You are on page 1of 206

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A.

Gambaran Profil Lulusan Program Studi Era Globalisasi yang berlangsung saat ini telah membuka peluang yang cukup luas bagi negara-bangsa untuk melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional yang terjadi dewasa ini tidak lagi menjadi dominasi antar negara dan/atau pemerintah, akan tetapi juga berlangsung antar warga negara, antar perusahaan, dan antar organisasi/institusi suatu negara dengan pihak negara lainnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menyadari arti pentingnya hubungan internasional, khususnya dalam melakukan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, baik di bidang ekonomi, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya. Agar suatu hubungan internasional yang berlangsung tidak

menimbulkan ancaman bagi keamanan dan ketertiban internasional, maka hubungan yang berlangsung diletakkan dalam tatanan hukum internasional, suatu tatanan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa beradab sebagai perwujudan kehendak bersama masyarakat internasional untuk menciptakan tatanan dunia baru yang memiliki keberadaban dan keteraturan, saling menghargai, dan saling menguntungkan satu dengan yang lain. Untuk itu, keberadaan hukum internasional menjadi sangat urgen dalam tatanan dunia yang sedang bergerak cepat dan transparan sebagai sebuah tuntutan globalisasi. Di bidang ekonomi, perkembangan kegiatan investasi dan perdagangan internasional berlangsung sangat cepat. Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh perusahaan transnasional telah menjadi kecenderungan global. Hal ini juga berlangsung di Indonesia, dan seringkali menimbulkan problem lingkungan internasional, investasi internasiol, bahkan kejahatan internasional, sehingga membutuhkan penyelesaian hukum internasional yang akurat. Untuk itu, sekali lagi sumberdaya manusia yang menguasai hukum internasional akan memainkan peranan strategis dalam penyelesaian sengketa internasional yang berlangsung.

Sebagai konsekuensi dari semakin intensnya hubungan hukum internasional, maka permasalahan hukum internasional juga berkembang semakin kompleks. Keberadaan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan hukum internasional secara komprehensif menjadi harapan bersama, khusunya perannya dalam memecahkan dan menemukan solusi atas permasalahan hukum internasional yang semakin kompleks. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas penguasaan hukum internasional yang komprehensif tersebut perlu didukung oleh wawasan yang holistik. Hal ini menjadikan pentingnya penyelenggaraan program pendidikan tinggi yang berkualitas pada konsentrasi Hukum Internasional untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin merupakan Fakultas Hukum yang termapan di Kawasan Timur Indonesia yang dipandang sebagai maskot perguruan tinggi terbaik di kawasan timur. Dalam menjalankan peran strategi penyelenggaraan pendidikan tinggi maka program studi ilmu hukum Fakultas Hukum Unhas diarahkan dengan tetap mengkiblati visi dan misi universitas. Penjabaran visi dan misi dimaksud kemudian tertuang sebagai berikut: I. VISI Menjadikan Program studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sebagai Program studi Ilmu Hukum unggulan di Indonesia pada tahun 2020 dalam pengembangan ilmu hukum internasional yang berbasis pada budaya bahari. II. MISI Untuk mewujudkan visi program studi Ilmu Hukum maka ditetapkan misi sebagai berikut: a. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki keunggulan kompetitif dalam penelitian dan pendalaman ilmu hukum yang berwawasan holistik, serta memiliki kompetensi spesifik untuk melakukan penelitian di bidang ilmu hukum secara mandiri. b. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki kemampuan dan keunggulan dalam pelaksanaan Tri Dharma

Perguruan Tinggi, sehingga menghasilkan profesionalisme dan intelektualitas keilmuan yang diakui secara nasional dan internasional. c. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) menjadi

kebanggaan Universitas Hasanuddin dengan keluaran yang memiliki kemampuan penelitian dan pemikiran keilmuan berwawasan holistik untuk dapat memberikan solusi terbaik pada setiap persoalan pembangunan Hukum Nasional dan Internasional.

B. Kompetensi Lulusan, dan Analisis Kebutuhan Pembelajaran. Uraian visi dan misi Fakultas Hukum Unhas di atas, kemudian dijabarkan dalam bentuk pilihan kompetensi lulusan. Hal ini diartikan bahwa pilihan kompetensi lulusan ditetapkan dalam rangka menggambarkan wujud lulusan program studi ilmu hukum (S1) Fakultas Hukum Unhas. Kompetensi lulusan yang ditetapkan adalah praktisi. Pilihan kompetensi lulusan pada praktisi dimaksudkan agar lulusan yang dihasilkan memiliki basis skill (keahlian) yang merupakan pasangan (tandem) dari knowledge (pengetahuan) yang tentunya telah dimiliki oleh setiap lulusan. Sehingga, setiap lulusan dipandang telah siap baik skill maupun knowledge untuk berkompetisi pada universitas yang sesungguhnya (real life). Dalam konteks pembelajaran mata kuliah Hukum Laut (PIP) maka akan terbangun suatu konstruksi bahwa lulusan dengan kompetensi praktisi akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan strategis di bidang hukum laut khususnya terkait dengan penegak hukum di laut yang merupakan muara dari pemebelajaran hukum laut. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan harmonisasi antara apa yang hendak dicapai dengan apa yang ditetapkan terhadap lulusan maka penyediaan metode pembelajaran yang tepat merupakan pilihan bijak dalam rangka menjembatani harmonisasi yang dimaksud. Kebutuhan pembelajaran yang baik dan benar yang kemudian dikelola dengan pola menejerial yang tepat akan mempermudah tercapainya harmonisasi dimaksud. Tentunya, perubahan merode pembelajaran yang diterapkan di Unhas saat ini akan semakin mempermudah pencapaian dimaksud, khususnya ketersediaanya garis-garis Besar Pembelajaran (selanjutnya disingkat GBRP), Jadwal kegiatan mengajar (selanjutnya disingkat JKM), dan Satuan Acara Pengajaran

(selanjutnya disingkat SAP) baik uang dikemas dalam bentuk modul maupun powerpoint. C. Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) MATA KULIAH SEMESTER/SKS/KODE Kompetensi Utama : HUKUM LAUT (PIP) : AKHIR 20.-2011; 2 SKS; 419 HI 2

1. Memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan dan menerapkan berbagai teori, ketentuan, dan prinsip hukum laut; 2. Memiliki kemampuan dan keterampilan melakukan penelitian di bidang hukum laut (internasional) secara mandiri. Kompetensi 1. Memiliki pemahaman, kesadaran dan kearifan Pendukung tentang berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya dan Iptek yang mempengaruhi bidang hukum laut; 2. Memiliki kemampuan dalam hal penguasaan software dan hardware komputer untuk mengakses informasi dari berbagai sumber informasi dalam bidang hukum internasional secara umum dan hukum laut secara khusus. Kompetensi Lainnya 1. Memiliki kesadaran, kepedulian, dan komitmen terhadap penegakan hukum di bidang hukum laut; 2. Memiliki kemampuan dalam menemukan korelasi antara berbagai sektor/element yang terkait dengan hukum laut, khususnya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

GBRP Hukum Laut (PIP):


Minggu Ke Sasaran Pembelajaran Materi Pembelajaran Strategi Pembelajaran Kriteria penilaian Bobot Nilai (%)

Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok), penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP Unhas.

- Pengertian PIP; - Penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP Unhas.

1. Kuliah; interaktif; 2. Diskusi.

1. Partisipasi dalam diskusi: 2. Kejelasan dalam mengemukaka n pendapat; 3. Ketepatan dalam menguraikan teori terkait Ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP. 1. Partisipasi dalam diskusi:

Mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai

Berbagai istilah seperti konsepsi nusantara,

1. Kuliah Interaktif; 2. Diskusi.

istilah seperti konsepsi nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.

wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia; Sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.

2. Kejelasan dalam mengemukaka n pendapat; 3. Kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan sejarah perkembanga n hukum laut di Indonesia. 1. Discovery learning melalui small group work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait implementasi prinsip negara kepulauan; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama tim; 4. Penguasaan individu. 5

Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi asas negara nusantara dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional.

Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalurjalur laut pada wilayah peraiaran Indonesia sebagai negara nusantara.

Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.

Implementasinya dapat dilihat pada: 1. PP No. 8 Tahun 1962 tentangg Lintas Damai; 2. Pengumuman Pemerintahan Tahun 1969 tentang Landas Kontinen; 3. UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen; 4. Perjanjian garis batas maritim dengan negara tetangga; 5. Pengumuman Pemerintahan Tahun 1980 tentang ZEEI; 6. UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI; 7. UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan Republik Indonesia atas Konvensi Hukum Laut (UNCLOS III) 1982; 8. Dan lain sebagainya. Jalur Laut Indonesia meliputi: a. Peraiaran kepulauan; b. Perairan pedalaman; c. Laut territorial; d. Jalur tambahan; e. ZEEI; f. Landas Kontinen Indonesia. 1. Garis Pangkal normal; 2. Garis pangkal lurus; 3. Garis pangkal lurus kepulauan; 4. Garis penutup.

1. Discovery learning melalui small group work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalurjalur laut.; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama tim; 4. Penguasaan individu. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalurjalur laut.; 2. Partisipasi

dalam diskusi; 6 Mahasiswa dapat 1. Berbagai macam pengaturan hukum tentang lintas pelayaran di lintas pelayaran wilayah perairan RI internasional di wilayah serta penegertiannya; perairan Indonesia. 2. Analisis perbandingan antara ketiga lintas pelayaran itu; 3. Berbagai persyaratan yang harus diperhatikan ketika melakukan lintas alur kepulauan (PP No. 37 Tahun 2002 tentang ALKI). Mahasiswa dapat 1. Kelayakan kapal menjelaskan pengaturan untuk berlayar di laut; hukum tentang 2. Penempatan awak keselamatan pelayaran kapal; (safety of navigation). 3. Sarana bantu pelayaran; 4. Pencegahan tubrukan dan trayek kapal. 1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai lintas pelayaran; 2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta; 3. Partisipasi dalam diskusi; 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai prinsip keselamatan pelayaran; 2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta; 3. Partisipasi dalam diskusi; 1. Isi Makalah; 2. Organisasi makalah; 3. Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; . Ketepatan waktu. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan; 2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta; 3. Partisipasi dalam diskusi; 1. Kemampuan 5

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

Ujian Tengah Semester

Makalah Individu mengenai salah satu materi perkuliahan yang telah dipelajari

10

Mahasiswa dapat menjelaskan standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan (International Ship and Port facilities Security Code).

ISPS Code: a. Sejarah lahirnya ISPS Code; b. Ruang Lingkup dan Tujuannya; c. Persyaratanpersyaratan keamanan terkait kapal dan pelabuhan; d. Implementasi ISPS dalam hukum nasional.

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

10

Mahasiswa dapat

Perlindungan dan

1. Kuliah Interaktif;

menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Pelestarian Laut: a. Ketentuan dalam KHL III 1982; b. Tindak lanjut

2. Studi kasus; 3. Diskusi.

menyajikan fakta-fakta mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama Tim; 4. Penguasaan Individual. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai pencemaran laut; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama Tim; 4. Penguasaan Individual. 1. Partisipasi dalam diskusi; 2. Kejelasan dalam mengungkap pendapat; 3. Ketepatan dalam menguraikan teori. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan; 2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta; 3. Partisipasi dalam diskusi; 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta 5

11

Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran laut.

1. Pengertian; 2. Sumber-sumber pencemaran laut; 3. Kasus pencemaran laut Newmont dan kasus tumpahnya minyak di kepulauan Natuna.

1. Discovery learning melalui small group work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

12

Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karun serta berbagai istilah, pengaturan hukumnya.

1. Pengertian; 2. KHL 1982; 3. Status harta karun;

1. Kuliah Interaktif 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

13

Mahasiswa dapat menejelaskan pengaturan harta karun dalam berbagai peraturan perundangundangan nasional.

1. UU no. 32 tahun 2004; 2. PP No. 25 Tahun 2000; 3. Keppres No. 107 Tahun 2000, dlsb.

1. Kuliah Interaktif 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

14

Mahasiswa dapat menjelaskan ketentuan dan prinsip-prinsip dasar

Pengantar Desentralisasi kelautan

1. Discovery learning melalui small group

mengenai perikanan Indonesia (1).

Hukum Perikanan Indonesia (UU no. 31 tahun 2004) dan peraturan perundangundangan terkait lainnya..

work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

mengenai pencemaran laut; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama Tim; 4. Penguasaan Individual. 1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai pencemaran laut; 2. Partisipasi dalam diskusi; 3. Kerjasama Tim; 4. Penguasaan Individual. 1. Penguasaaan teori materi pembelajaran; 2. Ketepatan dalam menganilisi; 3. Ketepatan waktu dalam menyelesaika n makalah atau menyelsaikan soal-soal. 5

15

Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perikanan Indonesia ( 2)

penggunaan wilayah untuk perikanan (2).

1. Discovery learning melalui small group work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

16

Ujian Akhir Semester

Ujian akhir diberikan dapat berupa makalah atau ujian tertulis.

10

BAB 2 BAHAN PEMBELAJARAN 1


A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok), penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP Unhas. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan pendapat, dan ketepatan dalam menguraikan teori terkait ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dibawah kepemimpinan Rektor Prof. DR. Achmad Amiruddin 1973 - 1983 melalui beberapa kali

lokakarya telah menetapkan Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) sebagai Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin berdasarkan argumentasi bahwa negara Indonesia secara geografis adalah Negara-Kepulauan(Archipelagic State) yang terdiri 74,3% laut dan 25,7 % daratan meliputi 18.108 pulau besar dan kecil1. Perairan laut 74,3% seluas 5,8 juta km2, mencakup 0,3 % laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan Nusantara, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif sangat kaya potensi sumber daya alam laut hayati dan nabati, perlu dikaji, dianalisis, diteliti, di eksplorasi dan di eksploitasi untuk

kesejahteraan umat manusia umumnya dan kemakmuran bangsa Indonesia khususnya. Inilah tantangan Unhas untuk memberikan jawaban konkrit melalui teori ilmu dan teknologi kelautan dalam semua aspek disiplin ilmu yang diajarkan di Unhas dan praktek melalui alumninya yang berbobot dan handal
Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, IUCN Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN Environmental Law Center, Germany, p. 32. See also Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October 2009. P. 1.
1

10

mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut beserta sumber daya alamnya for benefit of mankind. Unhas telah beberapa kali melaksanakan Lokakarya dalam rangka untuk menangkap ide, aspirasi dan arah Pola Ilmu Pokok. Marine Sciences adalah Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk menjawab tantangan zaman guna melahirkan Sarjana Teknologi Kelautan yang mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut baik yang terdapat di dasar laut (sea bed) maupun yang terdapat pada tanah di bawahnya (sub soil). Sarjana Teknologi Kelautan ini masih langka di dunia apa lagi di Indonesia. Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Achmad Amiruddin pada saat itu mengatakan bahwa Unhas harus tampil di depan menjadi pelopornya, dan bukan menjadi universitas pengekor di belakang universitas lain. Unhas harus menjadi universitas terkemuka di Indonesia dan di dunia. Jadi, ide, aspirasi dan arah Marine Sciences pada intinya adalah Fakultas Teknologi Kelautan, bukan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Perlu reevaluasi atas arah yang tidak sesuai design awalnya atau grand masternya. Bagi Fakultas Hukum Unhas, implementasi Pola Ilmiah Pokok itu adalah mata-kuliah Hukum Laut PIP (Pola Ilmiah Pokok) menjadi mata-kuliah Wajib Universitas bagi seluruh mahasiswa dengan bobot 2 kredit. Dalam

perkembangan selanjutnya, di masa kepemimpinan Rektor Prof. Rady A Gani, implementasi Pola Ilmiah Pokok itu ditambah lagi satu mata-kuliah wajib universitas yakni Budaya Maritim dengan bobot 2 kredit. Penambahan mata kuliah Budaya Maritim tentunya dimaksudkan untuk lebih memasyarakatkan PIP diseluruh fakultas di Unhas yang selama ini hanya merupakan domain ilmu mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan dan Fakultas Hukum. Oleh karena itu, hal yang strategis harus dilakukan adalah mengharmonisasikan dan mengsinkronnisasikan mater mata kuliah PIP yang diajarkan di Fakultas Hukum dengan materi budaya maritim yang diajarkan di Mata Kuliah Umum di Unhas (disajikan seluruh fakultas karena meruapakan mata kuliah wajib universitas). Meskipun disisi lain, kebijakan Pimpinan Unhas setelah lebih dua dekade untuk menambah lagi mata-kuliah Budaya Maritim bersamaan matakuliah Hukum Laut PIP, dipandang hanya menambah beban saja yang

berlebihan (over load) dan tidak relevan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Dua

11

mata-kuliah yang hampir serupa tersebut ditetapkan menjadi mata-kuliah wajib universitas, karena struktur organisasi Unhas masih menerapkan sistem sentralistik yang bersifat top-down (sistem komando) dan lagi pula sudah

terlihat ketinggalan zaman (out of date), karena tidak mampu mengikuti perkembangan zaman yang cepat berubah (up to date, sesuai filosofi: pantai rei), sehingga otonomi Fakultas Hukum untuk mengatur mata-kuliah yang relevan saja bagi profesi hukum, telah diabaikan. Kepemimpinan Rektor Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi (2006 sekarang) kemudian hendak mengejewantahkan visi universitas yakni budaya maritim atau bahar dalam bentuk yang lebih konkrit. Apa lagi salah satu visi yang juga hendak diraih oleh Unhas yakni membawa Unhas sebagai The World Class University. Oleh karena itu, strategis sifatnya jika dilakukan evaluasi dan peninjauan kembali mata-kuliah Budaya Maritim agar tidak tumpang tindih secara substansi dengan mata-kuliah PIP yang diberikan bagi mahasiswa

Fakultas Hukum. Sehingga kedua mata kuliah tetap dapat diajarkan tanpa menimbulkan kontroversi tentang penyelenggaraan kedua mata kuliah ini. Tentunya, pembelajaran PIP (hukum laut) tidak hanya mengkaji perkembangan hukum laut dari waktu ke waktu, tetapi juga sebagai penghargaan generasi atas apa yang telah ditorehkan nenek moyang bangsa Indonesia dulu yang merintis budaya kemaritiman dalam memperkaya khazanah cakrawala pengetahuan kemaritiman hingga sekarang, serta mendorong karya-karya intelektual baru bagi yang bisa bermanfaat bagi pembangunan nasional.2

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran pertama dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberpa pertanyaaan, seperti: 1. Mengapa Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) ditetapkan sebagai Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin? Jelaskan ?

Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat, (Fakultas Hukum Unhas Makassar, 2007), hlm. 1. Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007).

12

2. Siapakah Rektor Unhas yang berkontribusi dalam menggagas PIP? Dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dianjurkan oleh rector berikutnya? 3. Mengapa mata kuliah PIP dan Budaya Maritim yang diajarkan bagi mahasiswa Fakultas Hukum Unhas menjadi perdebatan?

Daftar Bacaan Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007. Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat,

Fakultas Hukum Unhas Makassar, 2007. Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, IUCN Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN Environmental Law Center, Germany. Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October 2009.

13

BAB 3 BAHAN PEMBELAJARAN 2

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai istilah seperti konsepsi nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan pendapat, dan kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian: Istilah Wawasan Nusantara dan Sejarah Perkembangan Hukum Laut di Indonesia. a. Klaim Wawasan Nusantara Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II yang dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas 3 mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas wilayah menurut Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat merugikan.

14

Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang masih merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga mil laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang

menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh empat mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu, wajarlah apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak total (masalah lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek selanjutnya. Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama kali

dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir, Djuanda. Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan

mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah: a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar dilautan. b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau antara pulau dengan perairannya. c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut

Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka. d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.

15

Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam masalah pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya. Sebab sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945 mengumumkan dua pernyataan, yaitu: 1. Proklamasi tentang landas kontinen 2. Proklamasi tentang perikanan. Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal pada seminar pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang terpadu, untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan sifatnya sektoral, yatiu: a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD. b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL. c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU. Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing sebagai perwujudan konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu kekuatan, yang dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam kehidupan politik bagsa dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya instabilitas nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya dengan Wawasan Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik (political culture) dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah keluarnya Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat. Berdasarkan Pemerintah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, diatas, Peraturan dikukuhkan

pengganti

Undang-Undang

tersebut

(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah: 1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).

16

2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulaupulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya. 3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat. 4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar. 5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta keselamatan negara dan bangsa. 6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie 1939. Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU No. 4/ Prp 1960 adalah : 1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam. 2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana. Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun 1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur tersebut adalah:

17

a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional, konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya. b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang berkepentingan. Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim wawasan nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat hasilnya meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundinganperundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan wilayah RI. Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat dalam: 1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat Malaka. 2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang Penetapan Batas Laut Antara RI - Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru. 3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara Indonesia dengan PNG. 4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Singapura. 5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman. 6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan Kedua Negara.

18

b. Konsepsi Landas Kontinen Landas kontinen menurut pengertian Hukum Laut Internasional mencakup seluruh pengertian Tepian Kontinen (continental margin), yang secara geografik meliputi: Landas atau Dataran Kontinen, Lereng Kontinen ada pada dasar laut dan tanah dibawahnya, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, selama masih dapat dilakukan eksplorasi dan eksploitasi. Adapun isi pokok Deklarasi (Djuanda; kursip penulis) yang juga mengandung ketentuan tentang landas kontinen sebagaimana dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut: a) Segala sumber kekayaan-kekayaan alam yang terdapat dalam Landas Kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia. b) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas Landas Kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan c) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas Landas Kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik luar wilayah negara tetangga. d) Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas Landas Kontinen Indonesia dan ruang udara diatasnya.3 Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah dibawah dasar laut diluar laut teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat menetapkan dua kriteria landas kontinen. Pertama wilayah yang lebarnya dari zona landas kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar batas teritorial diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200 mil dari garis dasar laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat menetapkan batas melebihi 200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil laut.4 Pengundangan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) telah mengakibatkan perubahan pada panjang garis pantai yang tadinya melebihi jarak jumlah total sepanjang 33. 972 mil menjadi 8. 069, 8 mil. Perlu diingat
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm 27-39. 4 Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm.25-26
3

19

bahwa bukan hanya negara RI saja yang mengeluarkan Deklarasi tentang Landas Kontinennya, tetapi Presiden Truman dari Amerika Serikat pada tanggal 28 September 1945 juga telah mengumandangkan Proklamasi tentang Landas Kontinen (Continental Shelf) negara Amerika Serikat.5 c. Konsepsi Negara Kepulauan Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukan kedalam UNCLOS III 1982, utamanya pada pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa, Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulaupulau lain. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis diangap sebagai demikian.6 Dan dalam sejarah hukum laut Indonesia sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957 , yaitu pernyataan Wilayah Perairan Indonesia: Segala perairan di sekitar, diantara dan yang

menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak daripada negara RI. Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulaupulau lain. Sementara itu, dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang berisi 9 pasal, yang berisi antara lain: Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui perairan
5 6

S. Toto Pandoyo, Op. Cit. hlm. 39 Pasal 46 UNCLOS 1982. Tim Penerjemah UNCLOS 1982, (Jakarta:tp, 1983), hlm. 41.

20

kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan. Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa, negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri. Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Yaitu, satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, dan historis. Adapun persyaratan obyektif yang harus dipenuhi oleh negara kepulauan dalam melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (pasal 47), yaitu: 1. Rasio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu suatu negara kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama besar atau makasimal hanya sembilan kali dengan luas daratannya. 2. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi

21

kepanjangan tersebut, maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil laut. 3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut. 4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat 5. Sistem garis pangkal demikian, tidak boleh diterapkan oleh suatu negara kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. 6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan, terletak diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir diperairan mereka, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negaranegara tersebut akan tetap berlaku dan harus dicermati. 7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan, daerah daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak didalam tebaran karang pulau-pulau dan Atol, termasuk bagian plateau oceanic yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering diatas permukaan laut yang terletak disekeliling plateau tersebut. 8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titiktitik yang secara jelas memerinci datum geodetik. 9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian ke Sekjen PBB. Selanjutnya, diatur bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 47 merupakan garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona

22

tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48). Dengan kata lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama dengan garis-garis pangkal lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982, seperti garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus. Dari beberapa aturan yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan akan diuntungkan, karena dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki cara penarikan garisgaris pangkal kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang wilayah negara. Pada pasal 25 E berbunyi Negara Kesatuan RI adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batasbatasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu, dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia, pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara RI adalah negara kepulauan. Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvensi Hukum Laut PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulaupulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan peundangundangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG, Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe, Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu. Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI

mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia yang telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan

menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis

23

pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan kuala, serta garis penutup pada pelabuhan. Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari

maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk: 1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan 2. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan 3. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan (trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan senjata dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan tidak dianggap sekedar halaman belakang.7 d. Kontribusi Amannagappa dalam Studi Hukum Laut Uraian konsepsi Wanus sebagaimana dijelaskan di atas termasuk konstribusi sejarah didalamnya, perlu dilengkapi dengan mencantumkan kontribusi Sulawesi selatan sebagai basis kemaritiman. Konsepsi tersebut dapat dilihat pada Pura tagkisi gulikku, pura babbara sompeku ku ulebbirengngi telling natowalie (Telah kupasang kemudiku, telah

Mustafa Abubakar , Op.cit. hlm. 26-32

24

kukembangkan

layarku

kupilih

tenggelam

daripada

surut

langkah).8

Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar sejak dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dan telah mampu melayari seluruh pesisir Asia Tenggara, Australia, Madagaskar, Afrika Selatan bahkan sampai ke Jeddah-Arab Saudi. Seiring dengan kentalnya warisan sejarah kebaharian masyarakat Sulawesi Selatan, maka pemahaman akan hukum dan lingkungan laut bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin (selanjutnya disingkat Unhas) menjadi sangat penting.9 Dalam konteks Indonesia dan khususnya Sulawesi Selatan konsepkonsep kepemilikan laut dan pengaturan pelayaran juga telah berkembang sejak abad ke 17 yang dapat dilihat pada hukum Pelayaran Amanna Gappa. Dalam hukum Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan berlayar di laut. Lebih daripada itu hukum Amanna Gappa juga telah mengatur hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep kepemilikan laut kemudian diadopsi oleh Hukum Laut Modern, yang dapat dilihat pada sejumlah konvensi internasional yang akan dikemukakan kemudian. Terlepas dari tuanya sejarah kebahaarian masyarakat Sulawesi Selatan, dalam dunia internasional kita mengenal beberapa konsep pengaturan laut, yang berkembang sejak zaman romawi sampai berkembangnya hukum laut modern, seperti dewasa ini. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai rest communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia). Menurut konsep ini penggunaan laut bebas atau terbuka bagi semua orang. Pada Abad Pertengahan setelah keruntuhan Imperium Roma, negaranegara yang muncul di sekitar laut Tengah mulai mengklaim hak kewilayahan
8

Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, (Bandung: P.T. Alumni, 1982). Naskah dalam bahasa bugis tentang hukum laut perdata telah dibahas dalam berbagai pertemuan dan penulis antara lain Carron dalam disertasinya yang berjudul Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid Celebes, disertasi, (Belanda: Penerbit Van Dishoeck ,1973). Isi buku undang-undang Amanna gappa ini mengandung peraturanperaturan yang berlaku menurut hukum (adat) Bugis dibidang pengangkutan laut. Tulisan lain tentang buku undangundang amana gappa adalah Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961). Lihat juga Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, (Jakarta: BPHN, 1977). Tentunya, penelitian mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui apakah di Indonesia dahulu kala, terutama dalam hukum (adat) Bugis yang dikenal sebagai pelaut utama antara suku-suku bangsa di Indonesia, telah dikenal konsepsi-konsepsi hukum laut publik yang dapat disamakan dengan Konsepsi atau lembaga-lembaga (atau pranata) hukum laut internasional publik yang telah diterima secara umum.

Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional Jurisdictionary, Vol. VI No. 1 Juni 2010, hlm. 37-39.

25

atas laut di sekitar pantai. Venetia misalnya mulai mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, Genoa melakukan hal yang sama atas laut Liguria, sedang Pisa yang juga negara kecil pecahan Imperium Romawi mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrenia. Pada masa itu, para ahli terkemuka seperti Bartolus dan Baldus telah telah meletakkan dasardasar pembagian wilayah laut, yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai, dan wilayah laut yang berada di luar kedaulatan pantai atau lebih dikenal dengan konsep laut teritorial dan laut lepas. Selanjutnya Baldus membedakan tiga konsepsi yang bertalian dengan wilayah laut yakni : (1) Pemilik laut, (2) Pemakaian laut dan (3) Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan di laut.10 Perkembangan pengaturan laut selanjutnya banyak ditentukan oleh pertentangan pemikiran yang beranggapan bahwa laut sebagai sesuatu yang tertutup (mare clausum) didukung oleh John Selden, dan pemikiran laut sebagai sesuatu yang terbuka (mare liberum) yang didukung oleh sarjana Belanda Hugo Gratius.11 Menurut pemikiran yang menganut mare clausum, negara memiliki kedaulatan penuh di laut, sehingga tertutup bagi negara lain. Sedangkan para pemikir mare liberum beranggapan bahwa harus ada kebebasan berlayar di laut.12 Sekilas gambaran kontribusi sebagaimana dijelaskan di atas

menggambarkan betapa Sulawesi selatan telah berpartisipasi aktif dalam sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.

C. Penutup

Baldus dalam Muchtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, (Bandung: Binacipta, 1987). Buku-buku Grotius ini dalam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan oleh International Laws dibawah pimpinan redaksi James Brown Scott, Di Indonesia, buku-buku ini tersedia di Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang disebut sebagai Kementerian Pendidikan Nasional) yang bertempat di Gedung Museum Jakarta. Dalam seri ini diterbitkannya karya-karya penulis klasik hukum internasional lain sepertinya seperti Vittoria, Gentilis, Bynkershoek, Vattel, dll. Perpustakaan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum Zaman Hindia Belanda). 12 Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang Portugis seperti Vasco da Gama sampai di Timur Jauh (Indonesia) melalui Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan India (kea arah Timur), sedangkan orang Spanyol bernama Magelhaens sampai di Filipina melalui Tanjung Magelhaens di Amerika Selatan (ke arah Barat). Pembagian dunia kedalam dua lingkungan kekuasaan ini juga menerangkan mengapa sebagian dari Amerika Selatan jatuh dibawah kekuasaan Spanyol dan sebagian dibawah kekuasaan Portugal yaitu yang kemudian menjadi Brazil yang hingga sekarang berbahasa Portugis.
11

10

26

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran kedua dilakukan dalam bentuk makalah dengan merumuskan beberapa judul/topik, seperti: 1. Kontribusi Indonesia Dalam Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982. 2. Konsepsi Negara Kepulauan: Suatu Tantangan Hukum Laut. 3. Sulawesi Selatan: Kontribusi Kelautan yang Tak terbantahkan.

Daftar Bacaan Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional Jurisdictionary, Vol. VI No. 1 Juni 2010, hlm. 37-39. Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, Jakarta: BPHN, 1977. Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, Bandung: P.T. Alumni, 1982. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Binacipta, 1987. Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961. S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985. Laut International, Bandung:

27

BAB 4 BAHAN PEMBELAJARAN 3

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 3 adalah Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi asas Negara kepulauan dalam berbagai peraturan perundangan Republik Indonesia. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif dan diskusi kelas. Adapun criteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menyajikan fakta-fakta terkait soal implementasi atau penerapan prinsip Negara kepulauan melalui partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dan penguasaan individual pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian Meskipun secara teknis perundang-undangan hanya terjadi perubahan terhadap pasal ayat 1 butir 1 hingga 4 dari teritoriale zee en maritieme (TZMKO) 1939 saja, perubahan system pengukuran serta kewilayahan yang termuat dalam UU No. 4 / PRP / 1960 cukup bermasalah dilihat dari hukum dan kebiasaan Internasional. Bukan saja hal itu telah meninggalkan peraturan hukum internasional, yang berlaku dan telah berjalan berabad-abad lamanya tetapi juga mengakibatkan perubahan kewilayahan yang substansial. Disamping itu juga yang merupakan hal penting adalah permasalahan lalu lintas kendaraan air asing, untuk itu dengan peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962, diatur tentang hak lalu lintas damai kendaraan air asing. Peraturan Pemerintahan merupakan peraturan pelaksanaan dari UU no 4 tahun 1960. Ketentuan nasional tentang lau lintas damai kapal-kapal asing penting artinya sebagai bukti adanya kesungguhan dan itikad baik dari Negara pantai untuk menjamin agar dapat terus berlangsungnya hak lalu lintas damai dalam wilyah perairan Nusantara Undang-undang No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.

28

Isi Pokok. a. l a. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia (Pasal 1 ayat 1) b. Laut wilayah Indonesia untuk wilayah laut selebar 12 mil yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis-garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus untuk menghubungkan titik-titik terluas pada garis rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil mil laut + Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya Negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat (Pasal 1 ayat 1). c. Perairan pedalaman, Indonesia untuk semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar laut wilayah (pasal 1 ayat 3) d. lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air asing (pasal 3 ayat 1). e. dengan peraturan pemerintah dapat diatur lalulintas laut damani (pasal 3 ayat 2). f. Mulai asal berlakunya undang-undang ini (18 Februari 1960) pertama angka 1 angka 1 sampai 4 teritoriale zee am maritiesme ordonatiec 1939 dicabut (pasal 4 ayat 2). Dari undang-undang No. 4 tahun 1960 ini jelas bahwa yang dimaksudkan dengan peranan Indonesia di laut wilayah beserta perairan pedalaman di bagian laut yang terletak pada di sebelah dalam garis-garis pangkal luas laut wilayah. Peraturan Pelaksanaan PP No. 8 tahun 1962 Memberikan pengertian tentang lalu lintas damai, di pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut wilayah +perairan pedalaman Indonesia dari laut lepas ke teratas pelabuhan Indonesia dari laut lepas kelaut lepas (ayat 10. Ditentukan pula bahwa semua pelayanan ini harus dilakukan tanpa berhenti + membuang serta mondar mondir tanpa alasan yang sah (hovering unnua Cessarily) di perairan atau di laut lepas yang berdekatan dengan perairan tersebut tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai (ayat 3).

29

Daerah-daerah berdekatan yaitu daerah laut lepas sejauh 100 mil dari perairan Indonesia. Jadi di daerah 100 mil dari laut wilayah, kapal-kapal pengawas pantai Indonesia masih dapat melakukan pengawasan terhadap lalu lintas kapalkapal. Pasal-pasal ayat 2 : menentukan bahwa lalu lintas damai dianjurkan untuk mengikuti alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari dalam dunia pelayaran. Menurut Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1962, lalu lintas laut termaksud dianggap damai selama tidak berlawanan dengan keamanan, keterbatasan umum, + kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian negara Republik Indonesia. Kalau lalu lintas kapal tersebut akan membahayakan Indonesia, lalu lintas tersebut tidak dapat lagi dianggap damai. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat lagi menjamin lautan tersebut/meminta kapal-kapal asing itu meninggalkan laut wilayahnya dengan Negara yang sekarang diakui oleh Pasal 30 KHL 1982. Suatu ketentuan yang juga sudah diterima oleh pihak Indonesia. Pantai dapat menutup untuk sementara bagian-bagian perairannya bagi kapal-kapal asing bila dianggap pula untuk menjaga keamanan dan pertahanan Nnegara. Demikian pula halnya dengan Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa pasal PP No. 8 tahun 1962, yaitu: Pasal 4 PP No. 8 tahun 1962 menyebutkan bahwa Presiden Indonesia memiliki kewewenangan untuk menutup bagian-bagian tentang perairan Indonesia bila dianggap perlu. Pasal 5 ayat (1) Kapal-kapal ikan asing yang lalu di perairan Indonesia harus menyimpan alat-alat penangkap ikannya dalam keadaan terbungkus. (oleh sumber daya ikan dan hak eksklusif rakyat Indonesia). Ayat (2) : kapal-kapal ikan asing tersebut harus melalui jalanan yang telah ditetapkan. Pasal 6 : Presiden dapat member izin pada kapal-kapal penelitian ilmiah di perairan Indonesia. Sepanjang tidak merugikan Indonesia. Pasal 7: Kapal perang dan kapal publik asing harus memberitahukan menteri terkait atau KSAL kecuali bila diatur 7 tahun ditetapkan. (SK Presiden No. 16 tahun 1971). Bagi kapal-kapal niaga atau swasta asing yang melakukan lintas damai, tidak ada persoalan. Kapal-kapal bebas tidak perlu diberi tahu dahulu. Tapi kapal-

30

kapal asing mengadakan kegiatan yang tidak bersifat lintas damai diperlukan izin pelayaran sesuai SK Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia. Kesatuan wilayah Republik Indonesia itu selanjutnya makin di tegakkan lagi kebulatannya dan keutuhannya secara menyeluruh dengan dikeluarkannya pengumumam pemerintah Republik Indonesia tentang landas kontinen pada tanggal 17 Februari 1969, yang kemudian diundangkan dalam bentuk UU No. 1 tahun 1973 sehingga pengaturannya telah mencakup dasar laut beserta tanah dibawahnya (seabed dan subsoil).

Perkembangan Konsep Landas Kontinen Konsep Landas Kontinen untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang Spanyol yaitu Odon de buen pada Konferensi Perikanan di Madrid tahun 1926. Pada saat itu peringatan landasan kontinen tidak dikaitkan dengan kepentingan perikanan. Menurut dugaan, perairan diatas Landasan Kontinen merupakan perairan yang baik sekali bagi kehidupan ikan. Secara oceanografi dapat dijelaskan bahwa perairan diatas continental shelf termasuk jenis perairan euphotic zone yakni suatu lapisan air yang karena dangkalnya dapat mendapat cahaya matahari sehingga memudahkan terjadinya photo sytesis yang diperlukan bagi kesuburankehidupan biologi laut. Jenis bologi laut berupa phyto plankton dan zoo-plankton yang sangat digemari oleh ikan-ikan sebagai makanan pokoknya. Kemudian konsep Landasan Kontinen yang dikaitkan dengan kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya, untuk pertama kali dapat dilihat dalam proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S Truman pada tanggal 28 September 1945 sebagai berikut: Now, therefore, I Harry S Thurman, President of the United Stated of America, do hereby proclaim the following policy of United States of subsoul and and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the government of the United States regard the natural resources of the sudsoil and seabed of tehe continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coast of the United States are appertaining to the United States, subject to jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extend to the shores of another state or is share with an adjacent state the boundary shall

31

be determined by the United States and the States concerned in accordance with equitable principle. The characteristic as high seas of the water above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are no way thus affected. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan proklamasi tersebut yakni : 1. Bahwa objek proklamasi itu berkaitan dengan kekayaan alam yang terdapat di dlaam tanah (subsoil) dan sasar laut (seabed) dari landas Kontinen Amerika Serikat. 2. Bahwa proklamasi itu bertujuan untuk melindungi kekayaan alam dan memanfaatkannya secara bijaksana. 3. Bahwa Landas Kontinen itu tunduk dibawah jurisdiksi dan pengawasan Amerika Serikat. 4. Bahwa dalam hal Landasan Kontinen bertemu dengan pantai Negara lain, batasnya akan diatur secara bilateral berdasarkan prinsip keadilan. 5. Bahwa penentuan landasan Kontinen itu tidak mempengaruhi status perairan diatasnya sebagai laut bebas. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, proklamasi Presiden Truman itu tidaklah dapat dianggap menyimpang dari ajaran Grotius tentang laut bebas, karena motivasi ajaran Grotius itu adalah semata-mata mengenai kebebasan berlayar dan kebebasan perikanan, sama sekali bukan menyangkut existensi kekayaan alam yang terkandung pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Pandangan tersebut dikemukakan dalam suatu kesempatan simposium internasional, sebagai berikut: It must be added at once the view presented by Grotius on resources of the sea were limited to the living resources as there as there was no notion at the time of the existence of mineral and energy resources. Disisi lain, Hasjim Djalal menilai bahwa proklamasi Prsiden Truman itu mengakibatkan perubahan yang radikal dibidang houkum laut. Beliau menyatakan: I think it is no exaggeration to state that the Truman Proclamation of 1945 ate the most important causes the radical changes that have occurred in the legal rezim of the oceans. Perubahan yang radikal memang jelas dapat dilihat dari negara-negara di Amerika Latin dan di Asia secara pasti mengikuti jejak Presiden Truman. Misalnya,

32

Mexico mengeluarkan proklamasi serupa tanggal 29 Oktober 1946; Chili, 1 Juni 1947; Peru, 1 Agustus 1947; Costa Rica, 27 Juli 1948; Saudi Arabia, tahun 1949; Bahrain, 5 Juni 1949; Qatar, 8 Juni 1949; Abu Dhabi, 10 Juni 1949 ;dan Pakistan, 9 Maret 1950. Sedangkan Indonesia baru mengeluarkan deklarasi yang berupa Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969. Dalam perkembangan selanjutnya terlihat adanya variasi dan modifikasi, Chili dan Peru misalnya mendasarkan deklarasi mereka atas teori bioma dan teori kompensasi dan mengesampingkan teori perpanjangan secara geologi (geological prolongation). Akibatnya, batas landasan Kontinen mereka bukan kedalaman 200 meter tetapi sejauh 200 mil dari pantai. Bahkan ternyata Argentina telah melangkah sangat jauh dengan mengklaim bahwa selain landas kontinen, perairan yang ada diatasnya tunduk di bawah kedaulatan Negara Argentina. Klaim Argentina ini betul-betul merupakan klaim perluasan wilayah, tidak lagi merupakan klaim jurisdiksi eksklusif. Dengan adanya variasi-variasi itu sudah barang tentu dapat menimbulkan hambatan dan kesulitan dalam praktek internasionla. Hambatan dan kesulitan itu dicoba diatasi dalam Konferensi Jenewa 1958. Selain tentang landas Kontinen Konferensi Jenewa 1958 juga membahas tentang Perikanan, Laut Territorial dan Laut Lepas. Pasal 1 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen menyebutkan bahwa pengertian landas kontinen tidak saja berupa landas kontinen dari suatu benua tetapi juga termasuk Landas Kontinen dari suatu pulau. Batas landas kontinen adalah sampai dengan kedalaman 200 meter atau di luar itu sepanjang memungkinkan dilakuakn exploitasi. Secara lengkap rumusan Pasal 1 adalah: For the purposes of these articles, the term of continental shelf is used as refreshing: (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 meters or, beyond that limit, to where the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas: (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of island. Mengenai hubungan hukum antar negara dengan landasan kontinennya dinyatakan dalam Pasal 2 para. (1) sebagai berikut : 1) The coastal state exercises over the continental shelf Sovereign Right for the purpose of exploring it and its natural resources.

33

2) The rights referred into paragraph 1 of this article are exclusive in the sense that if the coastal state does not explore the continental shelf or exploits natural resources, no one may undertake these activities, or make a claim to the continental shelf without the express consent of the coastal state. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa menurut Konvensi Jenewa 1958 negara hanya mempunyai hak berdaulat dan jurisdiksi eksklusif atas Landasan Kontinen. Dengan demikian berarti klaim Argentina yang menuntut kedaulatan penuh atas Landas Kontinen dan perairan diatasnya tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1958 itu. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata rumusan Pasal 1 tentang batas landas Kontinen seperti disinyalir oleh sarjana-sarjana Hukum Internasional misalnya, Ian Brownlie, Mochtar Kusumaatjaya, Satya Nandan dapat

menimbulkan bermacam-macam interpretasi, tidak menjamin kepastian hukum sehingga perlu diadakan penyempurnaan. Ketentuan yang ditunjuk sebagai penyebab ketidak pastian itu adalah kalimat yang berbunyi beyond that limit to when the superjacent water admits the exploitation of the natural resources. (Diluar batas itu ketika kedalaman air memungkinkan eksploitasi sumber daya alam). Akhirnya penyempurnaan itu terlihat dalam ketentuan pasal 76 UNCLOS 1982. Tindakan Pemerintah Indonesia Mengikuti perkembangan konsep Negara Kepulauan dan Landas Kontinen, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman tentang Negara Kepulauan dan pada tanggal 17 Februari1969 mengeluarkan pengumuman itu masingmasing dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1973. Ditinjau dari segi kepentingan Internasional dan nasional kedua

Pengumuman pemerintah itu mempunyai corak yang sedikit berbeda. Perbedaan itu paling tidak dapat dilihat dalam dua hal yaitu : 1) Secara asas (prinsip), pengumuman pemerintah tentang Negara Kepulauan tidak sesuai dengan asas kebebasan laut lepas karena akibat hukum dari pengumuman itu berupa dimasukkannya beberapa bagian wilayah integral

34

Indonesia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pengumuman Pemerintah tersebut merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sementara Pengumuman

Pemerintah tentang landas Kontinen adalah sesuai dengan aspirasi masyarakaat internasional yang telah tumbuh menjadi hukum kebiasaan internasional. Singkatnya konsep Negara Kepulauan adalah konsep yang sama sekali baru dan waktu itu belum terjelma dalam hukum kebiasaan internasional, sedangkan Konsep Landas Kontinen adalah konsep yang sudah menjelma dalam hukum kebiasaan internasional walaupun untuk

kepastiannya, lebih jaudgh diperlukan penuangan dalam bentuk tertulis berupa Konvensi Internasional. 2) Secara politis, Pengumuman Pemerintah tentang Negara Kepulauan bersifat memperluas wilayah negara yang berarti juga memperluas wilayah negara yang berarti juga memperluas ruang lingkup berlakunya kedaulatan negara, sedangkan Pengumuman Pemerintah tentang landas kontinen tidak

memperluas wilayah Negara melainkan hanya memperluas hak berdaulat serta jurisdikasi ekslusif negara. Meskipun Pengumuman Pemerintah tentang Negara kepaulauan bersifat melawan prinsip Hukum Internasional, namun berkat pejuangan yang gigih dari Indonesia bersama-sama dengan Negara-Negara kepulauan lainya, akhirnya melalui Konvensi Jamaica (UNCLOS) 1982, prinsip Negara Kepulaaun dapat diterima oleh masyarakat internasional. Disisi lain, pengumuman tentang landas Kontinen tidak memerlukan dukungan internasional kerana Pengumuman itu dikeluarkan setelah berlangsungnya konferensi Jenewa 1958. Dalam konferensi tersebut terlihat aspirasi dunia untuk menjadikan ketentuan tentang Landas Kontinen sebagai aturan hukum tertulis. Apa yang dilakukan Indonesia melalui Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 itu telah sinkron dengan apa yang terlihat dalam konferensi Jenewa mengenai landas Kontinen. Persoalannya kini adalah bagaimanakah sikap Indonesia menghadapi adanya dua Konvensi yakni konvensi Jenewa 1958 dan UNCLOS 1982 yang sama sama mengatur tentang Landas Kontinen tetapi satu sama lain isinya berbeda. Terhadap persoalan ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

35

Adalah memang benar Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1958 yaitu Konvensi tentang Laut Lepas (High Seas), tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Hayati di Laut Lepas (Fishing And Conservation of The Living Resources of the High Seas), tentang Landas Kontinen (Continental

Shelf). Namun ratifikasi yang dilakukan dengan Undang Undang No.19 Tahun 1961 sepanjang mengenai perikanan dan Landas Kontinen telah ditolak ole Sek Jen PBB berhubung dimuatnya persyaratan (reservation) oleh Indonesia bertalian dengan garis pangkal sesuai dengan UU. No. 4/Prp./1960. Dengan demikian, yang diterima hanyalah ratifikasi tentang Laut Lepas saja. Berhubung dengan hal itu, maka secara juridis sepanjang tentang landas Kontinen, Indonesia tidak terikat pada konvensi Jenewa 1958. Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan undang-undang No. 17 Tahun 1985. Ini berarti Indonesia hanya tunduk pada UNCLOS 1982 saja. Berlainan dengan sifat dari jurisdiksi atau Landas Kontinen yang hanya memberikan pengaturan tentang dasar laut beserta tanah dibawahnya, maka pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil (yang diukur dari garis pangkal laut territorial Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD No. 4/Prp/1960 tentang wilayah Perairan Indonesia.

Pengertian ZEE Indonesia Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud dengan ZEE adalah: The exlusive Economic Zone is a are a beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal rezim established in this part under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of other States are governed by the relevant provisions of this Convention. Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini. Kemudian batansan yang hampir dengan ketentuan pasal tersebut di atas adalah batasan yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa. ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan

36

dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan iNdonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dari ketentuan pasal tersebut, ternyata bahwa pasal ini hanya menegaskan dan mengukuhkan definisi geografis ZEE Indonesia sebagaimaan yang tercantum dalam pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE Indonesia tertanggal 21 Maret 1980. Sejarah perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt Harry S. Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf. Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi continental shelf atau daratan kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara pantai karena continental shelf dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai. Dnagn demikian maka demi keamanan penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan. Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam

37

yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di abwahnya. Argentina menagjukan teori Epi Continental Sea, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori Bloma, yang selanjutnya diikuti oleh negaranegara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El Salvador (1950). Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni Deklarasi Santiago yang ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara peserta deklarasi tersebut. Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada negara-negara asia Afrika. Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi

38

telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974. Ternyata diantara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim hukum spesifik. Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan bahwa : a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya. b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin bagi semua bangsa. Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan demikian negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 tersebut tetap menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas. Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut. Meyatakan bahwa, negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber kekayaan laut lainnya di dasar laut. Namun negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang tidak dapat diambil oleh negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang

39

mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip common heritage of mankind yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori distant. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum pada akhirnya perbedaan dan pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan dan mufaakt kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum sendiri. Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam Informal Single Negotiating Text (INST) dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT). Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, tealh menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim itu melalui proses pembentukan hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Penentuan batas ZEE Salahsatu masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan adalah penentuan batas ZEE dengan negara-negara tetangga. Meskipun negara-negara tetangga menganut prinsip penarikan batas yang sama tentang rezim ZEE, namun dalam masalah penetapan batas ini masih beluma da kesepakatan, sampai akhirnya sidang ke 11 di New York yang lalu, Komperensi Hukum Laut PBB telah berhasil

40

mencapai kesepakatan dalam merumuskan penetapan batas ZEE ini, khususnya mengenai penentuan batas ZEE yang menyangkut kepentingan dua negara atau lebih baik yang letaknya berdampingan maupun yang berhadapan (opposite or adjacent coastals) harus dilakukan secara damai menurut Hukum Internasional yang berlaku umum dan khususnya tidak bertantangan dengan ketentuanketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan tetapi bagi Indonesia, batas ZEE 200 mil laut dengan negara-negara tetangga dimaksud tetap harus ditentukan berdasarkan pada asas sama jauh (equidistant principle) dengan memperhitungkan keadaan-keadaan khusus (special circumstances). Selain itu Indonesia berpendirian bahwa batas ZEE tersebut tidak perlu identik dengan batas landas kontinen, karena patokan-patokan yang dipakai, factor-faktor yang mempengaruhinya pun adalah berbeda. Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE Negara-negara yang pantainya saling berhadapan ataupun ataupun berdampingan (opposite or adjacent coastal) dengan pantai Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana dimaksud di atas belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak (middle line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang peraturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud. Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak (equidistant) digunaakn untuk menetapkan batas ZEE antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang perlu

dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional. Keadaan khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Persetujuan Bilateral tentang Akses Negara ketiga

41

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut yang baru, Indonesia sebagai salah satu Negara pantai berkewajiban untuk memberikan akses kepada Negara ketiga atas sebagian dari surplus perikanan yang ada di ZEE Indonesia. Surplus yang demikian aka nada jika tiba musim panen (harvesting capacity). Indonesia berada dibawah Total Allowable Catch (TAC) atau suatu jumlah yang diperkenankan untuk ditangkap. Tidak dapat kita ingkari bahwa lazimnya kesulitan untuk menentukan TAC dan harvesting capacity akan timbul. Hal ini adalah logis, karena Indonesia sebagai negara pantai yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang, dengan masih mempergunakan alat-alat yang tradisional dalam rangka mengelola penangkapan dalam hasil perikanan laut yang hamper mencapai 75% terdiri dari laut Indonesia dapat diperkirakan akan mempunyai surplus yang harus diberikan kepada negara ketiga tertentu. Sesuai dengan ketentuan Kovensi Hukum laut yang baru, bahwa berdasarkan prioritas, negara ketiga yang dapat menerima akses yang dimaksud. Hal ini sudah digariskan dalam konvensi yakni negaranegara yang tak berpantai (landlocked States), negara-negara yanag secara geografis kurang beruntung (geographically disvantages States). Dalam hal ini negara Singapura dan Zambia. Kemudian Negara-negara ketiga lainnya termasuk kedalam distant fishing countries yaitu Korea dan Jepang. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum laut yang baru akses dimaksud harus diberikan berdasarkan persetujuan, baik bilateral maupun regional, yang memuat syarat-syarat tentang akses-akses tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah Republk Indonesia juga perlu segera merumuskan model persetujuan induk yang mengatur secara umum masalah akses tersebut. Sebagaimana yang dianjurkan (sarankan) oleh Dimyati Hartono bahwa : persetujuan yang dimaksud dapat menyangkut masalah tindakan maslah perlindungan yang berupa pembatasan terhadap jenis, jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh masing-masing Negara, atau mengenai waktu dan cara-cara penangkapan ikan yang semuanya didasarkan pada rujukan untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati di wialyah perairan tersebut. Selanjutnya ditegaskan bahwa sebagaimana yang dilakukan oleh negaranegara yang secara geografis kurang beruntung dan yang letaknya berhadapan ataupun berdekatan (adjenct) mengadakan tindakan demikian dapat berarti bahwa

42

suatu peraturan secara regional. Adanya usaha serupa ini sudah tentu dapat mengisi gagasan-gagasan ekonomi ASEAN yang saat ini sedang digalakkan, khususnya tentang masalh menjamin kelestarian sumber-sumber daya alam laut. Tindkan serupa perlu diadakan untuk wilayah perairan Indonesia di sekitar laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Sifat khusus sebagai Negara Kepulauan yang berimpit batas dengan negara tetangga tidak boleh diabaikan. Adanya penangkapan-penangkapan ikan secara tradisional oleh rakyat kedua negara sehingga perlu pula pendekatan serupa terhadap Negara tetangga kita Papua Nugini mengenai kegiatan perikanan di Pantai utara dan selatan Irian Jaya. Berdasarkan persetujuan-persetujuan demikian dapatlah dibuat persetujuan-persetujuan pelaksanaan yang akan mengatur secara terperinci syarat-syarat akses, seperti: mengenai quota, license, fee serta masalah berlakunya perizinan bagi daerah yang ditentukan, mengenai hukuman, pengawasan dan sebagainya. Tentunya, persetujuan bilateral tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang perairan di ZEE Indonesia khususnya, tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan yang termuat dengan konvensi Hukum Laut yang baru, serta aturan kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Selanjutnya dibawah ini akan dikemukakan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam penetapan batas-batas laut wilayah serta batas ZEE 200 mil laut dengan beberapa negara tetangga baik yang sudah dilakukan, antara lain adalah dengan Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina dan Malaysia dengan memanfaatkan beberapa pendapat yang ada hubungannya dengan persoalan penetapan batas-batas dimaksud. 1. Indonesia - Malaysia Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa sudah terdapat beberapa perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, baik mengenai laut wilayah maupun landas kontinen telah diadakan, yang antara lain adalah sebagai berikut: a. Perjanjian mengenai Lands Kontinen di Selat Malaka dan laut Cina Selatan, 27 Oktober 1969; b. Perjanjian tentang Common Point di Selat Mlaka, 21 Desember 1971;

43

c. Perjanjian tentang Garis Batas laut Wilayah di Selat Malaka, 17 Maret 1970; d. Perjanjian tentang Rezim Hukum Negara Kepulauan, Kamis 25 Februari 1982 di Jakarta. Perjanjian yang disebutkan terakhir merupakan tindak lanjut daripada Memorandum of Understanding antara kedua negara mengenai pengakuan hak-hak dan kepentingan Malaysia berdasarkan sejarah di perairan laut Cina Selatan yang memisahkan Malaysia Barat dan Timur. Perundinganperundingannya sudah dilakukan sejak bulan Februari 1981 di Kuala Lumpur dan di Jakarta awal bulan Juli 1981, dimana masing-masing pihak telah melakukan pembebasan terhadap draft article persetujuan dan counter draftnya. Pihak Malaysia diberitakan telah menyatakan dukungannya terhadap rezim hukum negara kepulauan (Wawasan Nusantara) Indonesia. Adanya pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE pihak Indonesia telah menegaskan bahwa materi pengumuman dengan tersebut tidak akan

mempengaruhi

hak-hak

Malaysia

kepentingan

nasionalnya,

sedangkan pihak Malaysia telah pula menyatakan dukungannya terhadap Wawasan Nusantara kita. Dengan demikian baik mengenai batas laut wilayah maupun batas landas kontinen serta ZEE 200 mil laut Indonesia Malaysia sudah diwujudkan dalam bentuk persetujuan / perjanjian. Akan tetapi pihak Indonesia dikejutkan dengan adanya tindakan sepihak (unilateral act) Malaysia yang

mengumumkan peta baru landas kontinen Malaysia dalam mana Pulau Sipadan dan Ligitan yang termasuk wilayah Indonesia telah dicantumkan dalam peta tersebut, Indonesia telah mengajukan protes, yang selanjutnya dalam pertemuan Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Datok Husain Onn di Kuantan 26 Maret 1980 untuk menyelesaikan masalah tersebut telah dibicarakan cara-cara menyelesaikannya secara hubungan baik. Sehubungan dengan dihukumnya ZEE 200 mil Malaysia pada 28 April 1980, pemerintah Malaysia telah memberikan gambaran-gambaran yang positif dalam hubungannya dengan pihak Indonesia, gambaran (penjelasan) tersebut diberitakan antara lain:

44

a.

Menteri Hukum Abdul Kadir Yusuf menjelaskan bahwa sebagai dampak dari pengumuman tersebut akan terjadi wilayah-wilayah yang dpat dipersengketaan dengan negara-negara tetangga-tetangga (termasuk Indonesia), Malaysia bersedia untuk menyelesaikannya secara damai melalui perundingan dan menetapkan batas-batas ZEE sesuai dengan batas-batas ZEE sesuai dengan Hukum Internasional

b. Dibagian utara Selat Malaka dsan bagian-bagian tertentu Laut Cina Selatan, Malaysia akan memperhatikan hak-hak negara tetangga yang bersangkutan Dari penegasan yang disebut dalam point b diatas, maka di perairan tersebut Indonesia masih harus mengadakan penetapan batas ZEE 200 mil, dimana diperkirakan yang lebarnya kurang dari 400 mil, namun lebih dari 24 mil laut, termasuk dibagian utara Selat Malaka. Tentu saja penetapan batas ZEE diperairanyang diseut terakhir diatas, tidak hanya menyangkut kepentingan Malaysia dan Indonesia saja melainkan juga dengan Thailand, sebagaimana halnya sewaktu mengadakan perjanjian mengenai penentuan Common Point diSelat Malaka pada tanggal 21 Desember 1971 tempo hari. Diperairan tersebut antara Indonesia Thailand sudah dicapai persetujuan mengenai batas landas kontinen, tidak saja di Selat Malaka ytahun 1971, tetapi juga dibagian utara dan barat laut Selat Malaka tahun 1975. Kemudian dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam persetujuan tiga Negara (trilateral) antara Indonesia India dan Thailand mengenai batas landas kontinen dilaut Andaman tahun 1978. Dari ketentuan dan penegasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan Indonesia dalam menegakkan rezim hkum ZEE 200 mil ini sudah merupakan perjuanagn yang keberhasilannya tidak dapat diragukan dan dan disangsikan lagi.

2. Indonesia - Filipina Filipina pada bulan Mei 1979, tealh mengumkan ZEE 200 milnya. Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni middle line atau equidistant, baik di Indonesia maupun Filipina keduanya adalah negara kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh masing-

45

masing yang mengelilingi masing-masing kepulaunnya, maka dibagian selatan Filipina (selatan Mindanao) dan bagian utara Indonesia (laut Sulawesi dan Sangir Talaud) perlu diadakan penetapan batas-batasnya. Tumpang tindihnya wilayah tersebut di atas diperkirakan akan terjadi dibagian selatan Mindanao, sedangkan di perairan laut Sulawesi hanya akan terjadi perhimpitan garis batas.

3. Indonesia - Vietnam Penetapan garis batas landas kontinen dengan pihak vietnam ternyata mengalami kesulitan pula, dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai system penarikan garis batas tersebut, perbedaan yang dimaksud adalah terdapatnya perbedaan prinsip sebagai berikut : a. Pihak Indonesia: bagi penetapan batas landas kontinen ini, Indonesia sangat berkeberatan dan menolak prinsip penarikan garis batas yang dipergunakan oleh pihak Vietnam yakni prinsip trench Indonesia menginginkan sistem penarikan sistem penarikan garis tengah (middle line) sebagai batas landas kontinennya. b. Pihak Vietnam: bagi penetapan batas landas kontinennya menghendaki agar prinsip thalweg dipergunakan sebagaimana mestinya, prinsip lazim dipergunakan untuk menentukan garis batas negara yang berbatasan dengan sungai di mana alur-alur terdalamnya sangat diperhatikan. Sejalan dengan prinsip tersebut, pihak Hanoi menuntut agar suatu trench (palung laut) yang membentang sejak Pulau Anambas sampai Pulau Natuna merupakan batas landas kontinennya. Dengan belum adanya kesepakatan mengenai masalah ini, jelas telah menggambarkan adanya batas wilayah yang masih tumapng tindih dan demi keamanan serta ketertiban masing-masing negara, keadaan demikian perlu segera diselesaikan. Dari keenam kali perundingan yang telah dilaksanakan oleh kedua belah pihak, masing-masing pihak telah menyatakan itikad baik sehingga diperoleh kemajuan-kemajuan yang positif, terutama dengan adanya pergeseranpergeseran dari posisi masing-masing yang semula, bahkan dalam perundingan yang keenam di Jakarta pada pertengahan Mei 1981 pihak Vietnam telah meninggalkan sistem thalweg-nya dan pihak Indonesia telah memberikan konsensi-konsensi tertentu pula.

46

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Vietnam telah mengeluarkan pernyataannya mengenai wilayah perairannnya pada tanggal 12 Mei 1977 dan menetapkan Undang-undang Maritimnya pada bulan Januari 1980. Undangundang tersebut antara lain ditetapkan bahwa wilayah maritim Vietnam adalah sejauh 200 mil laut, dengan perincian 12 mil laut territorial, 2 mil wilayah menjangga dan selebihnya adalah ZEE. Sehubungan dengan penetapan batas ZEE 200 mil laut Indonesia dan adanya perntyataan seperti tersebut di atas dari pihak Vietnam dalam hal penetapan batas ZEE sesungguhnya tidak akan terjadi tumpang tindih batas, jika pihak vietnam tetap mempergunakan formulanya yang pertama yakni normal baseline, dan tidak mengubah formula tersebut dengan sistem sgalwe, dan tidak mengubah formula tersebut dengan sistem thalweg-nya garis pangkal yang ditetapkannya akan berada lebih jauh dari apntai dan lebih jauh dari pada normal baselines tersebut, sehingga tumpang tindih wilayah akan terjadi. Namun menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya yang berjudul Flexing an Economic Muscle (FEER), 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia tetap berpendirian bahwa tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

4. Indonesia - Papua Nugini Masalah penetapan batas ZEE 200 mil laut antara Indonesia dengan Papua Nugini sesungguhnya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan bahwa perjanjian-perjanjian antara Indonesia Australia sebelum wialyah itu merdeka masih tetap diakui dan berlaku. Sesuai dengan kebiasaan dan ketentuan Hukum Internasional yang berlaku, perlu diadakan pembaharuan perjanjian batas antara kedua negara. Kedua negara sudah membicarakan lagi (dalam hal ini sebelumnya yakni pada bulan Mei 1978 telah dikeluarkan pernyataan bersama (joint declaration) kedua negara. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian terdahulu tetap mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan batas kedua negara. Juga dalam pernyataan bersama tersebut disebutkan bahwa tindakan-tindakan yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan zona perikanan 200 mil serta kebijaksanaannya dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati zona tersebut diakui.

47

Menurut R.S Roosman dalam tulisannya yang berjudul Persetujuan Perbatasan Indonesia Papua Nugini, menyebutkan bahwa pernyataan bersama kedua Negara yang dikeluarkan pada tanggal 18 Oktober 1979 di Port Moresby disebabkan bahwa telah dilangsungkan perundingan mengenai rancangan persetujuan perbatasan laut dan dasar laut dibagian utara Papua Nugini. Selanjutnya menurut Press Release Departement Luar Negeri Republik Indonesia tentang perundingan Indonesia Papua Nugini. Di Port Mosbey mengenai batasbatas kedua Negara, dinyatakan bahwa dengan diumumkannya ZEE 200 mil laut Indonesia tanggal 21 Mei 1980, perlu diadakan penetapan batas ZEE kedua Negara, terutama sebhubungan denagan tindakan sepihak Papua Nigini dalam menetapkan zona perikanan pada bulan Maret 1978. Dalam rangka mencari penyelesaian mengenai hal-hal tersebut di atas, maka pada tanggal 29 Mei sampai dengan 6 Juni 1980 telah diadakan perundingan antara kedua negara di Port Moresby. Menurut Feter Rodgers persetujuan-persetujuan tersebut di atas adalah melengkapi perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh kedua negara sebelumnya.

5. Indonesia - Australia Perairan di sebelah selatan Timor-timor terdapat masalah yang pada waktunya harus diselesaikan antara kedua negara bertetangga yang

bersangkutan. Masalah ini adalah menyangkut batas landas kontinen bagian sebelah timor-timur dan barat Timor Timur telah diselesaikan sewaktu wilayah itu masih merupakan bagian Portugal. Dengan timbulnya integrasi Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan keharusan bagi Indonesia dan Australia untuk menyelesaikan penentuan batas landas kontinen di sebelah selatan pulau tersebut. Pada awal bulan Januari 1985, diberbagai harian umum telah diberitakan bahwa usaha-usaha melalui perundingan untuk menetapkan batas landas kontinen di sebelah selatan Timor Timur itu kurang lancar dan mengalami gap antara garis batas bagian barat dan timur debagai hasil perjanjian 1971 dan 1972. Penetapan batas antara Indonesia-Australia di bagian barat dan timur yang berdasarkan suatu formula yang telah dirimuskan semula, telah mengakibatkan landas kontinen diperairan tersebut. Berada dibawah pengawasan pihak Australia.

48

Sesungguhnya pada waktu Portugal masih menguasai Tim-Tim tersebut, antara Portugal dan Australia tealh tibul perbedaan pendapat mmengenai garis batas landas kontine dirairan itu. Pihak Australia mengemukakan bahwa ada dua landas kontinen yang berbeda yang dipisahkan oleh lembah Timor (Timor Trough) yang terletak 60 mil Selatan Pulau Timor dan 300 mil di sebelah utara Darwin. Sedangkan pihak Portugal menganggap hanay ada satu landas kontinen yang berlanjut (one continous continental shelf) dan middle line seharusnya ditarik antara Australia dan Timor Timur. Pada tahun 1974 Portugal memberi izin konsesi perusahaan minyak Amerika Oceanic Exploration Company (OEC) sampai garis batas yang diklaimnya, yang ternyata tindakan ini diprotes oleh Australia karena perizinan itu memotong dan melampaui wilayah konsesi berbagai perusahaan minyak asing yang telah diberi izin konsesi oleh Australia sampai pada garis batas yang telah diklaimnya. Menurut Michael Richardson dalam tulisannya yang berjudul Drawing The Seabed Line 1978,sehubungan dengan usaha-usaha penetapan landas kontinen antara Indonesia dan Australia, pihak perusahaan minyak OEC mengharapkan agar Indonesia dapat memberi izin konsesi seperti yang diberikan oleh Portugal. Bagi Australia, jika Pihak Indonesia memenuhi permintaan tersebut memenuhi permintaan tersebut dan mengubah formula perjanjian 1971 dan 1972 maka izin konsesi itu akan memotong enam wilayah konsesi Australia. Pihak Australia mengharapkan agar Indonesia melanjutkan penarikan garis batas straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago provided that, yang telah dicapainya. Sepanjang pengetahuan penulis, perundingan antara Indonesia Australia mengenai masalah ini telah berulang kali diadakan. tercatat bahwa pertama di Canberra pada bulan Februari 1979; kedua, di Jakarta pada bulan Mei 1979; ketiga di Canberra. Namun hasilnya sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, karena dikabarkan bahwa pihak Australia pada tanggal 1 November 1979 telah mengumumkan zona perikanan 200 mil laut, dalam hal ini dirasakan telah mendesak untuk menetapkan garis batas ZEE 200 mil di wilayah tersebut melalui perjanjian bilateral.

49

Hingga kini baik Indonesia maupun pihak Australia masih menyatakan hasratnya untuk bertanding kembali dan menyelesaikan persoalan batas landas kontinen ZEE 200 mil masing-masing. Tercapainya kesepakatan mengenai penetapan batas landas kontinen dibagian selatan Timor Timur nanti sudah tentu akan memudahkan tercapainya kesepakatan mengenai penetapan batas ZEE, antara kedua negara, bahkan akan menjadi dampak positif terhadap ubungan bilateral kedua negara di berbagai kepentingan.

Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban Indonesia di ZEE 200 mil Hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) dan kewajibankewajiban (duties) Indonesia atas laut selebar 200 mil dari garis dasar di sekeliling kepulauan Indonesia berlaku berdasarkan Pengumuman Pemerintah tanggal 21 Maret 1980, yang kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. Telah diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut adalah sebagian besar merupakan ketentuan yang telah disesuaikan (accommodation) dengan Konvensi Hukum Laut yang baru (1982) khususnya mengenai ZEE 200 mil tersebut. Di zona Ekonomi Eksklusif tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara pantai mempunyai dan melaksanakan: a. hak berdaulat untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air diatasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk ekplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga air, arus dan angin b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan : 1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (the estabilishment and use of artificial island, installations and structures). 2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan (marine scientifific research). 3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (the protection and preservation of the marine environment).

50

c.

Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan konvensi Hukum laut yang berlaku (other rights and duties provided for ini this convention). Hak berdaulat Indonesia sebagai negara pantai yang dimaksudkan di atas

tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimilki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wialyah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka sanksi-sanksi yang diancam di ZEE Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam diperairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. hak-hak lain berdasarkan Hukum Internasional adlah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) dan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan perlanggaran atas ketentuan-keetntuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai ZEE. Kewajiban lainnya berdasarkan Hukum Internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kewajiban pelayaran dan

penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kebal-kabel dan pipa-pipa dibawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines). Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah dibawahnya, hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia

sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan menurut perundang-undangan landas kontinen (this rights set out in this article with respect to the seabed and subsoil shall be exerciased in accordance with part VI) Indonesia, serta persetujuan-persetujuan antara republik Indonesia dengan negara-negara

tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang berlaku (pasal 4 ayat 2). Jelaslah bahwa ketentuan tersebut di atas menginginkan bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam dhayati dan non hayati didasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak didalam batas-batas ZEE Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan perundang-undangan Indonesia yaitu yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan-persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menetapkan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.

51

Di ZEE Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional yang berlaku dimaksud, seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh UNCLOS III di ZEE setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai (landlocked States) dan negara secara geografis kurang beruntung (geographically disanvantaged States), menikmati kebebasan pelayaran penerbangan Internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta pengunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut. Untuk lebih mudah pemahamannya maka hak-hak dan kewajiban Indonesia sebagai negara pantai menurut hukum yang mengatur tentang ZEE ini, akan diperinci sebagai berikut: 1. Semua nNegara bebas dalam pelayaran, penerbangan, peletakan kabel dan pipa dibawah laut dan kebebasan-kebebasan internasional lain yang berhubungan dengan pengoperasian kapal-kapal, pesawat terbang dan kabel serta pipa dibawah laut. Juga semua Negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban di ZEE Indonesia harus menghormati hak dan Negara Indonesia dalam bidang-bidang yang diatur oleh konvensi Huku Laut yang baru atau Hukum Internasional lainnya (Pasal 58 ayat 1,2) 2. jika terjadi perselisihan antara negra Indonesia dengan Negra-negara lain di ZEE Indonesia harus diselesaikan atas dasar keadilan (equitable solution) dengan memperhatikan semau keadaan yang berkaitan (Pasal 59). Dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif, Konvensi Hukum laut III (1982) mewajibkan Indonesia untuk: a. Menentukan jumlah ikan yang boleh ditangkap (the coastal State Shall determine the allowable catch of the living resources in its exclusive economic zone); b. Dengan menggunakan data-data ilmiah (the best scientific evidence available to it) terbaik yang dapat disediakan harus mencegah ekploitasi yang berlebihan (over exploitation) dengan tindakan pelestarian dan pengelolaan yang benar atas sumber daya alam hayati. jika perlu disarankan (dianjurkan)

52

bekeja sama dengan negara atau organisasi internasional lain baik subregional, regional maupun global (as appropriate, the coastal State and competent international organization, whetever subregional, regional or global, shall co-operate to this end); c. Melaksanakan tindakan untuk memelihara dan mengembalikan populasi (restoring populations) jenis-jenis ikan tertentu sampai maximum sustainable yield dan memelihara serta meningkatkan jenis-jenis yang akan punah. Selanjutnya Konvensi Hukum Laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai Negara pantai untuk mengusahakan pemanfaatan secara optimum sumber daya alam hayati di ZEE (the coastal State shall promote the objective of optimum utilization of the living resources in the ZEE without prejudice), dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Menetukan kapasitas (kemampuan) penangkapan pihak Indonesia sebagai Negara pantai di ZEE (the coastal State shall determine its capacity to harvest the living resources of the ZEE). dalam hal pihak Indonesia tidak mempunyai kemampuan memanen seluruh allowable catch harus

mengizinkan negara atau nelayan negara lain yang mengambil suplusnya (where the coastal state does not have the capacity to harvest the entire allowable catch, it shall, througt agreements or other arrangements and pursuant to the terms); 2. Pihak asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesai harus tunduk kepada aturan-aturan untuk pelestarian sumber alam hayati yang (akan) dibuat oleh pemerintah Indonesia, antara lain menyangkut : a. Lisensi nelayan, jenis kapal dan perlengkapannya, termasuk

pembayaran uang perizinan yang dapat berupa perlengkapan (alat) atau teknologi yang berhubungan dengan industri pengelolaan ikan (licensing of fisherman, fishing vessels and equipment, including payment of fish and other forms of remuneration, which, in the case of developing

coastal State, may consist of adequate compensation in the field of fishing industry); b. Penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, quota penagkapan dan waktu penangkapan (determining the species which may be caught, and fixng quotas of catch pervesser over a period of time);

53

c. pengaturan musim dan daerah penagkpan, serta jumlah ukuran dan tipe kapal ikan (regulating seasons and ares of fishing, the types, sizes and amount of gear, and the types, sizes and number of fishing vessels that may be used); d. Penentuan umur dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap (fixing the age and size of fish and other species that may be caught); e. Keharusan memberikan informasi mengenai hasil dan kegiatan

penangkapan serta laporan posisi kapal (specifying information required of fishing vessels, including catch and effort statistics and vessel posisition reports); f. Pelaksaan program penelitian perikanan tertentu dan pelaporan hasilnya (the conduct of specified fisheries research programmes and regulating the conduct of the such research and reporting associated); g. Penempatan pengawasan atau pelajar praktek dikapal (the pacing of observesof traines on board); h. Pendaratan sebagian atau seluruh hasil tangkapan di pelabuhan Indonesia sebagai negara pantai (the landing of all of any part of the catch by such vessels in the ports of the coastal State); i. Syarat-syarat joint venture atau bentuk kerja sama yang lain, (terms and conditions relations relating to joint ventures or other cooperative arrangements); j. Keharusan melatih personal dan alih teknologi, termasuk meningkatkan kemampuan Indonesia (negara pantai) untuk melakukan penilitian perikanan (requirements for the training of personnel and the transfer of fisheries technology, including enchancement of the coastal states capability of undertaking fisheries research); k. Peraturan-peraturan procedures). Terhadap semua ketentuan dan/atau peraturan tersebut di atas harus diumumkan terlebih dahulu. Dengan perkataan lain Negara-negara pantai harus memperhatikan tentang pelestarian dan peraturan-peraturan tersebut di atas hendaknya diummukan secara layak terlebih dahulu (coastal States shall give due notice of conservation and management laws and regulations). penegakan hukum di laut (enforcement

54

Selanjutnya Konvensi Hukum laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai negara pantai untuk mengadakan kerjasama dengan negara-negara lain mengenai pengelolaan jenis-jenis ikan tertentu yakni sebagai berikut : a. Jenis ikan yang ada di ZEE dua atau tiga negra atau lebih (stradling stock); b. Benis ikan beruaya (highly migratory species) ; c. Binatang laut yang yang menyusi (marime mammals) ; d. Jenis ikan yang bertelur di sungai (anadromous species/stock); e. Jenis ikan yang bertelur di laut (catadromous species); f. jenis ikan yang menetap di laut (sedentary species). Pelaksanaan (kegiatan) ZEE Indonesia Dasar pertimbangan peraturan tentang Zona Ekonomi Ekskusif mempunyai sifat serba daya guna (multifunctional) maka tinjauan tentang pelaksanaan ekonomi eksklusif ini akan di diuraikan Indonesia. melalui Namun kegunaannya, pengaturan pada hakikatnya tentang

perundang-undangannya

pelaksanaan ekonomi eksklusif ini sebagian telah dibahas pada uraian-uraian sebagaimana yang telah dikemuakakan di atas. Oleh sebab itu uraian berikut ini hanya tinggal melihat bagaimana dan sejauh mana pengaturan hukumnya yang telah ditetapkan. Di Indonesia, sebagaimana yang telah ditetapkan didalam undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia), bahwa baik orang perseorangan maupun perusahaan, apakah perusahaan negara maupun berupa perusahaan swasta, yang melakukan kegiatan eksplorasi dan / atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tanaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut. Maksudnya adalah kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan / atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia.

Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asng yang bersangkutan. Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-

55

hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zone tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, eksplorasi dan / atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus menaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (pasal 5 ayat 2) dalam arti yang diatas diamksudkan adalah sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali (to maintain resources) namun tidak berarti tak berbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, dalam melaksanakan pengelolaan dan konvensi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik disebagian atau keseluruhan daerah di ZEE Indonesia. Asal tidak bertentangan maupun mengurangi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 5/1983 ekplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh orang atau badan hukum atau pemerintah, negara asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Dari uraian di atas dapatlah ditegaskan bahwa dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula untuk menjamin batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diizinkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan, Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan antara 1000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton, maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan

Internasional. Penunjukan pada pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan

56

bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut ZEE tunduk pada ketentuan ayat ini. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang membuat dan/ atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEE Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut (pasal 6). Dari ketentuan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Meskipun Indonesia mempuntai yurisdiksi eksklusif namun pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki laut territorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritoria, ZEE Indonesia atau landas kontinen Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula bagi siapa saja yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah (marine scientific research) kelautan ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oelh Pemeritah Republik Indonesia. Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah ditegaskan bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan di ZEE Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan untuk penilitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jika dalam janga waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan tersebut pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan : a. Menolak permohonan tersebut; b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemohon tidak sesuai dengan kenyataan atau kurang lengkap; c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya yang terdahulu. Suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia (penjelasan pasal 7). Kemudian ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang

57

melakukan kegiatan-kegiatan di ZEE Indonesia, wajib melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menaggulangi peraturan pencemaran lingkungan laut. Pembuangan ZEE Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Dari ketentuan ketentuan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa wewenang perlindungan dan pelestarian sumber daya alam di ZEE Indonesia secara Internasional didasarkan pada praktek negara, yang sekarang yang diterima pula dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut, sedangkan secara nasional landasan terdapat di dalam Undang-undang Nomor 4 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup. Pembuangan (dumping) di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, terhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang dibuangkan melalui perizinan. Pembuangan meliputi limbah pembuangan bahan-bahan lainnya yang

menyebabkan pencemaran lingkungan laut, pembuangan limbah yang lazimnya dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin.

Penegakan Hukm (law enforcement) Masalah yang tidak kalah pentingnya dari ZEE ini adalah aspek law enforcement atau penegakan hukumnya. akan tidak ada artinya sama sekali jika kita mempunyai hak-hak berdaulat dari yurisdiksi di ZEE, tetapi kita sendiri tidak dapat menegakkan hukum disana. Di lain pihak, kita semua menyadari bahwa bagaimana sulitnya penegakan hukum di daerah laut yang sangat luas tersebut yang merupakan bahan tambahan, disamping itu penegakan hukum di perairan Indonesia yang sudah amat luas. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa masalah penegakan hukum ataupun pengawasan ini menjadi lebih berat lagi jika diperhitungkan bahwa daerah-daerah yang diliputi pengawasan tersebut tidak hanya terbatas pada perairan Nusantara dan laut wilayah 12 mil itu, tetapi juga landas kontinen dan zona Ekonomi eksklusif Indoensia selebar 200 mil laut. Bertambah luasnya wilayah laut dan daerah-daerah kewenangan Indonesia tentu saja memerlukan perjuangan perluasan kemampuan untuk mengamankannya.

58

Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai bagian dari jurisdiksi negara. Jurisdiksi dimaksud meliputi dan mempunyai pengertian yang antara lain adalah : a. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang membuat aturan-aturan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan, dan b. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum yang berlaku. Dasar hukum berlakunya (adanya) wewenang penegakan hukum ini dapat bersumber pada: a. Kedaulatan. Sovereignty of State yang mendasari / melandasi segala aktivitas segala aktivitas negara baik terhadap orang, benda, wilayah, negara dan lainlainnnya demi eksistensi dan kelangsungan hidup dan kegidupan bangsa dan negara. Di samping kedaulatan ini merupakan kekuasaan tertinggi dari negara maka kedaulatan juga merupakan hak dasar (fundamental rights) daripada negara yang perwujudannya berupa hak-hak dan kewenangan-kewenangan tertentu yang dituangkan dalam UUD, Tap. MPR, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. pada umumnya setiap hak dan kewenangan ini dibarengi pula dengan kewajiban serta tanggung jawab tertentu pula. b. Ketentuan hukum Internasional. Selain hak-hak dan wewenangan yang bersumber pada kedaulatan negara, maka berdasarkan ketentuan Hukum Internasional baik ketentuan hukum internasional yang berupa conventional law/treaty maupun kebiasaankebiasaan internasiona dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa / negara yang beradab, maka negara sebagai subjek hukum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban hukum yang tertentu dapat juga dimilki negara sepeti halnya hak berdaulat dan yurisdiksi tertentu yang dimiliki negara pantai pada zona-zona tertentu dilaut atau objek-objek tertentu di laut Dari pengertian sebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-

59

ketentuan Hukum Internasional agar segala segala aturan yang berlaku, baik aturan hukum nasional negara itu sendiri maupun aturan Hukum internasional, dapat diindahkan oleh setiap orang dan/atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain, dalam rangka memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentinagn pihak lain. Kalau kita hubungkan masalah penegakan hukum ini ketentuan-ketentuan penegakan hukum ZEE berdasarkan pada Konvensi Hukum Laut yang baru, maka secara garis besarnya dapat diperincikan sebagai berikut : a. The coastal State may, in the exerciase if its sovereign rights to explore, exploit, conserve and manage the living resources in the ZEE, take such resources, including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings, as may necessary to ensure compliance with the laws and regulations adopted by it in conformity with this convention. Maksudnya, dalam melaksanakan hak kedaulatannya untuk mengekplorasi, melestarikan dan mengelola sumber daya alam hayati di ZEE, negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan seperti menaiki kapal, menginspeksi, menahan dan melakukan, penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk menegakkan hukum negaranya dengan mempertimbangkan ketentuanketentuan daripada konvensi (ayat 1) . b. Arrested vessels and their crews shall be promotly released upon the posting of reasonable bond or ather security. Artinya kapal dan anakanak-anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan setelah tanggungan dibayarkan atau jamian keamanan lainnya (ayat 2). c. Coastal state pinalties for violations of fisheries laws and regulations in the ZEE may not include imprisonment, inte absence of agreements to the contarary by the states concerned, or any other form of cuporal punishment. Artinya adalah kurang lebih adalah tindakan / hukuman yang boleh dijatuhkan terhadap nelayan asing di ZEE oleh Negara pantai tidak termasuk hukum penjara (ayat 3). d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall promptly notify the flag state, throght appropriate channels, of the any penalties subsequently imposed. Maksudnya bilamana sampai melakukan

60

penahanan, negara pantai harus segera memberitahukan hal tersebut kapada perwakilan Negara bendera kapal (ayat 4). Demikianlah mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan rezim hukum ZEE menurut Konvensi Hukum laut yang baru, selanjutnya akan kita lihat bagaimana pengaturan penegakan hukum menurut perundang-undangan nasional kita. Menurut ketentuan pasal 13 UU No.5 tahun 1983, ditetapkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan pengecualian sebagai berikut : a. Pengkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEE Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut; b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure; c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam pasal 16 dan pasl 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagimana diamksudka pasal 21 ayat (4) huruf b. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan itndak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dilaut khususnya bagi kaapl dan/atau orang-orang tersebut. terhadap kapal-kapal dan atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat diperintahkan (perintah ad-hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk oleh penyidik dilaut untuk diproses lebih lanjut. Penangkapan tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu satu hari. Oleh karena itu untuk tidak tindakan penangkapan di laut perlu diberi waktu yang memungkinkan para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan dan atau orang-orang tersebut kepelabuhan atau penangkalan. Jangka waktu maksimal untuk menarik /

61

menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh dari ZEE Indonesia sampai ke suatu pelabuhan atau pangkalan. Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak pidana menurut UU ini belum belum diatur dalam UU No. 8 tahun 1981, sedangkan terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah merupakan satu upaya untuk dapat memproses perkara lebih lanjut. Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda tersebut perlu dimasukkan dalam golongan tindak pidana sebagaiman dimaksud pasal 21 ayat (4) huruf b, UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa aparatur penegak hukum dibidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Bersenjata Republik Indonesia (pasal 14 ayat (1)). Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan Negeri sebagaimanadimaksud dalam ayat (3). Pengadilan yang berwenang mengadili perlanggaran terhadap ketentuan UU ini adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau orang-orang sebagimana yang dimaksud dalam pasal 13 huruf a. Dari ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan laut yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik adalah misalnya komandan kapal, Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di ZEE Indonesia adalah sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal dan atau orang-orang yang ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari Pengadialn Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat dijelaskan bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena

melakukan perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan. Kemudian penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat

62

perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda maksimum.

Kesimpulan dan Rekomendasi Apabila diinventarisasi kembali uraian-uraian mengenai ZEE di atas, dapat disimpulkan bahwa ditengah-tengah meningkatnya kegiatan pengimplementasian Wawasan Nusantara secara lebih mantap dan terpadu, Pemerintah Republik Indonesia dengan cara seksama memperhatikan perkembangan Hukum laut secara keseluruhannya, khususnya dengan makin mantapnya formulasi

ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam part V. Pasal 55 sampai dengan Pasal 75 Konvensi Hukum Laut III (1982). Hingga tahun 1982 kurang lebih tercatat ada 90 negara yang telah mengumumkan ZEE-nya. Hal tersebut dilakukan guna meneguhkan hak kedaulatan mereka atas sumber-sumber daya alam yang terdapat di ZEE. Oleh karena itu pula dirasakan bahwa situasi dan kondisinya telah mendesak Indonesia untuk juga mengumumkan ZEE-nya. Tentunya, masih segar dalam ingatan kita, bahwa ketika Konperensi Hukum Laut PBB III melangsungkan sidangnya yang ke 9 di New York, pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan ZEE Indonesia dengan mengunakan landasan Rumusan baku tentang ZEE sebagimana yang tercantum dalam UNCLOS III. Perlu digarisbawahi bahwa salah satu ciri khas dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE tersebut adalah bahwa ZEE Indonesia ditetapkan ukuran lebarnya dan cara pemanfaatannya berdasarkan pada UU No. 4/Prp/1960 dan UU No. 1 tahun 1973. Pengumuman yang dilakukan oleh Indonesia memberikan implikasi bertambah luasnya wilayah nasional Indonesia dengan segala isi dan kekayaannya yang menjadi milik dan modal dasar pembangunan bangsa. Menurut hasil penelitian Ocean Education Project dari Universitas VillanovaPensylvania Amerika Serikat, Indonesia memperoleh kekayaan alam dalam ZEEnya yang meliputi luas 764.000 mil persegi. Menurut perhitungan tersebut, luas wilayah ZEE di seluruh dunia yang diperebutkan oleh semua negara adalah hampir sama dengan luas daratan muka bumi. Terdapat 10 negara yang

63

mendapat bagian yang tergolong besar, antara lain adalah Amerika Serikat, Australia, dan Indoensia. Perlu ditegaskan dalam kesimpulan ini bahwa yang dimaksud dengan ZEE Indonesia adalah jalur diluar laut wilayah Indonesia, sebagiman ditetapkan berdasarkan UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wialyah Indonesia (pasal 2 UU No.5/1983). Perlu pula diperhatikan bahwa pelaksanaan ZEE Indonesia ini selalu

mengandung dua aspek penanganan yaitu aspek dalam negeri dan aspek luar negeri. Aspek dalam negeri tentunya yang menyangkut kebijakan-kebijakan nasional tentang perikanan, perlindungan dan pelestarian laut serta penelitian ilmiah tentang kelautan, yang ditentukan oleh instansi-instansi yang yang bersangkutan. Sedangkan aspek luar negeri antara lain adalah yang menyangkut pelaksanaan dalam kaitannya dengan hukum Internasional, yang selalu terdapat dalam perumusan peraturan perundangan-undangan tentang aspek perikanan, lingkungan laut dan penelitian ilmiah, juga perumusan persetujuan-persetujuan bilateral tentang kerjasama di keempat bidang tersebut. Meskipun klaim-klaim tersebut dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan tertentu, misalnya pengambilan kekayaan alam, pencegahan polusi laut, penelitian ilmiah kelautan dan lain sebagainya. Namun hal itu, dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan negara pantai di wilayah dan perairan Nusantaranya ditambah 12 mil laut untuk zona pengawasan terhadap imigrasi, pabean, kesehatan (zona tambahan) dan mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE selebar 200 mil laut yang diukur garis pangkal laut wilayahnya. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi hukum laut PBB III 1982, disamping mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE, Indonesia juga harus mengakui hak-hak negara lain yang ada di ZEE tersebut, antara lain kebebasan berlayar dan terbang diatasnya, hak-hak tertentu negra-negara yang tidak berpantai (landlocked-States) dan negara-negara secara geografis kurang beruntung (geographically disadvantaged States). Kebebasan menangkap ikan sebagai salah satu kebebasan yang ada di laut lepas, memang pada prinsipnya tetap berlaku, namun kebebasan ini sesuai dengan perkembangan yang ada dewasa ini, telah mempunyai beberapa pembatasan, baik dilihat dari segi perkembangan teknologi modern tentang peggunaan laut maupun tuntutan

64

negara-negara pantai terhadap suatu jalur laut yang cukup luas yang berbatasan dengan pantainya untuk kepentingan ekonomis. Untuk melindungi sumber-sumber daya alam hayati yang berada di luar laut territorial, agar pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk bahan makanan rakyat Indonesia akan lebih terjamin. Karena melihat kemungkinan akan terjadinya kian yang ditangkap itu berlebihan, sehingga pada suatu saat akan mengakibatkan kurangnya persediaan sumber protein hewani bagi kehidupan manusia di masa mendatang. Sehingga perlu diadakan pembatasan dalam bentuk perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral. Alasan kedua adalah sebagai konsekuensi logis dari alasan pertama, sehingga negara pantai mendapat jaminan bahwa sumber protein yang cadangkan bagi bangsa dan generasi berikutnya akan tetap terpelihara, dan kepastian yang kini diperoleh dengan batas-batas yang jelas didalam mana negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber-sumber day alam hayati yang beraneka ragam didalamnya. Kini semua hal yang disebut di atas sebagian besar sudah mampu dilakukan, dan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ZEE Indonesia adalah benar-benar merupakan jaminan masa depan bangsa. Dalam kaitan inilah maka apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam pengumuman pada tanggal 21 Maret 1980 tentang ZEE Indonesia seluas 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut wilayah kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1983 adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tepat. Kemudian dalam hal penegakan hukum laut, perlu diperhatikan beberapa hal yang dirasakan mendesak, antara lain mengenai : a. Peningkatan kemampuan fisik, yang mampu menjamin mobilitas yang akan mencakup khususnya peralatan-peralatan untuk pengawasan (surveillance) dan armada-armada kapal yang akan dipergunakan untuk melakukan tindakan-tindakan operasional pergerakan hukum itu sendiri. b. Sistem penegakan hukum yang efektif dan terpadu. c. Diingatkan pula bahwa penanganan di bidang penciptaan alat-alat ataupun prasarana dan sarana perundang-undangan bidang laut dihubungkan dengan perkembangan teknologi serta perkembangan asas-asas hukum laut

Internasional sangat penting

65

d. Konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan hukum laut yang ada relevansinya dengan kepentingan Indonesia, segera diratifikasi dan disebarluaskan kepada masyarakat. 4. Laut Bebas (Laut Lepas) Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau high seas. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang diakndungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan hak dan kewajiban umum tiap negara terhadap laut bebas serta hak dan kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat SAR, yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian lingkungan laut. Ketentuan-ketentuan mengenai rezim hukum laut Bebas yang tercantum dalam konvensi Hukum Laut yang baru adalah terdapat pada part VII, Pasal 86 sampai dengan Pasal 120, berlaku semua bagian laut di luar laut pedalaman, laut wilayah dan ZEE. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan yang tercantum dalam Convention on the High Seas dari Konvensi Jenewa tahun 1958. Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah : 1. The high seas are open to all States, whether coastal or landlocked. freedom of the high seas is exercised under the conditions laid down by this convention and by other rules or international law. It comprises, inter alia, both for coastal and landlocked States. (Laut bebas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai maupun negara yang tidak berpantai). Namun pelaksanaan negara-negara itu harus diperhatikan kepentingan negara lain menurut ketentuan konvensi atau aturan Hukum Internasional lain, kebebasankebebasan baik bagi negara pantai maupun bagi negara-negara tak berpantai terdri dari :

66

a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation) ; b. Kebebasan terbang (freedom of over flight); c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa dibawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines) ; d. Kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lain yang diizinkan oleh hukum Internsional (freedom to construct artificial islands and other installations promoted under international law); e. Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing); f. Kebebasan melakuakn penelitian ilmiah kelautan (freedom of scientific researches). Kemudian Konvensi Hukum laut baru ini telah mengingatkan bahwa laut bebas hanya boleh digunakan unutk keperluan damai (the high seas shall be reseved for peaceful purposes). Tidak satu negara pun boleh mengklaim setiap bagian laut bebas menjadi miliknya atau berada dibawah

kedaulatannya (no State may validly purport to subject any part of the high seas to its sovereignty, pasal 89). 2. Hak atau kebebasan berlayar (rights of navigation) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Sebagai negara (coastal atau landlocked) mempunyai hak berlayar dengan mengibarkan benderanya (every State, whether coastal or landlocked, has the rights to sail ships flying its flag on the high seas: pasal 90) b. Setiap kapal mendapatkan kebangsaan dari benderanya (every State shall fix the conditions for the grant of its nationally to ships : pasal 91 ayat 1) c. Setiap kapal dengan bendera suatu Negara berada dalam yurisdiksi Negara bendera. Selama dalam pelayaran atau disuatu pelabuhan dilarang ganti bendera kecuali karena pindah. Tanggal 31 Desember 1985,Presiden Republik Indonesia di Jakarta mengesahkan sertifikasi Indonesia terhadap konvensi perserikaatn PBB tentang Hukum Laut dengan undang-undang No. 17 tahun 1985, secara umum konvensi Hukum Laut PBB 1982, merupakan usaha masyarakat Internasional untuk mengatur masalah kelautan tersebut. Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi PBB tentang hukum Laut yang

67

ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum Laut), telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Dibandingkan dengan konvensi konvensi Jenewa 1958 tentang hukum laut, Konvensi PBB tentang hukum Laut tersebut mengatur rejimrejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejimrejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang hukum laut tersebut : a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasankebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut teritorial; b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut Teritorial menjadi Maksimun 12 mil laut dan criteria landas kontinen. Menurut konvensi Jenewa 1958 tentang hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitas. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil tersebut;. c. Sebagaian melahirkan rejim ejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Ekslusif dan penambangan di dasar laut Internasional. Bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selam dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat

internasional. Pengakuan resmi asas Negara kepulauan ini merupakan hal ynag penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana

68

termaktubdalam ketetapan majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Garis garis Besar haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan indonesai sebagai satu kesatuan politik, ekonomi sosial budaya dan pertahanan keamanan. Negara Kepulauan menurut konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan adapat mencakup pulaupulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulaupulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulaupulau tersebut dan lainlain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau pulau, perairan dan wujud alamiah lannya tersebut meruapkan kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah diangggap sebagai satu kesatuan demikian. Negara kepulauan dapat menarik garis dasar / pangkal lurus kepulauan yang manghubungkan titik titik terluar pulau pulau dankarang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa : a. Di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulaupulau utama dan suatu dearah dimana perbandingan antara derah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satuberbanding satu ( 1 : 1 ) dan Sembilan berbanding satu ( 9:1). b. Panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah seleuruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi setiap kepualaun dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimun 125 mil laut; c. Penarikan garis dasar/ pangkal demikian tidak boleh penyimpang dari konfirugasi umum Negara Kepulauan. Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garisgaris dasar/pangkal kepulauan pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat geografi demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar demikian didepositnya pada Sekretaris Jenderal PBB. Dengan diakuinya asas Negara kepulauan maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi perairan kepulauan yang berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia.

69

Disamping ketentuanketentuan sebagaimana telah disebutkan, syarat syarat yang penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara Kepulauan adalah ketentuanketentuan sebagaimana diuraikan dibawah ini. Dalam perairan kepulauan berlaku hak lintas damai (right of innocent passage) bagi kapalkapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk semenatara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian bagian tertentu dari perairan kepulaunnya apabila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya. Negara kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbaangan di atas alur laut tersebut. Kapal asaing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas laur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Ekslusif ke bagian lain dari laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut kepulauan dan rute penerbagangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan garis poros tersebut. Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas jalur laut kepulauan melalui laur laut dan rite penerbangan tersebut, namun hal ini di bidang lain dari pada pelayaran dan penerbangan tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya, dasr laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya. Dengan demikian hak lintas alur kepulauan melalui rute penerbangan yang diatur dalam konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati udara di atas alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas wilayahnya sesuai dengan konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil ataupun kedaulatan Negara kepulauan atas wilayah udara lainnya diatas perairan Nusantara. Sesuai dengan ketentuan konvensi, disamping harus menghormati perjanjianperjanjian internasional yang sudah ada, Negara kepulauan

berkewajiban pula menghormati hakhak tradisioanal penangkapan ikan dan kegiatanlain yang sah dari negaranegara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada dibagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan laut lepas. Hakhak tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan Negara ketiga atau warganegaranya.

70

Konvensi perserikatan Bangsa bangsa tentang hukum Laut ini mengatur pula rejim sebagai berikut : 1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan a. Laut tertorial Konferensi PBB tentang hukum laut yang pertama (1958) dan kedua

(1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar laut teritorial Karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman dalam masalah lebar laut teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut. Konferensi PBB tentang hukum laut ketiga pada akhirnya berhasil menentukan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari keseluruhan paket rejim rejim hukum laut, khususnya : 1) Zona ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil laut dihitung dari garis dasar/pangkal darimana lebar laut territorial diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran; 2) Kebebasan transit kapal kapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelayran internasioanal; 3) Hak akses Negara tanpa pantai ked an dari laut dan kebebasan transit; 4) Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui laut territorial. Rejim laut teritorial memuat ketentuan sebagai berikut: 1) Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut territorial, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 2) Dalam laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan kendaraan air asing. Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemrdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi

keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa (force

71

majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam kedaan bahaya. 3) Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan penngaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan,

pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi dan pecegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal imigrasi dan kesehatan. b. Zona Tambahan Jika dalam Konvensi jenewa 1958, lebar Zona Tambahan pada lebar tritorial diukur, maka Konvensi PBB III 1982 kini menentukan bahwa, dengan ditentukannya lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial. Di zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian yang perlu, untuk : 1) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang undangannya di bidang bea cukai, fiskal keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat dan laut teritorial negara pantai; 2) Menindak pelanggaranpelanggaran atas peraturan perundang

undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan laut teritorial negara pantai; 3) Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat bahwa perairan dalam selat yang semula merupakan bagian dari laut lepas berubah menjadi bagian dari laut teritorial maksimal 12 mil laut. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan kedaulatan dan yuridiksi negara egara pantai dibidang lain dari pada lintaslaut dan lintas udara, kendaraan air asing pesawat udara asing mempunyai hal intas laut/udara melalui sutu selat yang digunakan untuk pelayaran

72

internasional. Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan ketentuan Konvensi, dapat membuat perundangundangan mengenai lintas laut transit melalui selat tersebut bertalian dengan : a. Keselamatan pelyaran dan pengaturan lintas laut; b. Penecegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran; c. Pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat

penangkapan ikan dalam palka; d. Memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang orang, bertentangan dengan peraturan perundang undangan bea cukai, fiscal, imigrasi dan kesehatan. 3. Zona Ekonomi Eksklusif Dizona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai : a. Hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati diruang air dan kegiatankegiatan lainnya untuk eksploirasi dan eksploitasi ekonomi Zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. b. Jurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunanbanguanan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. c. kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbanngan internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif. d. kewajiban untuk memberikan kesemapatan terutama kepada Negara tidak berpantai atau Negara yang secara geografis taidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan. Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut tersebut erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar laut Teritorial 12 mil laut, karena : a. Beberapa negara pantai, yang menganut lebar laut teritorial 200 mil laut, baru dapat menerima penetapan lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut

73

dengan adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut b. pada sisi lain : 1) Negaranegara tanpai pantai dan negaranegara secara geografis tidak beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang

diperbolehkan. 2) Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara pantai/negara transit. 3) Negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi Eksklusif jika negara pantai tetap menghormati kebebasan pelayaran/ penerbangan melalui Zona Ekonomi Eksklusif. 4) Landas Kontinen. Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar landas kontinen berdasrkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini

mendasarkan pada berbagai kritria : a. Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut; b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan dibawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika diluar 200 mil masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelnjutan lamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi criteria kedalaman sdimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau c. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobaths) 2500 meter. Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang ditentukan dalam konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negaranegara bukan negara pantai, khususnya negaranegara tanpa pantai atau negaranegara yang geografis tidak beruntung setelah konvensi juga menentukan bahwa negara pantai

74

mempunyai kewajiban untuk memebrikan pembayaran atau kontribusi dalam natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan nonhayati Landas Kontinen di luar 200 mil laut. Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut Internasional yang akan membagikannya kepada Negara peserta Konvensi di dasarkan pada criteria pembagian yang adil dengan memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negaranegara

berkembang, khususnya negaranegara yang pekembangannya masih paling rendah dan negaranegara tanpai pantai. Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona Ekonomi Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri . hal ini berkaitan dengan diterimanya criteria kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga parkiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas kontinen melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif. 5. Laut Lepas Berbeda dengan konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan laut lepas dimulai dari batas terluar laut territorial. Konvensi ini menetapkan bahwa laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, Laut territorial perairan pedalaman dan perairan kepualauan. Kecuali perbedaanperbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang laut Lepas dan Konevensi PBB tentang hukum Laut mengenai hakhak dan Kebebasankebebasan dilaut lepas. Kebebasankebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan kebebasan di lautLepas. Disamping mengatur hakhak kebebasan kebebasan di Laut Lepas. Konvensi ini juga mengatur masalah konservasi dan pengelolaansumber kekayaan hayati di laut lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati dilaut lepas. 6. Rejim Pulau Rejim pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam konvensi ini yang dihubungkan dengan masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan

75

Landas Kontinen. Konvensi menentukan bahwa pulau / karang mempunyai Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dengan ketentuan bahwa pulau/ karang yang tidak dapat mendukung habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas KOntinen sendiri dan hanya berhak mempunyai Laut Teritorial saja. 7. Rejim Laut tertutup / setengah tertutup. Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil diukur dari garis laut territorial, mengakibatkan bahwa perairan Laut Tertutup/ setengah yang dahulunya merupakan laut Lepas menjadi lautTeritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif negaranegara disekitar atau berbatasan dengan laut tertutup/ setengah tertutup tersebut. Rejim laut tertutup/ setengah tertutup diatur dalam satu bab tersendiri dalam konvensi ini. Menganjurkan antara lain agar negara negara yang berbatasan kerjasama dengan Laut Tertutup/setengah konservasi tertutup sumber

mengadakan

mengenai

pengelolaan,

kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut. 8. Rejim akses Negara tidak berpantai ked an dari laut serta kebebasan transit Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses negara tanpai pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini menngatur masalah rejim akses negara tanpa pantai ked an dari laut serta kebebasan transit melalui negara transit secara lebih terperinci dalam satu bab tersendiri. Rejim ini berkaitan dengan hak negaranegara tersebut untuk ikut memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut internasional. Sesuai ketentuan ketentuan dalam konvensi, pelaksnaan hak akses Negara tidak berpantai serta kebebasan transit melalui wilayah Negara transit dan di Zona Ekonomi Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional. 9. Kawasan Dasar laut Internasional Kawasan Laut Internasional adalah dasar laut/samudra yang terletak di luar landas Kontinen dan berada di bawah Laut Lepas. Konvensi menetapkan bahwa kawasan Dasar Laut Internasional dan kekayaan alam yang

76

terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan bersama umat manusia. Tidak ada satu negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dar kawasan Dasar laut Internasional atau kekayaan alam yang terdapat didalamnya. Demikian pula tidak satu negarapun atau badan hukum atau orang boleh melaksanakan pemilikan atas salah bagian dari kawasan tersebut semua kegiatan di kawasan Dasar Laut Internasional dilaksanakan untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh suatu badan internasional, yaitu Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority). Adapun pengelolaannya di dasarkan pada suatu sistem, yaitu sistem parallel, yakni selama Perusahaan (Enterprises) sebagai wahana otorita belum dapat beroperasi secara penuh, negaranegara peserta Konvensi termasuk perusahaan negara dan swastanya dapat melakukan penambangan dikawasan Dasar Laut

Internasional tersebut berdasarkan suatu hubungan keraj atau asosiasi dengan otorita. Konvensi PBB tentang hukum Laut ketiga dengan suatu revolusi I, menetapkan pula pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory Commission) yang tugasnya adalah untuk mempersiapkan antara lain pembentukan otorita Dasar Laut Internasional dan Pengadilan Internasional untuk hukum laut. 10. Perlindungan dan pemeliharaan lingkunga laut. Walaupun perlahanlahan akan tetapi pada akhirnya tumbuh kesadaran bahwa, sekalipun laut itu sangat luas tetapi sumbersumber kekayaan yang terkandung didalamnya tidak tanpa batas kelestarian. Penangkapan hidup jenis ikan selalu mengandung suatu resiko bahwa kelangsungan hidup jenis ikan tersebut dapat terancam dengan kepunahan. Pengembangan teknologi dibidang perikanan, yang memungkinkan

penangkapan ikan dalam skala besar, dapat mengakibatkan tidak hanya kepunahan jenisjenis ikan akan tetapi juga kemunduran besar bagi perusahaa-perusahaan yang tergantung dari penangkapan jenis jenis ikan tersebut. Disamping itu tumbuh kesadaran mengenai kelestarian lingkungan hidup, yang pada akhirnya menggerakkan PBB untuk meyelenggarakan konferensi

77

mengenai lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun1972; Pembuangan limbah secara tidak terkendali ke dalam lautan membawa akbat kerusakan yang parah pada lingkungan laut. Demikian pula, pencemaran yang diakibatkan oleh kecelakaan tangker tangker raksasa, seperti Torrey Canyon dalam tahun 1967 dan Amoco Cadits dalam tahun 1978, membawa kerusakan yang sangat parah pada lingkungan hidup. Berdasarkan kenyataankenyataan sebagaimana tersebut di atas, konvensi menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumbersumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. 11. Penelitian ilmiah kelautan Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut territorial atau perairan kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanak dalam laut teritorial/perairan kepulauan hanya dapat

dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah oleh kelautan ZEE dan Landas Kontinen. Penelitian ilmiah oleh negara asing atau organisasi internasinal sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan sebagaiman diatur dalam konvensi supaya diizinkan oleh negara pantai. Untuk penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan di Laut Lapas berlaku kebebasan penelitian dengan ketentuan bahwa penelitian ilmiah yang dilakuakan di Landas Kontinen tunduk pada rejim penelitian Landas Kontinen. Demikian juga bagi penelitin ilmiah di Kawasan Dasr laut International berlaku prinsip kebebasan penelitian ilmiah yang tunduk pada rejim Kawasan Dasr Laut Internasional. 12. Pengembangan dan Alih Teknologi a. Negara-negara secara langsung atau melalui organisasi internasional yang berwenang, harus mengadakan untuk kerjasama secara sesuai dengan

kemampuan

masingmasing

aktif

memajukan

pengembangan dan pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; b. semua negara wajib memajukan pengembangan kemampuan ilmiah dann teknologi kelautan negaranegara yang memerlukan bantuan teknik

78

dalam

bidang

tersebut,

khususnya

negaranegara

berkembang,,

termasuk negaranegara tanpai pantai dan yang secara geogarfis tidak beruntung, yang memerlukan bantuan di bidang eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumbe sumber kekayaan laut, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penelitian ilmiah kelautan, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi negaranegara berkembang. 13. Penyelesaian Sengketa Konvensi menentukan bahwa setiap negara peserta Konvensi harus menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 3 Piagam PBB. Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian sengketa, dimana Negara Negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut: Mahkamah Internasional (I.C.J), Pengadilan Internasional untuk hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Rbutrasi khusus. Konvensi 1982 ini membentuk pengadilan internasional untuk hukum laut sebagai mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi umum serta arbitrasi khusus sebagai mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal). Setiap sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke empat macam lembaga penyelesaian sengekta tersebut diatas, kecuali sengketa mengenai penafsiran dan penerapan BabXI konvensi mengenai Kawasan Dasar laut internasional beserta lampiran- lampiran Konvensi yang bertalian dengan masalah Kawasan dasar laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi mutlak kamar sengketa dasar laut. Sejalan dengan masalah persaiapan pembentukan organorgan otorita dasar laut international, maka

pembentukan pengadilaninternasional untuk hukum laut beserta kamar kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi persiapan sesuai dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh konperensi PBB tentang hukum laut ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai berlaku. 14. Ketentuan Penutup

79

Sebagaimana lazimnya, konvensi memuat ketentuanketentuan penutup yang mengatur masalahmasalah prosedural seperti penandatanganan, pengesahan dan konfirmasi formal, aksesia dan berlakunya konvensi, amandemen depositori dan lainlainnya. Beberapa ketentuan penutup yang penting yang terdapat konvensi ini antara lain adalah : a. Konvensi dimulai berlaku 12 bulan setelah tercapai pengesahan oleh 60 negara. b. Konvensi ini menggantikan (prevail) konvensi konvensi Jenewa 1958 mengenai hukum laut bagi para pihaknya. c. Konvensi ini tidak membenarkan terhadap negaranegara mengadakan dalam pensyaratan (reservation) ketentuanketentuan

konvensi pada eaktu mengesahkan karena seluruh ketentuan konvensi ini merupakan satu piket yang ketentuan etentuannya sangat serta hubungannnya satu dengan yang lain, dan oleh keran itu hanya dapat dipisahkan sebagai satu kebulatan yang utuh.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran ke 3 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaang seperti : 1. Mengapa asas Negara kepulauan harus diimplementasikan dalam berbagai peraturan perundang Republik Indonesia ? 2. Mengapa pengumuman pemerintah mengenai suatu obyek hukum selalu diikuti dengan undangundang ? 3. Apa implikasi dari ratifikasi Indonesia terhadapa konverensi hukum laut PBB 1982 ?

80

Daftar Bacaan : I. Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2005. Made Pasek Diantha, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2005 ------------------, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar, CV. Karya

MasAgung, 1993. Syahmin, AK, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut International, Bandung: Bina Cipta, 1988. UU No. 6 / 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia. UU No. 17 / 1985 tentang Pengelolaan Konvensi Hukum Laut 1982. UU No. 5/ 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. UU No. 1 /1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. PP No. 8 / 1992 tentang Lalu lintas Damai Kendaraan air asing.

81

BAB 5 BAHAN PEMBELAJARAN 4


A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalur-jalur laut pada wilayah perairan Indonesia sebagai negara nusantara. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian: Jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan: 1. Perairan Kepulauan Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan yang tanpa

memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archpelagic state), maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya. 2. Perairan Pedalaman Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, perairan pada sisi darat garis

82

pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut.13 Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat. Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai. Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),14 hukum laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan. Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai
Pasal 8 (1) UNCLOS 1982 Sekarang tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan UU No1/1974 tentang Landas Kontinen Indonesia, UU No 5/1983 tentang ZEEI dan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia
14 13

83

melalui

laut

teritorial

(pasal 17 konvensi). Selanjutnya,

Indonesia

membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan), yaitu: 1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas. 2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960 ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters. Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.15 Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang ketiga. Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan wacana hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini kita akan mengkaji perbedaan antara Konvensi Jenewa 1957 dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan ; Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh
15

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hlm. 383-384.

84

perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930. Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal. Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara. Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut. Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai garis pangkal biasa (normal base-line) Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight baselines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni: 1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam. 2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air

85

diwaktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas. (ayat 5). Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama. Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan......., ditempat-tempat dimana, dan seterusnya...., menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal baseline). Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat (1). Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggeris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case). Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam konvensi mengenai Laut Territorial dan Zona Tambahan, maka isi keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59............, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang dengan syaratsyarat tertentu berlaku umum.16
16

Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), hlm 129133. Konferensi Internasional Hukum Laut III, Tanggal 10 Desember 1982 (UNCLOS 1982) belum

86

Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya,

juga meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah dibawahnya. Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karangkarang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai. Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut diukur dari batas laut teritorial. Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat

menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain: a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar; b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi); c. Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai); d. Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina); e. Kepentingan perikanan f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya. Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939 yang dalam
dilaksanakan. Tetapi kurang lebih sebagai perbandingan dalam menganalisa dinamika perkembangan antara Konvensi Jenewa tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 yang juga saling berkaitan. Baca juga hasil-hasil Konvensi Hukum Laut Jenewa 1957.

87

pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari Indonesia........... dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut. Menurut ICNT, yang dimaksud dengan Jalur Tambahan adalah suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki Jalur Tambahan. Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangankewenangan tertentu untuk: 1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang keBea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun sanitary, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI. 2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.17 3. Laut teritorial Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No.
17

S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm. 84-85.

Serta

88

6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai. 4. Laut Tambahan Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk: 1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang

berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter. 2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundangundangannya tersebut di atas. Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu: Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah garis pangkal. Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.

89

Ketiga,

Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona

tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial. Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.

5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia mempunyai: 1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya; 2. Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulaupulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (Pasal 56 dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; 3. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi. Di ZEE, negara-negara lain mempunyai: (1) Kebebasan berlayar dan terbang; (2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas Kontinen dan ZEE; (3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115, yang mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan pelayaran; (4) Akses terhadap. surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai. Tindakan-tindakan yang diperlukan adalah: 1. Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai koordinat dan titik-titiknya; 2. Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan negara tetangga tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang tindih

90

dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan belum tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua konsepsi mi (ZEE dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda dan masing-masing merupakan konsep yang sui generis. 3. Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta atau daftar koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75); 4. Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety zonenya dan membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60 mengatur soal ini secara terperinci); 5. Indonesia harus menetapkan allowable catch dan sumber-sumber

perikanan ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara pantai juga berkewajiban memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, agar sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited demi untuk menjaga maximum sustainable yield. Untuk maksud-maksud ini, Indonesia dirasa perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang berkepentingan dan dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten; 6. Untuk mencapai optimum utilization dan kekayaan alam tersebut, Indonesia harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan kesernpatan kepada negara lain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung, untuk memanfaatkan the surplus of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan oleh Indonesia (Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal pemanfaatan surplus); 7. Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh konvensi (Pasal 62 ayat 4), misalnya tentang izin penangkapan ikan, penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian musim dan daerah penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap dan lain-lain; 8. Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan regional/internasional yang atau dengan tentang

organisasi-organisasi

wajar

91

pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE 2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory species dan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang marine mammals,

anadromous dan catadromous species dan sedentary species.

6. Landas Kontinen Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200 mil. Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB (Pasal 76 ayat 9). Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan surplus perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai atas kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu dibagi-bagi dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun negara-negara yang bersangkutan belum memanfaatkannya. Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan itu adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian setiap tahun naik dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum menjadi 7 persen mulai tahun produksi ke-12. Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI adalah:

92

1. Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis Indonesia mempunyai continental margin di luar batas 200 mil. Jika ada, maka kita harus menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan mendepositkan peta disertai koordinat batas-batasnya pada Sekjen PBB dan International Authority (Pasal 84) yang pembentukannya pada waktu ini sedang dirundingkan; 2. Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur; 3. Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya harus diperbaharui untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru landas kontinen mi; 4. Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan, pengamanan instalasiinstalasi, eksploitasi dan explorasi di landas kontinen serta penentuan jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata dan pidana di landas kontinen Indonesia.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran keempat dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaaan, seperti: 1. Jelaskan jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara Kepulauan? 2. Dalam hal apakah ZEEI dapat dieksplorasi dan eksploitasi semaksimal mungkin oleh Indonesia?

Daftar bacaan Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1978. S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.

93

BAB 6 BAHAN PEMBELAJARAN 5


A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait berbagai macam garis pangkal pada umumnya.;Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;

Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian: Ada bermacam-macam garis pangkal, yaitu18: 1. Garis pangkal biasa, yaitu garis air rendah di sepanjang pantai. Dalam hal ini garis air rendah dan fringing reefs (batu-batu karang) yang terluar juga dapat dipergunakan. Garis air rendah dan fringing reefs tersebut harus di perlihatkan dalam peta-peta yang diakui secara resmi oleh negara bersangkutan. (Pasal 5 dan 6); 2. Garis pangkal lurus, yaitu garis lurus yang ditarik untuk menutup pantaipantai yang terlalu melekuk, delta, low-tide elevations, mulut sungai, teluk, bangunan-bangunan pelabuhan. Dalam hal:-hal mi, garis dasar dapat ditarik, secara lurus tanpa mengikuti garis air rendah di pantai. Roadsteds (tempat kapal-kapal buang jangkar di laut di depan pelabuhan) dianggap termasuk dalam laut wilayah. Dalam hal-hal negara berdampingan atau berhadapan, laut wilayah masing-masing perlu ditetapkan dengan perjanjian antara negara-negara tersebut (Pasal 15). Di luar laut wilayah, negara pantai diperkenankan
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978). Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007, hlm. 46-54.
18

94

mempunyai Lajur Tambahan (Contiguous Zone) sebesar 24 mil (12 mil di luar laut wilayah), yang diukur dan garis pangkal yang dipergunakan untuk mengukur laut wilayah. Oleh karena itu, guna mendukung ketentuan tersebut, maka tindakantindakan yang perlu dilakukan adalah: Meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia dan

menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, baik dengan ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan ketentuan dalam negara-negara Nusantara; Merundingkan penyelesaian batas laut wilayah Indonesia dengan negaranegara tetangga khususnya: (a) Garis batas segitiga RI-MalaysiaSingapura di selat Singapura; (b) Garis batas laut wilayah RI-Malaysia di pantai timur Kalimantan; (c) Garis batas laut wilayah RI-Philipina; Mendepositkan peta-peta dan koordinat-koordinat dan garis batas tersebut pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 16 ayat 2; Mendirikan/mengumumkan zone tambahan Indonesia untuk keperluankeperluan pengawasan pabean, keuangan, imigrasi dan kesehatan sesuai dengan Pasal 33. Innocent Passage melalui Laut Wilayah. Kapal semua negara menikmati hak untuk lewat secara damai (innocent passage) melalui laut wilayah (Pasal 17) selama tidak membahayakan perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Pasal 19 memperinci tindakan-tindakan kapal yang lewat yang dapat dianggap membahayakan perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai tersebut. Pasal 21 memperkenankan negara pantai untuk membuat undangundang/ketentuan-ketentuan tentang lintasan laut damai tersebut, tetapi terbatas kepada hal-hal yang terperinci dalam pasal 21 tersebut yaitu: Keselamatan pelayaran dan lalu lintas laut; Perlindungan sarana bantu pelayaran dan fasilitas atau instalasi lainnya; Perlindungan kabel-kabel dan pipa-pipa di dasar laut; Pelestarian kekayaan hayati laut; Pencegahan pelanggaran ketentuan-ketentuan perikanan; Pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi;

95

Penyelidikan ilmiah dan survey hydrografis; dan Pencegahan pelanggaran aturan-aturan pabean, keuangan, imigrasi dan kesehatan.

Untuk keselamatan pelayaran, negara pantai juga boleh menetapkan sealanes dan traffic separation scheme (TSS) melalui laut wilayah dan mewajibkan kapal-kapal tertentu seperti tanker dan kapal yang digerakkan dengan tenaga nuklir atau membawa muatan nuklir untuk hanya lewat melalui sealanes tersebut. Pasal 22 dan 23 mengatur cara-cara penetapan sealanes dan TSS melalui wilayah laut tersebut. Tindakan-tindakan yang diperlukan diantaranya adalah: - Menata kembali dan mengembangkan perundang-undangan Indonesia tentang innocent passage terutama tentang 8 hal tersebut di atas; - Mengumumkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan tentang halhal tersebut; - Di mana perlu menetapkan sealanes dan TSS dan mengumumkan sealanes dan TSS yang telah ditetapkan melalui laut wilayah tersebut. Khusus bagi Indonesia sealanes dan TSS dalarn laut wilayah haruslah sinkron dengan sealanes dan TSS melalui perairan Nusantara; - Mengumumkan dangers to navigation yang diketahui yang ada di laut wilayah; Jika perlu RI boleh menangguhkan hak lalu lintas laut damai melalui laut

wilayah tersebut pada waktu-waktu dan di bagian-bagian tertentu untuk keperluan keamanan, misalnya jika ada weapons exercises. Penangguhan mi baru berlaku setelah diumumkan (Pasal 25 ayat 3). Perlu dicatat bahwa innocent passage melalui selat yang dipakai bagi pelayaran internasional tidak boleh ditangguhkan (Pasal 45 ayat 2). 3. Garis Pangkal Lurus Kepulauan Negara nusantara boleh menarik garis pangkal lurus nusantara yang menghubungkan titik-titik terluar dan pulau-pulau dan batu-batu karang yang terluar dan kepulauan tersebut dengan ketentuan-ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 46 dan 4719. Laut wilayah, zone tambahan, landas kontinen dan
19

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian Experience, (Bandung: Alumni, 2002), P. 196-197.

96

ZEE Indonesia diukur ke laut dan garis pangkal lurus nusantara (GPLN) tersebut (Pasal 48). Perairan di sebelah dalarn dan GPLN yang mengelilingi kepulauan nusantara tersebut dinamakan perairan nusantara di mana pada umumnya berlaku ketentuan pelayaran innocent passage seperti dalam laut wilayah (Pasal 52 ayat 1), dengan ketentuan bahwa hak innocent passage tersebut dapat ditangguhkan untuk sementara waktu di bagian-bagian tertentu karena alasan-alasan keamanan (suspendable innocent passage). Dalam perairan nusantara itu, negara nusantara seperti Indonesia rnasih diperkenankan menetapkan perairan pedalaman (internal waters) di mana hak innocent passage tidak diakui misalnya pada perairan-perairan mulut sungai, teluk dan pelabuhan (Pasal 50). Seperti telah dipaparkan di muka, bahwa di perairan nusantara negara-negara lain juga mempunyai hak-hak seperti: 1. Indonesia harus menghormati existing agreements dengan negara-negara lain; 2. Indonesia harus mengakui traditional fishing rights dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sah dari negara tetangga yang langsung berdekatan di bagian-bagian tertentu dan perairan nusantara; 3. Indonesia harus menghormati kabel-kabel laut yang sudah ada yang diletakkan oleh negara lain dan harus mengizinkan

pemeliharaan/penggantian kabel-kabel tersebut; 4. Kapal-kapal semua negara mempunyai hak innocent passage untu1 melewati perairan nusantara; 5. Semua kapal dan kapal terbang menikmati hak archipelagic sealane passage melalui archipelagic sea lanes dan air rutes di atas seaIane tersebut. Hak archipelagic sealanes passage adalah lebih longgar dari hak innocent passage dan kira-kira sama bebasnya dengan hak trantti passage melalui selat yang dipakai untuk pelayaran internasional. Jadi negaranegara nusantara dapat menetapkan sealanes dan TSS melalui perairan nusantara tersebut. Pasal 53 mengatur tentang cara-cara penentuan sealanes dan TSS di perairan nusantara. Axis dan sea/tines dan TSS tersebut harus diumumkan secara terbuka. Selama sealanes dan air routes belum ditetapkan maka hak lintas nusantara (archipelagic sealanes

97

passage) dapat dilaksanakan through the routes normally used for international navigation (Pasal 53 ayat 12). Tindakan-tindakanyang diperlukan untuk mendukung hal ini adalah: 1. Memeriksa kembali titik-titik terluar dan pulau-pulau atau batu-batu karang kering Indonesia yang terluar apakah sudah cocok dengan ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai titik-titik tenluar dan garis-ganis pangkal Indonesia dan menggambarkan titik-titik ganis pangkal tensebut dalam peta yang wajar atau membuat tersebut daftar dan koordinatnya, mendepositkan

mengumumkan

peta-peta/koordinat

copynya pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 47; 2. Untuk kewenangan Indonesia yang lebih kuat di perairan nusantara, kiranya Indonesia perlu merumuskan dan menetapkan perairan-perairan pedalaman (internal waters) dalam perairan nusantara tersebut sesuai dengan Pasal 50; 3. Untuk lebih meluaskan pengawasan dan pengamanan laut Indonesia maka sea/tines dan TSS dalam perairan nusantara dan laut wilayah perlu disiapkan, ditetapkan, dan diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Konvensi; 4. Semua hal-hal di atas memerlukan review dan re-adjustment dan UU No. 4 Prp 1960 dan PP No. 8/1962 tentang innocent passage melalui perairan Indonesia; 5. Walaupun Indonesia mempunyai kedaulatan atas perairan nusantara dan semua kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, namun negaranegara tetangga mempunyai hak-hak tertentu di perairan Indonesia seperti traditional fishing rights dan other legitimate activities (Pasal 51 ayat 1). Sampai sekarang hal-hal ini baru diselesaikan dengan Malaysia. Dengan negara-negara tetangga yang lain, khususnya Singapura, hal ini masih harus dirundingkan dan diatur; 6. Karena Indonesia berwenang penuh atas perairan nusantara, maka untuk pembangunan Indonesia perlu diatur dan diambil tindakantindakan yang terkoordinir dan efektif dalam: a) Usaha-usaha untuk memanfaatkan kekayaan alam di laut, baik perikanan maupun pertambangan;

98

b) Usaha-usaha peningkatan penegakan hukum dan kedaulatan di laut; c) Usaha-usaha dan izin untuk melaksanakan penyelidikan ilmiah, penyelidikan oceanologis dan hydrografis; d) Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan

keselamatan pelayaran; e) Usaha-usaha pemeliharaan lingkungan laut Indonesia; f) Usaha-usaha untuk mengatur dan membagi yuridiksi pengadilan atas wilayah laut Indonesia; g) Usaha-usaha untuk menata kembali dan melengkapkan perundangundangan Indonesia di bidang kelautan. 4. Garis Penutup Dalam konteks garis pangkal kepulauan dilakukan dengan

menggunakan garis penutup, yang dibedakan kedalam garis penutup teluk; garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan garis penutup pada pelabuhan. a. Garis Penutup Teluk Pada lekukan pantai yang berbentuk teluk, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis penutup teluk.20 Garis penutup teluk yang dimaksud adalah garis lurus yang ditarik antara titik titk teluar pada garis air rendah yang paling menonjol dan berseberangan pada muara teluk. Dalam hal ini, garis penutup teluk tersebut adalah seluas atau lebih luas dari pada luas lingkaran tengahnya adalah garis penutup yang ditarik pad muara teluk. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang membentuk lebih dari satu muara teluk, maka jumlah panjang garis penutup teluk dari berbagai mulut teluk maksimum 24 mil laut. b. Garis Penutup Muara Sungai, Terusan, dan Kuala Pada muara sungai atau terusan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis penutup muara sungai atau terusan. garis penutup muara sungai atau terusan dimaksud ditarik antara titik terluar pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan. Dalam hal garis
Lihat Pasal 6 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).
20

99

lurus tidak dapat diterapkan karena adanya kuala pada muara sungai, sebagai garis penutup kuala dipergunakan garis-garis lurus yang

menghubungkan antara titik-titik kuala dengan titik-titik terluar pada air garis rendah tepian muara sungai.21 c. Garis Penutup Pelabuhan Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan sebagai bagian dari pantai. Garis lurus dimaksud ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral system pelabuhan.22 C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran kelima dilakukan dalam bentuk makalah dengan merumuskan beberapa judul/topik, seperti: 1. Praktek Indonesia dalam penerapan Garis Pangkal Lurus Kepulauan. 2. Kontroversi penerapan Garis pangkal normal dan garis pangkal lurus kepulauan dalam praktek negara-negara.

Daftar Bacaan Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1978. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002.

Lihat Pasal 7 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39). 22 Lihat Pasal 8 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).

21

100

BAB 7 BAHAN PEMBELAJARAN 6

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 6 bahwa mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum tentang lintas pelayaran internasional di wilayah perairan Indonesia. Sasaran pembelajaran hendak dicapai dengan strategi pembelaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas. Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai lintas pelayaran, ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait lintas pelayaran serta partisipasi individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik: 1. Hak lintas damai; 2. Hak lintas transit; dan 3. Hak lintas alur laut kepulauan.

B. Uraian Untuk itu uraian selanjutnya akan memberi gambaran tentang bagaimana ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketiga jenis hak lintas bagi kapal-kapal asing tersebut secara umum. Selanjutnya, mengidentifikasi ketiga jenis pengaturan tersebut dengan selat-selat yang berada dalam perairan Indonesia.

1. HAK LINTAS DAMAI Perluasan jurisdiksi nasional atas laut dan tantangan yang timbul terhadap hal tersebut dari negaranegara maritim yang ingin mempertahankan prinsip keebebasan dilautan, merupakan pokok sengketa yang fundamental dalam masalah penggunaan laut, zaman dahulu dapat dikatakan hanya ada satu pola pandangan terhadapa kegunaan laut sebagai alat transportasi dan komunikasi, kehadiran kapal-kapal asing pada jalur-jalur perairan sepanjang pantai

menimbulkan suatu akibat yang menganggu kedudukan negara pantai sebagai

101

suatu negara yang berdaulat. Kebijakan umum yang berkembang kemudian adalah untuk sedapat mungkin untuk mengadakan pembatasan terhadap kehadiran atau kapal-kapal asing pada wilayah laut yang terletak berdampingan dengan pantai suatu negara. Kompromi yang dihasilkan dari adanya pertentangan diantara dua kepentingan yang sama kuatnya ini akhirnya melahirkan suatu doktrin baru yang lahir dalam bentuk konsepsi lintas damai, yaitu pemberian suatu hak kepada kapal-kapal asing untuk melintasi wilayah laut yang berada dalam juridiksi (dan dengan demikian kedaulatan) suatu negara dengan pembatasanpembatasan tertentu. Pada KHL I di Jenewa tahun 1958, dua kepentingan yang berada tersebut akhirnya dicoba untuk diselesaikan melalui rumusan pasalpasal 14 s/d 23 dari KHL I tentang Laut Teritorial dan jalur tambahan (untuk selanjutnya disebut sebagai Konvensi Laut Teritorial 1958), dalam bentuk aturan umum tentang hakhak kapal asing. Ketentuan tersebut juga merumuskan wewenang yang diberikan kepada negara pantai untuk mengatur pelaksanaannya. Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 telah memperkuat kedaulatan negara pantai atas laut territorialnya, termasuk ruang udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Namun, kedaulatan Negara pantai ini masih dibatasi oleh ketentuanketentuan Konvensi itu sendiri maupun ketentuan-ketentuan hukum Internasional lainnya. Salah satu kelemahan atau kegagalan KHL I ini adalah bahwa rejim hak lintas damai yang dihasilkannya dianggap tidak memadai untuk dipakai mengatur pelayaran didunia dewasa ini, terutama karena konfrensi tidak berhasil merumuskan ketentuan-ketentuan tentang lintas oleh kapal perang. Sebetulnya masalah lintas bagi kapal perang melalui laut terrtorial suatu negara telah menjadi bahan pembicaraan pada konferensi Kodifikasi Deg Haag tahun 1930. Rancangan Pasal-pasal yang dihasilkan oleh Konperensi ini kemudian dipakai oleh panitia Hukum Internasional sebagia rancangan pasalpasal untuk disampaikan pada Konprensi laut hukum Jenewa 1958 . Sayangnya, Rancangan Pasal 24 tentang lintas bagi kapal perang ini ditolak, karena gagal mencapai dukungan mayoritas suara yang diperlukan. Oleh karenanya hak lintas damai bagi kapal perang tidak akan dapat ditemui dalam naskah konvensi.

102

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, naskah Pasal 24 ini sebenarnya berisi ketentuan yang menetapkan bahwa kapal perang asing yang hendak lewat di laut territorial, terlebih dahulu memerlukan izin Negara pantai, atau sedikit-dikitnya harus terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada negara pantai. Akibatnya Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 ini tidak memuat satu ketentuan apapun tentang lintas damai bagi kapal perang. Satu-satunya ketentuan mengenai Hak lintas damai bagi kapalkapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional secara umum diatur dalam pasal 45, yang menetapkan bahwa kertentuan-ketentuan tentang hak lintas damai di laut territorial (seksi 3, Bagian II) juga berlaku pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Menurut kententuan Pasal 45 selanjutnya, hak lintas damai ini hanya dapat diterapkan pada: (1).Selat yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 37, yaitu selat yang terletak antara suatu pulau dan daratan utama Nnegara yang berbatasan dengan selat, yang apabila pada sisi kearah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut lepas atau melalui suatu zona ekonomi ekslusif yang sama fungsinya bertalian denga sifat-sifat navigasi dan hidrografis (untuk selanjutnya akan disebut sebagai selat dengan kategori Pasal 38 ayat 1); 2. Selat selat yang terletak antara bagian laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dan laut territorial suatu Negara asing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai selat dengan kategori Pasal 45 ayat 1(b)). Ketentuan diatas menetapkan juga bahwa hak lintas damai dapat diterapkan pada selat-selat dimana lintas transit tidak berlaku. Ketentuan ketentuan tentang hak lintas damai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tetap mempertahankan bentuk yang sama seperti dalam Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, dengan membedakan pengaturan bagi kapalkapal asing ke dalam tiga kategori : (1) (2) Semua jenis kapal (pasal 17 26); Kapal-kapal dagang dan kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersil (pasal 27 28); dan (3) kapalkapal perang dan kapalkapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial (pasal 29-32).

103

a. Arti dan Maksudnya Dalam konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, kriteria damai bagi suatu lintasan ditetapkan sebagai so long as it not prejudicial to the peace, good order or security of the coastal state. Konsepsi yang sama masih dapat ditemukan dalam pasal 19 dari Konvensi Hukum Laut 1982. Perbedaanya baru dapat ditemukan dalam bagian berikutnya yang merinci tentang kegiatan kegiatan yang dianggap tidak damai. Menurut pasal 19 ayat 2, lintasan dianggap membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan Negara pantai, adalah sebagai berikut: (1). Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB; (2). (3). Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun; Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi

pertahanan dan keamanan negara pantai; (4). Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi

pertahanan dan keamanan Negara pantai; (5). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara diatas kapal; (6). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer; (7). Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai; (8). Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini; (9). Setiap kegiatan perikanan;

(10). Kegiatan riset atau survey; (11). Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap system komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;

104

(12). Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintasan.

Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut diatas ditujukan untuk mencegah kegiatankegiatan yang berbau militer. Meskipun usaha untuk lebih memantapkan ketentuan-ketentuan tentang lintas damai ini ditujukan untuk mendapatkan pengaturan yang lebih objektif, ketentuan yang paling akhir (Pasal 19 ayat 2(1)), dapat menimbulkan tafsiran yang subjektif. Pasal 14 konvensi jenewa tentang Laut territorial dan Jalur Tambahan 1958, memberikan suatu formula tentang sifat damai dari suatu lintasan sebagai tidak Prejudical to the peace, good order or security of the coastal state. Formula ini mengehendaki suatu pembuktian oleh Negara pantai bahwa lintasan yang akan dilakukan dapat merugikan Negara pantai. Formula ini menurut Burke memerlukan perubahan yang more precise and less susceptible to the discretionary power of the coastal state. Dibandingkan dengan ketentuan pasal 14 tersebut diatas, Pasal 19 ayat 2 ini lebih menegaskan hubungan antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Negara pantai, melalui suatu pedoman dalam bentuk daftar kegiatan yang dapat dipakai oleh Negara pantai untuk menentukan tentang sifat damai dari suatu lintasan oleh kapal asing. Disamping itu, Konvensi Hukum laut 1982 juga menjamin hak lintas damai bagi semua jenis kapal. Pasal 24 membebani Negara pantai dengan suatu kewajiban untuk tidak menolak dan menghalangi lintas damai, kecuali sesuai dengan ketentuan tentang kekecualian ini, Negara pantai tidak dibenarkan untuk : (1). Menetapkan persyaratan-persyaratan bagi kapal asing yang secara praktis akan mengakibatkan penolakan atau paengurangan atas hak lintas damai; atau (2). Mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal yang mengankut muatan ke, dari atau atas nama negara mana pun. Hal yang terakhir ini dapat dilakukan pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Dengan demikian satu-satunya wewenang yang tinggal pada negara pantai dalam hal ini adalah untuk mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk

105

mencegah lintasan yang tidak damai. Konvensi sendiri tidak memberikan suatu batasan atau pedoman pelaksanaan bagi ketentuan tersebut. Seperti telah diuraikan di atas adalah kurang tepat untuk menganggap penangguhan sebagai salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh negara pantai. Pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional jelas hal itu tidak diperkenankan. Lalu, apa saja yang dapat dilakukan oleh negara pantai? b. Hak dan kewajiban Negara Pantai Pasal 21 memberi wewenang kepada negara pantai untuk menyusun peraturan perundang-undangannya, mengenai: (1). (2). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas maritim; Perlindungan atas sarana bantu navigasi dan fasilitas navigasi serta fasilitas fasilitas dan instalasi lainnya; (3). (4). (5). Perlindungan kabel dan pipa laut; Konservasi kekayaan hayati laut; Pencegahan negara pantai; (6). Pelestarian lingkungan negara pantai, dan pencegahan pengurangan dan pengendalian pencemaran; (7). (8). Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi; Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan Negara pantai dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter. Wewenang yang diberikan kepada Negara pantai tersebut dibatasi dalam beberapa hal yaitu : (1). Peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh mengatur tentang desain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal-kapal asing, kecuali kalau hal tersebut dilakukan sebagai pelaksanaan dari suatu peraturan atau standar internasional yang diterima secara umum. Ketentuan ini ditujukan utnuk mencegah agar Negara pantai tidak menetapkan suatu standar bagi bentuk atau jenis kapal dan tidak memaksakan suatu persyaratan bagi pengawakannya; (2). Kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam padal 24. pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan

Menurut Pasal 22 negara pantai juga diberi wewenang untuk menetapkan alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas. Juga bagi tanker-tanker dan kapal-

106

kapal yang mengangkut bahan-bahan nuklir, atau bahan-bahan yang berbahaya lainnya, dapat mewajibkan untuk menggunakan alur-alur laut yang ditetapkan khusus untuk itu. Dalam hal penetapan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelaksanaan hak lintas damai ini, ada satu hal yang cukup menarik, yaitu bahwa Negara pantai diminta untuk memperhatikan; (1). Rekomendasi yang diberikan oleh organisasi internasional yang berwenang; (2). (3) (4) Setiap alur yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional; sifat-sifat khusus dari kapal-kapal dan alur-alur terterntu;dan Kepadatan lalu lintas.

Disamping hal-hal tersebut diatas, Negara pantai juga dibebani dengan kewajiban untuk menjaga agar pelaksanaan hak lintas damai oleh kapal-kapal asing tersebut tidak dikurangi atau dihalangi oleh peraturan perundangundangan atau persyaratanpersyaratan yang ditetapkan oleh negara pantai. Negara pantai juga tidak dibenarbenarkan untuk membeda-bedakan kapal-kapal asing satu sama lainnya negara pantai diwajibkan untuk mengumumkan secara tepat segala hal yang diketahuinya akan membahayakan pelayaran. c. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan Pada garis besarnya kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan sudah tercakup dalam pengertian lintasan damai yang diberikan oleh pasal 19 ayat 1, yang kemudian secara rinci digambarkan dalam bentuk kegiatankegiatan yang terlarang, seperti tercantum pada ayatayatnya. Di samping itu setiap kapal yang sedang melakukan lintasan wajib untuk mematuhi peraturan perundangundangan Negara pantai yang ditetapkan untuk melaksanakan hak lintas damai tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi antara lain pengaturan tentang keselamatan pelayaran, pencemaran, alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas. Apabila suatu kapal melakukan perbuatan yang apabila dihubungkan dengan pengertian lintas damai tersebut diatas merupakan suatu pelaggaran terhadap ketentuan tersebut, Negara pantai dapat mencegah pelaksanaan lintas tadi. Akan tetapi apabila perbuatan yang dianggap suatu pelanggaran tersebut tidak ada kaitannya dengan ketentuan tentang pengertian lintas damai, jadi bukan

107

merupakan hal yang dilarang oleh ketentuan pasal 19 ayat 2, Negara pantai tidak mempunyai hak untuk mencegahnya. Meskipun kapalkapal perang mempunyai imunitas yang dijamin oleh konvensi ini, namun tidak lepas dari kewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai tentang pelaksanaan hak lintas damai. Meskipun telah diberi peringatan terlebih dahulu, apabila terbukti suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, Negara mantai mempunyai wewenang untuk memerintahkan kapal tersebut untu meninggalkan laut teritorialnya (yang dalam hal ini selat). Selain dari itu, Negara bendera dari kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non komersial, bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang diderita oleh negara pantai. Yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya peraturan perundang undangan tersebut, ketentuanketentuan konvensi itu sendiri, maupun ketentuan ketentuan hukum internasional lainnya. Berbeda dengan konvensi Jenewa tentang laut territorial dan jalur tambahan 1958, Konvensi Hukum laut 1982 memberikan perhatian yang cukup untuk membicarakan masalah hak lintas bagi kapal perang. Disamping itu, apabila pada tahun 1958 Konperensi Hukum Laut I masih raguragu untuk membicarakan masalah itu, maka keragu-raguan tersebut berhasil dihapuskan dalam konperensi Hukum Laut III. Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin hak lintas damai bagi semua jenis kapal asalakan kapal yang melakukan lintasan tersebut tidak melakukan salah satu perbuatan yang dilarang oleh pasal 19 ayat 2 (b), khususnya mengenai latihan atau praktek dengan menggunakan senjata macam apapun. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut khususnya, maupun terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai pada umumnya, dapat

mengakibatkan penggusiran kapal tersebut dari laut territorial atau selatnya. Kapal selam serta alat-alat angkut dibawah air lainnya diharuskan untuk berlayar dipermukaan air, dan mengibarkan benderanya. Kapal kapal bertenga nuklir dan kapal-kapal yang mengangkut bahanbahan nuklir maupun bahan bahan lainnya dapat diminta untuk berlayar melalui alur laut yang ditetapkan khusus untuk itu. Ketentuan tersebut tampaknya disediakan untuk

mengakomodasikan kekhawatiran Negara pantai akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kapalkapal jenis demikian.

108

Konvensi hukum laut 1982 ini dengan demikian telah berhasil menetapkan sesuatu pengaturan yang lebih jelas tentang pelaksanaan hak lintas damai, dan negara pantai tidak dibenarkan untuk mengurangi atau menghalangi pelaksanaan hak tersebut. Satu hal yang masih belum jelas dalam hal ini adalah cara pelaksanaan hak tersebut dengan memperhatikan hak serta peraturan

perundangundangan negara pantai. Sebagai contoh misalnya, menurut pasal 22 apabila dianggap perlu Negara pantai dapat menetapkan alur laut khusus bagi lintasan oleh kapal nuklir dengan alasan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Namun dalam hal ini, negara pantai tidak dapat mencegah kapal tersebut untuk melaukan lintasan.

d. Kesimpulan Dari uraian tersebut dinatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri utama dari hak lintas damai bagi kapal asing pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah: (1). Lintasan oleh kapal asing dianggap sebagai lintas damai selama tidak melakukan kegiatankegiatan yang dicantumkan dalam pasal 19 ayat 2; (2). Negara pantai mempunyai wewenang terbatas untuk mengatur lintas damai; (3). (4). Negara pantai mempunyai hak untuk mencegah lintasan yang tidak damai Tidak ada penangguhan terhadap pelakasanaan hak lintas damai pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional; (5). (6). Kapal selam harus berlayar dipermukaan air; Negara pantai dapat meminta kapal perang untuk meniggalkan selat apabila terbukti melakukan pelanggaran, meskipun telah diberi peringatan. 2. HAK LINTAS TRANSIT Hak lintas transit bagi kapal-kapal melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional diatur dalam seksi 2 dari bagian III (pasal 37-44). Berlainan dengan hak lintas damai yang diatur oleh Bagian lain tentang lintas melalui laut territorial, hak lintas transit hanya diatur oleh Seksi 2 ini saja.

109

a. Ruang Lingkupnya Perbedaan antara hak lintas transit dan hak lintas damai akan segera terlihat dengan jelas dalam ketentuanketentuan Seksi 2, khususnya Pasal 37 yang menetapkan bahwa: This Section applies to straits which are used for international navigation between one part of the high seas or an exlusive economic zone and another part of the high seas or an exlusive economic zone. Pemisahan pengaturan tentang lintas transit ini juga tampak dalam ketentuan pasal 34 yang menggambarkan dengan jelas perbedaan antara lintas damai dan lintas transit, disamping juga pasal 39 yang menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara harus mematuihi ketentuanketentuan dari bagian ini. Pasal 34 mengakui bahwa selatr yang digunakan untuk pelayaran internasional berada dibawah kedaulatan penuh dari Negara pantai, meskipun demikian lintasan melalui wilayah perairan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan bagian ini, ruang lingkup berlakunya ketentuan-ketentuan ini dikecualikan bagi : (1). (2). Selatselat yang termasuk dalam kategori Pasal 38 ayat 1; dan Selat-selat yang termasuk dalam kategori Pasal 45 ayat 1(b).

Adalah kurang tepat untuk memberlakukan lintas transit bagi selat yang termasuk ke dalam kategori pasal 38 ayat 1, yaitu bahwa pada selat yang : .Formed by an island of a State bordering the strait and its mainland, transit passage shall not apply if there exist seaward of the island a route through an exclusive economic zone of similar convenience with respect to navigantional and hydrographical characteristics. Terlebih-lebih karena pada arah laut tersedia rute yang sama fungsinya dilihat dari segi navigasi dan hidrografis. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksudkan dengan convenience disini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis. Jadi apabila tidak tepat apabila ada Negara pemakai selat yang mengkehendaki diberlakukannya lintas transit karena alasanalasan militer, strategis maupun ekonomis. Bagi selat demikian, maupun bagi selat dengan kategori kedua, yaitu yang terletak diatara laut lepas atau zona ekonomi ekslusif denga laut territorial suatu negara, berlaku hak lintas damai. b. Arti dan maksudnya Pasal 38 ayat 2 memberi pengertian tentang lintas transit sebagai pelaksanaan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bagian ini,

110

semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin, pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang menghubungkan dua wilayah laut sebagaimana yang digambarkan dalam pasal 37. Persyaratan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi kapalkapal atau pesawat udara asing yang mempunyai maksud untuk memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat tersebut, dan harus mematuhi ketentuan-ketentuan untuk memasuki negara tersebut. Dengan demikian lintas transit hanya berlaku untuk : (1). (2). Lintasan melalui selat tanpa berhenti dari kedua arah; Lintasan melalui sebagaian dari selat untuk memasuki atau meninggakkan Negara pantai; dan (3). Lintasan dari Negara pantai melalui sebagian dari selat menuju ke laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit, faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan bagian dari lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Oleh karena itu untuk dapat dianggap sebagai lintas transit, suaut lintasan harus dimulai dan/atau berakhir pada satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pada selat demikian hanya berlaku rejim lintas transit saja, karena masih dimungkinkan juga berlakunya rejim lintas damai selama lintasan tersebut bukan merupakan salah satu dari ketiga bentuk lintasan tersebut diatas. Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada perbedaan pengaturan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu. Disamping itu, pasal 38 ayat 1 menjamin lintas perbedaan berdasarkan jenis ataupun kategori. Dengan demikian lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu.

111

c. Hak dan kewajiban Negara Pantai Sesuai dengan ketentuan padal 44, konvensi membebani negara pantai yang berbatasan dengan selat (Negara tepi selat) suautu kewajiban untuk tidak menghambat lintas transit. Disamping itu negara pantai juga harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran maupun penerbangan yang diketahuinya. Karena hak lintas transit ini merupakan pelaksanaan dari kebebasan pelayaran, negara pantai tidak diperkenankan untuk menangguhkan

pelaksanaannya. Ketentuanketentuan pokok tentang hak negara pantai untuk menetapkan peraturan perundang-undangan tentang lintas transit tercantum dalam pasal 42, yang terbatas hanya pada halhal sebagai berikut : (1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas dilaut

sebagaimana ditentukan oleh pasal 41; (2). Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang

pembuangan minyak, limbah berminyak dan bahan beracun lainnya di selat; (3). Bagi kepala penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan; (4). Meneaikkan keatas kapal atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata uang atau orang, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dari Negara tepi selat tentang bea cukai, fiskal imigrasi atau seniter. Di samping pembatasan-pembatasan tersebut diatas, Negara pantai juga dikenakan persyaratan untuk tidak melakukan diskriminasi secara formal maupun nyata diatara kapalkapal asing, yang dalam pelaksanaannya akan member akbit praktis sebagai penolakan, penghambatan atau pengurangan pelaksanaan hak lintas transit. Wewenang lain yang diberikan kepada Negara pantai adalah untuk menetapkan alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dengan persyaratanpersyaratan sebagai berikut :

112

(1).

Harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum;

(2).

Setiap penentuan atau pergantian alur laut dan skema pemisah lalulintas harus berdasarkan penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang dan disepakati bersama dengannya;

(3).

Harus mencantumkannya secara jelas pada peta yang diumumkan sebagai mestinya.

Khususnya mengenai tindakan-tindakan pencegahan pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, yang meskipun tidak termasuk ke dalam seksi 2 dari bagian III ini, adalah ketentuan Pasal 233. Pasal ini merupakan hasil usaha dari Malaysia yang didukung oleh Indonesia da Singapura, yang disampaikan pada sidang keenam Konperensi sebelum dikeluarkannya naskah ICNT pada tahun 1977. Pasala 233 ini pada pokoknya memberikan wewenang pada negara pantai yang berbatasan dengan selat yang digunakana utntuk pelayaran internasional, untuk memaksakana penataan oleh kapal-kapal asing terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai mengenai keselamatan pelayaran dan pencegahan serta pengawasan pencemaran yang dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat 1 (a) dan (b). Usul ini diaujukan oleh Malaysia mengingat pentingnya pengaturan seperti itu bagi Selat Malaka Singapura, terutama setelah ketiga negara tepi selat tersebut berhasil mencapai persetujuan bersama untuk mengatur lalu-lintas pelayaran pada wilyah tersebut, antara lain dengan menetapkan UKC (Under Keel Clearance) setinggi 3,5 meter bagi kapalkapal yang akan melintasi selat tersebut. Pada sidang Konperensi Hukum Laut III yang ke 11 tahun 1982, ketiga negara menegaskan lagi pentingnya hal tersebut yang kemudian juga

mendapatkan dukungan dari beberapa Negara maritim. Sesuai dengan ketentuan pasal 236, ketentuan pasal 233 tersebut tidak berlaku bagi kapal perang. Pasal 236 memberikan jaminan hak kekebalan (imunitas) bagi kapal-kapal perang dan kapal-kapal lainnya serta pesawat udara pemenrintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non komersial, dan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

113

Pasal 236 ini disusun dengan beberapa alasan. Adalah tidak tepat untuk menerapkan peraturan-peraturan internasional, kepada kapal-kapal perayng yang mempunyai konfigurasi dan misi tertentu. Selain dari itu dikhawatirkan bahwa apabila ketentuan tersebut diterapkan kepada kapal-kapal perang, akan mengakibatkan dampak timbulnya wewenang Negara pantai untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini sudah barang tentu merupakan suatu hal yang tidak dikehendaki untuk terjadi pada kapal-kapal perang. Disamping itu kapal-kapal perang juga dianggap bukan merupakan jenis kapal yang dapat membahayakan lingkungan laut. d. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan Kewajiban kapal-kapal dan pesawat udara pada waktu melaksanakan lintas transit diatur oleh Pasal 39 dan 40 Pasal 39 ,menguraikan secara rinci rangkaian kewajiban yang harus dipenuhi tersebut, sebagai berikut : (a). (b). proceed without delay through or over the sraits; refrain from any thereat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of states bordering the strait, or in any other manner in violation of the principles of international of law embodied in the charter of the united Nations; (c). refrain from any activities other than those incident to their normal modes of continous and expeditious transit unless rendered necessary by force majeure or by distress; (d). comply with other relevant provisions of this part.

Ketentuanketentuan tersebut di atas adalah ketentuan-ketentuan yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara. Pokok utama dari kewajiban tersebut adalah bahwa dalam melakukan lintasan harus berjalan tampa terhambat (delay), misalnya saja berlayar mondar mandir tidak diperkenankan. Pokok kedua menetapkan kewajiban bagi kapal-kapal dan pesawat udara untuk mengihindarkan diri dari penggunaan ancaman kekerasan atau kekerasan dalam bentuk apapun dalam bentuk kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik dari negara pada tepi selat. Disamping itu juga tidak

114

diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas hukum internasional sebagaiman yang tercantum dalam piagam PBB. Pokok yang ketiga dari pengaturan ini menunjuk kepada kewajiban kepalkapal dan pesawat udara selama transit, untuk memusatkan kegiatan, hanya kepada cara yang normal untuk melakukan lintasan yang langsung, terusmenerus, dan secepat mungkin, dan secepat mungkin. Keadaan force mejure atau apabila sedang dalam kesulitan. Sedangkan pokok yang terakhir menunjuk kepada kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan lain dari bagian ini. Pasal 39 juga menetapkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi kapal, yaitu untuk : (a). Comply with generally accepted international regulations, procedures and practices for safety at sea, including the intenational regulation for preventing collisions at sea; (b). comply with generally accepted international regulations, procedures and practices for the prevention, reduction and control of pollution form ships, Sedangkan bagi pesawat udara, kewajiban-kewajiban khusus itu berupa: (a) observes the rules of air established by the international civil aviation organization as they apply to civil aircraft; state aircraft will normally comply with such safety measures and will at all time operate with due regard for the safety of navigation; (b) at all times monitor the radio frequency assigned by the competent intenationally designet air traffic control authority or the apporiete international distress radio frequency. Kewajiban-kewajiban khusus baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara tersebut diatas menunjuk kepada ketentuan-ketentuan atau standard yang telah diterima secara international bagi keselamatan pelayaran maupun

penerbagangan. Pasal 40 mengatur tentang kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian ilmiah atau survey hidrografis, yang tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian tanpa mendapat izin terlebih dahuludari Negara pantai. Berbeda dengan ketentuan Pasal 19 tentang kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan suatu lintasan menjadi tidak damai, padal 39 dan 40 ini tidak

115

menetapkan jenis atau bentuk kegiatan yang akan menyebabkan suatu lintasan tidak merupakan lintasan transit. Masalahanya kemudian adalah apakah suatu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal 39 dan 40 tersebut diatas dapat menyebabkan suatu lintasan menjadi bukan lintas transit, atau apakah Negara pantai dapat melakukan tindakan-tindakan pencegahan? Kalau lintas damai memakai sebagi ukuruan adalah kegiatan kapal sewaktu melakukan lintasan , pengertian lintas transit menurut konvensi adalah pelaksanaan dari kebebasan pelayaran yang langsung, terus menerus dan secepat mungkin. Pasal 39 tidak memberikan penjabaran seperti pasal 19, karena ke dalam pengertiannya tercakup kebebasan pelayaran dan penerbangan, meskipun dikaitkan dengan suatu tujuan khusus untuk transit secara terus menerus dan langsung tersebut, apabila kapal yang sedang melakukan lintasan bermaksud untuk memasuki, atau meninggalkan, atau kembali kewilayah Negara tepi selat. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan 40 tersebut diatas, dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 2, dan lintasan nya tetap akan dianggap sebagai lintas transit. Apabila hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan hak lintas damai. Akan tetapi apakah keadaan demikian tidak menutup kemungkinan bagi Negara pantai untuk bertindak? Tolak ukur yang dapat dipakai oleh negara pantai untuk menentukan apakah suatu lintasan tersebut dapat dianggap seabagai suatu lintas transit adalah : apakah lintasan tersebut dapat dianggap sebagai suatu lintasan terus menerus dan langsung, yang digambarkan pada pasal 39 ayat 1 sebagai lewat dengan cepat (proceed without delay). Lintasan oleh sebuah kapal yang tidak cepat dan terputus-putus dapat dianggap sebagai tidak continous, jadi bukan merupakan lintas transit. Dalam keadaan demikian, apakah Negara pantai dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalanginya? Kalau dihubungkan dengan ketentuan pasal 44, Negara pantai tidak mempunyai hak untuk menghalangi lintas transit yang dilakukan oleh kapal asing. Sebaliknya, pasal 25 ayat 1 justru secara pasti memberikan wewenang kepada Negara pantai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah lintas yang tidak damai. Karena ketentuan serupa tidak ada dalam

116

pelaksanaan hak lintas transit, negara pantai tampaknya tidak mempunyai wewenang apapun untuk mencegah lintasan yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 38 tersebut di atas. e. Masalah Kapal Selam Suatu hal yang menarik dalam pengaturan tentang lintas transit ini adalah tidak adanya keharusan bagi kapal selam layar untuk berlayar dipermukaan air.hal ini jelas berbeda dengan ketentuan pasal 20 tentang lintas damai uang pelaksanaannya juga berlaku bagi lintas damai melalui selat. Kewajiban seperti itu tidak ada dalam bagian 2 ini. Masalah ini menimbulkan suautu perdebatan akademis yang cukup menarik diatanra pada ahli hukum laut, masing-masing dengan interpretasinya sendiri. Ada dua cara penafsiran yang dilakukan para ahli tersebut. Di satu pihak ada yang berpendapat bahawa dalam pelaksanaan lintas transit sifat lintasan tersebut adalah lintasan bebas, maka bagi kapal selam tidak ada keharusan untuk berlayar dipermukaan air. Disamping itu diberikan alasana lain bahwa salah satu kewajiban kapal selam adalah untuk ..refrain from any activities other than those incident to their normal modes of continous and expeditious transit. Mengenai hal ini menarik untuk kita ikuti perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh Jhon Norton MOORE dan Michael REISMAN, kedua-duanya dari Amerika Serikat Resiman mengajukan suatu masalah seperti berikut : Do the word normal modes of continous and expedettious transit in article 39 (1) (c) amount to a non suspandable license to traverse straits submerged? In order to reach this result normal mode must be construed as non contextual non normative, and permanently vessel specific. But in the text and in general, this interpretation is forced and unreal. Modeles of transit of different vessels is, in part, a factual question, but it also has normative and contextual, including the legal environtment. Keragu-raguan REISMAN tersebut dijawab oleh MOORE dengan

mengemukakan cara lain untuk melakukan penafsiran, yang dalam perjalanan Konperensi Hukum Laut III mengambil bentuk baru yang sangat berlainan dengan Konperensi Hukum Laut Jenewa 1985. Dikemukakan oleh MOORE bahwa : Taken alone as a textual issue without benefit of a textual setting or the negotiating context, this provision, in the normal mode would seem an

117

unsatisfactory basis on which to rely for a right of submerged transit, the most important textual bases for such a right, however, are not rooted in this provision, which only an incidental indication of its exsistence. Oleh karena itu dalam penafsiran demikian, MOORE mengajukan agar recourse may be had to the negotiating context, which I believe makes abundantly clear that this pharase includes submerged transit. Di lain pihak seorang sarjana lain KL KOH menganalisa masalah ini secara berbeda. Menurut pendapatnya yang menjadi pokok masalah dalam hal lintas oleh kapal sealam adalah kenayataan dalam pengaturan lintas damai ada keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air kedalam ketentuan-ketentuan bagi lintas damai; dan kemudian mengeluarkannya, atau tapatnya tidak mencantumkannya dalam ketentuan-ketentuan tentang lintas transit. Lebih lanjut menurut KOH The argument of inclusion and exelsio cannot ipso facto suffice to lend the interpretation that submerged passage was clearly contemplated by the drafters. Oleh karena itu perlu diperhatikan konteks dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal lain. Seperti juga halnya MOORE dan REISMAN, KOH pun memakai ketentuan Pasal 39 ayat 1 (c) dan pasal 87 untuk memperkuat kesimpulannya bahwa konfensi hukum laut 1982 tidak mengenal adanya kewajiban bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air pada waktu melaksanakan hak lintas transit, akan tetapi Koh juga tidak menyangkal suatu kemungkinan bahwa pada wilayah perairan tertentu, walaupun tidak ada keharusan untuk itu, demi keselamatan pelayaran kapal selam akan terpaksa berlayar dipermukaan air. Argumentasi tentang ada atau tidaknya keharusan untuk berlayar dipermukaan air ini dapat juga dilihat dari sudut lain. Pasal 39 ayat 1(b) mewajibkan kapal untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang menimbulkan ancaman atau menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun dalam Negara pantai. Alasan demikian dapat dipakai oleh Negara pantai untuk berargumentasi bahwa dalam memantau apakah pada waktu melaksanakan lintasannya suatu kapal selam tidak menimbulkan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap Negara pantai, tidak mungkin dilakukan apabila kapal selam tersebut berlayar dibawah permukaan air. Dengan menggunakan alasan ini, mungkin dapat ditarik

118

kesimpulan bahwa ada keahrusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air. Akan tetapi, seperti kemukakan oleh MORE, pasa 39 ayat 1 ini merupakan ketentuan yang berisi kewajiban bagi kapal-kapal selama melakukan lintas transit. Selanjutnya menurut MORE, ketentuan tersebut tidak dengan begitu saja menimbulkan hak bagi Negara pantai untuk meminta agar kapal selam berlayar diatas permukaan air, agar memudahkannya untuk memantau lintasan oleh kapal selam tersebut.

f. Kesimpulan Pada akhirnya dapat disimpulkan disini bahwa pokok-pokok utama pengaturan tentang hak lintas transit bagi kapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah sebagai berikut : (1) tidak terdapat persyatatan persyaratan dalam bentuk kegiatan-kegiatan tertentu bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan; (2). (3). (4). Tidak ada keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air; Hak lintas penerbangan bagi pesawat-pesawat udara diakui; Berdasarkan imunits kapal perang, ketentuan-ketentuan tentang

pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal-kapal perang; (5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memeberitahukan terlebih dahulu; (6). (7). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas transit; Negara pantai tidak berhak untuk menghalangi atau mencegah lintasan yang dilakukan oleh kapal-kapal asing; (8). Negara bendera kapal atau tempat terdaftarnya suatu pesawat udara, bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh pelaksanaan lintas transit pada Negara pantai; (9). Kapal perang diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai hak lintas transit. 3. HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN Konsepsi perairan kepualuan (archipelagic waters) merupakan konsepsi baru yang dimuat dalam konvensi hukum laut 1982. Sebelumnya wilayah-wilayah

119

perairan dimana Negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak untuk melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Konvensi hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan dari suatu Negara kepulauan (archipelagic baselines) yang ditarik pada ketentuan pasal 47, dan disebut perairan kepualaun ini kapal-kapal asing selain mempunyai hak untuk melakukan lintas damai juga berhak untuk melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passages).

a. arti dan maksudnya Jika dibandingkan dengan ketentuan tentang hak lintas damai yang memeberikan batasan dalam bentuk larangan untuk melakukan kegiatankegiatan tertentu, dan ketentuan tentang hak lintas transit yang memberikan wewenang terbatas kepada Negara pantai untuk menaturnya; maka Pasal 53 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan pengertian bagi hak lintas alur laut kepualauan, seabgai berikut : Archipelagic sealens pessage means the exescise in accordance with this Convention of the rights of navigations and overflight in the normal mode solely for the purpose of continous, expeditious and unobstructed transit between one part of the high seas or an exlusive economic zone and another part of the high seas or an exlusive economic zone. Jadi pokok utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepualauan adalah bahwa lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran juga mencakup lintas penerbagan, yang dilakukan dalam cara normal. Kedua, pasal ini menyebutkan adanya keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu lintasan yang terus menerus, langsung, secepat mungkin dan tidak terhalang. Pokok ketiganya menetapkan bahwa lintasan tersebut harus dilakaukan antara satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Kalau diperhatikan pengertian ini lebih mendekati pengertian yang diberikan oleh Konvensi terhadap hak lintas Transit. Perbedaannya tampak pada pembebanan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan kedua macam lintasan bagi kapal asing tersebut.

120

Dalam pelaksanaan hak lintas transit, kapal-kapal asing dibebani persyaratan transit yang terus menerus dan langsung. Dilain pihak ketentuan tentang hak lintas alur laut kepulauan ini meletakkan beban persyaratan baik kepada kapal-kapal yang melakukan lintasan maupun kepada Negara kepaulauan itu sendiri. Kapal-kapal diwajibkan melakukan lintasan-lintasan yang mempunyai tujuan yang serupa dengan hak lintas transit, yaitu terus menerus dan langsung untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan haknya tersebut, Negara kepulauan dibebani kewajiban untuk menjamin bahwa lintasan tersebut tidak terhalang. Disini terlihat bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan tentang hak lintas bagi kapal-kapal yang dirumuskan kedalam Konvensi Hukum laut 1982 ini merupakan suatu usaha kompromi. Ironisnya, disatu pihak Negara pantai, dalam hal ini Negara kepulauan, diwajibkan untuk tidak menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan kerena ini merupakan bagian dari pelayaran internasional, dan merupakan kepentiangan bersama masyarakat internasional. Dilain pihak pasal pasal 49 ayat 4 memeberikan jaminan bahwa hak lintas alur laut kepualauan ini tidak akan mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan Negara kepualauan untuk mencegah pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan merupakan hal yang membawa akibat bagi kedaulatan Negara kepualauan itu sediri? Perbedaan lain yang tampak adalah pada pengertian tentang lintasan. Disatu pihak, hak lintas transit diartikan sebagai pelaksananaan dari kebebasan pelayaran, sedangkan dilain pihak, lintas alur laut kepualauan diartikan sebagai hak pelayaran (berlayar) Kalau kita tinjau sejarah penyusunan Konvensi Hukum Laut 1982 sama dengan proses perumusan hak lintas transit, hak lintas alur laut kepualauan lahir sebagai suatu kompromi (trade off) antara Negara sedang berkembang dengan Negara-negara maritim. Masalah lintas melalui selat uang digunakan untuk pelayaran internasional dan lintas melalui perairan kepulauan mempunyai latar belakang yang sama. Konsepsi Negara kepulauan (archipelagic state) menurut Hasjim Djalal, serung dituduh bertentangan dengan kepentingan umat manusia. Konsensepsi tersebut dianggap mengambil sebagai besar dar wilayah laut yang tadinya merupakan bagian dari laut lepas. Oleh karena itu perluasan yurisdiksi

121

nasional yang dilakukan oleh Negara sedang berkembang ini dianggap telah menggerogotiprinsip kebebasan dilautan (freedom of the seas). Argumentasi yang muncul kemudian dari negara-negara maritim adalah bahwa konsepsi Negara kepulauan ini akan menganggu (kelancaran) pelayaran internasional. Kekhawatiran ini terletak pada masasalah status hukum dari perairan yang sekarang tertutup oleh garis pangkal, yang dinamakan perairan kepulauan tersebut. Pada Konvensi Hukum Laut III perundingan tentang Negara kepulauan dimulai dengan munculnya usul dari negara-negara kepulauan agar pada perairan kepualauan tersebut berlaku rejim hak lintas damai bagi kapal-kapal asing seperti pada laut territorial. Usul ini kemudian berkembang menjadi suatu gabungan antara pengaturan dilaut territorial dan perairan pedalaman, dengan pengertian bahwa hak lintas damai akan dijamin pada alur-alur laut yang akan ditetapkan oleh NegarK. Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negaranegara maritim. Pada akhirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan yang bersifat dualistis. Seperti pengaturan pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, hak lintas damai dijamin pada perairan kepualauan, kecuali pada alur-alur khusus dimana berlaku hak lintas laut kepualauan. Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara-negara maritim. Pada lahirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan pada selat yang digunakan untuk pelayaran inernasional, hak lintas damai dijamin pada perairan kepulauan, kecuali pada alur-alur khusus di mana akan berlaku hak lintas alur laut kepualauan. Sudah dapat diduga bahwa negara-negara maritim tetap berusaha untuk mempertahankan hak lintas bebas bagi kapal-kapalnya dalam perkembangannya kemudian, sikap Negara-negara maritim pu berkembang dan bergerak sehingga mencapai pandangan yang hampir mendekati pandangan Negara-negara kepulaauan, yaitu berupa pembentukan suatu rejim yang dualistis juga. Perbedaannya adalah bahwa negara-negara maritim mengusulkan agar rejim lintas yang berlaku pada alur-alur laut khusus tersebut bukannya hak lintas alur

122

laut kepualauan melainkan hak lintas bebas. Pada akhirnya hasil yang dicapai tidak jauh bebeda dengan perundingan tentang rejim pelayaran melaui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu melainkan ketentuan-ketentuan tentang hak lintas damai Pasal 52 dan hak lintas alur laut kepulauan pasal 53 b. Hak dan kewajiban Negara kepulauan Seperti halnya dalam pengaturan tentang hal lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan Pasal 44 tentang kewajiban negara pantai berlaku juga bagi Negara kepualauan menurut ketentuan ini Negara Kepualauan mempunyai tiga kewajiban pokok, yaitu : (1). (2). Tidak menghambat pelaksanaan lintas alur laut kepulaan ; Harus mengumumkan secara tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran maupun penerbangan yang diketahuinya; dan (3). Tidak diperkenankan untuk melakukan penangguhan pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 itu pula Negara kepulaan dapat menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan oleh kapal-kapal maupun pesawat udara asing. Wewenang Negara pantai ini terbatas hanya pada : (a). the safety of navigation and regulation of maritim traffic, as provided in article 41; (b). the prevention, reduction and control of pollution, by giving the effect to applicable international regulations regarding the discharge of oil, oily wates and other noxious substance in the strait; (c) with respect to fishing vessels, the prevention of fishing, including the stowage of fishing gear; (d) the loading and unloading of any commodity, currency or person in contravention of the customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations of States bordering straits. Ketentuan di atas membatasi wewenang Negara kepulauan hanya pada pengaturan empat masalah utama, yaitu pelayaran, pencegahan dan

pengendalian pencemaran, pencegahan penangkapan ikan, serta beacukai, imigrasi dan saniter. Dalam menetapkan peraturan perundang-undangan ini,

123

Negara kepulauan tidak diperkenankan untuk bersikap diskriminatif dengan membeda-bedakan pengaturan dari kapal-kapal dan pesawat udara asing antara satu dengan yang lainnya, apabila dengan prakteknya hal tersebut akan mengakibatkan dengan yang lainnya, apabila dalam prakteknya hal tersebut akan mengakibatkan penolakan, penghambatan, atau pengurangan terhadap

pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan. Seperti juga dalam pelaksanaan hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, Negara kepualauan diberi wewenang untuk menetapkan alur-alur laut dan rute penerbangan demukian harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : (1). Harus melalui perairan kepualauab dan laut territorial yang berbatasan dengannya; (2). Merupakan rute-rute lintasan yang biasa digunakan untuk pelayaran dan penerbangan internasional; (3). Mencakup semua alur navigasi yang biasa digunakan oleh kapalkapal, sepanjang tidak mengakibatkan duplikasi bagi alur keluar dan masuk untuk satu arah yang sama; (4). Ditetapkan melalui suatu rangkaian garis poros (garis sumbu) yang bersambungan dan membentang mulai dari titik-titik keluar rute lintasan tersebut. Disamping itu Negara Kepulauan juga diberi wewenang untuk menetapkan skema pemisah lalu-lintas bagi keselamatan lintasan oleh kapal-kapal asing pada bagian-bagian yang sempit dari alur-alur tersebut. Apabila diperlukan Negara Keperluan dapat mengubah atau mengganti alur-alur laut maupun skema pemisah lalulintas yang telah ditetapkannya. Perubahan atau pergantian tersebut harus terlebih dahulu diumumkan sebagaimana mestinya. Dalam penetapan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut, Negara kepulauan harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti dibawah ini: (1). Harus sesuai dengan aturan internasional yang diterima secara umum; (2). Setiap penetapan atau penggantian tersebut harus berdasarkan kepada penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang dan disepakati bersama dengan Negara Kepulauan;

124

(3).

Harus mencantumkan secara jelas sumbu dari alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas yang telah ditetapkannya tersebut pada peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya.

Ketentuanketentuan tersebut di atas dibatasi lagi dengan satu ketentuan khusus dimana apabila Negara kepulauan tidak penetapkan alur-alur laut atau rute penerbangan bagi pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan ini, maka pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan melalui rute-rute yang biasa digunakan untuk pelayaran maupun penerbangan internasional. c. Hak dan kewajiban kapal yang melakukan lintasan Sesuai dengan ketentuan pasal 54, hak dan kewajiban bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan juga tunduk pada pengaturan yang sama seperti dalam pelaksanaan hak lintas transit. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa semua kapal dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepualauan melaului alur-alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawatpesawat militer. Mengenai hal ini, ketentuan yang dapat dipakai adalah ketentuanketetuan dari padal 39 dan 40. Dengan sendirinya setiap referensi terhadap selat harus diubah menjadi perairan tersebut. Pasal 39 memberikan perincian tentang rangkaian kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan pesawat udara, yang dibedakan antara : (1). Kewajiban-kewajiban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara; (2). (3). Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal dan Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara. Pada waktu melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, setiap kapal maupun pesawat udara diwajibkan untuk: (1). (2). Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat : Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara keterbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apa pun yang melanggar

125

asas-asas

hukum

internasional

seperti

tercantum

dalam

Piagam

Perserikatan Bangsa-bangsa; (3). Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain dari transit secara terusmenerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal, kecuali karena force majeure atau karena kesulitan; (4). Memenuhi ketentuan lain dari Bagian ini yang relevan.

Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu : (1). Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur praktek tentang keselamatan dilaut termasuk Peraturan

Internasional tentang pencegahan Tubrukan dilaut; (2). Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian

pencemaran yang berasal dari kapal. Bagi pesawat udara dikenakan ketentuan yang berbeda yaitu pada waktu melakukan hak lintas penerbangan di atas perairan kepulauan, diharuskan untuk : (1). Menaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Internasional (internasional Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi tindakan keselematan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya; (2). Setiap waktu memantau frekuensi radio yang ditunjuk oleh Otorita Pengawas Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat

internasional yang tepat. Pokok-pokok utama dari pengaturan yang dapat dirinci oleh ketentuanketentuan tersebut diatas dapat digambarkan dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi baik oleh kapal-kapal maupun pesawat udara, yaitu untuk: (1). (2). Melakukan lintasan yang cepat; Mencegah timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap Negara kepulaun;

126

(3).

Tidak melakukan tindakan tindakan yang bertentangan dengan asas-asas umum hukum internasional seperti yang tercantum dalam Piagam Perserikatan bangsa-bangsa;

(4).

Memusatkan kegiatan selama melakukan lintasan hanya kepada maksud untuk melakukan lintasan yang langsung, terus menerus dan secepat mungkin; dan

(5).

Mematuhi peraturan maupun standar internasional yang telah diterima secara umum tentang keselamatan pelayaran atau penerbangan serta tentang pencegahan pencemaran. Bagi kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian ilmiah dan survey

hidrografis,

untuk

dapat

melaksanakan

kegiatan-kegiatan

penelitian

dan

surveinya, Pasal 40 mensyaratkan adanya izin terlebih dahulu dari Negara kepulauan. Kewajibankewajiban lain yang harus dipatuhi oleh kapal-kapal maupun pesawat udara adalah bahwa dalam melaksanakan haknya ini kapal-kapal dan pesawat udara tersebut hanya dapat berlayar pada alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan oleh Negara Kepulauan. Selama melakukan lintasan tidak diperkenankan untuk menyimpang lebih dari 25 mil laut ke arah dua sisi dari garis sumbu alur-alur tadi. Disamping itu kapal-kapal tidak diperkenankan untuk berlayar mendekati pantai pada jarak kurang dari 10% dari jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur-alur laut tersebut. d. Masalah Kapal Selam Seperti telah diuraikan pada bagian tentang hak lintas transit, kewajibankewajiban yang dibebankan kepada kapal dan pesawat udara asing ini tidak secara otomatis melahirkan hak-hak bagi Negara kepulauan. Dengan demikian pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 39 dan 40 ini tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 53 ayat 3. Seperti juga halnya dengan hak lintas transit, hak Negara Kepulauan untuk mengatur pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan

kepulauannya terbatas hanya kepada hal-hal yang tercantum dalam pasal 42 ayat 1.

127

Dibandingkan dengan ketentuan pasal 21 yang memberikan wewenang yang luas kepada negara pantai dalam mengatur pelaksanaan hak lintas damai, wewenang Negara pantai untuk mengatur hak lintas transit dengan wewenang Negara kepualauan untuk mengatur hak lintas damai, Negara pantai dapat mencegah suatu lintasan dengan berpedoman kepada serangkaian kegiatan kegiatan yang tidak dianggap damai seperti yang tercantum pada pasal 19 ayat 2. Dengan demikian setiap pelanggaran terhadap ketentuan pasal 53 ayat 3, tidak dapat dipakai sebagai alasan oleh Negara-negara kepualauan untuk mencegah suatu lintasan melalui alur-alur laut pada perairan kepulauannya. Disamping itu Negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan karena lintas tersebut harus unobstructed. Jadi pada hakekatnya hak lintas alur laut kepulauan, meskipun mempunyai pengertian berbeda, tidak ada bedanya dengan hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Dilain pihak, jika dibandingkan dengan hak lintas transit, dalam

penerapannya hak lintas alur laut kepulauan dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Tampaknya para ahli hukum lautpun mempunyai pendapat yang beraneka ragam, meskipun tidak dapat tidak dapat dikatakana bertentangan sama sekali. Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang diberikan oleh konvensi meskipun tidak dapat dikatan bertentangan sama sekali. Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang diberikan oleh Konvensi seperti tercantum dalam pasal 53 ayat 3 tersebut diatas. Dalam pelaksanaannya hak lintas alur laut kepulauan tunduk pada pengaturan yang sama dengan hak lintas transit, terutama mengenai hak dan kewajiban bagi kapal, pesawat udara maupun bagi Negara kepulauan itu sendiri. Meskipun demikian, kalau dihubungkan dengan pengertian tersebut diatas, dapat melahrikan tafsiran yang berbeda-beda, terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan hak kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air. Perbedaan yang dapat segera dilihat adalah bahwa Konvensi memberikan pengertian untuk hak lintas transit sebagai pelaksanaan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan. Sedangkan hak lintas alur laut kepualauan diartikan sebagai pelaksanaan dari hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal.

128

Memang ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa perbedaan ini tidak akan menimbulkan pelaksanaan yang berbeda dalam praktek, karena pada dasarnya rejim yang dimaksudkan adalah unimpeded passage. Akan tetapi apabila dilihat perbedaan wilayah perairan yang sempit sedangkan yang satunya lagi cukup luas, pelaksanaannya dalam praktek tentu akan menimbulkan perbedaan. Jhon Norton MOORE misalnya, mengemukakan argumentasi yang berbeda dengan menyatakan bahwa pada garis besarnya kedua konsepsi tentang hak lintas itu adalah sama, termasuk juga hak untuk melakukan lintas penerbagan, dan hak bagi kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air. MOORE menyimpulkan bahwa naskah ICNT yang telah disetujui pada waktu itu merupakan suatu pencerminan dari apa yang telah terjadi dalam perundingan tentang Negara kepualauan tersebut. Ketentuan ketentuan tentang Negara kepulauan sepertu yang tercantum dalam ICNT menunjukkan bahwa Konperensi Hukum Laut III tidak akan begitu saja menerima konsepsi mid-ocean archipelago yang kemudian melahirkan konsepsi Negara kepulauan, tanpa adanya jaminan hak istimewa bagi kapal selam. Seorang penulis lain, morris F.MADURO, memberikan penafsiran yang berbeda dan menganggap bahwa kalau disatu pihak hak lintas transit mengandung pengertian yang mencakup pelayaran (lintasan) dibawah permukaan air, hak lintas alur laut kepulauan yang menggunakan istilah in the normal mode, dapat diinterpretasikan sebagai hanya memperkenankan lintasan diatas

permukaan air. Terlebih lebih dengan adanya hak Negara kepulauan untuk menetapkan pengaturan tentang keselamtan pelayaran. Akan tetapi tampaknya akan lebih banyak penulis yang berpendapat bahwa hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak lintas transit, oleh karena hak lintas transit mengadung unsur kebebasan pelayaran, dan dengan demikian meluangkan hak kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air, maka hal yang samapun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi oleh penulis-penulis yang menggaris bawahi istilah in the normal mode dan menyimpulkannya bahwa kapal selam secara normal berlayar dibawah permukaan air.

129

e. Kesimpulan Oleh karena adanya persamaan pengaturan dalam pelaksanaan kedua hak lintas tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya mengandung pokok pengaturan yang berbeda, sehingga hak lintas alur lau kepulauan tidak selalu identik dengan hak lintas transit, seperti tampak dalam pokok-pokok pengaturan tentang hak lintas alur laut kepulauan dibawah ini: (1). (2). Tidak ada persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu; Tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengharuskan kapal selam untuk berlayar dipermukaan air; (3). (4). Hak lintas penerbangan bagi pesawat udara diakui; Kapal-kapal perang mempunyai imunitas terhadap ketentuan-ketentuan konvensi tentang pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut; (5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memberitahukan terlebih dahulu; (6). (7). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas alur laut kepualaun; Negara pantai tidak mempunyai hak untuk mencegah atau menghalangi lintasan oleh kapal-kapal asing; (8). Negara bendera kapal atau Negara tempat pesawat undara terdaftar bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan; (9). Kapal-kapal diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara kepulauan tentang hak lintas alur laut kepualauan. (10). Hak lintas alur laut kepulauan hanya dapat dilaksanakan pada laur-alur laut yang ditetapkan oleh Negara kepulauan untuk itu. Setiap penyimpangan (deviasi) dari garis sumbu pada alur-alur laut tersebut dikenakan persyaratan-persyaratan teknis.

c. Penutup evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas pembelajaran ke 6 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan seperti : 1. Apa perbedaan antara ke tiga lintas pelayaran yang berlaku di Indonesia 2. Apa saja persyaratan untuk melakukan lintas akan laut kepulauan?

130

3. Selat mana saja di Indonesia yang dapat dilayari dengan lintas transit 4. Apa latar belakang munculnya lintas transit?

Daftar Bacaan Etty. R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982, Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin 1991. Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, Bandung: Bina cipta, 1986.

131

BAB 8 BAHAN PEMBELAJARAN 7

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9 bahwa mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum keselamatan pelayaran (safety of navigation). Sasaran pembelajaran demi aktual hendak dicapai dengan menggunakan afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan

diskusi kelas serta studi kasus (case study). Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai keselamatan pelayaran, ketetapan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian Pelayaran merupakan salah satu penggunaan laut yang paling tua dan tetap menjadi salah satu unsure yang penting. Kebutuhan akan pengaturan dibidang pelayaran meliputi aspek kelayakan kapal untuk berlayar; standard penempakan awak; sarana bantuan pelayaran; dan pencegahan tubrukan dan trayek kapal. Kelayakan Kapal Standar kelayakan merupakan aspek, yang pasti karena fakta bahwa laut dan angin (bahaya laut) dapat mengerahkan pasukan tak terpikirkan. Tapi, secara umum dipahami sebagai suatu keterampilan kekuatan, daya tahan dan teknik merupakan bagian dari konstruksi kapal dan pemeliharaan melanjutkan, bersama dengan awak kapal yang kompeten, yang memiliki kemampuan untuk berdiri bahaya unsur-unsur yang dapat cukup ditemui atau diharapkan selama pelayaran tanpa kehilangan atau kerusakan pada kargo

132

tertentu dari sebuah kapal. Sebuah kapal yang laik laut tidak berarti bahwa kapal tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk tidak tenggelam.23 Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dikedepankan mengenai suatu kapal yaitu kelayakan kapal tersebut untuk berlayar. Beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan kelayakan dimaksud, seperti: a. keselamatan kapal; b. pencegahan pencemaran dari kapal; c. pengawakan kapal; d. garis muat kapal dan pemuatan; e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang; f. status hukum kapal; g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan h. manajemen keamanan kapal. Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud di atas harus dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.24 Telah dibentuk International safety management (ISM Code) dalam kaitannya dengan pengoperasian kapal yang telah menyebabkan keraguan dan kecemasan di antara pemilik kapal, operator dan manajer. Dalam konteks ini, efek hukum ISM Code dan tindakan yang diperlukan pemilik kapal lokal untuk mematuhi Kode Etik. ISM Code dimaksudkan untuk memastikan keselamatan di laut, mencegah cedera manusia atau hilangnya nyawa, dan menghindari kerusakan lingkungan, khususnya lingkungan laut, dan properti. Kode ini telah ditambahkan sebagai Bab IX dari Konvensi Internasional untuk Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) 1974, dan memiliki akibat hukum di tanah, sebagai Negara Pihak pada Konvensi. Kode ini ditujukan untuk mewujudkan
23 R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press, 1999), p. 255-256. 24 Sertifikat kapal tidak berlaku apabila: a. masa berlaku sudah berakhir; b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement); c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; d. kapal berubah nama; e. kapal berganti bendera; f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal; g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal; h. kapal tenggelam atau hilang; atau i. kapal ditutuh (scrapping).

133

suatu standar internasional untuk pengelolaan yang aman dan pengoperasian kapal dan untuk pencegahan polusi. Setiap pemilik kapal atau organisasi yang telah mengambil tanggung jawab atas pengoperasian kapal dari pemilik kapal diperlukan untuk menetapkan aturan untuk pencegahan keselamatan dan polusi dan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) oleh:

Mendirikan praktek yang aman dalam operasi kapal dan menyediakan lingkungan kerja yang aman;

Membangun perlindungan terhadap semua risiko yang teridentifikasi, dan

Terus meningkatkan keterampilan manajemen keselamatan personil darat

dan kapal kapal, termasuk kesiapan untuk keadaan darurat baik tentang perlindungan keselamatan dan lingkungan. Secara garis besarnya, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kelayakan kapal untuk berlayar, International Maritime Organization (IMO), Desember 2002, telah menerapkan International Ships and Port Facility Security (ISPS) Code atau Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. ISPS inilah yang menjadi rambu dalam mengatur tentang keselamatan kapal. Disamping beberapa prasyarat yang harus terpenuhi sebagaimana disebutkan di atas, hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam praktek adalah nasionalitas kapal. Nasionalitas kapal memainkan peranan yang vital dalam pelayaran karena menyoal tentang jurisdiksi negara mana yang berlaku atas kapal tersebut, termasuk didalamnya negara mana yang bertanggung jawab atas kapal apabila terjadi kasus dimana tindakan yang dilakukan di atau oleh kapal tersebut merupakan atribusi negara, dan perlindungan diplomatic atas nama kapal dimaksud.25 Negara biasanya dan menjamin nasionalitas kapal kapal tersebut dengan dengan cara cara

mendaftarkannya

mengotorisasi

mengibarkan bendera di atas kapal (bendera kapal). Dalam hal ini, negara pendaftar atau bendera kapal memiliki kesamaan bagi negara dimana nasionalitas kapal berlaku, termasuk apakah hukum internasional atau aturan lainnya berlaku untuk keadaan di mana suatu negara menjamin nasionalitas kapal dimaksud. Pasal 5 Konvensi mengenai Laut Lepas 1958 menyebutkan
25

R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).

134

bahwa harus terdapat hubungan yang murni antara negara dankapal; khususnya suatu negara harus secara efektif memberlakukan jurisdiksinya dan mengkontrol administrasi, teknik, dan persoalan-persoalan lain atas kapal dimana bendera dikibarkan. Crew Kapal Salah satu komponen pelayaran yang sangat berarti penting yaitu awak kapal. Para kru harus menjadi awak yang efisien dan kompeten. Kondisi ini menjadi salah satu faktor prinsip dalam menentukan kelayakan kapal. Hal itu terlihat dalam kasus Hong Kong Shipping Co Ltd Fir v. Kawasaki Kisen Kaisha Ltd. Dalam kasus ini terlihat bahwa mesin diesel kapal bersama dengan mesin lain dalam rangka cukup baik. Namun karena alasan usia mereka, mesin harus dipertahankan oleh staf, berpengalaman kompeten, mesin-mati dan memadai kamar. Bahkan staf ruang mesin tidak kompeten, dengan mesin kepala kecanduan minuman keras, sehingga kapal dinyatakan layak Menurut Konvensi ILO No. 147 tahun 1976 tentang Standar Minimum Awak Kapal disebutkan bahwa setiap negara naggota Konvensi harus menjamin bahwa awak kapal yang dipekerjakan atas kapal yang terdaftar dalam wilayahnya memiliki kualifikasi atau keahlian atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.26 Hal yang sama juga disebutkan pada Pasal 94 ayat 4 Konvensi Hukum Laut yang menyebutkan bahwa negara bendera harus menjamin bahwa setiap kapalnya memiliki nahkoda dan awak kapal yang berkualitas (appropriate qualifications). Dalam ranah yang dimaksud, telah dibuat suatu Konvensi yang membidangi standar pelatihan yang disebut dengan Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (the STCW Convention). STCW Convention meletakkan syaratsyarat wajib minimum yang mesti dipunyai oleh nahkoda dan awak kapal dalam melaksanakan dan mengawasi pelayaran. Sarana Bantu Pelayaran

26

R. R. Churchill & A.V. Lowe, op.cit, p. 269.

135

Keselamatan pelayaran juga menyoal persoalan bantuan navigasi seperti: a. material; b. konstruksi; c. bangunan; d. permesinan dan perlistrikan; e. stabilitas; f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio; dan g. elektronika kapal. Sarana bantuan navigasi sebagaimana disebutkan diatur dalam Konvensi SOLAS yang mengatur negara-negara anggota untuk mengatur pemeliharaan dan pengadaan bantuan-bantuan navigasi, termasuk

didalamnya menyediakan informasi yang berhubungan dengan bantuan navigasi yang dibutuhkan. Hal tersebut juga disebutkan dalam Konvensi Hukum Laut dan Laut Teritorial dimana negara pantai memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang cukup atas bahaya yang dihadapi dalam pelayaran. Secara detail dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2) dari Konvensi Hukum Laut dan Laut Teritorial.

Pencegahan Tubrukan dan Trayek Kapal Dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas untuk mencegah terjadinya tabrakan di laut. Aturan hukum internasional yang membidangi masalah dimaksud yaitu the Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea of 1972. Konvensi ini pada prinsipnya mengatur bahwa suatu kapal berkewajiban untuk menghindari tabrakan dengan kapal lainnya, khususnya ketika jarak pandang di laut sangat buruk sehingga diperlukan standar yang berlaku umum dalam konteks pengadaan suara dan tanda lampu.

C. Penutup

136

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran ketujuh dilakukan dalam bentuk makalah dengan merumuskan beberapa judul/topik, seperti: 1. Sebutkan beberapa contoh kasus terkait dengan keselamatan pelayaran? 2. Jelaskan arti penting nasionalitas kapal?

Daftar Bacaan R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester University Press, 1999. R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).

137

BAB 9 BAHAN PEMBELAJARAN 8


A. Sasaran Pembelajaran Ujian tengah Semester B. Uraian: Pelaksanaan ujian tengah semester dilaksanakan dengan memberikan tugas berupa makalah individu yang dipilih dari materi hukum laut yang telah dipelajari. Adapaun criteria penilaian berupa Isi Makalah; Organisasi makalah; Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; dan Ketepatan waktu. C. Penutup Kriteria evaluasi adalah makalah individu.

138

BAB 10 BAHAN PEMBELAJARAN 9

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9 bahwa mahasiswa dapat menjelaskan keselamatan atau keamanan kapal maupun pelabuhan (international ship and port facilities security code). Sasaran pembelajaran demi actual hendak dicapai dengan menggunakan

afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas serta studi kasus (case study). Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai standar keamanan kapal dan pelabuhan, ketetapan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi peserta didik.

B.

Uraian Pasca serangan bom di WTC New York pada tanggal 11 september

2001, Negara maju terutama Amerika Serikat gencar melaksanakan kampanye untuk memerangi tindakan teroris dan segala aspeknya. Hal ini pun dilakukan dibidang maritime. Kejahatan lintas Negara yang memiliki delapan kategori, lima diantaranya terjadi dan dilaksanakan melalui laut seperti peredaran perompakan, obat terlarang, penyelundupan/ senjata dan perdagangan Obat manusia, terlarang,

penyeludupan

terorisme.

penyelundupan/perdagangan manusia, perompakan, penyelundupan senjata dan terorisme. International Maritime Organization (IMO), Desember 2002, telah menerapkan International Ships and Port Facility Security ( ISPS ) Code atau Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Peraturan baru ini bertujuan mendeteksi ancaman keamanan, sekaligus mencegah insiden kemanan dilaut dan pelabuhan.

139

Ketentuan Internasional tersebut telah disepakati oleh 62 negara anggota IMO, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah meratifikasinya dan Kementerian Perhubungan selaku administrator harus mengumumkan

pelaksanaan ISPS Code secara Nasional. Juklaknya sendiri telah dikeluarkan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 tahun 2003 tanggal 14 Agustus 2003 tentang pemberlakukan Amandemen SOLAS 1974 tentang Pengamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port Facility Security/ ISPS Code) di wilayah Indonesia.

Mengenai ISPS Code Menurut IMO (International Maritime Organization), perusahaan

pelayaran mempunyai kewajiban untuk menyiapkan sertifikat keamanan dari badan khusus yang ditunjuk pemerintah. Perusahaan pelayaran juga harus segera menetapkan p[ejabat yang bertanggung jwabsoal keamanan di perusahaan (Company Security Officer/CSO) lalu membuat rencana

pengamanan kapal (Ship Security Assement/SSA), dan selanjutnya menunjuk seorang perwira yang bertanggung jawab atas kemanan di atas kapal ( Ship Security Officer/SSo ). Kapal, harus mendapat sertifikat kemanan internasional ( Internasional Ship Security Certificate/ISSC) dari IMO.selain itu, kapal juga harus dilengkapi dengan sistem identifikasi otomatis (Automatic Identification System/AIS), dan sistem sinyal pengamanan (Ship Security Alert System/SSAS). AIS

merupakan peralatan modern di kapal yang harganya sangat mahal. Alat ini dalam keadaan bahaya tertentuakan terhubung dengan sentral stasiun

pemancar yang ada di pelabuhan internasional, sehingga aparat kemanan segera datang member bentuan. Sedangkan bagi pelabuhan, harus mempunyai sistem pengaman yang bagus, disertai dengan perencanaan dan petugas keamanan yang handal. Pelabuhanpelabuhan yang dipersiapkan adalah Tanjung Priok, Jambi, Teluk Bayur, Palembang, Pontianak, Cirebon Banten, JICT, Tanjung Perak, dan PT. Terminal Peti Kemas Surabaya. Secara ringkas, persiapan untuk ISPS Code adalah sebagai berikut : Bagi perusahaan pelyaran, harus melakukan :

140

1. Company Security Officer ( CSO ) 2. Ship Security Assement ( SSA ) 3. Ship Security Plan ( SSP ) 4. Training. Kelengkapan kapal : 1. International Ship Security ( ISSC ). 2. Automatic Identification System ( AIS ). 3. Ship Security Alert System ( SSAS ) . 4. Declaration of Security ( DOS ). Persiapan Pelabuhan : 1. Port Facility Security Assessement ( PPSA ). 2. Port Facility Security Officer( PFCO ). 3. Port Facility Security Plan ( PFSP ). 4. Operational and Physical Security Measures. 5. Training. 6. Declaration of Security.

Konsekuensi Pelaksanaan ISPS Code bagi Pemerintah Koneskuensi dar pelaksanaan peraturan ini cukup besar bagi pemerintah harus menambah anggaran biaya negara dalam mempersiapkan

pelabuhan/terminal dan kapal memberikan pelayanan dalam perdagangan internasional dan mempersiapkan peralatan minimum sebagaimana

dipersyaratkan dalam ISPS Code 2002, untuk pemeriksaan orang, barang dan muatan/ Kontainer. Mengenai lingkup dan tanggung jawab dari penerapan ISPS Code, pemerintah harus menetapkan Designated Authority dan menunjuk Recognized Security Organization (RSo), menetapkan Security Level, Port State Control Additional Control Measures, Port Facility Security Assesment, Apporoval Ship Security Plant, Communication of Information, Verfication and Certification for Ship, InternationalShip Security Certificate dan Statement of Compliance of port Facility.

141

Adalah tugas berat bagi Pemerintah dengan berbagai kewenangan sektoral yang ada untuk melakukan pembenahan berkenaan dengan pemberlakukan peraturan ini. Denganterus dilakukannya upaya upaya pembenahan, diharapkan di masa mendatang, pengelolaan keamanan di pelabuhan dapat menumbuhkan kondisi pelabuhan yang lebuh kondusif dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Tujuan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code Menyusun kerangka kerja sama internasional menyangkut kerja sama antara Contracting government, government agencies, local administration, dan shipping serta port industries untuk mendeteksi adanya ancaman keamanan dan mengambil tindakan tindakan preventif terhadap insiden yang melibatkan kapal atau fasilitas pelbuhan yang digunakan dalam international trade. Membentuk peran dan tanggung jawab antara Contracting government, government agencies, local administration dan shipping serta port industries pada tingkat nasional dan internasional untuk menjamin keamanan maritim. Menciptakan sistem pengumpulan data dan informasi yang cepat danefisien serta pertukaran informasi berkaitan dengan kemanan. Menyiapkan metode untuk melakukan penyelidikan awal tentang kemanan agar dapat disusun rencana dan prosedur yang tepat unutk menanggulangi setiap perubahan situasi kemanan. Untuk memastikan bahwa tindakan tindakan maritime security yang diambil sudah tepat dan proporsional.

Sanksi Bila pelabuhanpelabuhan Indonesia ( dan kapalkapal berbendera Indonesia ) tidak menerapkan ISPS Code, maka sanksi internasional yang akan dijatuhkan sangat berat, yakni pelabuhan tersebut tidak akan disinggahi kapal dari luar negeri dan kapalkapal ( berbendera Indonesia ) tidak akan diperkenankan masuk pelabuhan diluar negeri.

142

Penerapan ISPS Code di Pelabuhan Tanjun Priok Berkenaan dengan implementasi ISPS Code dimaksud, Manajemen PT (Persero) pelabuhan Indonesia II, telah menunjuk PT. Berau Veritas Indonesia sebagai Recognized Security Organization (RSO) untuk melakukan Assement terhadap Pengamanan fasilitas Pelbuhan (PSFA) dan membuat Rancangan Pengamanan Fasilitas Pelabuhan PFSP) untuk diserahkan dan disetujui oleh

Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai Designated Authoruty (DA ). Dari aspek kesisteman manajemen, CabangTanjung Priok sedang melakukan Inventarisasi pendataan dan penataan ulang terhadap seluruh kapal kapal domestic ( dalam negeri ) dan ocean going ( International ). Berdasarkan hasil Assement Pengamanan Fasilitas Pelbuhan, Pelabuhan Tanjung Priok di bagi menjadi 7 wilayah pengamanan yang terdiri atas terminal Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, PT. JICT, PT TPK Koja, PT. Pertamina Unit Pemsaran III, PT. Indofod Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, PT. DOK dan Perkapalan Kodja dan PT. Dharma Karya Perdana. Hasil Assessment Pengamanan Fasilitas Pelbuhan ( PFSA ) di Terminal Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, pada tahap awal dititikberatkan di area Pelbuhan Nusantara, Pelabuhan I, Pelabuhan II dan gedung PT ( persero ) Pelbuhan Indonesia II yang kemudian akan diperluas ke area Lini II dengan sistem dan prosedur pengamanan yang sama dengan area Lini I. Ketentuan yang diatur di dalam Rancangan Pengamanan Fasilitas Pelabuhan (PFSP) antara lain memuat sistem dan prosedur pengamanan yang meliputi prosedur pengamanan masuk Lini II, prosedur masuk Lini I, Prosedur pengiriman kebutuhan barang kapal, prosedur pengawasan keamanan fasilitas pelabuhan dan prosedur masuk gedung PT. ( Persero ) Pelabuhan Indonesia II. Untuk penerapan Rancangan Pengaman Fasilitas Pelabuhan ( PFSP ) dimaksud, manajemen Tanjung Priok telah melakukan pembenahan pospos dan pagar area ( dilakukan pemagaran area dengan ketinggian minimal 2,5 meter, sesuai persyaratan dalam ISPS Code ) yang panjangnya 3 km lebih ( catatan sementara pagar yang ada saat ini ketinggiannya baru sekitar 2 meter ) Lini I maupun Lini II, pemberian rambu warna merah ( sebagai tanda restricted area ) dipagar area Lini I, pemasangan tanda peringatanarea terbatas diseluruh pintu masuk area Lini I, pengadaan pass orang (berupa pass tamu sebanyak 500 buah),

143

perlengkapan pengamanan (berupa metal detector, handheld search mirror, ropmi petugas pengamanan), serta alat komunikasi (handly talky, mega phone dan transmitter radio VHF). Sesuai persyaratan ISPS Code, kondisi pengaman di Pelabuhan Tanjung Priok terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan keamanan yakni Level I keadaan normal, Level II ada ancaman keamanan dan Level III kondisi keamanan menjadi kewenangan DA (pemerintah).

Prosedur Akses Masuk Prosedur akses masuk ke fasilitas pelbuhan di derah Lini I mengatur tentang lalu lintas barang, kendaraan dan orang. Petugas pengamanan akan memriksa berang, kendaraan, dan orang yang memasuki wilayah kerja pelabuhan sesuai dengan tingkatan keamanan, sehingga lalu lintas barang, kendaraan, dan orang akan dapt teridentifikasi dengan jelas terkendali. Bagi orang yang memasuki area LiniI ( restricted area ) harus memilki pass pelabuhan yang masih berlaku, sedangkan tidak memiliki pass pelabuhan, yang bersangkutan akan di catat jati dirinya (nama, alamat, nomor identitas (KTP/SIM/Passport)), nama perusahaan, tujuan kunjungan, waktu masuk dan keluarnya serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan pass tamu ( pass visitor ). Untuk kendaraan truk yang masuk, harus dilengkapi dengan dokumen pendukung barang, anatara lain : surat jalan, delivery order dan SP2/PEB/PE identitas pengemudi dan pembantu pengemudi. Bagi para pengemudi dan pembantu pengemudi yang tidak dilengkapi dengan pss pelabuhan akan di catat jati dirinya (nama, nomor identitas(KTP/SIM)), nomor kendaraan, tujuan serta waktu tiba dan keluar serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan pass tamu (pass visitor). Disamping pengawasan dan pengamanan, di area Lini I juga dilakukan patrol rutin kemananan baik daerah area daratan (sisi darat) dan perairan (sisi laut), serta fasilitas penting (vital) yang berada di area pelabuhan tanjung Priok dan unsure keamanan terkait di pelabuhan. Guna menunjang kelancaran penerapan ISPS Code , manajemen Pelbuhan Tanjung Priok telah menyiapkan

144

saluran hotline service sementara di nomor 4301080 ext 2020 atau fax 439222 untuk melayani apabila terjadi kendala/hambatan atas pelaksanaan ISPS Code ini.

Alat Bantu Pengamanan Disamping pengawasan keamanan yang dilaksanakan secara rutin oleh petugas keamanan pelabuhan, manajemen juga menyiapkan peralatan bantu pengawasan berupa CCTV (Circuit Close Television) dan VTIS (Vessel Traffic Informatio ). CCTV digunakan untuk memonitor kegiatan bongkar muat dermaga, gudang dan lapangan penumpukan sedangkan VTIS di gunakan untuk memonitor lalu lintas kapal diperairan pelabuhan. Penempatan 26 unit CCTV (bantuan dari Jepang) tersebut rencananya akan dipasang di pos pos pintu masuk ( pos 1,3,8 dan 9 ) 5 pos pintu masuk pos LIni I sepanjang dermaga kolam Pelbuhan I, II, dan III serta Dermaga 009 dan lapangan penumpukan. Kamerakamera ini dilengkapi dengan infra merah yang mempunyai kemampuan memonitor diwaktu malam. CCTV tersebut memiliki keunggulan dari pada monitor biasa yang telah ada antara lain, pergerakan atau manuvernya bisa berputar hingga 340 derajat. Selain itu, juga dilengkapi dengan sinar Infra red. Sehingga tetap dapat

memonitor dalam suasana gelap sekalipun. (catatan: saat ini, fasilitas monitor yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Priok baru 9 unit, dengan kemampuan putar hanya 180 derajat ). ISPS Code diberlakukan secara penuh pada 1 juli 2004 terhadap kapal penumpang termasuk kapal berkecepatan tinggi (highspeed craft) yang melakukan pelayaran internasional. Begitu juga terhadap kapal barang diatas GT 500 yang melakukan pelayaran internasional, mobile offshore drilling unit, fasilitas pelabuhan pelabuhan yang melayani kapal kapal yang melakukan pelyaran internasional.

Peranan Pelabuhan Secara Ekonomis Peranan pelabuhan tidak saja sebagai terminal point kegiatan perdagangan tetapi telah meningkat dan berfungsi sebagai sentrasentra produksi, area pelayanan transportasi dan sentra kegiatan ekonomi. Pelabuhan ( menurut Undang undang No. 21 tahun 1992 joPeraturan PemrintahNo. 69 tahun 2001

145

tentang kepelabuhanan) adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan sekitarnya, dengan batasbatas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegaiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naiuk turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatn pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra danantar moda transportasi. Dari uraian di atas, dapatlah disimpulakan (meskipun sementara) bahwa merupakan suatu pekerjaan yang besar untuk dapat mewujudkan diterapkannya ISPS Code (dipelabuhan), terutama di bidang dana (yang sangat tidak sedikit) untuk membeli saranasarana dan peralatan yang canggih, belum lagi harus menyiapkan petugaspetugas pengamanan yang terlatih. Sebagai informasi honorarium FSO/ Konsultan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya adalah Rp. 1 M. meskipun Tanjung Priok yang menjadi pelabuhan terdepan di Negara ini, namun masih mempunyai banyak sekali kelemahan kelemahan yang harus ditiadakan bila mematuhi ketentuan internasional mengenai ISPS Code.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas meteri pembelajaran ke 9 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhiri perkuliahan yang dikumas dalam beberapa pertanyaan seperti : 1. Mengapa ISPS Code dibutuhkan padahal menyangkut

keselamatan,bagi kapal dagang dan penumpang di seluruh dunia telah diatas dalam Internasional Safety af Live at Sea ( SOLAS ) 1974? 2. Apa sanksi bila pelabuhan Indonesia dan kapal kapal berbendara Indonesia tidak menerapkan ISPS Code ? 3. Apa konsekuensi pelaksanaan ISPS code bagi pemerintah ? Daftar Bacaan Chandra Motik yusuf Djemaah, ISPS Code Diterapkan Di Pelabuhan Perikanan Samudra Jakarta, Mungkinkah? Jurnal Hukum

Internasional, vol 2 No. 3 April 2005. SOLAS Convention 1974 Kompas 22 Juni 2004, Halaman 15.

146

BAB 11 BAHAN PEMBELAJARAN 10

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian: Perlindungan dan pelestarian lingkungan diatur dalam pasal 145 UNCLOS 1982.27 Ketentuan ini memuat peraturan-peraturan pelestarian lingkungan laut dan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Konvensi ini menyebutkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (pasal 192), disamping hak negara-negara tersebut untuk mengeksplosit kekayaan alam mereka (pasal 193). Negara-negara berkewajiban untuk mengambil segala tindakan guna mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan laut {Pasal 194 (ayat 1)} dan harus mengambil segala tindakan yang perlu agar perbuatan-perbuatan yang dilakukan di bawah yurisdiksinya tidak

menimbulkan polusi terhadap negara lain atau terhadap daerah di luar yurisdiksinya {Pasal 194 (ayat 2)}. Negara-negara harus berkewajiban secara global atau regional untuk merumuskan aturan-aturan, standar dan praktek yang direkomendasikan untuk melindungi lingkungan laut (Pasal 197). Negara-negara harus
27

D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), p.

419-455.

147

mengembangkan contingency plans untuk mengatasi bahaya polusi (Pasal 199) dan harus berkerjasama untuk mengembangkan penyelidikan laut untuk dapat menilai hakikat yang sebenarnya dan polusi (Pasal 200).28 Setiap negara berkewajiban untuk membuat UU/aturan-aturan untuk mencegah, mengurangi dan mengawasi polusi lingkungan laut dan sumbersumber yang berasal dan darat (Pasal 207 {ayat 1}), dan usaha-usaha kegiatan-kegiatan di dasar laut di bawah yurisdiksinya (Pasal 208 {ayat 1}), dan kapal-kapal atau instalasi-instalasinya yang beroperasi di dasar laut internasional (Pasal 209), serta kejahatan dumping (Pasal 210), atau polusi yang berasal dan kapal yang berlayar di bawah benderanya (Pasal 211). Negara-negara juga dapat membuat aturan-aturan anti-polusi terhadap kapal-kapal yang berlayar di laut wilayah atau ZEE-nya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 211. Aturan-aturan juga perlu dibuat untuk menanggulangi polusi yang berasal dan atmosphere (Pasal 212). Negaranegara juga berkewajiban agar kapal-kapal mematuhi ketentuan-ketentuan antipolusi internasional dan aturan-aturan yang telah dibuatnya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut ini. Beberapa gambaran apabila lingkungan yang tidak dijaga dan atau dilestarikan, misalnya:

Banjir

Floods

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 13-27.

28

148

Melambatnya Aliran Teluk Slow down of the Gulf Stream

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

Ketentuan-ketentuan pelestarian lingkungan laut yang telah dirumuskan dalam KHL 1982 kemudian harus ditindaklanjuti dalam konteks pemeliharaan dan atau konservasi laut dengan cara merumuskan kawasan konservasi laut. Konservasi sumberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dan kerusakan akibat aktivitas manusia. Kawasan konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga sering disebut pula sebagai kawasan lindung. Kawasan konservasi laut mempunyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam di wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung lebih baru ditetapkan dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan, dan

mengelolanya. Hal ini karena banyaknya cabang ilmu atau departemen yang terkait dalam pengelolaanya, dan itu harus dilakukan secara terpadu. Mengenai keterkaitan disiplin ilmu dan konsep keterpaduan pengelolaan tersebut dapat dilihat dan definisi kawasan konservasi laut. Definisi kawasan konservasi laut pernah dikembangkan pada acara the 4th World Wilderness

149

Congress dan diadopsi oleh IUCN pada 1 7th general Assembly pada tahun 1988, yaitu sebagai berikut: Suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya,flora,fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya,dan telah dilindungi oleh hukum atau peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya diatur melalui zona-zona, yang telah ditetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti

penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik. Kegiatan penangkap ikan dan biota laut tersebut termasuk pula penangkapan yang berlebih, yaitu upaya penangkapan ikan yang melebihi stok alami ikan. Berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990, kawasan konservasi terdiri atas: (i) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawah (hutan lindung, bergambut, resapan air); (ii) kawasan per-lindungan setempat (sempadan pantai, sungai, sekitar danau atau waduk, mata air); dan (iii) kawasan suaka alam dan cagar budaya (suaka alam, hutan bakau, taman nasional, cagar budaya dan ilmu pengetahuan). Berkaitan dengan kawasan konservasi, ada beberapa istilah yang selama digunakan untuk menamakan kawasan konservasi laut, di antaranya adalah reserve, sanctuaries, park, dan lainnya. Namun yang jelas kesemua nama atau istilah tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu penyelamatan ekosistem sumberdaya laut. Menurut IUCN ada beberapa tujuan kawasan konservasi atau konservasi laut, yaitu:29 1. Melindungi dan mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan

mempertahankan keanekaragaman genetik; 2. Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan species langka, terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka;

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007, hlm. 203-205.. Lihat juga Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment, (Oxford: Clarendon, 1995), p. 490.

29

150

3. Melindungi dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan siklus hidup spesis ekonomis penting; 4. Mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan

konservasi laut; 5. Memberikan kesejahteraan yang terus menerus kepada masyarakat dengan menciptakan kawasan konservasi laut; menyelamatkan,

melindungi, dan mengelola daerah-daerah mulut sungai dan estuaria yang mempunyai nilai sejarah dan budaya, serta nilai-nilai estetika alam, untuk generasi sekarang dan masa yang akan datang; 6. Mempermudah dalam menginterpretasikan sistem laut dan estuaria untuk tujuan konservasi, pendidikan, dan pariwisata; 7. Menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria; 8. Menyediakan sarana untuk penelitian dan pelatihan, dan untuk pemantauan pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, termasuk pengaruh langsung dan tidak langsung daripada pembangunan dan pemanfaatan lahan di daratan. Apabila disimak dengan cermat, maka terlihat bahwa tujuan konservasi laut itu sangat beranekaragam. Untuk mengklarifikasi tujuan konservasi yang beraneka ragam tersebut, maka IUCN melalui Commission on National Parks and Protected Areas, kemudian menyusun suatu daftar pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan peruntukannya, yang pada akhirnya mencerminkan ciri atau tipe dan kawasan konservasi tersebut, yaitu: I. Kawasan Cagar Alam, untuk tujuan perlindungan yang ketat (strict protection). II. Taman Nasional, untuk tujuan konservasi ekosistem dan rekreasi. III. Monumen Alam, untuk tujuan konservasi keistimewaan alam. IV. Kawasan Pengelolaan Habitat/Species, untuk tujuan konservasi melalui pengelolaan yang aktif. V. Perlindungan Bentang Alam atau Bentang Laut, untuk tujuan konsetvasi beritang lahan/bentang laut dan rekreasi.

151

VI. Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam yang Terkelola, untuk tujuan pengelolaan ekosistem alam dengan pemanfaatan yang cocok. Keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi laut terhadap penyelamatan keanekaragaman hayati laut sangat menentukan kelangsungan pengembangan kawasan konservasi laut pada masa-masa mendatang, sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan atau ekosistem.30 Bank Dunia melalui the Global Environmental Facility menyediakan dana penelitian untuk mengetahui sejauh mana peran MPA (Kawasan Konservasi Laut) dalam konservasi keanekaragaman hayati laut secara global. Apabila program MPA cukup efektif dalam penyelamatan keanekaragaman hayati laut, maka jumlah MPA tersebut akan dikembangkan pada masa mendatang, namun sebaliknya mungkin program mi akan ditutup bila MPA gagal dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati laut di sekitarnya. Karenanya untuk pendirian suatu MPA diperlukan rencana matang, mulai dan pemilihan lokasi, peraturan perundangan yang berlaku, peran serta masyarakat, rencana pengelolaan lebih lanjut, dan manfaat dan MPA tersebut, terutama ditinjau dan aspek ekonomisnya. Di Indonesia, sampai saat ini ada sekitar 37 kawasan konservasi laut yang telah beroperasi. Menurut statusnya kawasan konservasi laut tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu (a) Suaka Alam Laut dan (b) Pelestarian Alam Laut. Suaka alam laut terdiri atas Cagar Alam (10 lokasi) dan Suaka Margasatwa (4 lokasi). Sedangkan Pelestarian Alam Laut terdiri atas Taman Nasional Laut (7 lokasi), Taman Hutan Raya/Taman Wisata Alam Pantai (9 lokasi) dan Taman Wisata Alam Laut (7 lokasi). Kawasan konservasi tersebut tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, dengan total area

5.805.753,85 ha. Jumlah ini direncanakan akan dikembangkan sampai 30 juta ha. Saat ini ada 14 kawasan konservasi laut lainnya yang sedang dikaji kelayakannya. Untuk penyelamatan kawasan konservasi, khususnya

ekosistem terumbu karang, telah dilakukan pengelolaan melalui program CORMAP (Coral Reef Management Program) dengan bantuan dana dan luar, antara lain World Bank, Asian Development Bank. Program tersebut
30

Ibid, hlm. 208-210.

152

rencananya dikerjakan selama 15 tahun, yang dilakukan di 10 propinsi, yaitu Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Untuk tiga tahun pertama, ujicoba pengelolaan dikembangkan di kawasan konservasi,

Kepulauan Taka Bone Rate (Propinsi Sulawesi Selatan) dan Kepulauan Padaido (Propinsi Irian Jaya). Aktivitas CORMAP di kedua lokasi tersebut, baru dalam taraf mencari alternatif kemungkinan upaya penanggulangan perusakan terumbu karang. Hasil dan studi mi diharapkan dapat

dikembangkan di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, khususnya di kedelapan lokasi atau kawasan wilayah studi CORMAP.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran kesepuluh dilakukan dalam bentuk makalah dengan menganalisis beberapa kasus seperti: 1. Kasus Showa Maru, 1975. 2. Kasus tumpahan minyak di perairan Natuna, 2000.

Daftar Bacaan Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007. D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, London: Sweet & Maxwell, 1998. Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Bandung: Alumni, 1982. Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment, Oxford: Clarendon, 1995.

153

BAB 12 BAHAN PEMBELAJARAN 11


A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran laut. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian: 1. Pengertian dan Sumber Pencemaran Laut Sebelum menjelaskan tentang pengertian pencemaran secara detail, hal menarik yang penting untuk diuraikan terlebih dahulu yaitu istilah pencemaran pertama kali digunakan dalam studi literatur Indonesia yakni pada seminar Biologi II di Ciawi Bogor pada tahun 1970,31 yang merupakan terjemahan atas istilah asing pollution. Secara resmi, istilah pencemaran ini digunakan dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.32 Pencemaran memiliki banyak dimensi yang melingkupinya.

Pencemaran tidak hanya diartikan dalam arti yang sempit, akan tetapi ia memiliki makna yang luas. Secara garis besar pencemaran dalam konteks hukum lingkungan dapat dibedakan atas pencemaran lingkungan;

pencemaran daratan, pencemaran air; pencemaran laut; pencemaran

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 30 32 Ibid.

31

154

udara; dan pencemaran angkasa. Dalam konteks ini yang menjadi fokus pembelajaran disini yaitu pencemaran laut. Menurut Komar Kantaatmadja33, pencemaran laut adalah masuknya ke laut zat zat pencemaran dari lautan sendiri dan yang dibawa dan berasal dari darat. Dalam hal ini, pencemaran laut yang bersumber dari pencemaran laut sendiri dapat berasal dari dari:34 a. Kapal berupa pembuangan minyak yang merupakan pembuangan rutin; berasal dari pembersihan tangki kapal; kebocoran kapal; kecelakaan kapal yang berakibat kapal menjadi pecah, kapal menjadi kandas, dan atau tabarakan kapal. b. Instalasi minyak di lautan yang mungkin mengalami kebocoran atau rusak. Adapun pencemaran laut yang berasal dari darat dapat berupa: a. Pencemaran melalui udara; b. Pembuangan sampah ke laut (dumping); c. Pembuangan air buangan sungai; dan d. Pembuangan air buangan industri. Pemahaman mengenai efek yang ditimbulkan dari pencemaran laut sangatlah penting untuk diketahui oleh seluruh stakeholders. Stakeholders pada dasarnya merupakan subyek pencemaran laut yang dalam hal ini sebagai pelaku pencemaran laut yang secara hukum dapat dikenai dan dimintai pertanggungjawaban dari akibat-akibat pencemaran laut.

Pemahaman tentang pengertian pencemaran laut juga penting untuk diselaraskan. Bukan hanya memahami gambaran sumber-sumber

pencemaran laut sebagaimana telah dijelaskan di atas, tetapi lebih dari itu pelaku pencemaran laut memahami dampak hukum yang timbul akibat aktifitas pencemaran yang dilakukannya.35 Pencemaran laut yang dimaksudkan disini yaitu terjadinya peruban pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya oleh

Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 14. 34 Ibid. lihat juga Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Hukum Internasional Jurisdictionary, Vol. V No. 1 Juni 2009, hlm. 24. 35 Ibid, hlm. 16.

33

155

manusia secara langsung atau tidak langsung bahan-bahan atau energi ke dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian bagi kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar, pemburukan daripada kualitas air laut dan menurunnya kualitas tempat pemukiman dan rekreasi.36 Pengertian di atas tentunya menimbulkan perdebatan panjang

khususnya menyoal tentang pelaku pencemaran laut yang hanya difokuskan pada aktifitas manusia. Padahal faktanya, pencemaran laut dapat saja disebabkan oleh aktifitas alam itu sendiri, misalnya kebocoran alami yang sering terjadi dari lapisan bumi sendiri baik dalam bentuk minyak bumi maupun dalam bentuk mineral-mineral lain yang secara terus menerus mengalir ke lautan (baik bersumber dari daratan maupun dari lautan itu sendiri.37 3. Beberapa kasus yang relevan. Kasus Newmont dan kasus Tumpahan minyak di Kepulauan Natuna diberikan dalam bentuk powerpoint yang diekstraksi dari data yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan power point dari Prof. Daud Silalahi yang menggambarkan bagaimana kedua kasus ini terjadi dan akibat yang timbulkannya.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran kesebelas dilakukan dalam bentuk makalah dengan menganalisis beberapa kasus Newmont dan Kasus tumpahan minyak di perairan Natuna,. Dalam hal ini analisisnya diletakkan pada upaya eksaminasi atas putusan kedua kasus yang telah mendapat memperoleh kekuatan hukum yang tetap (incraht).

Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1977), hlm. 5. 37 Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 18.

36

156

Daftar Bacaan Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Hukum Internasional Jurisdictionary, Vol. V No. 1 Juni 2009 : 24. Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, Bandung: Alumni, 1981. Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, Bandung: Universitas Padjajaran, 1977. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran, Bandung: Bina Cipta, 1986.

157

BAB 13 BAHAN PEMBELAJARAN 12 dan 13

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 12 dan 13 adalah mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karena serta berbagai istilah terkait serta pengaturannya baik pengaturan internasional maupun nasional. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengungkapkan pendapat dan ketepatan dalam menguraikan teori pembelajaran akan dilaksanakan selama 100 menit untuk masing masing pembelajaran dengan media modul bagi masing masing pembelajaran sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian Peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan pengangkatan dan pemanfaatan bendabenda berharga di dasar laut perairan Indonesia. Peraturan perundan undangan yang ada kaitannya dengan penangkatan dan pemanfaatan bendabenda berharga di dasar laut perairan Indonesia yaitu Monument Ordonnantie STb.238 tahun 1931 dengan berbagai implementasinya berupa instruksiinstruksi pimpinanpimpinan kita ketahui bahwa dalam

KEPPRES Nomor 43 tahun 1981 pasal 1 yang dimaksudkan dengan benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan lainnya. Dari pengertian tersebut jelas dapat kita kaitkan dengan apa yang menjadi kriteria dalam pasal 1 ayat (1a ) Monument Ordonnantie Stb. 238 tahun 1931 sebagaiman kami kutip di bawah ini. Onder monument worden in deze ordonnantie verstaan : a. Door menschenhand tot stand gekomen ontroerende of roerrende zaken, deelen of groepen van zaken, dan wel overblif selen daarvan, die in hoofdzaakkourder zijn dan 50 jaar of tot een ten minste 50 jaar oude stijil periode behooren en voor de praehistorie, gescheidenis of kunst van groot belang worden geacht; (terjemahan bebas)

158

Yang dimaksud sebagai monumen dalam ordonnantie ini : a. Bendabenda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok bendabenda dan juga sisa sisanya yang sedikitsedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi presejarah, sejarah atau kesenian. Apa yang dimaksud dengan monumen dalam pengertian MO tersebut di atas biasanya ada persamaan dengan pengertian cultural heritage atau cultural property dalam berbagai International Convention dan Recommendation misalnya dalam Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage tahun 1972, Convention on the means of Probibiting nada Preventing the Illicit Import, Export dan Transfer of Cultural Property, Unesco, 14 Nov.1970 dan lain- lainnya. Sebagai contoh kami kutip pengertian cultural property dari Covention yang disebut belakangan yaitu sebagai berikut : The term cultural property menas property which, on religious or secular ground, is specially designated by each State as being of importance for archaeology, prehistory, history, literature,art or science and wich belongs to the following categories: . Pengertian pengertian seperti monument, cultural property, cultural heritage, peniggalan sejarah dan purbakala, kami mecoba menyebutnya juga Cagar Budaya atau lebih tepatnya Benda Cagar Budaya. Sebutan Benda Cagar Buadaya disesuaikan dengan apa yang dicantumkan pada pasal 14 undang undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuanpokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang antara lain menyatakan bahwa : Ketentuan tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan Undangundang. Jika kita simak apa yang dimaksud benda berharga seperti kemukakan dalam KEPPRES Nomor 43 tahun 1989 tersebut di atas dengan pengetian dari sudut Monumenten Ordonantie Stb. 238 tahun 1931 tau konvensikonvensi internasioanl UNESCO, maka jelaslah bagi kita bahwa hubungan atau kaitannya amat erat, sekali, sekali pun dalam KEPPRES tersebut ada makna yang

dikandung mempunyai nilai ekonomi. Karena sesungguhnya jika bendabenda yang mempunyai nilai penting bagi prasejarah dan kesenian seperti dinyatakan dalam MO, juga dinilai dengan uang jelas akan mempunyai nilai ekonomis yang relative tinggi. Namun jika yang dimaksud berupa bendabenda logam yang tidak mengandung nilai seni sama sekali misalnya emas balokan mungkin benda benda tersebut dapat dianggap hanya mempunyai nilai ekeonomi.

159

Jika bendabenda seperti keramik jumlahnya ribuan dan jenisnya sama apalagi kualitasnya kurang baik mungkin contoh yang disimpan dimuseum beberapa saja, maka sisa yang jumlahnya ribuan tersebut dapat dianggap mempunyai nilai ekonomis bila dijual. Oleh karena itu yang penting dalam masalah ini penilaian seksama apa yang dimaksud dengan nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian. Masalah ini baiklah kita bicarakan kemudian.

Permasalahan Hingga Terbit Kepres Nomor 43 Tahun 1989 Dari sejumlah pasalpasal dan ayatayat dalam Monument Ordonantie memang tidak ada satupun yang secara eksplisit dihubungkan dengan benda benda atau monumen yang dikaitkan dengan masalah underwater Archaeology. Hal itu dimungkinkan bahwa apad tahuntahun tiga puluhan belumlah ada suatu undangundang keterbukaan di hampir seluruh dunia mengkaitkan atau

mencantumkan masalah underwater archaeloyi atau arkeologi bawah air. Berkembangnya underwater archaelogi barubaru saja kirakira tahun 1960 an. Suatu contoh di London baru sejak tahun 1964 dibentuk suatu Committee for Nautical Archaeology yang bertujuan mengkoordinasikan penyelampenyelam dengan ahli ahli purbakala daratan (land Archaeologist). Sejak itu maka ternyata penyelampenyelam mempunyai sumbangan yang penting bagi dunia Arkeologi. Pada waktu itu tidak ada bandingnya badan atau komite tersebut di Inggris, komite tersebut seringkali didengar dengan singkatan CAN. Dibawah spronsor CAN dilaksanakan juga penyelenggaraan pendidikan berupa kursuskursus tentang under water archaeology di School for Nautical Archaeology di Plymouth (SNAP) di bawah pimpinan Lt Cmdr Alam Bax dan Mr. Jim Gill. Kemudian tumbuh berkembang perhatian terhadap underwater archaeology di beberapa Negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Prancis dan lainlainnya. Kelompok yang disebut GRASP yaitu Groupe de Recherche Archaeologique Sous Marine Post Medievale, telah melakukan penelitianpenelitian dan penggalianpenggalian kapalkapal dari abad 16 dan awal abad 19 dengan maksud mendapatkan dokumen sejarah ekspansi bangsa Eropa dilautan, termasuk eksploitasi perdagangan melalui sisasisa kapalkapal yang hilang : penelitian mengenai lambunglambung kapal, alatalat perang,

160

perabotannya, navigasi dan peralatan lainnya, barangbarang yang d ipakai sehari hari dan muatannya. Kegiatan GRASP tersebut sejak tahun 1967 dan dapat bantuan dari perusahaan COMEX di Marseille, dibawah Presiden Direktur Jenderal yaitu Mr. Henry G. Delauze. GRASP telah berhasil mengangkut kapal kapal dagang dan kapal perang seperti Wedela, Danish Asiatic Company

tenggelam di Feltar (Shetland) 1937. Lastdrager, VOC, hilang di Yeil ( Sheland ) 1653, Slotter Hooge. VOC hilang di Porto Santo ( Madeira Archipelogi )1724, Witte Leeuw, VOC, hilang di Pulau St. Helena (South Atlantic Ocean) 1613 dan masih banyak kapal lagi yang tidak perlu disebutkan disini. Sementara tetap kita sebagai bangsa perlu mengembangkan ilmu purbakala bawah air, karena tanah air kita jelas memerlukan untuk diteliti benda benda bersejarah apa dan kapal kapal apa yang tenggelam dilautan kita itu, Ilmu purbakala bahwa air amat perlu bagi mengungkapkan peristiwaperistiwa sejarah: pelayaran, perdagangan dan lain sebagainya yang perlu untuk melengkapi kegelapankegelapan sejarah tersebut. Bahkan sejarah teknologi pembuatan kapalkapal pada masa kerajaankerajaan kita di masa lampau seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Benten, Aceh, Goa dan lainnya akan memberikan bukti tentang kebaharian bangsa kita. Di samping itu pula berbicara tentang peraturan perundangundangan yang ada seperti Monumenten Ordonantie atau undangundang lainnya belum secara khusus mengatur perlindungan bendabenda berharga bawah air. Dari segi MO yang dapat diakibatkan secara tidak langsung ada beberapa pasal misalnya pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pembawaan, pemindahan, pengambilan benda cagar budaya atau monument menurut pengertian MO sedang pasal 9 hanya menyatakan masalah penggalian yang mungkin dikaitkan apabila terjadi penggalian didasar laut. Pasalpasal tersebut biasanya diterapkan bendabenda dar daratan. Demikian pula tentang penemuan bendabenda di dasar lautan biasanya dikaitkan dengan pasalpasal tersebut di atas. Dengan kejadiankejadian pencurian seperti pernah dilakukan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab, maka pemerintah merasa perlu membentuk Panitia Nasional untuk mengurusi masalahmasalah pengangkatan bendabenda berharga di dasar laut perairan Indonesia. Pada tanggal 14 agustus 1989 Presiden Republik Indonesia melalui KEPRES Nomor 43 tahun 1989 menetapkan

161

pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfataan benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam. Beberapa Kepmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan butir 1.2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengenai bendabenda bersejarah yang mempunyai nilai budaya; dan pada butir (1.4) Departemen Perdagangan, mengenai ijin ekspor dan penjualan / pelelangan benda berharga dengan rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Butirbutir tersebut diatas sesuai dengan peraturan perundangundangan yaitu dengan Monumenten Ordonantie St. 238 tahun 1931 pasalpasal 1 ayat (1) a, masalah criteria nilai sejarah dan pasal 6 ayat (1) tentang keharusan ada ijin atau rekomnedasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membawa benda benda cagar buadaya atau monument keluar Indonesia sebagaimana dapat kami kutip di bawah ini : He is verboden zonder vergunning van het hootd van den oud heidkundige dienst uit Nederlandsch- Indie uit to voeren : voor werpe, welke voorlooping of difinitief in het openbaar central monumentenregister zijn geschreven of ingevolve artikel 8 lid (2), geacht worden daarin voorlooping te zijn ingeschreven, zoo mede voorwerpen, dateernde uit den voor Mohammadens chen tijd, ook al zijnzij niet in genoemd register ingeschreven. (Terjemahan bebas) Dilarang mengeksport dari Hindia Belanda (Kini Republik Indonesia) tanpa ijin Kepala Dinas Purbakala (kini direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan sejarah Purbakala) bendabenda yang dicacat sementara atau tetap di dalam daftar monument umum pusat atau yang sesuai dengan pasal 8 ayat (2) dianggap di catat sementara maupun benda benda yang berasal dar jaman sebelum Islam, meskipun tidak tercatat pada daftar tersebut. Mengenai perijinan pembawaan keluar negeri tersbut juga diingatkan oleh SKB Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central Nomor : 27 a/ Kpb/II/1970; Nomor Kep. 62/MK/III/2/1970:Nomor : KEP.3/GBI/1970 tentang pembawaan/ pengiriaman b arang barang keluar daerah pabean secara bebas dari ketentuan ketentuan Devias, terutama penegasan pasal 7. Dalam hubungan ini sudah jelas ada kaitan erat antara Deparatemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan. Dalam hubungan dengan KEPRES No. 34 serta JUKLAK nya maka setiap Departemen dan Instansi masing masing yang mempunyai peraturan

162

perundangundangan yang sudah ada tetap berlaku. Karen itu terkoordinasi maka untuk pelaksanaan JUKLAK Ketua Panitia Nasional, masingmasing Departemen atau Instansi di haruskan membuat keputusan tentang cara pelaksanaan di bidangnya masingmasing tetapi yang jelas harusbersifat koordinatif dan interagtif. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam hubungan ini telah menerbitkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 9834/O/1989 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkatan Bendabenda Berharga khususnya yang berhubungan dengan Benda Cagar Budaya di Wilayah Perairan Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut tentang penelitian Arkeologi bawah air ditegaskan bahwa ijin penelitian arkeologi bawah air ditujukan kepada Panitia nasional tetapi dengan rekomendasi dar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecuali untuk penelitian terhadap benda hasil pengangkatan benda berharga dilakukan oleh suatu Tim Penilaian Benda Cagar Budaya. Hal ini dicantumkan pada surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bab IV, Pasal 4. Dengan demikian di harapakan kepentingan dunia pengetahuan dan sejarah, arkeologi bawah air akan lebih diperhatikan. Dengan terkoordinasikan adanya halhal KEPRES atau No. 43 tahun 1989 agaknya lebih

masalahmasalah

bendabenda

berharga

koordinasikan halhal atau masalahmasalah bendabenda berharga termasuk bendabenda historis atau arkeologis itu. Namun demikian tentu masih ada

beberapa hal yang masih merupakan masalah karena dalam KEPRES No. 43 tersebut terutama bagi dunia arkeologi bawah air dan kaitannya juga dengan peraturan perundang undangan lainnya belum mantap betu. Suatu contoh dalam KEPRES Pasal 1 butir b disebutkan kapal yang tenggelam adalah kapal VOC, Portugis, Spanyol, yang tenggelam, dan kapal lain waktu perang Dunia II tenggelam di dasar laut di Wilayah Perairan Indonesia. Dari alinea itu masih dapat menimbulkan pertanyaan: bagaiman dengan kapalkapal diluar yang disebut, misalnya kapalkapal zaman sriwijaya, Majapahit, Mataram dan lain sebagainya ? bahkan bagaiman dengan kapal Cina dari masa dinasti Tang, Yuang, Ming, Ching dan sebagainya. Bagaimanakah jika kerangka kapalkapal yang ditetapkan tersebut tidak boleh diangkat? Padahal untuk penelitian arkeologi bawah air bentukbentuk kapal diperlukan untuk

163

meneliti sejauh mana teknologi pembuatan perkapalan itu. Jika ditemukan sebuah kapal dan muatannya dari zaman Sailendra atau Sriwijaya maka penting diketahui bagaimana sebenarnya bentuk dan teknik pembuatnnya? Apakah sama dengan apa yang terdapat pada gambaran atau relief kapal di Candi Borobudur ? halhal itu semuanya kita perlukan untuk mengadakan terus menerus penelitian, dan kesempatan adalah pada underwater archeology. Kita sadar bahwa Wawasan Nusantara yang tidak terlepas dari masalah kemaritiman, kelautan memerlukan penerapannya dalam bentuk atau cara antar lain mengadakan penelitian kandungan dasar lautan kita terutama dari segi marine archeology. Kemanfaatan yang besar bukan hanya metrinya tetapi juga dari segi keilmuwan yang dapat menjadi dan membntuk Wawasan Kebaharian yang kuat pada bangsa sesuai apa yang pernah dihimbau oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam ceramahnya Bahan ceramah Menteri Luar negeri: Dalam

Pengimplemantasian Wawasan Nusantara pada rapat Rektor Universitas / Instuti Negri seluruh Indonesia tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta, Beliau berkata dalam kesimpulannya: Bahwa segala unsure bagi diwujudkannya Wawasan Kesatuan Bangsa dan Negara itu kini telah tersedia yakni : (1) Unsur kesatuan wilayah,(2) Unsur Komunikasi,dan (3) Unsur Perencanaan. Yang harus dilakukan kini adalah penjbaran dan pemanfataannya dari pad aide pembinaan bangsa bangsa berdasarkan konsepsi kesatuan di setiap bidang kehidupan Nasional. Apa yang dinyatakan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja 11 tahun yang lalu sampai dimana sudah dimplementasikan oleh kita semuanya? persoalan lain dari segi hokum kelautan khususnya mengenai benda berharga dalam hal ini benda benda bersejarah belum diimplementasikan dalam bentuk perundangundangan. Masalah lainnya ialah bagaiman mengatur benda benda arkeologis yang terdapat diperairan diluar territorial kita, Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, sudah sejauh mana pelaksanannya khususnya mengenai pasal 149 benda benda purbakala dan bersejarah yang berbunyi : semua benda benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk memanfaatkan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak hak yang didahulukan dari negar asal kepurbakalan.

164

Pasal 303, ditemukan di laut :

bendabenda purbakal dan bendabenda bersejarah yang

1. Negara negara berkewajiban untuk melindungi bendabenda purbakala dan bersejarah yang ditemukan dilaut dan harus bekerjasama untuk tujuan ini. 2. Untuk mengendalikan peredaran bendabenda demikian negara pantai dapat, dalam menerapkan pasal 33, menaggap bahwa diambilnya benda benda tersebut dari dasar laut dalam daerah yang dimaksudkan dalam pasal yaitu, tanpa persetujuan Negara pantai bersangkutan merupakan suatu pelanggran dalam wilayah atau laut teritorialnya, terhadap hokum dan peraturan-peraturan perundang- undangan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut. 3. Tiada satupun dalam pasal ini mempengaruhi hak- hak para pemilik yang dapat dikenal, hokum pengangkatan kerangka kendaraan air atau lain -lain peraturan tentang pelayaran atau hukum dan praktek yang berkenaan dengan pertukaran kebudayaan. 4. Pasal ini tidak mengurangi arti daripada perjanjian - perjanjian internasional dan peraturan hukum internasional lainnya perihal perundang - undangan benda - benda purbakala dan benda - benda bersejarah. Kecuali sampai sejauh mana pelaksanaannya maka sampai sejauh man pula akan dikaitkan dengan hukum hukum laut nasional kita. Dari uraian di atas maka semuanya kita dapat mengambil kesimpulan pokok bahwa masalah benda benda berharga, baik pengambilan, penelitian, pemanfataannya terutama hubungannya dengan perkembangan dunia arkeologi bawah air, belumlah mantap secara tercantumkan pada perundangundangan. Misalnya apabila masalah tersebut dicantumkan pada stu perundangundangan maka jelas diperlukan cantumkan kaitannya dengan hukumhukum yang berlaku bagi kelautan, termasuk masalah kewenangan security. Saran kami tentunya yang utama bagaimana mengatur tersebut dalam suatu undang undang dan kaitannya dengan Undang undang lain. Perdagangan rempahrempah terjadi antara Nusantara dengan Eropah yang tadinya melalui perantara pedagang Timur Tengah tidak dapat berlangsung seperti sediakala, kerna berkecamuknya perang Salib di kawasan itu. Semenjak

165

itu 5 abad yang lalu para pedagang Eropah dengan Armada lautnya mengirim mis misi dagang langsung ke sumber asalnya rempah-rempah di Nusantara. Armada dagang yang berlayar kemabli menuju Eropah bermuatan tidak hanya rempahrempah, tetapi juga benda budaya dan seni dari Timur seperti hiasan emas permata, piring dan mangkok serta jembatan terbuat dari tembikar dan porselin, sutera dan sebagainya. Diantara armada dagang yang melaksanakan misinya itu tidak sedikit yang terdampar dan tenggelam dan tenggelam karena ganasnya laut. Lokasi dan penemuan kembali kapal kapal yang tenggelam di Nusantara ini kini hampir dapat ditentukan. Hal ini tidak lain karena hasil riset di arsip-arsip pelbagai Negara yang juga menggunakan peralatan canggih seperti komputer. Demikian pula halnya falan survey dan eksplorasi di laut peralatan mutakhir dan canggih dipergunakan. Terungkaplah posisi Flor de la Mar yang tenggelam diselat Malaka dengan barang-barang berharga di antaranya emas permata dan harta benda lainnya dari kerajaan Malaka, salah satu hasil jarahan Portugis di kawasan ini semasa jayanya di masa silam. Demikian pula halnya dengan peristiwa penemuan kapal De Geldermalsen yang pemberitannya dimuat dalam waktu yang cukup lama. Michael Hatcher sebelum mengangkat, mengambil dan menjual benda benda berharga dari kapal Geldermalsen telah bekerja belasan tahun dimulai tahun 1972 di antaranya menyelenggarakan riset dimuseum dan perpustakaan negeri Belanda. Permasalahannya timbul setelah diketahui dan disadari potensi kekayaan bendabenda yang terpendam di dasar laut dan di perairan Indonesia yang tenggelam bersama kapal dagang VOC,Portugis dan Spanyol di masa silam, jumlahnya tidak kecil. Ratusan kapal bermuatan bendabenda berharga yang tenggelam tergelatak di dasar laut di Nusantara kita ini dan sekitarnya. Persoalan pertama yang harus dipecahkan ialah benda benda berharga yang dilihat dari nilai historis, budaya, arkeologinya dan nilai ekonominya itu milik siapa. Selanjutnya untuk dapat melakukan pengangkatannya dari dasar laut siapa yang berwenang mengeluarkan ijin. Dan setelah diangkat, dan dijual manfaatnya untuk siapa. Dengan demikian maka persoalan pokoknya adalah bagaimana status hukum bendabenda berharga di dasar laut dan perairan Indonesia, dan juga bagaiman tata cara penangkatannya.

166

Persoalanpersoalan tersebut tidaklah mudah di samping saling terkait juga karena menyangkut pelbagai kepentingan baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun Hankam yang kaitannya tidak hanya nasional tetapi juga regional dan internasional. Karena itu pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara, yang di dalamnya mengandung asas persatuan kesatuan nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional dan asas integritas wilayah nasional. Beberapa pengertian : a. Pengangkatan adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survey pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam selama dan sebelu perang dunia kedua serta kegeiatan lainnya sebelum pemenfaatan. b. Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan dan pemanfaatan lain seperti penyimpanan di Museum. c. Benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, arkeologi, ekonomi, dan lainnya. d. Laut adalah perairan yang berada dalam yurisdiksi nasional Indonesia yaitu perairan Indonesia Indonesia, Zona Tambahan Indonesia, Zona ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia. Status hukum bendabenda berharga yang terdampar di dasar laut dalam perairan Indonesia menyangkut masalah pemilikan yang terkait pula dengan lokasi dimana bendabenda berharga tersebut dapat dilihat dar ketentuanketentuan dan asasasas hukum internasional Indonesia, dan hokum perdata Indonesia. Demikian pula hanya dengan pemilikan kapal yang mengangkut dan kemudian tenggelam bersama muatannya, seyogyanya ditinjau dari ketentuanketentuan dan asas hukum tersebut.

Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 Konvensi Hukum laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi Indonesia dengan undang undang Nomor 17 Tahun 1985 (selanjutnya disingkat KHL 1982 menentukan bahwa kedaulatan suatu Negara kepulauan, seperti halnya dengan Indonesia, meliputi perairan kepulauan dan laut wilayah serta dasar laut dan tanah di bawahnya, juga udara di atasnya ( video pasal 2 dan pasal 49 KHL 1982 ). Hal ini berarti Indonesia mempunyai wewenang yang mutlak atas bendabenda

167

berharga yang terpendam di dasar lautnya. Pengangkatan dan pemanfaatan bendabenda tersebut haruslah seijin dan kerja sama dengan Indonesia. Pernyataan mengenai status hukum bendabenda berharga yang berada di perairan Indonesia sebagai milik Indonesia merupakan tindakan sebagai Negara yang berdaulat terhadap sumber alam dan kekayaan lainnya yang ada di situ. Pernyataan yang demikian, bukan hanya merupakan perwujudan pelaksanaan kedaulatannya, tetapi juga didukung oleh ketentuanketentuan dan asas hukum lainnya diuraikan di bawah nanti. Walaupun saat ini Indonesia belum secara resmi mengumumkan adanya Zona Tambahan berupa lajur laut selebar 12 mil di luar dan berdekatan dengan laut wilayahnya, namun dengan diratifikasinya KHL 1982 maka Zona tambahan Indonesia dianggap telah ada. Sedangkatan pengangkatan dan pemanfataan bendabenda berharga di Zona Tambahan, seiring dengan ketentuan Pasal 303 ayat 2 jo Pasal 33 KHL 1982, harus dengan ijin dan kerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Pengangkatan bendabenda berharga tersebut dari dasar laut tanpa persetujuan Indonesia akan merupakan pelanggaran peraturan perundang undangan beacukai, fiskal, imigrasi ataupun saniter di dalam wilayah ataupun laut wilayahnya. Di Zona Tambahan Indonesia, kita mempunyai yurisdiksi eksklusif guna melindungi kepentingan nasional dalam kebecukaian, fiskal, keimigrasian, dan saniter. Eksplorasi dan aksploitasi dalam rangka pengangkatan dan pemanfataan benda benda berharga di Zona Tambahan tersebut karenanya haruslah seijin Pemerintah RI. Kemudian dari pada itu bagaimana perlaukan ataupun status hokum benda benda berharga di dasar laut di ZEE Indonesia ataupun di Landas Kontinen. Bahwa benda berharga letaknya berada di dasar laut, maka dalam kaitan ini sebaiknya rejim Landas Kontinen yang di utamakan, bukan rejim ZEE- nya. Di ZEE hak berdaulat Negara di pantai ditujukan guna kepentingan eksplorasi, eksploaitasi, konservasi dan manajemen terhadap sumber daya alamsaja, tetapi juga untuk mengeksplorasi landas kontinennya itu sendiri yang dikaitkan dengan sumber daya alam ataupun untuk kepreluan lain. Lagi pula jika Negara pantai tidak mengeksplorasi dan tidak mengeksplotasinya, maka tidak pihak atau seorang pun juga boleh melakukan kegiatan dimaksud di Landas Kontinen. Sumber daya alam yang terkait dengan rejim Landas Kontinen tidak

168

hanya terbatas pada mineral saja tetapi meliputi sumber daya non hayati lainnya pada dasar laut (Other non living resources of the sea bed and subsoil ) dan tanah di bawahnya ( vide Pasal 77 KHL 1982 ). Dalam hubungan dengan resource ini termasuk dalamnya pengertian archaeological and historical objects, kata sementara penulis. Dengan demikian termasuk bendabenda berharga di dasar laut yang diatasnya Negara pantai mempunyai hak berdaulat. Dengan demikian pengangkatan bendabenda berharga di Landas Kontinen Indonesia haruslah dengan persetujuan dan setidak tidaknya kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Semua Negara berkewajiban untuk melindungi bendabenda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di manapun di temukan dan semua Negara berkewajiban untuk melindungi bendabenda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di manapun ditemukan dan semua Negara harus bekerja sama untuk maksud tersebut (vide pasal 303 ayat 1 KHL). Indonesia sebagai negara yang sangat berkepentingan dalam hal ini berkewajiban untuk mengaturnya, paling tidak dengan maksud untuk melindungi benda benda berharga di Landas Kontinennya. Sehubungan dengan hal ini patut dikemukakan selama Konperensi Hukum Laut PBB III, (Kemudian menghasilkan KHL 1982) ialah residual power Negara pantai atas ZEE. Siapa yang berwewenang mengatur halhal yang tidak jelas diatur dalam konvensi. Pasal 59 KHL 1982 sebagai hasil Castaneda Formulamenyatakan bahwa dalam halhal Konvensi Hukum Laut tidak jelas menentukan hakhak atau yurisdiksi kepada Warga Negara pantai atau kepada Negara lain di ZEE, maka jika kelak timbul sengketa itu harus diselesaikan berdasrkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan, dengan memeprhatikan masing masing keutamaan kepentingan pihakpihak yang terlibat maupun masyarakat internasional

keseluruhannya. Karena ZEE dan Landas Kontinen bukan lagi merupakan bagian dari laut yang mempunyai ketentuan ketentuan tersendiri, maka Negara pantai dapat menentukan ketentuanketentuan mengenai benda- benda berharga di ZEE dan Landas Kontinen. Dan jika nanti ada yang mempermasalakn sah atau tidaknya ketentuan yang ditetapkan itu, maka penyelesainnya akan dilakukan yang ditetapkan sesuai ketentuan pasal 59.

169

Dengan demikian tidak ada kelirunya kita memikirkan pengaturan benda benda berharga di ZEE dan di Landas Kontinen sesuai dengan arah KHL 1982 (vide pasal 303 KHL 1982), minimal untuk melindunginya. Hukum Perdata International Hukum perdata International dalam menentukan hukum apa yang berlaku terhadap suatu benda telah mengalami perubahan. Di masa yang lalu factor menentukan hukum kebendaan manakah yang berlaku adalah hukum dari letaknya benda tersebut berada (lex, situs, lexrel sitae) hanya berlaku untuk benda bergerak (movaebles) yang berlaku adalah adagium mbilia personam sequenter (benda bergerak mengikuti status dar orang). Namun kini sudah umum diterima baik oleh para penulis maupun praktek hokum, bahwa kaidah lex rei sitae juga berlaku baik terhadap benda bergerak maupun tak bergerak, terhadap kedua jenis benda dimaksud (movables and Immobales) berlaku hukum kebendaan dimana benda tersebut terletak. Hukum perdata Internasional Indonesia kini juga mengikuti asas ini, meskipun ketentuan Pasal 17 A.B hanya memperlakukan untuk benda tak bergerak saja. Dalam lalu lintas hukum internasional kini dan di masa datang ketentuan seperti yang termuat dalam pasal 17 A.B telah lama ditinggalkan. Pakar hokum Indonesia dalam hal ini menegaskan. Diwaktu sekarang asas inipun dipergunakan untuk benda benda yang tak bergerak. Juga hak hak kebendaan (zakelyke rechten) atas benda benda bergerak tunduk kepada hukum dimana bendabenda itu berada. Pemikiran kepentingan nasional dengan memperhatikan perkembangan internasional kiranya mau tidak mau membawa kita kea rah pemikiran dan tindakan yang demikian. Oleh karena itu terhadap benda benda berharga yang berada di dasar laut dalam perairan Indonesia berlakukalah hukum kebendaan dimana benda berharga tersebut terletak yaitu hukum Indonesia yang disesuaikan dengan rejim hukum. Hukum Agraria Nasional Bahwa kewenagan mutlak Indonesia terhadap benda harga yang berada di laut dalam perairannya diperkuat pula filsofi Hukum Agraria Nasional kita yang

170

dalam Penjelasan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokokpokok Agraria antara lain menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.dan seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, merupakan kekayaan nasional. Karena itu pemilikan terhadap bendabenda, apabila dilihat dari ketentuan ketentuan perundang undangan perairan nasional kita yang ada saat ini belum secara resmi dinyatakan sebagai milik Indonesia; maka undangundang perairan Indonesia yang akan datang kiranya penuangnya perlu mendapat perhatian yang sungguh sungguh.

Hukum Perdata Pemilikan ataupun penguasaan bendabenda berharga dasar laut dan perairan Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cukup pula kuatnya dasarnya. Ketentuanketentuan tentang Daluwarsa dalam Bab ke Tujuh KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan Negara RI. Penguasaannya dari dahulu kala, terusmenerus dan dengan itikad baik, setidaktidaknya Indonesia telah menguasai bendabenda berharga di dasar laut dan perairannya lebih dari 30 tahun. Penguasaannya dapat ditunjuk dengan penguasaan perairan Indonesia. Dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jik perairan Indonesia cukup pula kuat dasarnta. Ketentuanketentuan tentang Daluwarsa dalam Bab ketujuh KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan Negara RI. Penguasaannya dar dahulu kala, terus menerus dan dengan itikad baik, setidaktidaknya Indonesia telah mengusai bendabenda berharga di dasar laut dan perairannya lebih dari 30 tahun. Penguasannya dapat ditunjuk dengan penguasaan perairan di Indonesia dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jika perairan Indonesia dimaksud kini sudah jauh berbeda dengan perairan pada saat lahirnya TZMKO, dihitung sejak lahirnya Deklarasi Djuanda 1957 juga cukup alasan untuk itu. Pemilikan Dan Penguasaan Kapal Yang Tenggelam Demikian pula pemilikan dan penguasaan kapal yang tenggelamdi masa silam itu atasnya berlaku pula ketentuan ketentuan dan asas asas yang

171

diuraikan dalm butir butir 7,8,9 dan 10 diatas. Juga apabila dilihat dari segi pewarisan penguasa di negeri ini ataupun ada pihak yang merasa mengaku berhak atasnya, maka alasannya untuk itu adalah alasan yang mengada ada. Mekanisme Pengangkutan dan Pemanfaatan Benda Benda Berharga. Mekanisme bagaiman tata cara yang harus ditempuh guna mengangkat dan memanfaatkan bendabenda berharga di dasar laut dalam perairan Indonesia sudah terutang di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal MUtan Kapal Tenggelam, kemudian diikuti Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Nomor : Kep4 / PN/BMKT/12/1989 tentang Cara Pemberian Izin/ Security Clearance Dalam Rangka Kegiatan Pengambilan Dan Pemanfaatan Benda Benda Berharga Yang Merupakan Muatan KapalKapal Yang Tenggelam Dalam Perairan Indonesia. Bila kita simak ketentuanketentuan yang ada tentang tata cara pengangkatan dan pemenfaatan bendabenda berharga dimaksud diatas berulah bendabenda berharga di maksud di atas barula meliputi bendabenda tenggelam di masa silam dan yang merupakan muatan kapalkapal VOC, Spanyol, Portugal dan dari kapalkapal ex Perang Dunia ke II, yang telah tenggelam dalam perairan Indonesia. Namun suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa keputusan keputusan dimaksud di atas jika kita pelajari dengan seksama bagaiman caranya menangani masalah pengangkatan dan pemanfataan bendabenda berharga tersebut telah melakukan pendekatan dengan menganut asas perbuatan kesatuan nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional dan asas integritas wilayah nasional. Bagaimana sikap kita terhadap bendabenda berharga di Zona tambahan Indonesia, di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/Landas Kontinen Indonesia belumlah ada. Dari uraian di atas tadi cukup alasan bagi pemerintah RI untuk menetapkan pengaturan pengangkatan dan pemanfaatannya, setidak tidaknya dalam upaya melindungi benda benda berharga tersebut baik untuk kepentingan Indonesia sendiri maupun kepentingan umat manusia seleuruhnya. Di Zona tambahan jelas sudah, bahwa pengangkatan dan pengangkutan bendabenda

172

tersebut minimal harus seijin dan kerja sama dengan Pemerintah RI karena pengankatan dan tentunya nanti juga pengangkutannya berada dalam yurisdiksi RI berkaitan dengan imigrasi, fiscal, bea cukai dan sanietr sedangkan bagi benda benda berharga di Zona Ekonomi Eksklusif setidaktidaknya akan menyangkut masalah izin mengadakan riset dan survey dikawasan itu dalam upaya eksplorasinya atau mengeksploitasnya maka tidak seorang pun dapat melakukan kegiatan dimaksud tanpa persetujuan yang jelas tegas dari pemerintah RI ( vide pasal 77 ayat 2 KHL 1982 ). Pemilikan ataupun penguasaan bendabenda berharga yang terdapat di dasar laut dalam perairan Indonesia adalah sepenuhnya di tangan Pemerintah RI sebagai wakil Negara dan bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri. Tata cara pengangkatan dan pemanfaatannya telah cukup diatur dalam Keppres RI No. 13 Tahun 1989. Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang tenggelam Nomor : Kep 4 / PN/BMKT/12 1989 dan Keputusan Menhankam RI Nomor : Kep/12/VI/1989 tentang tata cara Pemberian ijin/Security Clearance Dalam Rangka Kegiatan Pengambilam dan Pemanfaatan benda benda berharga di Zona Tambahan dan di Landas Kontinen belumlah ada dan pemikirankita tidak ada kelirunya diarahkan bagi terwujudnya pengaturan yang demikian. Pengangkatandan pemanfaatan benda benda berharga di Zona Tambahan harus seijin dan kerjasama dengan pemerintah RI, yurisdiksi nasional Indonesia di Zona tambahan terkait dengan ketentuan imigrasi, fiskal, bea cukai dan saniter. Di ZEE Indonesia/ landas Kontinen Indonesia pengangkatan dan pemanfaatannya harus dengan ijin dan kerja sama pemerintah RI minimal untuk perlindungannya bagi kepentingan Indonesia dan umat manusia seluruhnya memerlukan pengaturan.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas meteri pembelajaran 12 dan 13 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan, seperti : 1. Sampai sejauh mana hak Negara Republik Indonesia atas benda benda tersebut ? 2. Benda benda itu milik siapa ?

173

3. Siapa

yang

berwenang

mengeluarkan

izin

untuk

melakukan

pengangkatan dari dasar laut ? 4. Manfaatnya untuk siapa ?

Daftar Bacaan Bill ST John Wilkes, Nautical Archaelogy A Handbook. New Ton Abbot: David & Charles, 1971. C.L van der pijlKetel (editor), The Ceramic Load of the Witte Leeuw (1613), Amsterdam: Rijkmuseum Amsterdam., Tanpa tahun. George F. Bass, Archaelogy Beneat The Sea. Harper Colophon Books. New York, London, 1975. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sejarah Perkembangan Hukum Laut dan Kaitannya dengan Hukum Internasional. Mochtar Kusumaatmadja, Bahan ceramah Menteri Luar Negeri Dalam Pengimplementasian Wawasan Nusantara. Pada rapat kerja Rektor Universitas /Institut Negeri Seluruh Indonesia, tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta. Safri Burhanuddin, Kewenangan Derah dan Eksploitasi Sumber Daya Non Hayati ( Paper ) Uka Tjandrasasmita, Peangkatan dan Pemanfaatan Benda Benda Purbakala di Dasar Laut Perairan Indonesia (Paper). Uka Tjandrasasmita, Perlindungan Benda Cagar Budaya Nasional (Protection Of National Vultural Heritage), Makalah untuk peserta Kursus Perundangundangan Lingkungan Hidup di Puncak,1985. Konvensi Hukum laut PBB 1982 Keppres RI N0. 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Beserta Implementasinya. KEPPRES No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

174

BAB 14 BAHAN PEMBELAJARAN 14 dan 15

A. Sasaran Pembelajaran Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu XIV dan XV bahwa Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan Indonesia. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 200 menit (2 kali tatap muka) dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian 1. Desentralisasi Kelautan: Evaluasi dan Proteksi Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (sebelum diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda), ada dua koor yang sangat kontras. Pertama, yang menolak pasal 3 dan pasal 10 yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan laut. Kelompok ini dimotori HNSI, beberapa ahli hukum laut, dan pemerintah propinsi. Argumentasi yang mengemuka tidak jauh dari beberapa isu, khususnya seputar property right, rezim pengelolaan sumberdaya, dan konflik nelayan. Cukup kuat anggapan bahwa laut adalah milik negara (state property), sehingga siapapun boleh menangkap ikan dimana saja. Tidak ada istilah laut daerah. Menurut

kelompok ini, Otonomi Daerah (Otoda) hanya akan merusak ciri laut yang bersifat open access tersebut, serta mengganggu konsep keutuhan bangsa. Laut adalah pemersatu dan bukan pemisah. Argumentasi lainnya, bahwa Otda hanya membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan lalu nelayan pun punya hak untuk mengusir nelayan lain (exclusion rights). Padahal, lanjut kelompok ini, ikan tidak punya KTP. Sehingga, anggapan

175

bahwa otoda hanya menyebabkan konflik nelayan pun berkembang. Kelompok ini lalu diperkuat oleh Departemen Dalam Negeri, yang telah menyiapkan konsep revisi UU tersebut. Isi revisinya mengakomodasi suarasuara yang anti desentralisasi kelautan. Sementara itu, kalangan pengusaha sebagian anti desentralisasi karena berkaitan dengan iklim investasi yang tidak kondusif.38 Kedua, pada saat desentralisasi dihujat habis-habisan di Indonesia, di jurnal-jurnal dan forum internasional konsep demokrasi kelautan justeru disanjung-sanjung.Umumnya sumberdaya akibat mereka berangkat dari fakta rusaknya kelautan.

sentralisasi

manajemen

sumberdaya

Sentralisasi telah mengurangi sense of stewardship para nelayan dan pemerimntah daerah terhadap lautnya. Di sisi lain, enforcement cost pengelolaan oleh negara sangatlah tinggi, dan ternyata negara pun tak mampu menanggung beban itu. Sementara itu, desentralisasi dianggap memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. Sehingga, mendorong masyarakat untuk turut bertanggung jawab terhadap keberlanjutan sumberdaya kelautan. Konsep community based management (CBM) dan co-management merupakan turunan dari konsep desentralisasi tersebut. Beberapa kalangan akademisi berada dibelakang konsep ini. Sementara kalangan bupati yang juga mendukung desentralisasi lebih disebabkan adanya hadiah kewenangan baru yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya laut, dan belum sampai pada sebuah kesadaran bahwa desentralisasi adalah jembatan bagi terwujudnya keberlanjutan sumberdaya (resources sustainability). Hal ini terlihat dari adanya kecenderungan sebagian bupati hanya mengejar pendapatan asli daerah (PAD) dari sumberdaya laut, yang seringkali berseberangan dengan perjuangan nelayan kecil. Bagaimana sesungguhnya sejarah lahirnya keinginan terwujudnya desentralisasi kelautan ini? Secara historis, sentralisasi itu memang merupakan kecenderungan negara-negara di dunia pasca perang dunia II. Jadi, pasca-kolonialisme banyak negara di dunai memiliki semangat baru
38

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007, hlm. 239-250.

176

sebagai

bangsa

yang

merdeka

yang

menganggap

perlu

segera

menasionalisasi banyak hal, termasuk sumberdaya lautnya. Kemudian proyek nasionalisasi ini kemudian dimanfaatkan dunia barat untuk menyukseskan proyek modernisme,yang tidak memberikan kesempatan bagi hal-hal yang berbau tradisional untuk berkembang. Kombinasi nasionalisasi dan

modernisasi semakin mengukuhkan peran pemerintah pusat dalam mengelola laut, sementara masyarakat lokal dianggap tidak bisa mengelola sumberdaya karena orang lokal dianggap tidak punya ilmu untuk itu. Ternyata ilmu manajemen sumberdaya pun dimonopoli pusat. Jadi, kalangan yang pro sentralisasi kelautan secara ideologis masih terperangkap ideologi

modernisme yang memang tumbuh subur selama Orde Baru. 2. Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya Alam Perikanan39 1. Ruang Lingkup Hukum Nasional a. Aspek pemanfaatan. Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan, pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang berkedudukan di puncak piramida hirearki perundang-undangan,

sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangundangan. Dalam Ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata urutan perundang-undangan, sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). 3. Undang-Undang (UU/Perpu). 4. Peraturan Pemerintah (PP). 5. Keputusan Presiden (Keppres). /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia. (Jakarta: Dian Pratama Printing, 2003). Hlm. 67-83.

39

177

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri. Di dalam UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam (termasuk di dalamnya sumber daya alam perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasiai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atats segenap sumber daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga norma hukum tersebut, dalam penjelasan resminya diterngkan bahwa pasal 33 mengandung dasar demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua dan untuk semua di bawah pimpinan anggota-anggota perseorangan. Karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bentuk perusahaan yang sesuai dengan karakteristik demokrasi ekonomi ini ialah koperasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, koperasi dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 orang dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar. Agar koperasi tersebut memperoleh status badan hukum, maka akta pendiriannya harus

mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Pengesahan akta pendirian ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Koperasi sebagai badan hukum dapat melakukan berbagai usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota. Selain itu, koperasi juga dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam, sebagaimana halnya lembaga keuangan. Namun, kegiatan simpan pinjam ini hanya terbatas dalam lingkungan anggota. Dalam menjalankan kegiatan, prinsip koperasi dijalankan sebagai berikut : 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis; 3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; 4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;

178

5. Kemandirian. Diterangkan lebih jauh dalam penjelasan resmi pasal 33 UUD 1945 bahwa demi mengamankan demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan kemakmuran bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara. Dengan cara demikian, diharapkan tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa, dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya, sektor-sektor yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah sumber-sumber kemakmuran rakyat. Karena itu, segenap sumber daya alam tersebut harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa didalam wilayah Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuterende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, dusun serta marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daereahdaerah istimewa tersbut, dan segala peraturan negara mengenai daerahdaerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara mengenai daerahdaerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah yang bersangkutan. Ketentuan sistam pemerintahan tersebut di atas, memiliki arti penting manakala dihubungkan dengan UUPA, terutama mengenai hak ulayat. Pasal tiga UUPA menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Penjelasan umum UUPA (II-3), menerangkan bahwa pengakuan hak ulayat didasarkan pada dua pangkal pikiran. Pertama, keberadaan hak ulayat diakui dalam hukum agraria nasional. Pengakuan ini dilatarbelakangi oleh

179

pengalaman masa penjajahan, yang ketika itu, meski hak ulayat nyata-nyata ada, berlaku, dan diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, tetapi tidak satupun peraturan perundang-undangan mengakuinya secara resmi. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan hukum, hak ulayat lebih sering diabaikan. Pengakuan secara resmi hak ulayat dalam UUPA, mengandung makna bahwa kepentingan masyarakat hukum yang menjadi pendukung hak ulayat itu, akan diperhatikan. Misalnya ketika akan diberikan HGU kepada suatu badan usaha, maka masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengarkan pendapatnya dan akan diberikan recognitie sebagai tanda pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pendukung hak ulayat. Pangkal pikiran kedua yang melatarbelakangi pengakuan hak ulayat dalam UUPA adalah kenyataan yang berkenaan dengan pembangunan daerah. Selama ini (sebelum tahun 1960), pembangunan di daerah-daerah sering terhambat karena mendapat kesukaran dari masyarakat hak ulayat. Oleh karena itu, dengan pengaturan hak ulayat dalam UUPA, maka masyarakat hukum adat yang menjadi pendukung hak ulayat tidak dibenarkan menghalang-halangi pelaksanaan pembangunan sektoral, seperti pemberian HGU. Kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara. Namun tidak berarti kepentingan masyarakat adat terabaikan sama sekali. Selain ketentuan hak ulayat, dalam UUPA juga masih dijumpai beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Pertama-tama mengenai pengertian istilah air, yang mencakup baik perairan pedalaman maupun wilayah laut (pasal 1 ayat 5). Kemudian diatur lebih lanjut bhwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Hak menguasai dari negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sesuai keperluan (pasal 2 UUPA).

180

Hukum agraria berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama (pasal 5 UUPA). Ketentuan ini mencerminkan politik hukum agraria nasional yang meskipun bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan dan

kesederhanaan hukum, tetapi tetap memberi ruang hidup bagi hukum adat yang pada kenyataannya sanga majemuk. Karakteristik politik hukum agraria tersebut, tercermin pula dalam berbagai pasal lainnya, seperti pasal 16 dan penjelasan umum UUPA. Di dalam penjelasan umum (III-1), dinyatakan bahwa hukum agraria harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, dan karena rakyat sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria tersebut harus didasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli. Namun demikian, hukum adat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungan negara Internasional. Hal yang terakhir ini, penting karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal. Penjelasannya pasal 16, antara lain, menegaskan bahwa sesuai asas yang diletakkan dalam pasal 5, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air didasarkan pula atas sistematika hukum adat. Permasalahannya kemudian adalah hukum adat manakah yang sesuai dengan politik hukum agraria nasional tersebut. Untuk pernyataan ini, Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional tahun 1975 di Yogyakarta menyimpulkan :
Maka tidak ada alasan meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat itu adalah : hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Ikhwal defenisi hukum adat tersebut, perlu diberikan catatan bahwa di berbagai daerah dijumpai hukum adat yang tertulis dalam aksara-aksara

181

daerah. Sebagai contoh dapat disebutkan hukum pelayaran dan perniagaan Ammanagappa yang berlaku dikalangan saudagar dan pelaut Bugis di Sulawesi Selatan.40 Segala usaha bersama di sektor agraria didasarkan pada kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya. Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha di sektor agraria (pasal 12 UUPA). Secara khusus, bahwa UUPA menyebutkan suatu bentuk hak yang berkaitan langsung dengan masalah perikanan, yaitu HPPI (pasal 16 ayat 2b dan pasal 47 ayat 2). Sementara itu, di dalam UU Perikanan, aspek pemanfaatan sumber daya alam perikanan sudah lebih teknis. Beberapa istilah akan dikemukakan sebagai berikut (pasal 1): 1. Perkanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. 2. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. 3. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan / atau pembudidayaan ikan. 4. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan

menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. 5. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatanyang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, atau

mengawetkannya. 6. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.

40

182

7. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk mrlakukan penangkapan ikan, termasuk untuk melakukan survai atau eksplorasi perikanan. 8. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Wilayah perikanan Indonesia meliputi (1) perarian Indonesia, (2) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia, dan (3) zona ekonomi ekslusif (pasal 2 UU perikanan). Sementara wilayah perairan Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial (territorial sea) Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman (internal waters) Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup (pasal 3). Ketentuan-ketentuan tersebut, bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi Perserikatan BangsaBangsa dalam Hukum Laut. Selanjutnya, pengertian sungai, danau, dan waduk diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai. Dalam PP ini, sungai didefenisikan sebagai tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan air mulai dari mata air sampai muara dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (pasal 1 ayat 1). Adapun danau didefenisikan sebagai bagian dari sungai yang dalam dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain sungai yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2). Waduk didefenisikan sebagai wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bangunan sungai, dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk pelebaran alur/badan/palung/sungai (pasal 1 ayat 3). Rawa, sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1991 tentang rawa, adalah lahan genangan air secara alamiah secara terus menerus atau

183

musiman akibat drainase alamiah yang trerhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis (pasal ayat 1). Zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) diatur secara khusus dalam undang-undang No.5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Dalam undang-undang ini, disebutkan bahwa ZEEI adalah jalur diluar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia, yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (pasal 2). Setiap usaha perikanan di wilayah perikanan Indonesia, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan ini hanya dapat diberikan dalam bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku (pasal 9 UU Perikanan). Masih berkaitan dengan aspek pemanfaatan sumber daya alam perikanan, dalam undang-undang Penataan Ruang, terdapat beberapa ketentuan yang relevan. Diantaranya, mengenai pembagian kawasan, yang segi fungsi utamanya dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (pasal 1 ayat 7), sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi atau potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan (pasal 1 ayat 8). Pemanfaatan ruang harus selalu mengikuti rencana tata ruangyang telah ditetapkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pasal 15; Pasal 19-23). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dinyatakan batal oleh instansi yang memberikan izin tersebut. Apabila izin itu diperoleh dengan itikad baik, maka terhadap kerugian yang timbul akibat pembatalan izin tersebut, dapat dimintakan penggantian yang layak (Pasal 26).

184

Khusus wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, maka kewenangan eksplorasi dan eksploitasi berada di tangan pemerintah daerah. Pada tingkat daerah, kewenangan itu dibagi lagi, yakni sepertiga dari luas wilayah menjadi kewenangan daerah kabupaten atau daerah kota dan duapertiga sisanya merupakan kewenangan daerah provinsi (Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah). Bahkan, di dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 telah diatur secara lebih spesifik bahwa kewenangan pemerintah pusat terbatas pada aspek-aspek kelautan diluar 12 mil (Pasal 2 ayat (3) butir 2). Untuk tidak mengulangi kesalahan pelaksanaan otonomi daerah masa lalu, yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam UU Pemerintahan Daerah ini, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum 1 butir h). Dijelaskan pula bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan daerah (Penjelasan Umum 8 butir 2). Penjelasan ini memiliki implikasi bagi pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pepelaksanaan desentralisasi adalah : 1. Pendapatan asli daerah; 2. Dana perimbangan; 3. Pinjaman daerah; 4. Lain-lain penerimaan yang sah (Pasal 3). Berkaitan dengan pengelolaan laut sejauh 12 mil, maka dapat ditafsirkan bahwa seluruh penerimaan keuangan dari sumber daya alam tersebut merupakan pendapatan asli daerah. Sementara itu, penerimaan negara yang bersumber dari pengelolaan laut di luar 12 mil, sejauh menyangkut sektor perikanan, dibagi dengan imbangan 20 % untuk pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah (Pasal 6 ayat 5). Dijelaskan lebih lanjut bahwa 80 % dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil

185

perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota di Indonesia (Penjelasan Pasal 6 ayat (5) butir c).

b. Aspek konservasi. Ketentuan-ketentuan umum mengenai konservasi sumber daya alam, termasuk sumber daya alam perikanan, dapat ditemukan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Di dalam UUPLH ini, diatur kerangka dan arah kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, yang penjabarannya masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih rendah. Sesuai dengan keperluan, maka beberapa aspek yang diatur dalam UUPPLH tersebut, seperti konsep-konsep yang digunakan, kelembagaan dan kewenangannya serta mekanisme penyelesaian sengketa yang muncul, akan diberi perhatian khusus. Pertama-tama diawali dengan penjelasan beberapa konsep yang relevan, sebagai berikut : 1. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2). 2. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (Pasal 1 angka 3). 3. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup (Pasal 1 angka 4). 4. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan (Pasal 1 angka 10). 5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain

186

ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya (Pasal 1 angka 12). 6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya, yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 angka 14). 7. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, serta sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Pasal1 angka 15). 8. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 16). 9. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup (Pasal 1 angka 22). Ikhwal kelembagaan dan kewenangannya dalam pengelolaan

lingkungan hidup, dalam UUPPLH ditentukan bahwa segenap sumber daya yang merupakan unsur lingkungan hidup dikelola oleh pemerintah sebagai institusi yang mewakili negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, pemerintah menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan pengelolaan

lingkungan hidup. Di dalam pasal 8 ayat (2) dirinci kebijaksanaan yang dapat diambil pemerintah, sebagai berikut. 1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. 2. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan

lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika.

187

3. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika. 4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial. 5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi

lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Segenap kebijaksanaan yang akan ditetapkan pemerintah, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah ditetapkan, pada tingkat nasional di-koordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan melibatkan instansi pemerintah terkait, masyarakat, serta pelaku

pembangunan lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2). Kewenangan pemerintah pusat tersebut, dapat dilimpahakan-sesuai dengan keperluannya-kepada perangkat pemerintahan di bawahnya. Dapat juga mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 12). Selain itu, pemerintah pusat dimungkinkan pula menyerahkan sebagian urusan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah (Pasal 13). Untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka setiap usaha atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal 14). Bahkan, bagi usaha dan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup (Pasal 15). Demikian juga, setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah, bahan berbahaya, atau beracun hasil dari usaha atau kegiatannya (Pasal 16 dan 17). Efektifitas kewajiban dan tanggung jawab tersebut di atas, diupayakan melalui lekanisme perizinan, pengawasan, penjatuhan sanksi dan audit lingkungan hidup (Pasal 18-29). Apabila terjadi sengketa lingkungan hidup, penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan dan melalui pengadilan (Pasal 30).

188

UUPLH kemudian dijabarkan lebih lanjut, antara lain melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Meskipun Keppres ini semula dimaksudkan sebagai pelaksanaan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup-yang dibatalkan berdasarkan Pasal 51 UUPLH-tetapi melalui ketentuan penutup (Pasal 50) UUPLH, Keppres ini secara yuridis tetap berlaku. Di dalam Keppres tersebut di atas, diatur kriteria tertantu sehingga suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup. Berkaitan dengan sumber daya alam perikanan, terdapat beberapa jenis kawasan lindung yang ditentukan dalam Keppres ini, diantaranya, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, serta kawasan pantai berhutan bakau (Pasal 5 dan 6). Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Adapun kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 13 dan 14). Dengan fungsi yang sama, ditetapkan pula dua kriteria sempadan sungai, yakni (Pasal 16): 1. sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman; 2. untuk sungai yang berada di kawasan permukiman, sempadan sungai diperkirakan antara 10-15 meter. Untuk kawasan sekitar danau/waduk, kawasan lindungnya ditentukan antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18). Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya didasarkan pada kriteria keunikan kawasan tersebut berupa keragaman dan/atau keunikan

ekosistemnya (Pasal 25). Mengenai penyelesaian sengketa lingkungan, di dalam UUPPLH diambil pendekatan lain, yaitu dibuka kesempatan menyelesaikan sengketa

189

lingkungan di luar pengadilan. Pendekatan baru ini dilatarbelakangi oleh kenyataan, betapa sulitnya penyelesaian sengketa lingkungan melalui prosedur yang dimungkinkan khususnya sebagaimana dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yaitu upaya mencapai kata sepakat antara pihak penderita, pencemar, dan pihak pemerintah (tripihak). Penjelasan Pasal 32 UUPPLH, menyatakan bahwa untuk

memperlancar jalannya perundingan di luar pengadilan, para pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral dengan dua bentuk pilihan, yakni pihak ketiga netral yang berwenang mengambil keputusan dan pihak ketiga netral yang tidak berwenang mengambil keputusan. Upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang disebut mediasi ini, mulai dikembangkan di Amerika Serikat pada permulaan tahun 1970-an. Selanjutnya, mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

keanekaragaman dan nilainya. Sementara itu, ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati, yang saling tergantung dan tergantung dan pengaruh mempengaruhinya (Pasal 1). Untuk kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan,

khususnya perikanan laut, pada tahun 1985, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473a/1985, pemerintah menetapkan TAC di ZEE Indonesia. Selain itu, pada tahun 1997 Menteri Negara Lingkungan Hidup menerbitkan dokumen Agenda 21 Indonesia, yang di dalamnya termuat MSY sebagai acuan bagi kegiatan masyarakat. Tabel 6 memberikan gambaran

perbandingan antara MSY dan TAC yang berlaku di ZEE Indonesia.


Tabel 1. Perbandingan antara MSY dan TAC di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Jenis

MSY

TAC

190

Ikan
Tuna Cakalang Pelagis kecil Demersal Udang Total

(ton/tahun)
87.123 100.225 1.462.000 653.432 21000 2.323.780

(ton/tahun)
75.915 88.884 1.115.73 1 582.731 1.863.26 1

Sumber: Data MSY bersumber dari Agenda 21 Indonesia; data TAC dari SK Mentari No. 473a/1985.

Untuk

kepentingan

pemanfaatan

sumber

daya

laut

yang

berkesinambungan, maka di dalam agenda 21 Indonesia diusulkan rencana kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020. Pada periode 19982003, antara lain, diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna, cakalang, ikan demersal, dan udang di wilayah pesisir dan lautan dalam wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Timor, dan Laut Arafura. Pada periode 2003-2020, penelitian diperluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan demersal, udang, dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting. 4. Konsep Hukum Perikanan Pada saat ini pengelolaan sumber daya ikan tunduk pada domain Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya disingkat UUP), yag merupakan acuan bagian peraturan teknis perikanan. Salahsatu pertimbangan disusunnya UUP bahwa pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan hidup nelayan, pembudidayaan ikan, dan/atau pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan dan bahwa kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan perlu dibina.41 Pertimbangan yang melatarbelakangi UUP dibuat sebagaimana disebutkan di atas, tentunya tetap mendasarkan argumentasi pada fakta sosiologis bahwa wilayah hukum perikanan Indonesia

Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 23-24.

41

191

meliputi perairan nasional, mulai dari laut tertorial, laut, pedalaman, laut kepulauan, sampai wilayah laut ZEEI.42 Dalam konteks UUP, pemanfaatan sumber daya ikan merupakan hakhak tiap warga negara, sebagaimana diamantkan dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan oleh siapa saja sepanjang ia tunduk dan mematuhi norma dan atau kaidah sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi Republik Indonesia dan UUP.43 Seorang nelayan dapat menggunakan haknya untuk menangkap ikan sebagai mata pencahariannya, akan tetapi dalam melaksanakan haknya, nelayan tersebut wajib memperhatikan aspek-aspek kelestarian dari sumber daya ikan yaitu melakukan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan abiotik dan biotik lainnya. Apabila kewajibannya dilanggar maka nelayan akan mendapatkan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur.44 Dalam konteks yang lebih umum kemudian, Pasal UUP menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Pasal ini dimaksudkan untuk memberian guideline kepada pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan agar dalam pengelolaan, manajemen, dan regulasi, keberadaan masyarakat lokal dengan kearifannya tentap mendapat pengakuan.45

5. Hak Penggunaan Wilayah untuk Perikanan 1. Peluang dan Tantangan Situasi terkuncinya sumber daya alam perikanan, khususnya di daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh Smith (1979), Troadec (1981), dan Panayotou (1982). Semuanya mengusulkan jalan keluar berupa kontrol atas akses dan penggunaan sumber daya. Hak penggunaan
Sudirman Saad, loc.cit. Marhaeni Ria Siombo, op.cit, hlm. 28. 44 Ibid, hlm. 29. 45 Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007), hlm. 242.
43 42

192

wilayah untuk perikanan (HPWP)- yang merupakan terjemahan dari territorial use rights in fisheries (TURFs)-adalah solusi konkret yang disarankan oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan sumber daya alam perikanan di bawah rezim milik bersama atau keterbukaan akses terbukti, mengalami berbagai kegagalan. Setidaknya, saran yang demikian itu tercermin dalam tulisan-tulisan Christy (1982), Smith dan Panayotou (1984), serta Delmendo (1993). Paling sedikit, terdapat empat akibat nyata yang timbul dari situasi milik bersama.46 Pertama, keadaan milik bersama telah merangsang bangkitnya naluri serakah para nelayan sehingga tidak seorang pun di antara mereka bersedia membatasi hasil tangkapannya demi tujuan-tujuan yang lebih besar, seperti untuk kelestarian sumber daya alam. Dalam benak mereka, berapa pun yang disisakannya hari ini dalam rangka tujuan-tujuan jangka panjang tersebut, akan ditangkap oleh nelayan lain pada hari itu juga. Persediaan sumer daya alam perikanan, dengan demikian, cenderung untuk digunakan hingga melampaui titik hasil lestari maksimum (MSY). Bahkan, kerapkali melampaui titik keseimbangan akses terbuka (open-access equilibrium). Kedua, akibat tidak ada pembatasan keikutsertaan (modal dan tenaga kerja) dalam sistem pengelolaan di bawah rezim milik bersama, maka pemborosan dalam artiekonomis tak terhindarkan. Di berbagai tempat terjadi kecenderungan investasi yang lebih besar daripada yang sesungguhnya dibutuhkan. Jumlah ikan yang sama atau bahkan lebih banyak sebenarnya dapat ditangkap dengan investasi yang lebih kecil daripada yang telah ditanam secara nyata. Dalam bahasa manajemen dikatakan, upaya yang dilakukan telah melampaui titik hasil ekonomi maksimal (MEY). Ketiga, dampak dari pemborosan investasi telah menyebabkan pendapatan rata-rata nelayan kecil berada pada atau di sekitar titik terendah. Kemiskinan nelayan ini, memang tidak semata-mata sebagai akibat dari manajemen sumber daya alam perikanan berbasis milik
46

Christy dalam Abdul Rasal Rauf, hlm. 265. 43. ibid.

193

bersama. Ada faktor lain yang juga memberi kontribusi terhadap keadaan tersebut, seperti faktor sosial dan kultural. Namun, sekiranya keikutsertaan dalam perikanan itu dibatasi dengan menghilangkan keadaan milik bersama, maka akan diperoleh suatu bunga ekonomi (economic rent) atau bunga sumber daya (resource rent). Bunga ekonomi ini-yang merupakan selisih antara penerimaan total (total revenues) dan biaya total (total costs)-akan dibagi di antara nelayan sehingga pendapatan mereka meningkat. Keempat, rezim milik bersama juga telah menyebabkan pertikaian di antara nelayan. Pertikaian itu berwujud dalam berbagai bentuk, yaitu (1) antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang sama dan menggunakan alat tangkap yang sama pula, (2) antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang tidak sama, tetapi menggunakan alat tangkap yang sama, seperti antara nelayan kecil dengan nelayan besar, dan (3) anatara nelayan yang menangkap jenis ikan dan menggunakan alat tangkap yang tidak sama, tetapi melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama, seperti antara nelayan pukat harimau yang bergerak (mobile trawlers) dengan nelayan jaring menetap (fixed nets) atau perangkap (pots).47 Satu-satunya akibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis milik bersama, adalah dapat menyediakan kesempatan kerja ketika alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun, keuntungan ini hanya bersifat jangka pendek sebab begitu kesempatan kerja di sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor perikanan. Keadaan buruk yang ditimbulkan manajemen perikanan berbasis milik bersama inilah yang merupakan latar belakang ditawarkannya HPWP sebagai solusi yang patut dipertimbangkan dengan sunguhsungguh. Perdebatan yang kemudian mengemuka di kalangan ahli perikanan, ialah bagaimana HPWP itu dilembagakan dalam perundangundangan yang akan mengikat semua orang. Dalam konteks ini, sedikitnya dua persoalan hukum sangat relevan, yakni siapa subjek dan bagaimana bentuk-bentuk haknya.
47

Ibid. hlm. 266.

194

Sepanjang penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, belum satupun ahli hukum yang menaruh perhatian serius berkaitan dengan persoalan tersebut di atas. Gagasan-gagasan yang berkembang saat ini, umumnya, datang dari para ahli sosial ekonomi perikanan sehingga penggunaan terminologi hukum yang ditawarkan, sering kurang cermat dan tidak konsisten. Hal ini secara terus terang diakui oleh mereka, seperti tercermin dalam kutipan berikut : This discussion of the rights distinguishes TURFs from common property proceeds from an economic point of view. That is, the rights that are mentioned are those that are considered necessary to achieve economic efficiency. The author is fully aware that the discussion maybe legally faulty and has deficiencies but hopes that the faults and deficiencies will provoke legal scholars to address the problem of providing property rights to the users of marine fisheries.48 Penjelasan-penjelasan selanjutnya, akan menunjukkan bahwa

intervensi ahli hukum dalam upaya merumuskan aspek hukum dan kelembagaan dari sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perikanan, kini tidak dapat ditunda lagi. Keterlibatan ahli hukum diharapkan bermakna jamak. Di satu pihak, formulasi hukum yang akan dirumuskan tentu lebih komprehensif sehingga besar kemungkinan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan pengguna sumber daya alam perikanan. Di pihak lain, dengan aturan yang pasti, ekonomi perikanan akan semakin bergairah, terutama karena arus investasi dan modal akan meningkat serta menyebar secara adil kepada segenap pelaku dan pengguna sumber daya alam perikanan. Namun demikian, penegakan HPWP bukannya tanpa kesukaran, baik dari segi ekonomi maupun dari segi karakteristik biologis sumber daya alam perikanan. Secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi hambatan dalam upaya penegakan sistem HPWP. Pertama, dari segi ekonomi umumnya dikatakan bahwa kesukaran untuk memberlakukan HPWP karena biaya (costs) untuk memperoleh dan mempertahankannya lebih besar daripada kegunaan (benefits) yang diperoleh. Keadaan ini berlaku, jika biaya dan kegunaan semata-mata

48

Ibid. hlm. 268

195

didekati secara ekonomi. Keadaannya mungkin akan lain sama sekali apabila aspek sosial, politik, dan kultural dapat diperhitungkan. Sistem konsesi penangkapan bibit ikan (milkfish) yang diterapkan di beberapa profinsi di Filipina, telah terbukti menaikkan tingkat efisiensi ekonomi penggunaan sumber daya sekaligus memberikan kontribusi berarti terhadap peningkatan pendapatan daerah setempat. Kedua, dari sisi karakter sumber daya alam perikanan yang berpindah-pindah (fugitive resources). Tidak ada suatu negara, kelompok masyarakat, dan perorangan yang mampu mencegah orang untuk menggunakan persediaan suatu kelompok ikan yang berenang sejauh beribu-ribu mil, seperti beberapa jenis ikan tuna. Tentu saja, faktor ini hanya berlaku terhadap sumber daya alam perikanan yang bergerak sehingga peluang penerapan HPWP masih tetap terbuka bagi sumber daya alam perikanan yang relatif menetap, seperti beberapa jenis ikan karang atau rumput laut. Ketiga, faktor kepentingan negara Atlantik Utara untuk

mempertahankan konsep milik bersama. Secara historis, konsep milik bersama merupakan tradisi yang tumbuh dari kebudayaan Atlantik Utara. Dalam doktrin masyarakat Atlantik Utara, siapa pun mempunyai hakkerapkali bahkan diklaim sebagai hak asasi-untuk menangkap ikan di mana saja yang disukainya, dan karena itu tidak boleh dibatalkan dengan cara pengaturan, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota nelayan. Tradisi ini, niscaya mempengaruhi para penasihat perikanan dari negaranegara Atlantik Utara untuk memberi dorongan supaya mengabaikan sistem hak-hak khusus yang mereka ketahui ada di negara-negara berkembang. Sementara itu, dari sisi hukum, hambatan penegakan HPWP diperkirakan bersumber dari persepsi masyarakat, khususnya pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam proses produksi hukum, yang masih dominan melihat sumber daya laut sebagai aset milik bersama. Hambatan yang lain, bersumber dari prosedur produksi dan subtansi hukum. Prosedur perancangan dan pembahasan produk hukum, khususnya UU dan PP, belum membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Demikian

196

pula, hingga kini belum ada satu produk hukum pun yang mengatur mengenai HPWP, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Ruang lingkup HPWP HPWP hingga tahap tertentu menghilangkan keadaan milik bersama. Namun, HPWP tidaklah menyangkut pemilikan sumber daya alam (ownership of the resource), melainkan pemilikan suatu haka penggunaan (ownership of a right of use). Merumuskan ruang lingkup HPWP, bukan pekerjaan mudah karena sifat laut yang bermatra tiga dan cairnya perantara dan sumber dayanya. Juga terdapat kesukaran membuat generalisasi, mengingat tanggapan budaya yang berbeda-beda mengenai pemilika pada masyarakat yang berlainan. Akan tetapi, pada tarap permulaan, beberapa jenis hak tertentu perlu diberlakukan agar HPWP berhasil guna. Hak-hak tertentu tersebut adalah hak untuk menghalangi atau mengawasi keikutsertaan orang lain dalam wilayah HPWP. Hak lainnya ialah kewenangan menetapkan banyaknya dan jenis penggunaan sumber daya alam dalam wilayah HPWP. Hak yang lainnya lagi ialah hak untuk mengambil kegunaan (benefits) dari pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah HPWP. Kegunaan tersebut, dapat diambil melalui penarikan pungutan dari pengguna sumber daya alam, atau melalui persewaan atau penjualan hak-hak itu. Wilayah yang tercakup dalam suatu HPWP, dapat mengenai permukaan, dasar, atau seluruh lajur air pada suatu daerah tertentu. Luas wilayah berbeda menurut jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan dan sifat-sifat geografisnya. Sumber daya alam itu harus cukup besar sehingga penggunaan di luar wilayah itu tidak mengurangi secara nyata nilai penggunaan di dalam wilayah HPWP. Wilayah itu hendaknya dengan

mudah dapat dipertahankan dan dilindungi oleh hukum serta kelembagaan negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah HPWP harus diberi tanda yang jelas dan mudah dikenali. Elemen HPWP tersebut, tidak perlu berarti bahwa wilayah itu harus mencakup seluruh persediaan ikan sepanjang gerakan migrasinya. Suatu

197

HPWP bersifat khusus untuk tempatnya. Misalnya, suatu wilayah yang ditempati memasang alat pengumpul ikan, dapat menjadi dasar HPWP yang berhasil guna, walaupun wilayah itu hanya meliputi beberapa mil persegi saja untuk persediaan ikan yangberenang dalam daerah ribuan mil. Demikian pula, hak menggunakan jaring pantai dapat merupakan dasar bagi HPWP yang berhasil guna, walaupun jaring tersebut dipakai untuk menangkap persediaan ikan pelagis yang bermigrasi sepanjang pesisir. Unsur penting disini bukanlah tingkat wilayah cakupan dari persediaan sumber daya alam perikanan (the degree of conslure of the stock), tetapi tingkat terdapatnya nilai yang berkaitan di wilayah itu (the degree to which there is a value associated with the territory). Terdapat sejumlah keadaan penting yang berkaitan erat dengan upaya pembentukan dan pemeliharaan HPWP, yaitu sifat sumber daya alam, penentuan batas-batas, teknologi yang digunakan, faktor

kebudayaan, distribusi kekayaan, serta sistem pemerintahan dan institusi hukum. Pertama, sifat sumber daya alam perikanan. Ada beberapa sifat sumber daya alam yang mempunyai pengaruh terhadap efektifitas potensial dan nyata dari HPWP. Jenis ikan yang menetap dapat dengan mudah dijadikan pokok pembentukan HPWP. Demikian pula, terhadap jenis ikan yang dapat dipelihara pada tempat tertutup, seperti kurungan ikan dan keramba. Jenis ikan lainnya yang memudahkan pembentukan dan pemeliharaan HPWP ialah jenis ikan yang tertarik pada sarana buatan dan berkumpul di sekitarnya, serta jenis ikan yang memijah ke hulu sungai (anadromous) dan ke hilir (catadromous), seperti ikan salem dan sidat yang bermigrasi ke air tawar. Pembentukan dan pemeliharaan HPWP memang akan mengalami kesulitan terhadap jenis-jenis ikan lainnya, tetapi kemungkinannya belum tertutup sama sekali. Dengan sistem pengawasan melalui suatu kerjasama di antara pemilik-pemilik HPWP yang bertetangga, peluang itu menjadi mungkin. Umpamanya, jenis ikan yang bermigrasi sepanjang suatu garis pantai dapat menjadi dasar pembentukan dan pemeliharaan HPWP, melalui cara kerja sama di antara mereka untuk membatasi dan mengatur

198

dengan pengawasan bersama mengenai jumlah alat tangkap atau hasil tangkap masing-masing. Kedua, penentuan batas-batas HPWP. Keadaan wilayah perairan memang akan menyulitkan penentuan batas-batas HPWP. Namun, tersedia berbagai cara untuk menandai batas-batas tersebut. Batas-batas dapat dihubungkan dengan sebuah pulau kecil atau terumbu karang, muara sungai, atau keistimewaan geografis yang rrelatif kecil dan jelas. Dapat juga batas-batas itu ditentukan sepanjang garis pantai, kemudian diproyeksikan ke arah laut sejauh jarak tertentu. Atau ditentukan dengan menggunakan tanda yang berhubungan dengan alat tangkap buatan yang ditempatkan secara menetap di laut, Seperti alat penghimpun ikan. Ketiga, teknologi penangkapan ikan. Cara-cara penangkapan dan peralatan yang berbeda juga mempunyai akibat penting terhadap pembentukan dan pemeliharaan HPWP. Berbagai jenis alat tangkap yang terpancang di dasar laut, seperti bubu (pots), perangkap (traps), jaring tetap (set nets), dan pancing ulur (trot lines), dapat menjadi avuan pembentukan HPWP. Lokasi untuk menempatkan jenis-jenis alat atngkap ini dapat menjadi dasar untuk menentukan wilayah HPWP. Tentu saja, teknik penangkapan yang memerlukan operasi di laut yang luas, seperti pukat harimau (trawls) atau pukat pancing (purse seines), tidak dapat diberikan HPWP. Keempat, faktor kebudayaan. Tanggapan kebudayaan berbagai masyarakat terhadap pembentukan HPWP sangat bervariasi. Akan tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar kebudayaan masyarakat menerima pemberian hak (secara pribadi atau kelompok) atas sumber daya berupa tanah. Besar kemungkinan sebagian besar kebudayaan mengizinkanperluasan hak-hak itu ke laut, seperti ditandai oleh meluasnya sistem penguasaan laut tradisional. Satu hal yang jelas dari keadaan ini adalah perlunya perhatian dicurahkan pada keadaan kebudayaan sebelum dimulai usaha menetapkan suatu sistem HPWP. Kelima, distribusi kekayaan. Pembagian HPWP jelas mempunyai akibat terhadap distribusi kekayaan. HPWP itu memberikan nilai kepada pemiliknya tetapi mengurangi nilai penangkapan mereka yang bukan

199

pemilik. Ketimpangan ini mungkin dapat diatasi dengan intervensi pemerintah melalui mekanisme pembagian kembali hasil yang dipungut pemerintah dari pemberian dan pengelolaan HPWP. Karena itu, proses pembentukan dan pemeliharaan HPWP pada dasarnya bersifat politis. Keenam, sistem pemerintahan dan institusi hukum. Merujuk pada kondisi di atas, maka pemerintah harus mempunyai wewenang penuh untuk dapat membuat keputusan tentang distribusi dan melaksanakannya. Selain itu, harus pula ada peraturan dan lembaga yang mengizinkan pemerintah untuk melaksanakan wewenang yang diperlukan dan yang mendukung perlindungan dan pemeliharaan HPWP.

3. Bentuk dan Subjek HPWP Bentuk yang dimaksudkan sebagai penjelmaan kongkret berupa jenis-jenis hak, sedangkan subyek adalah kepada siapa hak-hak itu diberikan. Beberapa versi dapat dijumpai, tetapi seperti sudah

dikemukakan sebelumnya, tidak satu pun versi itu berasal dari ahli hukum sehingga penggunaan terminologi hak, selain kurang komprehensif dari perspektif hukum, juga sering tidak konsisten. Merujuk pada pengalaman budaya dan sejarah Filipina, Anonuevo (1993) berpendapat bahwa secara teoritis dan hukum, subyek yang dapat mempunyai hak milik (property rights)atas sumber daya adalah negara, individu (swasta), atau suatu masyarakat. Sumber daya pantai sebagai kekayaan nasional merupakan hak milik negara. Namun, status kepemilikan tersebut saat ini tidak efektif karena negara tidak mampu mengelola dan menegakkan hukum yang mengatur masalah perikanan. Konsekuensinya kemudian adalah sumber daya alam perikanan pantai kembali menjadi terbuka bagi setiap orang (open-accsees). Pemberian hak milik pada negara (property rights to the state) tetap menimbulkan perdebatan. Di bawah rezim kepemilikan negara (state property rezimes), negara beerhak atas seluruh bunga sumber daya (resources rent). Akan tetapi, yang terjadi sesungguhnya bunga sumber daya itu hanya dinikmati oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu sehingga apa yang disebut bunga

200

sumber daya itu tidak lebih dari sekadar bunga oligarkis (oligarchic rent). Bahkan, sering penguasa oligarkis mengatasnamakan negara untuk menyingkirkan kepentingan sosial atau ekologi. Dalam konteks hak milik negara atas sumber daya perikanan pantai, kekuasaan negara berbeda sekali dengan kekuasaan rakyat. Padahal, secara teoretis-normatif, seharusnya kekuasaan negara merupakan penjelmaan dari kekuasaan rakyat. Dengan demikian, mengukuhkan hak milik negara atas sumber daya perikanan pantai bertentangan dengan nilai demokrasi yang dianut masyarakat modern secara universal. Kelemahan rezim kepemilikan negara hanya dapat direduksi dengan memperkuat masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani yang kokoh dan kuat akan berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang

(counterbalance) terhadap kekuasaan negara. Pemberian hak milik atas sumber daya perikanan pantai kepada pribadi atau swasta dapat menjadi bagian dari upaya memperkuat masyarakat madani. Idealnya, pemberian hak milik kepada swasta atau pribadi atas sumber daya perikanan pantai, selain akan memperkuat masyarakat madani juga sebagai pengejawantahan kebebasan berusaha (free enterprise) dan doktrin tangan tersembunyi (invisible hand) memainkan peran penting. Banyak pendapat menilai bahwa ini merupakan pilihan paling rasional karena akan mendorong optimalisasi sumber daya melalui mekanisme hukum ekonomi. Namun, pengalaman sejarah panjang swastanisasi dan privatisasi di negara berkembang, khususnya Filipina, membalikkan optimisme terhadap efektifitas hukum ekonomi dalam mengontrol perilaku usaha swasta dan perorangan. Kenyataannya, jurang kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar karena berhimitnya kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan di daerah daratan tinggi telah terjadi pemusatan pemilikan sumber daya di tangan beberapa orang, dan telah mengakibatkan kerusakan sumber daya yang sangat parah serta semakin

menyengsarakan rakyat. Pilihan berikutnya adalah pemberian hak milik atas sumber daya kepada masyarakat yang langsung tergantung kehidupannya pada sumber

201

daya

alam perikanan

tersebut.

Jika

tujuan

pembangunan

untuk

pemberdayaan rakyat dan keadilan bagi generasi sekarang dan yang akan datang, maka satu-satunya pilihan ialah pemberian hak milik kapada masyarakat (community property rights). Di bawah rezim pemilikan masyarakat, sistem pengelolaan sumber daya berbasis kerakyatan (CBCRM) akan berkembang dengan baik. Pendapat kedua tentang bentuk dan subyek HPWP datang dari Bromley dan Cernea.49 Mereka sesungguhnya tidak berbicara khusus tentang sumber daya alam perikanan, tetapi jalan pikiran yang

dikemukakannya, pada derajat tertentu, dapat diproyeksikan pula ke dalam sistem pengelolaan sumber daya alam perikanan. Kedua ahli ekonomi tersebut termasuk pembela-pembela konsep milik bersama. Merujuk pada hasil penelitian Jodha di India, mereka berpendapat bahwa privatisasi terhadap sumber daya milik bersama, justru merupakan awal malapetaka bagi penduduk pribumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di 21 daerah tropis India, antara 84 sampai 100 persen penduduk miskin pribumi menggantungkan hidupnya secara subsistensi pada lahan milik bersama. Pada saat yang sama, 10 sampai 24 persen dari keluarga kaya menggunakan lahan tersebut untuk kolam pengendapan dari perkayuan. Akibatnya, selama 30 tahun terakhir 26 sampai 63 persen lahan milik bersama beralih menjadi lahan perorangan, yang berarti kehilangan besar bagi penduduk pribumi. Skenario yang sama juga terjadi ketika lahan milik bersama dikonversi menjadi milik negara, seperti nasionalisasi hutan di Nepal. Meski demikian, Bromley dan Cernea mengajukan empat rezim (rezimz) yang dapat dijadikan dasar pengelolaan sumber daya alam. Keempat rezim itu adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Rezim milik negara (state own property rezims). Rezim milik swasta (private own property rezims). Rezim milik bersama (common own property rezims). Rezim tanpa milik (non-property rezims atau open accsess).

49

Ibid. hlm. 271.

202

Di bawah rezim milik negara, pemilikan dan kontrol atas sumber daya berada di tangan negara. Individu dan kelompok boleh menggunakan sumber daya alam, tetapi hak kepemilikannya tetap pada negara. Perubahan dari rezim milik negara ke rezim lain atau sebaliknya, dapat saja terjadi. Nasionalisasi hutan desa di Nepal pada tahun 1957 oleh pemerintah, merupakan contoh perubahan dari rezim milik bersama ke rezim milik negara. Negara bisa langsung mengelolan sumber daya alam melalui lembaga pemerintah. Bisa juga disewakan kepada kelomok masyarakat atau perorangan untuk jangka waktu tertentu. Ada pula contoh menarik mengenai mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan oleh negara kepada kelompok masyarakat tertantu, seperti yang terjadi di Bengala Barat (India) dalam bentuk tree growing associations. Melalui sistem ini, sekelompok petani tak bertanah atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih kepadanya. Hak milik atas tanah tetap pada negara. Petani hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut. Selanjutnya mengenai rezim milik swasta. Secara umum, sudah diakui bahwa hak milik swasta (private property) merupakan rezim yang paling jelas di antara rrezim-rezim lainnya. Termasuk dalam rezim milik swasta adalah hak milik individu (individual property) dan hak milik perusahaan (corporate property). Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan tidak melibatkan orang lain. Bahkan, dalam upaya pemanfaatan tersebut, subjek hak milik swasta dapat mengusir orang lain. Terdapat pandangan bahwa hak milik swasta sangat memadai untuk saat ini. Namun, menurut Bromley dan Cernea, terdapat dua fenomena yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak perampasan tanah terjadi di berbagai bagian dunia bukan sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya konsentrasi pemilikan tanah di tangan keluarga-keluarga kuat. Bahkan,

203

fenomena seperti ini terjadi di sebagian beasr negara-negara Amerika Latin. Kedua, hak milik swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut highest and best use of land. Fenomena Amerika Latin-sebagian besar tanah subur menjadi padang penggembalaan, sementara tanaman pangan berada di tanah kurus-merupakan contoh mengenai hal ini. Dengan latar belakang ini pula, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah yang terburuk dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley dan Cernea, yang termasuk kategori public domain adalah state property, common property (res communis), dan open-accsess (res nullius). Berlainan dengan para ahli lainnya, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, Bromley dan Cernea membedakan antara common property dan open-accsess. Common property, menurut mereka esensinya adalah hak milik swasta dalam kelompok dan kelompoklah yang menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumber daya alam milik bersama. Sementara itu, open-accsess diartikan sebagai suatu situasi tanpa hak milik. Situasi ini muncul umumnya karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengolahan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma tingkah laku yang berhubungan dengan sumber daya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik muncul akibat gagaglnya ketiga rezim sebelumnya. Pendapat ketiga tentang bentuk dan subyek HPWP, dikemukakan oleh Christy.50 Bahkan, dapat dikatakan bahwa Christy lah yang pertama kali memperkenalkan terminologi territorial use rights in fisheries (TURFs) disertai penjelasan yang relatif komprehensif. Menurutnya, sebagai langkah awal diperlukan sedikitnya tiga macam hak yang bersifat spesifik, yakni sebagai berikut: 1. Hak untuk menghalangi orang lain (the rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah tertentu yang telah dijadikan objek hak. 2. Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumber daya alam dalam wilayah tersebut.
50

Ibid. hlm. 275

204

3. Hak untuk mengambil derma (the rights of extract benefits). Derma dapat diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan dari pemakai sumber daya alam. Bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa maupun penjual-an dari hak-hak itu. Mengenai subyek HPWP, Christy berpendapat bahwa HPWP dapat diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi, atau masyarakat. Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabangcabang politik, seperti suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara, atau kepada perusahaan multinasional. Adapun tentang jangka waktu HPWP, relatif sukar untuk ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya harus cukup lama agar memungkinkan pemilik hak memperoleh

pendapatan yang memuaskan atas setiap modal yang ditanamkan. Khusus HPWP yang subjeknya masyarakat, jangka waktunya mungkin tidak dibatasi.

C. Penutup Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi pembelajaran keempatbelas dan kelimabelas dilakukan dalam bentuk kuis, yakni mengangakt beberapa pertanyaan yang dilengkapi dengan penjelasan dan dilakukan pada tatap muka kelimabelas. Beberapa pertanyaan yang dikemukakan, seperti: 1. Sebutkan UU yang terkait dengan pengelolaan perikanan disertai dengan penjelasannya? 2. Sebutkan ruang lingkup Hak Penggunaan Wilayah Untuk Perikanan (HPWP)? 3. Sebutkan bentuk dan subjek HPWP?

Daftar Bacaan Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007. Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

205

Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961. Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta: Dian Pratama Printing, 2003.

206

BAB 16 BAHAN PEMBELAJARAN 16


A. Sasaran Pembelajaran Ujian Akhir Semester B. Uraian: Pelaksanaan ujian akhir semester dilaksanakan dengan memberikan pilihan pada mahasiswa untuk mengikuti ujian akhir yang diberikan dapat bentuk makalah atau ujian tertulis. Pilihan makalah atau ujian tertulis oleh peserta didik akan bersifat individu yang dipilih dan atau diberikan dari materi hukum laut yang telah dipelajari. Adapun kriteria penilaian makalah berupa Isi Makalah; Organisasi makalah; Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; dan Ketepatan waktu. Sedangkan ujian tertulis didasarkan pada kemampuan peserta didik menjelaskan materi yang dipertanyakan dilengkapi dengan analisis dan contoh. C. Penutup Kriteria evaluasi adalah makalah individu dan ujian tertulis.

You might also like