You are on page 1of 11

STRUKTURAL FUNGSIONAL

Struktural fungsional adalah sebuah teori atau pendekatan yang menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur atau system dengan bagian-bagian yang memiliki fungsinya masing-masing yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari system yang dimana jika terjadi kerusakan atau disfungsional pada salah satu bagian maka akan merusak keseluruhan system atau struktur yang ada. Pemikiraan structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yang menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yang terdiri dadri organ-organ yang saling ketergantungan, dan ketergantungan tersebut merupakan konsekuensi agar organism tersebut dapat tetap bertahan hidup. Pendekatan structural fungsional ini bertujuan untuk keteraturan dan kestabilan social. Akar Pemikiran Teori Struktural Fungsional Berbicara tentang pendekatan structural fungsional, maka dapat dimulai dengan melihat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat.

Keanekaragaman tersebut dapat dilihat dalam struktur social masyarakat. Struktur social adalah sebuah entitas atau kelompok masyarakat yang berhubungan satu sama lain, yaitu pola yang relatif dan hubungannya di dalam sistem sosial, atau kepada institusi sosial dan norma norma menjadi penting dalam sistem sosial tersebut sebagai landasan masyarakat untuk berperilaku dalam system sosial tersebut.

Ahli-ahli fungsionalisme beranggapan bahwa masyarakat yang ada saat ini memiliki keperluan-keperluan untuk memenuhi kehendaknya. Menurut

Brinkerhoff dan White (1989), ada tiga asumsi utama para ahli fungsionalisme yaitu evolusi, harmoni dan stabilitas. Diantara ketiganya stabilitas adalah yang paling utama karena menentukan sejauhmana sebuah masyarakat dapat bertahan di alam semesta ini. Kedua evolusi, menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah masyarakat melalui proses adaptasi struktur sosial menuju pembaharuan. la juga akan menghapuskan segala struktur yang tidak diperlukan lagi. Pada abad ke-19 di Eropa telah terjadi proses urbanisasi dan industrialisasi yang memberikan kontribusi terhadap ketidakstabilan tatanan masyarakat. Kritikan kritikan terhadap paham utilitarianism juga mulai marak dipertanyakan kebenarannya pada saat itu. Paham utilitarianism menganggap manusia sebagai mahluk rasional dan bebas. Kalau manusia dibiarkan bersaing secara bebas dan tanpa peraturan yang mengekang, maka manusia akan dapat menjadi wirausahawan yang berhasil. Selain itu, paham ini juga beranggapan bahwa masyarakat yang tertib akan tercapai kalau kompetisi antar individu dibiarkan berlangsung tanpa campur tangan pemerintah. Ketidaksetujuan para pemikir sosial abad ke-19 terhadap paham ini timbul karena melihat kenyataan yang sebaliknya, dimana ketertiban sosial justru semakin kacau setelah pengaruh paham utilitarianism semakin besar mewarnai kehidupan masyarakat. Kenyataan yang demikian telah membuka peluang timbulnya pemikiran baru tentang bagaimana tatanan masyarakat yang tertib dan harmonis dapat diwujudkan.

Pendekatan structural fungsional kemudian muncul untuk menganalisis struktur social masyarakat. Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori structural fungsional ini adalah August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Talcott Parson, dll. Perkembangan Pendekatan Struktural Fungsional Pendekatan structural fungsional tokoh-tokohnya antara lain August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim , Talcott Parson,dll. Dalam teorinya, Auguste Comte mengemukakan pemikirannya dengan menggunakan analogi organis yang mengatakan bahwa ikatan solidaritas mekanis, yang dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, laksana kohesi antara benda- benda mati, sedangkan ikatan solidaritas organis, yang dijumpai pada masyarakatyang kompleks, laksana kohesi antara organ hidup. Pernyataan seperti ini mencerninkan penganutan analogi organis aggapan mengenai adanya persamaan tertentu antara organis biologis dengan masyarakat. Pemikiran Comte mengenai analogi organismetik kemudian dikembangkan lagi oleh Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dan organisme. Pendekatan struktural-fungsional untuk menganalisis struktur

sosial masyarakat muncul bersamaan dengan semakin mapannya ilmu biologi, terutama yang berkaitan dengan struktur biologi kehidupan. Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup (1895: 436-506) dapat diringkas sebagai berikut:

1. Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan. 2. Disebabkan oleh pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pulabagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil, misalnya bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia. 3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu; mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula. Pada manusia, hati memiliki struktur dan memiliki fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian pula dengan partai politik sebagai struktur

institusional memiliki struktur dan fungsi serta tujuan yang berbeda dalam sistem politik, sistem budaya dan atau sistem ekonomi. 4. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagianbagian itu saling berkaitan satu sama lain.

5. Bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi. Struktur biologi organisme hidup terdiri dari elemen elemen yang saling terkait walaupun berbeda fungsi. Perbedaan fungsi-fungsi tersebut ternyata diperlukan, terutama untuk saling melengkapi agar suatu sistem kehidupan yang berkesinambungan dapat terwujud. Kerusakan atau tidak berfungsinya satu elemen dalam suatu struktur organisme hidup, dapat mempengaruhi elemen-elemen lainnya, sehingga suatu sistem kehidupan dapat tidak berfungsi dengan baik. (Megawangi, 2001). Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang berbeda dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karyakarya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsifungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu

dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial. Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20, itu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai

fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer yang mengatakan bahwa setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Brown, 1976:505). Jasa Malinowski terhadap perkembangan teori fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, Malinowski mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi

menganalisa kebudayaan dengan melihat pada fakta-fakta antropologis dan bagian yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 551). Pemikiran Durkheim tersebut kemudian menjadi sumbangsih bagi teori structural fungsional yang kemudian dikembangkan oleh Talcott Parson melalui karyanya The Structure of Social Action pada tahun 1973. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui analytical realism, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris. Parson kemudian memperkenalkan system tindakan dengan skema AGIL, karena Parson menganggap bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yaitu sebagai berikut: 1. Adaptation (A) : Sebuah system harus menyesuaikan dengan

lingkungannya. 2. Goal Attainment (G) : Sebuah system harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integration (G) : Sebuah system harus mengatur hubungan antar bagianbagian yang menjadi komponennya, dan mengatur hubungan antara fungsi-fungsi yang lain (A,G,L).

4. Latency (L) : Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola cultural yang dapat menciptakan dan menopang motivasi. Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural

telah berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota American Sociological Association, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme

struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi. Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Paradigma analisa fungsional Merton mencoba membuat batasan-batasan beberapa konsep analitis dasar dari bagi analisa fungsional dan menjelaskan

beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional. Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu. Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur (Merton, 1967: 80). Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsioanal yang sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, terkait dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif (Merton, 1967: 84), seperti apa yang telah kita ketahui Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsioanal. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimban fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Postulat ketiga, yaitu postulat indispensability. Ia menyatakan

bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang

harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan (Merton, 1967: 86). Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut: (1) sistem dipandan sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan; (2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem; (3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem; (4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan (5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem. Walaupun teori struktural fungsional banyak manfaatnya, namum kritik dan revisi atas teori ini masih terus berlangsung, diantaranya kekurangan teori ini dikemukakan oleh Garna (1996: 114-117) sebagai berikut: (1) keyakinan bahwasanya ada masyarakat yang tanpa lapisan sosial harus diabaikan; (2) beberapa tindakan dan institusi sosial tampak tidak nyata hubungannya dengan tindakan dan institusi sosial lainnya; (3) teori ini beranjak dari pengalaman lapangan formatif untuk menemukan bahwa masyarakat itu dapat dipahami sebagai suatu sistem yang berkaitan dan rasional, tanpa melihatkaitan unsur-unsur budaya yang diteliti masa silam; (4) pertimbangan teori ini

sebagian terletak hanya pada gambaran eksplanasi yang memerlukan fakta yang diketahui dan mampu diobservasi, terutama kebudayaan material atau benda-benda yang tampak.

You might also like