You are on page 1of 9

VI.

IPTEKS DALAM ISLAM


A. Pengertian IPTEKS Dalam Islam dan Sumbernya 1. Pengertian IPTEKS Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu: 1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada Allah swt. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak. 2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori: pengetahuan (knowledge/kenneis), ilmu pengetahuan (watenschap/science) dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi. Al-Quran dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak (absolut) dan wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4). Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi. Sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam. Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah. Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal. 2. Sumber IPTEKS Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Al-Quran dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia .

B. Integrasi Iman, Ilmu dan Amal Menurut Islam, ilmu pada hakekatnya tidak bersifat dikotomik seperti : ilmu agama-ilmu umum, ulama-intelektual, madrasah-sekolah, santri-pelajar dan sebagainya. Menurut Al-Quran, dua ayat Allah dihadapkan kepada manusia: Ayat al-kauniyah (alam semesta dan manusia: individu, komunal dan temporalnya) Ayat al-qauliyah (Al-Quran dan sunnah rasul) Interpretasi manusia terhadap fenomena kauniyah melahirkan ilmu pengetahuan: biologi, fisika, kimia, sosiologi, antropologi, komunikasi, ilmu politik, sejarah dan lain-lain. Interpretasi manusia terhadap fenomena qauliyah melahirkan pemahaman agama (actual). Kebenaran hakiki dan sumber ilmu ialah pada Allah swt. Ilmu harus difungsikan sesuai dengan petunjuk Allah swt. (QS. Fushshilat/41:53 dan QS. Ali-Imran/3:164). Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu sistem yang disebut Dienul Islam. Didalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syariah dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu dan amal shaleh/ikhsan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran S.Ibrahim/14:24-25 Ayat di atas menganalogikan bangunan Dienul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik, iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu diidentikkan dengan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan/cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni. Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan ipteks yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi ummat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah s.w.t, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia termasuk bagi lingkungannya (QS. Al-Mujadalah/58:11). C. Tanggung Jawab Ilmuwan Terhadap Alam dan Lingkungan Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan sebagai khalifah Allah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Dalam konteks 'abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya. Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik (QS. Asy-Syams/91:8). Dengan kedua kecenderungan tersebut, Allah memberikan petunjuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Fungsi yang kedua sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya serta memanfaatkannya dengan sebesarbesar kemanfaatan untuk kehidupan ummat manusia dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Tanpa menguasai IPTEKS, fungsi hidup manusia sebagai khalifah akan menjadi kurang dan kehidupan manusia akan tetap terbelakang. Allah menciptakan alam, karena Allah menciptakan manusia. Seandainya Allah tidak menciptakan manusia, maka Allah tidak perlu menciptakan alam. Oleh karena itu, manusia mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga kelestariannya dan keseimbangannya untuk kepentingan ummat manusia. Kalau terjadi kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah (QS. Ar-Rum/30:41).

UMAT ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI


Umat islam dalam era globalisasi Oleh: Ahmad Adaby Darban Globalisasi atau proses mendunia, adalah terjadinya hubungan komunikasi umat manusia di seluruh dunia yang semakin efektif. Hal itu didukung oleh sarana dan prasarana teknologi informasikomunikasi serta transportasi yang semakin melancarkan hubungan umat manusia, sehingga terjadi iklim saling mempengaruhi semakin meluas. Arus Globalisasi itu kini semakin deras, dan menimbulkan dapak positif maupun negatif. Dapak positifnya antara lain, informasi dari belahan dunia yang jauh dapat segera diletahui oleh manusia dibelahan dunia yang lain. Manusia dengan mudah berkomunikasi, termasuk dapat dengan cepat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga merata di seluruh dunia. Di samping dampak positif, arus Globalisasi juga menimbulkan dampak negative yang sangat perlu mendapatkan perhatian. Adapun dampak negatifnya antara lain, adanya ledakan informasi yang menguasai kehidupan manusia, dengan demikian yang mengusai media informasi, akan jadi penentu menguasai/mempengaruhi masyarakat dunia. Pengaruh negative dari luar (seperti pornografipornoaksi, taktik-strategi kejahatan, komsumerisme, hedonisme, liberalisme, sekulerisme dan sebagainya ), dengan leluasa masuk menusuk jantung rumah tangga kita, dan mempengaruhi sendi kehidupan masing-masing keluarga. Kehidiupan manusia semakin didorong individualistis, sangat menonjolkan hak individunya. Kehidupan beragama hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek individual belaka. Dengan demikian, arus globarisasi itu dapat mengancam kehidupan sejak dari keluarga, masyarakat dan kemudian negara, apabila kita lengah, tidak waspada, dan kurang siap menghadapinya. Bagi Umat Islam, menghadapi arus Globalisasi ini merupakan tantangan, sekaligus sebagai peluang untuk dapat dengan cerdas, syiasyah, dan trampil memanfaatkan untuk Jihad ( berjuang sungguhsungguh ) menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam sebagai Rahmat Lilalamien, memberikan kesejahteran bagi seluruh alam. Dalam menhhadapi tantangan arus Globalisasi, umat Islam perlu giat memperkokoh Benteng dengan memperkuat fondasi Aqidah, Syariah-Ibadah, Amaliah, dan Akhlaqul Karimah. Dengan fondasi ajaran Islam ini insyaAllah akan mempu menjadi filter dan punya daya tangkal terhadap arus negative Globalisasi atau arus popularitas zaman. Dengan memahami dan menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan benar, akan mahir mengendalikan diri dan menyeleksi pengaruh arus Globalisasi, sehingga dapat selamat, dan justeru dapat memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pengembangan Islam di dunia yang lebih luas. Dalam rangka untuk menguatkan umat menghadapi arus Globalisasi, maka perlu dipahami dan dihayati ajaran Allah Swt. Dalam kitabullah Al Quran sebagai pedoman hidup manusia ini, antara lain : Pertama, Umat Islam harus memperkuat Iman dan juga harus memiliki Ilmu Pengetahuan yang luas ( Q.S. Al Mujadilah 11 ), sehingga Ilmu dan Teknologi yang tumbuh dan berkembang dilandasi oleh Iman yang kokoh, akan barokah dan mamfaat bagi kehidupan peradaban manusia. Kedua, Umat dapat mengamalkan konsep hidum manusia dalam (Q.S. Al Qoshos: 77), yaitu a) Mempunyai orientasi hidup yang jelas bahagia di akhirat, dengan mengupayakan berbuat baik dan bahagia sejahtera di dunianya. b). Bebuat kebaikan pada sesama manusia dengan amal sholehnya. c) Tidak membuat kerusakan di bumi. Ketiga, Memperkokoh Rumah Tangga Sakinah dengan landasan Cinta-Kasih-Sayang, membangun masyarakat yang Marhammah-Qoryatan Toyyibah ( tentram-damai ), berlandaskan Taawun atau gotong-royong. Kesemuanya itu saling menjaga, agar jangan sampai dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, terperosok dalam neraka (Q.S. At Tahrim: 6 ). Keempat, Memperkokoh Istiqomah Umat Islam pada pengetahuan-pemahaman-serta mengamalan ajaran Islam, sehingga benar-benar Muttaqin (bertaqwa) dan sampai akhir hayat tetap dalam keadaan muslimin ( Q.S. Ali Imron: 102 ). Dengan demikian itu, Umat Islam akan tegar berani menghadapi arus Globalisasi, dan bahkan dapat tampil dengan mahir menggguna Ilmu-Pengetahuan & Teknologi sebagai sarana dan prasarana perjuangan dakwah-Amar makruf nahi mungkar, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia di seluruh dunia. H. Ahmad Adaby Darban, Drs.,SU. Dosen Jur.Sejarah FIB UGM & Sekretaris FUI DIY

Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam


Rabu, 04 April 2012

oleh: Dr. Adian Husaini PADA Hari Senin, 27 Februari 2012, saya mendapat undangan untuk mengisi acara bernama Kegiatan Multikultur, Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan, Pembelajaran PAI Berbasis Fitrah, dan Pemberdayaan Manajemen MGMP di Jakarta. Acara ini diselenggarakan olehMusyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam (PAI) SMK Provinsi DKI Jakarta. Sesuai undangan, Tema yang diminta ke saya adalah telaah terhadap buku yang berjudul Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. (Diterbitkan oleh PT Kirana Cakra Buana, bekerjasama dengan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima). Dalam buku tersebut disebutkan, bahwa Latar belakang dan Tujuan diajarkannya pendidikan multikultur dalam PAI adalah: Pendidikan multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai yang relevan agar peserta didik atau siswa dapat hidup berdampingan secara harmonis dalam realitas keberagaman dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola keberagaman menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan Indonesia, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya. (hal.xi). Membaca tujuan itu, kita tentu bertanya, apakah selama ini PAI di sekolah-sekolah kita tidak mengarahkan anak didik untuk memahami multikulturalisme; dan apakah sudah begitu mendesaknya, sehingga kurikulum PAI harus dibebani dengan muatan pendidikan multikulturalisme? Jika tujuannya adalah untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lain, maka sejak awal mula Islam sudah mencontohkan hal itu. Di dalam buku Panduan Integrasi, ini pun disebutkan contoh tentang Piagam Madinah yang memberikan jaminan kehidupan kemasyarakatan bagi pemeluk agama-agama lain. Idealnya, sebelum memasukkan suatu materi dalam kurikulum PAI, diteliti dengan ilmiah, bahwa kurikulum PAI selama ini tidak atau kurang berwawasan multikultural, sehingga kurikulum tersebut perlu diubah, dikurangi, atau ditambah. Jika memang ada, pada bagian yang mana? Sebagai kaum Muslim, kita diajarkan untuk tidak menutup diri terhadap istilah atau konsep-konsep baru dari luar Islam seperti multikulturalisme. Tetapi istilah itu perlu diklarifikasi maknanya. Jika tidak sesuai dengan pandangan alam Islam (the worldview of Islam), maka perlu diberikan makna baru, seperti yang dilakukan para pendakwah Islam di Nusantara yang melakukan Islamisasi terhadap istilah sorga, neraka, pahala, dosa, bakti, dan sebagainya. Itu perlu dilakukan, agar jangan sampai muncul kesan bahwa Pendidikan Multikultural kita masukkan ke dalam kurikulum PAI karena desakan eksternal atau memanfaatkan peluang ketersediaan finansial yang menjanjikan. Sudah sama-sama kita pahami, jauh sebelum adanya istilah multikultural ini, secara konseptual maupun dalam realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ( ) memelopori satu Negara dengan Konstitusi tertulis, pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan

kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M. Sejarah sosial Islam sangat berbeda dengan sejarah kehidupan keagamaan di Barat yang beratus tahun menerapkan sistem Teokrasi (pemerintahan yang dilegalisasi Tuhan melalui wakil-Nya, yaitu Paus) dan mengalami konflik keagamaan yang sangat parah, sehingga menimbulkan trauma sejarah dan keagamaan yang mendalam. Dari sinilah muncul renaissance yang berujung kepada sekularisme-liberalisme dan penyingkiran nilai-nilai agama dalam kehidupan. (Tentang sejarah toleransi Islam, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004); tentang sejarah sekalisasi di Barat, lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Memahami sejarah sosial suatu perdaban sangat penting, sebab makna suatu konsep tidak terlepas dari sejarah dan sistem (medan) makna yang ada dalam suatu peradaban. Tujuan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat adalah baik. Perbedaan tidak identik dengan konflik. Dan Islam sebagaimana diakui dalam buku ini sudah berhasil mewujudkan kehidupan harmonis antar berbagai kelompok yang beragam. Dengan logika ini, kita bertanya, lalu untuk apa dimasukkan Pendidikan Multikulturalisme dalam kurikulum PAI? Apa yang salah dengan kurikulum PAI selama ini? Buku Panduan Integrasi ini menjelaskan latar belakang diajarkannya Pendidikan multikulturalisme: Harus kita sadari bersama, bahwa keberhasilan negara-negara Barat ini memakan waktu atau sejarah yang panjang serta menerapkan cara, metode dan strategi yang berbeda-beda. Misalnya di Amerika Serikat sendiri, sudah berabad-abad menerapkan kebijakan ini, dan baru masa kini dinyatakan berhasil. Begitu juga Inggris, Perancis, dan Australia. Disebabkan karena klaim kebenaran inilah, nilai-nilai multikultural sekarang ini banyak didesakkan ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya umat Islam. (hal. 34). Menyimak pernyataan tersebut, kita patut bertanya dan bersikap kritis: Benarkah Negara-negara Barat berhasil menerapkan multikulturalisme? Mengapa di AS tidak kita jumpai ada menteri Muslim? Mengapa umat Islam di AS, Inggris, Australia tidak mendapatkan hak libur pada Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha? Mengapa umat Islam di Swiss dilarang membangun menara masjid? Apakah di Negara-negara Barat umat Islam diberi hak sama dengan kaum Kristen atau Yahudi? Jawabnya jelas: TIDAK! Perlu dicatat, bahwa konsep Negara modern sekarang ini telah melakukan diskriminasi yang sangat kejam terhadap manusia. Yakni, hanya karena tempat kelahiran dan kewarganegaraan yang berbeda, manusia diperlakukan sangat diskriminatif. Padahal, manusia tidak pernah memilih tempat kelahirannya. Lihatlah, nasib TKI-TKW kita di luar negeri. Lihatlah nasib para imigran di berbagai negara! Bukankah mereka semua adalah manusia yang katanya punya HAM dan tidak boleh diperlukan secara diskriminatif? Keberagaman makna Menyimak berbagai buku-buku tentang Pendidikan Multikulturalisme selama ini, pemahaman tentang multikulturalisme begitu beragam. Sebagaimana pernah kita bahas dalam CAP yang lalu, ada seorang guru besar sosiologi agama di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Malang yang sangat gencar mempromosikan paham multikulturalisme. Tahun 2009, sang profesor menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya dengan judul Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial. Sang professor mengajukan gagasan perlunya pengembangan studi agama berbasis paham multikulturalisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama. Ia menulis: Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion). (hal. 46). Jelas, gagasan transendentalisme semacam itu tidak sesuai dengan Islam, yang menggariskan, bahwa setelah Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ( ) diutus, maka syariat yang berlaku bagi umat manusia adalah syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ( pa kutnu ulal ,nakranebid alaataW uhanahbuS hallA habmeynem arac aumes akiJ .( a Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ( ) diutus? Contoh ketiga, sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata Pengantar Ahli oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A., guru besar UIN Malang. Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah mendesak sekali membumikan pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik. (hal. xiv). Jika kita renungkan, penggunaan istilah multikulturalisme sebagai paradigma baru Pendidikan Islam itu pun

sebenarnya sudah bermasalah. Jika multikulturalisme adalah konsep yang baik sejak dulu, kenapa baru sekarang dijadikan paradaigma bagi Pendidikan Agama Islam? Apakah Pendidikan Agama Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw tidak berbasis multikulturalisme? Selama ratusan tahun pesantren telah berdiri di Indonesia. Apakah mereka tidak berwawasan multikultural? Mana yang tepat: pendidikan Islam berbasis multikulturalisme atau pendidikan Islam berbasis Tauhid? Dalam sebuah buku berjudul Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural karya Zakiuddin Baidhawi, ditulis: Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir alQuran: Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa) antara kami dan kamu... Dengan demikian, kalimatun sawa bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity). (hal. 45-46). Inilah contoh-contoh pemaknaan multikulturalisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, penggunaan istilah ini memang perlu berate-hati. Multikuturalisme dalam PAI Dalam buku Panduan Integrasi ini, multikulturalisme didefinisikan sebagai berikut: Inti dan substansi dari multikultural adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, atau pun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. (hal. 18). Di antara nilai-nilai multikultur yang harus diajarkan dalam PAI adalah nilai keadilan, yang didefinisikan sebagai: Kesadaran untuk memperlakukan orang lain tidak berat sebelah/tidak memihak dan tidak membedakan keberpihakan kepada sesama karena perbedaan warna kulit, golongan, suku, agama, ekonomi, jenis kelamin, dsb. (hal. 65). Terhadap definisi semacam itu, kita perlu memberikan catatan, bahwa dalam memahami suatu istilah atau konsep, maka yang penting dilakukan adalah penggunaan cara pandang, framework, atau lebih tepatnyaworldview. Seorang muslim seyogyanya menggunakan worldview of Islam (pandangan alam Islam) ketika menilai konsep atau istilah. Itulah yang dilakukan umat Islam sepanjang zaman. Di awal-awal perkembangan Islam, al-Quran melakukan proses adopsi istilah-istilah yang ada di masa Jahiliyah tapi diberikan makna baru, seperti Allah, karim, nikah, haji, dan sebagainya. Di wilayah Nusantara, para ulama penyebar Islam di wilayah ini juga melakukan proses yang kemudian dikatakan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai proses Islamisasi. Misalnya, adopsi dan Islamisasi istilah-istilah Hindu, seperti pahala, dosa, sorga, neraka, bhakti, dan sebagainya. Dengan menggunakan worldview of Islam, dengan mudah kita bisa menilai apakah konsep multikulturalisme yang digunakan dalam buku ini sudah sesuai dengan Islam atau tidak, sehingga harus diterima, ditolak, atau dilakukan proses Islamisasi dengan melakukan perubahan makna agar sesuai dengan konsep Islam? Ada satu kemajuan dalam pendefinisian makna multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi ini, yakni menolak definisi Pluralisme Agama yang bermakna kebenaran dan keabsahan semua agama. Dalam konsep multikulturalisme ini, semua bentuk budaya dan agama harus diperlukan sama dan adil di ruang publik. Ada yang menyebut konsep in sebagai civic pluralism. (hal. 65). Terhadap definisi semacam itu, kita perlu memberikan catatan, bahwa dalam memahami suatu istilah atau konsep, maka yang penting dilakukan adalah penggunaan Dengan menggunakan worldview of Islam, dengan mudah kita bisa menilai apakah konsep multikulturalisme yang digunakan dalam buku ini sudah sesuai dengan Islam atau tidak, sehingga harus diterima, ditolak, atau dilakukan proses Islamisasi dengan melakukan perubahan makna agar sesuai dengan konsep Islam? Ada satu kemajuan dalam pendefinisian makna multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi ini, yakni menolak definisi Pluralisme Agama yang bermakna kebenaran dan keabsahan semua agama. Dalam

konsep multikulturalisme ini, semua bentuk budaya dan agama harus diperlukan sama dan adil di ruang publik. Ada yang menyebut konsep ini sebagai civic pluralism. Jika menggunakan secular worldview atau cara pandang yang netral agama, maka konsep semacam ini bisa diterima. Artinya, setiap muslim diminta melepaskan konsep-konsep agamanya dalam menilai agama dan budaya lain. Untuk menerima konsep civic pluralism atau multikulturalisme semacam ini, setiap Muslim harus membuang cara pandang tauhid dan amar maruf nahi munkar dari dirinya. Dia harus bersikap netral, seolah-olah tidak beragama. Kelemahan mendasar dari definisi multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi, adalah tidak memberikan batasan makna terhadap budaya dan agama itu sendiri. Budaya dan agama seperti apa yang harus ditoleransi dan diberikan ruang yang sama di ruang publik? Apakah budaya syirik, aliran-aliran sesat yang memiliki nabi baru, aliran-aliran penyembah setan atau agama yang mengajarkan free sex dan pornografi bisa diterima dan harus diperlakukan sama di ruang publik? Jika batasan agama dan budaya dalam perspektif Islam -- tidak diberikan, maka definisi multikulturalisme dalam buku Panduan Integrasi dapat menjadi liar. Dengan definisi yang kabur semacam itu, maka Nabi Ibrahim bisa jadi akan dimasukkan kategori tidak berwawasan multicultural, sebab beliau menolak budaya paganisme dari kaumnya sendiri. Nabi Luth juga bisa dicap tidak berwawasan multikultural, karena melawan budaya homoseksual yang tertanam kuat pada kaumnya sendiri. Bahkan, dengan definisi yang sama, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam ( ) pun pernah dicap sebagai pemecah belah kaumnya. Guru-guru agama yang melarang muridnya merayakan Natal bersama atau mengikuti tradisi Valentine juga bisa kena tudingan anti-multikulturalisme. Karena definisi multikulturalisme yang diberikan dalam buku Panduan Integrasi ini masih perlu disempurnakan, maka para penulis dan penerbit buku ini seyogyanya berfikir sejuta kali untuk menyebarkan buku ini, apalagi mengajarkan kepada para murid di sekolah. Sebab, tanggung jawab dalam soal ini, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.*/Bogor, 30 Maret 2012 Penulis Ketua Program Studi Pendidikan IslamProgram Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Red: Cholis Akbar

Friday, 13 July 2007 03:27

Ilmu-ilmu Keislaman Di Tengah Era Globalisasi

Mimbar Jumat Di zaman era globalisasi ini pertukaran budaya, seni dan kemajuan ilmu pengetahuan semakin di galakkan. S membawa dampak positip dan ada pula yang membawa dampak negatip terhadap masyarakat suatu bangsa. M suatu bangsa diberi kebebasan untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain. WASPADA Online. Oleh Zulhamdi Di zaman era globalisasi ini pertukaran budaya, seni dan kemajuan ilmu pengetahuan semakin di galakkan. S membawa dampak positip dan ada pula yang membawa dampak negatip terhadap masyarakat suatu bangsa. M suatu bangsa diberi kebebasan untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu bangsa yang dipengarruhi itu dituntut untuk melakukan filter terhadap pengaruh-pengaruh yan merupakan konsekuensi dari adanya kemudahan tekhnologis informasi dan komunikasi masa yang dampakny dan budaya. Oleh karena itu kehadirannya tidak dapat dihindari dari dalam kehidupan ini. Namun sebaliknya, kerja keras, bukan dengan sikap pasrah, malas dan tidak kreatif. Memasuki era globalisasi dengan segala imp keunggulan untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa yang tidak memiliki kesiapan dan keunggulan akan mengalami ketertinggalan.

Di era zaman serba modren ini, dunia Barat dipandang sebagai kiblat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolo relevan dan pantas untuk diterapkan suatu bangsa. Sementara ituIslam yang diturunkan dari belahan Timur di relevan lagi. Pemikiran seperti ini adalah keliru. Pada dasarnya Islam telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi p yang sedang kita rasakan sekarang. Dan Islam juga telah memberikan kontribusi bagi kemajuan Barat, yakni oleh ilmuan-ilmuan Islam seperti; Ibnu Rusyd, Al Farabi, Ibn Sina, dan banyak lagi yang lainnya.

Posisi Akal dan Nakal Dalam Melahirkan Ilmu-ilmu Ke Islaman Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang amat sempurna. Manusia telah dianugerahi-Nya akal, dan denga dan yang buruk, mengkaji dan memecahkan persoalan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya akal tersebu melahirakan dan mengembangkan ilu pengetahuan. Tanpa adanya akal mustahil ilmu pengetahuan ada, musta serba modern ini. Akal yang dijalin dengan nakal (Al-Quran dan As sunnah) akan melahirkan dimensi ilmu-il sumber pokok agama Islam tersebut akan melahirkan ilmu-ilmu sekuler. Di dalam islam akal dan nakal berjal dikarenakan manusia itu telah diberikan-Nya akal untuk memahaminya. Dan hikmah diturunkannya Al-Quran agar aqal yang ada pada manusia itu tidak tersesat dalam mengkaji sesuatu. Berkaitan dengan hal ini Imam Al Ghazali mengemukakan, bahwa tingkatan-tingkatan aqal itu ada empat, ya Pertama; akal berarti kecerdasan, ini dimiliki oleh setiap manusia yang membedakannya dari hewan dan mak orang. Akal inilah yang dibawa manusia sejak dari lahirnya sebagai modal pokok untuk hidup. Kedua; akal berarti pengertian, yang tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama mulai berjalan, dan meningkat naik setelah berusia muda, menjadi dewasa. Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan salah, Ketiga; akal berarti pengetahuan, yang timbul karena pengajaran dan pengalaman setelah menyelidiki dan m Akal inilah yang telah melahirkan ilmu pengetahuan yang begitu banyaknya, begitu luasnya dan begitu tinggi sekarang ini. Keempat; akal berarti marifat, yang merupakan puncak dari segala tingkatan akal yaitu keinsafan rohani ma dan yang membawanya kepada keluhuran budi dan akhlak seseorang serta memimpinnya kepada ketuhanan y Ghazali tersebut dapatlah dipahami bahwasanuya akal itu sudah tertanam pada diri manusia sejak ia lahir ked tuntut untuk mengembangkannya dengan cara memikirkan, mengadakan penelitian terhadap segala ciptaan-N

Islam Di Tengah Globalisasi Islam adalah tatanan yang melindugi aqidah dan menegakkan syariat. Islam juga adalah agama rahmatan lil memeluknya. Ia menyuruh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya untuk menggali ilm pengetahuan adalah kewajiban syariah dan kebutuhan umat. Kini islam dihadapkan dengan gelombang era g miliki, dirasakan oleh sekelompok orang, masyarakat, suku bangsa atau negarab tertentu. Tetapi dinikmati da masyarakat lintas negara. Kehadirannya memperpendek jarak komunikasi dan memperluas pada mobilisasi o

Di lain sisi tidak sedikit umat islam memandang, bahwa era globalisasi merupakan zaman yang menyeret man Islam. Kemudian banyak berkembang ideologi-ideologi sekuler yang bertentangan dengan konsep ajaran Isla ini hendaknya umat Islam terlebih dahulu memahami peta masalahnya. Hal ini dikarenakan globalisasi merup jawaban. Untuk menjawab tantangan tersebut maka diperlukanlah peran dari ilmu-ilmu ke islaman yang bertu manfaatkan secara positip demi maksimalisasi keuntungan dan mengurangi eksis negativnya demi minimalisa Ilmu-ilmu ke islaman di perlukan dalam menjawab tantangan era globalisasi dikarenakan ilmu-ilmu tersebut Kedua sumber pokok dalam Islam tersebut mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan yang diseb hubungan antara manusia dengan manusia serta mengatur hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Tata hu tidak akan berubah-ubah sebagaimana di teladankan oleh baginda Rasul. Sementara tata hubungan manusia d selalu mengalami perubahan. Tata hubungan ini adalah jiwa kebudayaan. Prinsip-prinsip kebudayaan itu bert sendiri, tetapi pelaksanaan nya selalu berubah. Dengan demikian umat Islam yang sedang mengarungi globalisasi tidak akan kaku dan tidak akan panik dalam dari segi keilmuan dan tekhnologinya. Kemajuan tersebut akan dimanfaatkan nya sedemikian rupa tanpa men untuk membangkitkan Islam itu kembali dengan gaya baru. Karena tidak mungkin umat islam akan kembali k

keilmuannya pada masa lampau. Tetapi yang mungkin adalah mengambil nilai-nilai kejayaan tersebut dalam ilmuan-ilmuan barat. Wallahu Alam.

You might also like