You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Deskripsi Tuberkulosis TBC atau TB (tubercle bacillus) sangat sering terjadi dan penyakit infeksi

letal yang disebabkan oleh berbagai rantai virus mycobacteria, khususnya Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis sering menyerang paru tetapi bisa juga mempengaruhi bagian tubuh yang lainnya. Bakteri tersebut menyebar dengan melewati udara ketika orang dengan TB aktif batuk, bersin, atau yang lainnya mentransmisi saliva melewati udara. Kebanyakan infeksi pada manusia bersifat asimptomatik, infeksi laten, dan 1 dari 10 infeksi laten secara progresi menjadi penyakit aktif, dan tanpa perawatan dapat membunuh lebih dari 50% pasien. Simptom klasik pada TB adalah batuk kronis dengan sputum bercampur darah, demam, berkeringat malam, dan kehilangan berat (consumption). Infeksi pada organ yang lainnya menyebabkan meluasnya rentangan simptom. Diagosis dengan radiologi (chest X-rays), sebuah tuberkulin skin test, tes darah, dan tentunya pemeriksaan mikroskopis dan microbiological culture cairan tubuh. Terapi untuk penyakit ini sulit dan membutuhkan waktu lama dengan multipel antibiotik, tidak hanya itu perawatan dan skrening pada kontak sosial juga dibutuhkan. Antibiotic resistance adalah masalah yang terus berkembang pada multi-drug tuberkulosis. Infeksi baru terjadi dengan rate 1/detik. Tahun 2007, estimasi 13,7 juta orang menderita penyakit Tb aktif, dengan 9,3 juta kasus baru dan 1,8 juta meninggal, insiden ini bervariasi dari 363 per 100.000 di Afrika dan 32 per 100.000 di Amerika.

Gambar 1. Tahun 2007, prevalensi TB per 100.00 orang tertinggi di Sub-Sahara Afrika dan relatif tinggi di Asia

1.2

ADR (Adverse Drug Reactions) pada Terapi Tuberkulosis Tuberkulosis telah menjadi penyakit yang sering terjadi pada komunitas

manusia selama 40 tahun belakangan ini. Telah dilaporkan pula oleh WHO bahwa satu dari tiga populasi dunia adalah populasi yang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis yang menimbulkan 8,4 juta kasus TB baru pada tahun 1991. Insiden infeksi yang tinggi ini telah menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang bagian seriusnya adalah adverse reactions terinduksi oleh obat anti TB. Frekuensi penggunaan anti-TB menginduksi ADRs kini menjadi konsen para peneliti. Satu hal yang paling serius pada studi ADRs adalah Hepatotoxicity, meskipun terdapat laporan yang berbeda mengenai angka kejadiannya yang diinduksi oleh obat anti-TB pada studi yang berbeda. Reaksi ini dipengaruhi oleh genotip pasien yang menerima obat tersebut, sebagai contoh pada pasien dengan pemberian rapid-acetylator lebih beresiko pada isoniazid yang menginduksi hepatotoxicity. Studi memperlihatkan bahwa resiko hepatoxicity pada pasien dari India lebih tinggi dibandingkan laporan di Barat (11,5%:4,3%). Melihat perbedaan laporan antara pasien Asia dan Eropa pada perkembangan anti-TB menginduksi hepatoxicity dapat digunakan untuk mendeteksi angka anti-TB menginduksi ADRs. Table 1. Frekuensi sistem organ yang terlibat pada ADRs diinduksi oleh obat antiTB Tempat Bereaksi Liver and biliary Frekuensi system 30 % 37

disorders Gastro-intestinal disorders Central and peripheral 12 14.9 system 17 21

nervous system disorders Metabolic disorders Skin and appendages 4 4.9 and nutritional 7 8.6

disorders Urinary system disorders Musculo-skeletal disorders Platelet, bleeding and clotting 2 disorders Vision disorders Total 2 81 2.5 100.0 2.5 4 4.9 3.7

system 3

Ghomali, K et.al. dalam hasil penelitianya menyatakan sistem organ yang paling banyak dipengaruhi oleh ADRs adalah sistem liver dan biliary (37%) dan sistem gastrointestinal (21%) (Tabel 1.). ADRs yang paling serius adalah hepatitis (25,9%), yang menyebabkan kematian pada dua pasien (Tabel 2.). Pada studi tersebut, 30 (36,1%) pasien memperlihatkan peningkatan liver transaminases. Meskipun demikian, hanya 3 pasien yang memperlihatkan peningkatan level enzim kurang dari tiga kali pada batas standar. Oleh karena itu, pasien ini tidak memperlihatkan gejala klinis atau bukti biokimia hepatotixicity. Peningkatan pada plasma uric acid telah diobservasi terjadi pada 3 pasien (3,7%) disebabkan oleh Pyrazinamid. Reaksi ini terjadi rata-rata 26,7 hari setelah memulai terapi atau diikuti oleh arthritis. Setelah mengakhiri Pyrazinamid, level uric acid kembali normal (2,1 8,5 mg/dl) pada 10 hari. Isoniazid menyebabkan reaksi seperti konstipasi (17,3%) dan peripheral neurophaty (6,2%), kemudian Rifampicin adalah penyebab mayor sakit kepala (8,7%), rash dan pruritus (4,9%) dan diare (3,7%). Tabel 2. Tipe Reaksi ADRs yang Diinduksi Anti-TB Reaksi Hepatitis Constipation Increased Transaminases Hyperglycemia 7 8.7 Frekuensi 21 14 Liver 9 % 25.9 17.3 11.2

Headache Peripheral Neuropathy Dysuria Rash Diarrhea Increased Uric Acid Vision abnormality Prolonged PT Total

7 5

8.7 6.2

4 4 3 3 2 2 81

4.9 4.9 3.7 3.7 2.4 2.4 100.0

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Rifampisin Rifampisin merupakan salah satu jenis antibiotik yang sering digunakan untuk

mengobati mikroba jenis tertentu. Obat ini paling sering digunakan untuk mengobati penyakit tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. dan bekerja dengan cara

Rifampisin memiliki rumus kimia C43H58N4O12

menargetkan dan menonaktifkan enzim bakteri yang disebut RNA polimerase. Bakteri menggunakan RNA polimerase-untuk membuat protein penting dan untuk menyalin informasi genetik mereka sendiri (DNA). Tanpa enzim ini bakteri tidak dapat berkembang biak dan pada akhirnya mereka akan mati.

Gambar 1. Struktur kimia Rifampicin Ada dua tahap dalam pengobatan untuk TB, dimana rifampicin dapat bekerja dalam kedua tahap ini. Dalam dua bulan pertama pengobatan TB bertujuan untuk membunuh bakteri sebanyak mungkin. Oleh karena itu beberapa obat anti-TB dengan mekanisme yang berbeda digunakan pada waktu yang sama (biasanya rifampisin, pirazinamid, dan etambutol isoniazid). Setelah dua bulan beberapa obat-obatan dihentikan penggunaannya dan sisanya (rifampisin dan isoniazid) dilanjutkan selama empat bulan lagi untuk membunuh bakteri yang tersisa. Bakteri yang menyebabkan TB sulit untuk diatasi, jadi dengan menggunakan beberapa obat pada saat yang sama, bakteri dapat ditargetkan dengan cara yang

berbeda dan karenanya pengobatan mungkin lebih efektif daripada menggunakan monoterapi. Selain itu, menggunakan obat-obatan yang berbeda bersama-sama membuat kecil kemungkinan bahwa bakteri akan mengembangkan resistensi terhadap pengobatan. Rifampisin juga dapat digunakan untuk mengobati infeksi seperti

brucellosis, leporosy, penyakit Legionnaire dan infeksi stafilokokus serius. Seperti untuk TB, ketika merawat infeksi ini, rifampisin harus digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain untuk mencegah terjadinya resistensi. Rifampisin juga

digunakan untuk mencegah beberapa jenis meningitis pada orang yang telah terkena infeksi. Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan jarang menyebabkan efek samping terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah Hepatitis. Riwayat penyakit hati atau pemakaian obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersama akan meningkatkan risiko terjadinya hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan, bila hepatitisnya sudah hilang/sembuh pemberian rifampisin dapat diulang lagi. 2.2 Adverse Drug Reaction (ADR) pada Rifampisin Adverse drug reaction merupakan suatu keadaan/kondisi yang tidak sesuai harapan yang muncul setelah pemberian obat dalam dosis yang sesuai, cara yang sesuai dengan tujuan pengobatan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh sistem imun maupun diluar dari sistem imun. Adverse drug reaction yang disebabkan oleh sistem imun dikelompokkan menjadi 4 berdasarkan Gell dan Coombs, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi cepat), tipe 2 (sitotoksik), tipe 3 (kompleks imun) dan tipe 4 (lambat). Alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE, sehingga alergi obat sejati merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1. Sedangkan reaksi yang disebabkan tidak oleh sistem imun kita dibagi menjadi 2, yaitu reaksi yang dapat diperkirakan dan idiosinkrasi. Reaksi yang dapat diperkirakan meliputi efek samping, efek lanjutan, toksisitas obat, interaksi obat dan

overdosis.

Reaksi

idiosinkrasi

meliputi

intoleransi

obat,

idiosinkrasi

dan

pseudoalergi. Berikut adalah efek dari adverse drug reaction yang diakibatkan paparan Rifampicin : a. Diskolorasi cairan tubuh Warna kemerahan dan oranye pada cairan tubuh termasuk urin, airmata dan saliva. Frekuensinya umum, monitoring warna urin digunakan untuk menilai absorpsi obat dan kepatuhan pasien. Pasien disarankan untuk menunggu diskolorasi dan disarankan lensa kontak dapat berwarna b. Gastrointestinal Penampakan klinis yang muncul biasanya nausea, muntah, heartburn, kram perut,kehilangan selera makan dan kadang diare. Merupakan efek umum dari rifampicin. c. Reaksi Flushing Penampakan klinis berupa flushing dan gatal pada kulit dengan/tanpa ruam. Biasanya mengenai muka dan mata berair. Jarang pada anak anak, lebih dari 5% menderita reaksi ini, terjadi selama 2 3 jam dan self limited. d. Hepatotoksisitas Penampakan klinis berupa nausea, muntah, abdominal tenderness, rasa tidak nyaman pada iga perut bagian atas, jaundice. Tanda tandanya pembesaran hepar dan peningkatan LFT. Lebih dari 1%. 4% pasien mengalami hepatitis setelah menerima rifampicin dan isoniazid. Jarang pada anak. Asimptomatik meningkatan pada serum transaminase terjadi. Bilirubin meningkat di awal terapi karena kompetesi ekskreasi dengan rifampicin dan akan normal selanjutnya. Anak yang dicurigai mengalami hepatotoksisitas harus dirujuk ke laboratorium TBC untuk dievaluasi. e. Reaksi hipersensitivitas pada kulit Penampakan klinis berupa gatal gatal dan dapat terjadi demam. Umumnya jarang terjadi dan biasanya berat.

f. Sindrom Influenza Gejala biasanya demam, sakit kepala, cepat lelah dan nyeri tulang. Lebih sering terjadi pada dosis tinggi (>1200 mg) dan dosis sedang. Terjadi pada 10% pasien yang menerima dosis 600 mg 2 kali per minggu. Dapat juga terjadi pada terapi normal apabila salah pemberian. Biasanya muncul setelah 3 - bulan pada terapi intermiten dan 1 2 jam setelah pemberian. Reaksi hilang biasanya setelah 12 jam. g. Reaksi hipersensitivitas pada kelainan hematologi Penampakan klinis biasanya purpura trombositopenia, yaitu penurunan jumlah trombosit, lebam yang banyak, perdarahan melalui hidung dan perdarahan abnormal lainnya. Selain itu terjadi anemia hemolitik akut. Kejadiannya jarang, meningkat pada dosis tinggi dan intermiten. Dapat terjadi pada dosis sehari hari saat salah pemberian. Jumlah trombosit menurun 3 jam setelah pemberian rifampicin, kembali ke normal 36 jam setelah rifampicin dihentikan. Hemolisis terlihat 2 3 jam setelah pemberian dan hilang setelah pemberian rifampicin dihentikan.

Manajemen reaksi ini adalah penghentian pengobatan. Apabila terjadi purpura trombositopenia dan anemia hemolitik merupakan kontraindikasi terapi dilanjutkan. h. Reaksi hipersensitivitas pada gagal ginjal akut Penampakan klinis adalah terjadinya LBP yang tiba tiba, demam dan penurunan produksi urin. Kejadiannya jarang, sering diakibatkan melalui imun. Terjadi pada terapi intermiten atau salah pemberian. Manajemen reaksi ini adalah penghentian pengobatan dan kontraindikasi dilanjutkan terapi. 2.3 Rapid Desensitisasi Desensitisasi adalah suatu bentuk terapi dimana alergen-alergen diinjeksikan pada pasien dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Ini juga disebut imunoterapi alergen, hiposensitisasi atau terapi injeksi alergi. Desensitisasi dari penyakit alergi terdiri atas pemberian paparan alergen secara parenteral sebagai

usaha untuk menurunkan tingkat toleransi relatif dari pasien yang sudah berpengalaman dengan IgE sebagai media reaksi dari alergen ini.3 Desensitisasi adalah terapi tambahan selain menghindari alergen dan terapi obat-obatan simptomatik, bukan suatu terapi utama atau terapi pengganti terhadap terapi menghindari alergen, meskipun demikian desensitisasi biasanya efektif pada keadaan-keadaan dimana menghindari alergen tidak dimungkinkan. 3 Pada rapid desensitisasi, jumlah alergen yang diberikan ditingkatkan dengan waktu yang singkat selama beberapa menit atau jam sampai dosis maksimum yang diketahui atau sampai dosis toleransi maksimum tercapai. Setelah dosis maintenance ini tercapai, interval antar suntikan ditingkatkan secara bertahap dari menit ke jam dan dilanjutkan beberapa jam atau hari. Desensitisasi lebih banyak digunakan pada penyakit-penyakit yang diperantarai IgE-antibodi, tetapi ini juga telah digunakan pada alergi bentuk lain.3 2.3.1 Patofisiologi desensitisasi Para ahli imunologi menemukan beberapa metode untuk membatasi terjadinya reaksi alergi pada seseorang. Terapi tersebut bertujuan untuk menurunkan terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe intermediet dengan cara menurunkan jumlah IgE yang berlebihan. Salah satu metode pendekatan yang dilakukan adalah desensitisasi. Hasil dari terapi ini adalah penurunan kadar IgE spesifik dan peningkatan IgG. Hal ini terjadi kemungkinan karena adanya penghambatan produksi dari IgE oleh antigen yang bersifat menetralkan dan oleh umpan balik dari antibodi. Selain itu juga dimungkinkan bahwa desensitisasi bekerja dengan merangsang sel T spesifik atau dengan mengubah fenotip predominan dari antigen sel T spesifik dari TH2 menjadi TH1, namun hanya sedikit data yang mendukung. Efek yang menguntungkan dari desensitisasi dapat terjadi dalam beberapa jam, lebih awal dari terjadinya perubahan IgE. Walaupun mekanismenya belum diketahui dengan pasti, pendekatan ini telah berhasil digunakan dalam pencegahan reaksi anafilaktik akut terhadap antigen seperti racun serangga ataupun obat tertentu seperti penicillin.

Desensitisasi diberikan setelah dilakukan identifikasi antigen eksogen yang diperoleh dari riwayat alergi yang pernah dialami oleh penderita dan tes alergi pada kulit. Riwayat klinis yang positif atau skin test yang positif saja bukanlah indikasi melakukan desensitisasi. Identifikasi antigen harus cermat sehingga desensitisasi yang diberikan pada pasien dapat memberikan hasil yang optimal. Mekanisme desensitisasi: 1. Blocking antibodi Antibodi IgG terutama IgG4 diduga akan menangkap allergen sebelum antigen diikat oleh IgE pada permukaan basofil atau sel mast yang merupakan sel efektor, sehingga tidak terjadi aktivasi dan degranulasi sel sel tersebut. Beberapa studi menunjukkan bahwa IgG4 berhubungan dengan perbaikan klinis. Desensitisasi spesifik yang diberikan dalam jangka waktu lama menimbulkan pergeseran sintesis IgG1 ke IgG4. Desensitisasi spesifik dengan protokol yang cepat sekali dapat menimbulkan toleransi klinis yang cepat, meskipun sintesis antibodi blocking belum terbentuk dalam waktu beberapa jam sehingga induksi blocking antibody yang merupakan proteksi pada desensitisasi spesifik masih merupakan hal yang kontroversial. 2. Penurunan IgE IgE spesifik dalam serum dan pada sel efektor di jaringan pasien alergi merupakan ciri penyakit atopi. Pada pasien yang sensitif terhadap tepung sari misalnya, desensitisasi spesifik mencegah peningkatan IgE spesifik dalam serum selama musim tepung sari. Tetapi kadar IgE tidak dapat diterangkan dengan menurunnya allergen spesifik akibat desensitisasi spesifik, oleh karena penurunan IgE terjadi lambat, relatif kecil dan tidak berhubungan dengan perbaikan klinis yang diperoleh desensitisasi spesifik.

10

3. Pergeseran IgG dengan perantara TH1 Pada dasarnya penyakit alergi adalah penyakit imunologis yang berhubungan dengan aktivasi sitotoksin Th2 terutama IL 4 dan IL 5 dan atau IL 13. Desensitisasi spesifik diaplikasikan untuk menghindari respon imun IgE dengan perantara sel Th2 melalui induksi respon IgG dengan memicu pergeseran ke respon Th1 yang dilakukan dengan memberikan suntikan suntikan allergen dimulai dengan dosis rendah yang semakin ditingkatkan. 4. Produksi IL-10 dan anergi sel T Studi desensitisasi spesifik telah pula menemukan hubungan antara desensitisasi spesifik dengan penurunan produksi IL 4 dan IL 5 dengan CD4+ dan dalam beberapa kasus disertai dengan pergeseran ke peningkatan produksi IFN . Diduga adanya anergi sel T perifer dan reaktivasi respon sel T terjadi atas pengaruh mileu sitokin jaringan yang menentukan apakah desensitisasi spesifik berhasil atau tidak. Oleh karena itu untuk keberhasilan disensitisasi spesifik harus digunakan varian allergen yang dapat dikenal oleh reseptornya yang utuh pada sel T, sedang ikatan yang menggunakan jalur IgE dihilangkan. Epitop sel T yang utuh dibutuhkan untuk menginduksi toleransi sel T spesifik atau anergi terhadap antigen. Anergi sel T terjadi karena pengaruh IL 10 yang diproduksi sel T spesifik. 5. Perbedaan dalam presentasi antigen Presentasi protein alamiah menggunakan jalur IgE yang memacu produksi sitokin sel Th2. Kadar tinggi IL 4 dan IL 13 diproduksi melalui jalur klasik yang memacu lebih banyak IgE, sedang produksi IL 10 menimbulkan aktivasi dan memperpanjang hidup eosinofil. Mekanisme uptake yang menggunakan jalur dengan mekanisme antigen pinositik yang menginduksi sitokin Th0 / Th1 akan menurunkan produksi IgE dan meningkatkan IgG oleh sel B

11

memori. Dengan memotong jalur IgE dan menjadikan sel T sebagai allergen yang dimodifikasi, maka dosis tinggi untuk menginduksi toleransi sel Th2 tanpa risiko anafilaksis akan dapat diberikan.

2.3.2

Protokol Rapid Desensitisasi pada Rifampicin Desensitisasi obat tidak boleh dilakukan pada reaksi kulit berat dan yang berpengaruh terhadap mulut dan membran mukosa (misalnya dermatitis eksfoliatif dan Sindrom Steven-Johnson). Berikut adalah protokol pemberian rapid desensitisasi pada rifampicin : 1. Dibawah pengawasan terhadap reaksi berat 2. Dosis digambarkan pada tabel 3. Jika terjadi reaksi saat desensitisasi, turunkan dosis ke dosis tertinggi sebelumnya yang tidak menuebabkan reaksi dan tingkatkan dosis lebih sedikit dari yang seharusnya 4. Setelah menyelesaikan protokol, lanjutkan pemberian dosis dari rifampicin selama 3 hari, kemudian berikan dosis total sehari hari satu kali setiap hari setelahnya.

Tabel 1. Dosis Rapid Desensitisasi Rifampicin

2.3.3

Alergen pada Desensitisasi Rifampicin

12

Bahan yang digunakan dalam desensitisasi berupa ekstrak alergen. Ekstrak yang digunakan pada desensitisasi sama dengan yang digunakan pada tes alergi. Ekstrak yang paling sering digunakan untuk desensitisasi adalah jenis rumput-rumputan, serbuk sari, Alternaria, Cladosporium, dan debu rumah.1, 2 Kebanyakan ekstrak diberi nama sesuai kandungan protein di dalamnya (Protein Nitrogen Units, PNU) atau berdasarkan perbandingan berat dan volume yang diinginkan, misalnya ekstrak rerumputan 1:10, dibuat dengan mengekstrak 1 gram rerumputan dalam 10 ml pelarut. Bagaimanapun juga, baik berdasarkan PNU atau perbandingan berat dan volume yang diinginkan, keduanya berhubungan dengan potensi biologis dari ekstrak itu sendiri. Metode standarisasi ekstrak yang ideal ialah dengan mengukur dalam satuan unit massa kandungan dari tiap fraksi alergenik individual di dalamnya. Untuk saat ini, metode standarisasi alergen yang secara luas digunakan adalah Radio Allergosorbent Test (RAST). Radioimmunoassay fase solid ini menggunakan sera yang

mengandung IgE dari pasien yang sensitif untuk meningkatkan kandungan alergen dari ekstrak yang bervariasi. Kebanyakan ekstrak alergen dibuat dengan menggunakan buffer aquos dan agen bakteriostatik seperti 0,4 % phenol ( aqueous extracts). Bentuk ekstrak yang lain barangkali menggunakan 50 % gliserin dengan atau tanpa phenol (glycerinated extracts). Ekstrak jenis ini lebih stabil daripada aqueous extracts. Tetapi ekstrak yang mengandung 50 % gliserin menyebabkan rasa sakit saat disuntikkan. 1 Berikut adalah persiapan dosis untuk protokol desensitisasi : 1. Campurkan 4 kapsul rifampin 300mg dengan cherry syrup 120 ml (suspense 10mg/ml) 2. Masukkan jumlah spesifik obat setiap periode melalui suntikan oral a. kocok sebelum menarik suspensi ke dalam suntikan

13

b. Misalnya 0.1mg rifampin = 0.01 ml suspense rifampicin c. Suntikan tubercillin dapat digunakan untuk memasukkan dosis kecil 3. Mulai menggunakan kapsul rifampicin dengan dosis 150 mg. 2.3.4 Metode Desensitisasi Ada 3 metode desensitisasi yang telah dikenal luas, yaitu : Perennial Immunotherapy, Pre-seasonal Immunotherapy, dan Rus Clustered Immunotherapy. Metode yang paling sering digunakan untuk desensitisasi adalah Perennial Immunotherapy dimana injeksi diberikan selama setahun penuh sampai dosis pemeliharaan tercapai.1, 3 Pada metode perennial, penderita mendapatkan injeksi yang berisi campuran dari allergen-alergen yang muncul sepanjang tahun. Injeksi diberikan selama setahun penuh sampai dosis pemeliharaan tercapai. Pemberian terapi ini dimulai dari dosis yang rendah untuk menghindari terjadinya reaksi lokal ataupun sistemik dengan frekuensi pemberian biasanya satu sampai dua kali dalam satu minggu. Peningkatan dosis diberikan sampai dengan dosis yang tertinggi dimana pasien masih toleran tanpa terjadinya reaksi lokal ataupun sistemik yang berlebihan. Dosis ini merupakan dosis pemeliharaan yang selanjutkan diberikan dengan interval yang lebih jarang, biasanya setiap 1-6 minggu tergantung respon pasien. Jika terapi dimulai selama musim serbuk sari, maka dosis awalan yang diberikan harus lebih rendah untuk menghindari terjadinya reaksi. 2, 3 Pada metode preseasonal, frekuensi injeksi yang berisi allergen dimulai sekitar 3-6 bulan sebelum musim serbuk sari diperkirakan tiba, dan terapi dihentikan tepat sebelum musim dimulai. Prosedur yang sama diulang setiap tahunnya. Cara ini tidak praktis untuk pasien yang alergi dengan allergen pada musim yang berbeda. Karena kebanyakan pasien dengan rhinitis alergi memiliki alergi terhadap serbuk sari yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam setahun

14

tidak seperti pada alergi debu atau jamur. Pasien dengan penyakitpenyakit atopik memerlukan dosis yang lebih besar pada pemberian desensitisasi sehingga diperlukan bahan tambahan yang bersifat imunologik untuk menurunkan jumlah pemberian injeksi yaitu satu kali untuk setiap musimnya. 3 Metode ketiga adalah Rus clustered dimana injeksi alergen diberikan setiap 20-30 menit pada tiap sesi terapi. Metode ini sukses diterapkan pada desensitisasi venom Hymenoptera, dimana

kebanyakan pasien dapat mencapai dosis pemeliharaan setelah 6 minggu setelah terapi dimulai. 1 2.3.5 Teknik Desensitisasi Keberhasilan desensitisasi menggunakan ekstrak yang masih konvensional membutuhkan tehnik yang benar. Desensitisasi dapat diberikan secara injeksi subkutan, oral, sublingual, inhalasi, dan rute nasal lokal, tetapi hanya injeksi subkutan yang menunjukkan hasil efektif untuk menghadapi penyakit karena antibody Ig E. 2, 3 Detail dari teknik yang tepat untuk memberikan terapi injeksi alergen pada pasien dengan penyakit atopik atau anafilaktik sangat penting untuk kesuksesan dan keamanan dari pengobatan. Injeksi dilakukan secara subkutan dengan menggunakan spuit tuberculin untuk pengukuran dosis yang akurat dengan ukuran jarum 26 atau 27. Tempat penyuntikan adalah daerah lateral atau dorsal dari lengan atas, pertengahan antara bahu dan siku. Alergen yang berlebihan pada jarum haruslah dibuang dan injeksi diberikan secara perlahan. Walaupun kemungkinan mengenai intravaskular kecil, namun sebelum diinjeksikan sebaiknya dilakukan aspirasi dahulu, apabila terdapat darah yang terhisap maka jarum harus ditarik keluar dan dipilih lokasi injeksi yang lain. Setelah menerima injeksi, penderita harus menunggu selama kurang lebih 20-30 menit, untuk mengantisipasi reaksi yang muncul. Sebagian besar dari reaksi sistemik muncul dalam periode ini,

15

sehingga harus tersedia fasilitas untuk mengatasi reaksi sistemik tersebut. Pada pasien yang mengalami reaksi sistemik, dosis pemberian selanjutnya haruslah diturunkan. Pembengkakan lokal pada kulit yang berdiameter 3-4 cm dan berlangsung kurang dari 24 jam dengan disertai eritem dan gatal merupakan tanda dari tercapainya dosis pemeliharaan yang diharapkan. Reaksi lokal yang lebih besar ukurannya mengindikasikan perlunya penurunan dosis pemberian. 1, 2 Selama pemberian dosis dan jenis alergen yang berbeda, injeksi sebaiknya dilakukan pada lokasi yang berbeda dari

sebelumnya. Jika seandainya terjadi reaksi sistemik, maka dari lokasi yang berbeda tersebut dapat diketahui antigen mana yng diberikan dalam jumlah yang berlebih, hal ini dikarenakan reaksi lokal pada tempat tersebut biasanya paling luas. Setelah mencapai kondisi yang mantap dimana dosis pemeliharaan dipertahankan, risiko terjadi reaksi sistemik biasanya kecil. Pada saat tersebut, beberapa jenis alergen yang berbeda dapat dikombinasikan dalam satu injeksi. 1 Pengobatan harus dihentikan pada hari ketika penderita mengalami asma akut, atau demam. Jika selama masa penentuan dosis ternyata waktu diantara 2 kali injeksi melebihi 10 hari, maka dosis awal harus diulang. Namun jika lebih dari 30 hari, atau penderita mengalami reaksi sistemik, maka dosis dikurangi 50 %. Dianjurkan juga untuk mengurangi dosis selama beberapa kali pemberian disaat banyak alergen ekstrak baru dimasukkan. 1,2 Penatalaksanaan desensitisasi melalui insuflasi alergen

intranasal telah dicoba oleh beberapa ahli selama bertahun-tahun. Dasar dari prosedur ini adalah meningkatnya produksi dari sekresi antibodi terhadap alergen. Pemberian dosis di atas ambang nilai memberikan hasil gejala tipikal rinitis alergi, yang mana membatasi efektivitas dari pendekatan ini. Desensitisasi intranasal di masa depan dengan menggunakan alergen yang telah dimodifikasi barangkali akan

16

terbukti lebih efektif. Pemberian ekstrak alergen secara oral maupun sublingual, yang dianggap sebagai terapi alergi makanan, secara ilmiah tidak terbukti dan seharusnya tidak digunakan lagi. 1 2.3.6 Durasi Desensitisasi Jangka waktu pemberian desensitisasi pada masing-masing pasien berbeda. Pasien yang telah menerima injeksi desensitisasi dalam beberapa tahun melaporkan bahwa gejala alerginya berkurang setiap tahunnya. Setelah 2 tahun gejala alergi yang timbul sangat berkurang ataupun menghilang merupakan saat untuk menghentikan terapi, walaupun pasien menginginkan pemberian dosis pemeliharaan yang lebih lama . 3 Kemajuan dari masing-masing penderita harus dievaluasi minimal tiap tahun, atau lebih sering apabila ternyata penderita menunjukkan gejala klinik yang menetap atau menemukan kesulitan dalam penginjeksian. Bertahannya keberhasilan desensitisasi setelah penderita tidak lagi mendapatkan injeksi sangatlah bervariasi. Setelah desensitisasi dinyatakan selesai, akan lebih baik lagi jika masih dipertahankan selama paling tidak 1 tahun. Karena sensitivitas lama dapat hilang dan sensitivitas baru dapat terbentuk, maka setahun penuh tanpa desensitisasi dapat menolong penderita maupun dokter yang menangani menentukan apakah ada pola alergi musiman yang terganggu. 1,2 2.3.7 Indikasi

a. Atopi Desensitisasi telah digunakan selama hampir 80 tahun sebagai terapi rinitis alergi dan saat ini manfaatnya telah diakui secara luas. Desensitisasi ini diindikasikan pada pasien alergi terhadap allergen inhalan (serbuk sari, debu, jamur) serta terhadap pasien yang selama periode serangan gejala yang timbul menjadi lebih berat, lebih panjang serta tidak dapat dikendalikan dengan obat-obatan antihistamin

17

ataupun obat simptomatik lainnya. Selain menghindari allergen, desensitisasi allergen debu rumah dan tungau juga telah digunakan secara bersamaan oleh karena saat ini menghindari allergen saja keefektifannya jarang terjadi secara sempurna. Pada alergi hewan, para ahli saat ini terbagi dalam 2 pendapat apakah desensitisasi ekstrak bulu hewan dilakukan sebagai terapi terhadap alergi hewan peliharaan rumah saja ataukah sebagai terapi terhadap alergi yang berhubungan dengan semua hewan, diduga reaksi sistemik yang berlebihan serta efek imunisasi yang memanjang pada alergi hewan dikaitkan dengan protein hewan tersebut, tapi hal ini masih diteliti lebih lanjut. Indikasi desensitisasi pada asma alergi prinsipnya sama dengan rhinitis alergi. Desensitisasi tidak diindikasikan pada dermatitis alergi atau gastroenteropati alergi, namun pasien dermatitis alergi dapat diterapi dengan desensitisasi yang sama seperti pada rhinitis alergi ataupun asma alergi jika diindikasikan tetapi dosis awalnya lebih rendah dan peningkatan dosisnya harusnya dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama oleh karena dapat berisiko menjadi dermatitis yang lebih berat (eritroderma) pada saat diinjeksikan. Desensitisasi tidak diindikasikan pada kasus alergi makanan. b. Anafilaksis Desensitisasi diindikasikan pada pasien dengan riwayat anafilaksis sistemik oleh karena sengatan Hymenoptera dimana uji kulitnya positif terhadap satu atau lebih jenis racun Hymenoptera. Banyak penulis yang mengeluarkan dari daftar terapi terhadap pasien-pasien yang reaksinya terhadap racun tersebut hanya berupa urtikaria minimal ataupun hasil uji kulitnya minimal, oleh karena pasien-pasien tersebut umumnya tidak berisiko ke arah anafilaksis sistemik terhadap sengatan berikutnya.

18

Tidak ada indikasi desensitisasi terhadap oedema local akibat sengatan serangga, selama respon tersebut diprediksi tidak menimbulkan anafilaksis, meskipun oedema yang ditimbulkan cukup luas. Pada kasus ini, semua jenis allergen (racun) yang memberikan hasil positif pada uji kulit harus diinjeksikan. Sementara itu, desensitisasi terhadap anafilaksis oleh karena reaksi obat telah berhasil dilakukan pada beberapa kasus alergi penisilin dan insulin. c. Urtikaria Desensitisasi belum diketahui keefektifan terapinya pada urtikaria sehingga tidak diindikasikan pada keadaan ini. d. Alergi Imun-Kompleks Desensitisasi tidak diperlukan untuk terapi terhadap reaksi Arthus cutaneus atau penyakit-penyakit serum, oleh karena kasus-kasus ini merupakan self limited reactions yang reaksinya akan berkurang jika allergen dihilangkan. e. Dermatitis Kontak Alergen Desensitisasi oral dan subkutan dengan menggunakan ekstrak minyak Rhus telah digunakan selama bertahun-tahun tapi tidak ada bukti-bukti kuat tentang keefektivitasannya untuk mencegah dermatitis alergi Rhus (racun semak ataupun pohon), sehingga tidak diindikasikan pada kasus ini. f. Pneumonitis hipersensitivitas Desensitisasi tidak diindikasikan pada kasus ini. 2.3.8 Efek Desensitisasi yang merugikan Efek merugikan yang mungkin timbul dari desensitisasi muncul pada jangka waktu menengah dan jangka panjang. Efek jangka menengah yang berbahaya adalah reaksi anafilaksis sistemik.2, 6 Risiko terbesar selama minggu atau bulan pengobatan saat dosis ditingkatkan sebelum mencapai dosis pemeliharaan akibat dari penghambatan antibodi tercapai, dan sekali lagi ketika dosis pada atau dekat dengan

19

tingkat pemeliharaan. Reaksi sistemik tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi setelah beberapa tahun dari pemberian injeksi. Hal ini lebih sering terjadi selama musim serbuk sari dan musim alergi daripada akhir musim. Demam dan latihan fisik meningkatkan aliran darah, menyebabkan absorpsi yang lebih cepat terhadap penyuntikan alergen dan selanjutnya meningkatkan risiko dari reaksi. 2 Prevalensi dari reaksi sistemik tidak diketahui. Penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa ratarata satu sampai lima kematian terjadi setiap tahun di USA karena pengobatan injeksi untuk alergi atau dari tes alergi, beberapa karena kesalahan dalam pemberian dosis. Sekitar setengahnya terjadi pada pasien dengan asma yang aktif. 2 Efek jangka menengah yang tidak menguntungkan lainnya adalah reaksi vasovagal, infeksi, atau perlukaan dari jarum suntik pada jaringan yang salah.2 Efek sakit yang lama muncul dari desensitisasi. Dengan menggunakan ekstrak alergen cair, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa injeksi ulang menyebabkan sensitisasi alergi de novo terhadap komponen yang mana pasien tidak sensitif sebelumnya. Tidak ada instansi yang menjamin bahwa desensitisasi alergen menghasilkan penyakit sistemik immunokompleks atau produk sisa yang lain.2

20

BAB III SIMPULAN

TBC atau TB (tubercle bacillus) sangat sering terjadi dan penyakit infeksi letal yang disebabkan oleh berbagai rantai virus mycobacteria, khususnya Mycobacterium Tuberculosis. Simptom klasik pada TB adalah batuk kronis dengan sputum bercampur darah, demam, berkeringat malam, dan kehilangan berat (consumption). Terapi untuk penyakit ini sulit dan membutuhkan waktu lama dengan multipel antibiotik, tidak hanya itu perawatan dan skrening pada kontak sosial juga dibutuhkan. Salah satu terapi yang digunakan adalah terapi antibiotik dengan menggunakan rifampicin. Namun, dalam terapi tuberkulosis ditemukan adanya adverse drug reaction yang juga memiliki manifestasi klinis yang buruk pada pasien. Adanya adverse drug reaction merupakan kejadian yang bervariasi pada setiap individu dikarenakan perbedaan imunologis individu dalam merespon suatu allergen yang dalam konteks ini adalah obat obatan. Untuk mengatasi adverse drug reaction pada terapi, dilakukan rapid desensitisasi. Desensitisasi merupakan suatu bentuk terapi dimana alergen-alergen diinjeksikan pada pasien dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Pada rapid desensitisasi, jumlah alergen yang diberikan ditingkatkan dengan waktu yang singkat selama beberapa menit atau jam sampai dosis maksimum yang diketahui atau sampai dosis toleransi maksimum tercapai. Setelah dosis maintenance ini tercapai, interval antar suntikan ditingkatkan secara bertahap dari menit ke jam dan dilanjutkan beberapa jam atau hari. Desensitisasi lebih banyak digunakan pada penyakit-penyakit yang diperantarai IgE-antibodi. Desensitisasi pada masing masing obat memiliki protokol dan variasi tersendiri. Untuk itu dalam pemberian rapid desensitisasi harus memperhatikan protokol yang ada dan memperhatikan indikasi dan efek samping dari desensitisasi tersebut.

21

You might also like