You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan bagi manusia akan semakin kompleks ketika mereka menginjak usia remaja, usia dimana mereka masih berada di jenjang pendidikan usia sekolah menengah. Pada masa itulah mereka mulai mengenal lingkungan atau masyarakat lebih luas, yang selalu dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang lebih rumit dan memerlukan penanganan yang sangat serius. Permasalahan bagi peserta didik usia sekolah menengah timbul baik dari intern ataupun ekstern yang mana keduanya sangat mengganggu proses belajar dan pembelajaran peserta didik di usia itu. Keingin tahuan pada usia sekolah menengah sangatlah besar karena pada masa itu mereka mencari jati diri dan figur yang di idolakan oleh mereka. Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Selain mengemban fungsi pendidikan (transformasi nilai dan norma sosial). Dalam kaitan dengan pendidikan, peran sekolah tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, yaitu sebagai tempat perlindungan jika anak mengalami masalah. Bagi seorang pendidik haruslah tahu keadaan peserta didiknya dan harus bisa mengarahkan pada halhal yang positif, sehingga peserta didik pada usia sekolah menengah tersebut akan terarah pada hal-hal positif. Pendidik juga harus mengetahui gejala-gejala yang terdapat pada peserta didik dan memberikan solusi yang terbaik dalam menghadapi keadaan peserta didik. Selain itu, di setiap sekolah lanjutan diadakan guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Dalam makalah ini, membahas tentang permasalah dan upaya penanganan masalah penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menegah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan? 2. Apa saja masalah penyesuaian diri yang ada di peserta didik usia sekolah menengah (remaja)? 3. Bagaimana karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja)? 4. Apa saja masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja)? 5. Bagaimana penanganan masalah remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan. 2. Mengetahui masalah penyesuaian diri yang ada di peserta didik usia sekolah menengah (remaja). 3. Mengetahui karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja). 4. Mengetahui masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja). 5. Mengetahui penanganan masalah remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri.

BAB II PEMBAHASAN

Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental dan emosional dipengarungi oleh faktor lingkungan, dimana kemungkinan akan berkembang proses penyesuaian diri yang baik atau yang salah, sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme yang aktif. Ia aktif dengan tujuan dan aktivitas yang berkesinambungan. Ia berusaha memuaskan kebutuhan jasmaninya. Penyesuaian diri adalah suatu proses dan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuain diri secara harmonis, baik kepada diri sendiri mapun terhadap lingkungannya. Penyesuaian berarti adaptasi, dapat mempertahankan eksistensinya (survive) dan memperoleh kesejahteraan rohaniah, serta dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. Penyesuaian diri juga dapat diartikan bagai konvormitas, yang menyesuaikan sesuatu dengan standart atau prinsip. Definisi lain mengenai penyesuaian diri yaitu, kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon- respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustasifrustasi secara efisien individu memiliki kemampuan untuk menghadapi realitas hidup dengan cara yang memenuhi syarat. Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai suatu penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan lingkungannya.

2.1 Upaya Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Selain mengemban fungsi pendidikan (transformasi nilai dan norma sosial). Dalam kaitan dengan pendidikan, peran sekolah tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, yaitu sebagai tempat perlindungan jika anak mengalami masalah. Oleh karena itu, di setiap sekolah lanjutan diadakan guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang di hadapinya. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja di sekolah adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa betah bagi siswa, baik secara sosial, fisik maupun akademis. 2. 3. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi siswa. Berusaha memahami siswa secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun aspek pribadinya. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Menggunakan metode dan alat mengajar yang mendorong gairah belajar. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar. Menciptakan ruangan kelas yang memenuhi syarat kesehatan. Membuat tata tertib sekolah yang jelas dan dipahami siswa. Adanya keteladanan dari para guru dalam segala aspek pendidikan. Mendapatkan kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan. 10. Melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.

2.2 Masalah Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) Pada masa sekolah usia menengah pertama banyak sekali permasalahan. Semua itu diantaranya meliputi gangguan perilaku dan gangguan belajar sosok pendamping saat anak melaksanakan aktivitas sehari-hari adalah orang tua dan guru, peran mereka sangatlah penting dalam penentuan masa depan anak, dan kesehatan. Persoalanpersoalan tersebut dapat menghambat penyesuaian diri dan kegiatan belajar. Oleh karena itu, perkembangan penyesuaian diri remaja sangat bergantung pada sikap orang tua, suasana psikologis, dan sosial dalam kehidupan keluarga. Penolakan orang tua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, penolakan yang bersifat tetap sejak awal, orangtua tidak merasa sayang karena berbagai sebab, seperti tida k menghendaki kelahiran. Kedua, akibat penolakan itu adalah purapura tidak tahu keinginan atau masalah anak. Sebagai akibat dari kedua jenis, remaja tidak betah dan tidak dapat menyesuaikan diri secara sehat, sehingga cenderung menghabiskan waktunya diluar rumah. Sikap orangtua yang memberikan perlindungan berlebihan juga berakibat tidak baik. Remaja yang mendapatkan perlindungan dan kasih sayang berlebihan akan menyebabkan seorang anak tidak dapat hidup mandiri. Ia selalu mengharapkan bantuan dan perhatian kepada orang lain dan berusaha menarik perhatian orang lain serta beranggapan bahwa perhatian seperti itu adalah haknya. Sikap orang tua yang otoriter, yang memaksakan otoritasnya kepada remaja juga akan menghambat proses penyesuaian diri mereka. Remaja akan berani melawan dan menentang orangtuanya. Dan berbalik pada sikapnya sendiri yang otoriter terhadap temannya, bahkan pada orang lain yang lebih dewasa. Jelaslah bahwa masalah penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari keretakan keluarga atau akibat overproteksi. Hasil penelitian psikologis membuktikan

bahwa remaja yang hidup dalam rumah tangga yang tidak harmonis cenderung akan mengalami masalah emosional, yang terlihat dari adanya kecenderungan marah-marah, suka menyendiri, serta gelisah dibandingkan dengan remaja lainnya yang hiduo dalam keluarga harmonis.

2.3 Karakteristik Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) Bagi sebagian besar orang yang sudah beranjak dewasa, bahkan melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Adapun bagi orangtua yang memiliki anak berusia remaja, mereka merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orang tua dan remaja itu sendiri. Banyak orang tua yang tetap menganggap anak remajanya masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata mereka, ia masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya sering tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianngap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk mengategorikan remaja. Hal ini karena usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18), kini terjadi pada awal belasan, bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami purbetas, namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa meskipun di

saat yang sama, ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya, sering mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun sering perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun, satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk memahami remaja, perlu dilihat berdasarkan dimensi-dimensi tersebut. a. Dimensi Biologis Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri maupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis, dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seseorang anak memiliki kemampuan untuk bereproduksi. b. Dimensi Kognitif Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terrakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalahmasalah yang kompleks dan abstrak. c. Dimensi Moral Masa remaja adalah periode saat seseorang mulai banyak bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi

pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada disekitarnya. d. Dimensi Psikologis Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini, mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Real Larson (1984) menemukan bahwa remaja ratarata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood senang luar biasa ke sedih luar biasa, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk melakukan hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang dratis pada para remaja ini dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meskipun mood remaja mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.

2.4 Beberapa Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) a. Permasalahan Kesehatan Anak Usia Sekolah Usia anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas masa remaja dan dewasa nanti. Sampai sekarang masih terdapat perbedaan dalam menentukan usia anak. Menurut UU No.20 tahun 2002 tentang perlindungan anak dikatakan bahwa usia anak adalah sebelum usia 18 thun dan belum menikah. American Academic of Pediabic tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak,

yaitu mulai dari fetus (janin) hingga usia 21 tahun. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak, dan karakteristik kesehatannya. Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan yang sudah lengkap. Anak usia sekolah, baik tingkat prasekolah, sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Atas adalah suatu masa usia anak yang sangat berbeda dengan usia dewasa. Di dalam periode ini, banyak permasalahan kesehatan yang sangat menentukan kualitas anak dikemudian hari. Semua itu meliputi kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan belajar. Semua ini akan menghambat pencapaian prestasi anak di sekolah. Sayangnya permasalahan tersebut kurang begitu diperhatikan baik oleh orang tua maupun guru. Orang tua dan guru adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktivitas kehidupan setiap hari. Peran mereka sangat dominan dan menentukan kualitas hidup anak di masa depan. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi mereka untuk mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak usia sekolah. Deteksi dini gagguan kesehatan pada anak usia sekolah dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang diakibatkan berbagai penyakit. Peningkatan perhatian terhadap kesehatan anak usia sekolah diharapkan dapat tercipta anak usia sekolah Indonesia yang cerdas, sehat, dan berprestasi. 1) Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, dan ukuran dan dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolik. Adapun perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi

tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Hal ini menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pertumbuhan berdampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ individu. Kedua kondisi tersebut terjadi sangat berkaitan dan sangat mempengaruhi setiap anak. a) Jasmani Adanya perubahan jasmani yang mendadak dan cepat iramanya sehingga menimbulkan kebingungan dalam diri anak. Secara biologis, ia telah matang dan siap untuk berperan sebagai pria atau wanita. b) Jiwa Perkembangan kecerdasan berkembang secara pesat, berpikirnya makin logis, dan kritis, fantasi makin kuat sehingga seringkali terjadi konflik sendiri, penuh dengan cita-cita, mencari realita, kebenaran dan tujuan hidup. c) Rohani Kehidupan agamanya berada dalam persimpangan jalan, ada perasaan tidak aman karena terjadi perubahan fisik, emosi, dan juga berpengaruh pada imannya sehingga kadang-kadang kekuasaan tradisi kepercayaan dianggap mempersempit kebebasan dirinya yang banyak menuruti keinginan diri sendiri (suara hatinya). d) Sosial Pengaruh yang besar datang dari kelompoknya (teman sebaya), perubahan perilaku berhubungan dengan kehidupan bersama, suka berkelompok dan

10

masyarakat, ingin maju, suka membantu, sopan dan memperhatikan orang lain, dan sebaganya. 2) Permasalahan Kesehatan Anak Usia Sekolah Secara epidermis, di Indonesia, penyebaran penyakit berbasis lingkungan di kalangan anak sekolah masih tinggi. Kasus infeksi seperti demam berdarah dengue, diare, cacingan, infeksi saluran pencernaan, serta reaksi simpangan terhadap makanan akibat buruknya sanitasi dan keamanan pangan. Selain itu, risiko gangguan kesehatan pada anak akibat pencemaran lingkungan dari berbagai proses kegiatan pembangunan yang semakin meningkat, seperti semakin meluasnya gangguan akibat paparan asap, emisi gas buang sarana transportasi, kebisingan, limbah industri dan rumah tangga, serta bencana. Selain lingkungan, masalah yang harus diperhatikan adalah bentuk perilaku sehat pada anak sekolah. Permasalahan perilaku kesehatan pada anak usia TK dan SD biasanya berkaitan dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan seperti gosok gigi yang baik dan benar, kebiasaan cuci tangan pakai sabun, kebersihan diri. Pada anak usia SLTP dan SMU (Remaja), masalah kesehatan yang dihadapi biasanya berkaitan dengan perilaku berisiko, seperti merokok, perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), kehamilan yang tidak diingini, abortus yang tidak aman, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS. Permasalahan yang lain yang belum begitu diperhatikan adalah masalah gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah sangat bervariatif. Bila tidak dikenali dan ditangani sejak dini, gangguan ini akan mempengaruhi prestasi belajar dan masa depan anak. Selanjutnya, akan dibahas tentang permasalahan kesehatan anak usia sekolah,

11

diantaranya adalah penyakit menular, penyakit noninfeksi, gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan dan perilaku. a) Penyakit menular pada anak sekolah Penyakit yang cukup mengganggu dan berpotensi mengancam jiwa adalah penyakit menular pada anak sekolah. Sekolah merupakan tempat yang paling memungkinkan sebagai sumber penularan penyakit infeksi pada anak usia sekolah. Infeksi menular yang dapat menular di lingkungan sekolah adalah: demam berdarah dengue, infeksi tangan mulut, campak, rubela (campak jerman), cacar air, gondong dan infeksi mata (konjungtivitas virus). b) Penyakit noninfeksi Penyakit noninfeksi ini tidak bisa menular tapi sangat membahayakan bagi anak yang terjangkit, anak yang terjangkit penyakit noninfeksi akan berakibat juga pada pertumbuahan anak sekolah. Penyakit noninfeksi ini meliputi: Alergi, infeksi parasit cacing, dan gangguan pertumbuhan. c) Gangguan perkembangan dan perilaku anak sekolah Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sangatlah luas dan bervaiasi. Gangguan yang dapat terjadi pada anak sekolah adalah gangguan belajar, konsentrasi, bicara, emosi, hiperaktif, hingga autism. 3) Imunisasi Usia Sekolah Menurut Program Pengembangan Imunisasi yang direkomendasikan

Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, Imunisasi wajib yang harus diberikan untuk anak usia sekolah adalah DPT dan polio untuk anak kelas 1 SD, DT dan Tf untuk anak kelas VI dan polio ulang saat anak 16 tahun dan imunisasi campak ulang pada kelas 1 bila belum mendapatkan imunisasi MMR.

12

Bila sebelum usia sekolah belum melakukan imunisasi, program imunisasi yang dilakukan adalah MMR dan cacar air. 4) Upaya Peningkatan Kesehatan Anak Sekolah Untuk peningkatan kesehatan anak sekolah dengan titik berat pada upaya promotif dan preventif didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkuasa, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) menjadi sangat penting dan strategis; untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. UKS bukan hanya dilaksanakan di Indonesia, tetapi dilaksanakan diseluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan konsep Sekolah Sehat atau Health Promoting School (Sekolah yang mempromosikan kesehatan). 5) Kesehatan Reproduksi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah Remaja adalah masa peralihan antara taap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda. Cirinya adalah alat-alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelegensi mencapai puncak perkembangannya, emosi sangat labil, kesetiakwanan yang kuat terhadap teman sebaya, dan belum menikah. Kurun usia remaja sering disebut sebagai peralihan periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dan masa remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri, memantapkan posisi dalam masyarakat tersebut, dan sebagainya.) maupun oleh pertumbhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang tidak proporsional, dan sebaginya.) dan perubahan emosi (lebih peka, lebih cepat marah, agresif, dan sebagainya), serta perkembangan intelegasinya (makin tajam bernalar, makin kritis, dan sebagainya). Kurun usia remaja ini berbeda-beda panjangnya dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Pada masyarakat primitif (pedesaan), usia remaja relatif singkat. Karena pada waktu anak sudah menunjukkan tanda-tanda akhil balig, dilakukan

13

upcara inisiasi dan setelah itu anak sudah berstatus dewasa. Syaratnya pun tidak terlalu berat, asalkan bisa membantu ayah di sawah atau membantu ibu di dapur. Adapun pada masyarakat modern, kurun usia remaja bisa lebih panjang, antara 11-24 tahun. Penyebabnya adalah semakin awal tanda-tanda akil balig, maka persyaratan untuk menjadi remaja semakin berat (harus sekolah dulu, punya pekerjaan dulu). Dengan panjangnya akil balig pertama sampai kematangan sosial yang diharapkan, akan menimbulkan peluang lebih besar bagi hubungan seks pranikah dengan segala akibatnya: kehamilan tanpa rencana, kawin muda, aborsi, dikeluarkan dari sekolah, anak luar nikah dan penyakit menular seksual, termasuk AIDS. Hal ini didorong oleh penyebaran pornografi dan rangsangan seksual lainnya sehubungan makin canggihnya teknologi media dan komunikasi massa. Cara-cara yang dapat diambil untuk mengurangi seks bebas adalah agama, dan pendidikan seks. Apabila para remaja mengenal pendidikan agama dan mempunyai iman yang kuat, agama akan dapat menjadi benteng dari perbuatan-perbuatan maksiat. Cara lainnya adalah dengan memberikan pendidikan seks, pendidikan seks bukan hanya penerangan tentang seks, tetapi mengandung makna nilai-nilai (baikburuk, benar-salah). b. Masalah Remaja dan Rokok Meskipun semua orang tau bahaya yang ditimbulkan akibat merokok, akan tetapi para perokok tidak pernah surut dan tampaknya dapat di tolerir oleh masyarakat. Hal yang paling memprihatinkan adalah usia perokok yang setiap tahun semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok saat SMP, maka sekarang anak-anak SD kelas 5 sudah merokok secara diam-diam.

14

1) Bahaya rokok Rokok sangat merugikan bagi kesehatan, akan tetapi masih banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. 2) Tipe-tipe perokok Seseorang dapat dikatakan sebagai perokok berat apabila mengkonsumsi 31 batang rokok setiap harinya dan selang merokoknya 5 menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6-30 menit. Perokok sedang menghabiskan rokok 11-21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi. Menurut Silvan Tomkins (dalam Al Bachri 1991), ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, keempat type tersebut adalah: a) Type perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. b) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. c) Perilaku merokok yang adiktif. d) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. 3) Penyebab remaja merokok a) Pengaruh orang Tua b) Pengaruh teman c) Faktor kepribadian d) Pengaruh iklan 4) Upaya pencegahan

15

Dalam upaya prevensi, motivasi untuk menghentikan perilaku merokok penting untuk dipertimbangkan dan dikembangkan. Dengan menumbuhkan motivasi untuk berhenti atau tidak mencoba untuk merokok akan membuat mereka tidak terpengaruh oleh godaan merokok yang datang dari teman, media massa, atau kebiasaan keluarga atau orang tua. c. Remaja dan Perilaku Konsumtif Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun rumah tangga. Namun kata ini telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Belanja juga mempunyai arti tersendiri bagi remaja. 1) Pola hidup konsumtif Kata konsumtif berarti keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan dengan mencapai tujuan dengan kepuasan maksimal. 2) Perilaku konsumtif remaja Bagi produsen, kelompok usia remaja merupakan salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikut teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagaian produsen untuk memasuki pasar remaja. d. Perkelahian Pelajar Perkelahian atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi diantara pelajar. Bahkan, bukan hanya antar pelajar SMU, tetapi juga sudah melanda kampus-

16

kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. 1) Dampak perkelahian pelajar Jelas bahwa perkelahian pelajar ini sangat merugikan banyak pihak. Paling tidak ada 4 dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif apabila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin yang dikhawatirkan para pendidik, adalah kurangnya penghargaan siswa terhadap perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. 2) Pandangan umum terhadap perkelahian pelajar Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, atau dari keluarga dengan ekonomi rendah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini, Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 diantaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga ekonominya, sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi. Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama dikota besar, masalahnya begitu kompleks, meliputi faktor psikologis, budaya, sosiologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), seta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota. 3) Tinjauan psikologi penyebab remaja terlibat perkelahian Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam individu (sering disebut kepribadian, walaupun tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarka, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis yang menyebabkan perkelahian

17

pelajar. a) Faktor Internal Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks disini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsangan dari lingkungan yang semakin lama semakin beragam dan banyak. Situasi ini akan menimbulkan tekanan pada setiap orang. b) Faktor keluarga Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orangtua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga wajar apabila dia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orangtua yang terlalu melindungi anaknya,

menyebabkan si anak ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai identitas yang dibangunnya. c) Faktor sekolah Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebgai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu, tetapi terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas mengajarnya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan diluar sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu, masalah pendidikan, dan guru jelas memainkan peranan yang penting. Sayangnya

18

guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya jega menggunakan kekerasan dalam mendidik siswanya. d) Faktor lingkungan Lingkungan diantara rumah dan sekolah sehari-hari dialami remaja, juga membawa dampak terhadap munclnya perkelahian. Misalnya dilingkungan rumag yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semua itu dapat merangsang remaja erbuat sesuatu dari lingkungannya, kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. 5) Faktor penyebab perilaku agresi Bagi warga jakarta, aksi-aksi kekerasan, baik individual maupun massa, mungkin merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi, bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang kekerasan. Hal-hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri oleh Murray (dalam Hall & Lindzey, psikologi Kepribadian, 1993) didiefinisikan sebagai suatu cara melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut antara lain: 1) Amarah 2) Faktor biologis 3) Kesenjangan generasi 4) Lingkungan

19

5) Peran belajar model kekerasan 6) Frustasi 7) Proses kedisiplinan yang keliru. 2.5 Penanganan Masalah Remaja dengan cara Mekanisme Pertahanan Diri

Sebagian individu mereduksi perasaan, kecemasan,stress, ataupun konflik dengan melakukan mekanisme pertahanan diri, baik yang ia lakukan secara sadar ataupun tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Freud sebagai berikut: Such defense mechanism are put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptabla impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002). freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui memutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri. Istilah mekanisme bukan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit. Berikut beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama remaja yang sedang mengalami pergaulan dahsyat dalam perkembangannya kea rah kedewasaan. Mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa orang yang lain merupakanhasil

pengembangan ahli psikionalistis lainnya. 1. Represi

20

Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti adanya represi, tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan di bawah sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Pada umumnya, banyak individu yang pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya: a. Individu cenderung untuk tidak berlama-lama mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan, b. Berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat ganbar kejadian yang menyesakkan dada, c. Lebih sering mengomunikasikan berita baik daripada berita buruk, d. Lebih mudah mengingat hal-hal yang positif daripada yang negative, e. Lebih sering menekankan kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan. 2. Supresi Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan untuk menjaga agar impuls-impuls dan dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi, tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitikberatkan kepada tugas. Ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi), tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi).
21

3. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi) Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi ketika dia merusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara supresi atau represi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini, individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tidak jarang dibuat samar dengan menampilkan dan tindakan yang penuh kasih saying, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan. 4. Fiksasi Dalam menghadapi kehidupannya, individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustasi dan mengalami kecemasan, sehingga individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat bergantung pada individu lain merupakan salah satu contoh pertahanan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Remaja yang mengalami perubahan drastic sering dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini. 5. Regresi Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali melakukan sesuatu yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respon seperti individu yang lebih muda (anak kecil).

22

6. Menarik diri Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya repon ini disertai dengan depresi dan sikap apatis. 7. Mengelak Bila merasa diliputi oleh stress yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung. 8. Denial (Menyangkal Kenyataan) Bila individu menyangkal kenyataan, dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsure penipuan diri. 9. Fantasi Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan dapat menimbulkan frustasi. 10. Rasionalisasi Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik,atau yang baik adalah buruk.

23

11. Intelektualitas Apabila individu menggunakan teknik intelektualitas, dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang sangat amat menekan dengan cara analitik, intelektual, dan sedikit menjauh dari persoalan. 12. Proyeksi Individu yang menggunakan teknik proyeksi biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering dipergunakan.

24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Kesimpulan dari makalah ini adalah : 1. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta didik usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan yaitu dengan menciptakan suasana lingkungan sekolah maupun pendidik yang mendukung prestasi belajar siswa, sehat, dan menciptakan peserta didik yang bersosial baik. 2. Masalah yang muncul dan dihadapi oleh peserta didik usia sekolah menengah dalam penyesuaian diri timbul dari lingkungan keluarga, kesehatan dan dalam lingkungan sekolah. 3. Terdapat beberapa dimensi karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah antara lain, dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi psikologis. 4. Beberapa masalah peserta didik usia sekolah menengah adalah permasalahan kesehatan anak usia sekolah menengah, merokok, pola hidup konsumtif, dan perkelahian remaja. 5. Penanganan permasalahan remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri yaitu, represi, supresi, reaction formation (pembentukan reaksi), fiksasi, regresi, menarik diri, mengelak, denial, fantasi, rasionalisasi, intelektualisasi, dan proyeksi. 6. Orang yang paling berpengaruh untuk mengarahkan anak dalam masa remaja adalah peran aktif orang tua. Disamping itu, di lingkungan sekolah seorang pendidik yang berperan dalam perkembangan jiwa, selain mengemban fungsi sebagai pengajar.
25

DAFTAR RUJUKAN

Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia Bandung

26

You might also like