You are on page 1of 4

MANAGEMEN SAMPAH BERDAYA KOMERSIAL

Hingga detik ini urusan sampah di Indonesia belum menggembirakan. Rasanya sudah cukup banyak melihat dan belajar dari pengalaman bangsa lain, terlebih dari pengalaman sendiri --banjir, got mampet gara-gara sampah, pasir pantai bertebar sampah, belum lagi bau, kotor. Gunung sampah semakin menjulang di TPA. Mencoba inovasi baru pengelolan sampah terjangkau menjadi penting! Teks: Rahmayanti Helmi Yanuariadi (Kontributor Sindo di Tokyo). Melihat kota-kota di Jepang yang bersih, bukan tanpa usaha. Satu contoh dalam kehidupan sehari-hari, di taman kota yang luas, sering tidak disediakan tempat pembuangan sampah umum untuk keindahan; kalaupun ada itu berupa tempat sampah ukuran biasa saja. Masyarakat Jepang yang gemar menghabiskan waktu di taman kota di hari libur untuk bermain, piknik membawa makanan, atau berbabeque, diminta atau tidak diminta selalu wajib membawa sampahnya masing-masing pulang; tidak mengotori atau memenuhi bak sampah yang kecil itu, sampai berserakan, misalnya. Itu dari sisi individu. Bisa begini karena bangsa ini belajar dari pengalaman berabad. Dari sistem pengolahan sampah, mereka memiliki managemen pengelolaan sampah yang canggih: pemilahan jenis sampah, dan sistem mendaur ulang. Buat kita, satu persatu individu sangat bisa memutuskan untuk mengelola sampah dengan baik, tapi sayangnya itu hanya sebatas dinding rumah; tetap saja hasil akhirnya masih jauh dari sempurna, karena menjadi berantakan setelah membaur dengan masyarakat yang kesadaran dan pengetahuan soal sampah sangat terserah gue (baca: beragam). Tapi apakah ini karena mayoritas bangsa kita masih memikirkan bagaimana supaya tidak lapar? Apapun itu, tidak ada salahnya coba atasi, kita bisa lakukan kalau mau! Mau tak mau, tata jiwa dan tata infrastrukturnya. Bagaimana menangani karakter sampah di Indonesia yang sudah telanjur campur --tidak dipisah-pisah dalam pengelolannya? Inilah alasan kenapa sejumlah mahasiswa Indonesia memilih studi pengolahan sampah di Jepang, berharap pengelolaan sampah di tanah air bisa lebih baik. Bayu Indrawan, mahasiswa kandidat doktor dari Department of Environmental Science and Technology-Tokyo Institute of Technology-Jepang adalah salah seorangnya. Kegelisahan mengarahkannya kepada pencarian teknologi alternatif yang sesuai kondisi sampah di Indonesia.Yaitu mengolah sampah yang awalnya tercampur menjadi produk bermanfaat yang homogen. Beruntung di Tokyo Institut of Technology, universitas riset terkemuka di Jepang tempat ia menjalani program doktoralnya, memperkenalkan teknologi hydrothermal bernama RRS (Resource Recycling System). Cocok dengan karakter sampah campur Indonesia yang tak perlu pemisahan (80% bahan organik dan campuran plastik), RRS menggunakan gas bertekanan dan uap suhu tinggi (30 atm, 200C). Cara ini lebih ramah lingkungan, relatif murah, teknologi lebih sederhana, sehingga komponen kandungan lokal bisa mendekati 90%. Uang tidak perlu dibelanjakan ke negara lain, jelasnya. Teknologi alternatif ini sudah diterapkan secara komersial di Jepang, antara lain di Hokkaido, Nagoya, dan Ichinomiya. Sampah campur perkotaan (Municipal Solid Waste/MSW) dan sampah pertanian dimasukkan ke reaktor, disusul memasukkan uap bertekanan tinggi dari boiler. Dengan blender (alat pelebur), sampah di dalam reaktor terurai dalam waktu 30-60 menit. Hasil sementara berupa lumpur. Pengeringan lumpur, kering sendiri jika dibiarkan dua hari, atau disemprot dengan uap panas dan hasilnya akan langsung kering --berupa bubuk menyerupai bubuk batubara. Karena hanya menggunakan uap bertekanan tinggi, maka tidak menghasilkan zat kimia berbahaya. Bau juga hilang, dan bakteri mati karena suhu tinggi. Hasil akhirnya bisa menjadi bahan penyubur tanah, bahan bakar padat (menyerupai batu bara), bagus untuk bahan bakar oven di industri crude palm oil, pabrik keramik, boiler (pemanasan untuk tenaga listrk), pabrik semen; dalam skala kecil bisa dijadikan briket seperti arang untuk memasak. Riset Bayu menegaskan 20% dari hasil produk ini bila dicampur dengan 80% batubara yang digunakan pada pembakaran akan tidak mengubah karakteristik pembakaran di power plant boiler (boiler pembangkit listrik), pembakaran di pabrik semen, pabrik kertas, atau pabrik baja. Nilai kalorinya sebanding dengan nilai kalori batu bara; kalorinya (kemampuan untuk membangkitkan panas) hampir sama dengan batu bara (50006000 kilo kalori atau kcal/kg). Produk akhir sampah ini mengandung sekira 5000-an kcal/kg tergantung karakterikstik sampah; misalnya sampah organik, sampah plastik jika dikeringkan bisa mengandung kalori tinggi. Uji kelayakan untuk hasil pengolahan yang mengandung air, gas, padatan tersebut sudah memenuhi standar aman, kata Bayu.

Untuk kapasitas pengolahan sampah yang sama, dibandingkan dengan sistem incinerator misalnya, investasi awal RRS 60% lebih murah dari cara incinerator (baca juga: Pengelolaan Sampah selama ini); biaya operasional dan pemeliharaan instalasi 55% lebih rendah, dan pula menghasilkan produk bermanfaat, antara lain sebagai alternatif bahan bakar pengganti batu bara. Batubara adalah non renewable energy yang lama-kelamaan habis, dan tidak ramah lingkungan. Hasil olahan sampah ini bisa mengurangi penggunaaan batubara. Dan produk ini relatif lebih bersih dibanding batubara, mengurangi dampak lingkungan yang dikeluarkan akibat pembakaran produk. Membutuhkan lahan sedikit, 200 ton/hari sampah cukup ditampung di lahan setengah hektar (0,5 ha), hasil produk tadi memiliki kepadatan tinggi. Dari tumpukan sampah yang banyak menjadi tumpukan kecil lagi bermanfaat. Efisiensi teknologi pengolahan sampah ini tinggi, hanya membutuhkan energi di bawah 20% dari keluaran yang dihasilkan untuk menjalankan sistem pengolahan sampah. Jadi bisa memenuhi diri sendiri (self sustainable system) atau tidak perlu energi tambahan dari luar untuk menjalankannya. Contoh skala kecil di satu komplek perumahan; misal, satu orang membuang sampah 0,8-1kg/hari , satu perumahan 50 KK (Kepala Keluarga) x 3 orang =150 orang dengan sampah 150 kg /hari. Ini menggunakan reaktor pressure vessel 100 liter -200 liter kira-kira sebesar drum sampah. Sangat simple. Diproses 1-2 jam, cukup memerlukan sebidang tanah 3 x 4 meter persegi termasuk untuk proses pengeringan. Skala kecil ini bisa dipres, dikeringkan menjadi briket. Dari pengamatan Bayu, diketahui sampah kota Palembang 600 ton-800 ton/hari, kota Bantaeng di Sulawesi Selatan 50 ton/hari, dan Jambi 400 ton/hari. Ambilah kira-kira 400 ton/hari, memerlukan lahan pengolahan 1 hektar di TPA, nah dengan sistem RRS sebenarnya hanya memerlukan tempat 200 m2, dan tempat pengeringannya cukup 800 m2 sekalian tempat pengeringan produk. Malah bisa lebih kecil lagi bila langsung dikeringkan dan tidak perlu ada tempat menyimpan stok kering. Teknologi hydrothermal dinamai RRS (Resource Recycling System) ini adalah paten dari Prof. Kunio Yoshikawa dari Tokyo Institute of Technology. Prof. Yoshikawa menemukan teknologi ini awal 2007, tahun 2009 dibuktikan di Hokkaido. Kini mencoba pasar di Indonesia, namun malah negara lain yang lebih dulu mengaplikasikan. Menurut Yoshikawa, pola investasi di Indonesia tidak berani memulai sesuatu, jika belum ada bukti. Bila ada bukti, baru mau (baca: ikut-ikutan) mengerjakan. Bila belum ada bukti , masih enggan. Jadi, susah jadi pioner, maunya jadi follower, katanya. Bayu, 26, kelahiran Palembang ini dalam studi pasca sarjananya memfokuskan bagaimana mengurangi efek negatif lingkungan dari produk keluaran dalam keadaan sampai kering, dan pengintegrasian penggunaan produk tersebut untuk dibakar bersama batubara. Rata-rata produk itu mengeluarkan kandungan chlorine di atas 5000 ppm, dan ia berhasil menurunkan dengan standar di bawah 3000 ppm --produk keluaran pertama dicuci dengan air, sehingga chlorine dapat dipisahkan dari produk, dan hasilnya menjadi produk bersih dan ramah lingkungan. Penelitiannya dilakukan di plant pengolahan sampah yang sudah dibuat oleh sensei Yoshikawa secara komersial di Hokkaido, Nagoya, Shanghai (ada dua plantation), Mongolia (1 plant), Vietnam, Thailand, dan Srilanka sedang dikerjakan. Yoshikawa membimbing 36 mahasiswa di seluruh dunia (mayoritas dari Cina dan Indonesia). Ada tiga kelompok mahasiswa yang belajar di bidang pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy) dengan produk hasil pengolahan sampah dalam bentuk energi gas, likuid, dan bahan bakar padat. Bayu memilih padat karena di Indonesia paling cocok untuk bisa diaplikasikan secara komersial. Teknologi padat ini adalah teknologi unggulan dari lab ini yang bisa diaplikasikan secara komersial, papar sarjana S1 elektro di Universitas Sriwijaya, S2 elektro Universitas Indonesia, dan S3 di Jepang ini Di Indonesia, karakter khas di lingkungan sampah, yaitu abang-abang petugas sampah di perumahan pun bisa dipekerjakan di plant RRS. Mereka bisa dipekerjakan untuk mengepres briket dari produk keluaran, memilah sampah besi dan glass yang tidak bisa dibakar. Produk keluaran berupa bahan bakar bubuk ini bisa sebagai pengganti batubara untuk berbagai aplikasi pembakaran (combustion). Jika dicampur batubara, tidak perlu memodifikasi tungku pembakaran yang sebelumnya sudah ada, tidak perlu pula mengganti boiler, dan lain-lain, karena karakteristik pembakarannya relatif tidak berubah. Pun kalau 100% produk keluaran pengolahan sampah ini digunakan, bisa dibuatkan tungku pembakaran, boiller, dll, khusus untuk aplikasi tersebut. Hasil keluarannya bisa untuk listrik, ataupun bahan bakar padat untuk industri/pabrik. Sebagai bahan yang bisa menjadi pengganti batubara, bisa menurunkan biaya operasional. Sebagai briket saja, 100% digunakan untuk kompor briket guna memasak di rumah tangga, maupun industri kecil.

Saat ini ia tengah memperkenalkan informasi teknologi ini ke berbagai negara di Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Termasuk juga cukup intensif memperkenalkan teknologi persampahan ini ke Kepala-kepala Daerah di Indonesia, dan mendapatkan respon cukup baik. Dibutuhkan komitmen tinggi dari Kepala Daerah untuk menyelesaikan masalah sampah perkotaan melalui aplikasi teknologi pengolahan sampah tersebut, kata Bayu. RRS punya kelebihan, Sangat jarang ada teknologi pengolahan sampah yang ekonomis, punya efisiensi tinggi, dan bisa dikomersialkan (karena produk hasilnya bisa dimanfaatkan/dijual untuk proses pembakaran di berbagai pabrik tadi), dan itu ada pada RRS.

Pengelolaan Sampah selama ini Selama ini yang diterapkan di Indonesia adalah TPA (Tempat Pembuangan Akhir), karena masih memiliki lahan cukup luas. Idealnya TPA menerapkan land filling(TPA dengan proses pengolahan: memiliki saluran pembuangan air/water waste treatment, penimbunan di bawah tanah. Sayangnya, ini hanya ditumpuk aja (open dumping), seharusnya dibuat galian utk tempat sampah (land filling). Sebagian kecil sampah diatasi dengan daur ulang plastik, besi , kertas yang masih bisa dimanfaatkan. Pemulung sebagai roda recycle mengambil sekira 5%-10% saja dari sampah, mengirimnya ke perusahaan daur ulang plastik, besi, kertas. Lagi-lagi sayangnya, perusahaan-perusahaan itu tidak terkoordinasi satu sama lain. Di samping itu menerapkan pengolahan sampah jadi pupuk (sistem composting). Juga banyak dengan sistem incinerator (dibakar dengan1000C menggunakan teknologi mahal). Sistem ini kabarnya di suatu kota di Jawa Barat (2009) ditolak masyarakat, karena relatif tidak ramah lingkungan, karena membakar langsung sampah tersebut. Proses ini mengeluarkan dioksin (gas pencemar lingkungan), SOx (sulfur oksida), NOx (nitrogen oksida). Lagi pula, efisiensi pembakarannya rendah, hasilnya menjadi sampah basah, karena antara sampah organik, plastik, dan kayu bercampur. Dengan dibakar, akan menghasilkan panas yang bisa diubah menjadi listrik. Di Indonesia, modelincinerator ini masih berskala kecil seperti di kalangan industri, pabrik, rumah sakit--listriknya digunakan mereka sendiri. Di Jepang setiap kota/kelurahan/distrik memilikiincinerator. Dengan teknologi baru, efek samping dari pengolahan sampah tersebut bisa dikurangi, sayangnya teknologi ini terbilang mahal. Nah, biaya yang tinggi ini masih menjadi kendala di Indonesia. Di Indonesia, sebagian juga menggunakan cara metan capture --menangkap gas metan (gas yang mencemari lingkungan yang bisa merusak ozon) di TPA. Gas tidak keluar ke alam, tapi ditangkap menjadi bahan bakar gas pembangkit listrik tenaga gas. Tapi ini hanya menangkap gas tanpa mengolah sampahnya, jadi benda berupa sampah itu masih tetap menumpuk. Contohnya di Palembang, Bantar Gebang-Jakarta --biasanya untuk proyek CDM (Clean Development Mechanism, bahwa siapa saja boleh membuat proposal untuk mengurangi dampak lingkungan yang dibiayai oleh negara-negara industri yang banyak mengeluarkan COx/pencemar lingkungan). Ini sejalan dengan Kyoto Protokol (perjanjian internasional yang mengikat negaranegara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan menipisnya lapisan ozon) yang pada intinya mengurangi pencemaran lingkungan. *** Harian Seputar Indonesia, 13 November 2012 p. 16.

You might also like