dalam narkosa. - Bila tidak berhasil maka lakukan tindakan operatif secara per abdominal (operasi Haultein) atau per vaginam (operasi menurut Spinelli). - Di luar rumah sakit dapat dibantu dengan melakukan reposisi ringan yaitu dengan tamponade vaginal lalu berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

PARITAS vs PERDARAHAN POSTPARTUM 1. Paritas a. Pengertian Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viabel) (Wiknjosastro,2002). Paritas adalah keadaan pada wanita yang telah melahirkan janin yang beratnya 500 gram atau lebih, mati atau hidup dan apabila berat badan tidak diketahui maka dipakai batas umur gestasi 22 minggu terhitung dari hari pertama haid terakhir yang normal (UNPAD, 1998). Paritas adalah seseorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak yang dapat hidup (Harjono,1996). Paritas ibu yang bersangkutan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Risiko terhadap ibu dan anak pada kelahiran bayi pertama cukup tinggi,akan tetapi risiko ini tidak dapat di hindari. Kemudian risiko itu menuru pada paritas kedua dan ketiga serta meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya (Mochamad, 2000; Cahyono, 2000) b. Jenis 1) Nullipara Seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi yang viable untuk pertama kali 2) Primipara Wanita yang telah melahirkan bayi yang viabel untuk pertama kalinya 3) Multipara (pleuripara) Seorang wanita yang telah melahirkan bayi yang sudah viabel beberapa kali, yaitu 2-4 kali

4) Grandemultipara Seorang wanita yang telah melahirkan bayi yang sudah viabel lima kali atau lebih. 5) Great grandemultipara Seorang wanita yang telah melahirkan bayi yang sudah viabel 10 kali atau lebih. (UNPAD, 1998; Wiknjosastro, 2002). 2. Perdarahan Post Partum a. Pengertian Perdarahan postpartum adalah perdarahan setelah bayi lahir, sedangkan tentang jumlah perdarahan, di sebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital (pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90>100x/menit, kadar Hb <8>(Prawiroharjo,2002). Perdarahan postpartum adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Pritchard, 1991). Definisi yang paling umum diterima dari perdarahan post partum adalah kehilangan darah yang melebihi 500 ml segera setelah partus. Namun bila kehilangan darah diukur dengan baik, temuan berikut lebih diobservasi secara konsisten, yaitu : 1) Kehilangan rata-rata darah pada persalinan melalui vagina berjumlah hampir 600 ml 2) Hanya sekitar 5% wanita yang kehilangan darah lebih dari 1000 ml 3) Perkiraan darah yang hilang selalu kira-kira separuh dari kehilangan darah yang jumlahnya diukur dengan baik b. Fisiologi perdarahan postpartum Umumnya pada persalinan yang berlangsung normal, setelah janin lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan cavum uteri, tempat implantasi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah (sentral menurut Schultze), atau pinggir plasenta (marginal menurut Mathews-Duncan), atau serempak dari tengah dan dari pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina ( tanda ini di keluarkan oleh Ahlfeld) tanpa adanya perdarahan pervaginam. Sedangkan cara yang kedua ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml, bila lebih maka tergolong patologik ( Sarwono,1997). Oleh karena itu, pada pelepasan plasenta selalu diikuti oleh perdarahan karena sinus- sinus maternalis di tempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pambuluh-pembuluh darah yang terbuka sehingga lumennya menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah (Sarwono, 1997). Apabila sebagian plasenta lepas sementara sebagian lagi belum terlepas, maka akan terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dangan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus maka dapat timbul perdarahan pada masa nifas (Sarwono, 1997). Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 1) Perdarahan post partum primer (early post partum hemorrhage) Yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama. 2) Perdarahan post partum sekunder (late post partum hemorrhage) Yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke-5 sampai 15 post partum. (William, 2001; Manuaba, 1998; Llewellyn, 2001). c. Etiologi Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut (Mochtar, 1998). Atonia uteri 50% - 60% Retensio plasenta 16% - 17% Plasenta restan 23% - 29% Laserasi jalan lahir 4% - 5% Kelainan darah 0,5% - 0,8% Penyebab perdarahan post partum berdasarkan waktu terjadinya adalah sebagai berikut (Manuaba,1998). 1) Perdarahan post partum primer Beberapa penyebab dari perdarahan post partum primer adalah sebagai berikut : a) Atonia Uteri Atonia uteri adalah ketidakmampuan rahim berkontraksi dengan baik setelah persalinan (Friedman, 1998). Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat

miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama perdarahan postpartum (Oxorn,1990). Adapun faktor predisposisinya antara lain sebagai berikut : (1) Multiparitas Uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum ( Pritchard,1991). Hal ini disebabkan pada ibu dengan paritas tinggi yang mengalami persalinan cenderung terjadi atonia uteri. Atonia uteri pada ibu dengan paritas tinggi terjadi karena kondisi miometriunm dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluhdarah pada tempat implantasi plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum. (2) Peregangan uterus yang berlebihan (over distensi) Uterus yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti bayi besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek (Depkes RI, 1999). (3) Kerja uterus tidak efektif pada kala I dan kala II, kemungkinan besar akan diikuti oleh kontraksi serta retraksi miometrium yang jelek dalam kala III. (4) Kelelahan akibat partus lama Bukan hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan tetapi juga ibu yang kelelahan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah (5) Pimpinan persalinan yang salah dalam kala uri Kesalahan yang paling sering adalah mencoba mempercepat kala III. Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan. (6) Perlekatan plasenta terlalu erat Seperti pada plasenta akreta partialis dimana kontraksi uterus terganggu, gangguan terhadap kemampuan uterus berkontraksi juga bisa disebabkan oleh sisa plasenta atau selaput ketuban dan kandung kemih yang penuh. (7) Anestesi Anestesi inhalasi yang dalam dan lama dengan menggunakan bahan seperti halothan atau ether merupakan faktor yang sering menjadi penyebab. Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi serta retraksi, atonia uteri dan perdarahan post partum. (8) Faktor medis (Depkes, 1999). (a) Anemia (b) Penyakit-penyakit lain, misalnya kencing manis, hepatitis, dan hemoglobinopati. (9) Faktor obstetrik lainnya (Depkes, 1999). (a) Riwayat perdarahan post partum (b) Eklampsi, induksi persalinan, partus presipitatus, bedah sesar, korioamnionitis atau endometritis, DIC (Dissemined Intra Vascular Coagulation/pembekuan darah intra vaskuler merata). b) Retensio Plasenta Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir setengah jam sesudah bayi lahir (Wiknjosastro, 2002; Manuaba, 1998). Penyebab retensio plasenta adalah : (1) Fungsionil (a) His kurang kuat (b) Plasenta sukar terlepas karena : - Mempunyai inersi di sudut tuba - Berbentuk plasenta membranasea atau plasenta anularis - Berukuran sangat kecil Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut diatas disebut plasenta adesiva (2) Patologi anatomis (Mochtar, 1998; Wiknjosastro, 2002) (a) Plasenta inkreta, dimana vili korealis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium (b) Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium tetapi belum menembus serosa. (c) Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim. (3) Faktor uterus (Friedman, 1998). (a) Kelainan bentuk uterus (bicornus, berseptum) (b) Mioma uterus (c) Riwayat tindakan pada uterus yaitu tindakan bedah sesar, operasi uterus yang

mencapai kavum uteri, abortus dan dilakukan kuretase yang bisa menyebabkan implantasi plasenta abnormal. Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus tetap terbuka, dan menimbulkan perdarahan post partum. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi dari daerah tersebut. Bagian plasenta yang masih melekat melintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan (Wiknjosastro, 2002). Pada retensio plasenta baik seluruh atau sebagian lobus suksenturiata, sebuah kotiledon atau suatu fragmen plasenta yang tertinggal pada dinding uterus dapat menyebabkan perdarahan post partum. Tidak ada hubungan antara banyaknya bagian plasenta yang masih melekat dengan beratny perdarahan. Hal yang perlu diperhatikan adalah derajat atau dalamnya perlekatan plasenta tersebut (Hacker, 2001). Faktor-faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta (1) Paritas Ibu Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta adhesiva sampai perkreta. Ashar Kimen mendapatkan angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada multipara, sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian retensio plasenta tertinggi pada paritas 4-5 (Cahyono, 2000). (2) Umur Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas. c) Plasenta Restan Adanya sisa plasenta yang sudah lepas tapi belum keluar ini akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sebabnya bisa karena atonia uteri, karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Mochtar, 1998). d) Laserasi Jalan Lahir atau trauma jalan lahir Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dan robekan yang dialami selama proses melahirkan baik yang normal ataupun dengan tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap kelahiran selesai sehingga sumber perdarahan bisa dikendalikan. Tempat-tempat perdarahan tersebut mencakup. (1) Lokasi episiotomi (2) Vulva, vagina dan serviks (3) Uterus yang ruptur Faktor-faktor predisposisi : (1) Anak besar (2) Persalinan dengan tindakan (operative delivery) seperti ekstraksi vakum, embriotomi dan ekstraksi cunam. (3) Persalinan pervaginam dengan riwayat bekas seksio sesaria dan operasi lain pada uterus (4) Manipulasi intrauterine (5) Persalinan yang belum berdilasi maksimal. Selain itu faktor-faktor lain yang menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan, bila terjadi laserasi yaitu : (1) Interval yang lama antara dilakukannya episiotomi dan kelahiran anak. (2) Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya yaitu ditunggu terlalu lama. (3) Pembuluh darah yang putus pada ujung episiotomi tidak berhasil dijahit. (4) Pemeriksaan inspeksi tidak dilakukan pada serviks dan vagina bagian atas. (5) Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cidera tidak terpikirkan (6) Ketergantungan pada obat-obat oksitosik, yang disertai penundaan terlalu lama mengeksplorasi uterus. (Hacker, 2001). Hubungan laserasi dengan paritas adalah semakin meningkatnya paritas, terjadinya laserasi jalan lahir semakin berkurang karena disebabkan makin tingginya paritas jalan lahir makin longgar, sehingga kemungkinan terjadinya laserasi lebih kecil (Suara Karya, 2004).

e) Kelainan faktor bekuan darah Afibrinogemi atau hipofibrinogemi dapat terjadi setelah abrupsio / solusio plasenta, retensio uteri, janin mati yang lama di dalam rahim dan pada emboli cairan ketuban. Salah satu teori etiologik memperkirakan bahwa bahan tromboplastik yang timbul dari degenerasi dan otolisis desidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar. Kegagalan tersebut yaitu kegagalan pada mekanisme pembekuan, menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan yang biasanya dipakai untuk mengendalikan perdarahan. Kelainan bekuan periportal adalah faktor yang beresiko tinggi pada perdarahan masa nifas tetapi umumnya sangat jarang terjadi. Pasien dengan masalah pembekuan dapat menimbulkan perdarahan postpartum, karena ketidakmam-puannya untuk membentuk bekuan darah yang stabil di tempat pelekatan plasenta (Hacker, 2001). 2) Perdarahan Post Partum Sekunder Terkadang perdarahan uterus yang serius terjadi bukan hanya pada 24 jam pertama tetapi juga setelah itu,biasanya terjadi pada akhir minggu pertama atau pada postpartum lanjut. Perdarahan sering kali disebaakan karena: a. Subinvolusio pada tempat implantai plasenta b. Tertinggalnnya sebagian plasenta Biasanya, bagian yang tertinggal menggalami nekrosis dengan pembentukan fibrin , dan kemudian membentuk apa yang disebut polip plasenta. Pada waktu polip terlepas dari miometrium, dapat terjadi perdarahan banyak. c. Hematoma puerpuralis Perdarahan mungkin terjadi kearah jaringan ikat di bawah kulit yang menutupi genitalia eksterna atau di bawah mukosa vagina, membentuk hematoma vulva dan hematoma vagina. Keadaan tersebut biasanya terjadi setelah perlukaan pada pembuluh darah tanpa adanya laserasi jaringan permukaan, dan dapat terjadi pada kelahiran spontan maupun kelahihan operatif. Terkadang perdarahan tertunda, mungkin sebagai akibat terbukanya pembuluh darah yang semula mengalami nekrosis akibat penekanan yang lama. Jarang, bahwa pembuluh darah yang robek tersebut berada di atas fascia pelvis. Pada keadaan tersebut, hematoma terjadi diatasnya. Pada permulaannya, hematoma membentuk pembengkakan yang mengarah ke bagian atas saluran vagina dan menutupi hampir seluruh lumennya. Bila perdarahan terus terjadi, perdarahan tersebut menerobos ke arah jaringan retroperitoneal dan dengan demikian membentuk suatu tumor yang dapat diraba diatas ligamentum poupart, atau dapat menerobos ke atas, mencapai bagian bawah diafragama ( Pritchard,1991).

You might also like