You are on page 1of 40

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan1,2. Ilmu Kedokteran Forensik memiliki cakupan keilmuan yang terbagi atas berbagai bidang, salah satunya Tanatologi. Tanatologi ialah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut1,2. Kematian dari suatu organisme terjadi setelah fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi terhenti, yang dikenal dengan istilah mati somatik1. Setelah terjadinya kematian, proses dekomposisi akan dimulai. Proses dekomposisi terdiri dari pemecahan dari jaringan organisme menjadi bentuk yang lebih sederhana3. Dalam serangkaian proses kematian tersebut, terjadi perubahan-perubahan kimiawi yang mengakibatkan pelepasan dari berbagai macam zat kimia seperti volatile organic compounds (VOC), maupun ninhydrin reactive nitrogen (NRN) dan lain sebagainya3. Salah satu kepentingan dari penelusuran dari zat zat kimiawi tersebut ialah sebagai pemeriksaan penunjang dalam suatu prosedur pemeriksaan forensik. Istilah yang digunakan sejak tahun 1980 untuk bidang keilmuan yang mempelajari zat-zat kimiawi yang terbentuk pada proses kematian disebut dengan istilah Thanatochemistry4. Investigasi atas perubahan-perubahan post-mortem terhadap materi-materi biologis telah dilakukan di institusi-institusi penelitian Kedokteran Forensik hingga sekitar 40 tahun. Penelitian-penelitian tersebut mencakup spektrum aspek yang luas. Hal-hal yang telah diteliti antara lain karakteristik fisiko-kimiawi dari materi biologis pembusukan, kondisi dari proses pembusukan yang mempengaruhi pembentukan substansi toksik, terutama etanol, n-butanol, karboksihaemoglobin dan sianida, proses

pembusukan dari substansi endogen, proses degradasi dari substansi eksogen, dan peran materi biologis pembusukan terhadap metode deteksi dan isolasi materi toksik3,4. Atas dasar ketertarikan akan proses kimiawi kompleks yang terjadi saat kematian dan potensi zat kimiawi yang ditimbulkan, maka dibuatlah karya tulis ini. Karya tulis ini akan banyak membahas tentang zat-zat kimia yang terbentuk dalam proses kematian, dan pengaruhnya pada hasil pemeriksaan forensik, terutama pada pemeriksaan laboratorium forensik.

1.2. Rumusan Masalah Adapun masalah yang dapat penulis rumuskan dalam penulisan referat ini, antara lain sebagai berikut: 1. Apa sajakah zat-zat kimia organik yang terbentuk pada proses kematian ? 2. Apa hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada proses kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada pemeriksaan laboratorium forensik ? 3. Bagaimanakah hubungan antara tanda-tanda kematian dengan senyawa-senyawa kimia organik yang terbentuk pada saat kematian ?

1.3. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan referat ini, antara lain sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan senyawa-senyawa yang terbentuk pada proses kematian. 2. Menjelaskan hubungan antara zat-zat kimia yang terbentuk pada proses kematian dengan pemeriksaan forensik, terutama pada pemeriksaan laboratorium forensik. 3. Menjelaskan hubungan antara terbentuknya tanda-tanda kematian dengan senyawa-senyawa kimia organik yang terbentuk pada saat kematian.

1.4. Manfaat Penulisan Secara teoritis hasil penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang korelasi antara zat-zat yang dihasilkan pada proses kematian dalam pemeriksaan laboratorium forensik. Secara praktis hasil dari penulisan referat ini diharapkan dapat digunakan untuk dapat membangun perkembangan dari ilmu forensik dan berguna bagi pihak dokter dan spesialistik di bidang keilmuan tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Kematian Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal pada seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat terjadi dini (setelah meninggal atau beberapa menit setelahnya) dan lanjut (beberapa waktu setelah meninggal) atau yang disebut sebagai tanda-tanda pasti kematian2. Beberapa perubahan dini kematian yang dapat timbul adalah pernapasan dan sirkulasi yang berhenti bekerja, kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina mengalami segmentasi, dan pengeringan kornea2. Sedangkan perubahan lanjut adalah livor mortis (lebam mayat), rigor mortis (kaku mayat), perubahan suhu (algor mortis), dan dekomposisi1.

2.1.1. Perubahan Dini Kematian Adapun perubahan dini kematian antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut5: Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komando/perintah, taktil dan sebagainya. Tidak ada gerakan otot serta postur, postur dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan kurare. Tidak ada reflek pupil. Tidak ada reflek kornea. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong ke dalam. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang dimasukkan ke dalam lubang telinga. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama walaupun pCO2 sudah melampaui nilai ambang rangsangan napas (50 torr) 4

2.1.2. Perubahan Lanjut Kematian Sedangkan perubahan lanjut kematian, dapat dilihat dari tanda-tanda pasti kematian yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Livor Mortis Livor mortis adalah perubahan warna dari tubuh yang muncul yang muncul karena darah tidak lagi dipompa ke seluruh tubuh oleh jantung, melainkan hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi6. Livor mortis muncul kira-kira 1 jam setelah kematian6, terkadang dapat muncul dalam 20-30 menit1,2. Intensitas perubahan warna ini akan semakin meningkat dan terfiksasi sempurna dalam 8-12 jam1,2. Sebelum 8-12 jam darah masih akan dapat berubah posisi sesuai gravitasi, namun setelah itu darah tidak akan dapat berpindah tempat lagi1,2,6. Fenomena livor mortis tidak akan terjadi pada bagian tubuh yang tertekan, dikarenakan tertutupnya pembuluh darah pada daerah penekanan6. Warna pada livor mortis normal adalah merah keunguan, tetapi pada beberapa keadaan khusus, warna ini dapat berubah1. Pada pasien anemis, warna livor mortis lebih muda dikarenakan sedikitnya hemoglobin dalam pembuluh darah6. Pada keracunan karbonmonooksida (CO) dan sianida (CN), warna livor mortis adalah merah cerah1,2. Pada keracunan anilin, nitrat, sulfonal, warna livor mortis adalah kecoklatan2. Livor mortis perlu dibedakan dengan hematoma (karena trauma). Cara paling mudah untuk membedakan keduanya adalah dengan melakukan sayatan pada kulit, kemudian disiram dengan air. Livor mortis akan hilang atau bertambah pucat setelah penyiraman, sedangkan pada hematoma tidak menghilang1,2,6.

Gambar 1: Livor mortis b. Rigor Mortis Setelah kematian, terjadi perubahan dalam kelenturan otot manusia. Pada awalnya tubuh akan menjadi lemas (flaccid) setelah mati. Dalam 1-3 jam setelah kematian, otot menjadi kaku (rigid) dan sendi tidak dapat digerakkan (freeze) karena proses yang dikenal sebagai rigor mortis6. Dalam 1-3 jam pertama, kelenturan otot dipertahankan oleh adanya cadangan glikogen dalam otot. Energi yang dihasilkan dari pemecahan glikogen berfungsi mengubah adenosine diphosphate (ADP) menjadi adenosine triphosphate (ATP) yang menjaga serabut aktin dan miosin tetap lentur1,2. Pemecahan glikogen yang terjadi dalam proses ini terjadi secara anaerob karena tidak adanya oksigen, menghasilkan produk sisa asam laktat yang akan menurunkan pH tubuh7. Setelah cadangan glikogen habis, terjadi penguncian jembatan kimia antara aktin dan miosin yang menyebabkan kekakuan pada otot dan sendi6. Rigor mortis terjadi dengan pola tertentu. Kekakuan terjadi secara berurutan mulai dari sendi yang terkecil sampai sendi yang terbesar. Kekakuan biasanya mulai terjadi mulai dari jari-jari, kemudian siku, dan diakhiri lutut. Tubuh telah kaku seluruhnya apabila sendi jari, siku, dan lutut tidak dapat digerakkan. Rigor mortis komplit biasanya terbentuk pada 10-12 jam paska kematian dalam suhu 70-75oF, dan bertahan sampai 24-36 jam paska kematian sampai dimulainya proses dekomposisi6.

Beberapa hal dapat mempengaruhi kekuatan serta kecepatan timbulnya rigor mortis. Kekuatan rigor mortis sangat bergantung pada massa otot yang dimiliki seseorang. Laki-laki umumnya mempunyai rigor mortis yang lebih kuat daripada perempuan karena massa otot yang lebih besar. Bayi memiliki rigor mortis yang buruk karena massa otot yang kecil. Kecepatan timbulnya rigor mortis bergantung pada suhu lingkungan (semakin tinggi semakin cepat), suhu internal (semakin tinggi semakin cepat), aktivitas otot sebelum mati (semakin banyak semakin cepat), umur (anak-anak lebih cepat)1,2,6.

Gambar 2: Rigor mortis c. Algor Mortis Setelah mati, suhu tubuh akan mencapai equilibrium dengan lingkungan sekitarnya. Proses ini akan dimulai setelah 30-60 menit setelah kematian atau saat proses metabolisme benar-benar terhenti. Algor mortis dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu suhu awal, suhu keliling, kelembapan udara, ukuran tubuh, posisi tubuh, pakaian yang dikenakan, lokasi mayat, dan umur1,2,6. Penurunan suhu selama 18 jam pertama setelah kematian dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikenal sebagai rule of thumb7:

Interval Kematian (jam) = [98,6 - suhu tubuh (oF)] / 1,5

Pola penurunan suhu setelah kematian masih belum dapat dirumuskan secara tepat, oleh karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, secara garis besar, algor mortis akan membentuk kurva seperti ditunjukkan pada gambar 3 pada awalnya suhu menurut secara cepat, namun setelah mendekati suhu lingkungan, perubahan suhu akan berlangsung lebih lambat2.

Gambar 3: Kurva Sigmoid Algor Mortis d. Dekomposisi Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis terjadi akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel paska kematian. Bakteri yang berperan dalam pembusukan adalah bakteri genus clostridium (terutama Clostridium welchii)2. Saat masih hidup, manusia memiliki sistem pertahanan tubuh yang mencegah bakteri-bakteri komensal colon untuk berkembang2. Setelah manusia mati, bakteri ini masuk ke dalam pembuluh darah dan

berkembang biak. Bakteri ini akan menghasilkan gas-gas alkana, H2S, HCN, serta asam amino dan asam lemak6. Terdapat lima fase dalam dekomposisi, yaitu fase segar (fresh stage), fase menggembung (bloated stage), fase penghancuran (decay phase), fase setelah penghancuran (post decay stage), dan fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage)7. Berikut ialah penjabaran spesifik dari masing-masing fase tersebut7: Fase segar (fresh stage) Fase segar dimulai segera setelah kematian sampai periode penggembungan tubuh mulai terlihat. Tanda-tanda yang terlihat pada fase ini adalah perubahan warna kehijauan yang muncul pada perut, livor mortis, pecahnya kulit, dan tache noir. Perubahan warna kehijauan disebabkan warna dari sulmethemoglobin. Karena bakteri pembusukan berasal dari colon, dengan demikian perubahan warna biasanya dimulai dari perut kanan bawah dan menyebar ke seluruh tubuh. Kemudian kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan kehijauan yang berbau busuk. Mulai terjadi invasi dari serangga pada bagian terbuka dalam tubuh seperti mata, hidung, mulut, hidung, anus, genital, dan luka-luka. Telur-telur serangga akan diletakkan di dalam beberapa bagian tubuh. Saat telur-telur ini menetas, seranggaserangga akan mulai memakan tubuh manusia dari dalam.

Gambar 4: Fase segar

Fase menggembung (bloated stage) Fase menggembung disebabkan adanya aktivitas bakteri anaerob pada usus dan

bagian tubuh lain yang mencerna jaringan tubuh. Proses metabolik yang terjadi menghasilkan produksi gas. Pembentukkan gas dalam tubuh dimulai dari lambung dan usus, mengakibatkan inflasi perut. Proses yang lanjut ditandai dengan gambaran tubuh yang seperti balon (ballon-like appearance). Selain perut, gas juga akan terkumpul pada organ-organ lain khususnya skrotum, payudara, dan sendi. Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak. Pada akhirnya wajah korban tidak lagi dapat dikenali oleh keluarga. Belatung yang timbul akan semakin banyak khususnya pada bagian internal tubuh. Larva lalat ini biasa muncul 36-48 jam paska kematian, sehingga dapat menjadi

10

panduan untuk menentukan saat kematian. Dengan identifikasi spesies dan panjang larva dapat diketahui usia lalat, dan akhirnya saat kematian korban. Peningkatan tekanan internal akibat banyaknya gas menyebabkan

merembesnya cairan tubuh dari berbagai bagian terbuka tubuh dan bau amonia mulai terdekteksi. Adanya amonia di dalam tubuh ini menyebabkan tubuh menjadi alkali, menyebabkan tubuh mulai ditinggalkan oleh fauna-fauna yang biasanya ada pada tanah dalam keadaan normal, sedangkan invasi organisme yang berhubungan dengan pembusukan justru semakin banyak.

Gambar 5: Fase penggembungan

Fase penghancuran (decay phase) Tanda-tanda dimulai dan berakhirnya fase ini kurang jelas dan agak subyektif.

Tanda-tanda utama dari fase ini adalah lepasnya bagian luar kulit dan keluarnya gas dari dalam perut menyebabkan perut mulai berdeflasi. Pada fase ini, bau busuk yang

11

kuat akan terdeteksi. Larva-larva lalat ordo Diptera akan semakin banyak muncul baik di luar tubuh dan di dalam tubuh. Larva ini akan mengkonsumsi daging manusia dan meninggalkan hanya kulit dan kartilago.

Gambar 6: Fase penghancuran

Fase setelah penghancuran (post decay stage) Pada fase ini tubuh hanya terdiri dari kulit, kartilago, dan tulang. Ordo lalat

Diptera akan pergi dan ordo serangga lain seperti Coleoptera akan semakin berkembang. Serangga ini akan mengkonsumsi sisa daging dan kartilago, meninggalkan tulang yang bersih sebagai hasil akhir. Pada fase ini akan muncul berbagai parasit pada tubuh.

12

Gambar 7: Fase Penghancuran

Fase tulang atau sisa (skeletal or remains stage). Pada fase ini, bagian yang tersisa dari tubuh hanyalah tulang dan rambut. Tungau

dan Collembola mulai timbul. Fauna-fauna yang biasa timbul pada tanah tersebut akan kembali. Tidak ada batasan akhir dari fase ini.

13

Gambar 8: Fase tulang atau sisa

d.1. Mumifikasi Mumifikasi adalah pengeringan tubuh akibat suhu sekeliling yang tinggi serta kelembapan yang rendah. Tubuh akan tampak menyusut dengan kulit yang kering dan kaku serta berwarna coklat kehitaman1. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembapan rendah, aliran udara yang baikm tubuh yang dehidrasi dan waktu yang lama (12-14 minggu)2.

d.2. Adiposera Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh paska kematian. Pada adiposera terjadi hidrolisis jaringan lemak tubuh dimana trigliserida tubuh akan dipecah menghasilkan gliserin dan asam lemak tidak jenuh bebas, palmitat, stearat, dan oleat. Asam lemak yang tidak jenuh akan mengalami dehidrogenasi menjadi

14

asam lemak jenuh. Kemudian asam lemak jenuh ini akan berikatan dengan alkali membentuk sabun yang tidak larut1,2. Adiposera dapat terbentuk pada berbagai jaringan lemak tubuh, mulai dari lemak superfisial, sampai lemak dalam hati. Lemak superfisial yang terkena biasanya pada daerah pipi, payudara, payudara, bokong, batang tubuh, atau ekstremitas2. 2.2. Zat Zat yang Dihasilkan Pada Proses Kematian 2.2.1. Hidrogen Sulfide (H2S) Hidrogen sulfida (H2S) merupakan bahan kimia yang tidak berwarna, sangat beracun, mudah terbakar, dengan karakteristik berbau seperti telur busuk pada konsentrasi 100 ppm8. Gas ini merupakan produk dari metabolisme bahan organik saat tidak ada oksigen (metabolisme anaerob)8. Tubuh manusia juga memproduksi hidrogen sulfide dalam jumlah sedikit dan berfungsi sebagai gasotransmitter untuk mengatur relaksasi pembuluh darah8. Struktur kimia hidrogen sulfida dapat dilihat pada gambar 98.

Gambar 9: Hidrogen Sulfida

Adapun senyawa hidrogen sulfida (H2S) dapat terbentuk dalam proses sebagai berikut: a. Marblization/Arboressent Line Pada proses dekomposisi, bakteri memecah sel darah merah menjadi hemoglobin, bersamaan dengan itu dihasilkan pula hydrogen sulfida oleh bakteri yang pada akhirnya menjadi sulfhemoglobin. Selama proses ini vena superficial di kulit menjadi terlihat dan menampakan pola yang disebut arboressent line berwarna ungu kecoklatan. Proses ini dinamakan marblization yang umumnya terlihat di

15

bagian dada, bahu, lengan, dan aspek lateral dari badan, terkadang juga dapat terlihat di antero-medial paha. Proses ini disebabkan bakteri anaerob menyebar melalui vena bersamaan dengan hemolisis sel darah merah sehingga mewarnai pola marbling. Sementara warna yang tampak disebabkan hemolisis sel darah merah yang beraksi dengan hydrogen sulfida yang dihasilkan bakteri9,10.

Gambar 10: Subcutaneus Marbling6 b. Perubahan Warna pada Dekomposisi H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau kehitaman. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk. Kadar sulfhemoglobin dipengaruhi obat, diantaranya asetanilid, fenacetin, nitrat, trinitrotoluen, dan senyawa sulfur (terutama sulfonamid)9,10.

Gambar 11: Pewarnaan hijau pada dekomposisi6

16

c. Bloating Postmortem Proses putrefaksi merupakan proses enzimatik terhadap jaringan dengan produksi beberapa jenis zat oleh bakteri saprofit, diantaranya hydrogen sulfida NH3, merkaptan,CO2 dan sebagainya. Produksi zat berupa gas ini menyebabkan terjadinya distensi gas pada traktus gastrointestinal, organ organ dan rongga lain tubuh. Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah menjulur keluar antara gigi dan bibir9,10.

2.2.2. Asam Lemak Rumus kimia trigliserida adalah CH2COOR-CHCOOR'-CH2-COOR",

dimana R, R' dan R" masing-masing adalah sebuah rantai alkil yang panjang. Ketiga asam lemak RCOOH, R'COOH and R"COOH bisa jadi semuanya sama, semuanya berbeda ataupun hanya dua diantaranya yang sama10. Pada proses dekomposisi Clostridium welchii menghasilkan enzim lesitinase yang memecah trigliserid menjadi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan asam lemak bebas. Proses ini dinamakan hidrolisis. Dalam kondisi cukup air dan enzim, hidrolisis trigliserid akan terjadi hingga semua molekul tereduksi menjadi asam lemak bebas10. Ketika sel terekspos kondisi lembab, hangat dan lingkungan anarob dan invasi bakteri akan terjadi formasi yang disebut dengan adiposera. Adiposera merupakan varian dari proses putrefaksi yang merupakan hasil dari hidrolisis dan degenerasi lemak tak jenuh tubuh (jaringan adiposit) menjadi zat yang berwarna putih kekuningan, seperti lilin yang terdiri dari asam lemak jenuh. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak10,11. Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen dan enzim bakteri. Enzim bakteri umumnya berasal dari Clostridium perfringens, 17

yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi. Adiposera dapat terjadi dalam waktu beberapa bulan, tetapi juga dapat terjadi secara lebih singkat dalam kurun beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat pertahanan terhadap bakteri dan degradasi kimiawi10,11. Normalnya tubuh yang tidak terdekomposisi mengandung sekitar 0.5% asam lemak bebas. Tetapi pada adiposera, persentase asam lemak bebas dapat mencapai 70% atau lebih tinggi. Asam lemak bebas tak jenuh seperti asam palmitolinoleat dan asam linoleat, bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk asam hidrostearat, asa, hidroksipalmitat dan senyawa stearat lainnya; proses ini dikenal sebagai saponifikasi atau penyabunan. Produk akhir ini stabil untuk waktu yang panjang karena zat-zat ini resisten terhadap aktivitas bakteri. Selain itu pembentukan adiposera meningkatkan keasaman jaringan yang hampir sama dengan kondisi dehidrasi dimana jaringan kehilangan banyak air sehingga pada proses hidrolisis akan menghambat bakteri endogen dan memperlambat proses putrefaksi10,11.

Gambar 12: Adiposera6

2.2.3. Perubahan pada glukosa setelah kematian Glukosa merupakan salah satu zat kimia yang paling penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam proses metabolisme. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama pada mamalia. Glukosa juga merupakan prekursor dari berbagai karbohidrat dalam tubuh manusia seperti glikogen, ribosa dan deoksiribosa, galaktosa, dan lain-lain. Struktur kimia glukosa dapat dilihat pada gambar 1312.

18

Gambar 13: Struktur kimia dari glukosa12

Glukosa merupakan zat yang dapat dengan cepat dimetabolisme menjadi laktat karena proses glikolisis. Dengan demikian tidak banyak informasi yang didapat pemeriksaan glukosa dalam darah. Laju dekomposisi glukosa darah per jam adalah 0,7 mmol/L, dan perubahan glukosa darah menjadi laktat berlangsung selama 8 jam. Sampai 10 jam setelah kematian, peningkatan kadar laktat 10-15 mg/dL per jam, dan dapat mencapai kadar laktat total 450-680 mg/dL12.

19

Selain darah, analisis cairan vitreus dan cairan serebrospinal sering digunakan dalam pemeriksaan postmortem. Jumlah glukosa pada cairan vitreus berhubungan dengan kadar glukosa antemortem. Jumlah glukosa cairan vitreus adalah 50% dari jumlah glukosa darah ante mortem dan 85% dari konsentrasi postmortem. Cairan vitreus lebih sedikit dipengaruhi berbagai proses setelah kematian. Hal ini dikarenakan cairan vitreus lebih sedikit terkontaminasi oleh bakteri, autolisism putrefaksi, dan perubahan biokimia seperti glikolisis. Dengan demikian, evaluasi biokimia dari glukosa umumnya juga menyertakan kombinasi glukosa dan laktat pada cairan vitreus13. Dalam pemeriksaan kadar gula dalam darah dan cairan lainnya, perlu diingat adanya beberapa kondisi khusus yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan. Keadaan seperti tumor ganas, penyakit inflamasi kronis seperti uremia, insufisiensi napas, inflamasi susunan saraf pusat dan laktatasidosis karena alkohol, atau puasa dapat menyebabkan peninggian asam laktat. Kadar glukosa yang tinggi mungkin disebabkan oleh asfiksia, perdarahan otak, dan penyakit jantung kongesti13. Darah yang digunakan dalam pemeriksaan kadar glukosa darah harus dipilih pada tempat-tempat khusus, karena tempat yang berbeda akan menunjukkan kadar glukosa yang berbeda pula. Darah yang diambil dari jantung bagian kanan, venacava inferior, dan vena hepatika akan memberikan kadar glukosa yang tinggi karena adanya proses glukoneogenesis yag berlangsung di hati. Darah yang paling baik untuk pemeriksaan glukosa darah adalah darah dari perifer13. Stabilitas sampel juga perlu diperhatikan karena sampel darah tanpa adanya pengawet (natrium flourida inhibitor glikolisis, atau maleinimid, lithium iodo asetat, atau manosa), degradasi glukosa menjadi laktat dapat ditemukan. Pada darah yang mengandung kalsium oksalat sebagai antikoagulan, dan dalam konsentrasi 2,5 g/L atau 4,3 g/L, natrium flourida direkomendasikan sebagai stabilizer untuk glukosa darah dan latat. Mannosa menghambat metabolisme glukosa dan dapat diberikan dengan konsentrasi 2 g/L. Mannosa hanya dapat bekerja selama 4 jam, setelah itu harus diberikan pula natrium fourida. Konsentrasi gkukosa konstan pada 12 jam 20

pertama. Jika disimpan dalam suhu 4oC, konsentrasi glukosa tetap konstan dalam 2-6 hari. Dan dapat mencapai berbulan-bulan bila dalam kondisi beku (-21oC)13.

2.2.4. Ureum dan Kreatinin Permeabilitas membran sel berubah saat postmortem diikuti otolisis. Namun demikian kadar ureum dan kreatinin stabil dalam serum hingga 100 jam postmortem. Sehingga pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam rentang waktu ini dapat menunjukkan kondisi ginjal antemortem1. Kadar ureum darah sebagai akibat terjadinya proteolisis akan meningkat, akan tetapi peningkatan tersebut tidak akan mencapai lebih dari 100 mg/dL dalam waktu 48 jam pertama. Dengan demikian peningkatan kadar ureum yang melebihi 100 mg/dL dapat mempunyai nilai diagnostik yang disebabkan karena azotemia. Sedangkan kadar kreatinin yang mempunyai makna apabila melebihi 6 mg/dL1. Didalam penilaian perlu diingat bahwa pada periode agonal, kadar ureum dapat meningkat sampai 150 mg/dL. Peningkatan kadar ureum lebih dari 300 mg dan kadar kreatinin lebih dari 10 mg, merupakan indikasi yang tidak meragukan lagi adanya kegagalan ginjal/payah ginjal disertai dengan uremia1,14.

2.2.5. Potasium Potassium adalah elemen kimia dengan symbol K, dengan nomor atom 19 dan massa atom 39,098 v. Pada orang dewasa seberat 60 Kg, terdapat 120 gram potassium14. Ion potassium dibutuhkan oleh semua sel hidup untuk berfungsi, dapat ditemukan di jaringan tumbuhan maupun jaringan hewan. Ion potassium terutama terdapat didalam sel (intrasel)14. Kation potassium (K+) sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi neuron (otak dan saraf), serta juga mempengaruhi keseimbangan osmotik antar sel dan cairan interstisial, yang di mediasi oleh pompa Na-K-ATPase. Pompa ini menggunakan ATP

21

untuk mempompa 3 ion Na keluar sel dan 2 ion K masuk ke dalam sel untuk menciptakan gradien elektrokimia pada membran sel14. Perubahan permeabilitas sel saat postmortem paling baik diketahui dari kadar ion Potasium di vitreus humor. Dalam beberapa dekade penggunaan kadar ion Potasium menjadi indikator interval postmortem. Segera setelah kematian, ion potassium bergerak melewati membran sel yang permeabel di retina menuju vitreus humor. Kadar ion Potassium dapat bervariasi pada kedua bola mata, demikian pula dalam satu bola mata kadarnya dapat bervariasi tergantung seberapa dekat sampel diambil dari sel-sel retina. Kadar ion potassium ini juga dapat meningkat bila disertai peningkatan suhu bila dibandingkan pengambilan pada suhu yang rendah11. Potassium dalam vitreus humour dapat menjadi informasi yang berguna selama 24 jam pertama setelah kematian. Menurut Medea peningkatannya dapat mencapai 0,19 mmol/jam sementara Sturner menyatakan 0,14 mmol/jam. Ada dua formula yang dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian dari kadar Potassium7: 1. Sturners PMI (hours) = 7.14 x K concentration in mEq/L 39.1 2. Medea and Henssges PMI (hours) = 5.26 x K concentration in mEq/L 30.9

Tidak seperti Potassium, Sodium dan Klorida menurun kadarnya saat kematian.

2.2.6. Nitrogen Saat postmortem akan terjadi perubahan kadar nitrogen dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam11.

22

Setelah kematian, pH darah dan jaringan akan turun dikarenakan adanya akumulasi CO2, glikogenolisis dan glikolisis, dengan akumulasi asam laktat dan fosfor dan pemecahan dari asam amino dan asam lemak. Setelah 24 jam mulai berubah dari alkalis, karena terbentuknya amonia dari pemecahan enzimatik proteinl hal ini juga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi non-protein nitrogen dalam serum. Peningkatan non-protein nitrogen tersebut untuk 12 jam pertama adalah sebesar 50 mg11.

2.2.7. Asam Sitrat Asam sitrat merupakan asam organik lemah. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai senyawa antara dalam siklus asam sitrat yang terjadi di dalam mitokondria, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup15.

Gambar 14: Struktur Kimia Asam Sitrat

Sifat Fisika dan Kimia Rumus kimia Nama lain Titik lebur Temperatur penguraian termal pKa 3,15 C6H8O7, atau: CH2(COOH)-COH(COOH)-CH2(COOH) asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat 426 K (153 C) 448 K (175 C)

23

Efek akut Efek kronik

Menimbulkan iritasi kulit dan mata. Tidak ada.

Keasaman asam sitrat didapatkan dari tiga gugus karboksil COOH yang dapat melepas proton dalam larutan. Jika hal ini terjadi, ion yang dihasilkan adalah ion sitrat. Sitrat sangat baik digunakan dalam larutan penyangga untuk mengendalikan pH larutan. Ion sitrat dapat bereaksi dengan banyak ion logam membentuk garam sitrat15. Pada temperatur kamar, asam sitrat berbentuk serbuk kristal berwarna putih. Serbuk kristal tersebut dapat berupa bentuk anhidrosa (bebas air), atau bentuk monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat. Bentuk anhidrosa asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin. Bentuk monohidrat tersebut dapat diubah menjadi bentuk anhydrous dengan pemanasan di atas 74 C15. Secara kimia, asam sitrat bersifat seperti asam karboksilat lainnya. Jika dipanaskan di atas 175 C, asam sitrat terurai dengan melepaskan karbon dioksida dan air15.

Asam Sitrat dalam Tubuh Manusia Sekitar 90 % asam sitrat dalam tubuh manusia berada dalam tulang. Asam sitrat berperan dalam proses kalsifikasi, dimana asam sitrat bereaksi dengan kalsium menjadi co-precipitated kalsium untuk membentuk kompleks kalsium dalam proses deposisi16,17.

Asam Sitrat Postmortem Asam sitrat dapat digunakan sebagai metode yang cukup akurat pada pemeriksaan forensik untuk mengetahui waktu kematian.Karena zat ini terutama

24

terkandung dalam tulang,maka hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana terdapat tulang sebagai bahan pemeriksaan. Asam sitrat terdapat pada korteks tulang manusia dan hewan dalam bentuk yang bervariasi dengan konsentrasi insial(2.0 0.1 wt %). Konsentrasi sitrat pada tulang postmortem konstan selama 4 minggu, kemudian menurun secara linear18.

2.2.8. Perubahan Enzimatik pada Kematian Pada hasil pencarian dari literatur-literatur melalui sumber-sumber media, didapatkan bahwa pada kematian juga terjadi perubahan enzim-enzim dalam tubuh manusia paska kematian. Adapun, enzim-enzim yang mengalami perubahan antara lain, sebagai berikut19,20: a. Aspartat Aminotransferase Fungsi dari aminotransferase atau transaminase, adalah untuk memindahkan gugus amino yang telah ada sebelumnya, dari satu asam amino ke asam amino lainnya. Ini terjadi saat sintesis asam amino nonesensial atau pada degradasi asam amino. Fungsi AST pada katabolisme asam amino yang melibatkan degradasi dari makanan atau cadangan energi seperti karbohidrat, lipid, dan protein ke bentuk energi yang dapat disimpan atau digunakan. AST ditemukan pada jantung dan otot skelet, hepar, ginjal, eritrosit dan jaringan otak, dan berguna untuk mengkatalisasi reaksi konversi aspartat menjadi glutamat. AST kini digunakan di dunia kedokteran sebagai indikator kerusakan hati dan jantung karena infark otot jantung, proses kematian dan karsinogenesis. Peningkatan dari kadar serum AST mungkin terjadi karena kerusakan atau penyakit pada hati, jantung, otot skelet, ginjal dan eritrosit karena infark otot jantung, hepatitis virus, nekrosis hati, sirosis dan distrofia otot. Jumlah enzim yang dilepaskan tergantung derajat kerusakan selular, konsentrasi intraselular enzim dan massa jaringan yang dipengaruhi. Asal dari gangguan (infeksi virus, hipoksia, trauma pembedahan atau mekanis) tidak mempengaruhi pelepasan enzim ke sirkulasi.

25

Penyebab pelepasan enzim tersebut merefleksikan derajat kerusakan organ. Kondisi ringan melpaskan enzim sitoplasma sedangkan kondisi nekrotik melepaskan enzim mitokondria pula. Pada kerusakan hati yang berat, kadar serum AST sangat tinggi karena seluruh isoenzim terlepas. Eritrosis mengandung konsentrasi AST yang tinggi, karena itu hemolisis dapat meningkatkan kadar AST dalam darah pula. Pada keadaan postmortem, saat terjadi dekomposisi jaringan, dengan terjadinya degradasi pada jaringan dan lisis sel maka akan lebih banyak AST yang dilepaskan pada area yang secara langsung mengelilingi jaringan tersebut. Enticknap pada penelitiannya tahun 1960 melaporkan peningkatan konsentrasi AST yang progresif paska kematian, dan meningkat drastis dalam 60 jam pertama paska kematian, sehingga memungkinkan untuk membantu menentukan interval paska kematian.

b. Alkohol Dehidrogenase (ADH) Enzim dehidrogenase adalah subkelas dari golongan oxidoreduktase. Oxidoreduktase mengkatalisis reaksi reduksi oksidasi sedangkan dehidrogenase mengkatalisis terutama oksidasi dari alkohol menjadi aldehida. ADH berfungsi pada langkah pertama dari metabolisme alkohol dengan mengoksidasi etanol menjadi asetaldehide dan menghasilkan NADH, karena itu hanya ditemukan pada hati dan hampir hanya terdapat pada sitosol sel parenkim hati. Ada 3 famili dari aktivitas ADH, salah satunya ditemukan pada mamalia. Famili ini dikenal sebagai ADH rantai sedang dan rantai panjang, yang mana kemudian dipecah menjadi 6 kelas yang diberi kode dari 7 hingga 11 gen dan menghasilkan setidaknya 20 isoenzim yang berbeda. Masing-masing dari isoenzim tersebut telah ditemukan pada jaringan manusia. Aktivitas ADH pada hepar secara luas dikenal sebagai proses utama dengan membuang etanol dari sirkulasi. Karena banyak asetat yang dibuat dari etanol lepas dari hati ke darah, implikasi diagnostiknya ialah dengan mendeteksi kadar etanol dalam sirkulasi darah pada kasus intoksikasi etanol, sebagaimanapula pada kasus keracunan alkohol. 26

Suatu analisis statistik oleh Briglia dkk. (1992) tidak menemukan perbedaan signifikan antara lokasi-lokasi tertentu yang diambil darah untuk pemeriksaan alkohol. Etanol secara alami terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada mamalia karena fermentasi dari flora gastrointestinal dan produksi endogen, terutama oleh hati. Produksi alkohol endogen dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi pada darah setinggi 0.15% pada kasus tertentu. Pembentukan asetaldehide yang berhubungan dengan kadar protein pada hati dan darah peminum alkohol dapat berfungsi untuk memberi petunjuk pada deteksi riwayat alkoholisme. Tidak ada penelitian yang dapat ditemukan membahas tentang kadar ADH postmortem dengan implikasi penentuan interval kematian. Jetter dan Mc Lean (1942) menyatakan bahwa konsentrasi alkohol pada darah, otak dan urin dapat ditentukan, kemudian muncul kemungkinan untuk mengasumsikan bahwa

terdapatnya peningkatan konsentrasi ADH pada saat kematian dapat menjadi suatu indikator kematian. Ekspresi ADH dikendalikan oleh suatu mekanisme regulasi tertentu, namun fisiologi terjadinya mekanisme tersebut masih sukar untuk dijelaskan.

c. Kreatin kinase (KK) Kinase ialah golongan enzim yang mengkatalisis transfer dari gugus fosfat dari ATP atau nukleosida trifosfat lainnya ke gugus alkohol atau amino. KK mengkatalisis transfer fosfat dari ATP ke kreatin untuk membentuk fosfokreatin. KK memiliki 2 isoenzim yamg terdapat pada jantung dan otot skelet, dan yang berada pada otak. Jika proses metabolik cukup untuk mengejar kebutuhan energi suatu organisme, sistem creatin fosfokinase berfungsi sebagai penyeimbang untuk menjaga kadar ATP pada tingkat seluler. Ketika permintaan tiba-tiba akan energi menghabiskan ATP, fosfokreatin berfungsi sebagai sumber gugus fosfat untuk mebuat ATP, membantu menstimulasi respirasi ketika aktivitas otot meningkat. Peningkatan kadar KK dihubungkan dengan infark otot jantung, dan menjadi nyata pada 4 6 jam setelah onset nyeri data, dan memuncak 18 30 jam, dan 27

bertahan hingga 10 hari. KK bocor dari sel jantung yang rusak dan merupakan enzim yang pertama muncul dalam darah setelah Infark miokardial. Kadar KK diatas kadar normal juga dihubungkan dengan insiden distrofia otot, hipotiroidisme, penyakit hati, anemia pernisiosa, infark paru, dan penyakit serebrovaskular akut. Jetter dan Mc Lean pada tahun 1942 mengatakan bahwa sejumlah kecil kreatin terdapat pada urin anak-anak dan kadang di urin wanita dewasa normal, namun kadar yang tinggi mengindikasikan pemecahan jaringan tubuh pada kasus seperti kelaparan, diabetes, goiter, demam, aktivitas otot dan sebagainya. Mereka juga menyebutkan bahwa kreatin tidak terbentuk pada urin setelah kematian sebagai akibat dari proses postmortem. Bollinger dan Carrodus pada 1938 menjadi yang pertama untuk

mengobservasi peningkatan serum kreatinin pada periode paska kematian. Naumann dan Karkela kemudian mendukung hasil penelitian tersebut dengan temuan yang sama pada cairan serebrospinal. Naumann menyebutkan bahwa, walaupun ada korelasi yang kasar antara peningkatan kadar kreatinin dengan interval postmortem hingga pada jam ke 10 setelah kematian, variasi pada kasus individu menunjukkan bahwa reaksi enzimatik tidak tergantung pada waktu saja, dan karena itu sulit digunakan untuk mengestimasikan secara akurat tentang waktu kematian.

d. Laktat Dehidrogenase Peran LDH pada metabolisme ialah untuk mengkatalisis tahap akhir dari glikolisis dalam kondisi anaerob untuk menghasilkan NAD+ untuk proses glikolisis. Piruvat direduksi untuk L-Laktat dan NADH dioksidasi untuk NAD+. LDH juga berperan tahap pertama proses glukoneogenesis dengan mengkonversi laktat kembali menjadi piruvat. LDH ditemukan pada otot skelet dan otot jantung, hepar, ginjal, eritrosit, pankreas dan paru-paru. LDH ialah suatu enzim tetramer yang mengandung 2 subunit yang berbeda yang mana ditandai H untuk jantung, dan M untuk otot. 2 subunit berbeda ini digabungkan dalam 5 cara yang berbeda dan diberi angka LDH1 hingga LDH5. Peningkatan kadar setiap isoenzim tersebut mengindikasikan 28

gangguan tertentu: infark miokard, infark korteks renal, anemia pernisiosa, hemolisis, distrofi otot stadium lanjut (LDH 1 dan LDH 2, sering LDH1 > LDH2), penyakit hati, kerusakan otot skelet dan kanker tertentu (LDH5), beberapa proses neoplastik, kelainan limfoproliferatif dan kelainan terkait trombosit (peningkatan LDH3, sering LDH3 > LDH2), infark paru (LDH2 dan LDH3), dan kerusakan jaringan yang luas (peningkatan seluruh isoenzim). Enticknap pada tahun 1960 menemukan pola peningkatan pada aktivitas LDH dalam 60 jam setelah kematian. Dia merumuskan hal tersebut dalam perhitungan Wrobleski unit dari LDH: Wrobleski unit LDH/1000 = 2.69 + 0.24 (waktu setelah kematian dalam jam) Dia menemukan bahwa akumulasi LDH pada kadaver dalam 3 fase, dimulai dengan peningkatan cepat pada beberapa jam pertama, kemudian melambat dan biasanya bersifat linear hing 2 3 hari kematian, dan terakhir memuncak pada hari ke 4 postmortem. Schleyer pada tahun 1963 kemudian menambahkan tentang sel darah merah merupakan sumber utama dari LDH serum, dan peningkatan yang terjadi pada periode postmortem semestinya berhubungan dengan otolisa eritrosit. Karkela pada tahun 1993 mempelajari perubahan postmortem pada LDH di cairan cisterna, dan menyimpulkan bahwa aktivitas total LDH meningkat secara linear dan signifikan secara statistik setelah kematian dan bahwa pembekuan dan penyimpanan sampel dapat mengurangi aktivitas LDH.

e. Fosfatase Alkali Naumann menunjukkan bahwa kadar fosfatase alkali mencapai mean konsentrasi 5.3 unit Bodansky pada 14 kasus 10,5 jam setelah kematian (antemortem normat berkisar 1.5 4 unit Bodansky). Enticknap menggunakan King Armstrong unit dan menunjukkan bahwa konsentrasi meningkat dari 8 kA sesaat setelah kematian hingga 40 unit kA setelah 30 jam dan kemudian memuncak pada 40 jam setelah kematian sebesar 70 kA dan kemudian mengalami penurunan. Coe 29

berpendapat bahwa konsentrasi fosfatase alkali hampir 2 kali dan pada 8 jam paska kematian dan 3 kali pada 18 jam paska kematian.

f. Amilase Enticknap mendemonstrasikan bahwa kadar amilase setelah kematian mengalami peningkatan yang bersifat bifasik; Amilase meningkat dari 100 Somoghiunit segera setelah kematian hingga 350 unit 6 jam setelah kematian, dan kemudian menurun hingga 150 unit setelah 30 jan dan kemudian mengalami peningkatan dengan puncak lebih dari 350 unit 40 jam setelah kematian dan kemudian menurun hingga 200 unit setelah 50 jam kematian. Reddy melaporkan peningkatan 3 hingga 4 kali pada kadar amilase serum, pada hari kedua setelah kematian.

g. Fosfoglutamutase Dixit PC dkk mempelajari hubungan antara fosfoglutamutase pada darah postmortem dihubungkan dengan waktu dan penyebab kematian. Mereka menyimpulkan bahwa estimasi waktu kematian tergantung pada banyak faktor, termasuk kondisi lingkungan.

h. Stabilitas Enzim setelah Kematian Secara umum, adalah terbaik untuk melakukan enzyme assay dalam jangka waktu 4 jam dari waktu pengambilan darah. Seluruh enzim dapat disimpat semalaman dalam suhu 0 4 oC. Fosfatase Asam hendaknya tidak disimpan dalam suhu ruangan. Aldolase dan Alanin Aminotransferase bersifat tidak stabil bila dibekukan pada 250C, tetapi tidak mengalami kerusakan pada suhu 4oC.

2.2.8. Aspek Biokimia pada Proses Pembusukan/Putrefaksi Proses pembusukan manusia dimulai sejak kurang lebih 4 menit setelah kematian terjadi. Onset pembusukan dimulai oleh proses yang disebut autolysis atau 30

self digestion. Ketika sel-sel tubuh kekurangan oksigen. Maka kadar karbon dioksida di darah akan meningkat, yang diikuti peningkatan pH dan penumpukan hasil samping metabolism yang dapat meracuni sel. Secara bersamaan, enzim-enzim seluler seperti lipase, protease, amylase, mulai melarutkan sel-sel dari dalam keluar, yang menyebabkan sel menjadi rupture dan melepaskan cairan yang kaya akan nutrient. Proses ini dimulai dan berlanjut secara cepat pada jaringan yang memiliki kadar enzim yang tinggi seperti hati, dan kadar air yang tinggi seperti otak, namun secara umum proses ini berlangsung pada seluruh sel di tubuh. Setelah sekian jumlah sel ruptur dan cairan kaya nutrisi tersedia, maka akan dimulai proses yang disebut putrefaksi4. Putrefaksi adalah penghancuran jaringan lunak dari tubuh oleh akibat kerja mikro-organisme (bakteri, jamur dan protozoa) yang menyebabkan terjadinya katabolisme jaringan menjadi gas, cairan dan molekul sederhana. Tanda pertama dari putrefaksi yang muncul adalah perubahan warna kehijauan pada kulit karena adanya pembentukan sulfahaemoglobin pada darah. Jika proses ini berlanjut maka akan terjadi pembentukan berbagai gas (hydrogen sulfide, karbon dioksida, methane, ammonia, sulfur dioksida, dan hidrogen) yang terjadi terutama di usus besar. Hal ini terjadi berhubungan dengan adanya proses fermentasi anaerobik yang terutama terjadi pada usus, dengan hasil samping berupa volatile fatty acids, terutama butyric dan propionic acid. Akumulasi gas dan cairan pada intestinal menyebabkan penumpukan pada rektum, namun penumpukan yang cepat dan banyak dapat menyebabkan kulit robek dan menimbulkan post-mortem injuries tambahan. Setelah proses pengeluaran gas akibat putrefaksi terjadi, maka proses pembusukan aktif dimulai4. Dekomposisi lanjut dari lemak dan protein menghasilkan phenolic compounds (2-methylindole atau skatole, putrescine, cadaverine)dan gliserol. Pada saat ini, elektrolit secara cepat merembes keluar tubuh, kedua bakteri aerob dan anaerob berada pada jumlah besar, aktivitas serangga, dan karnivora, berperan aktif dalam proses pembusukan. Putrefaksi juga menghasilkan senyawa amines seperti putrescine dan cadaverin21. 31

Amines sendiri adalah salah satu derivate ammonia, dimana satu atau lebih atom hydrogen pada ikatan digantikan dengan grup alkil atau aryl. Pada proses dekomposisi, amines yang dihasilkan adalah putrescine dan cadaverin21. Putrescine adalah zat kimia organic dengan bau yang tidak sedap dengan rumus bangun NH2(CH2)4NH2 (1,4-diaminobutane atau butanediamine). Zat ini yang bertanggung jawab menimbulkan bau busuk pada proses pembusukan setelah kematian, juga berkontribusi terhadap bau pada halitosis dan vaginosis bacterial21.

Gambar 14 : Putrescine Cadaverin merupakan zat dengan bau busuk juga yang diproduksi dari hidrolisis protein sewaktu terjadi putrefaksi dari jaringan. Cadaverine merupakan diamine toksik dengan rumus bangun NH2(CH2)5NH2 , dengan nama lain 1,5pentanediamine dan pentamethylenediamine21.

Gambar 15 : Cadaverin 2.3. Pemeriksaan Laboratorium Seperti telah dijelaskan di atas, ada banyak senyawa biokimia yang dihasilkan dalam proses kematian, mulai dari elektrolit, enzim-enzim, maupun senyawa lainnya. Adanya senyawa tersebut yang terdeteksi dapat berhubungan dengan pemeriksaan

32

forensik, yang salah satunya ialah pemeriksaan untuk mengetahui waktu kematian. Hal ini pun sebenarnya masih banyak diteliti di berbagai pusat penelitian kedokteran forensik. Adapun, dari hasil pencarian literatur yang penulis lakukan melalui berbagai sumber, peran pemeriksaan zat-zat yang terbentuk pada proses kematian di laboratorium untuk kepentingan forensik antara lain sebagai berikut: a. Tes Microchemical Inorganic Ion Meskipun telah ada instrumen analitik canggih untuk mengidentifikasi material yang dicurigai mengandung microchemical, namun tes laboratorium dengan mikroskop masih sering dilakukan karena sederhana, murah, cepat dan reliable. Hampir semua tes kimiawi dengan analisis kualitatif menggunakan slide mikroskop untuk pemeriksaannya. Pada prinsipnya microchemical tes terdiri dari 6 langkah utama yaitu22: 1. Reagent Mixing Merupakan pencampuran sampel tes dengan reagennya di slide mikroskop 2. Solubility Menambahkan air atau pelarut lain yang dibutuhkan 3. Evaporasi Memanaskan slide mikroskop di atas api 4. Dekantasi Memisahkan dan dipanaskan presipitat dari pelarut dengan menggunakan microspatula 5. Sublimasi Merupakan perubahan dari bentuk solid ke gas tanpa melalui bentuk cair. Sublimasi akan terjadi setelah proses pemanasan yang akan menghasilkan formasi kristal 6. Fusi Pada proses ini sampel dicampur dengan agent yang membuat Kristal berwarna.

33

b. Pemeriksaan Humor Vitreus Pemeriksaan potasium dilakukan melalui cairan vitreus. Cara pengambilan humor vitreus tidaklah sulit, yaitu dengan mengambil 2 ml dari tiap mata dengan jarum lunak no. 20. Sering didapati perbedaan kadar potasium antara mata kiri dan mata kanan dalam satu individu. Selain itu bila aspirasi dilakukan secara paksa atau terlalu dekat dengan retina dapat mengubah nilai dari hasil pemeriksaan oleh karena potassium mencapai vitreus dengan jalan menembus retina. Pengaruh suhu juga masih menjadi perdebatan yang penting23. Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus ialah konsentrasi sodium dan klorida, dimana konsentrasi elektrolit-elektrolit ini mengalami penurunan sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untk memeriksa reabilitasnya satu sama lain, misalnya kadar potassium adalah < 15 mmol/l maka kadar sodium dan klorida dapat diperkirakan, dimana penurunan klorida kurang dari 1 mmol/l/jam dan sodium adalah 0.9 mmol/l/jam, sehingga penurunan sodium disini tidak signifikan pada beberapa jam pertama, berbeda dengan potassium yang peningkatannya terjadi secara bermakna. Sturner menemukan cara pengukuran yang paling populer dalam penentuan potassium vitreus untuk penentuan saat mati dengan menggunakan rumus23: 7.14 x konsentrasi potassium (mEq/L) 3.91

Hasilnya akan lebih memuaskan apabila tubuh diletakkan pada temperatur yang stabil dan tidak lebih dari 10oC. Sturner dan Gantner mengemukakan sejauh masih menyangkut kematian yang sifatnya mendadak atau yang tidak diharapkan, dikuatirkan akan terdapat hubungan yang linier aritmetrik antara potassium dalam vitreus juga interval postmortem yang melebihi 100 jam akan terdapat standard error 4 7 jam. Jadi penggunaan metoda ini sangat berguna pada kasus dimana interval postmortem tidak lebih dari 24 jam 36 jam pertama sesudah kematian. Pada

34

neonatus, kadar potassium ini akan meningkat lebih cepat dari pada dewasa walaupun keduanya dipengaruhi temperatur postmortem23. Tehnik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium sering memberi hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985 mengatakan bahwa penggunaan metode flame fotometrik memberikan nilai 5 mmol/l kurang untuk sodium, 7 mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l kurang untuk klorida bila dibandingkan dengan pemeriksaan denga menggunakan metode spesifik elektrode modern. Pada orang yang mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakitpenyakit kronis dengan retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan kematian mendadak. Agaknya gangguan elektrolit premortal pada pasien juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan dengan menggunakan flame fotometri dalam mmol/l bila sodium > 155, klorida > 135 dan urea > 40 ini dipercaya sebagai indikasi dehidrasi antemortem23. Bila sodium dan klorida adalah normal, tetapi urea 150, maka diagnosis uremia dapat dipertimbangkan. Angka ini berbeda dengan dekomposisi postmortem dimana konsentrasi sodium adalah < 130, klorida < 105 dan potassium > 20. Problem umum yang sering ditemukan dalam otopsi adalah mendiagnosa diabetes yang tidak terkontrol dan hipoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun setelah kematian dan akan mencapai angka nol dalam beberapa jam. Coe pada tahun 1973 melakukan 6000 analisa, dan dia mendapatkan glukosa vitreus kurang dari 11.1 mmol/l adalah indikator yang tidak variabel dari diabetes ringan antemortem, tetapi berapapun konsentrasinya interpretasi ini tidak memiliki reliabilitas yang cukup untuk dapat digunakan sebagai pegangan. Pada hipotermia juga terdapat peningkatan glukosa vitreus, tetapi tidak lebih besar dari 11.1 mmol/L23.

c. Pemeriksaan Enzim (Enzim Assay) Telah diutarakan sebelumnya, bahwa pemeriksaan enzim juga sedang diteliti penggunaannya untuk penentuan waktu kematian. Namun bukti yang didasarkan pada studi-studi eksperimental masih banyak yang bersifat kontroversial tentang 35

kepentingan pemeriksaan enzim dalam penentuan waktu kematian. Karly Laine Buras pada tahun 2006 pada thesis yang dibuatnya menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya terhadap 4 enzim, antara lain AST, Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase dan Alkohol Dehidrogenase, dihasilkan suatu kesimpulan bahwa keempat enzim tersebut tidak memiliki reliabilitas yang cukup untuk menjadi indikator interval post mortem. Hal ini terkait properti biologis enzim yang mana sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalnya suhu (pemanasan dan pembekuan), aktivitas antemortem, penyakit penyerta dan sebagainya. Selain itu, cara penyimpanan sampel, cara pengambilan sampel dan saat pengambilan sampel juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hal-hal tersebut diatas dapat menjadi suatu faktor perancu (confounding factors) dalam pemeriksaan enzim19,20. Memang sudah terdapat beberapa penelitian dari abad ke 19 tentang fungsi enzim untuk menentukan waktu kematian, namun terjadi beberapa pertentangan. Pertentangan terjadi karena pemilihan sampel untuk penelitian berbeda satu dengan penelitian lain yang mana dimaksudkan disini ialah hewan karena penelitian enzimatik tersebut dilakukan terhadap jenazah hewan yang dianggap representatif terhadap manusia, dan populasi studi menginklusikan jumlah sampel yang berbeda satu sama lain yang mana sampel yang digunakan, sehingga perlu adanya suatu penelitian yang multisentris sehingga dapat dicapai suatu kesimpulan akhir yang dapat diterapkan secara umum dalam lingkup ilmu kedokteran forensik19,20.

36

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan Adapun, dari karya tulis ini, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: Dalam proses kematian yang terdiri atas proses yang kompleks terdapat perubahan sejumlah senyawa seperti hidrogen sulfide, nitrogen, ureum, kreatinin, Potassium, enzim-enzim dan senyawa lainnya yang mana masing-masing memiliki pola perubahan yang spesifik berbanding dengan waktu. Dari senyawa-senyawa yang dihasilkan paska proses kematian, ada beberapa zat yang digunakan secara forensik untuk memperkirakan interval postmortem, antara lain Potassium, elektrolit lainnya dan enzim, namun masih terdapat kontroversi antar pusat yang berbeda karena zat-zat tersebut dipengaruhi oleh sejumlah variabel perancu.

3.2. Saran Saran yang dapat penulis berikan setelah pembuatan dari karya ilmiah ini ialah sebagai berikut: Pemeriksaan laboratorium forensik untuk mendeteksi zat-zat yang berhubungan dengan proses kematian dan perannya dalam menentukan interval kematian masih harus diteliti lebih lanjut lagi dengan populasi sampel yang lebih representatif dan bersifat multisentris sehingga dapat dicapai suatu standard baku dalam mendeteksi interval kematian secara laboratorium. Makna zat-zat yang terbentuk dalam proses kematian secara klinis di bidang keilmuan Forensik masih harus diteliti lebih jauh lagi untuk memperkaya bidang keilmuan Forensik terutama di cabang Thanatochemistry.

37

DAFTAR PUSTAKA
1. Sofwan D. Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Cetakan VI : 2008. 2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, et. al, Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke I. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. 3. Kala M, Chudzikiewicz E. The Influence of Post-Mortem Changes in Biological Material on Interpretation of Toxicological Analysis Results. Problems of Forensic Sciences. Vol. LIV, 2003: 32 59. 4. Robison R. Thanatochemistry and Forensic Entomology: The Chemical Interaction between Decomposing Organisms and Insects. Diunduh dari : http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_2010/robi son.pdf [diakses tanggal 29 Maret 2011]. 5. Arif RS. Thanatologi. Dalam: Abraham S, Arif RS, Bambang PN, dkk. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke 2 Cetakan 1. Semarang : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2010. 6. Dix J, Graham M. Time of Death, Decomposition and Identification: an Atlas. Boca Raton: CRC Press LCC; 2000. 7. Goff ML. Early post-mortem changes and stages of decomposition in exposed cadavers. Exp Appl Acarol 2009;49:2136 8. Gadalla MM, Snyder SH. Hydrogen sulfide as gasotransmitter. J. Neurochem 2010;113:1426. 9. Cox WA. Early Postmortem Changes and Time of Death. Diunduh dari : http://forensicmd.files.wordpress.com/2009/12/early-postmortem-changes.pdf [diakses tanggal 29 Maret 2011].

38

10. Cox WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. Diunduh dari : http://forensicmd.files.wordpress.com/2010/02/late-postmortem-changes.doc [diakses tanggal 29 Maret 2011]. 11. Dimaio VJ, Dimaio D.2001. Forensic Pathology Second Edition. Florida: CRC Press LLC 12. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Harper's Illustrated Biochemistry 27th Edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2006. 13. Hess C, Musshoff F, Madea B. Disorders of glucose metabolismpost mortem analyses in forensic cases: part I. Int J Legal Med 2011;125:16370. 14. Idries, AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997 hlm. 74 77. 15. Anonim. Potassium. Wikipedia, free encyclopedia. Diunduh dari:

http://en.wikipedia.org/wiki/Potassium [diakses tanggal 4 April 2011]. 16. Anonim. Citric acid. Wikipedia, free encyclopedia,updated 8 March 2011. Diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Citric_acid [diakses tanggal 4 April 2011]. 17. Dixon F, Perkins HR. Citric Acid and Bone Metabolism. London: Institute of Orthopaedics; 1952. Diunduh dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1197978/pdf/biochemj009010115.pdf [diakses 4 April 2011]. 18. Schwarcz HP, Agur K, Jantz LM. 2010. A new method for determination of postmortem interval: citrate content of bone. Forensic Sci. 2010 Nov;55(6):1516-22. from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20681964 19. Buras KL. Are Enzymes Accurate Indicators of Postmortem Interval ? : A Biochemical Analysis. Anthropology; 2006. 20. Garg SP, Garg V. Serum Enzymes Changes after Death and Its Correlation with Time Since Death. J Indian Acad Forensic Med, 32 (4). 39 Lousiana : Department of Geography and Available

21. McMurry JE. (1992), Organic Chemistry (3rd ed.), Belmont: Wadsworth, ISBN 0-534-16218-5 22. PW Barbara, JW Lori. Practical forensic microscopy: a laboratory manual. Singapore: Wiley Blackwell; 2008. 23. Basbeth F. Perkiraan Saat Mati : Perkiraan Saat Mati dan Aspek Medikolegalnya. Diunduh dari:

http://www.freewebs.com/forensicpathology/index.htm [diakses : 4 April 2011].

40

You might also like