You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Babi merupakan ternak potensial yang masih banyak diinvestasikan oleh masyarakat. Begitu pula dengan meningkatnya kebutuhan akan daging babi, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya. Di Bali, selain peningkatan jumlah konsumsi daging babi terjadi karena meningkatnya kebutuhan akan konsumsi protein hewani, juga disebabkan oleh penggunaan babi pada saat upacara adat. Perkembangan sistem peternakan babi di Bali semakin meningkat. Puluhan tahun lalu, sebagian besar babi di Bali diternakkan dengan manajemen tradisional. Kini, semakin banyak peternak yang memelihara babinya dengan sistem kandang secara semi intensif sampai intensif. Sehingga manajemen pemeliharaan secara tradisional sudah semakin jarang. Hal ini juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas dari peternakan babi itu sendiri, baik sebagai usaha penggemukan maupun pembibitan babi (Ardana dan Harya Putra, 2008). Dalam usaha beternak pembibitan babi, ada beberapa kendala yang sering dihadapi peternak, salah satunya adalah penyakit yang dapat menyerang ternak babi, terutama bibitnya. Ada berbagai penyakit pada babi yang dapat mengancam produktivitas suatu peternakan, apalagi bila babi yang terserang penyakit tersebut sampai menimbulkan kematian. Adapun penyakit yang dapat menyerang babi diantaranya: Hog cholera, streptococcosis, salmonellosis, maupun kolibasilosis (Doyle & Dolares, 2006). Hog Cholera/ Clasical Swine Fever merupakan satu dari 12 penyakit hewan strategis yang ditetapkan oleh pemerintah. (Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59/Kpts/PD.610/05/2007). Penyakit ini masih menjadi problem pada industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

sosialekonomi, menyebabkan kematian hewan yang tinggi dan menimbulkan keresahan masyarakat. Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59/Kpts/PD.610/05/2007 tetang Jenis-jenis Penyakit Hewan Menular Yang Mendapat Prioritas Pengendalian dan atau Pemberantasannya. Kebijakan yang dilaksanakan dalam program pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular adalah dilakukan secara bertahap berdasarkan eksternalitas penyakit yang dikenal sebagai penyakit menular hewan strategis (PHMS), yaitu penyakit hewan yang berdampak ekonomi luas/tinggi oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi dan berpotensi mengancam kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis. Hog Cholera (HC) atau Classical swine fever adalah penyakit viral pada babi yang sangat ganas dan sangat menular (Tarigan et al., 1997). Disebabkan oleh Virus, yang ditandai dengan perdarahan umum. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak babi.karena angka morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi yaitu 95 100 %. Berdasarkan klasifikasi OIE Clasical Swine Fever (CSF) / Hog Cholera termasuk daftar list A (Artois et al., 2002). Sejak pertama ditemukan sekitar 2 abad yang lalu sampai tahun 1960-an penyakit ini epizootik di Eropa dan Amerika, benua yang memiliki populasi babi tertinggi. Sejak tahun 1970-an banyak negara di Eropa Barat dan Amerika Utara telah berhasil memberantas penyakit tersebut. Sebelum tahun 1995, HC tidak ditemukan di Indonesia. Bebasnya Indonesia dari penyakit ini dikukuhkan oleh Surat keputusan Menteri per tanian No 81 /Kpts/TN. 560/1/1994 tanggal 31 Januari 1994. Akan tetapi, tidak lama setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan wabah yang diduga keras HC terjadi di Indonesia. Penyakit ini mewabah pertama kali di sumatera utara pada bulan januari 1995 (Santhia, 2009). Pada bulan Maret 1995 terjadi wabah
2

penyakit babi di lokasi peternakan Kapuk Jakarta. Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khas untuk penyakit tersebut. selanjutnya dalam waktu singkat penyakit dengan cepat menyebar ke berbagai daerah dan sampai saat ini bersifat endemik (Tarigan et al., 1997).

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah: 1.2.1 Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit Hog cholera di

Kabupaten Badung?
1.2.2

Bagaimana hubungan antara penyakit Hog cholera dengan

Kesmavet? 1.3 Tujuan Adapun tujuan penulisan paper ini adalah:


1.3.1

Mengetahui gambaran epidemiologi penyakit Hog cholera di Mengetahui hubungan antara penyakit Hog cholera dengan

Kabupaten Badung.
1.3.2

Kesmavet. 1.4 Manfaat Adapun Manfaat dari penulisan paper ini adalah:
1.4.1

Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pembangunan

peternakan dan upaya-upaya pencegahan, penanganan, serta pengendalian penyakit strategis khususnya penyakit Hog Cholera. 1.4.2 Dapat digunakan sebagai refrensi oleh Dinas Peternakan,

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung dalam melakukan penanganan

maupun tindakan pencegahan terhadap kasus Hog Cholera, sehingga kejadian kasus dapat ditekan

1.5 Waktu dan Tempat Pelaksanaan kegiatan PPDH dilakukan pada tanggal 10 14 November bertempat di Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Strategis Penggolongan penyakit hewan menular sebagai PHM strategis ditentukan berdasarkan tiga kriteria. Ketiga kriteria tersebut berkaitan dengan dampak eksternalitas dari penyakit tersebut, yaitu berkaitan dengan aspek ekonomi, politik dan strategis. Pertimbangan ekonomi meliputi seberapa jauh PHM tersebut mengganggu produktivitas dan reproduktivitas ternak, serta apakah ia dapat mengakibatkan gangguan perdagangan. Aspek politis dipertimbangkan apabila munculnya PHM tersebut mengakibatkan keresahan masyarakat, misalnya karena ia bersifat zoonosis. Selanjutnya, pertimbangan strategis antara lain karena tingginya angka mortalitas, penyebaran penyakit yang cepat antar daerah/kawasan sehingga membutuhkan pengaturan serta pengawasan lalulintas ternak dan produknya (Putra, 2006). Penyakit hewan menular strategis secara nasional (Keputusan Dirjen Peternakan Th. 1997) ada 11 (sebelas) jenis dan telah ditambah 2 jenis lagi oleh komisi ahli Keswan, adalah sebagai berikut: 1. Rabies 2. Brucellosis 3. Anthrax 4. Jembrana 5. Bovine Viral Diarrhae (BVD) 6. Septicemia Epizootica (SE) 7. Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR) 8. Clasical Swine Fever (Hog Cholera) 9. Newcastle Disease 10. Infectious Bursal Disease 11. Salmonellosis
5

12. Trypanosomiasis 13. Avian Influenza (AI) Dua penyakit terakhir (nomor 12 dan 13) merupakan tambahan yang diusulkan oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan. Berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan No 977/Kpts/PD 610/F/11/2011 tanggal 22 November 2011, dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus dalam rangka mendukung program nasional peternakan dan kesehatan hewan. Kelima jenis penyakit tersebut adalah 1) Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi perah; 2) Penyakit radang limpa (Antrax) pada ruminansia ; 3) Penyakit sampar babi (Hog Cholera); 4) Penyakit anjing gila (Rabies) ; 5) Penyakit influenza unggas (Avian Influenza).
2.2. Etiologi Hog Cholera (Clasical Swine Fever)

Virus Hog Cholera termasuk genus Pestivirus yang termasuk dalam famili Flavivirdae, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positip (Horzinek, 1981). Secara immunologis dan genetis, virus HC mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini adalah anggota dari genus Pestivirus. Virus BVD selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada babi (Terpstradan dan Wensvoort, 1988). Kedua virus mempunyai susunan genom dan protein yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam amino sebesar 85% (Meyers et al., 1989; Ru-Menapf, 1990). Karena persamaan yang banyak tersebut, diagnosis definitif HC sering sulit ditegakkan dengan hanya menggunakan antibody poliklonal.
6

Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC hanya dikenal satu serotype saja. Hal ini sangat memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan serotiping terlebih dahulu. Sekalipun virus HC hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan virus berdasarkan type antigen atau perbedaan sequence RNA masih mungkin dilakukan. Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 11 jenis untuk E2), (Kosmidou et al., 1995) berhasil mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolate dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Berdasarkan cara yang terakhir ini, Lowings et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok. Pengelompokan dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih bermanfaat dari cara yang pertama (antibody monoklonal). Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995). Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada babi (Dunne, 1975). Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada. Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 560C selama 1 jam, atau pada suhu 600C selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam pada suhu 640C atau selama 30 menit pada suhu 680C. Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 pH 11). Karena
7

selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (Terpstra, 1991). 2.3 Epidemiologi 2.3.1. Penyebaran penyakit Berdasarkan data OIE dari bulan Januari 1991 sampai September 1994, HC terdapat diseluruh dunia kecuali Amerika Utara. Sebagian besar wabah terjadi di Asia terutama Cina, India dan negara negara Asia Tenggara. Di Eropa, kasus HC terbanyak tedapat di Jerman (Kramer et al., 1995). Kejadian di Indonesia wabah Hog cholera pertama kali terjadi di Sumatera pada bulan januari 1995, namun kasus baru dikonfirmasi pada bulan mei 1995. Penyakit ini telah tersebar di 8 kabupaten, yakni kabupaten Deli serdang, Karo, Dairi, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Nias, dan Toba Samosir. Oleh karena pada bulan April 1995 terjadi pula wabah di peternakan Kapuk, Jakarta setelah ada pemasukan 350 ekor babi dari Sumatera Utara. Demikian pula terjadinya wabah di berbagai daerah di Indonesia erat kaiannya dengan pemasukan babi dari daerah tertular. Perdagangan ternak babi dan produknya antar daerah atau pulau yang tidak memperhatikan prosedur karantina berdampak serius terhadap keamanan kesehatan ternak di daerah. Sebagai konsekuensinya dampak social ekonomi menjadi sangat besar. Daerah-daerah di Indonesia yang telah tertular hog cholera adalah Sumatera Barat, Riau, DKI, Jakarta, Jawa barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (Santhia, 2009). Di Propinsi Bali, penyakit pertama kali dilaporkan di Desa Sesetan Denpasar Selatan Kota denpasar Pada bulan Oktober 1995 dalam waktu 3 bulan penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya (Santhia, 2009). Di Propinsi NTB sampai saat ini belum pernah ditemukan kasus klinik, tetapi secara serologik dideteksi adanya antibodi virus HC di pulai Lombok (Santhia, 2009). Di Propinsi nusa Tenggara Timur (NTT), kasus pertama kali terjadi di Desa Petawang dan Wanga, Kabupaten Sumba Timur pada bulan juni 1997, tidak diketahui
8

dengan pasti asal sumber penularan penyakit tersebut, tetapi penaykit diketahui dengan cepat menyebar. Di Kabupaten Sumba barat juga dilaporkan pada tahun 1998. Selajunya pada bulan agustus 1998 kasus hog cholera dilaporkan di Desa Tarus, kbupaten Kupang, setelah itu penyakit dengan cepat menyebar ke kabupaten lainnya di NTT, Sikka, Timor Tengah Utara (TUU), Kote Kupang, Alor, dan Rote Ndao (Santhia, 2009). 2.3.2. Hewan Rentan Semua jenis atau ras babi rentan terhadap Hog cholera. Pada babi peliharaan hampir 50% kasus ini terjadi pada babi penggemukan, 15% babi pembibitan dan lebih dari 20% kelompok babi campuran. Telah dilaporkan pula bahwa faktor keturunan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat infeksi virus Hog cholera. Pada saat wabah HC terjadi di provinsi bali pada bulan Oktober-desember 1995, babi landrace terlihat lebih banyak terserang dibandingkan babi saddleback dan babi lokal (Santhia, 2009) 2.3.3. Umur babi yang terserang Babi dari semua umur rentan terhadap Hog cholera. Anak-anak babi yang berumur 4-5 minggu dan berasal dari induk yang sebelumnya pernah divaksinasi dengan virus ganas ternyata relatif lebih kebal dibandingkan dengan anak-anak babi yang lahir dari induk yang telah divaksinasi dengan virus vaksin yang telah dilemahkan. Hal ini kemungkinan kerena antibodi maternal dari anak babi setelah umur tersebut sangat rendah dan tidak cukup untuk melindungi dari infeksi virus HC ganas berikutnya. Babi landrace kelompok umur kurang dari 2 bulan yang terserang virus HC menunjukkan prevalensi yang sangat lebih tinggi (88,2%) dibandingkan kelompok umur 2-5 bulan dan lebih dari 8 bulan (Santhia, 2009). 2.3.4. Cara penularan Babi adalah satu-satunya induk semang alami virus HC, oleh karena itu babi penderita merupakan sumber penularan yang terpenting. Virus masuk ke dalam tubuh babi biasanya melalui rute oronasal. Cara penularan bisa dengan kontak langsung

ataupun tidak langsung. Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung. 2.3.4.1. Penularan secara langsung Penularan dari babi yang sakit atau carrier ke babi yang sehat merupakan cara penularan yang paling sering terjadi. Wabah penyakit sering diawali dengan pemasukan babi baru dari daerah atau peternakan yang tertular HC. Babi yang sakit menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (Ressang, 1973). Jumlah atau konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan virus tergantung kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh virus yang virulen akan mengeluarkan virus kedalam lingkungan sebelum timbul gejala klinis sampai babi mati atau sampai terbentuk antibody bagi babi yang bertahan hidup. Sedangkan babi yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang ataupun rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah dan dalam kurun waktu yang lebih pendek. Oleh karena itu, strain virus yang virulen biasanya menularnya lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan strain yang kurang virulen (Terpstra, 1991). 2.3.4.2. Penularan secara tidak langsung Karena virus HC cukup resisten terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan diluar induk semang, penularan dengan cara tidak langsung juga sering terjadi. Virus HC dapat bertahan dalam waktu yang lama dalam daging babi dan beberapa produk olahannya, terutama dalam keadaan dingin atau beku. Masuknya HC ke negara atau daerah yang bebas HC sering akibat impor daging babi atau produknya ke negara atau daerah tersebut. Wabah HC bisa terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu. Cara penularan melalui sisa dapur ini sering terjadi. Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 22% dari semua wabah yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi dengan cara seperti ini (Dunne, 1975). Kejadian serupa juga terjadi di Inggris. Setelah negara ini dinyatakan bebas dari HC tahun 1966, terjadi dua kali gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun 1971 dan 1986. Kedua gelombang
10

wabah tersebut diketahui akibat impor produk daging babi yang tercemar virus HC (Williams dan Matthews, 1988). Wabah terjadi setelah babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut. 2.3.5. Sifat Penyakit Babi yang terserang virus HC ganas, tingkat morbiditas dan mortalitasnya mencapai 100%. Pada kasus wabah HC yang terjadi di Bali pada bulan OktoberDesember 1995, rata-rata tingkat morbiditas dan mortalitasnya dan tingkat kematian kasus masing-masing 60,1%, 37,5% dan 62,4%. Pada babi Landrace paling tinggi masing-masing 88,2%, 76,9% dan 87,2% (Santhia, 2009). 2.3.6. Gejala Klinik Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara 2-6 hari. Gejala klinis HC dapat dibedakan atas gejala penyakit akut, subakut atau kronis. Gejala klinis diawali dengan anorexia, lesu, malas bergerak dan demam tinggi. Leukopenia dan thromocytopenia hampir selalu terjadi dan muncul sebelum demam dan berlanjut sampai hewan mati. Conjunctivitis yang ditandai dengan exudate mukopurulent pada mata sering terjadi. Gangguan saluran pencernaan ditandai dengan konstipasi diikuti dengan diare. Kadang-kadang babi memuntahkan cairan berwarna kuning. Gangguan lokomotor berupa kelemahan pada tungkai belakang sehingga babi berjalan sempoyongan, bagian belakang tubuh terayun ke kiri dan ke kanan saat berjalan (swaying gait) atau babi berdiri sambil bagian belakang tubuh disandarkan pada dinding atau babi lain merupakan gejala yang khas pada penyakit ini. Kemerahan yang diikuti keunguan pada kulit terutama pada daun telinga, abdomen dan kaki bagian medial juga hampir selalu terjadi (Harkness, 1985; Williams dan Matthews, 1988; Wood et al., 1988). Tingkat kematian pada HC akut sangat tinggi dan biasanya terjadi antara 10 - 20 hari setelah infeksi. Gejala HC subakut sama seperti diuraikan diatas tetapi lebih ringan dan penyakit berjalan lebih lambat. HC dinyatakan kronis apabila penyakit dapat berjalan lebih dari 30 hari (Mangeling dan Packer, 1969). Penyakit ditandai dengan anorexia, fever dan diare yang lama tetapi hilang timbul (intermitten). Babi sangat kurus dan pertumbuhan sangat lambat. Gejala klinis yang terlihat paaa babi yang
11

bunting yang terinfeksi HC tergantung pada umur kebuntingan saat terjadi infeksi dan virulensi dari virus yang menginfeksi. Infeksi HC pada babi bunting dapat berakibat aborsi, mummifikasi, stillbirth, anak yang lemah dan gemetaran, kematian neonatal, atau babi lahir kelihatan sehat tetapi virus dalam tubuhnya berkembang dengan perlahan- lahan dan setelah beberapa minggu atau bulan baru timbul gejala sakit. 2.3.7. Patologi Sebagian besar lesi yang terjadi pada HC akut adalah akibat degenerasi hydrophic atau nekrosa sel endotel pembuluh darah kapiler dan gangguan system pembekuan darah. Manifestasi dari kerusakan diatas terlihat berupa perdarahan diseluruh tubuh dan thrombosis pada beberapa organ. Perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa terlihat jelas pada selaput serosa, mukosa lambung dan usus, ginjal, kantong kencing, larings, epiglottis, hati, kulit dan subcutis. Limfoglandula di seluruh tubuh membengkak dan mengalami perdarahan terutama pada bagian sinus perifer. Petechiae atau ecchymosa pada ginjal. terjadi pada permukaan korteks sehingga ginjal sering terlihat berbintik-bintik seperti telur kalkun (turkey-egg kidney). Limpa biasanya tidak atau hanya sedikitmembengkak tetapi sering memperlihatkan infark yang hemorrhagic yang ditandai dengan benjolan berwarna gelap terutama pada bagian tepi. Infark pada limpa, yang disebabkan oleh thrombosis pada pembuluh darah kapiler, merupakan lesi yang khas dan dianggap lesi yang mendekati pathognomonis. Selain pada limpa, infark juga dapat terjadi pada tonsil dan kantong empedu. Nekrosis atauulcerasi berupa benjolan jaringan mati pada mukosa, yang disebut 'button ulcer', dapat terjadi pada colon, caecum atau lambung. Lesio ini juga merupakan lesi yang spesifik dan merupakan lesi yang mendekati pathognomonis. Infark dan perdarahan juga dapat terjadi di paru-paru tetapi lesi ini sering berubah menjadi fibrinous bronchopneumonia akibat infeksi bakteri sekunder. Pada otak sering terlihat kelainan berupa perivascular cuffing (Harkness, 1985; Williams dan Mattews, 1988; Wood et al., 1988; Kamolsiprichaiporn et al., 1992). 2.3.8. Diagnosis

12

Wabah HC yang akut umumnya tidak begitu mudah. Beberapa penyakit lain banyak yang menyerupai dengan penyakit ini, namun diagnosis yang akurat sering dapat dibuat berdasarkan karakteristik epidemiologis, gejala klinis dan kelainan patologis. Diagnosis HC dapat disimpulkan bila ditemukan wabah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, gejala sempoyongan (swaying gait), demam tinggi, persistent leucopenia dan thrombocytopenia pada pemeriksaan klinis, serta perdarahan yang meluas, infark pada limpa dan button ulcers pada usus besar pada pemeriksaan post mortem (Harkness, 1985). Akan tetapi gejala klinis atau lesi seperti diatas sering tidak ditemukan, terutama pada HC yang subakut atau kronis, sehingga diagnosis hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (Wood et al., 1988) Diagnosis banding HC akut yang terpenting adalah African swine fever . Gejala klinis dan perubahan patologis kedua penyakit tersebut sangat mirip sehingga susah dan Bering tidak dapat dibedakan. Perbedaan paling penting antara kedua penyakit menurut Maurer et al., (1958) adalah ditemukanya karyorrhexis pada limfosit pada African swine fever sedangkan pada HC kelainan serupa tidak ditemukan. Disamping itu limpa babi penderita African swine fever biasanya sangat membengkak dan limfoglandula visceral terlihat seperti hematoma sedangkan pada babi penderita HC limpa tidak atau hanya sedikit membengkak dan perdarahan pada limfoglandula terdapat pada bagian perifer (Terpstra, 1991). Kadang kadang HC akut bisa dikelirukan dengan septicaemia akibat Salmonellosis, Pasteurelosis, Streptococcosis atau Erysipelas. Untuk membedakanya biasanya cukup dengan pemeriksaan bakteriologis darah.

2.3.9. Penanggulangan dan Pencegahan Penanggulangan Hog Cholera pada babi bisa dilakukan dengan cara vaksinasi baik aktif maupun inaktif. Anak babi dari induk yang belum pernah divaksin bisa dilakukan vaksinasi pada saat umur 2 mingu, anak babi dari induk yang telah divaksin dan mendapatkan kolostrum dari induk dapat terlindungi sampai berumur 6
13

minggu, kemudian dilakukan vaksinasi pada saat umur 6 8 minggu. Vaksinasi Hog cholera yang aman yaitu induk divaksin 2 minggu sebelum kawin. Untuk dapat mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh berjangkitnya wabah Hog cholera yang disebabkan oleh virus dari famili flaviviridae ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan manajemen beternak babi secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi : kandang harus dalam keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar, komposisi pakan harus sesuai dengan berat badan dan program vaksinasi disesuaikan dengan petunjuk dari Dinas Peternakan. Wabah penyakit yang bersifat sporadis dapat ditangani dengan pemberian vitamin dan menangkal keterlibatan mikroorganisma sekunder dengan pemberian antibiotika (Berata et al, 2009).

14

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Tabel 3.1. Data distribusi Kasus Hog Cholera Kabupaten Badung Tahun 2008-2011
No Tahun Jumla h 1 2 3 4 2008 2009 2010 2011 Kasus 0 150 Jumlah Kemati an Popula si Morbidit as 0 0,14% 0,18% 0,16% 0 0 0 0 Mortalitas

97.769 105.35
3 109.47 1 110.22 2

202
177

Tabel 3.2. Data Kasus Hog cholera pada masingmasing Kecamatan di Kabupaten Badung
Tahu n 2008 2009 2010 2011 Petan g 0 65 66 43 Abiansem al 0 85 136 134 Kuta 0 0 0 0 Kecamatan Kuta Utara 0 0 0 0 Kuta Selatan 0 0 0 0 Mengwi 0 0 0 0

15

Gambar

3.1.

Kasus

Hog

cholera

pada

masing-masing

Kecamatan di Kabupaten Badung 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 2008 2009 2010 2011 85 65 66 43 136 134
P etang Abiansem al K uta K Utara uta K uta S elatan Meng i w

Menghitung tingkat Morbiditas Penyakit Hog cholera tahun 2009-2011 2009 Populasi terancam = 150 105.373 = 0,14% 2010 Populasi terancam = Morbiditas kasus Hog cholera Tahun 2010 Tingkat Morbiditas = Jumlah Babi sakit Hog cholera tahun Morbiditas kasus Hog cholera Tahun 2009 Tingkat Morbiditas = Jumlah Babi sakit Hog cholera tahun

202
109.471
16

= 0,18%

17

2011

Morbiditas kasus Hog cholera Tahun 2011

Tingkat Morbiditas = Jumlah Babi sakit Hog cholera tahun Populasi terancam = 177 110.222 = 0,16%

Tabel 3.3. Kasus Hog cholera pada masing-masing Bulan di Kabupaten Badung Tahun 1 2008 2009 2010 11 0 2 14 26 3 11 17 4 9 13 Jumlah kasus Bulan ke5 10 17 6 13 17 7 18 21 8 15 20 9 17 13 10 12 14 11 11 17 12 8 27 150 202 Total

Gambar 3.2. Kasus Hog cholera pada masing-masing bulan pada Tahun 2009-2010 30 25 20 15 10 5 0
Ju li et M ei ar i be r M ar be r

2009 2010

Ja nu

em

18

N ov

ep t

em

Tabel 3.4. Data Hasil Vaksinasi Hog Cholera di Kabupaten Badung Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 Jumlah Kecamatan Kuta Selatan Kuta Kuta Utara Mengwi Abiansemal Petang APBD Kab. Badung Target 2.250 650 1.600 3.300 4.300 3.900 16.000 Realisasi 2.250 650 1.600 3.300 4.300 3.900 16.000 Keterangan

19

3.2. Pembahasan
3.2.1. cholera Gambaran Umum epidemiologi Penyakit Hog

Data Tabel 3.1. menjelaskan bahwa penyakit Hog cholera yang terjadi di Kabupaten Badung tidak ditemukan kasus pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 ditemukannya kasus pada dua Kecamatan yaitu Abiansemal dan Petang dan ditemukan di daerah yang sama sampai pada tahun 2011. Oleh karena ditemukan pada kedua kecamatan tersebut saja maka penyakit ini bersifat endemik. Dapat dikatakan endemik karena penyakit ini muncul sepanjang tahun 2009-2011 pada kedua kecamatan tersebut dengan intensitas yang relatif rendah hanya menyerang sejumlah kecil populasi babi yang ada dan cukup stabil dilihat dari tingkat morbiditas pada tahun 2009, 2010, dan 2011 berturut-turut yaitu sebesar 0,14%, 0,18% dan 0,16%. Pada data tersebut tingkat morbiditas lebih tinggi ditemukan pada kecamatan Abiansemal dan dilihat dari populasi babi yang menunjukkan angka lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kecamatan Petang. Hal ini terjadi karena virus Hog cholera sangat cepat menular terutama pada populasi ternak yang banyak dan kandang yang terlalu padat, serta kondisi kandang yang lembab dan kurang sirkulasi udara merupakan faktor predisposisi kejadian Hog cholera. Dari data yang ada tidak disebutkan adanya kematian babi. Hal ini kemungkinan karena petugas dinas yang kurang aktif dalam pencatatan karena dibeberapa bulan dalam salah satu data tahun 2009 dicatatkan beberapa kasus kematian namun tidak lengkap. Munculnya kasus penyakit dala satu wilayah tidak terlepas dari faktor segitiga epidemiologi yakni agen, host dan lingkungan. Agen penyebab dari Hog cholera adalah Pestivirus, terdapat beberapa strain virus sehingga dalam pencegahannya perlu dilakukan vaksinasi terhadap host/hewan rentan dalam hal ini babi pada semua umur. Dalam upaya Pemerintah pusat membebaskan Bali dari Hog cholera maka dilaksanakan kegiatan vaksinasi Hog cholera di Kabupaten Badung dilaksanakan oleh tenaga medis dan paramedis di masing- masing kecamatan dengan sasaran adalah kelompok ternak babi dan sentra pengembangan ternak babi, namun karena
20

keterbatasan dana maka pelaksanaan vaksinasi Hog cholera tidak dapat mencakup seluruh populasi. Pada tahun 2011 telah dilakukan vaksinasi Hog cholera sebanyak 16.000 dari yang ditarget. Realisasi pelaksanaan dilapangan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3.4. Hasil dari vaksinasi yang dilakukan pada tahun 2011 tergolong berhasil karena terjadi penurunan angka morbiditas jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain dari faktor agen, maka host dalam hal ini babi juga berperan penting. Faktor umur, virulensi virus dan kekebalan tubuh hewan sangat berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit. Babi muda lebih rentan terinfeksi virus hog cholera di banding babi dewasa. Maternally Derived Antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya divaksin secara baik akan bertahan hingga anak babi berumur 7 minggu. Vaksinasi pertama pada anak babi di rekomendasikan pada umur 4 minggu bila induknya telah di vaksinasi dengan baik. Calon induk sebaiknya di vaksinasi pada hari ke-4, ke-8 atau ke-12 setelah kawin dan di booster 14 hari kemudian. Vaksinasi hog cholera tidak berdampak terhadap terjadinya aborsi pada induk (Lipowski et al. 2000). Sebagai petugas dinas bidang medis maupun paramedis harus memiliki pengatahuan mengenai waktu vaksinasi, cara vaksinasi dan respon vaksin dengan mengukur titer antibodi juga sangat diperlukan sehingga harapan yang ingin dicapai menjadi lebih maksimal. Beberapa penyebab lain yang juga mempengaruhi penyebaran penyakit Hog cholera adalah masih adanya beberapa peternak babi yang belum mengerti tentang arti penting kesehatan hewan. Sistem pemeliharaan ternak babi yang tradisional dan kurangnya sanitasi. Sekreta dan eksreta terutama tinja dan urine berperan penting dalam penyebaran penyakit ini sehingga kebersihan kandang, alat-alat perlengkapan pakan harus diperhatikan oleh peternak. Perubahan musim yang tidak diimbangi dengan keadaan lingkungan (sanitasi) yang baik akan menimbulkan babi-babi menjadi stress, selain itu populasi nyamuk dan lalat menjadi meningkat dan infektif. Seperti yang telihat pada tabel 3.3. pada tahun 2009 kasus tertinggi terjadi Bulan Juli yaitu 17 kasus dan pada tahun 2010 kasus tertinggi terjadi Bulan Desember yaitu 27
21

kasus. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Badung mengalami dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan, antara lain dipengaruhi adanya arus angin yang melintasi suatu daratan serta banyak tidaknya kandungan uap air. Realisasi curah hujan di bawah normal terjadi pada Bulan Januari, Februari dan Maret. Sedangkan curah hujan di atas normal terjadi pada Bulan April sampai dengan Desember. Tingginya kasus terjadi pada bulan Juli dan Desember yang merupakan musim penghujan sehingga menyebabkan kandang sapi menjadi becek, terutama bila sistem drainase kurang baik. Disamping itu pada musim penghujan menyebabkan air hujan menjadi tempat untuk betelur nyamuk terutama pada air yang mengenang. dapat mengakibatkan telur nyamuk maupun lalat mudah menetas, sehingga populasi nyamuk maupun lalat menjadi bertambah. Hal ini pada kondisi kesehatan babi yang lemah akan menyebabkan mudah terserang penyakit, dan salah satunya penyakit Hog cholera. Oleh karena itu perlu dilakukannya program pengendalian yang efektif terhadap vektor mekanik virus Hog cholera, seperti serangga (lalat dan nyamuk) dengan melakukan penyemprotan insektisida secara berkala, meskipun demikian tetap memperhatikan ramah lingkungan sebagai dampak penggunaan bahan kimia. 3.2.2. Hubungan penyakit Hog cholera dengan Kesmavet Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis. Virus hog cholera tahan berada dalam daging segar, dan produk daging lainnya dalam bentuk infektif untuk jangka waktu 8 bulan hingga 4 tahun, dengan demikian daging atau produk daging lainnya dapat digunakan virus sebagai salah satu media dalam penyebarannya (Liess et al. 1992). Oleh karena itu, Negara yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi dan bahan berasal dari babi, yang berasal dari negara atau daerah tertular hog cholera dan daging yang terinfeksi penyakit ini masih bisa dikonsumsi harus dimasak dengan matang dengan suhu diatas 400C.

22

BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan Adapun simpulan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
4.1.1. Kejadian penyakit Hog cholera yang terjadi di kabupaten Badung selama 3

tahun terakhir (2009 2011) berjumlah kasus. Terjadi penurunan jumlah kasus pada tahun 2011.
4.1.2. Penyakit ini telah menjadi penyakit yang bersifat endemik karena kasusnya

masih rendah dan relatif stabil.


4.1.3. Peranan segitiga epidemiologi yaitu host, agen dan lingkungan perlu

mendapat perhatian serius agar harapan yang ingin dicapai untuk menanggulangi penyakit Hog cholera secara maksimal. 4.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
4.2.1. Pelayanan kesehatan hewan juga harus rutin dilakukan untuk meningkatkan

kualitas kesehatan ternak, khususnya ternak babi. 4.2.2. Peningkatan pengetahuan masyarakat/peternak melalui penyuluhan yang lebih intensif.
4.2.3. Pengawasan lalu lintas ternak juga perlu menjadi perhatian dengan tujuan

babi-babi di Kabupaten Badung dapat terhindar dari penyakit HC

23

DAFTAR PUSTAKA Ardana IB dan Harya Putra. 2008. Manajemen Reproduksi, Produksi, dan Penyakit Ternak Babi. Udayana University Press. Artois M, P. Depner, V. Guberti, J. Hars, S.Rossi dan D Rutelli. 2004. Classical Swine Fever (Hog Cholera) in Wild boar in Europe. Rev.Sci.int epiz. Berata, I.K., IB. Oka Winaya, IGK. Suarjana, dan IB. Kade Suardana. 2009. Pemberantasan penyakit dan vaksinasi Hog cholera pada ternak babi di Desa Kelating Tabanan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Dahle, J . and Liess, B. 1995. Comparative study with clones classical swine fever virus strains ALFORT dan, GLENTORF: clinical, pathologi cal, virological dan serological findings in weaner pigs . Wiener Tierarztliche Monatsschrift 82: 232-238. Doyle JE & Dolares GE. 2006. Escherichia coli in Diarrheal Disease. Dunne, H W. 1975 . Hog cholera In Diseases of swine. Ames, Iowa State Univ. Press. p 189. Hardness, J . W. 1985 . Classical swine fever dan its diagnosis: a current view. Vet. Rec. 116: 288-293 . Horzinek. 1981 . Non-Arthropod-Borne Toga-viruses. Academic Press, Newyork . Kosmidou, A., Ahl, R., Thiel, HJ. and Weiland, E. 1995 . Differentiation of classical swine fever virus (CSFV) strains using monoclonal antibodies agains structural glycoproteins. Vet. Microbio/.47: 111-118 . Kramer, M ., Ahl, R., Teuffert, J., Kroschewski, K., Schluter, H . and Otte, J . 1995 . Classical swine fever in Germany - some epidemiological aspects. Proc. meeting Soc. Vet. Epid. Prev. Med, University of Reading, UK: 110 -118. Lowings, JP., Paton, DJ., Sands, JJ., Mia, GD., Rutili, D. and De, MG. 1994 . Classical swine fever: genetic detection dan analysis of differences between virus isolates . J. Genera/ Viro/. 75 : 3461-3468. Mangeling, WL. and Packer, RA. 1969 . Pathogenesis of chronic hog cholera : Host response. Am. J. Vet. Res. 30 : 409-417.
24

Maurer, FD., Grisemer, RA. and Jones, JC. 1958 . The pathology of African swine fever NA comparison with Hog cholera . Am. J. Vet. Res. 19: 517-539. Santhia, K. 2009. Panduan Pengendalian penyakit Hewan Menular Srategis. Dinas Peternakan Provinsi Bali.

25

Meyers, G., Rumenapf, T. and Thiel, H. J. 1989. Molecular cloning dan nucleotide sequence of the genome of hog cholera virus. Virology 171 : 555-567. Putra, AAG. 2006. Situasi penyakit hewan menular (PHM) strategis pada ruminansia besar: Surveilans dan monitoring. Workshop Nasional Ketersediaan IPTEK dalampengendalian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar. Jakarta, 12 Juli, 2006. Rumenpf, TH. 1990. Cloning, sequencing dan expression of the genome of classical swine fever virus. Inaugural-Dissertation, Fach bereich Veterinarmedizin, Justus-Liebig-Universitat, Giessen, Germany. Tarigan S., Sjamsul B, Sarosa A. 1997. Hog Cholera pada Babi. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol 6 No 1. Terpstra, C. 1991 . Hog cholera : an update of present knowledge. British Vet. J. 147: 397- 406. Williams, DR. and Matthews, D . 1988. Outbreaks of classical swine fever in Great Britain in 1986 . Vet. Rec. 122 : 479-483. Wood, L ., Brockman, S., Harkness, J W. and Edwards, S. 1988 . Classical swine fever: virulence dan tissue distribution of a 1986 English isolate in pigs. Vet. Rec. 122 : 391-394.

26

You might also like