You are on page 1of 25

1

BAB I PENDAHULUAN

Oftamologi pada anak memberikan tantangan khusus bagi para ahli oftamologi, dokter anak, dan dokter keluarga. Gejala-gejalanya nonspesifik, dan teknik pemeriksaan yang biasa dilakukan memerlukan modifikasi. Perkembangan sistem penglihatan masih terus berlangsung selama dekade pertama kehidupan, dan terdapat potensi terjadinya ambliopia bahkan dengan penyakit mata yang relatif ringan.(1) Karena perkembangan mata sering mencerminkan perkembangan organ dan jaringan tubuh sebagai satu kesatuan, banyak defek somatik kongenital yang tercermin di mata. Banyak kelainan mata yang berawal pada masa janin dan berakibat dikemudian hari. Gangguan mata dapat terjadi pada setiap fase kehidupan, yaitu pada fase embrionik, masa janin (kehamilan 12 40 minggu), masa tumbuh kembang bayi-anak. Banyak kelainan mata pada bayi dan anak yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa.(1,2) Perlu dilakukan kolaborasi antara dokter mata, dokter anak, dokter saraf, dan pekerja kesehatan lainnya dalam menangani kasus-kasus ini. Kolaborasi serupa juga diperlukan dalam menilai aspek pendidikan pada setiap anak dengan penurunan penglihatan.(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit mata Pada Anak 2.1.1 Kelainan pada Kelopak Mata Kelopak mata dapat dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi dari kulit dan infeksi diantaranya(3): A. Blefaritis Blefaritis merupakan inflamasi pada tepi kelopak mata dengan karakteristik-karakteristik seperti debris keras pada dasar dari bulu mata, eritema dengan berbagai tingkatan pada tepi kelopak, dan pada beberapa kasus yang berat terjadi perubahan kornea sekunder, seperti erosi pungtata, vaskularisasi, dan ulkus. Staphylococcus merupakan bakteri penyebab paling sering. Penatalaksanaan meliputi membersihkan kelopak dengan shampoo bayi yang tidak pedih beberapa kali seminggu dan penggunaan antibiotik topikal salep seperti eritromisin atau basitrasin saat tidur.(3)

Gambar 1. Blefaritis

B. Ptosis Ptosis kongenital umumnya disebabkan oleh distrofi muskulus levator palpebra superior. Penyebab lainnya adalah Sindrom Horner kongenital dan kelumpuhan nervus ketiga kongenital. Pada sindrom Horner, orang tua pasien biasanya memperhatikan ukuran pupil yang tidak sama (anisokor) atau warna mata yang berbeda.(1,3)

Gambar 2. Ptosis C. Koloboma Palpebra Koloboma palpebra merupakan salah satu kelainan kelopak mata yaitu merupakan suatu celah yang bisa terdapat di palpebra superior atau inferior akibat fusi tidak lengkap prosessus maksilaris janin. Defek yang besar memerlukan koreksi dini untuk menghindari ulserasi kornea akibat terpajannya kornea. Koloboma palpebra kongenital umumnya dijumpai bersamaan dengan kelainan kraniofasial seperti sindroma Goldenhar.(1)

Gambar 3. Koloboma palpebra D. Kalazion Kalazion merupakan inflamasi dari kelenjar Meibom, yang menghasilkan nodul nyeri pada tarsus kelopak mata atas atau bawah. Sebagai tambahan terhadap eritema lokal pada konjungtiva palpebra, mungkin terbentuk lipogranuloma berwarna kuning. Penatalaksanaan berupa kompres hangat selama 10-15 menit sebanyak empat kali sehari. Apabila insisi dan kuretase diperlukan karena lesi lama untuk disembuhkan, pasien perlu diberikan anestesi umum.(3)

Gambar 4. Kalazion

2.1.2 Kelainan Pada Konjungtiva A. Konjungtivitis pada bayi baru lahir (oftalmia neonatorum) Konjungtivitis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh bahan kimia, bakteri, klamidia, atau virus. Kadang- kadang etiologinya dapat dibedakan berdasarkan waktu timbulnya. Pada negara berkembang, Klamidia merupakan penyebab tersering. Konjungtivitis pada bayi baru lahir dapat membahayakan penglihatan apabila disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe.(1,3) Oftalmia neonatorum ditandai dengan kemerahan dan bengkak pada kelopak dan konjungtiva dan disertai sekret. Diagnosis antenatal dan pengobatan infeksi genital pada ibu hamil akan dapat mencegah konjungtivitis neonatorum.(1,3) Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh Klamidia pemberian terapi sistemik dengan eritromisin dianjurkan karena lebih efektif dibandingkan topikal dan dapat membantu eradikasi kuman yang terdapat di nasofaring, yang dapat menjadi predisposisi timbulnya pneumonitis.(3) Pada semua kasus yang disebabkan oleh infeksi klamidia atau gonokokus, kedua orang tua juga harus diberikan terapi sistemik. Jenisjenis lain konjungtivitis bakterial memerlukan penetesan obat antibakteri topikal, misalnya natrium sulfasetamid, basitrasin, atau tetrasiklin, segera setelah hasil hapusan diketahui. Bayi yang terkena harus diperiksakan penyakit menular seksual lainnya dan diobati.(3) Konjungtivitis yang disebabkan oleh herpes biasanya dapat sembuh spontan, tetapi mungkin memerlukan terapi antivirus, terutama

bila berkaitan dengan infeksi diseminata yang terutama terjadi pada individu-individu atopik.(3)

Gambar 5. Oftalmia Neonatorium B. Gonoblenore Adalah konjungtivitis yang hiperakut dengan sekret purulen yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea. Proses keradangan hiperakut konjungtiva dapat disebabkan oleh Neisseria gonorrhea, yaitu kumankuman berbentuk kokus, gram negatif yang sering menjadi penyebab uretritis pada pria dan vaginitis atau bartolinitis pada wanita. Infeksi dapat terjadi karena adanya kontak langsung antara Neisseria gonorrhea dengan konjungtiva.(4) Gejala klinis pada penyakit gonoblenore dapat terjadi secara mendadak. Masa inkubasi terjadi beberapa jam sampai 3 hari. Keluhan utama berupa mata merah, bengkak, dengan sekret seperti nanah yang kadang-kadang bercampur darah. Perdarahan dapat terjadi oleh karena

edema konjungtiva yang hebat. Hal ini akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva, dan timbul perdarahan. (4)

Gambar 6. Gonoblenore Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pemeriksaan klinis didapatkan suatu keradangan konjungtiva yang hiperakut dengan sekret mata seperti nanah yang kadang-kadang tercampur darah. Pemeriksaan laboratorium didapatkan kuman-kuman Neisseria gonorrhea dalam sediaan yang berasal dari kerokan atau sekret mata konjungtiva. (4) Penatalaksanaan pada penyakit ini berupa(4): Pada gonoblenore tanpa penyulit pada kornea Topikal: Salep mata Tetracycline HCl 1% atau Ciprofloxacin 0,3% yang diberikan minimal 6 kali sehari pada neonatus dan diberikan sedikitnya tiap 2 jam sekali. Sebelum diberikan salep/tetes mata, sekret harus dibersihkan terlebih dahulu

Sistemik:

Pada neonatus dan anak-anak injeksi penisilin diberikan dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB. Bila penderita tidak tahan dengan obat-obat derivat penisilin bisa diberikan Thiamphenicol 3,5 gram dosis tunggal atau Tetracycline 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4 kali 500 mg/hari selama 4 hari. Pada gonoblenore dengan penyulit pada kornea Topikal:

Ciprofolaxacin 0,3% dengan cara pemberian sbb : Hari I : 1-2 tetes, setiap 15 menit selama 6 jam Selanjutnya diberikan 2 tetes setiap 30 menit Hari II Hari III : 2 tetes tiap 1 jam : 2 tetes tiap 4 jam

Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup, gonoblenore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan lebih lambat atau kurang intensif, maka kesembuhannya mungkin disertai sikatriks kornea dan penurunan tajam penglihatan yang menetap atau kebutaan. (4) C. Kista Dermoid Adalah merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan ektodermal. Jaringan tumor terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar keringat dan jaringan kulit. Lokasinya dapat pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.(5)

Gambar 7. Kista Dermoid D. Dermolipoma Gambaran klinik menyerupai kista dermoid yakni berupa tonjolan berbentuk bulat dengan permukaan licin. Terdiri dari atas jaringan lemak dan jaringan ikat.(5)

Gambar 8. Dermolipoma 2.1.3 Kelaianan Pada Kornea A. Keratitis Virus Herpes simplek, herpes zoster, dan adenovirus semuanya dapat menginfeksi kornea, apabila lapisan epitel rusak gambaran dendritik atau amoeboid dapat terlihat dalam pewarnaan fluoresen. Kornea yang terinfeksi herpes simplek bersifat rekuren dan dapat menyebabkan kebutaan.(3)

10

Gejala klinis umumnya pasien mengeluhkan nyeri dan mata merah. Fotofobia dan penurunan penglihatan merupakan keluhan yang sering timbul. Demam, malaise dan infeksi saluran pernafasan atas juga bisa muncul.(3) Pemberian fluoresen pada kornea akan memperlihatkan kelainan apabila disinari dengan cahaya biru, penurunan ketajaman penglihatan, fotofobia, konjungtivitis juga perlu diperhatikan. Pemeriksaan

menggunakan slitlamp dapat memperlihatkan infiltrat putih di bawah epitel kornea.(3) Penatalaksanaan menggunakan antivirus topikal (seperti

trifluridine dan vidarabine) diindikasikan apabila infeksi herpes simplek terbatas pada epitel kornea, meskipun tambahan terapi sistemik juga diperlukan pada neonatus. Seperti kortikosteroid topikal mungkin menjadi tambahan terapi yang berguna apabila mengenai lapisan stroma. Penggunaan kortikosteroid pada penyakit herpes sebaiknya hanya boleh dilakukan oleh spesialis mata karena resiko memperburuk penyakit tersebut.(3)

Gambar 9. Keratitis Herpes Simplex

11

B. Megalokornea Adalah kornea dengan diameter lebih besar dari pada 12 mm, dengan kornea jernih. Megalokornea harus dibedakan dengan buftalmos, dimana kornea keruh dan terdapat sisa-sisa jaringan mesodermal pada sudut bilik mata.(5)

Gambar 10. Megalokornea C. Mikrokornea Pada mikrokornea diameter kornea lebih kecil sedang ukuran lensa normal, akibatnya iris akan terdorong ke depan sehingga menutup sudut bilik mata depan, dengan akibat gangguan pertumbuhan sudut bilik mata depan.(5)

Gambar 11. Mikrokornea (OS)

12

2.1.4 Kelainan Pada Uvea A. Uveitis Menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), korpus siliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Gejala klinis pada uveitis anterior biasanya unilateral dengan onset akut. Gejala yang khas meliputi nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur. Pada pemeriksaan, biasanya ditemukan kemerahan sirkumkorneal dengan injeksi konjungtiva palpebralis dan sekret yang minimal.(1) Uveitis intermediet merupakan jenis peradangan intraokuler, tanda uveitis intermediet yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya bilateral. Uveitis posterior biasanya gejala yang timbul berupa floaters, kehilangan lapangan pandang, atau penurunan tajam penglihatan.(1)

Gambar 12. Uveitis B. Koloboma iris Adalah keadaan dimana sebagian jaringan iris tidak terbentuk, sehingga terdapat lubang dengan bentuk bermacam-macam. Biasanya terjadi karena penutupan fissura fetal yang tidak lengkap dan dapat disertai

13

dengan koloboma koroid dan retina di daerah yang sama. Tajam penglihatan sangat buruk bila terdapat koloboma retina meliputi juga daerah makula atau disertai koloboma pupil.(5)

Gambar 13. Koloboma Iris C. Aniridia Adalah keadaan dimana jaringan iris tidak terbentuk, sehingga terlihat tepi lensa. Kelainan ini jarang ditemukan dan terdapat bersamasama dengan glaukoma kongenital akibat gangguan perkembangan sudut bilik mata depan oleh jaringan mesodermal.(5)

Gambar 14. Aniridia

14

2.1.5 Kelainan Pada Lensa Katarak Kongenital Adalah kekeruhan lensa yang terjadi sejak lahir. Sepertiga katarak kongenital disebabkan oleh kelainan herediter, sepertiga yang lain karena gangguan metabolisme atau infeksi atau berkaitan dengan bermacam sindrom, sedang sepertiga terakhir tidak dapat dipastikan penyebabnya. Virus Rubella yang menyerang kehamilan ibu trimester pertama dikatakan menghambat mitosis sel-sel di beberapa jaringan janin. Pertumbuhan vesikel lensa pada saat itu terjadi pemanjangan sel-sel epitel posterior yang mengakibatkan perkembangan lensa menjadi abnormal.(6) Katarak kongenital sering disertai kelainan kongenital lainnya sehingga merupakan sindroma. Antara lain (sindroma rubella,

galaktosemi, hipoglikemi, Sindroma Lowe, dan distrofi miotonik). Manifestasi kelainan mata yang bisa menyertai katarak kongenital adalah megalokornea, koloboma iris, ektopia lensa, aniridia, mikroftalmus, dan displasia retina.(6) Gejala klinis yang terjadi biasanya adalah orang tua penderita mengamati bahwa anaknya setelah kelahiran bulan atau tahun pertama, tajam penglihatan sangat berkurang. Pupil mungkin berwarna putih, tergantung tebalnya kekeruhan lensa.(6) Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tajam penglihatan untuk memperoleh kesan apakah tajam penglihatan bayi masih ada atau sudah jelek. Dengan lampu senter dapat diamati apakah bayi masih ada reaksi terhadap cahaya, yaitu mengikuti arah cahaya. Dengan

15

pupil yang telah dilebarkan tampak kekeruhan lensa putih keabuan. Oftalmoskopi dilakukan untuk mengevaluasi refleks fundus. Diagnosis banding pada penyakit ini yaitu retinoblastoma dan retrolental fibroplasia.
(6)

Penatalaksanaan meliputi pencegahan menggunakan vaksin bagi wanita hamil yang diharapkan akan mengurangi insiden dari penyakit ini. Pembedahan dilakukan apabila didapatkan katarak unilateral yang padat, sentral dengan diameter lebih dari 2 mm atau katarak menyerang kedua mata, dianjurkan ekstraksi katarak pada waktu bayi berusia 2 bulan untuk memungkinkan berkembangnya tajam penglihatan dan mencegah

ambliopia. Apabila operasi ini berhasil dengan baik, operasi mata kedua dapat dilakukan segera. Koreksi afakia dilakukan dengan pemberian lensa kontak atau kaca mata. Pemasangan lensa intra okuler pada infantil masih merupakan kontroversi.(6)

Gambar 15. Katarak Kongenital

16

2.1.6 Kelainan pada Retina A. Retinopati Prematuritas Retinopati prematuritas adalah penyakit vasoproliferatif pada prematur, bayi berat lahir rendah, yang terjadi akibat vaskularisasi yang menyimpang pada retina yang imatur. Retinopati prematuritas yang sebelumnya disebut fibroplasia retrolental, diperkirakan menyebabkan 550 kasus kebutaan baru pada bayi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap 15% kasus kebutaan pada negara-negara industri.(1,7) Proses vaskularisasi retina berlangsung secara sentrifugal dari nervus optikus, yang dimulai pada usia gestasi 4 bulan. Pembuluhpembuluh retina normalnya mencapai ora serata nasalis pada usia gestasi 8 bulan dan ora serata temporalis pada 9 bulan. Retinopati prematuritas terjadi bila proses ini terganggu. Kelainan ini biasanya bilateral, tetapi sering asimetrik. Fase aktif meliputi perubahan-perubahan di taut retina vaskuler dan avaskuler, mula-mula sebagai sebuah garis batas yang jelas (stadium 1), diikuti oleh pembentukan rigi yang jelas (stadium 2), kemudian proliferasi fibrovaskular ekstraretina (stadium 3). Pada pasien dengan stadium 3 pun, insidens terjadinya regresi spontan tetap tinggi. Juga harus dipertimbangkan lokasi perubahan dalam hubungannya dengan jarak dari diskus optikus, luas panyakit dalam jarum jam, serta adanya dilatasi vena dan arteri yang berkelok-kelok di segmen posterior (penyakit plus). Fase sikatrikal (stadium 4 dan 5) bermanifestasi sebagai ablasio

17

retina berat, yang berakibat pada gangguan penglihatan yang bermakna sekalipun diperbaiki dengan bedah vitreoretina.(1) Faktor resiko utama timbulnya retinopati prematuritas adalah usia gestasi dan berat lahir yang rendah. Walaupun diketahuinya peran kausatif pemberian oksigen tambahan (suplemental) dan pembatasannya tampak menurunkan insidens retinopati prematuritas, faktor-faktor lain berperan dalam onset dan keparahan penyakit. Faktor-faktor resiko terkait meliputi asidosis, apnea, duktus arteriosus paten, septikemia, transfusi darah, dan perdarahan intraventrikel.(1,3,7) Semua bayi dengan berat lahir 1500 g atau kurang, bayi dengan kelahiran dibawah usia 33 minggu, dan bayi yang mendapat terapi oksigen tambahan jangka panjang dianjurkan menjalani pemeriksaan skrining berulang untuk mencari adanya retinopati prematuritas. Sebanyak 60% bayi-bayi tersebut akan mengalami penyakit ini walaupun hanya pada stadium-stadium awalnya. Pemeriksaan skrining harus dimulai 2-4 minggu setelah lahir dan berlanjut sampai vaskularisasi mencapai seluruh retina, sampai tanda-tanda retinopati prematuritas telah mengalami resolusi spontan, atau sampai diberikan terapi yang tepat. Dilatasi pupil dengan Cyclomydril (cyclopentolate 0,2% dan phenylphrine 1 %). Penentuan dialakukannya terapi ablasi laser telah berubah selama dekade terakhir, dengan rekomendasi terbaru, yaitu pada bayi-bayi dengan penyakit stadium 2 yang disertai pembuluh yang berkelok-kelok dan mengalami kongeasti (penyakit plus). Terapi tersebut harus dilakukan dengan bantuan seorang ahli neonatologi yang berpengalaman dibawah pemantauan yang

18

cermat karena adanya resiko komplikasi sistemik yang serius, termasuk pernapasan dan henti napas-jantung. (1,3) Terapi laser dioda telah menggantikan krioterapi. Bagaimanapun, beberapa pasien tetap berkembang menjadi ablasio retina, dimana akan memberikan prognosis yang sangat buruk pada penglihatan. Terapi pembedahan untuk ablasio retina meliputi scleral buckling atau lenssparing vitrectomy.(1,7) B. Retinoblastoma Retinoblastoma merupakan suatu penyakit keganasan primer intraokuler terbanyak pada anak, bisa terjadi secara herediter dan non herediter. Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan sel kerucut) atau sel glia, yang ganas, bersifat kongenital dan terjadi pada anak-anak. Angka insiden retinoblastoma kurang lebih 11 per satu juta penduduk usia dibawah 5 tahun. Gejala klinis retinoblastoma beraneka ragam, seperti adanya leukokoria, strabismus, peradangan (iritis), buftalmos, hifema spontan, dan retinal detachment.(8,9) Tumor ganas pada anak yang jarang ini bersifat fatal bila tidak diobati. Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga; sekitar 30% kasus, retinoblastomanya bilateral. Pada retinoblastoma herediter, predisposisi genetik diwariskan sebagai suatu ciri autosomal dominan; anak-anak pasien memiliki kemungkinan hampir 50% untuk mengidap penyakit ini; dan tumor cenderung bilateral dan multifokal. Orangtua normal yang telah mempunyai satu anak dengan retinoblastoma memiliki resiko 4-7% melahirkan anak berikutnya dengan penyakit

19

serupa.

Beberapa

pemeriksaan

khusus

sangat

diperlukan

seperti

oftalmoskopi (direk dan indirek), USG, X-Ray, dan CT-Scan, serta pemeriksaan histologi.(9) Bayi dan anak dengan gejala-gejala awal strabismus harus diperiksa secara cermat untuk menyingkirkan retinoblastoma karena mata yang berdeviasi mungkin merupakan tanda pertama tumor. Pada anak dari keluarga yang mengidap retinoblastoma familial, perlu dilakukan pemeriksaan skrining teratur untuk mendeteksi tumor secara dini.(1) Reese dan Ellsworth membuat suatu klasifikasi di tahun 1960an dan memperkenalkan klasifikasi mereka pada pertemuan ke 67 American Academy of Opthalmology. (10) Reese-Ellsworth Classification of Retinoblastoma(9,10) Group 1 2 3 4 5 A Tumor soliter, 4 DD / Tumor B multipel, 4 4-10 DD DD

belakang ekuator belakang ekuator Tumor soliter, 4-10 DD Tumor multipel, belakang ekuator Lesi anterior ekuator Tumor mulitipel > 10 DD retina

belakang ekuator sampai Tumor soliter 10 DD posterior sampai ekuator Lesi anterior ke ora serata

Tumor masif atau > Vitreous seeding

Enukleasi adalah terapi pilihan hampir semua kasus retinoblastoma unilateral yang luas. Pada kasus bilateral, semakin sering digunakan terapi konservatif dengan kemoreduksi dan terapi laser fokal, radioterapi -

20

dengan plak episklera atau external beam, dan teknik-teknik fotokoagulasi untuk mempertahankan mata yang keparahannya lebih ringan.(1)

Gambar 16. Retinoblastoma

2.1.7 Glaukoma kongenital Glaukoma kongenital dapat timbul sendiri atau bersamaan dengan banyak lesi kongenital lainnya. Pengenalan dini penting untuk mencegah kebutaan permanen. Glaukoma kongenital sering kali bilateral. Gejala yang paling mencolok adalah fotofobia berat. Tanda-tanda awal adalah kekeruhan atau kekaburan kornea, peningkatan diameter kornea, dan peningkatan tekanan intra-okular. Karena bagian luar bola mata anak tidak cukup kaku, peningkatan tekanan intra-okular akan memperluas jaringan sklera dan kornea sehingga menimbulkan mata yang lebih besar dari normal (buftalmos). Diagnosis banding yang utama adalah cedera forseps saat lahir, anomali perkembangan kornea atau segmen anterior, dan mukopolisakaridosis, seperti sindrom Hurler. Semua penyakit ini menyebabkan kekaburan kornea, tetapi tak ada satu pun yang menyebabkan pembesaran bola mata. Diagnosis dini dan terapi medis serta

21

bedah oleh seorang ahli oftalmologi dapat mempertahankan fungsi penglihatan.(1)

Gambar 17. Glaukoma Kongenital

2.1.8 Strabismus Strabismus adalah ketidaksejajaran visual axis dari kedua mata. Strabismus dijumpai pada sekitar 2% anak. Pengenalan dini sering merupakan tanggung jawab dokter anak atau dokter keluarga. Kadangkadang, strabismus pada masa kanak-kanak memiliki kepentingan neurologik. Pendapat yang beranggapan bahwa mata juling pada anak akan hilang sendiri harus dihilangkan. Setiap anak dengan tanda strabismus setelah usia 3 bulan harus segera dirujuk untuk pemeriksaan oftamologik. Strabismus yang tidak diobati dapat menimbulkan efek kosmetik yang buruk, trauma psikis, dan ambliopia pada mata berdeviasi.
(1,3)

Jenis strabismus yang paling sering terjadi adalah jenis esotropia dan eksotropia. Esotropia merupakan strabismus yang konvergen.

22

Kebanyakan pasien dengan esotropia muncul sebelum usia sekolah, umumnya antara usia dua sampai tiga tahun. Esotropia seringkali bersifat tetap. Esotropia kongenital mempunyai onset pada tahun pertama kehidupan pada bayi-bayi yang sehat. Deviasi yang terjadi sangat besar dan jelas. Esotropia yang terjadi pada tahun pertama juga muncul pada bayi prematur atau anak dengan riwayat komplikasi perinatal yang dihubungkan dengan problem sistem syaraf pusat seperti perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular.(3)

Gambar 18. Esotropia Jenis yang lain, yaitu eksotropia merupakan strabismus yang divergen. Deviasi paling sering dimulai secara intermiten dan muncul setelah usia dua tahun. Eksotropia intermiten merupakan penyebab lebih dari separuh kasus eksotropia. Onset deviasi mungkin pada tahun pertama, dan dalam praktiknya, semua kasus sudah muncul pada usia 5 tahun. Dari anamnesis sering diketahui bahwa kelainan tersebut memburuk secara progresif. Suatu tanda yang khas adalah penutupan satu mata dalam cahaya terang. Eksotropia manifes pertama-tama terlihat pada fiksasi jauh. Pasien biasanya melakukan fusi pada penglihatan dekat, mengatasi

23

eksoforia bersudut sedang atau besar. Konvergensi seringkali sempurna. Tidak berhubungan dengan kelainan refraksi tertentu.(1,3)

Gambar 19. Eksotropia 2.1.9 Ambliopia Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan pada satu mata (yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa) tanpa adanya penyakit organik. Penyakit mata organik mungkin ada, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan penglihatannya.(1) Penyebab tersering ambliopia adalah strabismus, yakni bayangan dari mata yang berdeviasi ditekan (disupresi) untuk mencegah diplopia, dan anisometropia, yakni ketidakmampuan memfokuskan mata secara bersamaan yang menyebabkan supresi bayangan pada satu mata. Selain itu, ketidaksamaan dari nilai refraksi diantara dua mata (anisometropia) juga dapat menyembabkan ambliopia.(1,3) Karena penurunan fungsi penglihatan pada anak kecil dapat tidak terdeteksi, dianjurkan pemeriksaan skrinning rutin sebelum usia 4 tahun untuk mendeteksi penurunan ketajaman penglihatan atau adanya faktorfaktor ambliogenik (strabismus, anisometropia).(1)

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Fredrick DR, 2010, Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri, Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, 2010, Vaughan & Ashbury - Oftalmologi Umum, Edisi 17, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 354-363. 2. Rozanah S, Deteksi Dini Kelainan Mata pada Anak (Aspek Kesehatan Anak), Rumah Sakit Internasional Bintaro, diakses tanggal 23 Januari 2013, <http://www.pdpersi.co.id/website/banten/data/kelainan_mata.pdf>. 3. Braverman RS, 2009, Eye, Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, 2009, Current Diagnosis & Treatment Pediatrics, Edisi 19, Lange Mc-Graw Hill, pp. 395-426. 4. Soewono W, Oetomo M, Eddyanto, 2006, Penyakit Mata Luar, Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya, pp. 82-104. 5. Ilyas S, 2002, Kelainan Mata pada Anak, Dalam: Ilmu Penyakit Mata, Sagung Seto, pp. 233-236. 6. Boediono S, Djiwatno, 2006, Lensa, Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya, pp. 43-50. 7. Gilbert C, 2004, Retinopathy of Prematurity, Dalam: Wormard R, Smeeth L, Henshaw K, 2004, Evidence-based Ophthalmology, BMJ Books, London, pp. 57-70. 8. Nafianti S, 2006, Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital Medan, Dalam: Makalah Kedokteran Nusantara. Vol 39 No.3. September

25

2006.

pp.

147-150,

diakses

tanggal

29

Januari

2013.

<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15625/1/mkn-sep2006-%20 %283%29.pdf> 9. Rahman A, 2008, Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma, Dalam: Majalah Kedokteran Andalas Oktober 2008, pp. 57- 63, diakses tanggal 29 Januari 2013. <http://repository.unand.ac.id/247/1/

Deteksi_Dini_Dan_Penatalaksanaan_Retinoblastoma.pdf> 10. Paduppai S, 2010, Characteristic of Retinoblastoma Patients at Wahidin Sudirohusodo Hospital 2005-2010, Dalam: The Indonesian Journal of Medical Science, Vol 2 No. 1. Juli 2010. pp. 1-7, diakses tanggal 29 Januari 2013. <http://med.unhas.ac.id/jurnal/2011_vol2_no1/1-AA.pdf>

You might also like