You are on page 1of 100

Busana Tradisional Dayak Taman

Penulis Aat Soeratin, Jonny Purba Pada awalnya orang Dayak Taman mulai mengenal pakaian yang disebut king baba (king = cawat; baba = laki-laki) untuk laki-laki, clan king bibinge untuk perempuan (bibinge = wanita). Pakaian tersebut terbuat dari kulit kayu yang diproses hingga menjadi lunak seperti kain. Kulit kayu yang bisa difungsikan sebagai kain untuk membuat cawat, celana, baju, clan selimut itu disebut kapua atau ampuro. Namun kebudayaan kelompok etnik lain yang datang bergelombang menciptakan akulturasi yang setidaknya juga berimbas pada perkembangan tata busana masyarakat Dayak Taman. Maka jenis busana king baba clan king bibinge kini sudah hampir tak tampak dipergunakan lagi, kecuali dibuat sebagai hiasan atau perlengkapan kesenian clan, tak jarang, untuk koleksi cendera mata. Masyarakat Dayak Taman pun mengenal teknik menenun untuk membuat busana. Bahkan hingga kini masyarakat Dayak Taman dikenal sebagai penenun yang terampil. Dulu, yang ditenun adalah serat benang yang dihasilkan dari kulit pohon tengang. Warna dasar serat yang kuat clan liat ini coklat sangat muda. Untuk memperoleh warna hitam atau merah hati, warna yang dominan pada tenunan tradisional Dayak Taman, serat tengang itu dicelup dengan getah pohon yang dilarutkan dalam air. Tenunan yang beredar sekarang dengan warna-warna kuning, merah muda, putih, clan sebagainya, dibuat dari benang kapas yang diperoleh dari luar daerah. Kini telah sangat jarang dijumpai tenunan yang dibuat dari serat tengang sehingga busana adat masyarakat Taman pun menggunakan tenunan benang kapas. Busana Pengantin Ada dua jenis busana adat tradisional yang biasa dipakai oleh pengantin dalam masyarakat Dayak Taman. Kedua macam busana itu disebut baju burai king burai clan baju manik king manik. Baju burai king burai dipakai oleh para pendamping pengantin sedangkan kedua mempelai mengenakan baju manik king manik. Baju burai king burai terbuat dari bahan beludru berwarna hitam. Dibentuk seperti kebaya atau rompi panjang mirip baju tanpa lengan. Sebagai hiasannya dijahitkan kulit kerang kecil berwarna putih disusun membentuk motif daun dan bunga. Hiasan ini diterapkan pada seluruh permukaan kain namun masih menyisakan bidang polos sehingga masih tampak kain dasarnya. Kini, kulit kerang atau keong kecil, yang konon harus didatangkan dari Kalimantan Selatan itu, sulit didapatkan sehingga sebagai gantinya dipakai kancing kecil berwarna putih mengkilap. Sebagai busana bawahnya, kaum perempuan mengenakan

semacam rok yang panjangnya sampai sedikit di bawah lutut, dari bahan yang sama dengan baju, juga diberi hiasan sejenis dengan hiasan bajunya. Sedangkan para lelaki memakai celana panjang sebatas lutut, juga dari kain yang sama, dan memakai semacam dodot dari kain yang telah diberi hiasan. Baju manik king manik bisa dikatakan sebagai pengembangan dari baju burai king burai. Hiasan baju manik king manik adalah rangkaian manik-manik halus yang menutup hampir seluruh bidang baju sehingga kain dasarnya nyaris tak tampak lagi. Pada seputar ujung bawah baju atau rok digantungkan untaian uang logam perak sehingga baju manik king manik lebih berat ketimbang baju burai king burai. Untuk membuat motif hias pada baju manik king manik, jelas, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, clan waktu yang relatif lama sehingga baju manik king manik kerap dianggap "berderajat" lebih tinggi daripada baju burai king burai. Maka, tak mengherankan, jika mempelai mengenakan baju manik king manik sedangkan para pendamping pengantin "hanya" memakai baju burai king burai. Sebagai pelengkap busana, pada masyarakat Dayak Taman dikenal pula berbagai ragam perhiasan berupa ikat kepala, topi atau kopiah, subang penghias telinga, kalung, gelanggelang, dan sebagainya. Penghias kepala clan rambut kaum wanita disebut tengkulas yang dibuat dari kain bermotif kembang-kembang, garis-garis diagonal dan horisontal berbentuk wajik, atau batik, clan lebih disukai yang berwarna mencolok: merah, hitam atau kuning. Jika tengkulas itu sepenuhnya dibuat dari anyaman untaian manik-manik disebut indulu manik. Pada tengkulas atau indulu manik ditambahkan bulu burung ruai, sejenis burung merak yang hidup di haerah hulu Kapuas. Untuk lelaki dikenal semacam topi yang bernama kambu manik dan kambu pirak. Kambu manik dibuat dari jalinan serat sejenis pohon pandan, atau semacam rumput, atau dari rotan yang diserit tipis clan pipih, yang dianyam menjadi bentuk topi. Lalu diimbuhkan untaian manik sepenuh bidang kambu. Sedangkan kambu pirak dibuat dari lempengan tipis logam perak yang dibentuk menjadi topi kemudian ditatahkan - menjadi bentuk kerawang, tapi bisa juga hanya takikan yang tidak tembus motif-motif bunga dan dedaunan pada permukaan luar kambu. Sebagai pemanis disematkan bulu burung ruai sekeliling kambu pirak itu. Bulu burung ruai yang disematkan pada tengkulas, indulu manik, maupun kambu, disebut tajuk bulu aruae. Penghias telinga berupa subang disebut poosong. Dulu, kaum wanita clan para pria memakai poosong, tapi kini hampir tak ada lelaki, juga sangat sedikit para perempuan, yang memakainya. Poosong dibuat dari kayu yang dibentuk bulat berdiameter 3 - 6 cm, dengan ketebalan, lebih-kurang, 1 cm. Kemudian diukir dan dilapisi plat emas, perak, perunggu/tembaga, atau kaca. Poosong yang tidak berlapis logam disebut poosong surat, yang dilapisi dengan emas dinamai poosong emas. Poosong pernah dianggap sebagai identitas wanita dayak Taman. Cuping telinga yang dipasangi poosong menjadi lebar,

menggelayut, sehingga nampak sangat unik dan khas. Ada beberapa macam kalung, penghias leher, pada masyarakat Dayak Taman. Misalnya saja kalong manik pirak. Kalung ini dibuat dari logam perak yang dicairkan kemudian dicetak pada solongsong bambu berdiameter kecil. Lalu dibekukan dan dikalungkan pada leher. Ada juga yang dinamakan kalong manik lawang, kalung yang biasa dipakai perempuan dan lelaki, tapi umumnya hanya dipakai perempuan. Dibuat dari manikmanik yang diuntai oleh tali akar tengang. Kalung ini dipakai saat upacara adat. Ikat pinggang untuk mempercantik penampilan dinamai sasawak. Dikenal, antara lain, dua macam sasawak: sasawak lampit karumut dan sasawak tali murung. Sasawak lampit karumut dipakai oleh kaum perempuan. Dibuat dari logam perak clan rotan. Perak dilebur hingga cair kemudian dicetak menjadi semacam manik-manik. Rotan yang sudah dibelah dimasukkan pada lobang "manik-manik perak" itu. Jika tali penguntainya juga dibuat dari kawat logam perak, ikat pinggang itu disebut sasawak tali murung.

Bagian depan rok bawah baju manik king manik yang panjangnya sampai sedikit di bawah lutut. Bahan clan hiasannya sama dengan baju. Pada seputar ujung rok dan baju digantungkan untaian logam perak. Hiasan manik-manik yang mengisi seluruh bidang membuat baju manik king manik lebih berat daripada baju burai king burai. Untuk membuat motif hias pada baju manik king manik jelas dibutuhkan kesabaran, ketelitian dan waktu yang relatif lama sehingga baju manik king manik kerap dianggap "berderajat" lebih tinggi dari baju burai king burai. Ada beberapa macam gelang-gelang yang biasanya dipakai pada upacara adat, seperti galang bontok yang dibuat dari perak, galang pasan berupa anyaman serat tumbuhan, galang manik yaitu untaian manik-manik pada serat daun nenas, dan galang gading yang dibuat dari gading gajah. Kaum lelaki memakai satu hingga tiga buah gelang pada bagian lengan di atas siku, kiri clan kanan. Gelang itu disebut tangkalae atau sumpae. Yang dibuat dari kayu tapang dinamai tangkalae tapang, bila terbuat dari untaian manik disebut tangkalae manik, clan yang dari jalinan tali ijuk dikenal sebagai tangkalae ijuk. Gelanggelang ini biasanya dipakai saat upacara adat keagamaan. Busana Adat Lainnya Meskipun kini sudah jarang ditemukan, masyarakat Dayak Taman juga menciptakan beberapa jenis busana untuk pelbagai keperluan acara adat. Di antaranya adalah bulang (baju) kuurung. Ada beberapa macam model: baju kuurung sapek tangan yaitu baju kuurung tidak berlengan, baju kuurung dokot tangan yakni baju kuurung lengan pendek, clan baju kuurung langke tangan ialah baju kuurung lengan panjang. Model baju kuurung

sesungguhnya sudah tua. Ketika masyarakat dayak Taman baru mengenal baju dari kulit kayu modelnya berbentuk baju kuurung. Baju berlubang leher bentuk bulat atau segitiga ini tidak berkerah clan polos tidak bersaku. Kain berupa pita berwarna lain daripada warna bajunya dijahitkan pada bagian tepi baju. Yada pita itu dipasang kancing-kancing yang hanya berfungsi sebagai hiasan. Sekarang, baju kuurung hanya dipakai oleh para balien (dukun) dengan memilih warna hitam clan pada bagian-bagian pinggir bajunya diberi les atau pita kain warna merah yang lebarnya sekitar 3 cm. Yang dipakai oleh para balien wanita disebut bulang kalaawat. Bentuknya sama dengan bulang kuurung hanya bagian depannya terbelah seperti kemeja pria biasa, clan berlengan pendek. Sebagai kancing untuk mempertemukan kedua sisi baju dibuat dari tali kain berwarna. Dahulu, baju kalaawat ini dipakai oleh setiap wanita remaja, dewasa, clan orang tua. Sekarang hanya dipakai oleh dukun-dukun wanita, dan wanita lanjut usia. Dari berbagai ragam busana tradisional yang dimiliki masyarakat Dayak Taman, baju burai king burai clan baju manik king manik, agaknya, yang paling popular sehingga hampir setiap keluarga Dayak Taman memilikinya. Terutama baju burai king burai, yang kerap digunakan pada peristiwa-peristiwa penting sepertiperhelatan adat atau perkawinan.

Busana Tradisional Masyarakat Banjar Penulis Dewi Indrawati Busana tradisional yang biasa dipakai sehari-hari oleh remaja dan orang dewasa kaum lelaki Banjar adalah salawar panjang (celana panjang) yang menutup kaki sampai ke mata kaki. Sebagai pasangannya dikenakan baju taluk balanga (kemeja lengan panjang) dengan leher baju bulat dan sedikit mencuat ke atas. Bagian dada terbelah berkancing tiga, tanpa kantong. Pada saat-saat tertentu kelengkapan pakaian ini ditambah dengan tapih (kain sarung) yang disampirkan di bahu. Sedangkan dalam acara-acara resmi seperti menghadiri upacara adat salawar diganti dengan tapih. Warna yang digunakan oleh remaja lebih mencolok, dominan warna kuning. Laki-laki tua Banjar sehari-hari mengenakan baju palimbangan, yaitu kemeja berlengan panjang dengan leher baju bulat tanpa kerah dilengkapi dengan kancing lima dan berkantong tiga buah. Pasangannya digunakan tapih, yang lazim disebut tapih kaling, sejenis sarung terbuat dari katun atau sutra bermotif garis-garis melintang dan membujur. Sebagai penutup kepala digunakan kopiah (kupiah) dari kain beludru, kain satin (kupiah Padang) atau kupiah jangang. Alas kakinya ada berbagai jenis, yaitu sandal kalipik, sandal tali silang, dan selop. Bagi laki-laki dewasa yang ingin bepergian mengenakan kopiah hitam, baju kiyama, salawar kiyama dan sandal silang. Baju kiyama berbentuk baju lengan panjang dengan kerah berlipat neyerupai jas. Kantongnya ada tiga buah, satu di dada kiri, dua di bagian bawah kiri dan kanan. Ujung tangan dan kantong diberi piIit (les) dengan warna berbeda dari bahan baju. Pasangannya disebut celana kiyama memiliki bentuk sederhana, lurus tanpa kantong. Untuk mengikat digunakan tali yang dimasukkan pada lubang (uluh-uluh). Warna pakaian ini biasanya dipilih yang muda, seperi biru muda, kuning muda, dan krem, dari bahan kain poplin babalur (bergaris-garis vertikal) atau tetoron. Yang kerap dipakai para remaja dan orang tua kaum perempuan Banjar adalah baju kubaya (kebaya) berpasangan dengan tapih batik bakarung (kain batik). Menjadi kebiasaan di daerah ini setiap perempuan menata rambutnya dengan cara disanggul (galung). Ada dua cara menata rambut yang disebut galung malang babuntut dan galung malang. Sanggul ini berbentuk bundar seperti angka delapan. Buntut pada sanggul menunjukkan pemakainya masih gadis. Untuk wanita dewasa dikenakan baju kubaya basawiwi (basujab), kebaya biasa yang diberi variasi kain yang memanjang di bagian depan yang dinamakan sawiwi atau sujab selebar 10 cm. Pada waktu bepergian mereka mengenakan baju kurung basisit, baju yang dilengkapi dengan tali pengikat di belakang leher dan kedua ujung lengan. Alas kakinya adalah selop dari beludru dan berkerudung kain sutra atau sasirangan. Busana Upacara Adat Dalam menghadiri upacara resmi para lelaki remaja sampai dewasa mengenakan baju jas tutup. Lehernya bundar dengan kerah kecil agak tegak. Lengan baju sampai pergelangan tangan, ujungnya diberi hiasan tiga biji kancing . Dilengkapi kantong tiga buah, di depan dada dan kiri-kanan bawah dengan model masuk (bukan kantong tempel). Baju ini berkancing lima biji. Bahan baju dari kain lena, ekstrimin, dan jenis lain yang agak tebal. Tetapi sekarang banyak dipakai kain wool, belini dan friend ship. Baju ini dipadukan dengan celana panjang (salawar panjang). Bentuknya sama dengan pantalon biasa, hanya tanpa saku. Menjadi aturan, kalau mengenakan jas tutup harus bersabuk di pinggang. Bagian tumpal sabuk yang bermotif pucuk rebung harus diletakkan di belakang. Motif ini melambangkan sikap waspada, tajam pemandangan dan kekuasaan yang tinggi. Ada dua pilihan sabuk, yaitu sabuk air guci (payet) dan sabuk kain tenun Pegatan dengan berbagai pilihan warna, biasanya dipilih yang kontras dengan warna baju. Sebagai tutup kepala dikenakan laung tajak siak, berbentuk segi tiga. Mengikatnya harus mengikuti pola yang berlaku, yaitu lam jalalah, yang mengacu pada lam alif dalam Al-Qur`an. Fungsinya untuk menolak bahaya atau maksud-maksud jahat lainnya. Tutup kepala ini terbuat dari bahan beludru, kain Pagatan, dan jenis lain yang

agak keras. Warna laung tajak siak harus sama dengan warna sabuk yang dikenakan. Terakhir dikenakan selop pada kedua kakinya dari bahan beludru dan kulit. Bagi kaum perempuan dalam upacara resmi dikenakan baju kurung basisit lengkap dengan tapihnya. Disebut baju kurung basisit karena pada bagian leher dan tangan dilengkapi tali pengikat (tali penyisit). Sebagai hiasan digunakan sulaman benang emas dan air guci dengan motif pucuk rebung. Bahan baju dapat dibuat dari kain sutra atau sasirangan. Baju ini dikombinasi dengan tapih Lasem, Pagatan, dan air guci. Kepalanya ditutup dengan kakamban/serudung (kerudung) berbentuk segi empat, dari kain sutra amban (sutra tipis) atau kain sasirangan yang dihiasi motif gigi haruan pada kedua sisinya. Aksesori penghias rambut terdiri dari kembang goyang (kambang goyang) dibedakan antara yang berapun (berumpun) dan tunggal berbentuk melati sebagai lambang kesucian. Hiasan ini ditancapkan pada sanggul. Pada telinga dipasang anting-anting beruntai. Sementara kalung samban rangkap tiga dan kalung marjan menghiasi bagian leher. Galang (gelang) karuncung melingkar di lengan, sedangkan jari manisnya berhias cincin litring. Kaki mengenakan selop dari beludru. Pakaian Pengantin Baamar Galung Pancaran Matahari merupakan pakaian pengantin yang paling digemari oleh semua golongan masyarakat Banjar. Masyarakat Hindu dan Jawa banyak mempengaruhi pemakaian busana ini. Pemakaiannya rnulai dikembangkan dalam masyarakat Banjar sejak abad XIX. Mempelai laki-laki mengenakan kemeja putih lengan pendek. Pada bagian dada dihias renda menutupi semua kancing. Kemudian dikenakan jas terbuka tanpa kancing. Pantalon terbuat dari bahan dan warna yang sama dengan jas. Sabuk berhias air guci dengan motif lelipan dipakai sebagai simbol kekuasaan dan kemuliaan. Kepalanya dibalut destar model siak melayu, dengan segitiga lebih tinggi. Bagian depan dihias dengan berbagai hiasan diikat di bagian belakang dengan buhul lam jalalah. Sebagai pengikat digunakan tali wenang berupa kain berwarna. Perhiasannya berupa samban, kalung bermotif bunga-bungaan. Kalung panjang bogam dan liris-liris bunga. Kemudian keris yang dihiasi bogam bermotif bunga merah diselipkan di pinggang. Mempelai wanita mengenakan baju poko berlengan pendek ditutupi dengan kida-kida, yaitu mantel sempit berhias yang berfungsi untuk menutup dada. Dikenakan sarung dan penutup pinggang (tali gapu) berhiaskan air guci. Rambutnya disanggul model amar galung bertahtakan mahkota dihias dengan kembang goyang. Ornamen lain untuk rambut antara lain baquet dengan pita rambut, bunga melati yang diatur berbaris, untaian bunga depan dan belakang. Kelengkapan lainnya meliputi kerabu menganyun, kalung, untaian metalik, dan untaian bunga warna keemasan. Cincin dari bunga mayang, sabuk pinggang warna emas, bunga jepun berbentuk jepitan, serta bangle dipakai di lengan atas dan pergelangan kaki terbuat dari karet berbentuk lekuk akar atau irisan buncis. Kakinya beralaskan selop beludru bersulam benang emas. Sepasang pengantin ini dipersandingkan di ba-tatai, yang dipenuhi oleh rangkaian bunga (palimbaian), terdiri dari daun sirih, bunga mawar merah dan bunga melati.

Busana Tradisional Dayak Ngaju Mengalirnya waktu dan berbaurnya pelbagai budaya menyebabkan perkembangan estetika masyarakat Dayak Ngaju yang semakin bergeser dari nilai-nilai asalnya meski tak menghilangkan substansinya. Hal itu nyata terlihat dengan berkembangnya seni berbusana masyarakat asli Pulau Kalimantan ini. Awalnya kulit kayu, lalu tenunan serat alam yang "kasar", kemudian kain tenun halus, kemudian desain yang tak lagi sekadar fungsional, semua itu adalah fenomena yang menyiratkan bergesernya nilai-nilai tata cara berbusana dan seni berdandan masyarakat Dayak Ngaju. Busana Kulit Kayu Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana. Model busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan, bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah. Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana. Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju, yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis. Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat kelengkapannya adalah busana dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat - berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan.

Busana Jalinan Serat Alam Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak. Orang-orang Cina dan India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik, melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain. Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata. Busana Kain Tenun Halus Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya, kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau. Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang. Baju kaum lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah, juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana

panjang "komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah yang disebut lawung siam. Penulis Aat Soeratin

Busana Tradisional Kutai Kutai Tradional Dress Penulis Aat Soeratin, Jonny Purba Seperti telah disinggung di muka, masyarakat Kutai mengalami persentuhan budaya dengan masyarakat Bugis yang datang dan menetap di daerah pesisir. Akulturasi itu, antara lain, mewartakan adanya tradisi menenun yang ekspresinya sangat berlainan dengan yang telah dikenal oleh masyarakat asli Kalimantan Timur. Dan sejalan dengan luruhnya perbauran antar budaya terlahirlah beragam hasil tenunan yang menunjukkan keindahan tersendiri yang kemudian semakin memperkaya khasanah kain tenun Nusantara. Tenun sutra dengan ragam hias floral yang dikenal sebagai "Kain Samarinda" misalnya, masyhur sebagai hasil tenunan yang khas Kalimantan Timur. Seperti lazim berlaku pada setiap kelompok etnik manapun, berdasarkan fungsinya, jenis-jenis pakaian dapat dibedakan sebagai pakaian sehari-hari, pakaian kerja, pakaian bepergian, pakaian pesta/upacara adat, dan sebagainya. Masing-masing fungsi busana itu juga dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan status sosial pemakainya. Pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Kutai disesuaikan dengan suhu udara daerah itu yang relatif panas. Oleh karenanya dipilih kain yang tipis, namun tidak tembus pandang, dari bahan katun untuk baju, celana, kain panjang, yang dipakai sehari-hari. Busana keseharian khas masyarakat Kutai yang hingg sekarang masih sering dijumpai adalah pelembangan dan baju Cina. Baju pelembangan, yang modelnya seperti piyama, dipakai oleh kaum lelaki. Pakaian bawahnya adalah seluar sekoncong, celana panjang dengan pipa celana yang longgar agar tak terasa panas, atau kain sarung pelekat. Jika bepergian memakai ikat fepala, destar, dari kain batik. Akan tetapi kini amat jarang para lelaki Kutai yang sehari-harinya memakai destar. Kaum perempuannya mengenakan baju Cina, semacam kebaya tidak berkerah, berkancing lima buah dan dipasangi dua buah kantong/saku di kiri-kanan bagian bawah bajunya. Para gadis atau ibu-ibu muda memakai sarung caul, yaitu kain panjang batik yang sudah dijahit berbentuk sarung. Jika bepergian paduan busana itu dilengkapi dengan babat (kain pinggang) dari kain Samarinda. Sedangkan wanita lanjut usia biasanya memakai sarung pelekat. Agar tampil rapi, rambut kaum wanita disanggul bentuk gelung Kutai, dan diberi kerudung ketika bepergian. Busana tradisional Kutai, sebagian diantaranya, dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Melayu. Pakaian adat tradisional inilah yang hingga kini relatif masih bertahan dari pengaruh perkembangan mode busana. Dan di antara beragam pakaian adat atau busana upacara, salah satu yang paling kerap dijumpai adalah pakaian pengantin yang dikenal sebagai baju takwo dan baju kustim. Baju Takwo Pakaian adat Kutai yang menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan pakaian adat suku-suku lain di Kalimantan Timur ialah baju takwo. Dahulu, baju takwo adalah pakaian kaum bangsawan atau busana para penari saat mengikuti upacara adat. Akan tetapi kini, masyarakat banyak pun mengenakan baju takwo sebagai busana pengantin. Saat upacara pernikahan berlangsung, mempelai wanita memakai baju takwo. Bentuk baju takwo mirip jas tutup tapi berleher tinggi. Di bagian depannya diimbuhkan sepotong kain, disebut jelapah, yang menutup bagian tengah dada dari bawah leher hingga pinggul. Di bagian pinggir kiri dan kanan jelapah diimbuhkan lima pasang kancing, sedang pada bagian lehernya dipasang dua buah kancing. Baju takwo kerap dibuat dari kain katun, linen, atau beludru. Paduannya adalah kain panjang biasanya bermotif parang rusak yang bagian sisinya diberi ornamen berupa rumbai-rumbai keemasan. Kain panjang ini dipakai hingga menutup mata kaki dan dibebatkan sedemikian rupa sehingga sisi kain yang berumbai berlipat-lipat di bagian depan dan nampak artistik. Rambut mempelai wanita disanggul berbentuk gelung siput, dihiasi gerak

gempa (kembang goyang) berwujud bunga melati yang dibuat dari emas atau perak bersepuh emas. Selop atau alas kaki yang digunakan biasanya berwarna hitam atau coklat. Mempelai pria juga mengenakan baju takwo, dipadukan dengan celana panjang. Kain panjang yang sama motifnya dengan yang dipakai mempelai wanita difungsikan sebagai dodot. Kain itu dibebatkan seputar pinggang, bagian depannya hanya sebatas lutut dan bagian sisi yang berumbai menjuntai dari bagian belakang hingga ke mata kaki. Sebagai hiasan kepala dipakai sentorong, sejenis peci atau kopiah berbentuk bundar, tingginya 15 cm dan dibuat dari kain beludru hitam. Sedangkan selop yang dipakai berwarna coklat atau hitam. Mempelai pria juga mengenakan baju takwo, dipadukan dengan celana panjang. Kain panjang yang sama motifnya dengan yang dipakai mempelai wanita difungsikan sebagai dodot. Kain itu dibebatkan seputar pinggang, bagian depannya hanya sebatas lutut clan bagian sisi yang berumbai menjuntai dari bagian belakang hingga ke mata kaki. Sebagai hiasan kepala dipakai sentorong, sejenis peci atau kopiah berbentuk bundar, tingginya 15 cm dan dibuat dari kain beludru hitam. Sedangkan selop yang dipakai berwarna coklat atau hitam. Baju Kustim Busana pengantin yang sekarang biasa dipakai oleh golongan menengah-atas masyarakat Kutai disebut baju kustim. Nama kustim berasal dari kata "kostum" yang bermakna "baju tanda kebesaran". Bentuk baju kustim sama dengan baju takwo hanya saja untuk baju kustim pada sisi jelapah, leher baju, dan ujung lengan baju dihiaskan pasmen, yaitu sulaman stilasi bentuk bunga atau flora dari benang emas. Pasmen yang terbuat dari benang serat logam mulia (emas) tak bisa dikerjakan sembarang orang. Ada perajin khusus yang menekuni profesi membuat pasmen benang logam emas ini. Rambut wanita disanggul bentuk gelung siput, diimbuh hiasan kembang gempa. Prianya memakai sentorong dengan pasmen benang keemasan. Di bagian depan sentorong dipasang wapen, semacam lencana, atau lambang yang menunjukkan derajat sosial pemakainya. Alhasil, pasmen dan wapen inilah yang mebedakan baju takwo dan baju kustim sebagai busana pengantin masyarakat Kutai. Maka tak jarang pengantin Kutai masa kini menggunakan kedua jenis busana ini. Ketika akad nikah mereka mengenakan busana dengan baju takwo, dan tatkala perayaan pernikahan memakai pakaian pengantin berbaju kustim. BUSANA ADAT DAYAK BENUAQ Aat Soeratin J onny Purba Salah satu suku bangsa yang mendiami daerah hulu sungai Mahakam adalah suku bangsa Dayak Benuaq. Daerah persebarannya mencakup Kecamatan Danau Jempang, terutama di desa Tanjung Isuy, Pentat, Muara Nayan, dan Lempunah, serta sebagian di Kec. Tenggarong. Bahan yang terkenal untuk pakaian adat tradisional Dayak Benuaq adalah kain tenunan serat daun doyo (Curculigo latifolia). Secara almiah tumbuhan sejenis pandan ini berkembang dengan subur di daerah Tanjung Isuy. Dari tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang yang kuat untuk ditenun. Daun doyo dipotong sepanjang 1-1,5 meter dan direndam di dalam air. Setelah daging daun hancur lalu seratnya diambil. Biasanya warna tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna: merah, hitam, dan warna coklat muda. Ulap doyo dianggap sebagai tenun ikat yang sangat khas Dayak Benuaq. Motifnya stilasi dari bentuk flora, fauna, dan alam mitologi, sebagaimana lazimnya motif hias masyarakat Dayak lainnya. Pada bidang yang berwarna terang, pada kain bercorak hias itu muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan pewarna. Titik-titik hitam inilah yang hampir tak ditemui pada tenun ikat manapun di daerah lain. Dari kain tenun serat doyo ini dibuatlah destar, kopiah, baju, sarung, dan sebagainya.

Akulturasi dengan budaya lain juga meresap hingga ke pedalaman. Maka masyarakat Benuaq pun kemudian mengenal kain tenun kapas dengan warna-warni yang sangat kontras dengan warna serat tenun mereka. Dan dengan sangat kreatif masyarakat Benuaq mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat mereka. Hasilnya adalah busana upacara yang dibuat dari kombinasi tenunan serat doyo dengan kain warna-warni sebagai corak hias yang artistik, misalnya busana adat yang dipakai oleh para pemeliaten (ahli pengobatan tradisional). Busana Adat Dalam pelbagai upacara adat seperti misalnya upacara kematian, upacara pengobatan, upacara panen hasil bumi, dan sebagainya, kaum perempuan mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain panjang (tapeh). Agar bebas bergerak ulap ini diberi belahan yang jika dipakai belahan itu berada di bagian belakang. Ulap yang berbelah ini disebut ulap sela. Ulap yang dikenakan sehari-hari biasanya berwarna hitam sedangkan yang dikenakan saat mengikuti upacara adat, diberi hiasan kain perca warna-warni bermotif bunga atau dedaunan. Sebagai baju biasanya dipakai kebaya tanpa lengan atau yang berlengan panjang. Sedangkan kaum pria biasanya menggunakan tenunan serat doyo ini untuk baju tanpa lengan dan celana pendek. Dalam masyarakat Dayak masa lalu terjadi pelapisan sosial karena dulu masih terdapat raja pada setiap sukunya. Turunan para raja kemudian menurunkan para bangsawan yang disebut golongan mantiq, sedangkan masyarakat kebanyakan dinamakan kelompok merantikaq (keturunan orang-orang biasa). Golongan mantiq dan merantikaq dapat dibedakan dari ragam hias yang diimbuhkan pada pelbagai pelengkap acara adat. Misalnya motif jautn nguku. Jautn berarti awan, sedang nguku berarti berarak. Ragam hias ini menggambarkan kebesaran seseorang dalam suasana kebahagiaan. motif ini biasanya dilukis pada templaq/tinaq (tempat penyimpanan tulang-belulang jenazah) golongan bangsawan atau raja-araja. Atau motif waniq ngelukng. Waniq berarti lebah dan ngelukng berarti menyerupai sarang lebah. Maknanya, bahwa orang yang sudah mempunyai cukup harta benda dapat melaksanakan upacara kematian. Ragam hias ini dilukiskan pada templaq/ tinaq tempat tulang belulang orang mati untuk golongan orang merantikaq tapi bisa juga untuk golongan bangsawan. Kini tak ada lagi raja. Maka yang dianggap sebagai pemuka masyarakat adalah kepala adat, kepala suku, dan para ahli belian (ahli penyembuhan penyakit) yang disebut pemeliaten. Kepala adat suku Benuaq sekarang tampil lebih sederhana, hampir tidak nampak atribut tanda status pada busana yang dikenakannya. Mereka biasanya memakai destar atau leukng dari serat doyo atau kain biasa. Berbaju kemeja tanpa lengan dari kain serat doyo berwarna merah atau hitam. Dahulu kepala adat menggantungkan jimat-jimat, manik-manik, taring harimau dahan, taring beruang, dan patungpatung yang mempunyai kekuatan magis atau disebut tonoi. Dan memakai cawat atau cancut yang juga dibuat dari tenunan serat doyo. Kepala adat yang merangkap kepala suku mengenakan topi yang berhiaskan bulu burung enggang, baju perang dari kulit kayu atau kulit harimau dahan, memakai cawat, dan tanpa alas kaki. Perisai di tangan kiri dan tombak digengggam di tangan kanan. Di pinggangnya tesengkelit sebilah mandau perang (parang/golok panjang) yang hulunya dihiasi dengan aneka warna bulu burung. Sarung mandaunya berukir dan pada ujungnya juga dihias bulubulu burung yang indah. Para pemeliaten tampil dengan ekspresi lain. Mereka tidak mengenakan baju tapi di bagian dadanya disilangkan kalung manik-manik, taring binatang buruan, dan patung-patung kayu kecil (jorokng) yang dipercaya sebagai sebagai tonoi. Busana bawahannya berupa tapeh bel ian yaitu kain panjang serupa rok maksi yang menutup hingga mata kaki, dan diberi hiasan aplikasi berupa tempelan kain warnawarni motif floral yang sangat artistik. Pada pinggang dililitkan sempilit, kain panjang yang berhias pada ujungnya, dan berjuntai sepanjang kiri dan kanan kaki. Ragam hias pada tapeh dan sempilit belian juga menunjukkan tingkat pengetahuan atau "kesaktian" pemakainya. Jika terdapat hiasan berupa garis-garis pada bagian bawah tapeh menunjukkan bahwa pemeliaten itu berilmu tinggi.

Untuk menahan tapeh dan sempilit dikenakan babat (semacam ikat pinggang) yang dihiasi dengan manikmanik, taring binatang, dan uang logam kuno. Babat ini berfungsi pula sebagai tempat menyimpan pelbagai jimat penolak pengaruh jahat sihir hitam. Pemeliaten juga memakai destar (laukng) yang warnanya juga mempunyai arti simbolik. Laukng berwarna hitam menandakan bahwa pemakainya (pemeliaten) mampu menangkal berbagai bentuk sihir hitam. Jika laukng hitam itu berimbuhkan garis-garis putih bermakna pemeliaten tersebut belum mampu menolak ilmu hitam. Di pergelangan tangannya dipakai gelang-gelang berukuran relatif besar, biasanya terbuat dari logam, yang juga berfungsi sebagai musik pengiring saat upacara. Bunyi-bunyian magis sebagai musik repetitif ditimbulkan oleh beradunya gelang-gelang ketika pemeliaten menggucang-guncangkan tangannya. Busana adat, ragam hias, dan perhiasan yang dikenakan pada pelbagai upacara adat itu adalah sarana untuk memudahkan hubungan dengan mahluk-mahluk gaib.

Busana Tradisional Ternate dan Tidore Penulis Ria Andayani Somantri Gambaran fisik busana adat masyarakat Ternate dan Tidore, memperlihatkan adanya perbedaan cukup spesifik antar kelompok masyarakat yang secara sosial memiliki kedudukan yang berlainan. Busana yang dikenakan oleh masyarakat pada umumnya atau rakyat biasa ditandai dengan kesederhanaan dalam berbagai hal, berbeda dengan busana yang dipakai oleh kelompok masyarakat yang memiliki kedudukan sosial tinggi. Hal ini dikarenakan Ternate dan Tidore yang secara administratif kini termasuk ke dalam wilayah kabupaten Maluku Utara, merupakan kawasan bekas kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore. Sudah tentu, keberadaan keturunan sultan di dalam lingkungan masyarakatnya memiliki gaya hidup yang khas. Kekhasan tersebut tampak dalam tata cara berbusana mereka. Apalagi kehidupan mereka senantiasa diwarnai dengan berbagai acara seremonial, berupa upacara-upacara adat kesultanan pada masa itu maupun upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Beberapa di antaranya yang masih dikenal hingga kini adalah upacara makan secara adat atau sidego, upacara injak tanah atau joko kaha, dan upacara pengukuhan atau uko se bonofo. Ada beberapa jenis busana yang dikenakan dalam upacara- upacara adat. Busana yang dikenakan oleh sultan disebut manteren lamo yang terdiri atas celana panjang hitam dengan bis merah memanjang dari atas ke abawah, baju berbentuk jas tertutup dengan kancing besar terbuat dari perak berjumlah sembilan . Sementara itu, leher jas, ujung tangan, dan saku jas yang terletak di bagian luar berwarna merah. Konon warna tersebut melambangkan keperkasaan dari pemakainya. Selain itu, penampilan busana yang dikenakan oleh sultan tersebut dilengkapi dengan destar untuk menutup kepala. Busana yang dikenakan oleh istri sultan terdiri atas kebaya panjang atau kimun gia, yang terbuat dari kain satin berwarna putih dengan pengikat pinggang yang terbuat dari emas, serta kain panjang. Perhiasan lainnya yang dikenakan oleh permaisuri tersebut meliputi kalung, bros, dan peniti yang terbuat dari intan, berlian, atau emas. Di samping itu, mereka juga mengenakan hiasan lainnya yang berupa konde yang berukuran besar, sedangkan konde kecil biasanya dipakai oleh pembantu permaisuri. Selain busana adat yang disebutkan tadi, ada pula busana adat lainnya yang khusus dikenakan oleh kaum remaja putri dan remaja pria yang berasal dari golongan bangsawan. Busana adat yang dipakai oleh remaja pria disebut baju koja, yakni semacam jubah panjang dengan warna-warna muda seperti biru muda dan kuning muda. Konon warna tersebut untuk melambangkan jiwa muda dari para pemakainya yang masih remaja. Baju koja tersebut biasanya berpasangan dengan celana panjang berwarna putih atau hitam, berikut toala polulu di kepalanya. Para remaja putri biasanya memakai busana yang terdiri atas kain panjang dan kimun gia kancing atau kebaya panjang berwarna kuning, oranye, atau hijau muda dengan tangan yang berkancing sembilan di sebelah kiri dan kanannya. Tidak lupa, mereka pun menyertakan berbagai perhiasan seperti taksuma, yakni kalung rantai emas yang dibuat dalam dua lingkaran; anting dua susun, sedangkan giwang tidak boleh dipakai oleh mereka; serta alas kaki yang disebut tarupa. Secara umum busana adat tradisional yang dikenakan oleh kaum pria yang berasal dari golongan bangsawan terdiri atas jubah panjang yang menjuntai hingga betis atau lutut, celana panjang, dan ikat kepala. Dihiasi dengan kelengkapan dan karakteristik lainnya, yang melambangkan status sosial dan usia dari orang yang memakainya. Adapun busana adat untuk kaum wanita meliputi kebaya panjang dan kain panjang. dilengkapi dengan perhiasan yang disesuaikan dengan tingkatan sosial mereka, baik sebagai permasuri, pembantu permaisuri, atau diselaraskan dengan usia mereka, remaja contohnya. Sementara itu, busana adat yang dikenakan oleh rakyat biasa untuk busana sehari-hari maupun busana yang dikenakan pada upacaraupacara adat, pada umumnya memang menggambarkan kesederhanaan. Busana yang biasa dikenakan oleh kaum wanita dalam melakukan aktivitas sehari-hari terdiri atas kain kololuncu dan baju susun dengan bagian tangan yang ditarik hingga ke pertengahan sikut. Baju tersebut umumnya berwarna polos.

Busana kerja dalam keadaan bersih, biasanya dipakai juga sebagai baju untuk di rumah. Adakalanya, mereka pun hanya mengenakan kain songket dan baju susun. Busana kerja yang digunakan oleh kaum pria terdiri atas kebaya popoh, yakni baju berwarna hitam yang panjangnya mencapai pinggul serta berlengan panjang; dan celana popoh, yakni celana setinggi betis yang berwarna hitam pula. Sama halnya dengan busana wanita, busana kerja pria biasanya digunakan pula sebagai pakaian sehari-hari untuk di rumah. Pada waktu mereka menghadiri berbagai upacara adat, busana yang dikenakan oleh kaum pria maupun wanitanya tidak berbeda. Kaum pria mengenakan celana panjang dan kemeja panjang, sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju susun dan kain songket. Adapun ketua adat yang memimpin upacara-upacara adat tersebut mengenakan jubah panjang yang mencapai betis berwarna kuning muda yang disebut takoa; celana dino, yakni celana dari kain tenun berwartna jingga atau kuning; lengkap dengan lengso duhu, yakni tutup kepala berwarna kuning muda.

Busana Tradisional Busana Tradisional Ambon Ambon Traditional Dress Penulis Ria Andayani Somantri Ambon merupakan ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku Tengah. Keberadaan busana adat Ambon, tidak hanya didominasi oleh busana yang dikenakan pada saat menghadiri upacaraupacara saja, melainkan tampak juga dalam busana seharihari. Meskipun busana adat yang biasa dipakai dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk jarang digunakan lagi saat ini, keberadaannya tetap penting untuk diungkapkan sebagai gambaran kekhasan busana mereka di masa lalu. Ada beberapa contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat. Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai oleh untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa kancing. Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau dikebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan sepanggal. Sementara itu kaum pria di Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. Sedangkan busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju baniang yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di kepala. Penampilan gaya berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos atau warna dasar hitam. Kecuali pada saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan atau dilarang digunakan. Busana dalam upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole, yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam; lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja. Sementara itu busana prianya terdiri atas baniang, kebaya hitam, dan celana panjang, Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai

oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan diantaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih; dan seperangkat busana yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan berwarna putih. Adapun busana yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja, pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. Hanya ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. Sedangkan pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.

Busana Tradisional Tanimbar Tanimbar Traditional Dress Penulis Ria Andayani Somantri Wilayah Tanimbar sejak duhulu dikenal sebagai sentra pengrajin busana tradisional di Kabupaten Maluku Tenggara. Meskipun jumlah mereka saat ini sudah mulai menyusut, keberadaannya tetap merupakan aset potensial yang dapat memberikan daya dukung positif bagi pelestarian dan pengembangan keberadaan busana adat tradisional di kawasan tersebut. Pada dasarnya, busana adat masyarakat Tanimbar kini tidak lagi digunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kalaupun ada yang masih mengenakannya, itupun terbatas pada kaum yang sudah berumur. Busana yang dipilih terdiri atas kutang liman malawan, yakni baju sejenis kebaya untuk bagian atasnya, yang berlengan pendek maupun panjang. Adapun busana bagian bawahnya berupa kain sarung yang biasanya ditenun sendiri. Masyarakat menamakan kain tenunan seperti itu dengan sebutan tais maran. Busana adat wanita Tanimbar biasanya dipakai pada saat mereka menghadiri atau terlibat dalam penyelenggaraan upacara adat, yang bernuansa keagamaan ataupun yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Misalnya, upacara-upacara gerejani, pernikahan, penghormatan jenazah, pelepasan arwah, dan sebagainya. Saat menghadiri upacara-upacara tersebut, kaum wanita biasanya mengenakan busana adat yang khas, yakni seperangkat busana terdiri atas kebaya dan kain tenun yang disebut tais matau atau tais wangin. Warna dasar tais pada umumnya adalah coklat, hitam kebiru-biruan, dan hitam. Pada masa lalu, keberadaan warna-warna tersebut memang memiliki makna tersendiri yang erat kaitannya dengan status sosial seseorang. ~ Kain tenun dengan warna dasar coklat melambangkan kedudukan pemakainya sebagai golongan bangsawan; hitam kebirubiruan mencerminkan golo-ngan menengah; dan warna hitam melambangkan pemakainya adalah golongan rakyat biasa. Saat ini, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Artinya, setiap orang boleh mengenakan kain dengan warna apa saja. Wanita Tanimbar dalam kehidupan sehari-hari, umumnya hampir tidak ada yang memakai perhiasan. Kalaupun ada yang mengenakannya,terbatas pada gelang atau bel usu. Keberadaan belusu yang terbuat dari gading gajah ini cukup penting dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Mengingat saat ini sudah tidak ada lagi pengrajin yang membuat gelang-gelang besar seperti itu, maka belusu kini menjadi barang yang cukup langka. Tidak heran bila belusu yang beredar saat ini merupakan salah satu benda warisan dari nenek moyang mereka, atau barang bawaan seorang wanita sewaktu meninggalkan keluarganya untuk pindah dan menetap bersama suaminya. Bahkan, ada kalanya belusu pun dijadikan sebagai mas kawin. Selain itu, mereka menyempurnakan penampilannya dengan mengenakan sejumlah asesoris yang khas, meliputi sinune, yakni selempang atau selendang yang disampirkan pada bahu sebelah kiri; somalea, yaitu hiasan dari cendrawasih yang telah dikeringkan dan menjadi hiasan yang diletakkan di kepala atau dahi; berbagai kalung atau ngore. Misalnya noras aboyenan, yaitu kalung yang terdiri atas lima lapis dan diletakkan di bagian depan, serta lean, yakni untaian yang tergantung di belakang leher; belusu; dan lekbutir, yaitu anting-anting, memakai rantai maupun tidak, yang menggantung dengan indah di telinga. Berbagai kelengkapan busana dan perhiasan tradisional tersebut memang tidak mutlak digunakan. Pemakaiannya sangat bergantung pada kemampuan dari orang yang akan mengenakannya. Meskipun begitu, ada kelengkapan khusus yarig senantiasa digunakan oleh kaum wanita dalam berbagai upacara, yakni sinune dan somalea. Di antara berbagai busana yang dikenakan oleh kaum wanita dalam sejumlah acara, memang ada salah satu yang tampak paling lengkap yakni busana penari. Para penari yang terdiri atas kaum ibu tersebut, selain mengenakan busana adat juga memakai aneka perhiasan yang lengkap. Mereka biasanya menari dalam upacara penghormatan jenazah dan upacara pelepasan arwah orang-orang yang dihormati, ketua adat misalnya.

Sementara itu, busana adat pria Tanimbar terdiri atas celana panjang dan kemeja panjang. Tidak lupa mereka pun menambahnya dengan berbagai kelengkapan busana lain yang sama khasnya dengan apa yang dikenakan oleh kaum wanita. Kelengkapan tersebut meliputi umpan, yakni selembar kain tenun yang diikatkan di pinggang; sinune; tutuban ulu, kain penutup kepala, berhiaskan somalea. Konon pada masa lalu, tutuban ulu melambangkan keberanian, kebesaran, dan keperkasaan seorang pemimpin, pahlawan, prajurit, atau ketua adat. Kecenderungan yang tampak sekarang, kaum pria tidak mengenakan busana adat selengkap itu pada berbagai upacara keagamaan atau upacara adat. Mereka sudah merasa berbusana tradisional, walaupun hanya dengan menambahkan umpan yang diikatkan di pinggang. Kecuali bagi mereka yang memiliki tugas khusus; misalnya yang membacakan syair dalam upacara tersebut, atau para tua adat. Selain itu kepada jenazah dalam upacara adat pelepasan jenazah biasanya dipakaikann busana tradisional secara lengkap. Melihat gambaran busana adat tradisonal masyarakat Tanimbar secara umum memang tidak hanya menampakkan fungsi alamiah semata, yakni untuk melindungi anggota tubuh dari berbagai keadaan cuaca yang tidak menguntungkan. Namun lebih dalam lagi, mengandung makna simbolis tertentu yang barangkali saat ini sudah mulai terlupakan keberadaannya.

Busana Tradisional Busana Tradisional Sikka Sikka Traditional Dress Penulis Biranul Anas Masyarakat Sikka atau suku Sikka, mendiami daerah kabupaten Sikka di pulau Flores dengan kota terbesar sekaligus ibukota yaitu Maumere. Seperti halnya dengan daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara Timur, bahkan di, Indonesia, kebudayaan masyarakat Sikka mencerminkan adanya pengaruhpengaruh asing seperti Bugis, Cina, Portugis, Belanda, Arab dan India. Dibidang agama tampak benar pengaruh Portugis dan Belanda yang membawa agama Katolik dan Protestan serta tatabusana barat yang dewasa ini sudah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat. Sedangkan pengaruh India amat nyata pula hasil tenunan, yakni pada pembagian bidang-bidang dan corak yang diilhami oleh kain patola. Walaupun demikian masyarakat Sikka tetap mampu mempertahankan ungkapan budaya tradisionalnya lewat busana serta tatariasnya. Dimasa lalu suku Sikka mengenal tingkatan sosial yakni bangsawan dan masyarakat umum. Namun dewasa ini hal tersebut sudah ditinggalkan. Pada tatacara berbusana tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara keturunan ningrat dan rakyat, kecuali mungkin pada halus tidaknya tenunan, jahitan dan ukiranukiran perangkat perhiasannya.

Busana Adat Pria Perangkat busana adat pria secara umum terdiri atas kain penutup badan dan penutup kepala. Kain atau baju penutup badan terdiri atas labu bertangan panjang, biasanya berwarna putih mirip kemeja gaya barat. Selembar lensu sembar diselendangkan pada dada, bercorak flora atau fauna dalam teknik ikat lungsi. Pada bagian pinggang dikenakan utan atau utan werung yaitu sejenis sarung berwarna gelap, bergaris biru melintang. Tatawarna kain Sikka umumnya tampil dalam nada-nada gelap seperti hitam atau biru tua dengan ragi yang lebih cerah berwarna putih, kuning atau merah. Istilah untuk sarung selain utan adalah lipa. Dimasa lalu bangsawan memakai lipa dengan ragi yang masih baru, ragi werung. Destar, tutup kepala pria terbuat dari kain batik soga dan dikenakan dengan pola ikatan tertentu sehingga ujungujungnya turun menempel pada kedua sisi wajah dekat telinga. Perhiasan yang penting tetapi jarang dikenakan adalah keris yang disisipkan pada pinggang sebagai pertanda keperkasaan dan kesaktian. Busana Adat Wanita Seperti halnya pada kaum pria, busana adat wanita Sikka tidak (lagi) mengenal perbedaan strata sosial yang mencolok. Bagianbagian busana wanita Sikka terdiri atas penutup badan berupa labu liman berun, berbentuk mirip kemeja berlengan panjang terbuat dari sutera atau kain yang bagus mutunya. Labu wanita ini terbuka sedikit pada pangkal leher guna memudahkan pemakaian sebab polanya tidak menyerupai kemeja atau blus yang lazim berkancing pada bagian depannya. Diatas labu dikenakan dong, sejenis selendang yang diselempangkan melintang dada. Kain sarung wanita, utan lewak, dihiasi dengan ragam-ragam flora, fauna dalam lajur-lajur bergaris. Utan lewak, arti harfiahnya adalah kain tiga lembar, berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan antara warna-warna merah, coklat, putih, biru dan kuning secara melintang. Warna-warna kain wanita melambangkan berbagai suasana hati atau kekuatan-kekuatan magis. Hitam misalnya biasanya dipakai untuk melayat orang meninggal. Merah dan coklat melambangkan keagungan dan status sosial yang

tinggi. Paduan warna juga menunjuk pada usia. Warna-warna yang gelap biasanya dipakai oleh orang tua, sedangkan warna-warna cerah digemari oleh kaum muda. Demikian pula hal dengan warna dong, apabila gelap mencerminkan duka, sebaliknya warna-warna muda adalah untuk suasana suka ria, pesta dan sebagainya. Cara mengenakan utan selain sebagaimana tersebut di atas juga dengan menyampirkan sebagian pinggir kain di atas bahu dengan melintangkan tangan kanan (atau kiri sesuai pembawaan masing-masing) di bawah dada seperti hendak menjepit kain. Perlambang warna dan cara-cara menyandang utan berlaku pula pada kaum pria Sikka. Hiasan kepala tersemat pada sanggul atau konde dalam bentuk tusuk konde biasanya terbuat dari ukiran keemasan. Perhiasan pada rambut dewasa ini sudah amat bervariasi karena pengaruh-pengaruh dari sukusuku lainnya di Nusa Tenggara Timur. Pada pergelangan tangan dipakai kalar yang terbuat dari gading dan perak. Penggunaanya disesuaikan dengan suasana peristiwa seperti upacara-upacara atau pesta-pesta adat. Jumlah kalar gading dan perak (atau emas) biasanya genap. Yakni dua atau empat gading dengan dua perak pada setiap tangan. Kaum berada atau ningrat biasanya mengenakan lebih banyak namun tetap dalam bilangan genap seperti enam, delapan dan seterusnya. Perhiasan lainnya adalah kilo yang tergantung pada telinga.

Busana Tradisional Sumba Timur East Sumba Traditional Dress Penulis Biranul Anas Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponenkomponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari. Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi serta religi suku sumba. Busana pria Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa mi cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik halhal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam. Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu. Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga

mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu. Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang. Busana Adat Wanita Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kainkain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung. Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.

Busana Tradisional Amarasi, Timor Amarasi, Timor Traditional Dress Penulis Biranul Anas Amarasi termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Kupang, Timor. Masyarakat Amarasi merupakan bagian dari suku Dawan yang tersebar di seluruh kabupaten di Timor bagian barat. Sebagaimana dengan kebiasaan serta budaya yang ada pada daerahdaerah lain di Nusa Tenggara Timor pelapisan sosial kemasyarakatan yang dahulu kala amat kuat dianut, dewasa ini sudah jauh berkurang. Hal ini tampak nyata pada ungkapan berbusana masyarakatnya yang sehari-hari memakai pakaian bergaya barat akibat pengaruhpengaruh asing yang masuk ke daerah tersebut sudah lama. Sebagian besar penduduknya dewasa ini pun memeluk agama Nasrani. Namun hal-hal tersebut tidak menghilangkan tradisi untuk mengungkapkan ungkapan budaya asli mereka. Bentuk-bentuk kepercayaan lokal masih mewarnai kehidupan sehari-hari seperti ritus-ritus penghormatan terhadap Usi Neno, wujud tertinggi penguasa jagad raya, pencipta mahluk hidup sumber segala yang ada. Selain itu manifestasi tradisi kebudayaan asli juga masih hidup dalam tatacara berpakaian khususnya dalam menghadapi pesta-pesta adat atau upacara-upacara penting lainnya. Kain-kain tenunan dalam teknik futus dan sotis dalam paduan warna-warna putih, coklat, biru dan merah bata yang ditunjang oleh berbagai aksesoris di kepala, telinga, tangan dan pinggang diperagakan dengan keindahan yang amat mempesona pada peristiwa-peristiwa seperti tersebut di atas. Pakaian Adat Pria Secara mendasar pria mengenakan komponen-komponen busana yang sama dengan daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Timur yaitu kain penutup badan yang terdiri atas beti atau taimuti, dan po`uk. Corak khas pada beti gaya Amarasi adalah dominasi warnawarna coklat dengan bidang tengah berwarna putih sebesar 3040 cm. Po`uk sebesar 30 cm bercorak garis-garis, memanjang dalam paduan warna-warna jingga, merah bata, putih dan biru. Di kepala dikenakan pilu dari batik. Sedangkan kalung dileher terbuat dari logam dengan hiasan berbentuk lingkaran dari logam berukir bergaris tengah 10 cm, dikenal dengan sebutan iteke. Suatu kebiasaan yang umum di Nusa Tenggara Timur khususnya Timor (dan Sumba) adalah disandangnya kapisak atau aluk yang terbuat dari anyaman-anyaman daun atau kain persegi empat dengan corak geometris dan muti sebagai

hiasannya. Terkadang aluk juga sebagian berhiaskan ornamen perak. Pakaian serta perhiasan dan perlengkapan busana pria ini oleh masyarakat setempat dianggap dapat memberikan sifat keagungan, kejantanan serta kesucian bagi penyandangnya. Pakaian Adat Wanita Wanita Amarasi memakai dua lembar tenunan sebagai penutup badannya. Pertama adalah tais atau tarunat yang dipasang setinggi dada hingga mata kaki. Corak-coraknya berwarna meriah paduan jingga, kuning, putih dan biru tua dalam lajur bergaris sempit yang dipadukan dengan corak-corak ikat putih berlatar hitam/biru tua. Lembar kedua adalah selempang yang terikat di depan dada berbentuk huruf V dengan kedua ujungnya terletak di kedua bahu bagian belakang. Di kepala terdapat seperangkat perhiasan yang tersemat pada sanggul yaitu kili noni dan tusuk-tusuk konde. Hiasan logam kening di dahi berbentuk bulan sabit, berukiran dan terkenal dengan istilah pato eban. Kedua telinga dihiasi falo noni. Di depan dada tergantung kalung dengan bentuk hiasan bulat dari logam (emas, perak atau sepuhannya) yang disebut noni bena. Pergelangan tangan dihiasi dengan niti keke, sedangkan pinggang dililit oleh futi noni. Hakekat pemakaian busana dan perhiasan pelengkapnya di Nusa Tenggara Timur erat kaitannya dengan berbagai kefungsiannya dalam peri kehidupan penyandangnya. Corak tenunan menunjuk pada status sosial alam fikiran serta kepercayaan yang dianut. Perhiasan dan bahanbahan pembuatnya selain mencerminkan status sosial juga menyatakan kemampuan ekonomi. Emas, perak, gading dan manik-manik amat dihargai dan bernilai tinggi, baik sebagai citra kehormatan diri maupun dalam konteks hubungan sosial kekeluargaan, khususnya pada adat istiadat perkawinan dimana barang-barang tersebut merupakan mas kawin pihak lelaki kepada pihak perempuan. Sebaliknya pun, dalam membalas pihak lelaki, pihak wanita menyerahkan kain tenunan. Demikianlah oleh terbentuk dasar hubungan kekeluargaan yang erat dan saling mendukung dalam berbagai permasalahan kehidupan.

Busana Tradisional Sasak Sasak Traditional Dress Penulis Aat Soeratin Diperkirakan sejak abad XIV masyarakat Sasak telah mengenal teknik menenun kain. Konon, pengetahuan itu dibawa para pedagang Gujarat dari India. Dan ketika keterampilan menenun semakin dikuasai, estetika pun berkembang, lalu terciptalah corak hias simbolik, pada bentangan kain-kain tenunan mereka, yang dieksplorasi dari kehidupan alam sekitar dan mitologi. Stilasi pohon mawar, burung, ular naga, tokoh pewayangan, kerap muncul menjadi ragam hias yang artistik pada tenunan masyarakat Sasak. Corak hias pada kain untuk perempuan pun dibedakan dengan ragam hias kain bagi laki-laki. Bahkan kemudian ditumbuhkan kepercayaan jika kaum lelaki memakai kain dengan corak hias yang sesungguhnya diperuntukkan bagi kaum perempuan begitu pula sebaliknya - maka pemakainya akan ditimpa kemalangan, misalnya saja kehilangan kewibawaan, kesaktian, dan semacamnya. Kain-kain tenun inilah yang digunakan sebagai busana adat, sehari-hari maupun upacara, masyarakat Sasak. Busana Adat Sehari-hari Persentuhan dengan suku Bali yang datang sekitar abad XVI, seperti yang telah disinggung di muka, memberikan nuansa pada tata cara berbusana adat keseharian suku Sasak, meski tentu, tak menghilangkan identitas jatidirinya. Untuk mengikuti acara adat, misalnya upacara potong gigi, upacara kematian, menghadiri perkawinan, masyarakat Sasak mengenakan busana yang khusus dirancang untuk keperluan tersebut. Kaum perempuan mengenakan lamung (baju) berwarna hitam yang modelnya relatif sederhana: selembar kain dilipat sehingga berbentuk segi empat lalu diberi "lubang leher" berbentuk segi tiga, dan pertemuan kedua sisinya dijahit sehingga hasil akhirnya menjadi semacam kebaya longgar berlengan pendek, panjangnya sebatas pinggang. Busana bagian bawahnya adalah kemben (sarung) yang juga berwarna hitam dan pada bagian tertentu diberi hiasan motif flora. Untuk memperkuat kemben dipakai sabuk anteng (ikat pinggang). Sebagai pelengkap penampilan dipakai aksesori berupa sengkang (anting-anting), teken ima (gelang tangan), dan teken nae (gelang kaki). Para lelaki memakai kelambi (baju) model kemeja pria berlengan pendek atau panjang. Dipadukan dengan kereng (kain panjang) yang dililitkan seputar pinggang, memanjang hingga sebatas betis dan pada bagian muka ujung kain dibuat berlipat-lipat menjuntai hingga hampir menyentuh tanah. Penahan kereng adalah lilitan kain, berfungsi seperti ikat pinggang, disebut bebet. Pada kening tersaput ikat kepala, dinamai sapu, biasanya berwarna hitam tapi tak jarang menggunakan kain batik. Busana Pengantin Sasak

Yang akan diuraikan berikut ini adalah busana pengantin yang umum dikenakan oleh masyarakat Sasak. Mempelai wanitanya memakai tangkong (baju) semacam kebaya yang biasanya berwarna hitam polos, tapi dalam perkembangannya ada yang diberi imbuhan hiasan pada pinggiran bajunya. Sebagai pakaian bawahya dipakai kain panjang yang disebut kereng. Yang banyak dipakai adalah kain songket. Hiasan pelengkap penampilannya adalah kancing baju (buak tangkong) emas, kalung emas, ikat pinggang (gendit/pending) emas, gelang tangan (teken), ali-ali (cincin), dan gelang kaki (teken nae).

Pengantin pria mengenakan kelambi dari bahan yang sama dengan mempelai wanita, bermodel jas tutup dengan potongan agak meruncing pada bagian bawah belakangnya, untuk mempermudah menyengkelitkan keris. Kereng (kain panjang) yang dipakai adalah songket dengan motif khas Lombok. Kemudian ditambahkan dodot (kampuh), kain yang biasanya bercorak sama dengan yang dipakai pengantin wanita. Kelengkapan lainnya adalah sapu (destar/ikat kepala) dari kain songket yang biasanya diberi tambahan hiasan keemasan yang diselipkan pada ikatan sapu bagian depan. Dan dari balik punggungnya, sedikit melewai bahu sebelah kanan, tersembul keris panjang.

Busana Tradisional Semawa dan Bima Semawa and Bima Traditional Dress Penulisi Aat Soeratin Masyarakat asli Pulau Sumbawa terkenal memiliki kain songket hasil keterampilan para penenun yang diperoleh akibat persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat Bugis. Songket Sumbawa umumnya menggunakan benang emas, benang perak, juga benang katun. Yang kita kenal sebagai kain selungka, misalnya, adalah songket yang menggunakan benang emas dan perak, dan tampilannya menyiratkan pengaruh kebudayaan Bugis. Jenis lainnya, antara lain, kain tenun motif kotak-kotak yang disebut mbali pida, dan ^. Seperti halnya saudara mereka di Pulau Lombok, estetika masyarakat Sumbawa pun melahirkan corak hias simbolis, stilasi bentuk flora untuk kain perempuan dan penggayaan bentuk fauna atau manusia pada kain kaum lelaki. Kain songket inilah yang kemudian memberi aksentuasi yang khas pada pakaian adat masyarakat Sumbawa. Dalam kesehariannya kaum perempuan masyarakat Semawa mengenakan kain sarung bermotif kotak-kotak (tembe lompa) warna hitam dan merah. Bajunya disebut lamung pene, baju serupa kebaya polos sederhana, berlengan pendek. Para prianya memakai sarung pelekat, baju lengan panjang, dan berkopiah. Sedangkan para wanita masyarakat Bima dan Dompu memakai baju poro, baju polos tanpa hiasan, berkain sarung palekat yang ditenun dengan hiasan corak kota-kotak kecil. Terkadang mengenakan rimpu (kerudung penutup rambut). Adapun para lelakinya memakai sarung pelekat, disebut tembe ngguli, berkemeja lengan pendek atau panjang, dan kadangkala memakai ikat kepala yang dinamai sambolo songke. Akan tetapi, untuk acara-acara adat seperti upacara potong gigi, kematian, perkawinan, dan sebagainya, masyarakat Semawa pun masyarakat Bima merancang busana adat tersendiri. Busana Adat Suku Semawa

Busana adat masyarakat Semawa, dulu, biasanya dikenakan saat mengikuti pelbagai upacara tradisional seperti upacara turun tanah bagi balita yang diharapkan segera bisa berjalan; tradisi potong gigi; naik dewasa (inisiasi) untuk remaja yang memasuki masa akil balig; upacara adat eneng hujan (memohon hujan); dan sebagainya. Sekarang, upacara-upacara tersebut masih dilakukan dan pakaian adat pun masih dikenakan para peserta upacara meski tak seketat kebiasaan masa lalu. Lamung pene adalah sebutan untuk baju adat kaum perempuan, semacam kebaya berlengan pendek dari kain halus. Paduannya adalah kre alang, kain sarung songket yang dipakai sebatas mata kaki dan ikat pinggang (pending) perak. Pada bahu kiri disampirkan sapu to`a, sejenis sapu tangan dan aksesorinya berupa kalung leher, bengkar troweh (hiasan telinga), gelang tangan. Dan para gadis yang belum menikah biasanya memakai kerudung. Kaum prianya memakai lamung seperti jas tutup berlengan panjang, saluar belo (celana panjang) polos tanpa hiasan, ditambah pabasa alang, semacam selendang songket berukuran agak lebar ketimbang selendang biasa, yang difungsikan sebagai dodot. Dan ikat kepala, yang disebut sapu, dibuat dari tenunan benang katun bermotif kotak-kotak. Buhul ikatan sapu pada kening ada di bagian belakang kepala sedangkan untuk bagian depan kepala sudut sapu dipasang tegak sehingga tampak tinggi dan meruncing.

Busana Pengantin Suku Semawa Mempelai wanita dari golongan bangsawan mengenakan busana adat berupa lamung (baju) lengan pendek bermodel baju bodo Sulawesi dari kain halus dan berhiaskan sulaman benang emas berbentuk cepa (bunga) hampir di seluruh bidang baju. Pada bahu sebelah kiri disampirkan kida sanging, semacam saputangan yang diberi hiasan motif dedaunan dari benang perak atau emas. Pakaian Bawahnya tope belo (rok panjang) dan tope pene (rok pendek), juga berhiaskan cepa, yang dipakai secara bertumpuk. Aksesori lainnya adalah sua`, hiasan kepala dilengkapi kembang goyang. Sanggul rambutnya disebut puyung lakang. Dan perhiasan yang dipakai berupa gelang tangan bernama ponto atau kelaru, kalung, anting-anting, dan hiasan kuku ibu jari tangan kiri dari emas yang dibentuk seperti kuku panjang, yang disebut sisin kuku. Kakinya beralaskan selop. Pengantin prianya memakai gadu, baju berlengan panjang warna hitam berhiaskan cepa emas. Simbangan adalah selempang kain yang disilangkan di atas baju, terbuat dari kain merah diberi hiasan motif bunga. Pakaian bawahnya saluar celana panjang berwarna hitam dengan aplikasi hias pada pinggiran kaki celananya. Ditambah tope, semacam rok dari kain halus berwarna merah berhiaskan cepa emas yang agak besar. Ikat pinggang (pending) emas dikenakan untuk menahan tope. Kepalanya bertutup mahkota yang dibuat dari kain yang dilipat-lipat, dibentuk seperti kipas, berhiaskan cepa emas sehingga tampil sangat artistik. Mahkota itu disebut pasigar. Dan keris disengkelitkan pada pending, disimpan di bagian muka badan.

Busana Adat Suku Bima Untuk menghadiri upacara adat inisiasi, potong gisi, kematian, perkawinan, dan sebagainya, kaum wanita masyarakat Bima mengenakan busana adat yang selengkapnya terdiri dari baju, kain panjang, berbagai aksesori, dan alas kaki. Bajunya disebut baju poro yang dibuat dari kain tipis namun tidak tembus pandang, biasanya berwarna hitam, biru tua, coklat tua, ungu. Bersarung pelekat, tembe kafa, corak mbali pida hingga menutup mata kaki. Aksesorinya berupa gelang tangan, anting-anting, dan semacamnya, namun tidak boleh berlebihan. Kaum prianya memakai kemeja lengan pendek atau model jas tutup berlengan panjang berwarna hitam, putih, atau warna-warna cerah lainnya. Bersarung pelekat tembe kafa mbali pida, dipinggangnya dililitkan salampe berwarna dasar putih, kuning, merah, atau hijau. Dan lelaki dewasa biasanya menyengkelitkan pisau mone (pisau khas Bima), pada salampe, di bagian depan badan.

Busana Pengantin Suku Bima Pakaian pengantin yang banyak dipakai masyarakat Bima sekarang adalah jenis busana tradisional yang dulu hanya untuk golongan bangsawan dan golongan menengah saja. Busana pengantin golongan menengah dan golongan bangsawan Bima pada dasarnya hampir tidak berbeda. Hanya saja kelengkapan busana atau aksesori yang dipakai pengantin dari golongan menengah relatif lebih sedikit, sehingga tampil lebih sederhana. Berikut ini uraian serba singkat mengenai busana tradisional pengantin golongan bangsawan Suku Bima. Mempelai wanitanya mengenakan baju poro rante yang dibuat dari kain halus berwarna merah dengan taburan cepa benang emas di seluruh permukaan baju dan memakai tembe songke, sarung songket. Selepe, ikat pinggangnya, berwarna keemasan. Tangan kanannya memegang pasapu (saputangan) dari kain sutra bersulamkan benang perak. Rambutnya disanggul, diberi hiasan unik yang dinamai karaba. Karaba dibuat dari gabah (bulir padi yang belum dikelupas kulitnya) yang digoreng tanpa minyak sehingga mekar dan nampak warna putih berasnya secara dominan. Karaba ini kemudian ditempelkan pada rambut dengan perekat malam atau lilin hingga warna putihnya nampak mencolok di atas hitamnya rambut. Tataan rambut berhiaskan karaba ini disebut wange. Sedangkan aksesori lainnya juga berwarna keemasan berupa bangka dondo (anting-anting panjang), dan ponto (gelang tangan). Pengantin pria memakai pasangi yaitu baju dan celana yang terbuat dari kain yang sama, yang berhiaskan cepa dan sulaman benang emas. Kemudian siki, sebutan untuk kain songket (tembe songke), dipakai, seperti memakai sarung, sebatas lutut. Penahan siki adalah baba, kain berukuran lebih lebar ketimbang ikat pinggang biasa, yang juga berfungsi untuk menyelipkan keris. Di atas baba dilingkarkan selepe mone, ikat pinggang dari logam keemasan. Keris yang pada hulunya diikatkan saputangan berhiaskan sulaman benang perak, seperti ditulis di muka, diselipkan pada baba. Baju pengantin laki-laki lainnya adalah karoro, semacam jubah hitam dihiasi cepa berwarna keemasan. Mahkotanya disebut siga (sama dengan pasigar, mahkota pengantin pria Semawa) Namun ada tata cara yang agak khusus untuk pemakaian karoro Yakni mempelai pria tidak boleh memakai karoro sekaligus dengan siki. Karoro biasanya hanya dimiliki oleh sultan atau para petinggi Kesultanan Bima.

Busana Tradisional Makassar Makassar Traditional Dress Penulis Jaya Purnawijaya Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar. Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri. Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis. Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya. Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau. Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.

Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria. Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu. Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii. Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.

Busana Tradisional Busana Tradisional Mandar Mandar Traditional Dress Penulis Siti Dloyana Kusumah Suku Bangsa Mandar terbilang penduduk asal di propinsi Sulawesi Selatan, dan mempunyai peranan sama pentingnya dengan tiga suku bangsa lainnya yaitu Bugis, Makassar dan Toraja. Orang-orang Mandar menempati wilayah administratif kabupaten Mamuju, kabupaten Majenen dan kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Menurut catatan sejarah, pada abad ke-XV wilayah Mandar ini meliputi Kerajaan Balanipa, Majeng, Pembauang dan Cenrana di pantai utara Teluk Mandar, serta wilayah di bagian utara Selat Makassar. Jadi tidak mengherankan apabila masyarakat suku bangsa Mandar mempunyai tradisi berbusana yang sangat indah dan mencerminkan kebesaran suku ini di masa silam. Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Mandar sangat memperhatikan ketentuan adat dan tradisi yang telah dijalani selama berabad-abad lamanya. Salah satu contoh yang tetap bertahan hingga kini antara lain adalah tata cara berbusana. Masyarakat Mandar sangat membedakan busana untuk anak-anak, remaja dan orang tua, begitu pula busana rakyat biasa dengan kalangan bangsawan akan berbeda. Dalam berbusana , wanita Mandar akan mengenakan sarung sutera berwarna hitam atau putih. Ciri khas sarung tenun Mandar adalah motif kotak-kotak besar dan kecil dengan hiasan warna emas pada garisgarisnya. Bajunya kebaya pendek berlengan tiga oerempat, terbuat dari bahan sutera atau kain halus lain tetapi tidak tembus pandang, dengan ukuran panjang melampaui pinggul atau kurang lebih lima centimeter di bawah pusar. Hiasan yang mempercantik penampilan adalah penambahan kepingankepingan logam warna emas di seluruh pinggiran kebaya atau kepingan-kepingan bulat di seluruh permukaan kebaya. Kelengkapan busana lainnya adalah penggunaan sehelai selendang tipis yang ujung-ujungnya dihiasi dengan bundaran-bundaran emas atau perak. Tali ikat dari kain yang berfungsi untuk mengencangkan lilitan sarung, kipas dan berbagai perhiasan dari emas. Dalam kesempatan menghadiri upacara adat, wanita Mandar pada umumnya mengenakan perhiasan meliputi, kalung emas yang berjuntai agak panjang, dengan hiasan liontin atau medalion besar. Gelang berukuran besar yang dipakai masing-masing lima buah di tangan kanan maupun di tangan kiri. Pada bagian pinggang, setelah mengencangkan lilitan sarung dengan tali kain, kemudian ditutup dengan pending yang terbuat dari logam berwarna emas dengan gesper berhias di bagian depan. Untuk tata rias rambut dan kepala, wanita Mandar membuat sanggul yang letaknya agak rendah dengan hiasan tusuk sanggul emas dan kembang goyang, Namun dalam keadaan yang lebih resmi, tata rias rambut dan kepala akan ditambah dengan beberapa aksesori seperti, rambut ditata dengan model sasak sedikit tinggi (sigara). Ada pula sanggul agak rendah, berhias tusuk konde dan di bagian pelipis kanan diselipkan serangkaian kembang goyang berwarna emas. Sederet bunga serampa dan bunga seruni menghiasi seputar sanggul. Untuk wanita yang usianya agak tua, menggunakan giwang emas berukuran besar dan di antara lubang telinga dengan giwang diselipkan sejumput kapas putih, adapun wanita muda umumnya lebih menyukai anting-anting yang berderet-deret dan menjuntai di kedua telinganya. Semua kalangan masyarakat Mandar, tua maupun muda, menggunakan alas kaki berupa selop atau sepatu

pantovel berwarna hitam. Busana pria Mandar lebih sederhana karena hanya terdiri dari baju jas tutup terbuat dari bahan sutera bercorak bebas dengan warna hitam atau warna cerah. Paduannya kain sarung tenun Mandar atau seringkali ada yang memakai celana panjang kemuidian ditutup dengan sarung hingga sebatas lutut. Untuk penututp kepala, pria Mandar menggunakan kopiah atau lazim disebut songkok tobone dengan warna yang serasi antara baju bagian atas dengan jas atau sarungnya. Pria Mandar melengkapi busananya dengan melekatkan rantai emas yang diberi liontin atau medalion dari taring macan bahkan bisa juga terbuat dari taji ayam. Hiasan tersebut diselipkan sebagian di saku jas tutupnya dan sebagian lagi dibiarkan menjuntai ke luar. Alas kaki yang dipakai biasanya sepatu pantovel atau sandal yang dibuat dari kulit.

Busana Tradisional Tana Toraja Tana Toraja Traditional Dress Penulis Mira Indiwara Pakan, Ria Andayani Somantri Toraja merupakan salah satu suku bangsa terbesar yang menempati kawasan Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Toraja yang menjadi tempat menetap sebagian besar suku tersebut, tercatat sebagai tempat tujuan wisata budaya yang memiliki keunikan tersendiri, dengan kekuatan tradisi dan adat istiadat sebagai daya tarik utamanya. Sebagai kelompok masyarakat yang cukup konsisten dalam memelihara dan mempertahankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka, tentu saja tidaklah heran bila hingga saat ini mereka masih tetap menyelenggarakan berbagai upacara adat dan tradisi lainnya. Dengan tetap memelihara adat istiadat seperti itu, secara tidak langsung juga dapat mempertahankan keberadaan berbagai aspek yang terkait erat di dalamnya, busana misalnya. Bagaimana pun juga busana merupakan salah satu kelengkapan yang cukup penting dalam penyelenggaraan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan tradisi. Busana yang dikenakan oleh warga masyarakat Toraja dalam berbagai kesempatan, mulai dari aktivitas seharihari hingga yang bersifat ritual, pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yakni busana pria dan busana wanita. Hanya saja hal penting yang memberi nuansa pada karakteristik busana tersebut adalah berkaitan dengan tujuan atau makna acaranya, aktivitas sosial dan stratifikasi sosial. Ketentuan adat di Toraja membedakan dua suasana yang menyertai penyelenggaraan berbagai upacara adat. Pertama adalah yang berdasarkan adat rambu tuka, yakni pelaksanaan upacara adat yang erat kaitannya dengan suasana kegembiraan atau memiliki makna kebahagiaan. Misalnya dalam upacara panen padi, memasuki rumah baru, dan upacara pernikahan. Pada kesempatan seperti itu, busana yang dikenakan akan tampil warna-warni, terutama menggunakan warna kuning sebagai warna dasarnya. Sementara itu, berdasarkan adat rambu solo,

upacara-upacara yang diadakan memiliki makna kesedihan, seperti yang terlihat pada penyelenggaraan upacara kematian dikenakan busana serba hitam. Secara umum, busana adat pria Toraja terdiri atas baju atau bayu, celana atau sepa tallu buku, tutup kepala, dan sarung atau sambuk. Baju yang dikenakan oleh kaum pria Toraja dapat dibedakan ke dalam dua model. Bila baju tersebut berlengan pendek maka dinamakan kondi limanan, yang khusus digunakan pada saat bekerja, seperti di sawah dan membangun rumah. Adapun jika berlengan panjang disebut kalando limanan, terutama digunakan pada acara-acara yang bersifat resmi seperti pertemuan dan pesta. Celana yang dipakai oleh kaum pria, jenisnya dapat dibedakan menurut aktivitasnya. Untuk bekerja menggunakan celana pendek dan untuk kesempatan resmi memakai celana panjang. Sarung, sebagai bagian integral dari busana adat pria, berhubungan erat dengan kedudukan sosial seseorang di dalam lingkungan masyarakatnya. Misalnya sambuk busa, yakni sarung berwarna putih yang hanya dapat dipergunakan oleh kaum pria yang menempati kedudukan sosial tinggi. Bahkan akan disebut busana adat resmi para bangsawan Toraja, bila penampilannya dilengkapi dengan jas hitam dan destar atau tutup kepala. Selain itu, ada juga sarung yang hanya berfungsi sebagai penghangat badan, yang disebut sambuk langkan. Cara mengenakan sarung-sarung tersebut cukup beragam, bisa dibiarkan terjurai hingga mata kaki, diikatkan di pinggang atau, atau hanya disampirkan di bahu. Sama halnya dengan sarung, keberadaan tutup kepala pun beragam pula jenisnya dan berbeda pula peruntukannya. Passapu, adalah tutup kepala yang terbuat dari kain batik dan hanya digunakan oleh golongan bangsawan, khususnya para sesepuh masyarakat; tali-tali biang, yaitu tutup kepala dari jenis tanaman tertentu yang dikenakan oleh para orang tua atau orang yang telah dewasa; dan tali banu , yakni semacam tutup kepala yang terbuat dari kulit bambu dan dipakai oleh anak muda. Kedua jenis tutup kepala yang disebutkan terakhir pun hanya dikenakan oleh mereka yang termasuk ke dalam lapisan atas. Sementara itu, yang bisa dikenakan oleh siapa pun disebut pote. Ikat kepala ini biasanya dipakai oleh kaum pria dari keluarga yang sedang berkabung, dalam acara adat orang meninggal. Perhiasan dan kelengkapan busana lainnya yang dipakai oleh para pria Toraja meliputi manik kata dan rara atau perhiasan sejenis kalung; tas pinggang yang berfungsi sebagai ikat pinggang tempat menaruh pedang atu parang; sepu, yakni tas kecil untuk menyimpan sirih; dan passapo timbo, yaitu keris yang dibawa pada waktu mereka akan menikah. Sementara itu, busana adat wanita Toraja terdiri atas baju atau bayu untuk bagian atasnya, dan sarung atau dodo untuk bagian bawahnya. Berdasarkan fungsinya, baju wanita dibedakan ke dalam tiga model. Pertama bayu poko, yakni baju berlengan sangat pendek hingga mendekati bahu pemakainya dan dipakai untuk bekerja di dapur atau di sawah. Kedua bayu bussuk siku, yaitu baju dengan bentuk lengan yang sangat ketat atau pas menempel di tangan serta tingginya di atas sikut. Baju tersebut dikenakan sebagai pakaian sehari-hari, pakaian resmi, atau pakaian pesta, dengan perbedaan hanya terletak pada kualitas bahannya. Ketiga adalah bayu kalandon limanan, yaitu jenis baju yang biasa digunakan oleh wanita tua pada saat cuaca sedang dingin. Penggunaan semua jenis baju yang telah disebutkan tadi, biasanya disertai dengan sarung yang dinamakan dodo. Cara memakai sarung untuk kaum wanita pun sangat sederhana, hanya dengan cara melipatnya dari sebelah kiri ke sebelah kanan. Kaum wanita Toraja tampaknya cukup gandrung mengenakan perhiasan untuk menambah keindahan penampilan mereka dalam berbusana. Terbukti dari beragamnya aksesori yang biasa dikenakan oleh mereka, mulai dari hiasan di kepala, leher, bahu, pinggang, lengan, hingga jari jemari. Selain memperlihatkan fungsi estetis, ada kalanya unsur perhiasan yang dikenakan oleh mereka pun memiliki makna simbolis tertentu. Beberapa contoh asesoris yang terletak di kepala di antaranya sa`pi, yakni ikat kepala; tali pang`kabi, yaitu hiasan pada sanggul; dan sarong atau tudung kepala. Perhiasan di leher meliputi beraneka macam kalung seperti rnastura, yakni kalung yang terbuat dari emas, perak, atau tembaga dan; oran-oran atau kalung berbentuk batang padi yang terbuat dari logam dan manik-manik; manik kata; rara; dan pa`toko. Aksesori di lengan terdiri atas gelang atau komba dalam berbagai bentuk dan cincin. Perhiasan dari manik-manik yang dipakai di bahu disebut sokong bayu, dan yang diletakkan di pinggang dinamakan ambero. Selain itu, ada juga tas kecil atau sepu, yakni

tempat menyimpan peralatan menginang yang biasanya digantungkan di bahu. Adapun keris atau gayang, merupakan kelengkapan busana yang harus dibawa pada saat seorang wanita menikah.

Busana Tradisional Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow Traditional Dress Penulis Ria Andayani Somantri Busana adat tradisional daerah Bolaang Mongondow, sangat erat kaitannya dengan latar belakang kehidupan masyarakat pada masa lalu. Secara historis wilayah ini terbentuk dari penggabungan empat kerajaan yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Keempat kerajaan tersebut terdiri atas Kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, dan Kerajaan Kaidipang Besar. Struktur masyarakat dengan kehidupan bernuansa kerajaan pada waktu itu, melahirkan stratifikasi sosial yang tegas. Masyarakat terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial, mulai dari golongan rakyat biasa hingga kaum bangsawan yang menempati kedudukan paling tinggi di dalam masyarakat. Aktualisasi dari semua itu, tampak jelas antara lain pada busana warga masyarakat daerah Bolaang Mongondow yang dikenakan pada kesempatan-kesempatan tertentu, atau yang kini lebih dikenal sebagai busana adat tradisional mereka. Pada masa itu, ketentuan adat mengatur setiap anggota masyarakat agar menggunakan busana sesuai dengan kedudukan nya. Oleh karena itu, tidaklah heran bila busana adat mereka relatif lebih banyak karena setiap lapisan masyarakat memiliki busana tersendiri. Busana yang pada umumnya dikenakan oleh kaum bangsawan terlihat lebih beragam bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan kegiatan sosial mereka yang sarat dengan acaraacara seremonial, yang berhubungan dengan kegiatan kerajaan maupun yang berkaitan dengan upacara di seputar lingkaran hidup mereka. Beberapa contoh di antaranya adalah busana kebesaran raja atau busana yang dipakai oleh golongan bangsawan pada saat berlangsung upacara penobatan raja, menerima tamu-tamu kerajaan, menghadiri undangan-undangan resmi, atau busana yang khusus digunakan untuk bekerja; busana bayi; busana

pengantin, pengantin wanita maupun pengantin pria; dan busana yang dikenakan pada saat upacara kehamilan dan kematian. Sementara itu, ada beberapa contoh busana adat lainnya yang dipakai oleh mereka yang berasal dari golongan di luar bangsawan. Misalnya, busana kohongian, yakni busana yang pada masa itu dikenakan oleh anggota masyarakat yang menempati status sosial satu tingkat di bawah kaum bangsawan, tepatnya digunakan pada upacara perkawinan; busana simpal, yaitu busana yang khusus digunakan oleh warga masyarakat yang termasuk ke dalam golongan pendamping pemerintah dalam kerajaan. Sama halnya dengan busana kohongian, busana simpal pun dikenakan pada upacara perkawinan; Busana kerja guha-ngea, yaitu busana kerja para pemangku adat yang dipakai pada saat berlangsung upacara-upacara kerajaan. Selain itu, ada juga busana rakyat biasa yang kerapkali tampak pada saat melakukan panen padi. Melihat wujud busana adat tradsional daerah Bolaang Mongondow, tampak pengaruh Melayu begitu kental dan dominan mewarnai tampilannya. Pada umumnya, busana yang dikenakan oleh kaum wanita terdiri atas kain dan kebaya atau salu, sedangkan busana kaum prianya meliputi ikat kepala atau mangilenso, baju atau baniang, celana dan sarung tenun. Secara umum, busana adat yang dikenakan oleh kaum bangsawan maupun golongan masyarakat lainnya tampak serupa. Akan tetapi, ada bagian busana yang dapat membedakan kedudukan seseorang. Hal tersebut terletak pada detil pakaian, kelengkapan aksesori yang menempel pada tubuh, serta kualitas bahan yang digunakan. Dalam hal ini, busana adat tradisional kaum bangsawan tampil dengan satu citra tersendiri. Detil yang tampak pada busana mereka memang lebih banyak bila dibandingkan dengan busana dari kelompok masyarakt lainnya. Sama pula halnya dengan aksesorinya yang demikian lengkap. Keberanian dalam memilih warna-warna busana yang terang dan mencolok seperti merah, ungu, kuning, keemaasan, dan hijau dipadu dengan aksesori yang terbuat dari emas, serta kualitas bahan yang paling baik, tidak diragukan lagi melahirkan satu sosok busana yang cukup indah dan menawan. Salah satunya tampak pada busana kebesaran raja berikut busana pengantinnya. Kekhasan lain yang tampak istimewa terletak pada ikat kepala pria yang menjulang tinggi, seakan ingin mengukuhkan kedudukan mereka yang menempati tingkatan sosial tertinggi. Selain busana kebesaran seperti itu, para bangsawan pun memiliki busana kedukaan, yakni busana berwarna hitam yang dikenakan pada waktu menghadiri upacara kematian. Dalam hal ini, pemilihan warna sangat dominan untuk mengekspresikan emosi mereka pada saat-saat seperti itu. Di samping itu, juga ada larangan untuk mengenakan berbagai perhiasan jenis apa pun. Adapun busana yang biasa dikenakan oleh anggota masyarakat di luar golongan bangsawan, tentu saja tampilannya berbeda dengan busana milik para bangsawan. Semakin rendah status seseorang di dalam tingkatan sosial masyarakatnya, semakin sederhana pula busana yang mereka miliki. Kesederhanaan tersebut tampak dari kulitas bahan yang dipakai, detil busana, serta aksesorinya. Khusus mengenai perhiasan, mereka yang termasuk ke dalam lapisan kohongian atau golongan simpal tidak mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas melainkan perhiasan perak. Bahkan akan jauh lebih sederhana lagi pada busana adat yang boleh dikenakan oleh rakyat biasa. Dalam hal ikat kepala pria misalnya, ketinggian ikat kepala akan lebih rendah daripada ikat kepala yang dipakai oleh kaum bangsawan. Meskipun saat ini pemahaman warga masyarakat Bolaang Mongondow terhadap fungsi busana adat tradisional mereka tidak setegas dahulu, informasi di balik keberadaan busana tersebut memang selayaknya tidak sirna. Pemilihan dan penentuan unsur berikut kelengkapan busana adat tradisional daerah tersebut, memang tidak terlepas dari simbolisasi sebuah makna yang ingin disampaikan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem religi, atau bahkan berhubungan erat dengan sejumlah fenomena sosial pada masa itu. Busana Tradisional Sangir-Talaud Sangir-Talaud Traditional Dress Penulis Ria Andayani Somantri Menurut asal katanya, nama Sangir-Talaud secara keseluruhan berarti orang yang berasal dari laut atau samudra. Sedangkan menurut asal-usulnya, terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Ada

yang menyebutnya sebagai bagian dari rumpun bangsa Melayu-Polenisia yang berpindah lewat Ternate, sebagai penduduk asli Sulawesi Utara, penduduk keturunan bangsa Filipina, atau bahkan campuran dari sejumlah suku bangsa tertentu. Namun terlepas dari semua itu, orang Sangir-Talaud saat ini merupakan sekelompok masyarakat yang menempati wilayah Sulawesi Utara Sekitar abad ke-16, penduduk Sangir-Talaud terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Kepulauan SangirTalaud. Setiap kerajaan selalu berusaha memperluas wilayah dan pengaruhnya dengan mengadakan perkawinan penduduk antarkerajaan. Keberadaan kerajaan-kerjaan itu sendiri memberi nuansa yang khas pada kebiasaan warga masyarakatnya dalam hal berbusana. Ada busana adat yang sering dikenakan dalam berbagai kesempatan yang erat kaitannya dengan tradisi masyarakat setempat seperti perkawinan, peminangan, penasbihan desa, atau bahkan untuk pakaian sehari-hari. Nama busana tersebut adalah laku tepu, yakni baju panjang yang biasa dikenakan oleh wanita maupun pria. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran panjang baju dan pasangannya. Untuk kaum wanita panjangnya bisa mencapai betis, dengan penutup bagian bawahnya menggunakan kain sarung. Sementara itu, untuk kaum pria bisa mencapai telapak kaki atau hanya sebatas lutut, dengan celana panjang sebagai penutup pada bagian bawahnya. Laku tepu pada umumnya berwarna terang dan mencolok se-perti merah, ungu, kuning tua, dan hijau tua. Baju jenis ini, pada zaman dulu terbuat dari kain ,kofo dengan dua bahan baku utamanya adalah serat manila hennep dan serat kulit kayu. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan, sebelum dijahit harus dicelupkan ke dalam cairan air nira untuk warna merah misalnya, dan daun-daunan atau akar-akaran tertentu yang dapat menghasilkan warna biru, hijau, kuning, atau merah darah. Namun saat ini, keberadaan kain kofo telah digantikan dengan berbagai bahan lainnya yang sesuai untuk dibuat baju panjang. Namun warna yang dipakai masih tetap mengacu pada tradisi sebelumnya, yakni warna terang dan mencolok. Satu hal yang cukup penting dan dapat membedakan upacara yang satu dengan yang lainnya adalah kelengkapan busana. Dalam hal ini upacara perkawinan merupakan satu momen yang dapat memperlihatkan busana adat daerah Sangir-Talaud secara lengkap. Busana adat pengantin pria terdiri atas celana panjang dan laku tepu yang panjangnya hingga lutut atau telapak kaki, di kanan kiri baju terdapat belahan yang tingginya mencapai pinggul, krah baju berbentuk bulat dan terbelah di bagian depannya, serta berlengan panjang. Kelengkapan busana yang dikenakan oleh pengantin pria meliputi kalung panjang atau soko u wanua, keris (sandang) yang diselipkan di pinggang sebelah kanan, ikat pinggang atau salikuku yang terbuat dari kain dengan simpul ikatan ditempatkan di sebelah kiri pinggang, dan ikat kepala berbentuk segitiga. Khusus untuk ikat kepala, bagian yang menjulangnya diletakkan di bagian depan kepala. Adapun ujungnya diikatkan di belakang kepala. Sementara itu, busana adat pengantin wanita terdiri atas kain sarung lengkap dengan baju panjang atau laku tepu yang berlengan panjang, krah baju berbentuk bulat, dan terbelah di tengah pada bagian belakangnya. Kelengkapan buasana lainnya yang dipakai oleh mempelai wanita adalah sepatu atau sandal, sunting (topotopo) yang dipasang tegak lurus pada konde di atas kepala, gelang, antinganting, kalung panjang bersusun tiga yang disebut soko u wanua, serta selendang (bawandang liku). Khusus untuk selendang, pemakaiannya disampirkan di bahu kanan melingkar ke kiri dengan salah satu ujungnya terurai sampai ke tanah, dan ujung yang satunya lagi dapat dipegang. Saat ini, keberadaan kain sarung yang dikenakan untuk menutup badan bagian bawah, kerap diganti dengan rok panjang yang sudah dilipit (plooi). Selain pada kelengkapan busana pengantin, kekhasan lainnya juga tampak pada kelengkapan busana yang dikenakan pada upacaraupacara ritual maupun formal lainnya. Pada saat menghadiri acaraacara tersebut, kaum pria mengenakan busana adat yang terdiri atas baju panjang, celana panjang, ikat pinggang, dan yang teristimewa di sini adalah ikat kepala. Keberadaan ikat kepala di sini biasanya melambangkan status atau kedudukan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini, pemakaian ikat kepala sebagai simbol pembeda status sosial seseorang masih tetap berlaku. Dalam hal ini, ada beberapa contoh ikat kepala yang melambangkan status sosial pemakainya seperti paporong lingkaheng yang melambangkan pemakainya tidak

memiliki kedudukan di dalam masyarakat; paporong tingkulu, yang menandakan pemakainya seorang pegawai pemerintah; paporong datu bouwawina, yakni ikat kepala yang digunakan oleh raja atau pejabat pemerintah tertinggi; dan beberapa jenis ikat kepala untuk para penari. Sementara itu, busana adat yang dikenakan oleh kaum wanita pada berbagai upacara ritual atau acara formal meliputi baju panjang berikut pelengkap utamanya yaitu selendang. Seperti halnya ikat kepala pada busana adat pria, selendang memiliki makna simbolis yang erat kaitannya dengan status sosial pemakainya. Perbedaan status sosial yang ada di dalamnya tampak pada cara pemakaian selendang. Seorang wanita yang berstatus sebagai permaisuri, biasanya mengenakan selendang yang terbuat dari kain kofo berwarna kuning tua dan merah. Selendang tersebut dinamakan kaduku, yang panjangnya mencapai dua meter dengan lebar 15 sentimeter. Cara memakainya, yakni dengan menempatkan selendang sebelah menyebelah bahu. Pemakaian dengan cara seperti ini dilakukan pula oleh seorang gadis yang akan menikah, hanya saja pada bagian kepalanya diberi atau disematkan perhiasan tertentu. Berbeda halnya dengan cara memakai selendang yang dilakukan oleh para istri bangsawan, yakni hanya dengan menyampirkannya di bahu sebelah kanan.

Busana Tradisional Gorontalo Gorontalo Traditional Dress Penulis Jaya Purnawijaya Gorontalo adalah salah satu suku bangsa yang tinggal di wilayah Sulawesi Utara. Sekarang wilayah itu termasuk dalam wilayah administratif Daerah Tingkat II Kabupaten Gorontalo dan Kodya Gorontalo. Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari pengembara yang turun dari langit, yang disebut hulontalangi. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, daerah Gorontalo sudah mendapat pengaruh dari Ternate,

Tidore dan Bugis yang datang lebih dulu. Hat ini terlihat dari agama Islam yang dianut dan cara berpakaian. Sama halnya yang dialami dengan pembuatan bahan sandang, cara berbusana orang Gorontalo pun dari masa ke masa mengalami perkembangan. Sehingga, kalau berbicara mengenai busana adat, maka acuannya adalah busana yang dikenakan pada upacara-upacara resmi, seperti menghadiri pesta atau busana yang dipakai oleh mempelai dalam suatu upacara perkawinan. Busana Adat Perkawinan Dalam melaksanakan rangkaian upacara adat perkawinan pada masyarakat Gorontalo, pengantin wanita maupun pria memakai beberapa jenis busana yang disesuaikan dengan tahapan upacara. Tahap pertama adalah upacara mengantar harta (modutu), yaitu penyerahan sejumlah harta berupa uang atau barang kepada pihak mempelai wanita. Pada upacara ini, biasanya mempelai pria hanya tinggal di rumah dengan memakai busana bebas, sedangkan mempelai wanita memakai busana pengantin, disebut wolimomo. Busana wolimomo terdiri dari baju blus berlengan pendek seperti bolero dan kain sarung. Pada bagian depan baju diberi selembar kain yang dirempel, sedangkan bagian lainnya diberi hiasan warna kuning keemasan. Bahan baju wolimomo terbuat dari jenis kain beludru, brokat atau jenis bahan lainnya yang sesuai. Warna baju yang umumnya dipakai adalah warna-warna terang dan mencolok, seperti kuning, merah, hijau dan ungu. Perhiasan dan aksesori yang dipakai pada busana ini adalah tusuk konde (sunthi) yang dibuat dari logam yang disepuh keemasan terdiri dari 12 buah. Bentuk sunthi biasanya menyerupai kepala burung, oleh karena itu disebut sunthi burungi. Busana ini bagi wanita Gorontalo dapat melambangkan peralihan dari masa remaja ke masa ibu rumah tangga. Tahap kedua dalam masa perkawinan adat Gorontalo adalah akad nikah (akaji). Busana yang dipakai oleh pengantin wanita adalah baju madipungu, bisa juga memakai baju gelenggo atau boqo tunggohu. Perbedaan ketiga jenis baju ini terletak pada panjang dan pendeknya lengan baju. Kelengkapan busana madipungu terdiri dari baju, kain sarung dan berbagai aksesori. Bentuk baju madipungu adalah baju blus lengan panjang seperti baju kurung dengan model pada bagian leher membentuk huruf "V". Bahan yang digunakan biasanya kain satin, beludru, brokat atau bahan kain lainnya. Busana bagian bawah berupa sarung atau rok panjang yang dipakai di luar baju. Busana adat perkawinan pada masyarakat Gorontalo sangat kaya akan berbagai perhiasan yang dikenakannya. Aksesori yang menempel di baju maupun perhiasan yang dikenakan menunjukkan status pemakainya. Kelengkapan pada baju madipungu biasanya berupa aksesori, seperti kain lapis dada warna hitam yang dihiasi kuning emas, disebut hamsei; kain beludru warna hitam yang menempel di leher, disebut hotu; selimut (waluto); dan hiasan emas pada baju dan kain (tambio). Sedangkan perhiasan yang dipakai adalah sunthi (tusuk konde) dan huheyidu (hiasan rambut) pada bagian kepala; rante madale (kalung leher) dan padeta (gelang) yang melekat di kedua pergelangan tangan. Busana pria yang dikenakan pada acara akad nikah adalah baju boqo takowa atau takowa, celana panjang (talala) dan aksesori. Bentuk baju sama dengan baju kemeja lengan panjang; tetapi kerahnya berdiri tegak. Di bagian depan baju diberi kancing dan tiga buah saku, satu di kiri atas dan sisanya di bawah. Bagian dada baju dan saku diberi hiasan corak kain krawang dengan memakai benang emas. Seperti halnya baju, celana panjang juga diberi hiasan tambio (hiasan corak keemasan). Sedangkan pada kedua sisi kiri dan kanan celana ditempeli pita warna kuning keemasan disebut pihi. Warna celana yang dipakai biasanya sama dengan baju atas, demikian juga dengan busana yang dipakai oleh pengantin wanita. Warna yang dipilih adalah salah satu dari warna merah, kuning, hijau, ungu dan merah hati. Pilihan warna itu menunjukkan bahwa di masa dulu pernah terdapat lima kerajaan di Gorontalo. Jenis aksesori yang dipakai pada baju takowa adalah payunga, yaitu tutup kepala yang dihiasi kain warna-warni. Aksesori lainnya adalah ikat pinggang (etango), yang terbuat dari emas sepuhan serta keris pusaka (patatimbo) yang diselipkan di bagian depan pinggang.

Rangkaian terakhir dari upacara perkawinan adat Gorontalo adalah bersanding di pelaminan (mopo pipide). Busana yang dipakai oleh pengantin wanita adalah busana kebesaran yang dipakai oleh istri raja di jaman dulu. Busana kebesaran ini disebut biliu, terdiri atas baju lengan panjang, kain panjang atau sekarang dapat diganti dengan rok panjang, aksesori dan perhiasan. Sedangkan busana pengantin pria memakai baju paluwala, yaitu sama dengan baju takowa yang terdiri dari baju dan celana panjang. Perbedaannya terletak pada aksesori dan perhiasan yang digunakan, lebih lengkap dan menunjukkan keagungan. Busana Tradisional Minahasa Minahasa Traditional Dress Penulis Jaya Purnawijaya Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Utara. Dalam kehidupan sehari-hari ada kecenderungan bagi suku bangsa Minahasa untuk menyebut diri mereka sebagai orang Manado. Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama. Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak Baju Ikan Duyung Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci. Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih. Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju. Busana Pemuka Adat Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.

Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet. Bentuk dan jenis busana Tonaas dan Walian Wangko inilah yang kemudian menjadi model dari jenis-jenis pakaian adat Minahasa untuk berbagai keperluan upacara, bagi warga maupun aparatur pemertintah setempat. Jenis-jenis dan bentuk busana di atas merupakan kekayaan budaya Minahasa yang tak ternilai harganya. Selain sebagai penunjuk identitas kebudayaan, busana adat tersebut menumbuhkan kebanggaan bagi masyarakatnya.

Busana Tradisional Muna Muna Traditional Dress Penulis Jaya Purnawijaya Pakaian sehari-hari atau di rumah yang dikenakan oleh kaum pria terdiri atas baju (bhadu), sarung (bheta), celana (sala) dan kopiah (songko) atau dapat diganti dengan ikat kepala (kampurui). Busana ini dapat juga dipakai pada saat berpergian. Baju yang dipakai berlengan pendek dengan model baju seperti sekarang, yaitu terdapat kancing, saku, dan berkerah. Warna baju umumnya putih. Ikat kepala yang dipakai berupa kain bercorak batik. Sedangkan ikat pinggang terbuat dari logam berwarna kuning. Fungsi ikat pinggang ini selain untuk penguat sarung agar tidak mudah lepas, juga untuk menyelipkan senjata tajam. Sarung yang dipakai, biasanya berwarna merah bercorak geometris horizontal berwarna hitam. Kalangan wanita mengenakan busana yang terdiri atas bhadu, bheta, dan kain ikat pinggang yang disebut simpulan kagogo. Bentuk baju dapat berupa baju berlengan pendek dan baju berlengan panjang dengan lubang pada bagian atas baju untuk memasukkan kepala. Bahan baju terbuat dari kain satin warna merah atau biru. Umumnya, untuk pakaian sehari-hari di rumah, wanita Muna memakai baju berlengan pendek yang disebut kuta kutango. Baju berlengan pendek ini diberi hiasan renda pada setiap ujung lengan, sedangkan lubang leher dengan warna kuning emas. Sarung yang mereka pakai umumnya berwarna merah, biru, hitam, coklat atau warna gelap lainnya dengan corak garis-garis horizontal. Perhiasan yang dipakai sebagai kelengkapannya adalah kalung bulat yang terbuat dari logam untuk bagian leher. Gelang yang terbuat dari emas dipakai pada tangan, gelang yang terbuat dari logam warna putih atau kuning dikenakan pada kaki. Sarung yang dipakai oleh wanita terdiri atas tiga lapis. Lapisan dalam adalah sarung atau rok warna putih yang dililitkan di pinggang. Sarung kedua untuk membalut baju, yang dililitkan di dada menjurai sampai dengan di atas lutut. Sarung ketiga atau paling atas digulung melilit dada terkepit ketiak, dan ujung lilitannya dipegang oleh salah satu tangan. Baju katango ini, selain dipakai untuk bepergian dapat juga dipakai untuk menghadiri

pesta-pesta upacara adat atau menerima tamu. Salah satu upacara adat yang hingga saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Muna adalah upacara pingitan gadis (karia). Dalam upacara ini, seorang gadis memakai busana adat beserta perhiasannya yang terdiri dari bhadu, bheta, selendang (salenda), dan ikat pinggang (sulepe). Bentuk bhadu dan bheta yang dikenakan pada upacara ini, sebetulnya tidak berbeda dengan busana sehari-hari wanita Muna. Perbedaannya hanya pada tata rias dan perhiasan yang dikenakannya. Perhiasan yang dipakai terdiri atas gelang tangan (simbi), anting-anting (dali), kalung (tongko), gelang kaki (kurondo), dan sanggul. Sedangkan perhiasan yang terdapat pada sanggul adalah pita pengikat konde (kawutu), tusuk konde (panto), dan kain bersulam benang emas berbentuk pita (kabunsale).

Busana Tradisional Buton Penulis Jaya Purnawijaya Pakaian keseharian orang kebanyakan (golongan walaka) disebut pakaian biru-biru, terdiri atas sarung dan ikat kepala tanpa baju. Agar sarung tampak kuat, maka dililitkan kain ikat pinggang yang diberi hiasan jambuljambul atau rumbai-rumbai disebut kabokena tango. Cara melilitkan ikat pinggang tersebut diatur sedemikian rupa agar rumbai-rumbai tersebut berada di depan. Ikat kepala dililitkan di tengah kepala sehingga membentuk lipatan-lipatan yang meninggi di sebelah kanan kepala, yang disebut biru-biru. Pakaian sehari-hari di kalangan wanita disebut baju kombowa, terdiri atas unsur pakaian baju dan kain sarung motif kotak-kotak kecil yang disebut bia-bia itanu. Bentuk baju berlengan pendek dan tidak berkancing. Sarung yang dikenakan ada dua, bercorak sama tetapi dengan warna berbeda. Sarung yang di dalam dililitkan pada pinggang lebih panjang dari pada sarung yang di luar (tampak berlapis). Perhiasan yang digunakan adalah sanggul yang diberi hiasan. Hiasan sanggul terbuat dari kain atau logam yang berwarna kuning membentuk kembang cempaka. Selain itu, perhiasan yang dipakai adalah gelang, cincin dan anting yang terbuat dari emas. Selain pakaian sehari-hari, masyarakat Buton pun memiliki pakaian khusus yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat tertentu, khususnya yang berhubungan dengan daur hidup manusia. Dua diantaranya yang adalah upacara memingit gadis yang disebut posuo dan upacara sunatan. Upacara posuo merupakan salah satu upacara yang harus dilalui oleh seorang gadis yang telah menginjak dewasa. Pada upacara tersebut, gadis yang dipingit diharuskan memakai busana kalambe yang terdiri atas baju kambowa, sarung dua lapis, ikat pinggang, dan perhiasan logam. Kedua sarung tersebut dililitkan di atas pinggang, dengan penguat lilitan selembar kain ikat pinggang. Adapun yang membedakannya dengan busana untuk upacara lain adalah terletak pada penggunaan perhiasan. Ciri seorang gadis yang sudah dipingit adalah memakai gelang yang sudah dihiasi manik-manik pada pergelangan kirinya disebut kabokena limo. Sementara itu upacara sunatan sebagai bagian penting dari upacara daur hidup seorang pria sbelum mencapai usia remaja atau dewasa. Anak yang akan disunat ini memakai busana adat yang dinamakan ajo tandaki. Tandaki adalah mahkota, dan anak yang boleh memakainya harus berasal dari golongan masyarakat bangsawan (kaomu). Pakaian ajo tandaki terdiri atas mahkota, sarung berhias (bia ibolaki), dan ikat pinggang (sulepe). Mahkota dibuat dari kain merah, manik-manik, bulu burung cendrawasih dan berbagai hiasan dari logam. Berbusana secara lengkap berikut berbagai perhiasannya juga dikenakan oleh kaum wanita yang akan menghadiri upacara resmi, perkawinan misalnya. Mereka memakai baju kambowa serta sarung yang bermotif (bia-bia itanu kumbea). Sarung dililitkan di pinggang membalut atau menutupi sebagian baju. Perhiasan yang dipakai adalah ikat pinggang (sulepe) terbuat dari logam. Perhiasan lainnya adalah gelang di kedua belah tangan, anting-anting di telinga dan kalung menghiasi leher. Pada sanggul dililitkan pita dari kain berwarna merah atau warna baju yang dipakainya. Sanggul seperti ini disebut popungu kelu-kelu,. Kelengkapan busana ini hanya dipakai oleh kalangan wanita bangsawan (kaomu). Penulis Mira Indiwara Pakan

Kaili merupakan salah satu suku bangsa yang menempati wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Pada zaman dahulu, masyarakat Kaili mengenal sistem pelapisan sosial dengan empat tingkatan sosial di dalamnya. Ada golongan raja (maradika), bangsawan (toguua mungana), rakyat kebanyakan (todea), dan budak (batua). Pada setiap lapisan sosial biasanya terdapat sejumlah atribut berupa lambang atau simbol-simbol tertentu. Meskipun saat ini, sistem pelapisan tersebut tidak lagi bertahan sepenuhnya, atribut tersebut masih dapat ditemukan dalam beberapa hat, sekalipun itu tidak banyak. Salah satunya tampak pada unsur busana adat yang menjadi milik masyarakat Kaili. Berbicara mengenai busana adat masyarakat Kaili tampaknya akan lebih didominasi oleh busana yang biasa dikenakan oleh kaum wanitanya. Selain memiliki busana yang cukup beragam, kelengkapan busana berikut aksesori lainnya pun tidak kalah bervariasinya. Sementara itu, gambaran mengenai busana adat pria Kaili tampak jauh lebih sederhana. Busana wanita Kaili, pada zaman dahulu terdiri atas kain sarung lengkap dengan bajunya yang berupa blus berlengan pendek. Bahan baju tersebut beradal dari kain fuya, yakni kain yang terbuat dari serat kulit kayu. Untuk keperluan pakaian sehari-hari, kain fuya yang digunakan agak kasar. Lain halnya dengan kain fuya yang digunakan untuk membuat busana pesta, lebih halus dan dilengkapi dengan hiasan yang berupa aplikasi beraneka warna. Namun kini kain fuya telah ditinggalkan dan diganti dengan bahan katun atau jenis kain lainnya yang dapat dibeli dengan mudah. Busana adat wanita Kaili dapat dibedakan ke dalam tiga jenis model baju, yakni baju poko, baju gembe, dan baju pasua. Busana yang disebut dengan baju poko itu sendiri ada dua macam, yakni baju yang berlengan panjang dan baju yang berlengan pendek. Keduanya sama-sama berleher bundar dan tanpa krah pada baju bagian atasnya. Baju gembe adalah baju yang memiliki bentuk dan potongan sejenis dengan baju bodo yang terdapat dalam kebudayaan Bugis. Adapun gambaran mengenai baju pasua adalah jenis baju yang memiliki bentuk leher bundar, ada belahan pada bagian dadanya dan diberi sejumlah kancing, berlengan panjang dengan kancing pada bagian pergelangan tangannya. Selain baju-baju tersebut, kaum wanita Kaili kerapkali mengenakan kelengkapan busana lainnya yang cukup khas seperti ikat kepala dan tudung kepala. Masyarakat di tempat tersebut menamakan ikat kepala yang biasa dikenakan oleh kaum wanita dengan sebutan tali bonto. Bahan yang digunakan untuk membuat ikat kepala tersebut adalah rotan yang tipis atau fuya. Sementara itu, keberadaan tudung kepala memang mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan kaum wanita Kaili. Biasanya, mereka mengenakan tudung kepala pada saat melakukan kegiatan sehari-hari. Secara fisik, tudung kepala yang biasa dikenakan oleh kaum wanita tersebut berbentuk seperti kerucut, dengan bahan bakunya berasal dari rotan yang dianyam sedemikian rupa. Untuk mempercantik penampilan mereka dalam berbusana, tak lupa dikenakan perhiasan-perhiasan sebagai pelengkapnya, dengan jenis yang cukup beragam. Bahkan khusus untuk kaum wanita bangsawan, perhiasan yang dipilihnya terbuat dari manik-manik atau bahkan juga terbuat dari emas. Jenis-jenis perhiasan itu sendiri pada umumnya berupa kalung bersusun, kalung panjang, pending, bermacam-macam gelang mulai dari lengan hingga siku mereka, pembungkus hasta dan pergelangan tangan, dan hiasan untuk penutup rambut. Berbicara mengenai perhiasan yang biasa dipasang pada bagian kepala kaum wanita Kaili, sangat erat dengan kebiasaan mereka yang gemar menyanggul rambut. Oleh karena itu, tidak heran bila di daerah tersebut terdapat beraneka ragam jenis sanggul. Paling tidak, ada tiga model sanggul yang senantiasa ditampilkan oleh para wanita kaili. Pertama adalah unte tandu, yakni bentuk sanggul tanduk yang biasanya diletakkan di bagian belakang kepala. Jenis sanggul seperti ini hanya diperuntukkan bagi para pengantin wanita saja. Jenis sanggul yang kedua bernama unte pompule pasiki, yakni bentuk sanggul yang didapatkan dengan cara menyisipkan gulungan rambut mereka ke dalam rambut itu sendiri. Model sanggul seperti ini akan tampak pada saat wanita Kaili melakukan berbagai rutinitas kegiatan sehari-hari mereka. Model rambut yang paling terakhir disebut unte pambeo, yakni model sanggul dengan ciri khasnya terletak pada ujung rambut yang disanggul sedikit diuraikan ke bagian samping hingga mencapai bahu.

Bila gambaran mengenai busana adat wanita Kaili begitu kaya akan berbagai informasi di seputar masalah tersebut, justru berbeda dengan kondisi mengenai busana adat kaum pria Kaili. Dengan mengungkapkan profil pria Kaili, akan tampak bagaimana sebenarnya busana adat mereka yang pernah ada selama ini. Busana yang digunakan kaum pria untuk menutupi anggota badan bagian bawah adalah cawat dan celana pendek yang pipa celananya sedikit di atas lutut. Adapun pada anggota tubuh bagian atas kerapkali hanya bertelanjang dada. Namun bila akan bepergian, baru mereka memakai baju untuk menutupi anggota tubuh bagian atasnya. Selain kedua unsur busan tersebut, ada juga kelengkapan busana lainnya yang senantiasa dikenakan oleh mereka. Ada beberapa jenis kelengkapan busana adat pria Kaili, yakni kain sarung, ikat kepala dan kampuh. Unsur yang pertama adalah sarung, yang pemakaiannya tidak dilakukan untuk menutupi badan bagian bawah melainkan hanya disampirkan di bahunya. Tentu saja bukannya tanpa alasan bila mereka mengenakannya seperti itu. Ada satu tujuan utama yang hendak dicapai, yakni untuk menghangatkan tubuh atau berfungsi sebagai penahan hawa dingin. Kelengkapan busana lain yang tidak kalah pentingnya adalah ikat kepala. Secara historis, pemakaian ikat kepala ini sangat erat kaitannya dengan aktivitas mereka di masa lalu, yakni berperang dan tradisi pengayauan. Pada masa itu, memang ada satu kebiasaan masyarakat Kaili untuk memenggal kepala musuh pada saat berperang, yang dikenal dengan istilah mengayau. Ikat kepala yang dipakai oleh kaum pria tersebut memiliki warna yang beragam serta bermotif. Tentu saja pemilihan warna dan motif tersebut akan disesuaikan dengan status sosial pemakainya. Satu kelengkapan lainnya yang senantiasa dibawa oleh kaum pria Kaili adalah kampuh yang berisi sirih pinang dan beraneka macam benda-benda yang digunakan untuk meramal oleh pemiliknya. Salah satu di antaranyanya adalah biji jagung kering. Kampuh yang sarat dengan berbagai macam benda tersebut biasanya dikalungkan pada leher mereka.

Busana Tradisional Masyarakat Dani Dani People Traditional Dress Penulis Aat Soeratin, Jonny Purba Masyarakat Dani mendiami wilayah kabupaten Jayawijaya. Di sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Yapen-Waropen; sebelah Timur Laut dengan kabupaten Jayapura; sebelah Barat Laut dengan kabupaten Paniai; sebelah Barat Daya dengan kabupaten Fakfak; sebelah Selatan dengan kabupaten Merauke, dan sebelah Timur berbatasan dengan negara Papua Niugini (Papua Neuw Guinea/ PNG). Pusat-pusat permukiman orang Dani

umumnya berada di wilayah lembah dan lereng-lereng gunung. Beberapa lembah yang terkenal, antara lain, lembah Baliem (Lembah Agung), Illaga, Dwart, Konda, Illu, Sinak, Mulia, Pas Valley dan Piet River. Kehidupannya mengelompok berbentuk desa yang dinamakan silimo (asilimo). Bentuk rumah tinggalnya disebut honai (honae) untuk laki-laki dan obe-ae rumah khusus kaum perempuan. Di samping itu biasanya terdapat juga humila sebagai dapur tempat memasak dan wam aele sebagai kandang babi. Istilah "Dani" digunakan oleh ekspedisi Sterling tahun 1926, sedangkan sebelumnya disebut "Ndani". Istilah "Ndani" berasal dari kata "Lani" yang digunakan oleh penduduk lembah Baliem Utara dan Barat, yakni masyarakat Moni dan Damal untuk menunjukkan suku tetangganya (masyarakat Dani). Secara etnis masyarakat Dani dikenal dalam dua kelompok yaitu Wita dan Waya. Masyarakat Dani sendiri menamakan dirinya "Nit Baliemege", artinya "Kami orang Baliem". Busana Adat Masyarakat Dani Ada beberapa jenis busana dan tata rias Masyarakat Dani yang sangat khas bila dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di Irian Jaya, di antaranya koteka (holim), yokal dan sali. Koteka (Holim) Koteka atau disebut juga holim adalah pakaian laki-laki masyarakat Dani dan Ekari. Busana penutup alat kelamin pria ini dibuat dari kalabasah, sejenis labu Cina. Buah labu yang sudah tua, dipetik lalu dikeringkan di perapian. Setelah kering, isi buah labu dikeluarkan, dikorek dengan kayu yang diruncingkan, kemudian dibersihkan. Setelah itu buah labu kembali dikeringkan di sekitar perapian. Ketika dikenakan, agar tidak jatuh, penutup kelamin pria ini diikatkan ke seputar pinggang dengan tali halus yang biasanya berwarna hitam. Ada dua ukuran koteka yakni holim kecil (halus) dan holim pendek besar. Jenis koteka kecil terdapat di daerah lembah Baliem, terutama di Kecamatan Wamena Kota, Kecamatan Asologaima dan Kecamatan Kurulu. Ukuran bagian bawahnya sedang dan atasnya runcing. Kadang-kadang bagian ujungnya diberi hiasan bulu burung atau bulu ayam hutan. Hiasan itu untuk menimbulkan daya tarik bagi kaum perempuan. Jenis holim ini halus, berwarna kuning kemerah-merahan. Sebagian masyarakat Dani mengenakan koteka yang ukurannya pendek dan besar. Kalabasah yang berdiameter relatif besar itu dipotong hampir setengahnya sehingga ujungnya bolong (terbuka) yang ketika dipakai biasanya bolong itu ditutup dengan daun. Banyak kemudian yang menambahkan semacam sekat di antara pangkal dan ujung "selongsong" koteka bolong itu untuk tempat menyimpan benda-benda yang dianggap keramat atau bendabenda yang dianggap bernilai tinggi, misalnya "uang merah" (eka merah). Sedangkan jenis holim besar terdapat di lembah Baliem, Ilaga, Tiom, Yalimo, Apalahapsili, Welarak, Kosarek, dan Oholim. Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya adalah "pria sejati". Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. "Kanan" menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memipin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan ejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur). Holim sebagai pakaian sehari-hari digunakan dalam seluruh kegiatan keseharian, seperti waktu mengerjakan ladang, saat berada di honai, ketika berternak babi. Dalam perkembangannya fungsi dan kegunaan holim mulai digantikan dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari tekstil. Namun dalam kegiatan tertentu, upacara adat misalnya, mereka menggunakan holim sebagai pakaian adat sekaligus sebagai perlengkapan upacara. Yokal Sejenis rok wanita masyarakat Dani yang dibuat dari serat tali hutan (tumbuhan rambat) yang dipintal dengan rapi, disebut yokal. Biasanya yokal berwarna hitam, kuning, dan kemerah-merahan. Bahan pewarna tersebut

didapat dari getah kulit atau bunga anggrek. Yokal biasanya dikenakan oleh wanita dewasa yang sudah menikah. Yokal digunakan sehari-hari untuk melakukan pelbagai pekerjaan, seperti mengerjakan kebun, menyiapkan makanan, memelihara babi, mengasuh anak, menjual hasil pertanian, bepergian, termasuk saat mengikuti upacara adat. Yokal melambangkan wanita pemakainya sudah tidak gadis lagi atau wanita yang telah menikah. Yokal dibuat dari kulit kayu wam. Kulit kayu tersebut dikelupas dari batangnya, diambil seratnya kemudian dikeringkan pada perapian atau dijemur pada panas matahari. Selanjutnya dipintal dan dirajut menjadi rok. Diwarnai dengan getah kulit atau bunga anggrek. Pekerjaan ini biasanya dilakukan wanita dewasa. Sali Pakaian sehari-hari anak gadis masyarakat Dani adalah sali yang dibuat dari bahan serat kem atau dari sejenis daun pandan. Seperti proses membuat yokal, bahan tersebut dijemur atau diasapi, setelah kering dianyam pada seutas tali sepanjang seputar pinggang. Sali dipakai dengan cara melilitkannya ke seputar pinggang dan menyimpulkan kedua ujung tali penahannya pada bagian perut (pusar). Sali dipakai sehari-hari oleh anak gadis, misalnya saat ke ladang, ke sekolah, ke gereja. Sali mengisyaratkan pemakainya Tata Rias Masyarakat Dani Yang lebih banyak merias diri pada masyarakat Dani adalah kaum laki-laki. Pada tubuh para lelaki nampak lebih banyak aksesori ketimbang yang dikenakan para perempuan. Konon, karena para lelakilah yang lebih kerap tampil ketika harus berinteraksi dengan masyarakat di luar kelompoknya. Oleh karena itu aksesori yang digunakan mengandung makna simbolik sekaligus menunjukkan identitas pemakai maupun masyarakatnya. Aksesori yang dikenakan para wanita Dani, sehari-hari atau saat upacara adat, antara lain: sekan yaitu gelang yang dibuat dari rotan, dikenakan pada lengan maupun pergelangan tangan. Noken (su labak yapma) yaitu sejenis tas dibuat dari serat kulit kayu yang dianyam menyerupai karung. Biasanya seorang wanita Dani mengenakan sejumlah noken yang digantungkan pada kening dan berjuntai ke punggungnya hingga menutup bagian pinggul. Selain sebagai aksesori, noken berfungsi untuk menyimpan dan mengangkut bahan makanan, gendongan bayi, juga untuk membawa babi. Sedemikian besar fungsinya, sehingga seorang wanita Dani biasanya membawa beberapa noken dengan isi yang berlainan. Noken juga dipercaya sebagai simbol kehidupan dan kesuburan. Perlengkapan merias diri kaum lelaki masyarakat Dani yang dikenakan saat upacara dan aktivitas sehari-hari lainnya, antara lain: swesi, sejenis topi berbentuk bulat dibuat dari bulu burung. Siluki inon, topi dari bulu kuskus warna hitam, yang melambangkan kemahiran berburu dan keberanian. Sekan, gelang anyaman rotan yang dipakai pada lengan maupun pergelangan tangan. Walimo yaitu hiasan dada, dibuat dari anyaman serat kulit kayu yang ketika dikenakan akan nampak seperti dasi. Pada sepenuh permukaan walimo ditempelkan, berderet-deret dan disusun rapi, puluhan rumah siput kecil yang dianggap mampu mendatangkan kekuatan gaib. Benda laut ini didatangkan ke daerah pegunungan melalui sistem barter. Wam maik adalah aksesori dengan bahan taring babi. Dibuat berupa untaian sebagai kalung, atau dibentuk menjadi pipih dan diselipkan pada cuping hidung bagian tengah yang dilubangi sehingga mirip seperti misai panjang. Akseori ini biasanya warisan turun-temurun dari nenek moyang. Ngisi adalah rambut yang dianyam rapi dan dilumuri dengan lemak babi. Ngisi mengisyaratkan pemuda yang telah siap untuk menikah. Wali moken sebutan untuk kulit kerang yang diikat hingga seolah menempel pada dahi seorang laki-laki. Banyaknya kulit kerang menunjukkan jumlah musuh yang dibunuhnya dalam perang suku. Cipat, kalung berupa tali penangkal guna-guna. Wayeske, anak panah dan busur, senjata ampuh pria sejati Dani. Mul, semacam "baju besi" dibuat dari serat rotan yang dianyam rapat sehingga berfungsi sebagai perisai dari tusukan anak panah dan tombak. Sege adalah tombak panjang yang melambangkan pria sejati.

Busana Tradisional Asmat Asmat Traditional Asmat Wilayah pantai (Selatan) Irian Jaya didiami sukubangsa Muyu, Marind, Asmat, dan Mimika. Suku bangsa Asmat adalah suku bangsa terbesar di antara suku-suku bangsa lainnya di bagian selatan Irian, bahkan di kawasan propinsi Irian Jaya. Mereka bermukim di daerah rawa yang sangat luas. Daerah persebarannya meliputi Kecamatan Agats, Sawa Erma, Atsy, dan Pantai Kasuari. Seperti halnya sukusuku bangsa lainnya, masyarakat Asmat merancang dan mengembangkan berbagai jenis busana dan tata rias untuk dipakai seharihari maupun untuk keperluan upacara adat. Jenis atau ragam busana Asmat tidaklah banyak. Sejauh ini yang ditemukan hanya yang berupa "rok mini" dan cawat sebagai penutup aurat kaum lelaki dan perempuan. Laki-laki Asmat biasanya memakai pummi semacam rok mini yang dibuat dari anyaman daun sagu. Rumbai-rumbai pummi dilepas begitu saja hingga terurai di sekeliling pinggul dan paha. Penahan pummi adalah asenem, ikat pinggang dari anyaman rotan. Sedangkan kaum perempuannya memakai tok, semacam cawat atau celana dalam. Tok adalah pummi yang rumbai-rumbai bagian depannya dikumpulkan lalu ditarik ke bagian belakang pinggul melalui celah paha sehingga menyerupai cawat. Untuk menutup payudara, wanita Asmat membuat semacam kutang dari anyaman daun sagu muda yang disebut peni atau samsur. Tali pengikatnya dibuat dari akar pandan, disebut tali bow. Dan peni, dahulu, hanya dipakai oleh istri panglima perang. Busana dan tata rias yang dikenakan juga menunjukkan status sosial maupun jenis kelamin. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin banyak ragam rias yang dikenakannya, dan masing-masing aksesori itu memiliki makna simbolik. Rambut orang Asmat pada umumnya keriting atau bergelombang. Ketika menginginkan rambutnya nampak lurus, mereka menjalinnya hingga bisa "berdiri". Menjalin rambut ini disebut wi atau owusapor dan biasanya dilakukan pria remaja. Pada rambut diselipkan hiasan yang disebut sokmet, bulu bangau yang diikatkan pada

lidi, panjangnya kira-kira 30 cm. Hingga sekarang, sokmet masih dipakai pria Asmat, tanpa membedakan status sosial, terutama ketika mereka berada di dalam jew (rumah panjang). Masyarakat Asmat juga menciptakan semacam topi berbentuk kopiyah/peci/songkok yang terbuka bagian atasnya yang dibuat dari bulu kuskus. Topi ini disebut juprew, biasanya diimbuh hiasan beberapa tangkai sokmet. Ada juga penutup kepala yang dibuat dari anyaman daun sagu dan akar kayu. Topi ini disebut kasuomer dan kerap dihiasi bitwan (kulit kerang). Tali penahan agar kasuomer tidak jatuh dibuat dari jalinan daun sagu muda, disebut wisaper, yang supaya nampak indah dihias bulu burung cendrawasih (jabopan). Aksesori lainnya yang sangat khas adalah subang penghias telinga, subang penghias hidung, kalung, dan gelang yang dipakai pada lengan, pergelangan tangan, dan pangkal betis. Subang penghias telinga disebut jemcankan yang dibuat dari kayu fum atau dari semacam manik-manik biji tumbuhan dek atau omdu atau tisen. Masyarakat Asmat, pun kebanyakan masyarakat asli Irian Jaya, konon, sangat mengagumi burung kakatua raja lantaran satwa ini nampak elok dan gagah. Maka untuk bisa tampil segagah burung yang elok itu mereka, terutama kaum lelaki, melubangi cuping tengah hidung mereka dan "menyumpalnya" dengan aksesori berupa benda yang terkadang berukuran lebih besar daripada lubang hidung, agar ujung hidung tertarik sehingga mancung dan melengkung seperti paruh kakatua raja. Kaum wanita Asmat, terutama istri panglima perang dan para tetua adat, menggunakan gulungan daun sagu atau daun nipah yang disebut bi awok sebagai penghias hidung mereka. Sedangkan para lelaki memakai bipane, aksesori yang dibuat dari kulit siput/ kerang yang dibentuk mirip bulan sabit atau ada juga yang menyerupai misai panjang gergulung. Bipane biasanya dipakai oleh panglima perang, pemukul tifa, penyanyi, dan kepala-kepala tungku (kepala keluarga luas). Sebagai kalung, terutama saat melaksanakan upacara adat, kaum wanita dan lelaki Asmat memakai tisen pe, yang dibuat dari biji tumbuhan tisen. Atau pomak camkan yang dibuat dari anyaman daun sagu muda yang biasa dipakai saat pesta ulat sagu dan upacara patung mbis (patung leluhur). Kalung lainnya adalah juwursis (juwur = anjing), untaian gigi taring anjing yang dikombinasikan dengan taring babi hutan. Juwursis biasanya dipakai oleh panglima perang, pemimpin tungku (keluarga luas), penyanyi, dan pemukul tifa. Pada kebudayaan Asmat, juwursis merupakan benda yang bernilai tinggi, sehingga seringkali digunakan sebagai mas kawin seperti halnya kapak batu. Sof betan atau sinenke adalah gelang untuk pangkal lengan dari anyaman rotan. Yang dikenakan pada pergelangan tangan, dari bahan yang sama, disebut betan. Sedangkan yang dipakai pada pangkal lutut dinamakan barok, dan diberi hiasan bulu burung kakatua atau burung bangau yang disebut panicep solme. Dulunya barok hanya dipakai oleh panglima perang, tapi sekarang dipakai juga oleh para tetua adat. Ada pula o effo yakni ekor babi hutan yang dililitkan di bagian pangkal tangan. Wanita yang mengenakan benda ini adalah istri dari orang yang gemar berburu babi hutan. 0 effo juga dipakai sebagai cerminan perasaan sukacita, sehingga bila saat berduka benda ini tidak ditampilkan. Ekor babi untuk o effo harus berasal dari babi hutan yang terkena perangkap (siso), bukan hasil buruan dengan bantuan anjing atau tombak. Benda pakai yang juga kerap dijadikan pelengkap penampilan adalah noken, sejenis tas yang disandang di leher laki-laki atau di kening perempuan. Noken dibuat dari anyaman daun pandan dan pada salah satu sisinya diberi hiasan bulu sayap burung kakak tua atau bulu sayap burung bangau. Noken yang polos tanpa hiasan dipakai oleh wanita dan laki-laki kebanyakan sedangkan yang dibubuhi hiasan, biasanya dipakai oleh panglima perang, kepala adat, pemukul tifa, dan penyanyi pengiring upacara. Sebagai masyarakat peramu yang hidup dari berburu, masyarakat Asmat, dituntut untuk mahir menggunakan senjata: pisau, panah, dan tombak. Begitu pentingnya fungsi senjata-bagi lelaki Asmat sehingga bukan hanya dipakai sebagai peralatan berburu belaka tapi juga sebagai alat pelengkap penampilan agar nampak berwibawa. Senjata yang hampir selalu disandang sebagai aksesori pada pelbagai upacara adat ialah pisuwe, semacam pisau belati dibuat dari tulang kering burung kasuari yang salah satu ujungnya diruncingkan dan pangkalnya dihias oleh bulu-bulu halus burung kasuari. Senjata ini diselipkan pada sinenke, dan biasanya disandang oleh panglima perang.

Senjata lainnya adalah tombak. Masyarakat Asmat mengenal beberapa jenis tombak dan masingmasing dinamai sesuai dengan bahannya. Tombak yang pertama kali digunakan dibuat dari kayu nibung yang dinamai ocan atau kamen. Tombak kayu besi dinamai viwu, dan tombak logam besi disebut frin. Ada juga jenis tombak khusus untuk berburu buaya, disebut vom. Kemudian panah yang disebut ces atau jimar. Busurnya dibuat dari jenis kayu bakau, panjangnya sekitar 1,5 meter. Anak panahnya agak beragam, yang dibuat dari kayu keras disebut fir, sowen, fum, dari bambu dinamai firokom, yang dari besi dikenal sebagai sok. Dan, yang tak boleh dilupakan adalah wasse mbi, yakni rias tubuh berupa gambar corak hias garis sejajar atau liris yang sangat ekspresif di sekujur tubuh terutama saat melaksanakan upacara adat. Komposisi warna merah, putih, hitam, dan hijau tampil kuat pada latar kulit yang hitam berkilat. Warna merah berasal dari tanah merah yang diperoleh dari pegunungan Lorentz. Warna putih didapat dengan cara membakar kulit siput, kemudian ditumbuk hingga halus dan dicampur dengan air. Warna hitam dari arang pembakaran, sedangkan warna hijau dari dedaunan. Penulis Aat Soeratin, Jonny Purba

Busana tradisional Bengkulu Tidak hanya terkenal di pulau Jawa saja, ternyata Provinsi Bengkulu juga memiliki kerajinan tradisional batik yang cukup mumpuni yaitu Besurek. Batik Besurek sudah menjadi salah satu kerajinan tangan khas Kota Bengkulu. Disebut demikian karena motifnya bertuliskan kaligrafi Arab. Pada hakekatnya besurek memiliki arti bersurat atau tulisan yang tradisinya sudah diwariskan secara turun temurun. Konon, batik besurek diperkenalkan para pedagang Arab dan pekerja asal India pada abad XVII. Agar lebih variatif, saat ini para pengrajin tak hanya menuliskan huruf kaligrafi. Namun juga mengombinasikan beberapa motif, seperti relung kua yang bergambar burung, relung paku yang meliuk liuk seperti tanaman pakis, dan motif rembulan serta bunga rafflesia. Hingga kini batik Besurek tidak hanya digunakan oleh kalangan bangsawan saat upacara adat saja, melainkan sudah menjadi seragam tetap beberapa sekolah dan pakaian dinas pemerintah daerah setempat.

Busana Tradisional Pangkalpinang Pakaian adat pengantin Kota Pangkalpinang untuk perempuan adalah baju kurung merah yang biasanya terbuat dari bahan sutra atau beludru yang jaman dulu disebut baju Seting dan kain yang dipakai adalah kain bersusur atau kain lasem atau disebut juga kain cual yang merupakan kain tenun asli dari Mentok. Pada kepalanya memakai mahkota yang dinamakan Paksian. Bagi mempelai laki-laki memakai Sorban atau disebut Sungkon. Baju pengantin perempuan menurut keterangan orang tua-tua berasal dari negeri Cina, konon menurut cerita ada saudagar dari Arab yang datang ke negeri Cina untuk berdagang sambil menyiarkan agama Islam dan jatuh cinta dengan seorang gadis Cina kemudian melangsungkan perkawinan dengan gadis Cina tersebut, pada perkawinan inilah mereka memakai pakaian adat masing-masing. Selanjutnya karena banyaknya orang-orang Cina dan Arab yang datang merantau ke pulau Bangka terutama ke Kota Mentok yang merupakan pusat pemerintahan pada waktu itu diantaranya ada yang melakukan perkawinan maka banyaklah penduduk pulau Bangka yang meniru pakaian tersebut. Pakaian pengantin tersebut pada akhirnya kita sebut dengan nama Paksian. Pakaian tersebut terdiri dari : * Pakaian Pengantin Perempuan * Pakaian Pengantin Laki-laki * Tata Rias dan Hiasan Pakaian Pengantin Perempuan: Pakaian pengantin perempuan adalah baju kurung dengan bahan beludru merah yang dilengkapi dengan teratai atau penutup dada serta menggunakan kain cual yaitu kain tenun asli Bangka yang berasal dari Mentok, dengan hiasan kepala yang biasa kita sebut Paksian dan dilengkapi dengan asesoris : 1. Kembang cempaka 2. Kembang goyang 3. Daun bambu 4. Kuntum cempaka 5. Sepit udang 6. Pagar tenggalung 7. Sari bulan 8. Tutup sanggul atau kembang hong 9. Kalung 10. Anting panjang 11. Gelang 12. Pending untuk pinggang

Baju pengantin perempuan ditambah dengan hiasan payet atau manik-manik dan dilengkapi dengan hiasan Ronce Melati untuk keindahan dan keharuman alami (bukan keharusan). Pakaian Pengantin Laki-laki: Adapun untuk pakaian pengantin laki-laki terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jubah panjang sebatas betis Selempang yang dipakai pada bahu sebelah kanan Celana Penutup kepala seperti sorban (sungkon) Pending Selop / Sendal Arab

Pakaian pengantin laki-laki ini berwarna merah dan biasanya dari bahan beludru dengan hiasan manik-manik dan sama dengan pengantin perempuan dilengkapi dengan Ronce Melati untuk keindahan dan keharuman alami (bukan keharusan). Tata Rias dan Hiasan: 1. Hiasan Dahi: Hiasan DahiMemakai penutup dahi yang diberi nama Paksian dan di dahi dipasang Saribulan, Pagar Tanggalung dan Sepit Udang pada samping kiri kanan telinga (Godeg). 2. Bentuk Sanggul: Konde tilang yang terbuat dari gulungan daun pandan atau lipatan daun pandan yang diisi dengan bunga rampai yang terdiri dari mawar, melati, kenanga dan irisan daun pandan. Pada zaman dahulu yang dipakai adalah sanggul cumpok atau cepul.

Busana Tradisional Kepulauan Riau Pakaian adat merupakan salah satu ciri budaya suatu daerah dan setiap daerah tentunya memiliki pakaian adat yang beragam, seperti pakaian adat Kepulauan Riau. Pakaian adat Kepulauan Riau memiliki variasi pakaian adat. Sebagai salah satu daerah yang kental dengan budaya Melayu, pakaian adat Riau terdiri dari busana Melayu. Variasi pakaian adat Riau diantaranya, pakaian adat Indragiri, Melayu Bengkalis Riau, Melayu Siak Riau dan lain-lain. Untuk pakaian pria, baju yang dipakai adalah baju Melayu berupa atasan yang disebut Teluk Belanga. Selain itu, busana ini terdiri celana, kain sampin, dan songkok atau penutup kepala. Kain sampin biasanya meiliki warna dan corak yang sama dengan baju atasannya. Pakaian adat ini disebut dengan baju Melayu teluk belanga. Untuk perempuan, pakaian yang dipakai berupa baju kurung, kain dan

selendang. Selendang dipakai dengan disampirkan dibahu. Busana Melayu Riau ini identik dengan nilai-nilai Islam. Tradisi melayu Riau memang bersumber dari nilai-nilai Islam. Pakaiannya yang tertutup mencerminkan makna, pakaian haruslah menutup aurat, selain berfungsi melindungi tubuh dari cuaca. Variasi pakaian adat Riau membedakan pula waktu pemakaiannya, busana yang disebut dengan istilah baju Melayu Cekak Musang dipakai saat acara keluarga. Busana yang disebut dengan istilah baju Melayu Gunting Cina dipakai saat tidak resmi atau saat dirumah.

Busana Tradisional Sulawesi Tengah

Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu 'ivo' (sejenis pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk kaum pria dan wanita. Pada umumnya kaum pria mengenakan pakaian adat yang terdiri dari: ikat kepala (siga) yang dihias dengan manik-manik; baju tangan pendek dengan leher baju terbuka, yang disekelilingnya dihias dengan benang emas; celana panjang warna gelap yang juga dihias dengan benang emas; sarung berwarna kuning, hijau, merah atau biru dengan motif 'subi' atau 'bomba', serta dilengkapi dengan sebilah keris yang terselip dipinggang. Sedangkan kaum wanita mengenakan pakaian yang disebut 'patimah lola' berupa baju 'gamba' yang panjangnya sampai di pinggul, dengan leher baju berbentuk bulat; sarung yang dikenakan sampai menutup kaki; serta ikat kepala yang disebut 'dadasa'. Sebagai pelengkap dikenakan hiasan berupa kalung susun (geno kambora), gelang (pontade) dan anting-anting (dali). Selain itu agar pakaian tampak pas di tubuh, dikenakan ikat pinggang (pending) terbuat dari besi kuningan.

Busana Tradisional Yogyakarta Dalam hal berpakaian masyarakat Yogyakarta membedakan antara yang dikenakan kaum pria dan kaum wanita. Pakaian adat yang dikenakan oleh kaum pria terdiri atas tutup kepala (destar), baju jas dengan leher tertutup (jas tutup) dan keris yang terselip di pinggang. Ia juga mengenakan kain batik yang mempunyai motif sama dengan yang dipakai wanitanya.

Sedangkan pakaian kaum wanitanya terdiri atas kebaya dan kain batik dengan rambut yang disanggul dan diberi hiasan konde, diletakkan ditengah-tengah sanggul. Perhiasan lain yang dikenakan biasanya berupa anting-anting dan cincin.

Busana Tradisional Sumatera Selatan Masyarakat daerah Sumatera Selatan secara tradisional membagi pakaian adat mejadi dua macam, yaitu pakaian kaum laki-laki dan kaum wanita. Pakaian adat kaum pria biasanya berupa mahkota, kalung bersusun dengan baju khas dengan memakai celana panjang dan kain songket pada bagian tengah badan. Sedangkan pakaian yang di kenakan oleh kaum wanita mirip dengan yang dikenakan oleh kaum pria yaitu mahkota serta kalung bersusun, pending, gelang di kedua belah tangan dan songket yang melingkar di bagian tengah badan.

Busana Tradisional Sulawesi Tenggara Pakaian adat yang bias digunakan oleh orang Kendari untuk pria biasanya berupa tutup kepala (destar), baju model jas tertutup, sarung sebatas dengkul, dan celana panjang. Sedangkan untuk kaum wanitanya berupa baju kebaya, kain selempang dan sarung. Sebagai hiasan kepala digunakan kembang serta perhiasan antara lain berupa antinganting, kalung dan gelang.

Busana Tradisional Maluku Utara Pakaian daerah Maluku dilihat dari segi motif dan cara memakainya cukup sederhana, hal ini tergambar dari beberapa contoh pakaian daerah dibawah ini: 1. 2. 3. Baniang dan kebaya dansa adalah pakaian sesehari untuk kaum pria, biasanya dipakai untuk acara pesta atau acara besar lainnya. Pakaian ini sudah menjadi pakaian nasional untuk seluruh masyarakat Maluku. Baju Cele Kain Salele, adalah pakaian sesehari kaum wanita, juga sudah merupakan pakaian konsumsi sesehari masyarakat Maluku. Biasanya dipakai untuk upacara dan hari besar lainnya. Nona rok adalah sejenis pakaian wanita yang dulunya dipakai oleh kalangan atas, atau dipakai oleh anak-anak keturunan raja. Sekarang sudah merupakan pakaian yang dimodifikasi dan dipakai sebagai pakaian untuk pakaian upacara adat, pesta, acara resmi lainnya, serta merupakan pakaian yang dianggap baik. Kain kebaya merah adalah jenis pakaian daerah lain yang menjadi pakaian sesehari gadis dan ibu-ibu di desa, pakaian ini juga sering dipakai oleh kalangan menengah kebawah seperti mereka yang berjualan di pasar dan lain sebagainya. Pakaian-pakaian pengantin: Pakaian pengantin Maluku Utara disebut pakaian Koci-koci. Pakaian ini bercirikan Islam, warnanya juga antara hijau dan kuning. Pakain pengantin ini mirip dengan pakaian pengantin Donggala, melayu. Pakaian pengantin Maluku Tengah disebut baju Pono atau dapat juga disebut Mistisa. Pakain ini kelihatan lebih anggun berwarna merah menyala dihiasi manic-manik serta kombinasi kebaya cele putih. Alas kaki yang dipakai disebut Canela dimana bagian depannya melingkar keatas. Pakaian pengantin Maluku Tenggara disebut sanikir. Pakaian ini kebanyakan dibuat dari tenunan tradisional Tanimbar dikombinasi dengan kain satin putih. Hiasan yang dipakai untuk menambah anggunnya pakaian ini adalah gelang, kalung, serta emas perak yang kesemuanyaterbuat dari gading atau kerang laut. 6. Selain pakaian-pakaian tersebut diatas, ada juga pakaian untuk ke gereja yang disebut pakaian Itang. Pakaian petani, pakaian nelayan serta pakaian sesehari lainnya yang tidak disebut satu persatu.

4. 5.

Busana Tradisional Banten Baju pangsi dan celana komprang menjadi salah satu busana tradisional di Banten. Namun tidak hanya di Provinsi Banten saja, pakaian tradisional tersebut juga merupakan salah satu pakaian khas dari Jawa Barat. Menurut keterangan warga setempat, baju pangsi biasa digunakan masyarakat Sunda ketika berlatih pencak silat, dan pada zaman dulu komprang biasa dikenakan masyarakat Sunda setiap harinya. Komprang tidak berasal dari daerah tertentu di Jawa Barat, tetapi dipakai di seluruh Provinsi itu, termasuk Banten ketika masih belum terpisah. Cara menggunakan pakaian itu bermacam-macam. Sebagian penggembala kerbau misalnya, mengenakan pangsi dan komprang dengan menambahkan sarung yang dikalungkan di bahu. Sedangkan masyarakat Sunda lain mengikat sarung pada bagian pinggangnya. Selain celana komprang dan baju pangsi, Banten ternyata memiliki busana khas dengan pola Batik. Sebagaimana batik kebanyakan, Batik Banten juga memiliki motif yang menjadi ciri khas. Warna Batik Banten cenderung meriah namun tetap terasa hangat dipandang dan lembut di mata. Konon warna tersebut memang sesuai dengan watak masyarakat Banten yang penuh dengan harapan, semangat, dan karakter kuat, namun tetap menjunjung tinggi sikap kemudahan hati. Batik Banten mempunyai padu padan warna. Perpaduan ini ternyata sangatlah erat kaitannya dengan pengaruh air di bawah tanah. Hal inilah yang mengubah warna motif meriah berubah lembut pada saat proses pencelupan. Untuk mempermudah penyebutan nama-nama motif batik dan gampang diingat, maka dipilihlah nama yang diambil dari bangunan, ruangan, ataupun nama lokasi seluruh lapisan warga keraton berada semasa kesultanan yang ada di Banten lama. Selain itu, pengambilan nama motif juga ada yang berasal dari nama gelar kesultanan.

Busana Tradisional Kalimantan Selatan Suku bangsa Banjar mengenal berbagai jenis pakaian tradisional menurut fungsi, jenis dan pemakaiannya. Pada pakaian-pakaian tertentu makna simbolis dari motif ragam hias dan perhiasan yang melengkapi menentukan kapan, dimana dan oleh siapa pakaian tersebut dapat digunakan.

Lampin; merupakan pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan pada seorang bayi. Pada masa lalu, lampin dibuat dari tapih (sarung) atau bahalai (kain sarung) yang dipotong menjadi beberapa bagian dengan bentuk segi empat panjang. Salawar; adalah baju yang dipakai anak-anak kecil sehari-hari. Model baju, yang di beberapa masyarakat lain dikenal dengan baju kodok ini dapat digunakan oleh anak laki-laki maupun anak wanita. Masyarakat juga mengenal adanya salawar panjang atau celana panjang semata kaki yang tidak berkantong. Salawar panjang ini biasanya digunakan sebagai pasangan baju taluk balanga, yang menjadi pakaian sehari-hari kaum pria. Baju Taluk Balanga; adalah kemeja bertangan panjang dengan leher baju bulat dan sedikit kerah keras mencuat ke atas. Bagian depan terbelah dan diberi kancing. Biasanya pakaian ini digunakan oleh kaum pria baik yang berusia remaja maupun pria dewasa. Sebagai pakaian sehari-hari baju taluk balanga ini dilengkapi dengan tutup kepala berupa kopiah beludru hitam atau kopiah jangang. Baju Kubaya; pakaian sehari-hari ini digunakan oleh para wanita. Jenis pakaian ini bermacammacam. Untuk wanita dewasa biasanya digunakan kubaya basawiwi (basujab). Jenis lainnya yang juga disukai adalah kubaya barenda. Pasangan baju kubaya ini adalah tapih atau sarung. Untuk tapih ini biasanya didatangkan dari pekalongan. Penggunaan baju kubaya juga dilengkapi dengan tutup kepala berupa kakamban (serudung) yang dibuat dari kain sutra atau sejenisnya yang tembus pandang. Baju Kurung Basisit: Adalah jenis pakaian lain yang biasanya digunakan oleh kaum wanita jika bepergian. Termasuk menghadiri suatu upacara adat. Di bagian bawah baju diberi sulaman dengan mempergunakan benang emas atau air guci. Umumnya tiap ornament disulamkan dalam hitungan ganjil. Bagi masyarakat Banjar pada umumnya bilangan ganjil mengandung makna kebai

Busana Tradisional Minangkabau Minangkabau Traditional Dress Masyarakat Minangkabau mengenal berbagai jenis busana tradisional, yang penggunaannya hampir selalu dikaitkan dengan fungsi sosial tertentu. Apalagi kalau orang itu memegang peranan penting dalam masyarakatnya, seperti penghulu dan bundo kanduang, seperangkat kain yang membungkus tubuhnya bukan saja berfungsi melindungi tubuh tetapi mengandung makna-makna simbolis yang harus dipegang teguh. Pakaian Panghulu Seorang panghulu atau ninik mamak, yang digelari datuk oleh masyarakat memegang peranan penting sebagai pemimpin kaumnya dan berhak mengatur sanak keluarga yang terhimpun dalam kaumnya. Oleh karena itu ia memiliki pakaian kebesaran. Masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasi yang berbeda, namun secara umum terdiri dari destar, baju hitam longgar, celana hitam lebar, sesamping, kain sandang, keris, dan tongkat. Pakaian kebesaran ini juga disebut pakaian adat, terdiri dari destar sebagai penutup kepala. Biasa disebut saluak batimba (seluk bertimba) terbuat dari kain batik. Bagian muka saluak ditata berkerut-kerut berjenjang dengan bagian atas datar. Kerutan-kerutan tersebut melambangkan aturan hidup orang Minangkabau yang diungkapkan melalui pepatah berjenjang naik bertangga turun. Kemudian dikenakan baju lengan hitam longgar (besar lengan) dengan leher lepas tidak berkatuk, belah sampai ke dada tanpa kancing. Hal ini melambangkan keterbukaan dan kelapangan dada seorang pemimpin yang tidak suka mengunting dalam lipatan. Umumnya dipakai celana (sarawa) lapang warna hitam. Celana lapang ini melambangkan kesiagaan, walaupun lapang dibatasi oleh ukua (ukur) dan jangko (jangka) diwujudkan melalui sulaman benang emas pada pinggirnya (minsai). Dalam pepatah dinyatakan ukua panjang tak buliah singkek, jangko singkek tak dapek panjang, artinya ukur panjang tak dapat singkat, jangka pendek tak dapat singkat. Dikenakan pula kain samping

(sesamping) yang melilit pinggang di atas lutut dengan sudutnya seperti niru tergantung. Pemakaian samping seperti niru tergantung ini melambangkan kehati-hatian pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masuarakat. Sesamping ini dipakai terutama saat bepergian dan kebanyakan dipilih warna merah sebagai lambang keberanian serta tanggungjawab. Ragi benang emas yang menghiasinya disebut cukia menandakan bahwa pemakainya memiliki pengetahuan yang cukup di bidangnya. Pinggangnya dililit cawek (ikat pinggang) dari sutra berjumbai (bajambua alai). Dimaksudkan supaya kokoh luar dan dalam. Bahunya berselempang kain sandang atau kain kaciak dari kain cindai sebagai lambang kebesaran seorang penghulu (ninik mamak). Keris dengan posisi miring ke kiri terselip di perut melambangkan keberanian tanpa bermaksud menghadang musuh melainkan untuk menjadi hakim. Biasanya masih ditambah dengan tongkat untuk berjalan di malam hari atau berdiri lama. Pada hakekatnya tongkat adalah komando anak kemenakan, untuk mengingatkan bahwa penghulu punya penongkat atau pembantu dalam menjalankan jabatannya. Juga melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat harus ditegakkan penuh wibawa. Sebagai alas kaki dikenakan selop dari beludru. Pakaian Bundo Kanduang Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.

Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang. Baju kurungnya berwarna hitam, merah, biru atau lembayung ditaburi dengan benang emas. Pinggirnya dihias minsai sebagai lambang demokrasi tetapi dalam batas-batas yang patut. Di bahu kanannya berselempang ke rusuk kiri kain balapak, melambangkan tanggungjawab yang harus dipikul oleh bundo kanduang untuk melanjutkan keturunan. Penutup badan bawah digunakan kain sarung (kodek) balapak bersulam emas. Sarung ini berfungsi religius bagi pemakainya, sebagi simbol meletakkan sesuatu pada tempatnya seperti pepatah memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang. Perhiasan yang dikenakan adalah subang atau anting-anting dari emas. Kalung dari beberapa macam, yaitu kalung kuda, kalung pinyaram, kalung gadang, dan kalung kaban. Tangannya dihiasi gelang gadang (besar), gelang bapahek dan gelang ular. Pemakaian gelang melambangkan bahwa semua yang dikerjakan harus dalam batas-batas kemampuan. Pakaian sehari-hari Para wanita, khususnya yang telah berumur dalam kesehariannya mengenakan baju kurung ke luar, lambak/kodek atau kain sarung, dan selendang pendek. Baju kurung ke luar lengannya panjang dan dalamnya sampai di bawah lutut terbuat dari berbagai jenis bahan sesuai kemampauan. Lambak atau kodek, yang juga disebut kain sarung dapat berupa kain songket, batik, sarung bugis ataupun kain pelekat. Tutup kepalanya dari selendang pendek dengan ujung tergerai ke belakang. Variasi lain dikenakan tengkuluk, sementara selendang tersampir di bahu. Kadang-kadang juga dilengkapi dengan pemakaian beberapa perhiasan, seperi kalung, anting-anting serta cincin. Kaum prianya, sehari-hari mengenakan celana batik tanpa pisak, baju putih model gunting cina dan peci/kopiah. Pilihan warna putih pada baju melambangkan kebersihan dan kemurnian para pemakainya. Model gunting cina merupakan model pakaian longgar menujukkan pakaian sehari-hari. Khusus pada pakaian penghulu, bila ada sulaman menandakan kerajinan anak kemenakan yang mempergunakan waktu sebaik-

baiknya. Lelaki muda lebih suka mengenakan peci dari bahan beludru warna hitam sebagai penutup kepala. Pemakaian peci oleh penghulu masih dibalut dengan destar hitam yang mempunyai kerutan-kerutan. Destar dengan kerutan ini melambangkan aturan adat berjenjang turun, bertanggan naik, bermakna seseorang tidak boleh menurut kehendak sendiri. Sebagai pelengkap dibahunya tersampir kain bugis (bugih), yang pada saat waktu sholat dapat digunakan semestinya. Tidak ketinggalan tongkat "manau sonsang" ikut melengkapi pakaian yang dikenakan oleh penghulu. Sumber : Buku Indonesia Indah Jilid ke-10 "Busana Tradisional" Penulis : Dewi Indrawati/Biranul Anas

Busana Tradisional Mentawai Mentawai Traditional Dress Penulis : Biranul Anas Suku bangsa Mentawai mendiami rangkaian kepulauan Mentawai, lepas pantai propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Sebagian besar dari mereka menganut kepercayaan animistik dimana setiap benda apakah itu batu, binatang atau manusia memiliki roh. Sampai dengan 50 tahun yang lalu masyarakat Mentawai masih hidup dalam kebudayaan neolitik berikut segenap tata cara adat istiadat, perikehidupan serta ungkapan budayanya. Walaupun dewasa ini sudah semakin jarang dijumpai, perikehidupan serta ungkapan budaya material masyarakat Mentawai patut dikemukakan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang unik, tidak terpengaruh oleh Hinduisme, Budisme, Islam dan Barat. Tatabusana masyarakat asli Mentawai mencerminkan azasazas egaliter, dalam tatanan masyarakat tidak ada strata-strata sosial, pimpinan atau anak buah. Pembedaan busana lebih ditentukan pada kejadian, peristiwa, upacara yang dalam hal ini adalah upacara khusus tentang penghormatan arwah (punen). Selain itu busana juga mengungkapkan ciri-ciri kedekatan penyandangnya dengan alam lingkungan yang tropis, berhutan lebat berikut keaneka ragaman floranya. Hal ini antara lain tampak pada banyaknya hiasan floral yang dikenakan. Salah satu kelengkapan busana suku Mentawai, yang khususnya dipakai kaum pria adalah cawat, penutup aurat, terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan sebut kabit. Kaum wanita memakai sejenis rok yang terbuat dari dedaunan pisang yang diolah secara khusus dan dililitkan kepinggang untuk menutupi aurat, disebut sokgumai. Selain kabit dan sokgumai, orang-orang Mentawai dapat dikatakan tidak menggunakan apa-apa lagi yang benar-

benar menutup tubuhnya selain aneka perhiasan serta dekorasi tubuh yang terbuat dari untaian manik-manik, gelang-gelang, bunga-bungaan dan daundaunan. Kalung manik-manik yang sangat impresif yaitu ngaleu menghiasi leher dalam jumlah yang dapat mencapai puluhan, terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Kedua pergelangan tangan juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik. Demikian pula pada kedua pangkal lengan dan pada bagian kepala berbaur dengan aneka bunga dan daun-daunan. Ikat kepala ini dinamakan sorat. Sedangkan gelang manik pangkal lengan disebut lekkeu. Tampilan busana selengkapnya suku Mentawai ini dikenakan pada upacara punen, suatu ritus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Peristiwa ini melaksanakan praktek sikerei, suatu kegiatan perdukunan. Ritus ini dipimpin oleh seorang kerei (dukun) dalam busana kerei yang sebenarnya adalah busana tradisional Mentawai yang dihiasi dan ditaburi berbagai dekorasi yang lebih banyak dari pada keadaan sehari-hari. Busana kerei ini selain terdiri atas kabit dan sorat juga dilengkapi sobok, sejenis kain penutup aurat bercorak dibagian depan kabit. rakgok, ikat pinggang dari lilitan kain polos, biasanya merah. pakalo, botol kecil tempat ramuan obat-obatan. lei-lei , rnahkota dari bulu-buluan dan bunga-bungaan. cermin raksa, bergantung pada kalung depan dada. ogok, sejenis subang pada kedua telinga.

Aspek yang terpenting dan amat berarti dalam tatacara busana serta rias tubuh adalah tato (cacah). Pencacahan tubuh memiliki berbagai perlambangan baik sosial maupun psikologis yang berangkat dari faham-faham adat, kepercayaan serta alam fikiran suku bangsa Mentawai. Tato merupakan simbol kejantanan, kedewasaan dan keperkasaan bagi kaun pria. Selain itu tato, atau tik-tik dalam bahasa daerah Mentawai juga merupakan identifikasi marga atau daerah asal penyandangnya. Setiap marga (klan) dan dapat memiliki corak tatonya masingmasing. Tato juga menjadi ungkapan keindahan dan selain mendatangkan kekuatan juga dipercaya sebagai pembawa keselamatan serta kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat. Tato adalah busana kebanggaan, dianggap abadi dan dipakai serta dikenakan hingga ajal. Warna tato biasanya biru kehitaman dan diungkapkan dalam garis-garis kontur geometris simetris. Bagian yang biasanya dihiasi tato adalah pipi dan punggung. Lalu disusul dengan tangan, dada, paha dan pantat, terakhir pangkal kaki antara lutut dan pergelangan kaki. Proses tato dilaksanakan pada tahap-tahap tertentu dalam umur manusia, diawali pada usia 7-11 tahun dan dilanjutkan secara bertahap hingga usia 18-19 tahun. Sumber : Buku Indonesia Indah Jilid ke-10 "Busana Tradisional"

Busana Tradisional Melayu Malay Traditional Dress Penulis : Bernau Ompusunggu Biranul Anas Pakaian Upacara Tradisi Melayu menempatkan upacara pernikahan sebagai peristiwa yang penting. Ini berpengaruh pada busana upacara pernikahan Melayu yang tampil secara lengkap dan indah, mulai dari busana sampai dengan

perlengkapan perhiasannya. Pada upacara ini Wanita Melayu mengenakan Kebaya panjang atau baju kurung yang terbuat dari jenis-jenis kain yang bermutu tinggi seperti brokat atau sutra bersematkan peniti-peniti emas. Baju kurung ini dipadukan dengan kain songket buatan Batubara atau tenunan Malaysia. Bagian kepala disalut oleh selendang bersulam corak-corak emas yang menutupi tata rambut dalam gaya sanggul khusus yakni sanggul lipat padan atau sanggul tegang. Pada sanggul ini ditempatkan hiasan-hiasan keemasan. Di daerah leher dan dada biasanya tergantung kalung dari corakcorak rantai mentimun, sekar sukun, rantai serati, mastura, gogok rantai lilit, rantai panjang dan tanggang walaupun dewasa ini sudah amat jarang dijumpai. Gelang juga dipakai pada kaki. Pengantin wanita juga memakai gelang kerukut yang beraneka jenis seperti gelang tepang, gelang kana, gelang ikol dan keroncong. Pada jari terpasang aneka ragam cincin seperti cinci-n genta, cincin bermata, cincin patah biram dan cincin pancaragam. Sebagai alas kaki dipakai selop bertekad yaitu sejenis sandal bersulam corak-corak keemasan. Bagian pinggang dihiasi oleh bengkong dan pending. Kaum pria memakai dua pilihan tutup kepala, yaitu tengkulok yang terbuat dari kain songket, kain bertabur atau destar. Ikatan tengkulok ini ada beberapa jenis, yaitu ikatan bendahara (Kedah), ikatan serdang dan sebagainya. Tengkulok adalah lambang kebesaran dan kegagahan seorang pria Melayu. Tutup kepala yang sejak dulu dipakai disebut destar. Terbuat dari rotan yang berbentuk parabola, berlapis tiga dan dibalut dengan beludru atau kain berwarna kuning. Diberi hiasan gerak gempa, renda, bunga mas dan hiasan batu permata sehingga menampilkan kesan kebesaran dan kegagahan. Di daerah Deli untuk kaum bangsawan mengenakannya secara melintang, sedangkan bagi pria kebanyakan memasangnya dengan posisi belah utak. Di Serdang cara-cara pemakaiannya justru kebalikan dari daerah Deli. Penutup badan pria adalah teluk belanga yang terdiri dari atas baju berkrag kocak musang, berseluar (celana panjang) dan bersamping. Sebagaimana pada kaum wanita kain pembuat teluk belangapun adalah dari jenis yang bermutu seperti satin atau sutra. Alas kaki berupa selop sewarna dengan baju. Pada leher pria digantungkan beberapa hiasan rantai. Lengan atasnya mengenakan kilat bahu dan sidat sebagai lambang keteguhan hati. Pada bagian pinggang dipakai bengkong dan pending. Pada pinggang depan sebelah kanan disisipkan sebilah keris yang bergagang emas. Keris dianggap lambang kegagahan dan kemampuan menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Pakaian Sehari-hari Wanita-wanita Melayu dari Medan di sebelah pantai timur Sumatera Utara membuat baju mereka sangat panjang (baju panjang), dari bahan brokat (kain senduri), sutera, muslin atau viole yang halus yang bercorak kotak-kotak besar. Lengan bajunya sangat lebar dan panjangnya sampai pergelangan tangan. Baju panjang ini dipakai dengan sehelai kain yang terbuat daripada katun biasa berwarna polos, sarung yang bercorak kotakkotak besar atau kain songket. Kadang-kadang baju dan kain kedua-duanya terbuat dari bahan yang sama. Pakaian ini tidak memakai selendang. Hiasan rambut berupa sanggul yang sederhana. Sementara untuk pakaian laki-laki berupa pakaian Teluk Belanga: Pakaian ini terdiri dari tutup kepala berupa kopiah atau topi dari bahan sutra berbentuk kepala kapal, berwarna sesuai dengan baju dan celananya; Bajunya berupa kemeja kurung terbelah dibagian dada saja dari bahan sutra berwarna merah, hijau atau kuning dan dililit dengan sarung songket; Celana panjang lebar dengan bahan dan warna yang sama dengan baju.

Busana Tradisional Batak Batak Traditional Dress Penulis : Biranul Anas / Jonny Purba Kehidupan masyarakat suku bangsa Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. Sebelum orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil buatan luar, ulos (disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo ) adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabesabe atau detar. Sudah barang tentu tidak semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, sadum, ragi hotang, ragidup, dan runjat, hanya dapat dipakai pada waktu-waktu tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak (terkadang diganti dengan ulos yang disebut singkot), tali-tali (tutup kepala) serta baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki. Kain ulos yang dipakai orang-orang Batak pada upacara-upacara adat, umumnya diselempangkan di pinggangnya atau juga sebagai selendang. Khusus bagi suku Batak Pak pak dan Dairi, ulos yang digunakan dominan berwarna hitam. Pada suku Batak Simalungun pakaian yang dipakai antara lain bulang yang terbuat dari kain ulos dengan motif gatip dan pakaian sehari-hari yang terbuat dari ulos yang disebut jobit. Disamping bulang ada juga ulos surisuri sebagai tutup kepala. Pada suku Batak Toba, mereka memakai pakaian biasa, baju dan celana, dilengkapi dengan ulos di kepala (biasanya ulos mangiring) dan setengah badan. Kadang-kadang diselempangkan (menggunakan ulos ragihotang), dilengkapi dengan sarung. Dalam upacara perkawinan kain ulos lebih tampak pada pakaian pengantin. Mempelai laki-laki memakai baju jas tutup warna putih, sedangkan bagian bawah memakai ulos dari jenis ragi pane. Bila ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, dipakai hingga batas dada. Untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe. Untuk tutup kepala disebut saong. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak disebut parompa. Dalam keseharian perempuan Batak aslinya memakai kain blacu hitam (dapat diganti dengan ulos disebut haen ) dengan dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong. Saat ini kain blacu hitam selain diganti dengan ulos, juga telah diganti dengan sarung tenunan bercorak kotak-kotak. Pada upacara secara umum wanita Batak menggunakan ulos sebagai penghias bahu/selendang, penutup kepala dan juga sebagai penutup dada, dan dilengkapi dengan sarung suji. Khusus pada perempuan suku bangsa Batak Pak pak/Dairi, Karo dan Simalungun menggunakan ulos yang berbentuk tudung sebagai pelindung panasnya matahari. Pakaian pengantin perempuan Batak Karo terdiri dari baju tutup dengan lengan panjang, sedangkan bagian bawah memakai sarung sungkit yang dililit dengan kain ulos. Pada busana pengantin perempuan Batak Toba hampir semua pakaian yang dipakai terdiri dari kain ulos yang salah satunya diselempangkan pada kedua bahu

sampai ke badan (biasanya jenis ulos sadum), dan dililit dengan ulos ragi hotang. Pada suku bangsa Batak Simalungun, kedua pengantin memakai tudung kepala yang terbuat dari ulos suri-suri. Pada pesta perkawinan wanita suku bangsa Mandailing/Angkola menurut adat menggunakan tata busana yang terdiri dari : bulang yang diikatkan pada kening. Bulang terbuat dari emas, tetapi kini sudah banyak yang terbuat dari logam yang diberi sepuhan emas. Bulang terdiri dari tiga macam, masing-masing bertingkat bertingkat tiga disebut bulang harbo (bulang kerbau), bertingkat dua atau disebut bulang hambeng (bulang kambing) dan tidak bertingkat. Penamaan bulang ini dikaitkan dengan jenis hewan yang disemblih. Misalnya penggunaan bulang bertingkat tiga bila hewan yang disemblih adalah kerbau. Bulang mengandung makna sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan sekaligus sebagai simbol dari struktur masyarakat. Bagian atas badan tertutup oleh baju berwarna hitam yang dahulu dibuat dari kain beludru berbentuk baju kurung tanpa diberi hiasan atau sulaman. Belakangan ini baju pengantin wanita kadang-kadang diberi sulaman. Baju pengantin ini disebut baju godang atau baju kebesaran. Bagian bawah badan tertutup kain songket dengan warna yang tidak ditentukan, tergantung selera pemakai. Dua lembar selendang yang disilangkan pada bagian dada sampai ke punggung. Pada masa lalu, selendang terbuat dari kain tonun petani (kain tenunan petani). Dewasa ini selendang terbuat dari kain songket. Untuk selendang pengantin, kadang-kadang juga menggunakan kain polos tanpa warna tertentu. Arti perlambang pada selendang adalah lambang dalihan na tolu, tampak dari segitiga yang dibentuk dengan selendang yang disilangkan itu. Sisi kiri melambangkan mora (kerabat pemberi anak gadis), sisi kanan melambangkan kahanggi (kerabat satu marga), dan bagian bawah melambangkan anak boru (kerabat penerima gadis). Pada daerah pinggang dipakai Bobat atau ikat pinggang yang dahulu terbuat dari emas dan kadang-kadang berkepala dengan ornamen kepala ular naga yang melambangkan keagungan. Alas kaki menggunakan selop atau sandal yang biasanya tertutup pada bagian depan atasnya. Selop hanya berfungsi praktis tanpa mengadung arti perlambang. Bagian penutup selop kadangkadang diberi hiasan, seperti sulaman benang emas yang hanya berfungsi estetika tanpa arti perlambang. Pengantin pria menggunakan busana yang terdiri dari : ampu atau penutup kepala dengan bentuk khas Mandailing/Angkola yang terbuat dari kain dan bahan lain. Diberi ornamen warna emas makna simbolik sebagai lambang keagungan orang yang memakainya. Ampu merupakan mahkota yang biasanya dipergunakan oleh raja-raja di Mandailing dan Angkola pada masa lalu. Warna hitam ampu mengandung fungsi magis sedangkan warna emas mengandung lambang kebesaran. Bagian samping kanan ampu yang salah satu ujungnya mengarah ke atas dan satu lagi ke bawah mengandung arti bahwa yang paling berkuasa adalah Tuhan dan manusia pada akhirnya mati dan dikubur. Pada masa dahulu, pengantin pria kadangkadang mengenakan tutup kepala yang dinamakan serong barendo yang terbuat dari kain warna hitam yang diberi renda atau rumbairumbai. Cara memakainya hampir sama dengan destar atau tengkuluk (topi), tetapi ujungnya dilipat ke arah kening sehingga terjuntai sedikit di atas kening bersama renda atau rumbai yang terbuat dari benang emas. Baju, godang (baju kebesaran) yang pada masa lalu berbentuk jas tutup, terbuat dari kain lakan berwarna hitam. Pada masa sekarang menggunakan jas biasa berwarna hitam yang dilengkapi dengan kemeja lengan panjang dan dasi. Baju Godang mengandung makna keagungan. Celana panjang atau pantalon tanpa warna tertentu. Bobat (ikat pinggang) yang dahulu biasanya terbuat dari emas atau perak. Tetapi sekarang sudah umum menggunakan ikat pinggang biasa. Pada masa lalu, ikat pinggang terbuat dari emas atau perak sebagai lambang kebesaran. Sisamping (kain sesamping) yang dibelitkan dari batas pinggang sampai ke lutut. Untuk si samping pada masa dahulu menggunakan abit Bugis (kain Bugis) atau kain sarung. Tetapi sekarang menggunakan kain songket. Sepatu sebagai alas kaki dahulu menggunakan alas kaki atau selop yang dinamakan capal yang terbuat dari kulit. Sumber : Buku Indonesia Indah Jilid ke-10 "Busana Tradisional"

Busana Tradisional Nias Nias Traditional Dress Penulis : Bernali Ompusungu Orang Nias, penduduk pulau Nias di pantai Selatan Sumatera memiliki variasi busana tradisional yang menambah keanekaragaman busana sukubangsa-sukubangsa di Sumatera Utara. Orang-orang Nias pada masa lampau adalah prajurut-prajurit perang yang gagah berani. Dunia peperangan yang begitu dekat dalam kehidupan masyarakatnya membentuk "budaya perang" yang juga perpengaruh pada busana tradisional orang Nias, khususnya busana kaum prianya. Dalam keseharian masyarakat Nias mengenal busana asli yang belum memperoleh pengaruh luar, yaitu cawat atau celana yang terbuat dari bahan kulit kayu. Cara penggunaannya adalah hanya dengan melilitkannya di pinggang dan kekenakan tanpa baju. Perlengkapan busana ini adalah tombak dan pisau kecil. Untuk upacara, busana kaum laki-laki Nias, terdiri dari baru atau baju yang aslinya terbuat dari bahan kulit kayu, namun saat ini sudah merupakan gabungan dengan kain katun. Baju berbentuk rompi tidak berkancing ini berwarna dasar coklat atau hitam dan dengan ornamen berwarna merah, kuning, dan hitam. Salah satu jenis baru yang dikenal masyarakat Nias adalah baru ni`ola`a harimao, yaitu baju dengan motif kulit harimau. Selain model rompi ada juga baju berlengan tanpa kancing yang juga terbuat dari bahan kulit kayu, yaitu baru lema`a. Laki-laki Nias kebanyakan menggunakan kalabubu sebagai penghias leher. Kalabubu adalah kalung untuk lakilaki yang terbuat dari kuningan dan dilapis dengan potongan kayu kelapa (aslinya dilapisi dengan emas). Jenis kalung lainnya adalah nifatali, kalung yang terbuat dari lilitan perak atau emas dan nifato-fato, kalung yang terbuat dari lempengan kuningan, perak atau emas. Salah satu bentuk tutup kepala yang digunakan adalah saembu oti. Tutup kepala ini terbuat dari bahan rotan dililit kain akantun berwarna biru, merah dan putih. Tutup kepala ini digunakan pada saat upacara saja. Sementara itu, salah satu jenis tutup kepala khusus untuk perang disebut tete naulu, yang terbuat dari rajutan rotan dilengkapi dengan daun pelem sebagai penutup di bagian belakang. Ada juga tutup kepala, yang disebut takula, terbuat dari daun palem, rotan dan pelepah kelapa. Selain itu, masih banyak lagi jenis tutup kepala lainnya. Baik dari jenis yang hanya dikenakan oleh kaum bangsawan serta tutup kepala khusus untuk kepala wilayah. Busana asli wanita suku bangsa Nias hanya terdiri dari lembaran kain (bahan blacu hitam atau kulit kayu), tanpa busana atas (baju penutup dada). Busana ini dilengkapi dengan aja kola, yaitu gelang yang terbuat dari bahan gulungan kuningan dengan berat mencapai 1 kilogram (khusus untuk perempuan dewasa mengenakan dua buah gelang), dan saro dalinga, yaitu anting logam besar, yang biasanya hanya dikenakan pada telinga kanan saja. Untuk menghadiri upacara adat, biasanya dikenakan baju berbentuk jaket atau jubah berbahan katun, yang berwarna merah, berlengan kuning dihias motif sisir berwarna hijau atau kehitaman. Busana ini dilengkapi dengan balahogo sokondra, yaitu salah satu jenis penutup baju bagian atas (seperti kalung) yang terbuat dari bahan batubatuan. Selain itu masih ada jenis lain seperti balahogo rate, aya ba mbagi bobotora. Bagian bawah

busana wanita Nias disebut mukha, yang terbuat dari panel warna kuning dihiasi oleh bermacam ornamen dipinggirnya, dikenakan untuk menutupi pinggang ke bawah (bentuknya mirip dengan kain panjang). Lembe, sebuah selendang katun bermotif bunga berwarana kuning dan segitiga berbaris dilapisi pinggir dari bahan berwarna gelap kehitaman menjadi pelengkap busana ini. Sebagai kelengkapan busana upacara, wanita Nias mengenal beberapa jenis asesoris. Gela gela dan tali hu, adalah nama jenis anting yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan, terbuat dari ,lingkaran terbuka dari bahan perunggu dengan hiasan batubatuan atau kerang. Selain itu, masih ada bola-bola, yaitu asesoris wanita berbentuk tas berbahan bambu dengan hiasan manik-manik berwarna-warni, yang hanya digunakan oleh wanita bangsawan. Fondruru ana`a, adalah salah satu jenis anting terbuat dari emas, yang juga banyak digunakan oleh kaum bangsawan. Demikian pula rai ni woli woli, salah satu jenis mahkota yang terbuat dari emas berbentuk ikat kepala dengan ornament barisan koin emas memanjang horizontal dan ditengah bagian belakang terdapat kepala mahkota berbentuk bunga dan daundaunan. Saat ini mahkota ini banyak digunakan sebagai bagian dari pakaian tari, hanya bahannya bukan terbuat dari emas. Busana pengantin Nias secara? keseluruhan pun nampak sederhana, sebagaimana menggambarkan kehidupan masyarakatnya yang bersahaja. Apabila di masa lalu, sebelum mengenal pengaruh luar, pakain tradisional Nias menggunakan bahan Wit kayu, maka kini untuk busana pengantinnya digunakan bahan beludru. Warna hitam, merah, kuning, dan emas mendominasi busana pengantin Nias. Dalam busana pengantin ini, tampak adanya unsur-unsur Melayu. Rambut wanita Nias disanggul tanpa sasak dengan memakai sunggar. Kemudian dihias dengan mahkota atau rai. Baju berbentuk jubah hitam ayng berhiaskan motif binatang dari beludru merah dipadukan dengan kabo, kain hitam dengan ornamen geometris segitiga berbaris di sisi pinggirnya, yang disarungkan arah ke kiri. Untuk perlengkapannya mempelai wanita mengenakan seledra (selendang) dan boba datu (ikat pinggang). Perhiasan yang dipergunakan adalah sialu fondreun (anting-anting), alga kala bubu (kalung) dan gala (gelang). Pengantin pria mengenakan celana hitam selutut, baju kuning berpotongan serong dari beludru yang diberi ornamen berwarna merah, kuning di bagian depan, separuh leher dan lengan. Bagian belakang baju ini lebih panjang dan bergambar matahari dan buaya. Selembar ondora, yaitu selendang warna kuning dililitkan di pinggang. Adapun kelengkapan busana ini adalah rai, mahkota berbentuk ikat kepala dengan ujung meruncing segitiga ke atas, kala bobu, yaitu kalung warna hitam dan yang tidak boleh ketinggalan adalah talogu atau pedang. Sumber : Buku Indonesia Indah Jilid ke-10 "Busana Tradisional"

Busana Tradisional Riau Riau Traditional Dress Penulis : Siti Dloyana Kusumah Bagi masyarakat Melayu Riau, penggunaan busana dan kelengkapannya sangat tergantung pada si pemakai. Pakaian seharihari baik untuk di rumah atau di luar rumah berbeda dengan busana dan kelengkapannya untuk peristiwa khusus seperti upacara atau perjamuan resmi. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum pria dan wanita di Riau biasa mengenakan baju kurung yang disebut baju gunting cina. Busana ini umumnya dipakai ketika badan sudah bersih dan akan menunaikan shalat atau hendak menerima tamu yang berkunjung kerumahnya. Kaum pria biasa menggunakan tutup kepala yang disebut kopiah atau songkok, sedangkan kaum wanitanya menutup kepala dengan sepotong kain yang berupa selendang. Selain memakai selendang untuk menutup kepala, sering pula digunakan kain tudung kepala. Meski fungsinya sama, akan tetapi kain tudung kepala menutupi hampir seluruh tubuh pemakainya. Sandal atau kasut merupakan alas kaki yang lazim dipakai oleh kaum wanita dan pria Riau. Pada kesempatan yang lebih formal atau ketika menghadiri upacara, kaum wanita Riau umumnya memakai baju kurung satu sut. Biasanya busana macam ini bahannya terbuat dari kain songket, satin atau sutera. Selendang tidak mutlak dipakai. Namun jika akan memakai selendang warnanya harus disesuaikan dengan warna baju kurung. Penggunaan selendang biasanya dipadukan dengan baju kebaya pendek. Untuk menghadiri acara formal, kaum wanita di Riau juga memakai perhiasan yang terdiri dari kalung, antinganting, gelang tangan, cincin yang terbuat dari emas. Adakalanya perhiasan tersebut terbuat dari bahan suasa, namun pemakainya terbatas pada kalangan rakyat kebanyakan. Dalam pandangan masyarakat Riau, semakin banyak perhiasan yang dipakai seseorang ia akan semakin disegani dan dikagumi. Berbeda dengan busana kaum pria, kelengkapan busana kaum wanita Riau umumnya lebih semarak, meliputi juga kelengkapan kepala. Kelengkapan pada kepala tersebut meliputi, sanggul biasa atau sanggul dua, tusuk sanggul, kembang goyang, sepit rambut, jurai. Untuk bagian dada, badan dan tangan masing-masing dilengkapi dengan kain selempang, sapu tangan kecil dan di pinggang melilit sebuah pending, dan gelang kaki untuk bagian bawah. Adapun busana yang dikenakan kaum pria Riau adalah baju gunting cina, atau baju pesak sebelah dengan kain sarung atau celana, baju kurung leher tulang belut atau cekak musang dengan celana berikut kain samping dari bahan songket yang digunakan menutupi celana hingga sebatas lutut. Bagian kepala ditutupi dengan peci atau songkok. Pengaruh kebudayaan barat tampak juga pada busana kaum pria, yakni dengan adanya kebiasaan untuk memakai celana dan kemeja yang dilengkapi dengan jas. Cincin dari emas dan perhiasan lainnya biasa dipakai kaum pria Riau terutama pada saat menghadiri pertemuan formal atau perhelatan. Di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja Riau, kita kenal juga istilah baju teluk belanga. Sesungguhnya busana tersebut bentuknya tidak jauh berbeda dengan baju cekak musang, dalam pemakaian maupun kelengkapan yang dipakai. Akan tetapi baju teluk belanga ini biasa dilengkapi dengan sebilah keris yang diselipkan di pinggang. Perbedaan busana pengantin Riau daratan dengan Riau kepulauan terletak pada hiasan kepala sebagai mahkota. Hiasan kepala yang dipakai pada upacara perkawinan Riau kepulauan terlihat lebih sederhana dibanding dengan Riau daratan.

Aturan pemakaian keris ini adalah tidak nampak menonjol, hanya bagian hulu yang menyembul dari balik kain. Pada umumnya ketika seorang pria mengenakan baju teluk belanga, bagian kepala dan rambut menggunakan penutup kepala yang disebut tanjak laksmana atau bisa juga bentuk tanjak temenggung dan tanjak menyongsong angin. Perbedaan bentuk ikat kepala tersebut, biasanya disesuaikan dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat atau bisa juga bentuk acara yang akan dihadiri. Dalam sistem kemasyarakatan Riau, kepangkatan atau garis keturunan menjadi dasar pada perbedaan cara berbusana. Meskipun bentuk dan coraknya sama, namun bahan pembuatannya benar-benar berbeda. Kain sutera sangat biasa dijumpai dalam pembuatan busana kaum bangsawan, begitu juga dengan perhiasan. Perbedaannya yakni tambahan mutu manikam atau intan berlian yang dibubuhkan pada perhiasan kaum bangsawan tersebut. Selain dari segi kualitas yang membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat, orang Riau pun mempunyai ketentuan khusus dalam menggunakan warna. Menurut anggapan mereka warna kuning adalah simbol warna kerajaan oleh sebab itu hanya boleh digunakan oleh orang-orang dari kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja Riau. Masyarakat awam atau rakyat kebanyakan tidak diperbolehkan menggunakan warna kuning sebab dianggap tidak beradab. Warna kuning pun dipakai untuk busana pengantin, karena ia mendapat julukan raja sehari.

Busana Tradisional Melayu Jambi Jambi Malay Traditional Dress Suku Melayu Jambi adalah sebutan bagi orang-orang Melayu yang mendiami daerah sepanjang sungai Batang Hari, propinsi Jambi. Sebutan ini dimaksudkan untuk membedakan dengan suku Melayu yang berdiam di daerah lain, seperti Riau, Sumatera Selatan, dan sebagainya. Dalam berbusana sehari-hari pada awalnya hanya dikenal kain dan baju tanpa lengan. Setelah adanya proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari berkembang menjadi baju kurung dan selendang sebagai penutup kepala untuk kaum perempuan. Sedangkan kaum prianya mengenakan celana setengah ruas yang melebar pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga lebih leluasa geraknya dalam melakukan kegiatan seharihari. Pakaian untuk pria ini dilengkapi dengan kopiah sebagai penutup kepala. Pada perkembangan berikutnya dikenal adanya pakaian adat. Pakaian adat ini lebih mewah daripada pakaian sehari-hari yang dihiasi dengan sulaman benang emas dan pemakaian perhiasan sebagai pelengkapnya. Pakaian Adat Pria Laki-laki suku Melayu Jambi dalam berpakaian adat mengenakan lacak di kepalanya. Lacak ini terbuat dari kain beludru warna merah yang diberi kertas tebal di dalammnya agar menjadikannya keras. Tutup kepala ini memiliki dua bagian yang menjulang tinggi, dengan julangan yang lebih tinggi pada bagian depannya. Sebagai hiasan terdapat lukisan flora dari daun, tangkai clan bunga yang akan mekar. Bagian pinggir

sebelah kanan diberi lukisan tali runci, yang diimbangi oleh penempatan bungo runci di sebelah kiri. Bungo runci ini berwarna putih dirangkai dengan benang, dapat berupa bunga asli atau tiruannya. Bajunya disebut baju kurung tanggung berlengan panjang. Disebut tanggung karena panjangnya hanya sedikit di bawah siku tidak sampai ke pergelangan tangan. Hal ini mengandung makna seseorang harus tangkas clan cekatan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Bahannya terbuat dari beludru warna merah diberi sulaman benang emas. Bagian tengahnya terdapat motif kembang bertabur atau kembang tagapo dan kembang melati, sedang bagian pinggirnya bermotifkan kembang berangkai atau pucuk rebung. Penutup bagian bawah disebut cangge (celana). Bahannya masih dari beludru yang dilengkapi dengan tali sebagai ikat pinggang. Dalam mengikat tali ini digunakan teknik ikatan kajut untuk memudahkan dalam membuka nantinya. Sudah menjadi kebiasaan di daerah Jambi mengenakan kain sarung songket yang dililitkan di pinggul. Konon, ini dimaksudkan untuk menjaga sopan santun clan kehormatan kaum wanita (permaisuri raja). Tutup dadanya disebut teratai dada, karena bentuknya seperti bunga teratai dipasang melingkar leher sehingga menyerupai kerah. Kedua tangan dihiasi gelang kilat bahu terbuat dari logam celupan berlukiskan naga kuning. Lukisan naga ini mengandung makna bila seseorang telah diberi kekuasaan janganlah diganggu. Sebagai hiasan dada dikenakan rantai sembilan, sejenis kalung bermakna adanya pembagian kerja clan harus tolong-menolong. Selain itu juga melambangkan sepucuk Jambi sembilan lurah. Dikenakan pula selempang yang menyilang badan terbuat dari songket warna merah keungu-unguan sebagai pasangan kain sarung dengan motif bunga berangkai clan beranting. Bagian pinggangnya dihiasi dengan selendang tipis warna merah jambu yang pada ujung ujungnya diberi umbai-umbai warna kuning. Untuk memperkuat bagian pinggang ini digunakan pending berupa rantai dengan sabuk sebagai kepala terbuat dari logam. Kelengkapan lainnya adalah keris clan selop. Keris diselipkan di perut menyerong ke kanan melambangkan kebesaran sekaligus untuk berjaga-jaga. Sedangkan selop atau alas kaki yang berbentuk setengah sepatu berfungsi untuk melindungi kaki saat berjaalan. Pakaian Adat Wanita Busana untuk perempuan terdiri dari kain sarung songket clan selendang songket warna merah. Bajunya disebut baju kurung tanggung bersulam benang emas dengan motif hiasan bunga melati, kembang tagapo, dan pucuk rebung. Tutup kepalanya disebut pesangkon yang terbuat dari kain beludru merah dengan bagian dalam diberi kertas karton agar keras. Bentuknya bergerigi menyerupai pucuk rebung atau bambu yang baru tumbuh. Ada juga yang menyebut duri pandan karena pada bagian depan tutup kepala ini diberi hiasan dari logam berwarna kuning berbentuk duri pandan. Untuk lebih memperindah diberi sulaman emas dengan motif bunga melati pecah. Hiasan kepala ini masih dilengkapi dengan berbagai macam tumbuhan, seperi pohon beringin, kembang cempaka, bunga matahari, bungo runci, clan bunga pandan. Penempatan pohon beringin lebih tinggi dari bunga-bunga lain di sekeliling pesangkon. Bunga cempaka, bunga matahari, bungo runci letaknya dibagi rata untuk mengisi bagian sebelah kiri clan kanan. Sementara bunga pandan digunakan sebagai hiasan kepala bagian belakang yang dibuat menjurai ke bawah dan dilekatkan pada sanggul lintang. Kelengkapan busana perempuan lebih banyak dibandingkan dengan yang dikenakan oleh pria. Pada perempuan dikenakan anting-anting atau antan dengan motif kupu-kupu atau gelang banjar. Kalungnya terdiri dari tiga

jenis, yaitu kalung tapak, kalung jayo atau kalung bertingkat dan kalung rantai sembilan. Pada jari-jarinya terpasang cincin pacat kenyang dan cincin kijang atau capung. Jumlah gelang yang dipakai pun lebih banyak meliputi gelang kilat bahu masing-masing lengan dua buah. Masih ditambah dengan gelang kano, gelang ceper dan gelang buku beban. Kesemuanya di pasang di lengan. Khusus untuk gelang buku beban bahannya berasal dari permata putih. Sementara untuk kaki dikenakan gelang nago betapo dan gelang ular melingkar. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai naga dalam dongeng sedang tidur clan ular yang melingkar membentuk bulatan. Sedangkan unsur-unsur kelengkapan yang lain seperti teratai dada (tutup dada), pending dan sabuk (ikat pinggang), selendang, dan selop hampir sama dengan yang dikenakan pria. Bedanya bentuk motif yang lebih besar pada teratai dada dan pending. Pakaian Baselang Masyarakat suku Melayu Jambi yang mendiami sepanjang sungai Batang Hari sebagian besar hidup dari bertani. Teknik clan cara pertanian yang dijalankannya masih terhitung sederhana, dan karenanya memerlukan kerja sama atau bergotong-royong. Terlebih saat menuai, di mana sebagian besar kegiatan dilakukan oleh bujang clan gadis, yang disebut baselang atau pelarian. Acaranya sendiri dibedakan menjadi dua, kecil dan besar. Pembedaan ini mempengaruhi pada variasi pakaian yang dikenakan, khususnya yang dikenakan para gadis. Jika acaranya kecil maka pakaian yang dikenakan berfungsi ganda sebagai pakaian upacara maupun bekerja. Kelengkapannya terdiri dari sarung warna merah yang dipakai sedikit di bawah lutut (tanggung), baju kurung berlengan tanggung yang letaknya di luar kain, selendang warna merah dililitkan di kepala serta membawa perlengkapan lain seperti ani-ani clan kiding (tempat padi). Pada acara besar pakaian dibedakan untuk upacara dan bekerja. Dalam rangkaian upacara tersebut terdapat hiburan sehingga pakaian yang dikenakan pun lebih bagus. Selendang songket yang dikenakan sebagai penutup kepala diberi sulaman benang emas dan umbai-umbai di ujungnya. Motifnya digunakan daun pakis dan terawang yang diletakkan memanjang dari ujung ke ujung. Kemudian baju kurung tanggung warna merah agak keungu-unguan dari beludru yang diberi sulaman pada bagian setengah badan ke bawah dengan motif bola-bola kecil berukir. Selebihnya polos, kecuali bagian leher sebelah depan. Kain songketn berwarna merah tua bermotifkan kembang melati pecah dan bagian pinggir bermotifkan daun pakis. Dilengkapi dengan selempang warna kuning dari bahan tetoron, gelang ukuran sedang dua buah clan ikat pinggang yang berbentuk kotakkotak berangkai satu sama lainnya. Penulis : Dewi Indrawati

Busana Tradisional Bengkulu Bengkulu Traditional Dress Dimasa kini busana adat Bengkulu yang populer adalah gaya Melayu Bengkulu yang tampak mendapat pengaruh dari gaya-gaya Melayu yang pada dasarnya terdapat dari seluruh Sumatera khususnya Minangkabau, Jambi dan Riau. Gaya busana ini dikenakan masyarakat untuk menghadiri pesta-pesta adat yang penting. Pakaian adat pria Susunan busana adat pria terdiri atas jas, sarung, celana panjang, alas kaki yang dilengkapi dengan tutup kepala dan sebuah keris. Jas tersebut dari kain bermutu seperti wol dan sejenisnya dan biasanya berwarna gelap seperti hitam atau biru tua. Demikian pula untuk celananya terbuat dari bahan dan warna yang sama. Versi lain dari jas adalah sejenis jas tertutup dari bahan beludru hitam, merah tua atau biru tua yang bertaburkan corak-corak sulaman atau lempeng-lempeng emas. Pada bagian dada tergantung sebentuk lidah penutup, mirip dasi dengan hiasan-hiasan benang emas. Celana paduannya terbuat dari beludru dengan taburan corakcorak benang emas juga walaupun tidak selalu dalam warna yang sama dengan jas. Sarung dikenakan sebagai samping di bawah jas sampai sedikit di atas lutut. Samping biasanya terbuat dalam teknik songket benang emas atau perak dan disebut sarung segantung. Sebagian pelengkap busana pada kepala dipakai detar dari kain songket emas atau perak, alas kaki beludru dengan corak-corak keemasan, sebilah keris dan gelang emas di tangan kanan. Pakaian adat wanita Kaum wanita Melayu Bengkulu mengenakan baju kurung berlengan panjang, bertabur corak-corak, sulaman emas berbentuk lempenganlempengen bulat seperti uang logam. Bahan baju kurung umumnya beludru dalam warna-warna merah tua, biru tua, lembayung atau hitam. Sarung songket benang emas atau perak dalam warna serasi dari sutra merupakan perangkat busana yang dikenakan dari pinggang sampai dengan mata kaki. Sehelai kampuh dari satin sutra bersulam emas, diselempang pada bagian dada kebelakang punggung membentuk huruf V. Perhiasan keemasan disematkan sebagai sunting-sunting pada sanggul di kepala, bersama-sama dengan antinganting berukir dari emas, yang sebenarnya merupakan kepanjangan dari kembang goyang di kepala sedemikian rupa sehingga seolah-olah bergantung disebelah daun telinga, menyentuh bahu. Hiasan di sanggul atau konde biasanya terdiri dari sikek berbentuk bulan sabut, dipadukan dengan tusuk konde, cokonde balon, dan jumbaijumbai kiri dan kanan.

Di dada pada bagian atas kampuh bergantungan gelamor berukir, berlapis-lapisan dalam jumlah banyak, menurun sampai daerah pinggang yang dilingkari oleh sebuah pending berangkai yang terbuat dari emas. Pergelangan tangan dan jari jemari dilingkari dengan mandering dan cincin permata. Alas kaki memakai selop bersulam emas. Penulis : Biranul Anas

Busana Tradisional Lampung Lampung Traditional Dress Daerah Lampung dikenal sebagai penghasil kain tapis, kain tenun bersulam benang emas yang indah. Kain ini dibuat oleh wanita. Pada penyelenggaraan upacara adat, seperti perkawinan, tapis yang dipenuhi sulaman benang emas dengan motif yang indah merupakan kelengkapan busana adat daerah Lampung. Dalam keseharian laki-laki Lampung mengikat kepalanya dengan kikat. Bahannya dari kain batik. Bila dipakai dalam kerapatan adat dipadukan dengan baju teluk belanga dan kain. Lelaki muda Lampung lebih menyukai memakai kepiah/ketupung, yaitu tutup kepala berbentuk segi empat berwarna hitam terbuat dari kain tebal, apalagi kalau ingin bertemu dengan gadis. Untuk mengiring pengantin dikenakan kekat akkin, yaitu destar dengan bagian tepi dihias bunga-bunga dari benang emas dan bagian tengah berhiaskan siger, serta di salah satu sudutnya terdapat sulaman benang emas berupa bunga tanjung dan bunga cengkeh. Sebagai penutup badan dikenakan kawai, yaitu baju berbentuk teluk belanga belah buluh atau jas. Baju ini terbuat dari bahan kain tetoron atau belacu dan lebih disukai yang berwarna terang. Tetapi sekarang banyak digunakan kawai kemija, yaitu bentuk kemeja seperti pakaian sekolah atau moderen. Pemakaian kawai kemija ini sudah biasa untuk menyertai kain dan peci, ketika menghadiri upacara adat sekalipun. Bagian bawah mengenakan senjang, yaitu kain yang dibuat dari kain Samarinda. Bugis atau batik Jawa. Tetapi sekarang telah dikenal adanya celanou (celana) pendek dan panjang sebagai penganti kain. Kaum wanita Lampung sehari-hari memakai kanduk/kakambut atau kudung sebagai penutup kepala yang

dililitkan. Bahannya dari kain halus tipis atau sutera. Selain itu, kaum ibu kadangkadang menggunakannya sebagai kain pengendong anak kecil. Lawai kurung digunakan sebagai penutup badan, memiliki bentuk seperti baju kurung. Baju ini terbuat dari bahan tipis atau sutra dan pada tepi muka serta lengan biasa dihiasi rajutan renda halus. Sebagai kain dikenakan senjang atau cawol. Untuk mempererat ikatan kain (senjang) dan celana di pinggang laki-laki digunakan bebet (ikat pinggang), sedangkan wanitanya menggunakan setagen. Perlengkapan lain yang dikenakan oleh laki-laki Lampung adalah selikap, yaitu kain selendang yang dipakai untuk penahan panas atau dingin yang dililitkan di leher. Pada waktu mandi di sungai, kain ini dipakai sebagai kain basahan. Selikap yang terbuat dari kain yang mahal dipakai saat menghadiri upacara adat dan untuk melakukan ibadah ke masjid. Untuk menghadiri upacara adat, seperti perkawinan kaum wanita, baik yang gadis maupun yang sudah kawin, menyanggul rambutnya (belatung buwok). Cara menyanggul seperti ini memerlukan rambut tambahan untuk melilit rambut ash dengan bantuan rajutan benang hitam halus. Kemudian rajutan tadi ditusuk dengan bunga kawat yang dapat bergerak-gerak (kembang goyang). Khusus bagi wanita yang baru menikah, pada saat menghadiri upacara perkawinan mengenakan kawai/kebayou (kebaya) beludru warna hitam dengan hiasan rekatan atau sulaman benang emas pada ujung-ujung kebaya dan bagian punggungnya. Dikenakan senjang/ cawol yang penuhi hiasan terbuat dari bahan tenun bertatah sulam benang emas, yang dikenal sebagai kain tapis atau kain Lampung. Sulaman benang emas ada yang dibuat berselang-seling, tetapi ada yang disulam hampir di seluruh kain. Para ibu muda dan pengantin baru dalam menghadiri upacara adat mengenakan kain tapis bermotif dasar bergaris dari bahan katun bersulam benang emas dan kepingan kaca. Di bahunya tersampir tuguk jung sarat, yaitu selendang sutra bersulam benang emas dengan motif tumpal dan bunga tanjung. Selain itu, juga dapat dikenakan selekap balak, yaitu selendang sutra disulam dengan emas dengan motif pucuk rebung, di tengahnya bermotifkan siger yang di kelilingi bunga tanjung, bunga cengkeh dan hiasan berupa ayam jantan. Untuk memperindah dirinya dipergunakan berbagai asesoris terbuat dari emas. Selambok/rattai galah, yaitu kalung leher (monte) berangkai kecil-kecil dilengkapi dengan leontin dari batu permata yang ikat dengan emas. Kelai pungew, yaitu gelang yang dipakai di lengan kanan atau kiri, biasanya memiliki bentuk seperti badan ular (kalai ulai). Pada jari tengah atau manis diberi cincin (alali) dari emas, perak atau suasa diberi mata dari permata. Dikenakan pula kalai kukut, yaitu gelang kaki yang biasanya berbentuk badan ular melingkar serta dapat dirangkaikan. Kalai kukut ini dipakai sebagai perlengkapan pakaian masyarakat yang hidup di desa, kecuali saat pergi ke ladang. Pakaian mewah dipenuhi dengan warna kuning keemasan dapat dijumpai pada busana yang dikenakan pengantin daerah Lampung. Mulai dari kepala sampai ke kaki terlihat warna kuning emas.

Busana Tradisional Palembang Palembang Traditional Dress Penulis Sri Murni Biranul Anas

Busana ini sebenarnya berasal dari masa-masa kesultanan Palembang sekitar abad ke 16 sampai pertengahan abad ke 19, dan dikenakan oleh golongan keturunan raja-raja yang disebut Priyai. Pakaian kebesaran untuk lakilaki dilengkapi dengan tanjak (tutup kepala) yang terbuat dari kain batik atau kain tenunan. Tanjak dibedakan atas tanjak kepudang, tanjak meler dan tanjak bela mumbang. Semuanya terbuat dari kain songket (kain tenunan tradisional) Palembang. Baju yang dikenakan disebut kebaya pendek, atau bisa juga mengenakan kebaya landoong atau kelemkari yaitu kebaya panjang hingga di bawah lutut. Baju ini dibuat dari kain yang ditenun dan disulam dengan benang emas maupun benang biasa yang berwarna, atau dapat juga dicap dengan cairan emas perada (diperadan). Pada bagian dalam dikenakan penutup dada yang disebut kutang, terbuat dari kain yang ditenun, disulam, maupun diperadan. Tutup dada biasanya diberi hiasan permata. Pakaian bagian bawah berupa celana panjang yang dinamakan celano belabas, yang terbuat dari kain yang ditenun. Mulai dari bagian bawah lutut sampai ke arah mata kaki disulam (diangkeen) dengan benang emas. Ada pula yang disulam dari bagian pinggul sampai ke mata kaki dengan motif lajur. Jenis celana yang lain disebut dengan celano lok cuan (celana pangsi; celana yang panjangnya sebatas lutut). Jenis celana ini tidak disulam dengan benang emas, dan ukuran celananya lebih lebar. Setelah celana panjang dikenakan selembar kain yang disebut sewet bumpak. Kain ini dibuat dengan cara ditenun, ditaburi dengan bunga-bunga kecil dari benang emas, serta diberi tumpal benang emas. Kemudian pada bagian bawah selebar lebih kurang 10 atau 12 cm. diberi pinggiran benang emas. Busana ini dilengkapi dengan ikat pinggang yang disebut badong, terbuat dari suasa, perak, atau tembaga yang dilapisi emas. Pada bagian luarnya ditatah dengan abjad atau angka-angka Arab, yang diyakini dapat membawa berkah dan keselamatan bagi pemakainya. Badong yang terkenal disebut badong jadam, yang dianggap jenis yang paling istimewa karena memiliki khasiat ampuh. Badong ini terbuat dari campuran berbagai bahan logam. Pelengkap busana yang lain adalah keris. Sarung keris (pendok) terbuat dari emas, suasa, atau perak dengan tatahan bermotif bunga. Ada juga yang diberi batu permata, tergantung pada taraf ekonomi pemakainya. Keris ini diselipkan pada lambung sebelah kiri, dan sarungnya tidak kelihatan karena ditutupi kain atau celana. Hanya seorang raja yang boleh memakai keris dengan gagangnya menghadap keluar. Busana ini juga dilengkapi dengan alas kaki jenis terompah. Pakaian sehari-hari Pakaian orang laki-laki (wong lanang) terdiri dari kain (sewet), baju (kelambi), tutup kepala dengan jenisnya disebut tanjak, iket-iket atau kopiah (kopca), dan memakai alas kaki yang disebut gamparan atau terompah. Selanjutnya busana ini dilengkapi dengan sejenis senjata tajam, seperti keris, tumbak lado, badeek, rambi ayam, atau jembio. Kain (sewet) biasanya ditenun sendiri atau dibeli dari pulau Jawa. Demikian juga baju (kelambi) biasa ditenun sendiri, atau membeli bahan baju dari Jawa, Cina, India, atau Eropa. Laki-laki Palembang gemar memakai baju jenis bela booloo, yang dibedakan atas tiga jenis yaitu: memakai kancing (bemben), memakai kantong biasa, dan memakai kantong terawangan. Tutup kepala juga dibuat sendiri dengan cara ditenun, dan diberi angkinan dari kain batik yang didatangkan dari Gresik, Lasem, Indramayu, atau Betawi. Saat ini sudah jarang orang yang memakai tanjak, sebagai gantinya dikenakan kopiah sebagai penutup kepala. Untuk alas kaki yang berbentuk gamparan terbuat dari potongan kayu yang bermutu, seperti kayu meranti payo atau ngerawan. Sebagai pakaian sehari-hari, orang laki-laki umumnya mengenakan kain (sewet sempol) dan baju beta booloo. Ada juga yang memakai seluar (celana) panjang atau celana model pangsi (lok cuan). Pada umumnya mereka mengenakan tutup kepala, baik waktu bepergian maupun ketika sedang di rumah, karena mereka menganggap tutup kepala lebih penting dari baju. Jenis tutup kepala yang biasa dikenakan adalah kopiah (kopca). Pakaian untuk di rumah tidak dilengkapi dengan alas kaki.

Pada saat akan bepergian, mereka selalu mengenakan pakaian yang terbaik dan rapi. Mereka biasa mengenakan kain pelekat, yang halus dari jenis tajung Bugis atau gebeng Palembang. Baju yang dikenakan berupa jas tutup terbuat dari bahan linen, kamhar, atau las. Bagi orang kaya tidak ketinggalan jam kantong dengan medalion. Pakaian ini dilengkapi dengan ikat pinggang (cak pinggang) terbuat dari kulit. Sebagai alas kaki adalah terompah atau sepatu tanpa tali. Busana untuk bepergian tersebut juga lazim dikenakan kaum laki-laki pada kegiatan-kegiatan perayaan. Busana untuk perempuan (wong betino) terdiri dari kain (sewet saroong), umumnya batik Betawi atau yang dinamakan sewet mascot. Baju yang dikenakan disebut baju kooroong (kurung) terbuat dari kain belacu. Baju kurung ini lazim dikenakan oleh perempuan yang sudah tua, sedangkan perempuan muda memakai baju kebaya. Mereka juga mengenakan selendang (kemben), yang dikenakan pada kepala, bahu, dada, dan dahi. Untuk ikat pinggang dikenakan sejenis pending yang disebut badong atau angkin. Tetapi saat ini jenis ikat pinggang tersebut sudah jarang dikenakan, sebagai penggantinya dipakai setagen (kain kecil yang sangat panjang yang dikenakan melilit perut, berasal dari Jawa). Sedangkan sebagai alas kaki dikenakan terompah dengan sulaman klingkan bagi perempuan yang sudah tua, dan untuk orang muda mengenakan cenela atau selop tungkak tinggi (sandal bertumit tinggi). Wanita yang sudah menikah atau yang sudah tua lazim memakai selendang sebagai tutup kepala, yang disebut koodoong (kerudung) kajang atau koodoong trendak. Namun sejak tahun 1942 koodoong kajang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan mengalami perubahan fungsi sebagai tudung saji atau tutup makanan. Selendang tersebut biasanya diberi rumbai-rumbai (rumbe rumbe). Pada masa lalu, semua bahan pembuatan busana tersebut didatangkan dari Jawa, Cina, India, dan Singapura. Saat ini orang Palembang sudah dapat membuat sendiri busana mereka dengan bahan-bahan yang diperoleh dari alam sekitarnya. Sebagai pakaian sehari-hari, kaum perempuan lazim mengenakan kain (tenunan tradisional Palembang atau kain batik dari Jawa), baju kurung (kooroong) dengan panjang sebatas lutut, dan tutup kepala (tengkoolook). Rambut disisir dengan rapi dan diberi minyak lengo (minyak kelapa yang dicampur dengan daun pandan yang diiris halus, serta dicampur dengan bunga-bunga yang harum). Kemudian rambut ditata dengan sanggul, yang disebut geloongan coompook atau geloongan temakoo setebek. Pada saat menghadiri suatu upacara adat, pakaian yang lazim dikenakan terdiri atas kain sarung (sewet saroong) batik yang halus, baju kurung yang panjangnya sampai lutut atau kebaya yang tepinya diberi renda hingga menutup dada (untuk remaja putri), rambut disanggul, dan terompah atau selop. Busana ini dilengkapi dengan sehelai selendang besar yang dipakai dengan rapi menutupi kepala sampai bahu, sehingga yang nampak hanya mata dan hidung pemakainya. Sebagai perhiasan pelengkap busana ini adalah kalung emas dengan liontin permata berlian atau intan, rangkaian peniti terbuat dari emas atau perak, gelang (jenis gelang yang terkenal disebut gelang kepalak ulo), serta gelang kaki (yang terkenal adalah gelang sekel kepalak nago). Untuk menghadiri suatu upacara adat yang disebut penganten mungga, busana yang dikenakan kaum wanita adalah serba songket. Busana ini hanya boleh dikenakan oleh perempuan yang sudah bersuami. Songket ini merupakan pemberian suami ketika mereka menikah sebagai salah satu mas kawin. Dari mutu kain songket tersebut dapat terlihat kekayaan atau kemampuan keluarga yang memilikinya. Semakin halus songket yang dimilikinya, menandakan kekayaan keluarga yang bersangkutan. Sebagai kelengkapan busana serba songket ini sama dengan perhiasan yang lazim dikenakan untuk menghadiri upacara-upacara adat lainnya.

Busana Tradisional Priangan dan Cirebon Priangan and Cirebon Traditional Dress

Dari masa ke masa, masyarakat Jawa Barat khususnya di Priangan dan Cirebon terus mengembangkan model busana sesuai dengan perkembangan zaman dan berbagai ketentuan pemerintah yang turut pula mengatur tata cara berbusana masyarakat Jawa Barat. Berkain kebaya pada dasarnya digunakan oleh kaum perempuan disemua lapisan, dari rakyat biasa sampai kalangan bangsawan Priangan maupun Cirebon. Meskipun bentuk dasarnya sama namun terdapat variasi terutama dalam hiasan yang disesuaikan dengan keinginan/kebutuhan pemakainya. Di kalangan istri pembesar, bahan kebaya yang digunakan berbeda dari rakyat biasa. Biasanya mereka menggunakan bahan yang berkualitas tinggi seperti sutera atau beludru serta corak hias yang lebih anggun. Busana jajaka adalah baju takwa dan celana warna hitam dilengkapi dengan kain dodot dan tutup kepala bendo terbuat dari kain batik halus bermotif sama dengan kain dodot. Untuk kesempatan resmi busana resmi wanita priangan dilengkapi dengan sehelai selendang berwarna sama dengan kebaya dan alas kakinya berupa sandal selop. Pada bagian kebaya dari leher sampai ujung bawah kebaya surawe terdapat hiasan dari pasmen, demikian pula pada sekeliling lengan dan pada seputar bawah kebaya. Sebagai penyambung belahan kebaya, digunakan peniti. Adakalanya peniti itu terbuat dari logam mulia yang disambung-sambungkan dengan rantai kecil disebut panitih rantay. Adapun masyarakat Cirebon, baik rakyat biasa maupun kalangan Keraton mengenakan baju sorong atau baju kurung. Sama halnya dengan kebaya, kain batik pun digunakan pula oleh semua lapisan masyarakat, baik di Priangan maupun di Cirebon. Umumnya yang digunakan mereka adalah kain-kain batik buatan setempat seperti batik garutan, ciamisan bagi masyarakat Priangan dan batik dermayon atau trusmi untuk orang Cirebon Penggunaan kain batik yakni dililitkan pada bagian bawah badan, dari pinggang hingga ke pergelangan kaki. Untuk memperkuat dililitkan beulitan atau sabuk pada pinggang pemakai. Zaman dahulu, perempuan di Priangan dan Cirebon tidak mengenal lamban atau lepe (melipat bagian pinggir kain) namun kebiasaan tersebut baru dikenal sekitar dekade ketiga atau keempat abad 20 ini. Pada masa pemerintahan Belanda, pernah dikeluarkan peraturan tentang bentuk dan cara berpakaian bagi para bangsawan dan pejabat pemerintah pria saat itu. Aturan tersebut berupa keseragaman pakaian pada saat-saat tertentu. Bentuk pakaian/busana tersebut merupakan perpaduan antara tradisi Sunda, Jawa dan Eropa terutama Belanda. Oleh karena itulah pada busana pejabat atau bangsawan terdapat hiasan dari pasmen yang disesuaikan dengan tinggi rendahnya jabatan. Di kalangan rakyat biasa baju yang dikenakan adalah potongan kampret, warna hitam atau putih. Bentuk kampret tersebut juga menjadi bentuk dasar dari model busana para pejabat dan kalangan bangsawan. Yang membedakan keduanya adalah, pada busana pejabat terdapat lidah-lidah pada bagian leher yang berkancing kait atau kancing pentul. dan dihiasi dengan pasmen. Laki-laki di Priangan dan Cirebon pada umumnya mengenakan sarung (poleng, polekat). Cara mengenakan sarung ini sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya dikerudungkan, diikatkan pada pinggang atau dililitkan. Namun demikian kalangan bangsawan tidak pernah menggunakan sarung pada kesempatan resmi, mereka lebih suka memakai kain batik halus. Cara memakai kain batik tersebut ada beberapa bentuk, dilepas sampai pergelangan kaki, sebatas lutut dan sedikit di atas lutut. Celana panjang model komprang digunakan oleh laki-laki di Priangan dan Cirebon. Model ini sesungguhnya adalah bentuk dasar celana kaum bangsawan yang dihias dengan pasmen memanjang dari atas ke bawah pada bagian tengah samping sekeliling lubang celana. Kaum laki-laki di Priangan dan Cirebon mengenakan iket sebagai penutup kepala, baik di kalangan rakyat biasa maupun di kalangan bangsawan. Yang membedakannya hanyalah bahan dasar iket tersebut. Di kalangan rakyat kebanyakan terbuat dari batik kasar, sedangkan kaum bangsawan menggunakan kain batik halus. Khusus para bangsawan Cirebon menggunakan kain wulung. Iket tersebut kemudian berkembang menjadi bendo yakni tutup kepala yang terbuat dari kain batik yang dicetak menurut ukuran kepala tertentu.

Bendo di Priangan dan Cirebon berbeda terutama pada bagian depan. Bagian depan bendo Cirebon terdapat garis selebar 4 cm yang makin ke dalam makin kecil. Di bagian belakang bendo Priangan terdapat ikatan simpul ujung-ujung kain. Bendo biasa digunakan oleh kalangan bangsawan atau pejabat pemerintahan, sedangkan rakyat kebanyakan tetap memakai iket. Kelengkapan Busana Priangan dan Cirebon Pada kalangan rakyat kebanyakan mengenakan busana biasanya lebih ditekankan kepada fungsi praktisnya, sebaliknya cara berbusana kalangan atas/bangsawan lebih banyak memperhatikan fungsi estetisnya. Dengan demikian, berpengaruh kuat pada penggunaan kelengkapan busananya seperti perhiasan dan alas kaki. Kaum perempuan di kalangan rakyat kebanyakan, untuk tampil cantik cukup memakai busana sederhana dengan perhiasan gelang emas /perak, gelang bahar, suweng pelenis baik yang terbuat dari emas atau perak, ali meneng. Meskipun catatan sejarah mengatakan bahwa zaman dahulu mereka tidak menggunakan alas kaki, namun kini sandal, selop atau kelom sudah menjadi bagian dari berbusana. Adapun perempuan di kalangan bangsawan Priangan dan Cirebon melengkapi busananya dengan seperangkat perhiasan yang terdiri dari kalung emas, gelang emas dan giwang emas. Seringkali pula perhiasan tersebut terdiri bukan hanya dari emas tetapi ditaburi dengan kilauan intan berlian. Untuk alas kaki, mereka memakai selop yang pada bagian ujung atasnya dihiasi dengan manik-manik. Jika perhiasan kaum perempuan agak kompleks dan beragam, tidak demikian halnya dengan kaum laki-laki. Dalam berbagai kesempatan khusus, mereka baru memakai perhiasan dalam batas-batas tertentu. Perhiasan tersebut umumnya berupa cincin emas, hiasan jas di bagian dada terdiri dari rantai emas/perak dengan liontin dari kuku harimau. Sebagai alas kaki bisa memakai selop atau sepatu. Penulis : Siti Dloyana Kusumah

Busana Tradisional Baduy Baduy Traditional Dress Penulis : Jaya Purnawijaya

Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam. Wilayah desa Kanekes merupakan tanah adat suku Baduy, seluruh penduduknya adalah suku Baduy dan tidak bercampur dengan penduduk luar. Mereka bertutur dalam bahasa Sunda Buhun atau Sunda Kuno, dengan ciri sub dialek Banten. Ciri bahasa yang digunakan suku Baduy adalah tidak memiliki tinggi-rendah bahasa dengan aksen tinggi dalam lagu kalimat. Letak perkampungan biasanya berada di celah-celah bukit dan lembah yang ditumbuhi pepohonan besar. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya berjauhan. Penduduknya menjaga, melindungi pohon dan hutan di sekitarnya dengan baik. Peraturan adat sangat menentukan dalam sikap hidup suku Baduy, baik untuk keseimbangan hidup antar sesama maupun kelestarian kehidupan alamnya. Kehidupan sehari-harinya bersahaja. Barangbarang "modern" seperti sabun, kosmetik, piring, gelas dan peralatan pabrik dilarang dipakai. Tak ada listrik, radio dan televisi. Semuanya itu tabu (pamali). Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, disebut Panamping yang tinggal di 36 kampung luar dan Baduy Dalam, disebut Kajeroan yang tinggal di tiga kampung utama. Baduy Dalam, mengelompok menurut asal keturunan (tangtu) mereka, yaitu tangtu Cibeo, tangtu Cikertawana dan tangtu Cikeusik. Dalam pandangan suku Baduy, mereka berasal dari satu keturunan, yang memiliki keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Baduy Dalam merupakan paroh masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai?? ?budaya? ?? warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu. Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar. Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.

Kelengkapan busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya. Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitamhitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup. Dari model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Memang, pakaian bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu merupakan warisan yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga.

Busana Tradisional Betawi Betawi Traditional Dress Pengantin laki-laki dengan dandanan cara haji, biasanya menggunakan tutup kepala yang disebut alpia atau alpie. Topi pengantin laki-laki yang berasal dari tanah suci Mekah ini tingginya 15 - 20 cm dan dililit dengan

sorban kain, warna putih, gading atau kadang-kadang kuning. Ron je atau untaian bunga melati yang ujung bawahnya ditutup bunga cempaka dan ujung atasnya diberi sekuntum mawar merah, diletakkan sebanyak 3 (tiga) untai di pinggir kiri alpia. Terkadang di bagian atas disematkan sepasang kembang goyang. Mengenai tata rias wajah, tidak ada yang khusus. Hanya sedikit bedak yang ditaburkan di wajah agar terkesan rapi. Biasanya kumis dan cabang juga dirapihkan agar tampak bersih. Busana yang dikenakan berupa jubah terbuka, yang agak longgar dan besar. Bagian jubah ini, biasanya dihiasi dengan emas dan manik-manik bermotif burung hong, bunga-bungaan, kubah mesjid dan lain sebagainya. Sebelum mengenakan jubah, biasanya seorang pengantin laki-laki memakai gamis (baju dalam) polos berwarna muda yang panjangnya kira-kira sampai mata kaki -dan tidak boleh melebihnya. Gamis lebih panjang sekitar 10 cm dari jubah. Sebuah selempang berhiaskan mute sebagai tanda kebesaran pun dikenakan boleh di dalam maupun di luar jubah. Sebagai alas kaki, biasanya digunakan sepatu kulit dengan kaos kaki yang merupakan pengaruh Belanda sejak abad ke 19. Namun, masih ada pula pengantin yang mengenakan selop atau terompah. Keterpaduan berbagai unsur budaya muncul dalam kekayaan busana pengantin wanita Betawi yang terkesan meriah. Tuaki, adalah baju bagian atas (blus) yang dikenal memiliki 2 (dua) model, yaitu model shianghai (Cina), dan model baju kurung (Melayu). Syarat utama dari tuaki ini adalah bahannya yang polos. Motif-motif hiasan emas, mote atau manik-manik yang diletakan di ujung lengan, daerah sekitar dada, bagian bawah baju sangat bervariasi. Dari ragam hias geometris, bunga-bunga sampai motif burung hong. Ciri khas model shianghai adalah krahnya yang tertutup. Lengan panjangnya diberi benang karet pada pergelangan. Model yang mengikuti bentuk badan sipemakai, panjangnya sebatas pinggul. Biasanya diberi pemanis dengan tambahan kain pada pinggiran bawah tuaki yang dirimpel keliling. Tuaki bentuk baju kurung, modelnya seperti baju kurung Melayu umumnya. Panjang lengan agak longgar. Padanan tuaki adalah kun, yaitu rok melebar ke bawah dengan panjang sampai ke mata kaki. Kun juga di beri hiasan benang tebar dengan kombinasi sesuai tatahan motif pada tuaki. Warna yang terbuat dari bahan polos ini pun disesuaikan dengan warna tuaki. Warna-warna cerah yang dipilih, baik dari bahan satin ataupun beludru, serta gemerlapan hiasan tuaki dan kun ini melambangkan suka cita dan keceriaan kedua pengantin dan seluruh kelua-rganya. Model baju yang sangat sederhana pada busana adat pengantin wanita Betawi ini, tampil begitu meriah dengan perlengkapan yang serba unik. Teratai, yaitu perhiasan penutup dada dan bahu adalah salah satu ciri yang sangat khas. Hiasan ini terbuat dari bahan beludru bertatahkan hiasan logam pada permukaannya dengan motif bunga tanjung. Aslinya adalah emas, namun saat ini umumnya menggunakan mute. Teratai ini berjumlah 8 (delapan) lembar kecil, yang kemudian dirangkai menjadi susunan delapan daun teratai yang simetris. Keunikan lainnya terdapat pada tata rias di bagian kepala. Rambut disanggul dengan model buatun atau konde cepol tanpa sasakan. Caranya adalah dengan melilitkan secara berputar, sehingga membentuk 3 (tiga) tingkat lingkaran, yang kemudian dipadatkan dengan tusuk konde. Ketiga tingkat lingkaran ini melambangkan siklus kehidupan yang dimulai dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Letak sanggul di tengah-tengah agak ke atas memperlihatkan tengkuk pengantin. Bersih atau tidaknya tengkuk yang tampak, merupakan pertanda apakah pengantin wanita mampu menjadi ibu rumah tangga yang mampu memelihara kebersihan fisik dan rohani dalam kehidupan berumah tangga atau tidak. Hiasan kepala yang digunakan cukup kompleks. Salah satunya yang unik adalah siangko bercadar yang melambangkan kesucian seorang gadis. Siangko bercadar selalu berwarna emas, karena aslinya terbuat dari emas, atau bahan perak. Biasanya dihiasi batu-batu permata, bahkan ada yang bertahtakan intan berlian. Panjang cadarnya 30 cm, terbuat dari manik-manik. Saat ini banyak digunakan mote pasir dengan gumpalan benang wol merah di ujungnya. Selain yang bercadar, siangko lainnya jumlah 3 (tiga) buah. Dipakai di belakang sanggul sebagai penutup ikatan siangko bercadar. Siangko bercadar yang berfungsi menutupi wajah pengantin wanita merupakan lambang kesuciannya, yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai putri oleh orang lain. Di atas Siangko bercadar ini, diletakkan sigar atau mahkota dengan motif bungabungaan yang dipenuhi permata. Hiasan rambut lainnya adalah tusuk paku atau kembang paku berjumlah

10 buah atau lebih yang dimaksudkan sebagai penolak bala. Tusuk bunga atau kembang tancep berjumlah 5 buah yang melambangkan rukun Silam, kewajiban yang harus dijalankan oleh pengantin sebagai seorang Muslim. Kembang goyang yang berjumlah 20 buah, juga dikarenakan sebagai hiasan rambut bersama dengan 2-4 buah kembang kelapa yang dipasang di kiri dan kanan sanggul. Apabila kembang goyang melambangkan pengakuan terhadap 20 sifat kebesaran Allah, yang wajib diturunkan dan diajarkan pada anak keturunannya kelak; maka kembang kelapa merupakan simbol pengharapan agar perkawinan yang dilakukan tetap kokoh, kuat seperti pohon kelapa, sehingga akan menjadi perkawinan yang langgeng, sejahtera dan bahagia. Hiasan burung hong atau dikenal dengan sebutan kembang besar atau kembang gede adalah hiasan lain yang tidak boleh ketinggalan. Jumlahnya yang empat buah melambangkan 4 (empat) sahabat Rasullullah, Nabi Besar Muhammad SAW. Sementara itu, burung hong sendiri dianggap sebagai simbol burung surga yang melambangkan kebahagiaan kedua pengantin. Letak burung hong ini juga memiliki arti tersendiri, yang berkaitan dengan kecocokan antara pihak keluarga kedua pengantin. Dari hiasan kepala pengantin wanita yang telah dikemukakan, satu bentuk perhiasan yang dipercaya memiliki kekuatan magis adalah sunting atau sumping telinga. Apabila sunting ini dipakai oleh seorang pengantin yang tidak perawan atau tidak gadis lagi, maka si pemakai akan pusing-pusing dan bahkan pingsan. Selain sunting, sebagai pelengkap yang menunjang keserasian, biasanya telinga pengantin dihias dengan sepasang kerabu. Kerabu ini merupakan perpaduan anting dan giwang yang dijadikan satu. Tusuk konde berupa pasak berbentuk huruf leam (huruf Arab) merupakan simbol pengakuan akan keesaan Allah ditusukkan di atas siangko kecil penutup simpul tali cadar. Sebelum rerurub atau ruruban, yaitu sebuah kerudung dari kain halus dan tipis, ditutupkan ke seluruh riasan wajah pengantin wanita, di beberapa daerah di atas dahi pengantin diberi tanda berbentuk bulan sabit. Tanda bulan sabit berwarna merah ini merupakan perlambang bahwa di gadis telah menjadi pengantin. Sementara ruruban merupakan tanda kesuciannya. Selain perhiasan untuk kepala, pengantin wanita juga mengenakan perhiasan berupa kalung tebar yang dipakai melingkar leher di atas teratai Betawi. Gelang listring dan gelang selendang mayang, serta cincin emas yang berhiaskan permata menjadi hiasan lengan, pergelangan tangan dan jari pengantin wanita. Keunikan juga tampak pada alas kaki yang digunakan. Mempelai wanita mengenakan selop berbentuk perahu kolek, dengan ujung melengkung ke atas dan dihias dengan tatahan emas dan manikmanik, atau mute. Aslinya seluruh perhiasan yang dikenakan oleh pengantin wanita Betawi terbuat dari emas dan dihiasi intan permata. Namun saat ini, umumnya hanya merupakan sepuhan warna emas, sedangkan hiasannya lebih banyak menggunakan mute. Variasi pakaian pengantin Betawi ini dapat ditemui di beberapa daerah. Seperti misalnya di daerah pinggiran, pengantin laki-laki mengenakan stelan jas lengkap dengan kopiah hitam dan kacamata hitam. Sementara pengantin wanita memakai slayer dan sarung tangan putih, yang juga dilengkapi dengan mahkota dan kacamata. Adapun pakaian yang kini dikenal dengan busana "Abang dan None Jakarta" merupakan kombinasi dari busana pengantin rias bakal untuk pria, dengan busana wanita Betawi sehari-hari. Busana pengantin rias bakal, bagi mempelai pria terdiri dari jas tutup, celana panjang, ikat pinggang dan iiskoi motif lokcan. Perlengkapan busana ini adalah kuku macan, gelang bahar, pisau raut, bros dan untaian melati. Mempelai putri menggunakan baju kurung tabur, sarung songket, selendang dan celemek. Sementara hiasan kepalanya tidak serumit dandanan rias besar putri. Busana ini biasanya dikenakan setelah akad nikah. Penulis Endang Mariani

Busana Tradisional Jawa-Solo Javanese Solo Traditional Dress Busana Kebaya Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan. Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas. Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada harihari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut. Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun

nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung. Baju kebaya dipakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul. Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde. Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka. Pada bagian badan kebaya dipotong sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan dengan mesin jahit ataupun dijahit dengan tangan. Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris. Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar. Busana Basahan Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan

warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop. Saat upacara ijab, busana yang dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop. Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju, melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kirakira 4-5 meter, dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan kalung ulur. Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa dipakai adalah cunduk mentul, jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek. Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang dan selop. Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir. Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan. Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai. Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.

Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas. Penulis Jaya Purnawijaya

Busana Tradisional Yogyakarta Yogyakarta Traditional Dress Kraton sebagai suatu pusat institusi dan tata pemerintahan, merupakan lembaga resmi yang dipimpin oleh seorang raja dan para kerabatnya yang disebut pegawai istana atau abdidalem. Mereka terdiri dari golongan-golongan sesuai dengan fungsi dan jabatannya, yang secara visual ditandai pula oleh cara dan bentuk pakaian. Lebih-lebih pada saat penyelenggaraan upacara adat pakaian tersebut dikenakan secara lengkap, di samping pakaian sehari-hari yang secara rutin dikenakan. Sejalan dengan perkembangan zaman, pakaian resmi semacam itu lama kelamaan tidak lagi dikenakan secara lengkap. Misalnya pada masa penjajahan Jepang (1942 - 1945), yang mana pada waktu itu ekonomi negara kita dalam keadaan kacau, kemudian disusul dengan masa kemerdekaan, pakaian atau busana menurut kepangkatan tidak begitu diperhatikan lagi, dan yang pada gilirannya jarang dijumpai lagi. Namun demikian, pakaian adat tradisional kraton Yogyakarta yang sempat dikenal di kalangan masyarakat luas banyak dikenakan oleh golongan masyarakat biasa. Pakaian tersebut dikenal sebagai pakaian adat tradisional yang resmi dan khas Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian ini diterima di kalangan masyarakat Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai miliknya sendiri dan pemberi identitas. Pakaian adat tradisional Kraton Yogyakarta yang sudah jarang dijumpai lagi akhir-akhir ini, pada saat-saat tertentu akan muncul kembali dalam suatu upacara adat yang meriah dan menarik perhatian masyarakat umum. Pakaian khusus itu akan muncul secara menarik dan berwibawa. Demikianlah secara keseluruhan pakaian adat itu tidak pernah musnah dilanda kemajuan zaman, tetapi tetap terpelihara dengan baik dan selalu dimunculkan pada saat-saat penting. Pakaian adat tradisional masyarakat Yogyakarta terdiri dari seperangkat pakaian yang memiliki unsur unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kelengkapan berbusana tersebut merupakan ciri khusus pemberi identitas bagi pemakainya yang meliputi fungsi dan peranannya. Oleh karena itu, cara berpakaian biasanya sudah dibakukan secara adat, kapan dikenakan, di man dikenakan, dan siapa yang mengenakannya. Secara keseluruhan seperangkat pakaian terdiri atas bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah. Bagian atas meliputi tutup kepala dan tata rias rambut (sanggul, konde, dan sebagainya); bagian tengah terdiri dari baju (kebaya, dan lain-lain) dan perhiasan (aksesori); serta bagian bawah berupa alas kaki. Demikian pula pakaian dari suatu daerah dapat dibedakan atas pakaian sehari-hari/kerja dan pakaian upacara/pesta adat. Dari pembagian tersebut dapat digolongkan lagi jenis-jenis pakaian berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial pemakainya. Adapun yang dimaksud dengan pengertian pakaian sehari-hari di sini adalah seperangkat pakaian yang dikenakan di rumah, saat bekerja, dan saat bepergian. Pemakainya dapat digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial. Sejak kecil putra-putri Sultan telah mengenal beberapa peraturan yang membedakan dirinya dengan status individu lainnya, diantaranya melalui bentuk pakaian yang harus dikenakan.

Busana yang dirancang untuk anak-anak terdiri dari busana kencongan untuk anak laki-laki, dan busana sabukwala untuk anak perempuan. Busana untuk anak laki-laki model kencongan terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan model kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang terbuat dari suwasa (emas berkadar rendah). Sedangkan busana seharihari bagi pria remaja dan dewasa terdiri dari baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, serta mengenakan dhestar sebagai tutup kepala. Busana sabukwala padintenan dikenakan oleh anak perempuan berusia 3-10 tahun. Rangkaian busana ini terdiri dari nyamping batik, baju katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau fauna, memakai lonthong tritik, serta mengenakan cathok dari perak berbentuk kupu-kupu, burung garuda, atau merak. Perhiasan yang dikenakan sebagai pelengkap terdiri dari subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang (dinar), gelang berbentuk ular (gligen) atau model sigar penjalin. Bagi yang berambut panjang disanggul dengan model konde. Kainnya bermotif parang, ceplok, atau gringsing. Remaja putri mengenakan busana yang disebut pinjung. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai penutup dada, yang panjangnya diukur dari dada sampai di atas pusar. Lipatan kain (wiru) berada di sebelah kiri, yang menunjukkan status sosial pemakainya sebagai putri Sultan sampai dengan cicit Sultan. Kelengkapan pinjung padintenan terdiri atas kain batik, tanpa baju, lonthong tritik, kamus songketan, udhet tritik (semacam selendang sebagai hiasan pinggang). Sebagai perhiasannya adalah subang, kalung dinar, gelang, sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Untuk putri yang sudah dewasa mengenakan busana semekanan dalam kesehariannya. Pengertian kata semekan berupa kain panjang yang lebarnya separuh dari lebar kain panjang biasa, berfungsi sebagai penutup dada. Rangkaian busana ini terdiri dari kain (nyamping) batik, baju kebaya katun, semekan tritik, serta mengenakan perhiasan berupa subang, gelang, dan cincin, Sanggulnya berbentuk sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Sedangkan busana harian bagi putri raja yang sudah menikah terdiri atas semekan tritik dengan tengahan, baju kebaya katun, kain batik, sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Perhiasannya berupa subang, cincin, serta sapu tangan merah. Busana Kebesaran Untuk Upacara Ageng Pengertian upacara ageng adalah kegiatan seremonial dari rangkaian upacara supitan, perkawinan, garebeg, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan, serta sedan (pemakaman jenazah raja). Busana kebesaran yang dikenakan dalam semua kegiatan ini disebut busana keprabon, yang khusus dikenakan para putra Sultan. Jenis busana ini dibedakan atas busana dodotan, kanigaran, dan kaprajuritan. Rangkaian busana dodotan terdiri dari kuluk biru dengan hiasan mundri (nyamat), kampuh konca setunggal, dana cindhe gubeg, moga renda berwarna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang (kretep), dan keris branggah. Busana ini lazim dikenakan pada upacara garebeg, jumenengan dalem (penobatan raja), serta pisowanan dalam upacara perkawinan. Kelengkapan busana kanigaran pada dasarnya sama dengan busana dodotan. Hanya saja jika busana dodotan dikenakan tanpa baju, maka busana kanigaran ini dilengkapi dengan baju sikepan bludiran. Jenis busana ini lazim dikenakan pada upacara Agustusan, tingalan dalem tahunan, supitan, dan perkawinan. Penulis Dewi Indrawati

Busana Tradisional Madura Madura Traditional Dress Penulis Endang Mariani Meskipun Madura adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau Jawa, kebudayaan Jawa dalam arti luas berpengaruh sangat besar dalam berbagai segi kehidupan masyarakat sukubangsa Madura. Oleh karena kebudayaan Madura termasuk dalam daerah kebudayaan Jawa, maka jenis dan bentuk busananya pun memiliki beberapa kesamaan dengan busana dari daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Secara umum masyarakat sukubangsa Madura mengenal perbedaan busana berdasarkan usia, jenis kelamin, status sosial maupun kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk keperluan upacara. Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat kebanyakan, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Adanya pengaruh cara berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang digunakan. Dalam penggunaannya, baju pesa`an, celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa. Sebaliknya para nelayan, umumnya hanya menggunkan celana gomboran dengan kaos oblong. Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala hal. Bentuk baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai. Berbeda dengan rakyat kebanyakan, kalangan bangsawan biasanya menggunakan rasughan totop (jas tutup) polos dengan samper kembeng (kain panjang) di bagian bawah, secara umum sebagaimana busana Solo dan Yogya. Perbedaannya adalah pada odheng, tutup kepala yang dikenakan. Untuk sehari-hari odheng yang digunakan adalah odheng peredhan dengan motif storjan, bera` songay atau toh biru. Perlengkapan busana

seperti sap osap (sapu tangan), jam saku, jepit kain, stagen, sabuk katemang, dan perhiasan lainnya terutama selok (seser) atau cincin geleng akar (gelang dari akar bahar). Arloji rantai acap digunakan. Sebum dhungket atau tongkat, termasuk kelengkapan pakaian yang membedakan penampilan dan kewibawaan seorang bangsawan dengan rakyat biasa. Pada saat menghadiri acara resmi, rasughan totop umumnya berwarna hitam digunakan lengkap dengan odheng tongkosan kota, bermotif modang, dulcendul, garik atau jingga. Odheng pada masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang cukup kompleks, baik dari ukuran, motif maupun cara pemakaian. Ukuran odheng tongkosan yang lebih kecil dari kepala, sehingga membuat si pemakai harus sedikit mendongak ke atas agar odheng tetap dapat bertengger di atas kepalanya, mengandung makna "betapapun beratnya beban tugas yang harus dipikul hendaknya diterima dengan lapangan dada". Bentuk dan cara memakai odheng juga menunjukkan derajat kebangsawanan seseorang. Semakin tegak kelopak odheng tongkosan, semakin tinggi dewajat kebangsawananan. Semakin miring kelopaknya, maka derajat kebangsawanan semakin rendah. Untuk orang yang sudah sepuh (tua), sayap atau ujung kain dipilin dan tetap terbeber bila si pemakai masih relatif muda. Ikatan odheng juga memiliki arti tertentu. Pada odheng peredhan, pelintiran ujung simpul bagian belakang yang tegak lurus melambangkan huruf alif, yaitu huruf awal dalam bahasa Arab. Sementara itu, pada odheng tongkosan kota, simpul mati di bagian belakang dibentuk menyerupai huruf lam alif, yang merupakan simbol dari kalimat pengakuan akan keesaan Allah (Laa illaahaillallaah). Kaum wanita Madura umumnya mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Ciri khas kebaya Madura adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna menyolok seperti merah, hijau atau biru terang yang kontras dengan warna dan bahan kebaya yang tipis tembus pandang atau menerawang. Kutang ini ukurannya ketat pas badan. Panjang kutang dengan bukaan depan ini ada yang pendek dan ada pula yang sampai perut. Keindahan lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh. Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar, serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah dan padat. Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka dan terus terang. Oleh karenaitu mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya. Kebaya dengan panjang tepat di atas pinggang dengan bagian depan berbentuk runcing menyerong khas roncongan Madura, umumnya digunakan bersama sarung batik motif tumpal, namun ada pula yang memakai kain panjang dengan motif tabiruan, storjan atau lasem. Warna dasarnya putih dengan motif didominasi warna merah. Untuk penguat kain digunakan odhet. Odhet adalah semacam stagen Jawa, terbuat dari tenunan bermotif polos, dengan ukuran lebar 15 cm dan panjang sekitar 1,5 meter. Warna biasanya merah, kuning atau hitam. Pada odhet terdapat ponjin atau kempelan, yaitu saku untuk menyimpan uang atau benda berharga lainnya. Alas kaki yang digunakan adalah sandal jepit. Perhiasan yang dikenakan oleh wanita Madura, mulai dari kepala sampai kaki, juga memiliki daya tarik yang unik. Sebagaimana senjata bagi laki-laki Madura, perhiasanpun menjadi pelengkap yang utama bagi busana kaum wanitanya. Hiasan rambut berupa cucuk sisir dan cucuk dinar, keduanya terbuat dari emas. Bentuknya seperti busur. Cucuk sisir biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang talenan dan ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantung kemampuan si pemakai. Adapun cucuk dinar, terdiri dari beberapa keping mata uang dollar. Rambut wanita Madura itu sendiri, biasanya disisir ke belakang, kemudian digelung sendhal. Bentuknya agak bulat dan penuh, padat dengan kuncir sisa rambut yang terletak tepat di tengah-tengah rambut. Letak sanggul umumnya agak tinggi. Sementara di daerah Madura Timur, bentuknya agak lonjong dan pipih letaknyapun miring. Hampir sama dengan gelung wanita Bali. Harnal bubut dari emas, bermata selong dengan

panjang sekitaar 12 cm berukuran agak lebih besar dari harnal pada umumnya juga dipakai untuk menghiasi rambut. Sebuah tutup kepala, yang terbuat dari handul besar atau kain tebal disebut leng o leng, menjadi ciri tersendiri pada kelengkapan wanita Madura. Perhiasan lain yang umumnya dikenakan sebagai kelengkapan busana adalah anteng atau shentar penthol yang terbuat dari emas, bermotif polos dengan berbentuk bulat utuh sebesar biji jagung. Anteng atau anting ini dikenakan di telinga. Motif hiasan kalung Madurapun terkenal karena ciri khasnya. Kalung brondong yang berupa rentangan emas berbentuk biji jagung adalah kalung khas Madura yang biasanya dikenakan bersama liontin. Liontin atau bandul yang digunakan biasanya berbentuk mata uang dollar (dinar) atau bunga matahari. Selain itu masih ada motif pale obi yang menyerupai batang ubi melintir, serta motif mon temon berupa untaian emas berbentuk biji mentimun. Berat kalung itu rata-rata 5-10 gram, namun adapula yang mencapai 100 gram, bahkan lebih. Tergantung kemampuan si pemakai. Sepasang gelang emas di tangan kanan dan kiri dengan motif tebu saeres. berbentuk seperti keratan tebu merupakan kelengkapan lain yang sering dipakai. Sementara sepasang cincin dengan motif yang sama dengan gelang dikenakan sebagai hiasan jari. Sebagai pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar renteng, terbuat dari emas dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah dinarnya, semakin panjang untaiannya berarti semakin tinggi kemampuan ekonomi pemakainya. Dari seluruh jenis perhiasan yang biasa dikenakan wanita Madura, penggel adalah salah satu yang paling unik. Penggel merupakan hiasan kaki dari emas atau perak yang dipakai pada pergelangan kaki kiri dan kanan. Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura. Selain fungsi ekonomi yang juga dapat menunjukkan status ekonomi si pemakai, penggel juga berfungsi untuk membentuk keindahan tubuh wanita Madura. Gelang kaki yang terbuat dari emas atau perak, dengan berat perak ada yang mencapai 3 kg, aapabila digunakan untuk berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari tentunya akan menguatkan otot-otot tertentu. Berbeda dengan yang dikenakan rakyat kebanyakan, wanita bangsawan tidak menonjolkan kekayaannya melalui bentukbentuk perhiasan yang menyolok dan cenderung berat. Bentuk perhiasan yang digunakan untuk rambut, telinga, leher, tangan dan kaki umumnya kecil. Namun, lebih banyak dihiasi intan atau berlian. Untuk acara resmi wanita bangsawan Madura mengenakan kebaya panjang dengan kain batik tulis Jawa atau khas Madura. Alas kakinya berupa selop tutup. Bahan kebaya biasanya beludru. Warna gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat. Peniti cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas. Rambut wanita muda digelung malang. Bentuknya seperti angka delapan melintang yang melambangkan tulisan Allah. di dalamnya diberi potongan daun pandan sebagai penguat. Untuk wanita yang sudah berumur dan berpangkat, digunakan gelung mager sereh. Bentuknya sama dengan gelung malang, tetapi semua ukelnya diisi kembang tanjung dan kembang pandan. Hiasan rambut terdiri dari cucuk emas dengan motif ular atau bunga matahari, dilengkapi dengan karang melok dan duwek remek, yaitu hiasan dari bunga-bungaan. Giwang kerambu dan kalung rantai berliontin markis yang terbuat dari emas bertaburan berlian juga dikenakan. Demikian pula gelang tangan dan hiasan jari berupa cincin emas bermata berlian. Selain busana dan perhiasan khas wanita Madura, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa, tatarias wajah wanita Madura pun cukup unik. Wajah dihiasi dengan jimpit di bagian kening kanan, kiri atau dahi. Tempat yang dijimpit disebut leng pelengan. Dahulu leng pelengan dibuat dengan cubitan tangan. Saat ini, kebanyakan berupan olesan alat kosmetik berupa garis membujur sekitar 1-2 cm dan berwarna merah. Mata dihiasi dengan celak Arab, sedangkan gigi dihiasi dengan apa egan, berupa lapisan gigi yang terbuat dari emas atau platina. Busana Tradisional Tengger Tengger Traditional Dress Penulis Endang Mariani

Masyarakat Tengger merupakan penduduk ash yang mendiami daerah Lereng Pegunungan Tengger dan Semeru, di Jawa Timur. Kawasan ini meliputi 4 (empat) Wilayah Kabupaten, yaitu : Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Banyak legenda dan mitologi yang dimiliki oleh masyarakat Tengger. Salah satunya yang sangat dikenal adalah mitologi Resi Ki Dadap Putih serta Rara Anteng dan Djaka Seger. Keluhuran budi, kedamaian dan kesederhanaan tergambar sebagai etos budaya masyarakat Tengger, yang memiliki hubungan historis dengan kerajaan Majapahit. Pengaruh Hindu - Budha yang terpadu dengan adat kepercayaan lokal yang oleh sebagian masyarakat disebut Agami Jawi dan dihayati oleh masyarakat Tengger, menciptakan suatu keunikan masyarakat yang religius. Upacara-upacara adat yang secara turun menurun telah dilaksanakan selama ratusan tahun serta kondisi alam dan geografis yang spesifik, membuat masyarakat Tengger memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Jawa, bahkan dengan masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Keunikan pakaian sehari-hari masyarakat Tengger adalah cara mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak kurang dari 7 (tujuh) cara bersarung yang mereka kenal. Masing- masing cara ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri. Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakawung, yang dimaksudkan agar bebas bergerak pada waktu ketempat mengambil air atau kepasar. Cara bersarung seperti ini tidak boleh digunakan untuk bertamu dan melayat. Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja diladang atau pekerjaanpekerjaan lain yang memerlukan tenaga lebih besar, mereka menggunakan sarung dengan cara sesembong. Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di dada) agar tidak mudah terlepas. Saat bertamu, mereka mengenakan sarung sebagaimana masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris pinggang. Cara ini disebut Sempetan. Sementara itu, pada saat santai dan sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakan sarung dengan cara kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk menutupi kedua bagian tangannya, kemudian digantungkan di pundak. Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunakan cara sengkletan. Kain sarung cukup disampirkan pada pundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada. Cara lain yang sangat khas, yang sering dijumpai pada saat masyarakat Tengger berkumpul di tempat - tempat upacara atau keramaian lainnya di malam hari adalah cara kekodong. Dengan ikatan di bagian belakang kepala kain sarung dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya mata saja. Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung tersendiri, yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan di bagian atas punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan disangga ke depan oleh kedua tangannya. Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berbeda dari masyarakat Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang tanpa wiron atau sarung tutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang di atas mata kaki, berwarna hitam. Di bagian dalam, memakai kaos oblong. Udeng dan sarung tidak tertinggal. Untuk pakaian resmi pun mereka menggunakan beskap, kain wiron dan udeng, dengan segala perlengkapannya, sebagaimana yang digunakan di Jawa. Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat yang sangat diyakini dan telah dilaksanakan secara turun menurun, masyarakat Tengger memiliki banyak upacara yang tidak saja berkaitan dengan siklus kehidupan, melainkan juga yang berhubungan dengan alam. Setidaknya ada dua upacara besar, yang tetap dilaksanakan dan mengundang perhatian masyarakat luar, termasuk wisatawan, yaitu upacara adat kasada dan karo. Kedudukan seorang dukun, yang juga merupakan pemimpin upacara adat di Tengger sangat dihormati oleh masyarakat. Busana yang digunakan seorang dukun pada saat memimpin upacara cukup unik, yaitu yang disebut baju anta kusuma atau rasukan dukun, lengkap dengan peralatan upacara seperti prasen, genta dan talam. Biasanya busana yang dikenakan oleh seorang dukun adalah ikat kepala atau udeng batik, baju warna putih, jas tutup warna gelap, jarik (kain) batik yang dibebatkan, celana panjang warna gelap dan selempang

panjang warna hitam batikan. Namun ada pula dukun yang menggunakan jas tutup dan celana panjang warna putih. Selempang pun ada yang berwarna hitam, kuning, maupun putih dan ke arah krem. Selempang ini dianggap sebagai lambang keagungan dan tanda jabatan yang dipangkunya. Setelah ujub upacara, umumnya selempang ini dilepas dan disimpan kembali.

Busana Tradisional Bali Bali Traditional Dress Kemben merupakan jenis pakaian, berupa kain pembalut tubuh, yang menjadi bentuk dan model dasar busana tradisional Bali, baik untuk pria maupun wanita, dari segala jenis usia, maupun dari kasta manapun mereka berasal. Bagi wanita Bali, kemben bukanlah penutup dada, tetapi lebih berfungsi sebagai penyangga payudara, sehingga keindahan bentuknya tetap terjaga. Pada masa lalu, bepergian ataupun beraktivitas tanpa penutup dada pada masyarakat Bali, termasuk kaum wanitanya adalah hal yang biasa. Meskipun demikian pada situasi-situasi tertentu mereka acap menggunakan kancrik atau tengkuluk sebagai anteng penutup dada. Kancrik adalah sehelai selendang yang berfungsi sebagai penutup tubuh atau saput, yang terkadang digunakan untuk menjunjung beban sekaligus melindungi wajah dari sinar matahari. Kancrik juga digunakan sebagai tengkuluk, yaitu tutup kepala wanita Bali yang juga berfungsi sebagai alas penjunjung beban - selain kegunaannya sebagai alat untuk menahan rambut agar tetap rapi. Sementara anteng adalah selembar kain atau kancrik yang berfungsi sebagai penutup buah dada. Kemben, sabuk, saput dan anteng, serta tengkuluk untuk kepala merupakan pakaian wanita Bali dalam keseharian. Pakaian untuk pria secara lengkap adalah destar, saput dan kemben. Kebiasaan bertelanjang dada pada masyarakat Bali adalah tradisi yang telah berlangsung turun temurun selama ratusan tahun. Namun, meskipun dimasa lalu perangkat busana Bali lazimnya tanpa baju, masyarakat Bali mengenal dengan baik kebiasaan mengenakan baju. Kaum wanitanya sering mengenakan kebaya. Untuk kebaya berlengan panjang hingga

pergelangan tangan, mereka sebut potongan Jawa, sementara yang berlengan longgar sampai di bawah siku, disebut potongan Bali. Kebaya ini umumnya terbuat dari bahan yang dibeli di pasar, meskipun ada juga yang khusus menenunnya. Budaya memakai baju ini tumbuh dan hidup umumnya pada lingkungan masyarakat yang telah mendapat pengaruh dari luar. Menurut sejarah, pemerintah Belanda lah yang memperkenalkannya. Demikian pula pada kaum pria, pemakaian baju dimulai oleh para ambtenaar, atau pegawai pada masa pemerintahaan Belanda. Jas tutup dan kemeja biasa digunakan. Kain batik sebagai kemben dan destar adalah pelengkapnya. Kain-kain yang digunakan sebagai bagian dari busana Bali terdiri dari beragam jenis. Songket, perada, endek, batik dan sutra adalah beberapa di antaranya. Kain geringsing merupakan salah satu yang terkenal karena keindahan dan keunikannya. Selain cara menenun dan proses pemintalan benangnya yang cukup memerlukan kesabaran dan ketelitian, proses pewarnaan kain geringsing sangat menentukan kualitas dan keindahannya. Umumnya kain geringsing memiliki tiga warna dasar, yaitu putih susu atau kuning muda, hitam dan merah. Berdasarkan warna, geringsing dapat dibedakan menjadi geringsing selem (geringsing hitam) dan geringsing barak (geringsing merah). Pada geringsing selem warna merah tampak pada bagian ujung geringsing saja. Warna hitam dan putih saja yang tampak pada bagian geringsing ini, sedangkan warna merah tidak terlihat. Adapun pada geringsingan barak atau geringsing merah, tampak tiga warna dominan, yaitu kuning muda, merah dan hitam. Warna-warna ini juga muncul pada pinggiran kain. Selain warna, kain geringsing, yang memiliki ciri keistimewaan pada teknik tenun dobel ikatnya ini, juga dibedakan menurut ukurannya. Geringsing dengan ukuran yang paling besar disebut geringsingan perangdasa. Pola ragam hiasnya pun tampak lebih lebar, karena proses pengikatannya yang berjarak lebih longgar. Geringsing berukuran menengah disebut geringsing wayang, sementara yang lebih kecil adalah geringsingan patlikur. Geringsing sabuk, anteng dan cawat adalah geringsing dengan ukuran paling kecil. Morif geringsing cukup banyak ragamnya. Sebagian besar inspirasinya diperoleh dari dunia flora dan fauna. Beberapa motif geringsing adalah motif wayang, wayang putri, lubeng,

cecepakan, kebo, patlikur, cemplong, dan sebagainya. Motif ragam hias kain geringsing dari Tenganan Pageringsingan menampakan pengaruh unsur-unsur ragam hias dari kebudayaan asing, seperti India (patola), Cina, Mesir yang berasimilasi dengan pengaruh Hindu yang kuat, namun tetap berpadu dengan nilai-nilai budaya Indonesia asli. Secara keseluruhan, kain geringsing merupakan perwujudan dari kebudayaan Bali yang memiliki unsur keindahan seni yang tinggi dan terkesan mewah. Pada saat melakukan suatu upacara seperti potong gigi atau pernikahan, masyarakat biasanya mengenakan kain tenunan Bali tradisional sebagai busana lengkap dari bahan songket dan peperadan. Bagi kaum pria, busana tersebut terdiri dari udeng atau destar sebagai ikat kepala, saput atau kapuh dan kemben atau wastra. Untuk menahan kapuh, di ujungnya diikatkan secarik kain panjang sejenis selendang, yang disebut umpal. Umpal geringsing adalah yang paling dikagumi. Wanitanya memakai kemben songket, sabuk prada yang membelit dari pinggul sampai dada dan selendang songket untuk menutup tubuh, dari bahu ke bawah. di balik kemben, dikenakan selembar penuh tapih atau sinjang dari sutra berornamen penuh peperadaan mengurai ke luar melewati kemben. Berdasarkan corak busana yang dipakai, dapat diketahui status sosial dan ekonomi seseorang. Dalam upacara perkawinan, masyarakat Bali mengenal adanya tiga jenis busana dan tata rias pengantin, yaitu nista, madya, dan utama atau yang juga dikenal dengan payes agung. Untuk tata rias wajah tubuh dan kaki, tidak ada perbedaan yang menyolok. Sementara dalam tata busana, perbedaan terletak pada bahan yang digunakan. Untuk tingkat utama, seluruh busana dibuat dari bahan perada. Perhiasan yang dikenalkan oleh sepasang pengantin payes agunglah yang tampak jelas membedakan dengan tata rias dan busana tingkat nista maupun madya. Perhiasan tingkat ini utama ini memang memperlihatkan suatu kekhususan. Gelung kucir, yaitu sanggul tambahan berbentuk bulat melingkar dan terbuat dari ijuk menjadi salah satu pembeda. Dalam mapusungan (pembuatan sanggul), penggunaan gelung kuncir ini berfungsi sebagai penambahan hiasan. Gelung biasanya dihias dengan bunga-bungaan, seperti kenanga, cempaka putih, cempaka kuning dan mawar. Sementara itu, untuk hiasan kepala atau petitis, tidak digunakan lagi bunga-bunga hidup, melainkan bunga-bunga yang terbuat dari emas.

Pelengkap petitis yaitu tajug dan perhiasan lain seperti subeng cerorot, gelang kana untuk lengan atas dan badong untuk leher semuanya terbuat dari emas demikian pula sepasang gelang naga satru, bebekeng atau pending, serta cincin.
Penulis Endang Mariani

Busana

Tradisional Dayak Taman

Pada awalnya orang Dayak Taman mulai mengenal pakaian yang disebut king baba (king = cawat; baba = laki-laki) untuk laki-laki, clan king bibinge untuk perempuan (bibinge = wanita). Pakaian tersebut terbuat dari kulit kayu yang diproses hingga menjadi lunak seperti kain. Kulit kayu yang bisa difungsikan sebagai kain untuk membuat cawat, celana, baju, clan selimut itu disebut kapua atau ampuro. Namun kebudayaan kelompok etnik lain yang datang bergelombang menciptakan akulturasi yang setidaknya juga berimbas pada perkembangan tata busana masyarakat Dayak Taman. Maka jenis busana king baba clan king bibinge kini sudah hampir tak tampak dipergunakan lagi, kecuali dibuat sebagai hiasan atau perlengkapan kesenian clan, tak jarang, untuk koleksi cendera mata. Masyarakat Dayak Taman pun mengenal teknik menenun untuk membuat busana. Bahkan hingga kini masyarakat Dayak Taman dikenal sebagai penenun yang terampil. Dulu, yang ditenun adalah serat benang yang dihasilkan dari kulit pohon tengang. Warna dasar serat

yang kuat clan liat ini coklat sangat muda. Untuk memperoleh warna hitam atau merah hati, warna yang dominan pada tenunan tradisional Dayak Taman, serat tengang itu dicelup dengan getah pohon yang dilarutkan dalam air. Tenunan yang beredar sekarang dengan warna-warna kuning, merah muda, putih, clan sebagainya, dibuat dari benang kapas yang diperoleh dari luar daerah. Kini telah sangat jarang dijumpai tenunan yang dibuat dari serat tengang sehingga busana adat masyarakat Taman pun menggunakan tenunan benang kapas. Busana Pengantin Ada dua jenis busana adat tradisional yang biasa dipakai oleh pengantin dalam masyarakat Dayak Taman. Kedua macam busana itu disebut baju burai king burai clan baju manik king manik. Baju burai king burai dipakai oleh para pendamping pengantin sedangkan kedua mempelai mengenakan baju manik king manik. Baju burai king burai terbuat dari bahan beludru berwarna hitam. Dibentuk seperti kebaya atau rompi panjang mirip baju tanpa lengan. Sebagai hiasannya dijahitkan kulit kerang kecil berwarna putih disusun membentuk motif daun dan bunga. Hiasan ini diterapkan pada seluruh permukaan kain namun masih menyisakan bidang polos sehingga masih tampak kain dasarnya. Kini, kulit kerang atau keong kecil, yang konon harus didatangkan dari Kalimantan Selatan itu, sulit didapatkan sehingga sebagai gantinya dipakai kancing kecil berwarna putih mengkilap. Sebagai busana bawahnya, kaum perempuan mengenakan semacam rok yang panjangnya sampai sedikit di bawah lutut, dari bahan yang sama dengan baju, juga diberi hiasan sejenis dengan hiasan bajunya. Sedangkan para lelaki memakai celana panjang sebatas lutut, juga dari kain yang sama, dan memakai semacam dodot dari kain yang telah diberi hiasan. Baju manik king manik bisa dikatakan sebagai pengembangan dari baju burai king burai. Hiasan baju manik king manik adalah rangkaian manik-manik halus yang menutup hampir seluruh bidang baju sehingga kain dasarnya nyaris tak tampak lagi. Pada seputar ujung bawah baju atau rok digantungkan untaian uang logam perak sehingga baju manik king manik lebih berat ketimbang baju burai king burai. Untuk membuat motif hias pada baju manik king manik, jelas, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, clan waktu yang relatif lama sehingga baju manik king manik kerap dianggap "berderajat" lebih tinggi daripada baju burai king burai. Maka, tak mengherankan, jika mempelai mengenakan baju manik king manik sedangkan para pendamping pengantin "hanya" memakai baju burai king burai. Sebagai pelengkap busana, pada masyarakat Dayak Taman dikenal pula berbagai ragam perhiasan berupa ikat kepala, topi atau kopiah, subang penghias telinga, kalung, gelanggelang, dan sebagainya.

Penghias kepala clan rambut kaum wanita disebut tengkulas yang dibuat dari kain bermotif kembang-kembang, garis-garis diagonal dan horisontal berbentuk wajik, atau batik, clan lebih disukai yang berwarna mencolok: merah, hitam atau kuning. Jika tengkulas itu sepenuhnya dibuat dari anyaman untaian manik-manik disebut indulu manik. Pada tengkulas atau indulu manik ditambahkan bulu burung ruai, sejenis burung merak yang hidup di haerah hulu Kapuas. Untuk lelaki dikenal semacam topi yang bernama kambu manik dan kambu pirak. Kambu manik dibuat dari jalinan serat sejenis pohon pandan, atau semacam rumput, atau dari rotan yang diserit tipis clan pipih, yang dianyam menjadi bentuk topi. Lalu diimbuhkan untaian manik sepenuh bidang kambu. Sedangkan kambu pirak dibuat dari lempengan tipis logam perak yang dibentuk menjadi topi kemudian ditatahkan - menjadi bentuk kerawang, tapi bisa juga hanya takikan yang tidak tembus - motif-motif bunga dan dedaunan pada permukaan luar kambu. Sebagai pemanis disematkan bulu burung ruai sekeliling kambu pirak itu. Bulu burung ruai yang disematkan pada tengkulas, indulu manik, maupun kambu, disebut tajuk bulu aruae. Penghias telinga berupa subang disebut poosong. Dulu, kaum wanita clan para pria memakai poosong, tapi kini hampir tak ada lelaki, juga sangat sedikit para perempuan, yang memakainya. Poosong dibuat dari kayu yang dibentuk bulat berdiameter 3 - 6 cm, dengan ketebalan, lebih-kurang, 1 cm. Kemudian diukir dan dilapisi plat emas, perak, perunggu/tembaga, atau kaca. Poosong yang tidak berlapis logam disebut poosong surat, yang dilapisi dengan emas dinamai poosong emas. Poosong pernah dianggap sebagai identitas wanita dayak Taman. Cuping telinga yang dipasangi poosong menjadi lebar, menggelayut, sehingga nampak sangat unik dan khas. Ada beberapa macam kalung, penghias leher, pada masyarakat Dayak Taman. Misalnya saja kalong manik pirak. Kalung ini dibuat dari logam perak yang dicairkan kemudian dicetak pada solongsong bambu berdiameter kecil. Lalu dibekukan dan dikalungkan pada leher. Ada juga yang dinamakan kalong manik lawang, kalung yang biasa dipakai perempuan dan lelaki, tapi umumnya hanya dipakai perempuan. Dibuat dari manikmanik yang diuntai oleh tali akar tengang. Kalung ini dipakai saat upacara adat. Ikat pinggang untuk mempercantik penampilan dinamai sasawak. Dikenal, antara lain, dua macam sasawak: sasawak lampit karumut dan sasawak tali murung. Sasawak lampit karumut dipakai oleh kaum perempuan. Dibuat dari logam perak clan rotan. Perak dilebur hingga cair kemudian dicetak menjadi semacam manik-manik. Rotan yang sudah dibelah dimasukkan pada lobang "manik-manik perak" itu. Jika tali penguntainya juga dibuat dari kawat logam perak, ikat pinggang itu disebut sasawak tali murung.

Bagian depan rok bawah baju manik king manik yang panjangnya sampai sedikit di bawah lutut. Bahan clan hiasannya sama dengan baju. Pada seputar ujung rok dan baju

digantungkan untaian logam perak. Hiasan manik-manik yang mengisi seluruh bidang membuat baju manik king manik lebih berat daripada baju burai king burai. Untuk membuat motif hias pada baju manik king manik jelas dibutuhkan kesabaran, ketelitian dan waktu yang relatif lama sehingga baju manik king manik kerap dianggap "berderajat" lebih tinggi dari baju burai king burai. Ada beberapa macam gelang-gelang yang biasanya dipakai pada upacara adat, seperti galang bontok yang dibuat dari perak, galang pasan berupa anyaman serat tumbuhan, galang manik yaitu untaian manik-manik pada serat daun nenas, dan galang gading yang dibuat dari gading gajah. Kaum lelaki memakai satu hingga tiga buah gelang pada bagian lengan di atas siku, kiri clan kanan. Gelang itu disebut tangkalae atau sumpae. Yang dibuat dari kayu tapang dinamai tangkalae tapang, bila terbuat dari untaian manik disebut tangkalae manik, clan yang dari jalinan tali ijuk dikenal sebagai tangkalae ijuk. Gelang-gelang ini biasanya dipakai saat upacara adat keagamaan. Busana Adat Lainnya Meskipun kini sudah jarang ditemukan, masyarakat Dayak Taman juga menciptakan beberapa jenis busana untuk pelbagai keperluan acara adat. Di antaranya adalah bulang (baju) kuurung. Ada beberapa macam model: baju kuurung sapek tangan yaitu baju kuurung tidak berlengan, baju kuurung dokot tangan yakni baju kuurung lengan pendek, clan baju kuurung langke tangan ialah baju kuurung lengan panjang. Model baju kuurung sesungguhnya sudah tua. Ketika masyarakat dayak Taman baru mengenal baju dari kulit kayu modelnya berbentuk baju kuurung. Baju berlubang leher bentuk bulat atau segitiga ini tidak berkerah clan polos tidak bersaku. Kain berupa pita berwarna lain daripada warna bajunya dijahitkan pada bagian tepi baju. Yada pita itu dipasang kancing-kancing yang hanya berfungsi sebagai hiasan. Sekarang, baju kuurung hanya dipakai oleh para balien (dukun) dengan memilih warna hitam clan pada bagian-bagian pinggir bajunya diberi les atau pita kain warna merah yang lebarnya sekitar 3 cm. Yang dipakai oleh para balien wanita disebut bulang kalaawat. Bentuknya sama dengan bulang kuurung hanya bagian depannya terbelah seperti kemeja pria biasa, clan berlengan pendek. Sebagai kancing untuk mempertemukan kedua sisi baju dibuat dari tali kain berwarna. Dahulu, baju kalaawat ini dipakai oleh setiap wanita remaja, dewasa, clan orang tua. Sekarang hanya dipakai oleh dukun-dukun wanita, dan wanita lanjut usia. Dari berbagai ragam busana tradisional yang dimiliki masyarakat Dayak Taman, baju burai king burai clan baju manik king manik, agaknya, yang paling popular sehingga hampir setiap keluarga Dayak Taman memilikinya. Terutama baju burai king burai, yang kerap digunakan pada peristiwa-peristiwa penting seperti perhelatan adat atau perkawinan.

Busana Tradisional Masyarakat Banjar Penulis Dewi Indrawati Busana tradisional yang biasa dipakai sehari-hari oleh remaja dan orang dewasa kaum lelaki Banjar adalah salawar panjang (celana panjang) yang menutup kaki sampai ke mata kaki. Sebagai pasangannya dikenakan baju taluk balanga (kemeja lengan panjang) dengan leher baju bulat dan sedikit mencuat ke atas. Bagian dada terbelah berkancing tiga, tanpa kantong. Pada saat-saat tertentu kelengkapan pakaian ini ditambah dengan tapih (kain sarung) yang disampirkan di bahu. Sedangkan dalam acara-acara resmi seperti menghadiri upacara adat salawar diganti dengan tapih. Warna yang digunakan oleh remaja lebih mencolok, dominan warna kuning. Laki-laki tua Banjar sehari-hari mengenakan baju palimbangan, yaitu kemeja berlengan panjang dengan leher baju bulat tanpa kerah dilengkapi dengan kancing lima dan berkantong tiga buah. Pasangannya digunakan tapih, yang lazim disebut tapih kaling, sejenis sarung terbuat dari katun atau sutra bermotif garis-garis melintang dan membujur. Sebagai penutup kepala digunakan kopiah (kupiah) dari kain beludru, kain satin (kupiah Padang) atau kupiah jangang. Alas kakinya ada berbagai jenis, yaitu sandal kalipik, sandal tali silang, dan selop. Bagi laki-laki dewasa yang ingin bepergian mengenakan kopiah hitam, baju kiyama, salawar kiyama dan sandal silang. Baju kiyama berbentuk baju lengan panjang dengan kerah berlipat

neyerupai jas. Kantongnya ada tiga buah, satu di dada kiri, dua di bagian bawah kiri dan kanan. Ujung tangan dan kantong diberi piIit (les) dengan warna berbeda dari bahan baju. Pasangannya disebut celana kiyama memiliki bentuk sederhana, lurus tanpa kantong. Untuk mengikat digunakan tali yang dimasukkan pada lubang (uluh-uluh). Warna pakaian ini biasanya dipilih yang muda, seperi biru muda, kuning muda, dan krem, dari bahan kain poplin babalur (bergaris-garis vertikal) atau tetoron. Yang kerap dipakai para remaja dan orang tua kaum perempuan Banjar adalah baju kubaya (kebaya) berpasangan dengan tapih batik bakarung (kain batik). Menjadi kebiasaan di daerah ini setiap perempuan menata rambutnya dengan cara disanggul (galung). Ada dua cara menata rambut yang disebut galung malang babuntut dan galung malang. Sanggul ini berbentuk bundar seperti angka delapan. Buntut pada sanggul menunjukkan pemakainya masih gadis. Untuk wanita dewasa dikenakan baju kubaya basawiwi (basujab), kebaya biasa yang diberi variasi kain yang memanjang di bagian depan yang dinamakan sawiwi atau sujab selebar 10 cm. Pada waktu bepergian mereka mengenakan baju kurung basisit, baju yang dilengkapi dengan tali pengikat di belakang leher dan kedua ujung lengan. Alas kakinya adalah selop dari beludru dan berkerudung kain sutra atau sasirangan. Busana Upacara Adat Dalam menghadiri upacara resmi para lelaki remaja sampai dewasa mengenakan baju jas tutup. Lehernya bundar dengan kerah kecil agak tegak. Lengan baju sampai pergelangan tangan, ujungnya diberi hiasan tiga biji kancing . Dilengkapi kantong tiga buah, di depan dada dan kiri-kanan bawah dengan model masuk (bukan kantong tempel). Baju ini berkancing lima biji. Bahan baju dari kain lena, ekstrimin, dan jenis lain yang agak tebal. Tetapi sekarang banyak dipakai kain wool, belini dan friend ship. Baju ini dipadukan dengan celana panjang (salawar panjang). Bentuknya sama dengan pantalon biasa, hanya tanpa saku. Menjadi aturan, kalau mengenakan jas tutup harus bersabuk di pinggang. Bagian tumpal sabuk yang bermotif pucuk rebung harus diletakkan di belakang. Motif ini melambangkan sikap waspada, tajam pemandangan dan kekuasaan yang tinggi. Ada dua pilihan sabuk, yaitu sabuk air guci (payet) dan sabuk kain tenun Pegatan dengan berbagai pilihan warna, biasanya dipilih yang kontras dengan warna baju. Sebagai tutup kepala dikenakan laung tajak siak, berbentuk segi tiga. Mengikatnya harus mengikuti pola yang berlaku, yaitu lam jalalah, yang mengacu pada lam alif dalam AlQur`an. Fungsinya untuk menolak bahaya atau maksud-maksud jahat lainnya. Tutup kepala ini terbuat dari bahan beludru, kain Pagatan, dan jenis lain yang agak keras. Warna laung tajak siak harus sama dengan warna sabuk yang dikenakan. Terakhir dikenakan selop pada kedua kakinya dari bahan beludru dan kulit.

Bagi kaum perempuan dalam upacara resmi dikenakan baju kurung basisit lengkap dengan tapihnya. Disebut baju kurung basisit karena pada bagian leher dan tangan dilengkapi tali pengikat (tali penyisit). Sebagai hiasan digunakan sulaman benang emas dan air guci dengan motif pucuk rebung. Bahan baju dapat dibuat dari kain sutra atau sasirangan. Baju ini dikombinasi dengan tapih Lasem, Pagatan, dan air guci. Kepalanya ditutup dengan kakamban/serudung (kerudung) berbentuk segi empat, dari kain sutra amban (sutra tipis) atau kain sasirangan yang dihiasi motif gigi haruan pada kedua sisinya. Aksesori penghias rambut terdiri dari kembang goyang (kambang goyang) dibedakan antara yang berapun (berumpun) dan tunggal berbentuk melati sebagai lambang kesucian. Hiasan ini ditancapkan pada sanggul. Pada telinga dipasang anting-anting beruntai. Sementara kalung samban rangkap tiga dan kalung marjan menghiasi bagian leher. Galang (gelang) karuncung melingkar di lengan, sedangkan jari manisnya berhias cincin litring. Kaki mengenakan selop dari beludru. Pakaian Pengantin Baamar Galung Pancaran Matahari merupakan pakaian pengantin yang paling digemari oleh semua golongan masyarakat Banjar. Masyarakat Hindu dan Jawa banyak mempengaruhi pemakaian busana ini. Pemakaiannya rnulai dikembangkan dalam masyarakat Banjar sejak abad XIX. Mempelai laki-laki mengenakan kemeja putih lengan pendek. Pada bagian dada dihias renda menutupi semua kancing. Kemudian dikenakan jas terbuka tanpa kancing. Pantalon terbuat dari bahan dan warna yang sama dengan jas. Sabuk berhias air guci dengan motif lelipan dipakai sebagai simbol kekuasaan dan kemuliaan. Kepalanya dibalut destar model siak melayu, dengan segitiga lebih tinggi. Bagian depan dihias dengan berbagai hiasan diikat di bagian belakang dengan buhul lam jalalah. Sebagai pengikat digunakan tali wenang berupa kain berwarna. Perhiasannya berupa samban, kalung bermotif bunga-bungaan. Kalung panjang bogam dan liris-liris bunga. Kemudian keris yang dihiasi bogam bermotif bunga merah diselipkan di pinggang. Mempelai wanita mengenakan baju poko berlengan pendek ditutupi dengan kida-kida, yaitu mantel sempit berhias yang berfungsi untuk menutup dada. Dikenakan sarung dan penutup pinggang (tali gapu) berhiaskan air guci.

Rambutnya disanggul model amar galung bertahtakan mahkota dihias dengan kembang goyang. Ornamen lain untuk rambut antara lain baquet dengan pita rambut, bunga melati yang diatur berbaris, untaian bunga depan dan belakang. Kelengkapan lainnya meliputi kerabu menganyun, kalung, untaian metalik, dan untaian bunga warna keemasan. Cincin dari bunga mayang, sabuk pinggang warna emas, bunga jepun berbentuk jepitan, serta bangle dipakai di lengan atas dan pergelangan kaki terbuat dari karet berbentuk lekuk akar atau irisan buncis. Kakinya beralaskan selop beludru bersulam benang emas. Sepasang pengantin ini dipersandingkan di ba-tatai, yang dipenuhi oleh rangkaian bunga (palimbaian), terdiri dari daun sirih, bunga mawar merah dan bunga melati.

You might also like