You are on page 1of 17

KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

(Mengembalikan Kepercayaan Publik)

PENDAHULUAN

Pada paper ini, penulis mencoba menjelaskan konsep kinerja birokrasi pelayanan publik dengan melihat faktor-faktor yang menjadi kendala dalam birokrasi, seperti implikasi birokrasi weberian dan birokrasi zaman kolonial yang masih kental dalam tubuh birokrasi hingga saat ini, serta budaya dan nilai yang berkembang di masyarakat sehingga menyebabkan penyakit birokrasi / patalogi birokrasi. Dengan mengidentifikasi faktor yang menjadi kendala dalam kinerja birokrasi pelayanan publik, sehingga mampu menciptakan pelayanan publik dengan baik pada tingkat kepuasan masyarakat dan pada akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya birokrasi saat ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki image pemerintah dimata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai amanat, Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah undangundang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Pelayanan publik yang dilakukan oleh

pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan,

meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002 dan Governance Assessment Survey (GAS) 2006 membuktikan bahwa aparat birokrasi ketika melayani warganya masih mempertimbangkan unsur-unsur subjektivitas, seperti pertemanan, kesamaan etnis, agama, dan afiliasi politik. Akibatnya diskriminasi pelayanan khususnya terhadap kelompok marginal menjadi lazim terjadi dalam hampir setiap penyelenggaraan Layanan Publik1. Praktik pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidak pastian waktu, biaya, dan cara pelayanan. Akibatnya banyak warga yang tidak sanggup mengurus pelayanan secara langsung dan wajar serta lebih suka menggunaka biro jasa2 dan pelayanan yang buruk ini sering membuat biaya transaksi menjadi semakin tinggi3 Output dari kinerja birokrasi adalah pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik erat kaitannya dengan fungsi pemerintahan dan pemberdayaan atau pendidikan sosial kepada masyarakat yang menyangkut urusan ideologi, politik, soial, budaya, agama, dan pertahanan keamanan. Namun keadaan yang terjadi dalam kinerja birokrasi adalah adanya pemisahan kepada kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan dan uang yang akan selalu diutamakan dalam pemberian pelayanan sehingga masyarakat tidak memiliki kekuatan apapun akan semakin terpinggirkan dari pelayan publik yang diberikan oleh pemerintah (Pusat Studi Pengembangan Kawasan, 2001) Birokrasi yang terjadi di Indonesia adalah keseimbangan birokrasi yaitu hubungan antara impersonalitas dan personalitas guna mencapai rasionalitas4. Menyebutkan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris yang masih kental hubungan kekerabatannya. Dimana dalam kehidupan bermasyarakat masih lebih banyak hubungan pribadi di anatara mereka. Keadaan ini yang terkadang mengakibatkan Patalogi Birokrasi. Istilah patalogi birokrasi mempunyai makna untuk menjelaskan berbagai bentuk penyimpangan dalam birokrasi, seperti patrialisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, fragmentasi brirokrasi, dan pembengkakan birokrasi. Sehingga dengan mengenali faktor1 2

Agus Dwiyanto (2011 : 45) Lihat Agus Dwiyanto (Mewujudkan Good Governance melalui pelayanan publik 2005) menyebutkan Dalam survey indeks kepuasaan pelanggan yang diselenggarakan baru-baru ini di kota yogyakarta, besarnya porsi warga yang menggunakan biro jasa sangat bervariasi, tergantung pada jenis pelayanannya. Pelayanan pemerintah yang diselenggarakan untuk badan usaha dan lembaga, angka penggunaan biro jasa sangat besar bahkan mencapai 100 persen. 3 Salah satu komponen biaya transaksi yang penting adalah biaya prantara (intermediaries) yang jumlahnya bisa berlipat ganda dari biaya resminya, tergantung pada jenis pelayananya 4 Miftah Thoha (2012 : 269)

faktor yang menjadi penghambat sebuah kinerja birokrasi, maka diharapkan mampu memperbaiki pelayanan publik di Indonesia dan mengembalikan kepercayaan publik. 1. Konsep Birokrasi Weberian dan Birokrasi Masa Kolonial yang Mempengaruhi Birokrasi di Indonesia Dalam penerapan dan perkembangan birokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan paradigma administrasi publik yaitu : Birokrasi Weberian dan Birokrasi Zaman Kolonial yang masih melekat hingga saat ini. Sehingga birokrasi yan terjadi adalah kesulitan untuk menyesuaikan dalam perkembangan zaman yang sifatnya menjadi kaku, bertele-tele, hierarki yang terlalu tinggi, penuh dengan aturan dan juga pengaruh yang disebabkan oleh Birokrasi Kolonial adalah para birokrat sifatnya ingin dilayani oleh publik bukan melayani publik. Rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi membuat birokrasi semakin kehilangan legitimasi sosial (Dwiyanto, 2007). Citra birokrasi pemerintah cenderung terus memburuk dan sering dinilai sebagai sumber dari berbagai masalah publik yang dihadapi masyarakat. Karena selama ini birokrasi pemerintah cenderung menempatkan dirinya sebagai instrument kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik. Max weber seorang sosilog Jerman awal abad ke-19 yang mengemukakan model ideal tipe. Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai bentuk respons terhadap lingkungannya pada saat itu, yang menurut pandangannya yang akan diatasi dengan baik kalau pemerintah mengembangkan organisasi yang ia sebut sebagai legal-rational (Dwiyanto, 2011:22). Yaitu sebuah model yang kemudian disebut sebagai birokrasi. Weber melihat adanya kebutuhan untuk melakukan pembagaian kerja sebagai akibat semakin meluasnya dan kompleksnya tugas-tugas administratif secara kuantitatif (Masoed 1990:148). Ada kelebihan yang ditawarkan oleh model birokrasi weberian yaitu memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintahan, tetapi ada sisi lain juga yang dapat menyebabkan lemahnya dari kinerja birokrasi itu sendiri. Birokrasi weberian pada akhirnya banyak sekali menimbulkan pro dan kontra, hingga kritik terhadap birokrasi weberian. Banyak tokoh yang mengkritisi birokrasi ideal tipe yang ditawarkan oleh weberian. Diantaranya Yacoby berpendapat : bertolak belakang dengan nilainilai demokrasi, Connel berpendapat : dibawah dominasi tenokrat yang bersifat arogan, Groizer berpendapat: tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan/kondisi yang ada, Merton berpendapat : stuktur rasional sulit berfungsi, Fine berpendapat : cocok diterapkan pada model organisasi birokrasi yang kecil dan rutin, Carter berpendapat : kurang inovatif (malas), tidak efektif, bisa terjadi pembengkakan (materi kuliah prinsip administrasi publik pertemuan ke enam). Adapun kritik lain yang timbul Werren Bennis berpendapat : birokrasi weberian

tidak melihat perkembangan zaman sehingga tidak mampu menjawab tantangan yang kian majau seiring dengan modernisasi. Miftah Thoha berpendapat : birokrasi weberian hanya menggunakan pendekatan impersonalitas agar terwujudnya rasionalitas, yang seharusnya faktor personal juga terkadang diperlukan guna tercapainya rasionalitas. Dalam kontek birokrasi di Indonesia, pada dasarnya birokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan adopsi birokrasi weberian atau dalam paradigma administrasi publik disebut Old Publik Administration (OPA). Dampak yang dirasakan seiring dengan perkembangan zaman adalah pertama, birokrasi yan terjadi di Indonesia menjadi kaku

dengan hierarki yang terlalu tegas didalam tubuh birokrasi yang mengakibatkan birokrasi menjadi lemah dalam merespons kebutuhan publik. kedua, birokrasi menjadi bertele-tele dengan prosedur yang berlebihan, dimana prosedur bukan lagi menjadi fasilitas yang membantu penyelenggaraan tetapi sudah menjadi seperti ketentuan main yang harus di ikuti oleh pejabat birokrasi dan warga. Untuk menjawab keterpurukan birokrasi yang terjadi di Indonesia, maka kita dapat melihat kajian dengan menggunakan refrensi akademik yang bersumber dari tiga Paradigma besar Adminisitrasi Publik yaitu : Old Publik Administration (OPA), New Publik Management (NPM), New Publik Service (NPS) (Kutipan pidato Pengukuhan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Yeremias T. Keban, S.U., MURP tahun 2007). Ketiga paradigma besar ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing pada saat terdahulu hingga perkembangan zaman pada saat ini. Dalam penerpan OPA terdapat kekakuan, hierarki yang terlalu bertele-tele dan prosedur yang berlebihan, OPA mengajari bahwa untuk membangun birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang impersonal, penerpan peraturan dan standarisasi yang tegas, sikap netral dan prilaku yang mendorong efektifitas dan efisinesi. Contohnya dibidang politik dan hukum, pemerintah harus bertindak tidak pandang bulu, aturan dan prosedur tidak boleh dilanggar dan harus berindak tegas karenanya paradigma OPA lebih sesuai dalam bidang ini (Keban 2007). Dalam penerapan NPM, konsep ini menerapkan apa yang dilakukan oleh sector bisnis dan privat. Slogan yang terkanal dalam perspektif konsep NPM ini ialah mengatur dan mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur dan mengendalikann bisnis-run government like business (Thoha, 2008). Dalam perkembangannya, NPM menuai banyak kritikan karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya (Keban, 2007). Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan pribadi (Self-interest), sehingga konsep seperti public spirit, public service terabaiakan (Kamensky, 1996:251 dalam Keban). Namun ada pelajaran

penting yang dapat di ambil dari NPM, bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, lebih responsif, dan memberdayakan pelaksana agar lebih kreatif sesuai dengan visi sector swasta. Dalam bidang ekonomi pemerintah harus berjiwa entrepreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat meningkatkan perumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakat. Dalam penerapan NPS, dalam paradigma ini pemerintah bukan lagi menjadi aktor utama melainkan mampu melibatkan peran serta dari civil society dan privat. Ada tujuh prinsip (Denhardt & Denhard, 2000) yang berbeda dari OPA dan NPM. Pertama, peran utama dari pelayanan publik dalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, dari pada mengontrol atau mengendalikan masyarakat ke arah yang baru. Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut dengan kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsive melalu cara-cara kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil dialog tentang yang disetujui bersama daripada agregasi kepentingan pribadi. Kelima, para pelayan publik harus memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar professional dan kepentingan warga. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan mealalui kepemimpinan yang menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih daik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga, dari pada oleh manajer wirausaha yang mengedepankan keuntungan semata. Kesimpulannya adalah, Indonesia harus mampu bangkit dan merubah struktur birokrasi yang ada selama ini, dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin tinggi. Sehingga kepercayaan publik selama ini yang kian turun dapat dikembalikan dengan menunjukan kinerja birokrasi yang baik di kedepannya guna menjawab tantangan global yang kian kompleks.

2. Kinerja Birokrasi di Indonesia Yang Dipengaruhi Oleh Patalogi Birokrasi Beberapa indikator yang mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan publik di Indonesia5 antara lain ditunjukan oleh pelayanan yang bertele-tele, biaya yang tinggi, prilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang sebagai abdi masyarakat, pelayanan yang dikriminatif dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.
5

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN oleh Arief Daryanto

Kinerja birokrasi merupakan suatu bentuk tolak ukur untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian yan telah dilakukan oleh birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya Dwiyanto (2008:56). Pengukuran kinerja adalah merupakan tolak ukur keberhasilan suatu organisasi pemerintah dalam mencapai tujuannya. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik Dwiyanto (2008:50-51), yaitu sebagai berikut, Petama Produktivitas, yaitu mengukur kinerja dengan tingkat efisien dan efektifitas pelayanan publik, produktivitas biasanya dipahami sebagai ratio antara input dan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan datu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan. Sedangkan produktivitas menurut Dewan Produktivitas Nasional, adalah suatu sikap mental yang selalu berusaha mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini (harus) lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini. Kedua Kualitas Layanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi publik. kualitas layanan dianggap penting karena merupakan salah satu alasan masyarakat tidak puas terhadap organisasi publik. dengan demikian kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia dengan mudah dan murah. Dan akhirnya kepuasan masyarakat menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. Ketiga Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengetahui dan menangkap kebutuhan yang dirasakan oleh publik. Dengan menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan menyusun program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Resposivitas secara langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat menunjukan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan birokrasi publik. Keempat Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kinerja birokrasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar terhadap kebijakan birokrasi baik secara eksplisit maupun implisit (Levine dalam Dwiyanto 2008). Oleh karena itu responbilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

Kelima Akuntabilitas, akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayan publik adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh stakeholder. Dalam konteks ini konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kinerja birokrasi publik konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Saat ini kinerja birokrasi bila ditinjau dari segi pelayanan publik, masih menerapkan pelayanan klasik6. Dimana petugas dan pejabat pemerintah masih melaksanakan pelayananan secara arogan yaitu pelayanan yang masih selalu berorientasi kepada kepentingan pejabat, penguasa dan dari sudut kepentingan pemerintah. Bukan berdasarkan atas kepentingan dan kebutuhan dasar masyarakat yang dilayani. Sehingga kinerja birokrasi masih sebagai symbol kekuasaan dari penguasa bukan sebagai symbol pelayanaan masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas pengaruh dari birokrasi kolonialsme pada zaman dahulu. Dalam Buku Agus Dwiyanto Mengembaliakan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi setiap aspek dalam sturktur birokrasi, selain memiliki manfaat dan kontribusi dan efisiensi dan kinerja birokrasi, juga berpotensi untuk menimbulkan penyakit birokrasi. Terjadinya penyakit birokrasi dalam kinerja birokrasi, jika intensitas dari variabel itu sudah menjadi berlebihan7 sehingga menimbulkan tugas dan fungsi yang berbeda.

Gambar : Model Kinerja Birokrasi di Indonesia


LINGKUNGAN

BUDAYA & NILAI

PATALOGI BIROKRASi

KINERJA BIROKRASI

STRUKTUR BIROKRASI WEBRIAN

Sumber : Agus Dwiyanto, 2011:62 Berdasarkan gambar model kinerja birokrasi di Indonesia, output dari kinerja birokrasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya dan nilai, struktur birokrasi weberian, dimana ketiga unsur ini pada penerapannya di Indonesia menyebebkan patalogi birokrasi.

6 7

Lihat Miftah Thoha Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia (2012:82) Dalam buku Mengembalikan Kepercayaan Publik melalu Reformasi Birokrasi Agus Dwiyanto (2011 : 60)

2.1 Implikasi Patalogi Birokrasi yang terjadi di Indonesia Seperti sudah disinggung pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan mengenai kinerja birokrasi yang terjadi di Indonesia menimbulkan ketidak efisienan dan efektifitas yang dihasilkan dari kinerja birokrasi itu sendiri, yang dipengearuhi oleh patalogi birokrasi. Dengan demikian patalogi birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto 2011:63). Implikasi pertama yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Birokrasi Paternalistis, masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan masih mempertahankan norma-norma sosial dan nilai budaya yang dimiliki sejak dulu dan mengajari toleransi yang sangat tinggi terutama kepada yang dianggap lebih tinggi kedudukan atau kekuasaanya. Prilaku birokrai paternialistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif antara struktur birokrasi yang hierarkis dan budaya paternailistis yang berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung membuat pejabat bawahan menjadi sangat tergantung kepada atasannya dan terkadang perlakuan bawahan kepada atasan terlihat berlebihan dengan menunjukan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan. Implikasi kedua yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Pembengkakan Anggaran, penyakit birokrasi yang timbul secara luas di Indonesia adalah kecenderungan birokrasi untuk membengkakan anggaran. Dalam perencanaan anggaran pejabat birokrasi mengusulkan anggaran jauh melebihi dari kebutuhan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatannya. Hal ini cendrung klasik dari tahun ketahun dan berkembang pada tingkatan pemerintah pusat dan daerah, yang merencanakan anggaran tidak berdasarkan dari kinerja melainkan berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya dengan melakukan prediksi kebutuhan anggaran tahun depan. Ada beberpa latar belakang terjadinya pembengkakan (mark up) anggaran yaitu prilaku birokrat yang korup untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok sampai dengan cara birokrasi untuk dapat bertahan agar dapat menjalankan kegiatannya atau menghidupi pegawainya (Dwiyanto 2011:77). Hal klasik ini yang sampai saat ini banyak menimbulkan penyakit birokrasi yang sulit teratasi dan menimbulkan praktek korupsi. Sebenarnya pemerintah dapat meminimalisir praktek pembengkakan anggaran dengan mengalokasikan anggaran berbasis pada kinerja tahun sebelumnya dengan catatan tahun sebelumnya juga merupakan analisis anggaran berbasis kinerja. Dan pemerintah harus mau untuk menjadi institusi yang terbuka / transparansi anggaran kepada publik, dan peran dari civil society juga menjadi aktor dalam

menjalankan fungsi control secara efektif sehingga tercipta pengalokasian yang tepat pada sasaran yang membutuhkan dan dapat dirasakan warga. Implikasi ketiga yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Prosedur yang Berlebihan, prosedur berlebihan juga merupakan penyakit birokrasi yang sulit teratasi di berbagai instansi pemerintahan di Indonesia. Saat ini yang terjadi dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan, tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun, bahkan prosedur sudah menjadi tujuan dari birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik secara professional dan

bermartabat (Dwiyanto 2011:85). Sebenarnya prosedur yang tertulis dan terinuk memudahkan dan menciptakan kepastian pelayanan, namun jika prosedur kemudian berkembang semakin banyak sehingga menjadi birokrasi mengalai over regulation dan menyebabkan ketentuan yang menghambat dalam pelayanan. Implikasi keempat yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Pembengakak Birokrasi, semula birokrasi membentuk organisasi pemerintahan dengan alasan untuk memudahkan pengorganisasian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi di suatu daerah, tetapi yang terjadi saat ini adalah pembengkakan birokrasi. Dimana banyak organisasi pemerintah menjadi over kapasitas, sehingga menyebabkan ketidak efisien dan efektif dan juga menimbulkan pemborosan anggaran untuk membiayai organisasi tersebut. Keadaan ini juga disebabkan oleh kepentingan dari luar yang cukup kuat seperti kepentingan partai politik atau kelompok. Karena biasanya partai politik atau kelompok yang memenangkan seorang Kepala Daerah bahkan pada level Presiden, melakukan tuntutannya dan biasanya tuntutanya ini merupakan kesepakatan untuk menempatkan kepentingan individunya dalam struktur organisasi pemerintahan yang di pimpinnya.

3. Membenahi Pelayanan Publik di Indonesia Berdasarkan Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan /atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik . Dan yang disebut penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi pemerintah yang meliputi satuan kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah

nonDepartemen, Kesekertariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk juga Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strartegik untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia (Dwiyanto 2006). Pertama pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Diranah ini terjadi pengumpulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya penyelenggaraan birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan publik yang selama ini telah luntur. Kepercayaan diri sangat penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti saat ini, mengingat kegagalan reformasi birokrasi telah menggerogoti semangat warga. Kedua pelayanan pubik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Aspek kelembagaan lain yang ikut berpartisipasi dalam merespon masalah-masalah publik. Dalam pelayanan publik, keterlibatan unsur-unsur masyarakat sipil dan mekanisme pasar sudah banyak terjadi, sehingga praktik good governance dalam pelayan publik bukan merupakan ranah baru lagi. Dengan menjadikan pelayan publik sebagai pintu masuk untuk mengenalkan good governance, maka tolak ukur dan idikator yang jelas dari pelayanan publik yang efisien, non-diskriminatif, responsive, dan memiliki akuntabilitas tinggi. Ketiga pelayanan publik mampu melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi. Sehingga nasib/citra sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, akan dipengaruhi oleh sebuah keberhasilan mereka dalam mewujudkan pelayan publik yang baik. Apalagi dalam era dimana warga dapat menggunakan hak politiknya untuk menentukan sebuah rezim dengan memilih presiden dan kepala daerah. Dalam sistem pemilu seperti ini, warga pengguna dapat berperan seperti konsumen didalam mekanisme pasar. Sehingga yang terjadi semestinya adalah warga yang merasa tidak puas terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh sebuah birokrasi, dapat melakukan berbagai cara untuk menghukum birokrasi itu dengan berbagai cara yaitu : tidak menggunakan pelayanan, mengajukan protes pada pengusaha, mengajuka mosi tidak percaya melalui wakilwakilnya di lembaga perwakilan, sampai dengan menentukan nasib penguasa ketika pemilu diselenggarakan. Untuk mengembangkan pelayanan publik tentu banyak aspek yang perlu dibenahi di dalam tubuh birokrasi agar mampu mengembalikan kepercayaan publik. Yang terjadi selama ini dalam birokrasi publik merupakan hasil dari sebuah proses interaksi yang kompleks dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam birokrasi publik. mindset yang salah

selama ini telah mengilhami prilaku birokrasi publik. prilaku yang buruk yang ditimbulkan dalam birokrasi akan menghasilkan para pejabat untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aspirasi dan keinginan warga, bahkan yang terjadi di Indonesia tidak jarang kebijakan yang semestinya yang mewakili kepentingan publik disalah artikan dalam implementasinya menjadi kepentingan golongan atau pribadi. Kegagalan masa lalu dalam meletakkan fondasi baru bagi birokrasi di Indonesia ketika memperoleh kemerdekaan membuat banyak nilai, tradisi, dan norma birokrasi kolonial sampai dengan masih melekat dan hidup dengan subur dalam birokrasi publik. Banyak norma, prosedur, dan tradisi birokrasi kolonial yang dikembangkan untuk memfasilitasi pemerintahan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Norma, nilai dan tradisi seperti itu tanpa kita sadari masih melekat dalam birokrasi pemerintahan Indonesia sampai saat ini. Kesemuanya tentu harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan misi baru birokrasi untuk melayani warga dan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi warga. 3.1 Penerapan Citizens Charter Sebagai Salah Satu Solusi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Citizen charter pertama kali diperkenalakan di Inggris, pada awalnya ini adalah merupakan suatu dokumen yang didalamnya disebutkan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada providers maupun dalam diri customers. Semula istilah ini sempat dinilai salah kaprah, karena piagam atau kontrak ini (charter) ditujukan hanya kepada pengguna jasa atau klien saja (customers atau client) dan bukan ditujukan kepada seluruh warganya (citizen). Denhardt&Denhardt (2003) dalam bukunya Governance, Administration and Development Making the State Work, kembali megaskan bahwa pelayanan publik seharusnya tidak harus berfokus kepada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa (customers atau client) tetapi harus beroirientasi pada kepentingan masyarakat atau warganegara (citizen). Contoh penerapan citizens charter di Negara Malaysia (sebagaimana dikutip oleh Turner&Hulme, 1997:126) menulis bahwa program ini telah dikembangka di Malaysian Administrative Modernization and Manangemennt Planning Unit (MAMPU). Sehingga setipa instansi pemerintah Malaysia wajib membuat citizens charter. Dengan demikian charter ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada pengguna jasanya bahwa pelayanan yang dikelolanya memiliki standar yang sesuai dengan harapan pengguna jasa. Dan apabila standar ini tidak dapat dipenuhi, maka warga selaku pengguna jasa pelayanan dapat mempergunakan citizens charter yang telah dirumuskan sebagai alat untuk memprotes atau menuntut instansi pemerintah yang gagal memenuhi standar pelayanan sebagaimana yang tertuang dalam citizens charter.

Banyak manfaat yang akan dirasakan baik oleh birokrasi, pengguna layanan, maupun stakeholder pelayanan lainnya apabila citizens charter diterapkan (Kutipan dalam Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004 Citizens charter dan Reformasi birokrasi oleh Bambang Wicaksono Triantoro). Pertama, dapat memberikan kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan. Kedua, untuk memberiakan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan, dan stakeholder lainnya dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, untuk mempermudah warga pengguna layanan dan stakeholder lainnya untuk mengontrol praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, untuk membantu mengenalakan kepada pihak birokrasi pemerintah sebagai penyedia layanan dalam mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi pengguna layanan melalui kegiatan survei penggunaan layanan. Pada saat ini citizen charter diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kontrak layanan atau piagam pelayanan. Di Indonesia penerapan citizens charter sudah berjalan di berbagai instansi di tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat pemerintah pusat. Berikut ini contoh isi citizens charter yang dapat diterapkan di berbagai instansi pemerintah di Indonesia Tabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. Contoh Muatan Materi Citizens Charter Memiliki Visi dan Misi Mencantumkan operasional jam pelayanan Mencantumkan waktu pengurusan penyelesaian urusan perizinan Mencantumkan sanksi yang jelas apabila terjadi kesalahan Mencantumkan biaya administrasi yang baku Adanya etika pelayanan (penyampaian informasi terkait dengan perizinan tersebut dan standar sapaan petugas pelayanan) 7. 8. 9. Adanya alur pelayanan yang jelas Adanya kontak pengaduan (kritik dan saran) Kontrak pelayanan mencantumkan batas berlakunya

Sumber : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation, 2004 (dalam buku manajemen pelayanan, Ratminto & Atik Septi Winarsih) Dalam konteks Indonesia pendekatan citizens charter merupakan bentuk

transformasi pelayanan dengan meberikan suatu model kejelasan dan kepastian dalam meberikan pelayanan kepada warga, dengan kontrak layanan dan piagam layanan yang baku dan jelas. Dan dilatar belakangi oleh masih lemahnya posisi masyarakat dalam melakukan kontrol atas proses penyelenggaraan pelayan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah (Dwiyanto. Dkk, 2001). Contoh kasus klasik yang terjadi di Indonesia adalah dalam

pengurusan KTP, Akta Tanah, Akta Kelahiran, IMB, dan lain-lain. Dalam kasus ini sering kita jumpai prosedur yang tidak jelas dan baku sehingga dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan ketidak puasan pelayanan yang dilakuakan oleh birokrasi terhadap warga. Warga pengguna layanan juga merasakan betapa rendahnya kepastian pelayanan yang diberikan oleh birokrasi sebagai penyedia layanan. Kepastian pelayanan yang menyangkut biaya, waktu penyelesaian, ataukah standar perlakuan pelayanan kepada pengguna, dapat dikatakan belum menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan. Sehingga aspek ini yang terkadang dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan publik (warga) atas pelaksanaan birokrasi pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.

4. Konsep Membangun Kembali Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah Pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan salah satu cara memperbaiki pelayanan publik dengan konsep citizens charter yaitu dengan maskud memperjelas prosedur pelayanan dan waktu penyelesaian pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini juga merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan publik tentang image publik yang menganggap birokrasi sebagai lembaga dengan prosedur pelayanan yang terlalu bebelitbelit dan memakan waktu yang lama. Makna kepercayaan publik itu sendiri tidak hanya memuat isi tentang bagaimana kualitas administrasi publik, tetapi memiliki peran yang penting dalam proses penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri. Di Indonesia kajian tentang kepercayaan publik belum banyak dilakukan dan memperoleh perhatian yang wajar dari para peneliti dan praktisi administrasi publik, dimana penelitian administrasi publik itu sendiri memusatkan perhatiannya kepada isu-isu yang terkait dengan efisiensi, produktifitas, efektifitas, transparansi, serta isu-isu lainnya yang terkait dengan kualitas tata pemerintahan8. Setidaknya terdapat tiga dimensi penting dalam mengembalikan kepercayaan publik9 yaitu kompetensi, integritas, dan ketulusan. Dimensi Kompetensi adalah hal yan berkaitan dengan peningkatan kualitas profesionalisme dari aparatur (Pegawai Negeri Sipil) yang merupakan aktor dalam pelaksanaan pemerintahan. Dimana aparatur harus memiliki kualitas dan kompetensi dalam bidangnya sehingga mampu membangun sosok birokrasi yang profesional sehingga mampu memberikan pelayanan yang unggul dan baik. Pengembangan profesi aparatur birokrasi selama ini menjadi masalah yang terabaikan. Semestinya profesionalisme birokrasi mampu berdiri sendiri dan independen
8 9

Dwiyanto (2011:353-355) Dwiyanto (2011: 369-431), menyimpulkan pendapat dari Kim (2005) yaitu untuk mengukur kepercayaan publik dapat diukur melalui lima variabel, yaitu Komitmen yang kredilbel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan keadilan. Dari keli variabel tersebut, Dwiyanto menekankan pada Kompetensi, Integritas, dan Ketulusan

tanpa ada campur tangan dari kepentingan politik yang mampu mempengaruhi ke profeionalisme birokrasi. Oleh karena itu Pengembangan profesi aparatur birokrasi harus menjadi bagian penting dalam sebuah agenda reformasi birokrasi. Dalam kontek ini dapat dismpulkan bahwan untuk mengembalikan kepercayaan publik, harus dimulai dari dalam tubuh birokrasi itu sendiri dimana yang menjadi perhatian adalah peningkatan kompetensi aparutur sehingga menjadi lembaga professional dan mampu menjadi lembaga yang independen yang terlepas dari intervensi kepentingan politik. Dimensi Integritas, dimensi ini merupakan kesatuan dan rangkaian dalam agenda reformasi birokrasi dalam mengembalikan kepercayaan publik yaitu memisahkan antara kpentingan politik dan kepentingan publik dalam tubuh birokrasi. Saat ini yang terjadi adalah, ketika kita memiliki sistem multipartai dan birokrasi di pusat dan daerah yang di kuasai oleh partai politik yang berbeda, maka birokrasi merupakan lembaga yang menjadi alat pemenuh kepentingan politik semata. Oleh karena itu dimensi integritas lahir sebagai bentuk pemisahan dan intervensi kepentingan politik dalam tubuh birokrasi. Jika reformasi birokrasi berhasil melembagakan nilai-nilai profesi, orientasi kepada kepentingan publik, dan nasionalisme dalam kehidupan birokrasi publik maka reformasi birokrasi akan mampu mengembalikan kepercayaan publik Dimensi Ketulusan, merupakan modal yang terkhir setelah mereformasi stuktur birokrasi yang ada. Dimensi ini landasan dasar yang harus dipegang oleh pejabat birokrasi dan pejabat politik dalam menjalankan pemerintahan. Ketulusan dan kesungguhan pemerintah akan menjadikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan mendasar yang dihadapi birokrasi pemerintah. Apabila pemerintah telah merancang serangkaian program paling tidak ketiga dimensi ini merupakan sebagai landasan, niscaya akan mampu mengembalikan kepercayaan publik. Adapun manfaat10 yang timbul akibat kembalinya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pertama, kepercayaan publik dapat mengurangi biaya transaksi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai contoh yang mudah dipahami adalah dalam merumuskan sebuah kebijakan. Dimana apabila masyarakat memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap pemerintah, proses pembuatan kebijkan publik relatif menjadi lebih sederhana, cepat dan tidak ada unsur penolakan dari masyrakat dan pemerintah tidak perlu melakukan negosiasi yan panjang untuk meyakinkan masyarakat tentang tujuan kebijkan publik yan telah dibuat. Kedua, mafaat yang ditimbulkan adalah adanya kepercayaan terhadap pemerintah dapat mendorong warga untuk lebih menghormati otoritas yang dimiliki para pejabat publik.
10

Menurut Boukert dan Van De Walle dalam Dwiyanto (2011), Manfaat yang ditimbulkan dari kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Sehingga dalam proses kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi memerlukan penjelasan yang terus menerus yang memakan waktu cukup lama dan menghambat implementasi dari kebijakan itu sendiri. Yang artinya tugas yang diemban oleh pejabat publik menjadi lebih ringan dan mampu mengendalikan masyarakat dengan mudah. Ketiga, kepercayaan publik dapat meningkatkan kehangatan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Hubungan yang hangat dan saling menghormati sangat bermanfaat dalam pengembangan sistem pelayanan publik yang efisien dan efektif. Sehingga kualitas hubungan yang seperti ini memungkinkan pemerintah untuk memangkas proses pelayanan publik yang selama ini cenderung panjang, hierarkis dan rigid. Proses dan prosedur pelayanan yang hierarki dapat diubah menjadi proses yang interaktif dan sederhana. Keempat, mafaat berikutnya adalah terciptanya kerjasama yang baik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan pelayanan dan pemerintahan. Kerja sama antara pemerintah dan dan institusi non pemerintah hanya akan dapat dilaksanakan dan memperoleh hasil seperti yang diinginkan manakala diantara mereka terdapat salaing percaya.

KESIMPULAN

1. Kinerja Birokrasi yang terjadi di Indonesia masih dipengaruhi oleh Birokrasi Weberian dan Birokrasi zaman kolonial. Dimana kedua aspek itu membentuk birokrasi menjadi berbeli-belit, hierarki yang kaku, prosedur yang terlalu banyak, dan penuh dengan aturan. Dan faktor lain yang mempengaruhi birokrasi adalah budaya paternalistis yang masih kental dalam penyelenggaran pemerintahan. Sehingga aspek ini yang menyebabkan terjadinya patalogi birokrasi dan ouput dari kinerja birokrasi itu sendiri menjadi lemah dan rendah. 2. Rendahnya atau menurunnya kepercayaan publik yang terjadi saat ini disebabkan oleh kinerja birokrasi itu sendiri. Artinya penyelenggaraan birokrasi masih dinilai oleh masyarakat sebagai lembaga yang menyebabkan terjadinya ketidak efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintah. 3. Kesimpulan yang dapat diambil terakhir dari Kinerja Birokrasi dan penyempurnaan teori OPA-NPM-NPS tujuannya adalah untuk Mengembalikan Kepercayaan Publik Terhadap Kinerja Pemerintah Dalam Memberikan Kepuasan Pelayanan Kepada Masyarakat dan itu merupakan indikator penilaian kinerja pemerintah yang sifatnya objektif.

DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Dwiyanto A. (2008). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Dwiyanto A. (Ed). (2006).Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Dwiyanto A. (2004). Reorintasi Ilmu Administrasi Publik : dari Government ke Governance Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Daryanto A. (2007). Merit System Manajemen PNS Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian - Jurnal 1 november 2007 Keban. Yeremias T. (2007). Pembangunan Birokrasi Agenda Kenegaraan yang Terabaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Pasolong H, 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta Pramusinto A. & Puerwanto Erwan A. (Ed). (2009). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan Dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media Ratminto & Winarsih Atiek S. (2008). Manajemen Pelayanan : Penegembangaan Model Konseptual, Penerapan Citizens Charter dan Standar Pelayanan Minimal Yogyakarta : Pustaka Pelajar Thoha. M. (2012). Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia Yogyakarta : Thafa Media Utomo W. (2009). Administrasi Publik Baru Indonesia Yogyakarta : Pustaka Pelajar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Trianto W. (2004). Citizens charter dan Reformasi birokrasi Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004

KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA (Mengembalikan Kepercayaan Publik)

Dosen Pengampu : Dr. Agus Pramusinto Dr. Ambar Widaningrum Dr. Gabriel Lale (Prinsip Administrasi Publik)

Disusun Oleh :

SYAIFULLAH NOER
NIM : 12/338896/PSP/04363

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

You might also like