You are on page 1of 43

USULAN PENELITIAN DAN TESIS

A. Latar Belakang Permasalahan

Masyarakat Islam Indonesia, sedang merubah paradigmanya terhadap hukum Islam, dari paradigma agama yang melihat hukum Islam hanya bagian dari agama Islam di Indonesia, menjadi paradigma hukum yang bersifat lebih luas, yang melihat hukum Islam bukan hanya sebagai bagian dari agama Islam melainkan juga bagian dari hukum Nasional Indonesia. Kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dan kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan dari sisi falsafah dan konstitusi Negara Indonesia.1 Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara maupun setelah merdeka dan hingga sekarang ini, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam telah dipraktekkan dalam masyarakat, seperti sistem bagi hasil dalam pertanian, peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan madzhab-madzhab figh yang dikenal dalam masyarakat.
Yusuf Buchori, 2007, Litigasi Sengketa Perbankan Syariah dalam Perspektif Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Purbalingga). Hal. 11
1

Dari segi komunitas yang mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut mayoritas penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam sama sekali tidak terkait dengan apa yang dikenal dengan sebutan dictator mayoritas dan atau tirani minoritas. Alasannya, karena penerapan hukum Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela para pebisnis non muslim tertarik dengan praktek ekonomi Islam.2 Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional. Dari sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan oleh kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembagalembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam, baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya, di Negara hukum Indonesia, kedudukan hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara umum. Demikian pula peran hukum ekonomi Islam bisa digunakan terutama dalam menopang, melengkapi, dan mengisi kekosongan hukum ekonomi nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional. Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini, sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan
Ahmad Jauhari, Peran Arbitrase dalam Sistem Ekonomi Islam, (Makalah Seminar Nasional, di Semarang) 2006, hal 1.
2

(karena mayoritas beragama Islam) sebagaimana disebutkan diatas, tetapi lebih jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem Ekonomi Islam dalam mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana dicita-citakan para pendiri Negara Republik Indonesia. Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentang dengan Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga tidak berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagaimana dalam pembukaannya disebutkan .Dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga Pasal 29, 33, dan 34 Undang-undang Dasar 1945. Pertumbuhan sistem ekonomi syariah semakin hari semakin dirasakan kehadirannya baik dikalangan pelaku bisnis maupun dikalangan ummat yang ingin menjadi muslim secara kaffah. Hal tersebut terlihat salah satu dalam kegiatan ekonomi Islam adalah seperti perbankan syariah. Bukan hanya dalam lingkungan perbankan saja, melainkan juga tumbuh dalam berbagai bidan bisnis yang lainnya, seperti Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah, dan yang lainnya. Dengan penunjukkan data-data dari banyak sumber tentang perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengukuhkan pendapat banyak

kalangan, terutama akademisi dan ekonom muslim, bahwa saat ini tidak ada alasan untuk menolak penerapan sistem ekonomi syariah, khususnya di Indonesia.3
Mengenai perkembangan ekonomi syariah, baca dalam Nur Kholis (2006), Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Prespektif Ekonomi), dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi : XVI, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal ; 169-175. Adapun
3

Masyarakat Ekonomi Internasional, mengenal Bank Syariah dengan istilah Islamic Banking atau Islamic Window.4 Dan pada mula berdirinya Bank Islam banyak diragukan berbagai pihak, dengan alasan bahwa sistem perbankan tanpa bunga (interest free) adalah suatu yang tak mungkin dan tak lazim karena bagaimana dengan biaya operasionalnya kalau tidak ada bunga. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, secara implisit disebutkan bahwa Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.5 definisi yang tidak jauh beda juga secara implisit disebutkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.6 Bank Syariah disamping untuk melayani masyarakat menengah dan bawah, peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang dikenal dengan baitul mal wa tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.7

data lengkap perkembangan ekonomi syariah dalam angka, lihat Dadang Muljawan (200), Islamic Financial Engineering, A Regulatory Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 Januri Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id. 4 Sutan Remy Syahdaini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, PT. Kreatama, 2005, hal 5-8. 5 Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 6 Pasal 1 angka 1, 2 dan 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7 Sultan Remy Syahdaini, Ibit. hal. 1

Bank Islam memberikan layanan bebas bunga (interest free) kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi dilarang oleh Islam. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar bunga. Larangan atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi

perdebatan mengenai apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga (Interest) atau tidak, namun sekarang tampak ada konsensus dikalangan ulama, bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga. Dalam kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan terjadinya perselisihan, karena manusia (personlijk) sebagai ciptaan Allah dan badan hukum (personrecht) sebagai ciptaan hukum, merupakan subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Manusia dan badan hukum yang dalam terminologi hukum disebut orang dalam aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam kegiatan bisnis sangat mungkin saling bersinggungan dan menimbulkan akibat hukum. Dalam melakukan hubungan hukum, manusia atau badan hukum bisa saja terjadi konflik atau sengketa keperdataan. Secara prinsip, penegakan hukum di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak kepada Mahkamah Agung RI.

Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian telah diubah lagi dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir di ubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badanbadan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official dan bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Dalam konstitusional Negara Republik Indonesia, Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 (amandemen ketiga tahun 2001) jo. Pasal 28 Undang-undang No.4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan ada 4 (empat) lingkungan badan peradilan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung RI yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 58 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa, tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan diluar peradilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Selanjutnya dalam pasal yang sama dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009, secara tegas disebutkan bahwa suatu sengketa perdata selain diselesaikan melalui

lembaga peradilan (proses litigasi), dapat pula diselesaikan melalui arbitrase (non litigasi) atau alternatif penyelesaian sengketa. Perbankan Syariah termasuk dalam lingkup hukum perdata atau muamalat dalam Hukum Islam, dan lebih khusus lagi bagian dari hukum bisnis. Sengketa perdata atau muamalat dalam hukum Islam penyelesaian bisa menempuh jalan perdamaian (al-Shulh) atau arbitrase (al Tahkim) atau jalan terakhir melalui proses peradilan (al-Qadla).8 Dengan demikian jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan nasabahnya, maka sebelum menempuh jalur hukum melalui lembaga peradilan, para pihak dapat menempuh cara lain yang dipandang menguntungkan kedua belah pihak yaitu melalui perdamaian atau arbitrase atau dikenal dengan ADR (Alternatif Dispute Resolution). Sebagai lembaga yang berperan dalam penyelesaian sengketa dibidang muamalah, khusus untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah masyarakat pelaku bisnis cenderung untuk menyelesaikan segala sengketanya melalui badan Arbitrase yang khusus menyelesaikan sengketa di bidang syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Pembentukan lembaga Basyarnas disamping banyak memberikan manfaat bagi para pelaku usaha maupun nasabah dalam penyelesaian sengketa, tetapi masih banyak kelemahan yang perlu dikaji secara mendalam. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, telaahan dari beberapa peraturan perundang-undangan terkait masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah ini, sampai saat ini masih
Abdul Mana, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah kewenangan baru Peradilan Agama, (makalah disampaikan pada Dies Natalis Universitas yarsi, 7 Pebruari 2007), hal 3-11.
8

menimbulkan

polemik

dan

terjadinya

dualisme

lembaga

yang

dapat

melaksanakan putusan dari Basyarnas tersebut. Kondisi ini timbul dikarenakan lahirnya Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk melaksankan putusan Basyarnas sebagai lembaga Arbitrase Syariah sementara Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dari uraian diatas, maka perlu adanya pengkajian yang secara komprehensif untuk menilai eksistensi penyelesaian sengketa syariah melalui badan Arbitrase Syariah dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan baik dalam bidang perbankan, Alternatip Penyelesaian Sengketa dan kekuasaan kehakiman, sebagai upaya memberikan perlindungan baik kepada nasabah maupun pelaku usaha serta memberikan kepastian hukum mengenai lembaga mana yang berwenang untuk melaksanakan putusan Basyarnas tersebut. Dengan demikian sangat menarik bagaimana eksisten penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Badan Arbitrase Syariah ini untuk diteliti lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan kepastian hukum dalam kegiatan Bisnis Berbasis

Syariah? 8

2. Bagaimanakah penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam perundang-undang terhadap kewenangan pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah sehingga dapat dibuktikan terjadinya konflik norma dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan secara sukarela ;
2. Untuk mendapatkan pemahaman bagaimana asas preferensi hukum dapat

menjawab permasalahan terhadap dualisme lembaga eksekutorial Arbitrase Syariah melalui pendekatan antinomi hukum ; Sedangkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum berkaitan konflik norma yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan menggunakan pendekatan asas preferensi hukum terhadap persoalan antinomy hukum.
2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat memberikan

sumbangan pemikiran bagi instansi Pemerintah (Kementrian Hukum dan HAM), Basyarnas dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan

pertimbangan dalam menyusun undang-undang terkait dibidang perbankan syariah khususnya mengenai lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah. D. Tinjauan Pustaka
1. Penyelesaian Sengketa Dalam Konsepsi Hukum Islam. 1.1 Al Sulh (Perdamaian)

Secara bahasa, sulh berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah sulh berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. mengakhiri
9

Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT,

suatu

sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa ayat 126 yang artinya Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik. Ada tiga rukun yang yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian perdamaian itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi

A.W Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984, hal

843.

10

perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.
1.2 Tahkim (Arbitrase)

Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat dipadankan dengan istilah tahkim. Tahkim sendiri berasal dari kata hakkama. Secara etimologi, Tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang

meyelesaikan disebut dengan Hakam. Menurut Abu al Ainan Fatah Muhammad10 pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya 2 (dua) orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan Said Agil Husein al Munawar pengertian tahkim menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum.11
Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al fiqh al Islami, Darr Al Fikr Kairo, Mesir, 1976, hal 84. 11 Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.
10

11

Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainya seringkali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang telah ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra Islam. Tradisi arbitrase ini berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Nabi Muhammad SAW. Sendiri sering menjadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi, setelah daerah sudah berkembang luas mediator ditunjuk dari kalangan sahabat dan dalam menjalankan tugasnya tetap berpedoman pada al Quran, al Hadis dan Ijtihad menurut kemampuan. Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut huququl ibad (hak-hak perseorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri seorang yang telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam pemeliharannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan hutang piutang. Oleh karena tujuan Arbitrase itu hanya menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang biasa diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan

12

harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
1.3 Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)

a. Al Hisbah Al Hisbah adalah lembaga resmi Negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni : pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada kebaikan terbagi kepada tiga bagian yakni pertama : menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang untuk melaksanakan sholat jumat jika ditempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum bagi mereka jika

13

terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat jumat tersebut, kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya, ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia, misalnya menyruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laki-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak menjatuhkan tazir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan iddahnya. b. Al Madzalim Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orangorang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuasaah hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadir. Melihat kepada tugas yang dibebankan kepada wilayah al Mudzalim ini, maka untuk diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan

14

al Mudzalim ini haruslah orang yang pemberani dan sanggup melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa dalam menuduhkan pejabat dalam sengketa. Seseorang yang pengecut dan tidak berwibawa tidak layak untuk diangkat sebagai pejabat yang melakukan tugas-tugas di lingkungan al Mudzalim. Tugas-tugas al Mudzalim pernah dilakukan oleh Rasullah SAW sendiri, namun badan ini baru berkembang pada pemerintahan Bani Umayyah pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan.
c. Al Qadha (Peradilan)

Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti menetapkan hukum syara pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana).12 Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah

Islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama adalah a Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode
12

sejarah.

Yakni

pada

masa

penghujung

pemerintah

Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal 244.

15

Khulafaurrasyidin (masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal dari pemerintahan Bani Umayyah. Disamping tugas-tugas

menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara, misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim. Melihat ketiga wilayah al Qadha (kekuasaan kehakiman) sebagaimana tersebut diatas, bila dipadankan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari tiga kekuasaan kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya, wilayah al mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negera, wilayah al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan umum dan Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi tugasnya mirip dengan Polisi atau Kamtibmas, Satpol PP. 2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui jalur Non Litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2.1 Arbitrase Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage (Belanda) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan, 16

artinya bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada atau mentaati putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih atau tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.13 Menurut Sudargo Gautama arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyelesaian melalui saluran-saluran biasa.14 Sedangkan yang termuat dalam Black Law Dictionary, men difinisikan: Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitratorswasta award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected person in some dispute matter, instead of crrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense an vexation of ordinary litigation. Sementara menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal 3. 14 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang International, Bandung : Alumni, 1979 hal. 1.

13

17

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.15 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan : Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Arbitrase (arbitration) dimana para pihak menyetujuan untuk menyelesaiakan sengketa kepada para pihak yang netral. Dalam arbitrase, para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum yang diterapkan.16 Arbitrase hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang terjadi, putusan yang dimaksud bersifat final dan bindang, serta merupakan win-loss solution.17 Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk yaitu :18

Lihat juga dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dalam Undang-undang jenis pengadilan tidak disebutkan, berbeda dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan jenis Peradilan Umum. 16 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2010. hal 12. 17 Ibid 18 Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, http://www.uika-bogor.ac.id.

15

18

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) ; atau 2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis) Sebelum Undang-undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, dalam Pasal 58 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap di perbolehkan. Mantan Hakim Agung RI Prof. Yahya Harahap, S.H. menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya Undang-undang No. 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 R.Bg, pada ketentuan tersebut Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul diluar jalur pengadilan apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.19 Dengan demikian arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah
19

Yahya Harahap, Arbitrase Komersial Internasiional, Jakarta, Pustaka Kartini, hal 21-22

19

terjadinya sengketa. Arbitrase dalam figh Islam, padanannya adalah tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiah berarti menjadikan seseorang sebagai penengah atau hakam bagi suatu sengketa.20 Dalam hukum Islam istilah yang sepadan dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Maksudnya adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengakhiri perlawanan atau pertengkaran antara dua orang yang sedang bersengketa..21 Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.22 Dalam tradisi figh Islam, menurut Prof. Yahya Harahap, S.H., telah dikenal adanya lembaga hakam yang sama artinya dengan arbitrase, hanya saja lembaga hakam tersebut bersifat ad-hoc,. Antara sistem hakam dengan sistem arbitrase memiliki ciri-ciri yang sama yaitu :
a. Penyelesaian sengketa secara volunteer.

b. Di luar jalur peradilan resmi. c. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih yang dianggap mampu, jujur dan independen. Sedangkan kesamaan dari segi kewenangannya, adalah :
Lihat Q.S. An-Nisa ayat 65. A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hal 43. 22 NJ. Coulson, a History of Islamic Law, Edinburg, University Press, 1991, hal 10.
21 20

20

a. Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal)

b. Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali.


c. Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan

putusan dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). 2.2 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Malalui Lembaga Arbitrase Dalam ajaran Islam, semua aktivitas hendaknya selalu bersandarkan pada dasar hukum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah atau pun melalui hasil ijtihad. Eksistensi Majelis Tahkim atau Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah. Dasar hukum bagi keharusan bertahkim adanya anjuran al Quran tentang perlunya perdamaian, yaitu QS. Al Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut : Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya ! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya

21

menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil ; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil23. Dalam ayat lain Q.S an Nisa ayat 35 : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.24 Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al Hadis, selain al Quran dan al hadis juga ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat Rasulullah S.A.W. atas keabsahan praktek tahkim. Pada masa sahabat telah terjadi sengketa secara arbitrase di kalangan para sahabat dan tak seorang pun yang menentangnya.25 Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan pengarahan dalam persolan ini dengan menyatakan : Perdamaian itu diperbolehkan di antara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.26
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Quran wa tarjamah Manihi ila al Lughah al Indonesiyyah), Makkah, Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Suudi Ath Thabaah al Mushah Asy Syarif, 1412 H. hal 846. 24 Ibid, hal 123. 25 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1996, hal 147. 26 Sayyid Sabiq, Figh al Sunnah, di Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung, Almaarif, hal 36.
23

22

Pelaksanaan syariah Islam di Indonesia didasarkan atas Undangundang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. 2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan (non litigasi) yang didasarkan pada perjajian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian. 2.3 Objek Perjanjian Badan Arbitrase Syariah Nasional Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan secara tidak langsung telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di

23

Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan lahirnya Undangundang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka telah memberi kesempatan dan peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Dari sinilah melahirkan kesempatan untuk mendirikan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) Badan ini kemudian diubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional). BAMUI didirikan di Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 yang diprakarsai oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. BAMUI bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan lembaga keuangan tersebut.27 Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Namun demikian sejak tahun 2004 BAMUI di Indonesia telah berganti nama menjadi (Badan Arbitrase Syariah Nasional) Basyarnas yang apabila ditinjau dari segi hukum Indonesia kedudukannya lebih kuat jika dibandingkan dengan keberadaan (Badan Arbitrase Syariah Nasional) BANI karena telah mendapat pengakuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Negara
Mariam Darus Badrulzama, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hal 57 69.
27

24

Ekuin, Bappenas, dan Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian kehadirannya dapat dijadikan sebagai pilihan arbitrase tribunal dalam menyelesaikan sengketa oleh siapa saja di Indonesia, selain itu pula kahadirannya diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan. Ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Skop wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Dasar hukum berdirinya Basyarnas di Indonesia adalah Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 yaitu : 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Disamping itu, Pasal II aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 memberikan peluang kepada Basyarnas juga mesti mengikuti aturan hukum dan perundang-undang tentang arbitrase di Indonesia. Berdasarkan inilah maka Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg masih boleh dijalankan di Indonesia. Dalam pasal tersebut disebutkan kemungkinan penyelesaian sengketa melalui arbitrase asal dikehendaki atau disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini lembaga arbitrase berwenang menetapkan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim.

25

Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sementara itu Pasal 5 (2) Undang-undang Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab Kedelapan Belas Pasal 1851 s/d 1854. Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dengan demikian hanya perdata bidang kebendaanlah yang objek arbitrase, demikian halnya dengan Basyarnas, hanya bidang sengketa ekonomi syariah dalam hal ini perbankan syariah yang menjadi objeknya yakni penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.28 Artinya jika isi akad menyebutkan penyelesaian melalui Basyarnas maka melalui badan inilah penyelesaian sengketanya dilakukan. Dengan berdirinya Basyarnas di Indonesia terdapat 2 lembaga arbitrase yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berwenang menyelesaikan semua masalah civil di Indonesia, dan Basyarnas (Badan
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama.
28

26

Arbitrase Syariah

Nasional) yang

berwenang menyelesaikan

semua

permasalahan muamalat Islam secara tahkim menurut syariah Islam. Walaupun sampai sekarang masih sangat sedikit kasus sipil yang berhubungan dengan masalah muamalah Islam yang diselesaikan oleh Basyarnas, bukan berarti ia belum melaksanakan fungsinya dengan sebaikbaiknya, tetapi karena permasalahn yang terjadi di lembaga-lembaga keuangan Islam sampai saat ini masih diperbolehkan diselesaikan melalui lembaga perdamaian (al-Shulh), sehingga tidak sampai penyelesaian perkaranya diselesaikan melalui lembaga Basyarnas. Disamping itu lembagalembaga keuangan syariah di Indonesia mulai bermunculan banyak setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Basyarnas sebagai lembaga permanen yang dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binding advice), yaitu pendapat yang mengangkat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.29 Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 105.

29

27

3. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi

Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat. Dengan diamandemenya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Perubahan ketentuan undangundang ini dapat dimaknai sebagai politik hukum ekonomi syariah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam hal ini Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak hanya memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi meliputi pula lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.30 selain
Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tanggal 31-12-2011.
30

28

sebagaimana yang sudah diatur sebelumnya dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang hanya berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah.31 Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan : yang di maksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini

Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan syariah atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menajadi kewenangan Pengadilan Agama adalah :32 a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan

lembaga pembiayaan syariah.

Lihat ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal 8.
32

31

29

c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama

Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihakpihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 alinea ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus. Peran dari suatu lembaga peradilan untuk mewujudkan pelaksanaan ekonomi syariah, yang nanti dalam puncaknya melalui peranan Mahkamah Agung yakni dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syariah dalam perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya penyiapan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan proses legislasi undang-undang tentang perbankan syariah. Selain itu eksistensi ekonomi syariah menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan sampai menuju tatanan sistem hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan disyahkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan diundangkannya Undang-undang 30

Nomor 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Hal menarik untuk mendapat perhatian dari persoalan ekonomi syariah yang dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 menyatakan : (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf ( i ) UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syariah. Adanya ketentuan ayat (2) adalah merupakan

penyimpangan dari prinsip tersebut. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan : yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad adanya upaya sebagai berikut : a. Musyawarah;

31

b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau. d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan adalah suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut sebagai penyelesaian sesuai dengan syariah dari berbagai sengketa berbagai kasus ekonomi syariah. Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase lain membuka peluang penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga non syariah, walaupun dalam ayat (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian sengketa perbankan syariah melaui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri membuka dualisme sistem peradilan dalam penyelesaian persoalan yang berada dalam ranah syariah ke dalam lingkup non syariah yang masih perlu dipersoalkan ketepatannya, mengingat persoalan perbankan syariah sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip syariah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim dilingkungan peradilan agama.33 Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik hukum
Abdurrahman, Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perpektif Politik Hukum Nasional, Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, 2009, PPHIMM.
33

32

nasional berkenaan dengan perbankan syariah atau belum digariskannya suatu politik hukum ekonomi syariah di Indonesia. Oleh karena itu dalam draf-draf perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada penjelasan umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
4. Harmonisasi Peraturan Dalam Pelaksanaan Putusan Lembaga Arbitrase

Syariah Bagi hukum yang ingin menciptakan kepastian hukum dalam hubungan antara orang-orang dalam masyarakat, maka menurut Satjipto Rahardjo terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian pula di dalam tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan beban formal yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh konsistensi.
34

hal senada dikemukakan M. Isnaeni, mengungkapkan perangkat hukum yang sangat memperhatikan konsistensi akan mempu melahirkan matra kepastian hukum seperti yang di citraharapkan oleh khalayak luas. Sebaliknya kalau dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk
34

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982, hal 25.

33

mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.35 Padalah kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundangan disamping aspek keadilan, memiliki, memiliki kaitan erat dengan soal efisiensi yang selalu dijadikan acuan oleh kalangan pelaku ekonomi yang sering kali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai transaksinya.36 Adanya pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menimbulkan konflik kelembagaan dalam hal lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah. Dalam menghadapi antinomi hukum (konflik antar norma hukum, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu :37
1. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundangundangan yang ada terlebih dahulu.
2. Lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan perundang-

undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundangundangan yang umum.


M. Isnaeni, Hak Tanggungan Lembaga Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V Agustus, 1996, hal. 34. 36 Sutan Remy Sjahdeni, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Majalah Hukum Nasion, No. 2, 2000, hal 19-20. 37 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal 90.
35

34

3. Lex superior derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang yang lebih rendah dibawahnya. Konsistensi dalam tatanan peraturan hukum yang melahirkan kepastian hukum sangatlah di dambakan bagi masyarakat pada umunya. Pada dasarnya tata aturan yang penuh konsisten, tidak lepas dari hubungannya dengan sistematika peraturan-peraturan hukum yang lain. Lawrence M. Fredman dalam Teori Legal Sytem mengjarkan, hukum itu harus diperspeksikan sebagai suatu sistem. Artinya, hukum itu bukan anasir tunggal. Melainkan, eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling memengaruhi. Unsur di maksud menurutnya, adalah Struktur, Substansi dan Kultur. Ketiga unsur itu, secara simultan dan sinergis saling komplementer agar suatu hukum secara sistemik teraktualisasikan dalam tataran realita. Esensinya, hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka apabila hukum yang ada tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan, berarti ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Ia telah berupa Slapende Regeling. Karenanya, dalam perspektif sociological jurisprudence tolak ukur eksistensi hukum tergantung pada efektifitasnya dalam tataran emperis, yaitu law in action. Bukan hanya dalam tataran ide ataupun naskah, berupa law in the book. Sebab hukum merupakan suatu sistem artinya sarana yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain, atau dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang 35

mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis, seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.38 Adanya pengaturan yang inkonsistensi terhadap lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah, maka demi dan untuk perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pelaku usaha maupun nasabah pengguna jasa keuangan syariah, perlu adanya sandaran berpijak untuk mencari solusi atas kerancuan pengaturan tersebut.
E. Metode dan Teknik Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan perumusan masalah serta untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif (legal norm atau doktrinal), bahwa yang ditelaah bahan-bahan hukum, terutama peraturan perundang-undangan dengan berusaha mengidentifikasi dan menginventarisir kaidah atau norma-norma hukum yang berkenaan dengan masalah lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah terkait adanya antinomi hukum dalam pengaturan eksekutorial pelaksanaan putusan Arbtirase Syariah yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak.

Sudikno Mertokusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991, hal 100.

38

36

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut

mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.39 2. Tipe Penelitian Adapun tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian terhadap asas hukum. Di dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas hukum dilakukan terhadap kaidahkaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku. Penelitian ini dapat dilakukan terutama terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum.40 Asas hukum merupakan unsur ideal dari hukum. Dalam penelitian ini asas hukum yang penulis maksudkan adalah asas preferensi hukum terhadap (antinomi hukum). 3. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni menggambarkan dan menjelaskan serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian mengenai lembaga yang memiliki kewenangan eksekutorial untuk

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 13-14 40 Ibid, hal 62

39

37

melaksanakan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak dimana dalam implementasinya menyimpan pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial oleh karena terjadinya antinomi hukum. 4. Bahan Hukum Dalam penelitian ini, maka untuk memecahkan permasalahan yang diangkat serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian, maka diperlukan adanya bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian bahan hukum, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41 Dalam penelitian ini, bahan hukum primer terdiri dari: 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
3. Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan

Kehakiman;

41

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: Kencana,

hal. 141

38

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009; 5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah;


7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Penegasan Tidak Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah; 8. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah; 9. Al Quran dan Hadis;
b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam penelitian ini publikasi hukum tersebut antara lain terdiri dari buku, jurnal ilmiah, karya tulis ilmiah, bahan-bahan hasil seminar atau kegiatan ilmiah lainnya, majalah, surat kabar yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang diambil dari

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum Blacks Law Dictionary yang memberikan pengertian tentang Arbitrase. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
42

Ibid.

39

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara sebagai berikut:


a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang merupakan bahan

hukum primer yang berkaitan dengan lembaga eksekutorial pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan oleh para pihak secara sekarela terkait adanya antinomy hukum dalam pendekatan asas preferensi hukum.
b. Studi kepustakaan, yaitu bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui

studi kepustakaan dengan menggunakan sistem kartu (card system), kemudian disusun berdasarkan pokok permasalahan. 6. Teknik Pengolahan dan Analisis Permasalahan Dalam pengolahan analisis permasalahan ini, maka ketiga bahan hukum sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, dihimpun dan diolah berdasarkan langkah-langkah normatif, yaitu mengadakan inventarisasi terhadap

perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dicari aturannya menurut hirarkhis tata urutan peraturan perundangundangan, selanjutnya dilakukan identifikasi dan sistematisasi terhadap kaidah-kaidah hukum yang memuang lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah. Selanjutnya setelah dilakukan pengolahan bahan hukum, maka bahan hukum dibahas dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) yakni menelaah isi peraturan perundang-undangan yang berhubungan lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah, dianalisis

40

secara kualitatif yang pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode berpikir deduktif. F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam Penelitian Tesis ini nantinya, terbagi dalam 4 (empat) bab. Bab I terdiri dari bagian pendahuluan yang berisikan kajian yang menjelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian diikuti dengan perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi isu sentral pengkajian dalam tesis ini. Untuk supaya penelitian ini dilakukan mencapai sasaran yang diinginkan, maka dalam bab ini juga diuraikan mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tersebut serta kegunaan yang akan diharapkan setelah penelitian ini selesai dilakukan. Sebelum melakukan analisis terhadap isu sentral pengkajian, dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan kajian pustaka yang memuat tentang pengertian konsep perdamaian dalam Islam, bentuk penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam kegiatan ekonomi syariah serta pelaksanaan atas putusan lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah. Selain itu dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan mengenai metode dan teknik penelitian yang dipergunakan, yaitu penelitian hukum normatif. Akhirnya bab pendahuluan ini ditutup dengan uraian mengenai sistematika penulisan sebagai pertanggungjawab akademik. Berikutnya Bab II, berisi uraian untuk menjawab isu hukum pertama. Bab kedua ini, akan memuat kajian dengan menjawab persoalan yang sudah dikemukakan dalam bab sebelumnya, karena munculnya konflik norma akan

41

diinvetarisir dan dilihat sejauh mana konsistensi undang-undang yang mengatur lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah yang dipandang tidak memberikan kepastian hukum dalam kegiatan bisnis berbasis syariah, dengan melakukan analisis kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, urgensi kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi serta fungsi kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi yang difokuskan pada kegiatan perbankan syariah. Selanjutnya Bab III berisi uraian untuk menjawab isu hukum kedua. Dalam bab ketiga ini akan diuraikan mengenai penyelesaian sengketa perbankan Syariah melalui Arbitrase Syariah, bagaimana kedudukannya, pelaksanaan putusannya, kewenangan lembaganya yang terdapat inkonsistensi dalam pengaturannya. Karena itu dalam bab ketiga ini akan ditelaah tingkat singkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan putusan lembaga Arbitrase Syariah yang bersumber dari akad pada kegiatan perbankan syariah. Terakhir laporan penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang berisikan simpulan dan hasil pembahasan serta akan mengungkapkan sejumlah saran sebagai implikasi simpulan yang merupakan bahan penyempurnaan pengaturan terhadap lembaga eksekutorial, khususnya menyangkut aturan dan peraturan mengenai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah. G. Jadual Kegiatan Pelaksanaan penelitian direncanakan selama 6 (enam) bulan kerja yang dilakukan dalam 3 (tiga) tahap kegiatan dengan penjadualan sebagai berikut:

42

RINCIAN KEGIATAN Persiapan Penyusunan usulan Penilaian usulan Perbaikan usulan Pelaksanaan Pengumpulan bahan Pengolahan bahan Analisis bahan Penyelesaian Penyusunan Seminar hasil Perbaikan pertama Evaluasi Penilaian Perbaikan kedua Penggandaan Penyerahan buku Publikasi

TAHUN 2011/2012 SEPT OKT NOP DES JAN PEB 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

43

You might also like