You are on page 1of 22

1

ABSTRAK Rubiati Rahayu (09640028) Penelitian Uji Patogenitas B. bassiana Terhadap Leptocoriza acuta dilakukan selama 10 hari di LPHPT Bantul D.I Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh patogenitas Beauveria bassiana terhadap Leptocoriza acuta dan pengaruh berbagai konsentrasi Beauveria bassiana terhadap presentase kematian Leptocoriza acuta. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan variasi perlakuan meliputi: B0 ( aquades sebagai kontrol ), B1( konsentrasi B. bassiana 10 gram dalam 100 ml aquades ), B2 ( konsentrasi B. bassiana 15 gr dalam 100 ml aquades) dan B3 (konsentrasi B. bassiana 20 gr dalanm 100 ml aquades ). Hasil penelitian menunjukan bahwa presentase dan kecepatan mortalitas tertinggi serangga uji adalah pada konsentrasi B3, dan presentase mortalitas Leptocoriza acuta untuk mencapai 100% pada konsentrasi B1, B2,dan B3 membutuhkan waktu selama 144 jam. Pengaruh patogenitas B. bassiana terhadap Leptocorza acuta ditunjukan dengan adanya tanda-tanda; serangga uji tidak merespon pakan disertai gerakan lambat, diam dan akhirnya mati, selanjutnya tubuh serangga menjadi mengeras (mengalami mumifikasi), terlihat warna putih pada permukaan tubuh. Kata kunci: Beauveria bassiana, mortalitas, patogenitas, Leptocoriza acuta

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai penting untuk kehidupan, merupakan komoditas ekspor yang menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara.. Adanya gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT) seringkali menjadi faktor penghalang produktivitas. Salah satu OPT yang potensial menurunkan produktivitas padi adalah serangga hama Leptocoriza acuta atau sering disebut walang sangit. Hama ini tidak hanya dapat menurunkan hasil, tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti; bintik-bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dari hama tersebut pada saat padi matang susu, tetapi jika tanaman yang diserang pada masa berisi cairan seperti susu maka biji padi akan hampa atau gabug (Pracaya, 2008). Pengendalian serangga hama dengan insektisida kimia banyak menimbulkan masalah, antara lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko

keracunan pada manusia dan hewan ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan bahaya-bahaya lain yang berkaitan lingkungan. Timbulnya masalah-masalah tersebut menjadi stimulan yang meningkatkan minat terhadap upaya pengendalian hama secara terpadu (PHT) yaitu dengan menggunakan agen hayati berupa jamur entomopatogen. Lebih dari 700 spesies jamur entomopatogen dilaporkan telah diisolasi dari berbagai spesies serangga dengan

hama, tetapi baru 10 spesies di antaranya yang berhasil dikembangkan untuk pengendalian hama (Hajek dan St. Leger, 1994). Jamur ini memiliki kisaran sifat biologi yang luas yaitu sebagai parasit sejati hingga parasit patogen yang dapat hidup secara saprofit. Salah satu jamur entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini

dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama antara lain; rayap, kutu putih, beberapa jenis kumbang, B. bassiana juga efektif untuk pengendalian serangga hama kelapa sawit (Darna catenata), penggerek batang lada (Lophobaris piperis), dan ulat pemakan tanaman teh yaitu Ectropis bhurmitra (Gillespie, 1988). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh patogenitas Beauveria bassiana terhadap Leptocoriza acuta? 2. Berapakah konsentrasi Beauveria bassiana yang paling efektif untuk digunakan sebagai pengendali Leptocoriza acuta? C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh patogenitas Beauveria bassiana terhadap serangga

Leptocoriza acuta.
2. Mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi Beauveria bassiana terhadap

presentase kematian Leptocoriza acuta.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa terdapat adanya agen hayati berupa jamur yang dapat dikembangkan sebagai pestisida alami dan ramah terhadap lingkungan, sehingga dapat menekan penggunaan pestisida kimia yang berdampak buruk bagi lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi Padi merupakan kelompok tumbuhan yang tergolong dalam kelas Monotyledonae dan family Gramineae. Tanaman ini merupakan komoditas ekspor yang menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara, merupakan sumber karbohidrat utama yang dimanfaatkan oleh negara tertentu khususnya di Indonesia. Faktor penghalang yang sering mengganggu produktifitas tanaman padi adalah adanya organisme pangganggu tanaman (OPT). Salah satu OPT yang potensial menurunkan produktifitas padi adalah serangga hama yaitu walang sangit /Leptocoriza acuta. Gangguan atau serangan walang sangit biasanya dimulai sejak tanaman padi memasuki masa malai yang ditandai dengan adanya cairan seperti susu pada biji tanaman. Cairan padi yang terus menerus dihisap oleh walang sangit apabial tidak dilakukan pengendalian sejak dini yang akhirnya dapat mengakibatkan turunya produktifitas tanaman padi dan menurunkan kualitas gabah. B. Leptocariza acuta Leptocariza acuta atau yang sering disebut walang sangit merupakan serangga yang memiliki ciri-ciri yaitu ; tubuh berwarna coklat, berukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm, serta memiliki tungkai dan antena yang panjang pada saat dewasa. Nimfa pada serangga ini memiliki struktur tubuh lebih kecil dari dewasa dan tidak bersayap, pada umumnya nimfa berwarna hijau muda

dan menjadi coklat kekuning-kuningan pada bagian abdomen dan sayap coklat saat dewasa (Siwi., et al,1981). Berikut ini gambar morfologi Leptocoriza acuta: Gambar 1. Morfologi Leptocoriza acuta

(Sumber: Foto Langsung) Klasifikasi Leptocoriza acuta : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class Ordo : Insecta : Hemiptera

Family : Alydidae Genus Secies : Lepticoriza : Lepticoriza acuta (Thunberg, 1783) Walang sangit merupakan hama atau musuh bagi tanaman padi karena menyerang pada saat padi memesuki masa bermalai, sehingga apabila cairan padi terus menerus dihisap akan mengakibatkan turunya produktifitas tanaman padi. Hama ini tidak hanya dapat menurunkan hasil, tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti; bintik-bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dari hama tersebut pada saat padi matang susu, tetapi jika tanaman yang diserang pada masa

berisi cairan seperti susu maka biji padi akan hampa atau gabug (Pracaya, 2008). Kerusakan parah disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimfa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar ketiga sampai fase dewasa. Serangan pada fase dewasa merupakan serangan yang mampu menurunkan hasil atau produktifitas tanaman apabila tidak segera dilakukan pengendalian (Willis, 2001). C. Beuveria bassiana Menurut klasifikasinya, Beuveria bassiana termasuk kelas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino Bassi di Beauce, Perancis (Steinhaus, 1975). Beauveria bassiana adalah salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati, merupakan biopestisida ramah terhadap lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengganti dari penggunaan pestisida yang berlebih yang berdampak negatif pada hasil panen dan lingkungan, musnahnya musuh alami, dan timbulnya ketahanan organisme pengganggu tanaman (Setiawati.,et al, 2004). Beauveria bassiana merupakan jamur patogen serangga yang memiliki beberapa keunggulan yaitu; slektif terhadap serangga sasaran sehingga tidak membahayakan serangga lain yang bukan merupakan sasaranya, seperti; predator, serangga penyerbuk dan serangga berguna lebah madu (Departemen Pertanian, 2007). Beberapa strain isolat Beuveria bassiana yang diketahui saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang merupakan inang spesifik jamur

tersebut. Beuveria bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin. Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga inang, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan serangga inang yang terinfeksi. Selain secara kontak, Beuveria bassiana juga dapat menginfeksi melalui kontaminasi pakan (Kucera dan Samsinakova, 1968). B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan spora yang dihasilkan berwarna putih. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya, serangga hama yang terinfeksi B.bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga hama sehat yang ada di sekitarnya (Soetopo & Indrayani. 2012).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari yaitu pada tanggal 03-13 desember 2012 di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan Bantul Yogyakarta. B. Alat dan Bahan 1. Alat yang digunakan pada penelitian yaitu: Kotak atau box inokulasi, bunsen, plastik ukuran 100gr, dandang, kompor, baskom, Autoclave, polibag ,jaring rearing serangga, gelas beker, dan timbangan analitik. 2. Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi: jamur B. bassiana yang ditumbuhkan selama 5 hari, jagung dan beras(sebagai media tumbuh jamur), aquades, tanaman padi, dan serangga uji walang sangit sebanyak 100 ekor. C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan variasi perlakuan meliputi: a. B0 ( aquades sebagai kontrol ) b. B1( konsentrasi B. bassiana 5 gram dalam 100 ml aquades ) c. B2 ( konsentrasi B. bassiana 10 gr dalam 100 ml aquades)dan d. B3 (konsentrasi B. bassiana 15 gr dalanm 100 ml aquades ). Dari masing-masing perlakuan dilakukan 3 kali ulangan, jadi 4x3 perlakuan=12 sampel perlakuan dengan rancangan tabulasi sebagai berikut:

10

Tabel 1. Rancangan tabulasi penelitian Ulangan B0 1 2 3 B0.1 B0.2 B0.3 B1 B1.1 B1.2 B1.3 B2.1 B2.2 B2.3 Perlakuan B2 B3.1 B3.2 B3.3 B3

D. Prosedur Penelitian Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini meliputi: 1. Pembuatan Media Perbanyakan Campuran Beras dan Jagung Giling B. bassiana yang digunakan sebagai bahan uji terlebih dahulu diperbanyak dengan media beras dan jagung perbandingan 1:4 dengan cara sebagai berikut. Campuran beras dan jagung giling yang dicuci bersih dengan perbandingan berkisar 1:4, kemudian dikukus sampai setengah matang. Setelah dingin media dikemas dalam kantong plastik yang tahan panas, masing-masing kantong plastik berisi campuran beras dan jagung kira-kira 100gr, selanjutnya disterilkan pada suhu autoclave 1200C selama 1 jam. Campuran beras dan jagung yang telah diautoclave diangkat. Langkah awal perbanyakan yaitu dipersiapkan kotak inokulasi, bahan yang telah di autoclave dimasukan ke dalam kotak inokulasi, selanjutnya ditanamkan bibit Beauveria bassiana secara aseptis, kemudian disimpan pada suhu ruang dan dibiarkan sampai jamur tumbuh.

11

2. Pembuatan Konsentrasi Jamur B. bassiana Pembuatan konsentrasi B. bassiana dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Menimbang jamur sebanyak 10 gram ditambahkan 50 ml aquades kemudian diblender, disaring dan ditambahkan air 50 ml sehingga diperoleh volume konsentrasi 100 ml sebagai B1. b. Menimbang jamur sebanyak 15 gram ditambahkan 50 ml aquades kemudian diblender, disaring dan ditambahkan air 50 ml sehingga diperoleh volume konsentrasi 100 ml sebagai B2. c. Menimbang jamur sebanyak 20 gram ditambahkan 50 ml aquades kemudian diblender, disaring dan ditambahkan air 50 ml sehingga diperoleh volume konsentrasi 100 ml sebagai B3. Penentuan variasi konsentrasi B. bassiana (10 gram, 15 gram, dan 20 gram) berdasarkan pada uji yang telah dilaksanakan dalam kegiatan Praktek Kerja Lapangan dengan menggunakan konsentrasi 2,5 gram dan 5gram dalam 100 ml aquades, berdasarkan hasil uji diketahui untuk mencapai mortalitas 100% dibutuhkan waktu selama 360 jam pada konsentrasi 2,5 gram B. bassiana dan 288 jam pada konsentrasi 5 gram B. bassiana. Prosedur pembuatan konsentrasi B. bassiana dalam 100 ml aquades ditunjukan pada gambar berikut ini :

12

Gambar 2. Prosedur pembuatan konsentrasi B. bassiana dalam 100 ml aquades

(Sumber: Foto Langsung) 3. Pengambilan Leptocoriza acuta Leptocoriza acuta yang digunakan untuk penelitian berasal dari area persawahan uji ketahanan varietas tanaman padi LPHPT Bantul. Hewan uji yang digunakan adalah serangga dewasa (imago). 4. Aplikasi Jamur B. bassiana Terhadap Leptocoriza acuta Aplikasi B. bassiana terhadap Leptocoriza acuta akan dilakukan dengan cara mencelupkan serangga uji yang dibungkus dengan kain kasa ke dalam konsentrasi selama 10 detik kemudian diletakan pada kertas tissue, sebagai kontrol serangga uji dicelupkan ke dalam aquadest 100 ml. Serangga yang telah diberi perlakuan kemudian dipelihara kembali pada jaring rearing yang yang diberi tanaman padi sebagai pakan. 5. Parameter Parameter yang diukur pada penelitian meliputi: a. Presentase mortalitas Leptocoriza acuta b. Kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta

13

Prosedur kerja penelitian diperjelas dengan menggunakan diagram alir, diagram alir pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Gambar 3. Diagram alir penelitian

Perbanyakan Jamur B. bassiana

Leptocoriza acuta

Dibuat Konsentrasi / Larutan

B1, B2, B3

Diaplikasi

Dicelupkan selama 10 detik

Dipelihara pada jaring rearing yang berisi tanaman padi

Diamati Dianalisis : 1. Presentase mortalitas 2. Kecepatan mortalitas E. Analisis Data a. Data hasil penelitian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data b. dari uji patogenitas dianalisis secara deskriptif, adapun tingkat presentase mortalitas dapat dihitung dengan rumus prevalensi sebagai berikut:

14

P=

x 100% (Suntoro, 1994).

Keterangan : P: Presentase kematian Leptocoriza acuta J: Jumlah Leptocoriza acuta yang mati T: Jumlah Leptocoriza acuta yang masih hidup c. Patogenitas B. bassiana terhadap Leptocoriza acuta diketahui berdasarkan kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: : V= (Suntoro, 1994)

Keterangan : V: Kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta setelah diuji (hari) T: Waktu pengamatan pada waktu tertentu N: Jumlah Leptocoriza acuta yang mati pada waktu tertentu n: Jumlah Leptocoriza acuta dalam pengujian pada masing-masing ulangan.

15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan beberapa konsentrasi B. bassiana terhadap mortalitas Leptocoriza acuta didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Presentase mortalitas Leptocoriza acuta pada berbagai konsentrasi B. bassiaana dalam hitungan waktu (jam). perlakuan Ulangan Presentase mortalitas (%) Leptocoriza acuta Jam ke 24 48 1 B1 2 3 Rata-rata 1 B2 2 3 Rata-rata 1 2 B3 Rata-rata 1 Kontrol 2 3 3 0 0 0 0 0 0 0 40 60 30 0 72 96 50 10 10 120 60 20 60 144 100 100 100 100 100 100 Jml(%)

23,33 23,33 53,33 100 50 30 50 80 90 90 100 100 100 100 100 100

43,33 43,33 13,33 100 80 70 100 90 100 100 10 100 100 100 100

43,33 16,67 30 -

15

16

Grafik1. Grafik presentase jumlah mortalitas Leptocoriza acuta pada berbagai konsentrasi B. bassiana terhadap waktu (jam)

Rata-rata presentase mortalitas

60 50 40 30 B1 20 10 0 B2 B3

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsentrasi B. bassiana mempengaruhi waktu mortalitas Leptocoriza acuta, semakin tinggi konsentrasi B. bassiana semakin cepat waktu mortalitas Leptocoriza acuta. Waktu mortalitas tercepat adalah 72 jam, yaitu pada konsentrasi B. bassiana 20 gram (B3). Tingkat presentase rata-rata mortalitas terkecil adalah pada konsentrasi B1, mortalitas Leptocoriza acuta rata-rata mencapai 100% pada 144 jam setelah perlakuan. Konsentrasi B. bassiana berpengaruh terhadap kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta, tabel data rata-rata kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta setelah aplikasi B. bassiana dalam waktu (jam) adalah sebagai berikut:

17

Tabel 3: Rata- rata kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta setelah aplikasi B. bassiana dalam waktu (jam) Ulangan Waktu (jam) mortalitas serangga pada konsentrasi B. bassiana B1 1 2 3 Jumlah Rata-rata 117,6 148,8 127,2 393,6 131,2 B2 112,8 115,2 110,4 338,4 112,8 B3 96 88,8 108 292,8 97,6

Berdasarkan hasil perhitungan kecepatan mortalitas, diketahui bahwa setiap konsentrasi Beauveria bassiana memiliki pengaru yang berbeda terhadap mortalitas Leptocoriza acuta. Konsentrasi B. bassiana 20 gram (B3), merupakan konsentrasi dengan waktu mortalitas paling cepat. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, jumlah spora B. bassiana lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi rendah, sehingga jumlah spora yang lebih banyak memungkinkan penetrasi ke dalam tubuh Leptocoriza acuta lebih cepat. Hasil perhitungan ratarata kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta setelah aplikasi B. bassiana dalam waktu (jam) diperjelas dengan menggunakan grafik sebagai berikut:

18

Grafik 2. Grafik kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta pada berbagai konsentrasi B. bassiana

131,2

Berdasarkan Grafik kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta pada berbagai konsentrasi B. bassiana (Grafik 2) diketahui masing-masing konsentrasi B. bassiana memiliki pengaruh yang berbeda terhadap waktu mortalitas Leptocoriza acuta. Konsentrasi 1 (10 gr B. bassiana) membutuhkan rata-rata waktu mortalitas selama 131,2 jam, kosentrasi 2 (15 gr B. bassiana) selama 112,8 dan konsentrasi 3 (20 gr B. bassiana) membutuhkan rata-rata waktu mortalitas selama 97,6 jam. Berdasarkan hasil rata-rata tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi B. bassiana maka semakin tinggi pula kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta. Tingginya suatu konsentrasi B.bassiana memungkinkan banyaknya spora dalam konsentrasi tersebut, sehingga akan mempercepat infeksi pada serangga hama, mekanisme infeksi B. bassiana terdiri dari beberapa tahapan yaitu; kontak langsung antara spora dengan serangga hama, penempelan dan perkembangan spora pada integumen, tahap invasi, penetrasi, dan destruksi (Ferron, 1985). Tahapan mekanisme infeksi tersebut menyebabkan serangga hama

Rata-rata waktu mortalitas

112,8 97,6

19

tidak lagsung mati, serangga hama yang terinfeksi B. bassiana akan mati setelah beberapa hari aplikasi. Leptocoriza acuta yang teinfeksi menunjukan tanda-tanda; tidak merespon pakan, gerakan lambat, kemudian diam dan akhirnya mati, selanjutnya tubuh serangga menjadi mengeras (mengalami mumifikasi), dan terlihat warna putih pada permukaan tubuh. Gambar 4. Leptocoriza acuta yang terinfeksi B. bassiana :

( Sumber: Foto Langsung) Pada gambar di atas ditunjukan bahwa serangga uji (leptocoriza acuta) yang terinfeksi B. bassiana mengalami mumifikasi atau pengerasan disertai dengan adanya warna putih pada permukaan tubuh. Warna putih ini merupakan spora yang tumbuh di permukaan tubuh serangga (Wiryodipura, 1994). B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin, antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa serangga, sehingga

mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi (Kucera dan Samsinakova, 1968). Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat.

20

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pnelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh

patogenitas B. bassiana terhadap Leptocorza acuta menunjukan tanda-tanda; serangga uji tidak merespon pakan disertai gerakan lambat, diam dan akhirnya mati, selanjutnya tubuh serangga menjadi mengeras (mengalami mumifikasi), terlihat warna putih pada permukaan tubuh. Masing-masing konsentrasi B. bassiana menunjukan perbedaan secara signifikan terhadap kecepatan mortalitas Leptocoriza acuta. Konsentrasi yang paling berpengaruh paling cepat terhadap waktu mortalitas Leptocoriza acuta adalah konsentrasi 20 gram B. bassiana. B. Saran Perlu diadakanya penelitian lebih lanjut mengenai patogenitas dan toksisitas B. bassiana terhadap serangga hama, aplikasi yang perlu dilakukan adalah dengan pengujian trhadap beberapa serangga hama lainya, tidak hanya dampak yang terjadi pada struktur luar, tetapi perlu pengamatan kembali terhadap anatomi serangga yang terinfeksi.

20

21

DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian, 2007. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Padi. Jakarta : Direktorat Jendral Produksi Tanaman Pangan. Ferron, 1985. Microbial Control of Plant and Desaces. England: Van Rostrand Reinhold Co. Ltd Beksire. Gillespie, A.T, 1988. Use of fungi to control pests of agricultural importance, England: Manchester University Press Kucera, M. and A. Samsinakova. 1968. Toxins of the entomophagous fungus Beauveria bassiana. J. Invertebrate Pathology 12: 316-320. Pracaya, 2008. Pengendalian Hama & Penyakit Tanaman Secara Organik. Yogyakarta : Kanisius. Setiawati, W., et al, 2004. Pemanfaatan Musuh Alami Dalam Pengendalian Hayati Hama Pada Tanaman Sayuran. Bandung: u.p Dewan Redaksi Penerbitan Publikasi Ilmiah. Siwi, S.S., A. Yassin and Dandi Sukarna. 1981. Slender rice bugs and its ecology and economic threshold. Syiposium on Pest Ecology. Bogor. Suntoo, 1991. Uji Efektivitas B. bassiana Terhadap Pengendalian Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei), Tesis, Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM. Soetopo dan indrayani, 2012. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Malang : Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Willis, 2001. Hama dan Penyakit Utama Padi di Lahan Pasang Surut. Banjarbaru : Badan Litbang Pertanian. Wiryodiputra, S. dan O. Atmawinata., 1996. Pengelolaan hama berwawasan lingkungan dalam menunjang ekspor komoditas perkebunan. Kajian pada tanaman kopi dan kakao: Majalah Ilmiah Pembangunan.

21

22

LAMPIRAN Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Serangga Uji KONSENTRASI ULANGAN JUMLAH SERANGGA YANG MATI JAM KE 24 48 72 96 120 144 B1 1 2 3 B2 1 2 3 B3 1 2 3 4 6 3 5 1 1 5 3 5 8 7 6 2 6 8 9 9 10 9 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 JML

22

You might also like