You are on page 1of 51

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PROFESI GURU

(PLPG)

MATA PELAJARAN PKn 1. Konstitusi Yang Pernah digunakan Di Indonesia 2. Dampak Globalisasi Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. 3. Ideologi Nasional

Oleh : Drs. SUGIARYO SH, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN UU RI No. 20 tahun 2003, UU RI No. 14 tahun 2005 dan Peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 mengamanatkan bahwa, guru wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Persyaratan kualifikasi akademik bagi seorang guru, dibuktikan dengan ijasah minimal S-1 / D4. Kompetansi sebagai agen pembelajaran mencakup kompetensi pokok, yaitu kompetensi paedagogik, personal, sosial, dan profesional. Selain itu, seorang guru juga harus memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan prosedur sertifikasi yang telah ditetapkan dalam pedoman sertifikasi guru dalam jabatan, peserta sertifikasi yang belum mencapai skor minimal kelulusan, wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) yang diakhiri dengan ujian, baik ujian tulis maupun ujian kinerja. Adapun materi PLPG meliputi materi umum dan materi pokok. Materi umum meliputi pengembangan profesionalitas guru, sedangkan materi pokok antara lain meliputi pendalaman materi mata pelajaran yang belum dikuasai oleh sebagian guru. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, serta hasil wawancara dengan beberapa guru, materi pembelajaran khususnya PKn bagi guru SMP/MTs, SMA/SMK/MA yang masih perlu ditingkatkan penguasaannya antara lain adalah materi pokok tentang konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, pelaksanaan demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan, pelaksanaan otonomi daerah, ideologi nasional serta dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka membantu penguasaan materi tersebut di atas, panitia telah menyusun modul secara singkat sesuai dengan materi pokok tersebut di atas. Melalui materi pokok modul konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia diharapkan guru mampu menganalisis penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi yang berlaku

di Indonesia, menunjukkan hasil-hasil amandemen UUD 1945 serta menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen. melalui modul ideologi nasional, diharapkan guru mampu menddeskripsikan Pancasila sebagai ideologi terbuka, menganalisis pancasila sebagai sumber nilai dan paradigma pembangunan serta menampilkan sikap positif terhadap pancasila sebagai ideologi terbuka. Melalui materi pokok modul pelaksanaan demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan, diharapkan guru mampu menunjukkan pentingnya kehidupan demokratis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta sikap positif dalam pelaksanaan demokrasi di berbagai aspek kehidupan. Melalui materi pokok modul pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan guru mampu mendeskripsikan hakekat otonomi daerah serta pentingnya partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan publik di daerah. Melalui materi pokok modul dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan guru mampu mendeskripsikan dampak positif dan negatif globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mampu menunjukkan sikap positif terhadap dampak globalisasi. Agar materi pokok dalam modul ini dapat dikuasai dengan baik, maka strategi yang dapat dilakukan oleh guru adalah memperbanyak membaca referensi yang relevan, maupun melakukan diskusi dengan teman sejawat.

BAB II MATERI PELATIHAN A. KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI INDONDESIA Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi. Perubahan ini dilakukan karena beberapa alasan : (1). Secara historis, memang pendiri negara mendesain konstitusi bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa, (2). Secara yuridis, konstitusi Indonesia (UUD 1945) menganut prinsip dan mekanisme perubahan konstitusi (pasal 37), (3). Secara filosofis, ide dasar dan substansi konstitusi (UUD 1945) telah mencampuradukkan paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik, (4). Secara praktis politis, karena konstitusi itu tidak dijalankan secara murni dan konsekuen (Muhtar Pabottinggi, 1998). Dengan kata lain, ruh dan pelaksanaan konstitusinya, jauh dari paham konstitusi itu sendiri (Dahlan Thaib, 2004). Oleh karena itu, meskipun dilakukan perubahan, tidak akan berarti apa-apa jika aparat dan masyarakatnya tidak ada niat untuk melaksanakannya. Adnan Buyung Nasution (1995) dalam desertasinya menyatakan bahwa, pemerintahan yang konstitusional bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut esensi-esensi kontitusionalisme. Pertanyaannya adalah ; Konstitusi-konstitusi apa saja yang pernah digunakan di Indonesia ? Apa saja yang melatarbelakangi perubahan konstitusi tersebut ? Di manaka perubahan tersebut ? serta bagaimana sikap masyarakat terhadap perubahan tersebut ?

1. Konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia Sebelum dipaparkan berbagai konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, ada baiknya dibahas lebih dulu pengertian, bentuk, tujuan, fungsi, nilai dan materi yang dimuat dalam konstitusi. a. Pengertian Konstitusi. Pada jaman Yunani penggunaan istilah (konstitusi) berkaitan dengan semboyan Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex yang artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi daripada negara, karena raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang (Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1983: 62). Dengan demikian dapat dikatakan antara negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan (Sri Soematri, 1984: 1). E.C.S Wade mengartikan konsitusi sebagai satu dokumen yang merupakan kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum khusus dan prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga lain (E.C.S Wade& G. Godfray Philips, 1987: 1). Hans Kelsen menyatakan bahwa konstitusi negara biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, yaitu dasar dari tata hukum nasional. Konstitusi secara yuridis, dapat pula bermakna sebagai norma yang mengatur proses pembentukan undang-undang, disamping mengatur pembentukan dan kompetensi dari organ-organ eksekutif dan yudikatif (Hans Kelsen, 1995: 258). Michael J. Perry mengungkapkan dengan jelas bahwa konstitusi merupakan tindakan politik yang tidak semata-mata menetapkan konfigurasi khusus dari kata-kata, tatapi juga berbicara mengenai norma khusus (Michael J. Perry, 1998: 100). Herman Heller menjelaskan bahwa konstitusi memiliki arti yang lebih luas daripada UUD. Konstitusi mengandung pengertian dalam arti politis-sosiologis, yuridis dan sebagai suatu undang-undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara (Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988).

C.F. Strong (1966) menyatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan asasasas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari yang diperintah serta hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Ahli lain, K.C. Wheare (1975) mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa konstitusi adalah : (1). Merupakan kumpulan kaidah yang memberikan batasan kepada para penguasa, (2). Dokumen tentang pembagian tugas dari lembaga-lembaga negara, (3). Deskripsi tentang hak-hak asasi manusia. b. Bentuk Konstitusi. Bentuk konstitusi ada beberapa macam, K.C. Wheare (1975) mengungkapkan ada beberapa bentuk konstitusi, yakni : (1). Konstiusi tertulis dan tidak tertulis, (2). Konstitusi feksibel dan konstitusi rigid, (3). Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi, (4). Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan, dan (5). Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer. c. Tujuan Konstitusi. Tujuan konstitusi dari suatu negara pada prinsipnya adalah untuk membatasi kewenangan tindakan pemerintah untuk menjamin hak-hak yang diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat (Kurniatmanta Soetopawiro, 1987). Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Karl Loewensten di dalam bukunya Polical Power and The Govermental Process, bahwa konstitusi itu adalah suatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan (Dahlan Thaib, 2004).

d. Fungsi Konstitusi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi memiliki fungsi yang sangat penting, baik sebelum pendirian negara maupun sesudah pendirian negara, yakni (1). Sebagai suatu perjanjian atau kesepakatan untuk mendirikan negara, (2). Dokumen resmi tentang pendirian negara, (3). Sebagai pokok kaidah negara yang mendasar, dasar negara, asas dan tujuan negara dan bentuk negara serta asas politik negara, dan (4). Sebagai rujukan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Ini berarti, segala peraturan hukum dan perundang-undangan negara harus berdasarkan pada konstitusi dan tidak boleh bertentangan. Fungsi dan kedudukan konstitusi menurut komisi konstitusi MPR RI, adalah sebagai berikut: (1) sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara, (2) sebagai piagam kelahiran baru, (3) sebagai sumber hukum tertinggi, (4) sebagai identitas nasional dan lambang persatuan, (5) sebagai alat untuk membatasi kekuasaan, (6) sebagi pelindung HAM dan kebebasan warga negara, (7) sebagai pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara, (8) sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara, (9) sebagai penyalur dan pengalih kewenangan dan sumber kekuasaan yang asli kepada organ negara , (10) sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan, dan (11) sebagai pusat upacara (MPR RI, 2004: 12). Shepherd L. Witman dan John J. Wuest berpendapat bahwa fungsi terpenting dari konstitusi adalah menetapkan prinsip-prinsip dasar bagi organisasi dan sikap tindakan pemerintah (Stepherd L. Eitman dan John J. Wuest, 1963: 5). e. Nilai Konstitusi. Karl Loewensten, membagi tiga jenis penilaian terhadap suatu konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai nominal dan nilai semantic. Dikatakan

mengandung nilai normatif apabila konstitusi itu secara resmi diterima oleh suatu bangsa dan berlaku bukan saja dalam arti hukum, tetapi dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Dikatakan mengandung nilai nominal, apabila konstitusi menurut hukum memang berlaku, tetapi dalam kenyataannya tidak sempurna. Dikatakan mengandung nilai semantic apabila konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada atau hanya sebagai kedok untuk melaksnakan kekuasaan politik. f. Materi Yang dimuat dalam Konstitusi Konstitusi (Undang-Undang Dasar) berisi tiga hal pokok yaitu: (1) adanya jaminan terhadap HAM dan warga negara, (2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental (Sri Soemantri, 11984: 45). Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh C.F Strong, bahwa Undang-Undang Dasar berisi tiga hal, yaitu: First, how the various agencies are organized; Secondly, what power is entrusted to those agencies; and thirty, in what manner such power is to be exercised (C.F Strong, 1966: 10). Bagir Manan dan Kuntana Magnar berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar berisi: (1) dasar-dasar mengenai jaminan terhadap HAM dan warga negara, (2) dasar-dasar susunan dan organisasi negara, (3) dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara, dan (4) hal-hal yang menyangkut identitas negara seperti bendera dan bahasa nasional (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1995: 45). Selain itu konstitusi juga dapat berisi pengaturan tentang sistem ketatanegaraan (I Gede Pantja Astawa, 2000: 3). Struycken, mengemukakan bahwa konstitusi tertulis atau UUD merupakan dokumen formal yang berisi : (1). Hasil perjuangan bangsa di waktu lampau, (2). Keputusan politik tertinggi ketatanegaraan suatu bangsa,

(3). Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, (4). Suatu keinginan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak diwujudkan, dan (5). Sebagai alat yang berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan (Sri Sumantri, 1996). Menurut Mr. J.G. Steenbeek, menjelaskan bahwa pada umumnya konstitusi itu berisi tiga hal pokok, yaitu : pertama, adanya jaminan hak asasi manusia dan warga negaranya, kedua ditetapkannya susunan kenegaraan yang bersifat fundamental, dan ketiga adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Ahli lain, Meriam Budiharjo (1991), menyebutkan bahwa setiap UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai : (1). Organisasi negara, (2). Hak asasi manusia, (3). Prosedur mengubah UUD dan adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Secara de facto, negara Indonesia berdiri sejak 17 Agustus 1945 akan tetapi secara de jure baru berdiri tanggal 18 Agustus 1945, karena pada tanggal inilah PPKI sebagai lembaga tertinggi negara menetapkan Undangundang Dasar negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam sejarah perkembangannya, konstitusi ketatanegaraan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain : 1. UUD 1945 (periode pertama berlaku 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949). 2. UUD RIS atau konstitusi RIS, berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. 3. UUDS 1950, berlaku sejak 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. 4. UUD 1945 (periode II) mulai 5 Juli 1959 sampai tahun 2000 dan UUD 1945 Amandemen mulai tahun 2000 sampai sekarang. 2. Alasan-alasan Dasar dilakukan Perubahan (amandemen) Konstitusi

Amandemen

Undang-Undang

Dasar

mempunyai

banyak

arti,

amandemen tidak saja berarti menjadi lain isi serta bunyi tetapi juga mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketantuan Undang-Undang Dasar (Sri Soemantri, 1984: 122). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikenal istilah amandemen, yang ada istilah perubahan. Sri Soemantri, menjelaskan bahwa mengubah Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah ataupun kalimat dalan Undang-Undang Dasar, mengubah konstitusi berarti membuat isi konstitusi dari semula melalui penafsiran (Sri Soemantri, 1984: 1996). Taufiqurahman, (perbaikan), 2003: 102). Perubahan suatu Undang-Undang Dasar atau konstitusi pada dasaranya dapat dilihat dari dua sisi, yakni perubahan secara material dan perubahan formal (Donal A. Rumokoy, 1998: 336). Perubahan secara material dapat berlangsung menurut beberapa bentuk antara lain: penafsiran, perkembangan tingkat, konvensi ketatanegaraan. Sedangkan perubahan secara formil, lazimnya ditentukan di dalam konstitusi yang bersangkutan. Terdapat dua sistem perubahan Undang-Undang Dasar, yakni: (1) perubahan yang dilakukan langsung terhadap Undang-Undang Dasar lama. Jika ada pasal-pasal Undang-Undang Dasar lama yang perlu dirubah, perubahan akan langsung dilengkapi terhadap pasal itu, (2) perubahan tidak dilakukan langsung terhadap Undang-Undang Dasar lama. Dengan demikian, meskipun telah diadakan perubahan, tetapi Undang-Undang Dasar lama tetap berlaku. Perubahan melalui istilah ini dilakukan melalui amandemen terhadap Undang-Undang Dasar lama. Kemudian amandemen ini dicantumkan di bagian Alteration menyatakan bahwa istilah perubahan, dapat Change diklasifikasikan ke dalam 7 istilah, yaitu: Amandemen (perubahan), Revisi (pembenahan), Reform (perbaikan), (pengartian), Modified (modifikasi), dan Revier (tinjauan) (Taufiqurahman,

belakang atau akhir dan menjadi bagian yang tidak tepisahkan dari UndangUndang Dasar. Model ini yang dilakukan tehadap Undang-Undang Dasar 1945. Perihal cara perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, C.F. Strong, mengemukakan bahwa ada empat cara perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) dilakukan oleh lembaga legislatif yang ada dengan pembatasan (by the ordinary legislature but under certain retrition), (2) dilakukan oleh rakyat melalui referendun (by the people through a referendum), (3) dilakukan oleh sebagian besar dari negara federal (by a majority of all unit of a federal state), (4) dilakukan oleh suatu badan khusus (by a special consention) (C.F. Strong, 1964: 148). K.C Wheare, juga mengemukakan empat cara tentang UndangUndang dapat dilakukan perubahan,, yaitu: (1) melalui beberapa kekuatan penting (some primary forces), (2) melalui formal amandemen (formal amandement), (3) melalui penafsiran judisial (judisial interpretation), dan (4) melalui kebiasaan dan adat istiadat (usage and customs) (K.C Wheare, 2000: 103-108). Secara lebih sederhana, dikemukakan oleh Jellinek dalam bukunya Verfassung Sanderung Und verfassung Swandlung, sebagaimana dikutip oleh Ismail Suny, disebutkan ada dua cara suatu Undang-Undang Dasar dilakukan perubahan, yaitu: (1) perubahan Undang-Undang dilakukan dengan sengaja, dengan cara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri, dan (2) perubahan Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar, tetapi melalui cara-cara istimewa, seperti revolusi, Coup detat dan sebagainya (Ismail Suny , 1981: 41). Sedangkan Ismail Suny sendiri, mengemukakan bahwa proses perubahan Undang-Undang Dasar dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu,: (1) perubahan resmi, (2) penafsiran hakim, dan kebiasaan ketatanegaraan/konvensi (Moh. Kusnardi, dan Harmaly Ibrahim, 1983: 85).

Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. Menjelaskan bahwa terdapat bermacam-macam prosedur unntuk mengubah Undang-Undang Dasar antara lain: (1) melalui sidang badan legislatif, dengan persyaratan tertentu, (2) melalui referendum atau plebisit, (3) melalui negara, negara bagian dalam negara federal, dan (4) melalui musyawarah khusus (Miriam Budiardjo , 2002: 15). Berbagai cara perubahan terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut adalah dalam rangka untuk melindungi Undang-Undang Dasar, agar Undang-Undang Dasar tidak begitu saja dapat diubah. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar tidak boleh dilakukan sekehendak hati melainkan harus menemukan kriteria tertentu, yakni: (1) adanya keperluan yang mendesak, (2) kelayakan, dan (3) perubahan yang pokok (Mochtar Kusumaatmadja, 1986: 12). Ellidar Chaidir, mengemukakan bahwa alasan-alasan dasar (paradigma) yang dapat dijadikan pertimbangan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar termasuk juga Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut: (1) paradigma kedaulatan rakyat dengan prinsip demokrasi yang tidak semata-mata representatif, tetapi juga partisipatif, (2) paradigma negara hukum, dengan supremasi hukum yang adil dan responsif, (3) paradigma pembatasan kekuasaan sebagai cermin konstitusionalisme dengan prinsip chek and balances, (4) paradigma konstitusi yang berbasis HAM sebagai perwujudan kehendak sosial, dan (5) paradigma pruralisme dengan semangat toleransi dan anti diskriminasi (Ellidar Chaidir, 2007: 72). Sejak disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, hingga sampai saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan baik perubahan dalam bentuk praktek maupun perubahan teks yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Perubahan dalam bentuk praktek ketatanegaraan telah terjadi pada

tanggal 16 Oktober 1945. Dalam hal ini Wakil Presiden atas usul KNP, pada hari yang sama telah mengumumkan Maklumat No X yang menyatakan bahwa KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis besar daripada haluan negara. Maklumat itu juga menetapkan bahwa KNP berhubung dengan gentingnya keadaan mendelegasikan kekuasaanaya, kepada sebuah badan pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNP (Ismail Suny, 1981: 28). Dengan keluarnya maklumat Wakil Presiden No X tersebut, kekuasaan presiden, yang menurut A.K Pringgodigdo, saat itu dikatakan diktatorial, maka dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X, mengalami kemunduran, karena harus membagi kekuasaannya dengan KNP atau badan pekerjanya (A.K Pringgodigdo, 1956: 1). Perubahan dalam bentuk praktek juga terjadi pada tanggal 11 Nopember 1945, yakni pada saat ketua badan pekerja mengusulkan kepada presiden adanya sistem pertanggung jawaban Menteri kepada parlemen (KNP). Usulan tersebut diterima dengan baik oleh presiden, sehingga dengan diterimanya usulan tersebut maka dimulai pertanggung jawaban para menteri kepada KNP dalam susunan pemerintahan negara Republik Indonesia. Sebagai akibat dari perubahan tersebut maka, dikeluarkanlah maklumat pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945, yakni kabinet Presidentiil dibawah Presiden Soekarno. Diganti kabinet baru, dengan Sultan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Harun Alrasid mengemukakan bahwa pada tahun 1973 dan tahun 1983, Undang-Undang Dasar 1945 juga pernah mengalami perubahan praktek yaitu: (1) perubahan kriteria telah berusia 40 tahun bagi Presiden maupun Wakil Presiden dalam Ketetapan MPR No II/MPR/1973. ini berarti merubah pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945, (2) pengutamaan tata cara pengambilan keputusan dengan musyawarah untuk mufakat dalam ketetapan MPR No

I/MPR/1983, berarti merubah pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak, (3) penetapan wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dalam Ketetapan MPR No I /MPR/1983. berarti mengubah Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 (Harun Alrasyid, suara Pembaharuan, 24 Juni 1999). Demikian pula Ismail Suny mengemukakan bahwa pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Ketetapan MPR Republik Indonesia No XIII/MPR/1998 adalah merupakan perubahan dari Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 (Ismail Suny, Kompas 25 september 1999). Perubahan sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar tersebut, oleh MPR tidak pernah dinyatakan sebagai suatu perubahanperubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Karena baru dinyatakan secara tegas pada tanggal 19 Oktober 1999 yakni ketika mengeluarkan perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena tidak ada bentuk hukum yang sederajad dengan Undang-Undang Dasar, maka perubahan tehadap Undang-Undang Dasar 1945 diberi bentuk perubahan atau amandemen. Dengan demikian akan tedapat perubahan pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga, dan perubaan keempat. Dalam ilmu hukum terdapat satu asas, yaitu bahwa suatu peraturan perundag-undangan hanya dapt diubah atau dicabut oleh peraturan perundangundangan yang sederajad atau lebih tinggi derajadnya (Ellidar Chaidir, 2007: 96). Dilihat dari asas ini adalah logis apabila perubahan undang-undang dasar diatur serta dituangkan dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu ada kemungkinan MPR menggunakan bentuk Undang-Undang Dasar untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Jika demikian, maka akan ada lebih dari satu Undang-Undang Dasar. Yang pertama adalah Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar yang berisi perubahan Undang-Undang Dasar yang pertama (Sri Soemantri, 1987). Adapun dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahunn 1945 anatara lain: (1) karena adanya struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, maka berakibat tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (cheks and balances) institusi-insitusi kenegaraan, (2) kekuasaan presiden sangat dominan (eksekutif heavy), yakni sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif sekaligus memiliki kekuasaan dibidang yudikatif, (3) karena sifat luwes dari Undang-Undang Dasar 1945, berakibat timbulnya multi tafsir, (4) karena presiden juga memegang jabatan legislatif, maka pengajuan RUU selalu berasal dari Presiden, dan (5) dalam Undang-Undang Dasar 1945, belum cukup memuat aturan dasar tentang kehidupan demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM dan otonomi daerah (MPR RI, 2007: 6-7). Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk: (1) menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional, (2) menyempurnakan aturan mengenai jaminan dan perlindungan HAM, (3) menyempurnakan aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demoktaris dan modern, (4) menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusi dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas, (5) melengkapi aturan dasar bagi eksistensi negara dan perjuangan negara dalam mewujudkan demokrasi, dan (6) menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa, sesuai dengan aspirasi kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara. Dasar yuridis perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur dan prosedur perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun kesepakatan perubahan dasar dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah: (1) tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

(2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (3) mempertegas sistem pemerintahan presidentiil, (4) penjelasan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh), dan (5) melakukan perubahan dengan cara adendum (MPR RI, 2007: 7-8). 3. Hasil-hasil Amandemen UUD 1945 Proses pelaksanaan amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR dalam empat tahap. Tahap pertama; tertanggal 14 21 Oktober 1999. perubahan tersebut dikuatkan dengan keputusan MPR tanggal 19 Oktober 1999. Perubahan ini meliputi beberapa pasal, antara lain pasal 5 ayat (1), 7,9,13 ayat (2), 14, 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 dan 21 UUD 1945. Tahap kedua; dilakukan pada sidang tahunan MPR tahun 2000 yang dikuatkan dengan keputusan MPR tanggal 18 Agustus tahun 2000. Perubahan ini meliputi pasal 6A ayat (1), 18, 18A, 18B, 19, 20 ayat (5), 20A, 22A, 22B, 25A, 26 ayat (3), 27 ayat (3), 28A-28J, 30, 36A, dan 36B. Tahap ketiga; tahap ini merupakan kelanjutan dari amandemen kedua yang dilakukan oleh badan pekerja MPR dan selanjutnya diputuskan dalam sidang tahunan MPR tahun 2001. Perubahan ini meliputi pasal 1 ayat (2) dan (3), 3, 6, 6A, 7A, 7B, 8 ayat (1) dan (2), 11, 17 ayat (4), 22C, 22D, 22E, 23, 23A, 23C, 23E, 23F, 23G, 24 ayat (1) dan (2), 24A, 24B dan 24C. Tahap keempat; tahap ini merupakan kelanjutan perubaham dari tahap ke tiga yang ditetapkan tanggal 10 Agustus 2002 dalam sidang tahunan MPR tahun 2002. Perubahan ini meliputi pasal 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16, 23B, 23D, 24 ayat (3), 31, 32 ayat (1) dan (2), 33 ayat (4) dan (5), 34, 37, aturan peralihan pasal I, II, dan III dan aturan tambahan pasal 1 dan 2.

Berikut ini adalah perbandingan hasil-hasil amandemen UUD 1945.

No 1 2

Muatan Materi Pembukaan UUD 1945 Bab I Bentuk dan kedaulatan pasal 1

Bab II MPR Pasal 2 dan 3

Bab III Kekuasaan pemerintahan Negara

5 6 7

Bab IV DPA Bab V Negara Bab VI Daerah Kementrian Pemerintah

Bab VII DPR

Perbedaan yang Mendasar Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen) Kedaulatan di tangan rakyat Kedaulatan rakyat dan dilakukan sepenuhnya dilaksanakan menurut UUD oleh MPR Penegasan Indonesia negara hukum MPR terdiri atas anggota MPR terdiri atas anggota DPR DPR, utusan daerah dan dan DPD utusan golongan MPR menetapkan UUD dan MPR mengubah dan GBHN menetapkan UUD MPR Melantik Presiden dan wakil presiden Presiden dan wakil presiden Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan dipilih dalam satu pasangan suara terbanyak secara langsung oleh rakyat Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan Tidak diatur tata cara Diatur tata cara pemberhentian pemberhentian presiden dan presiden dan wakil presiden wakil presiden dalam masa jabatan bila melanggar hukum Presiden mengangkat dan Dalam pengangkatan dan menerima duta dan konsul, penerimaan duta dan konsul, memberi grasi, amnesti, pemberian amnesti dan abolisi, dan rehabilitasi abolisi, presiden harus tanpa harus memperhatikan memperhatikan pertimbangan pertimbangan DPR maupun DPR, pemberian amnesti dan MA rehabilitasi harus memperhatikan pertimbangan MA Mengatur masalah DPA Bab dan materi ini dihapus (dewan pertimbangan agung) beserta kewajibannya Menteri-menteri itu Setiap menteri membidang mempimpin departemen urusan tertentu dalam pemerintah pemerintahan Hanya mengatur secara garis Dijabarkan tentang pemerintah besar tentang pembagian daerah, DPRD, otonomi daerah daerah dan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah Setiap UU menghendaki DPR memegang kekuasaan persetujuan DPR membentuk UU Setiap rancangan UU dibahas

No 1

Muatan Materi Pembukaan UUD 1945

Bab VIIB Pemilihan Umum

10 11 12

Bab VIII Keuangan Bab VIIIA BPK

Hak

Perbedaan yang Mendasar Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen) DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama Diatur fungsi DPR yaitu fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran, serta hak-hak DPR Tidak ada Mengatur masalah Pemilu, tujuan, asas dan KPU/Komisi Pemilihan Umum Tidak ada Mengatur masalah DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Tidak ada Diatur tentang bank sentral Materi digabung Bab VIII Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung Tidak diatur Mengatur masalah BPK (badan pemeriksa keuangan) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi Diatur kewenangan Mahkamah Agung dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial Mengatur masalah warga negara dan penduduk Diatur hak dan kewajiban ikut serta dalam Mengatur secara terperinci tentang hak asasi manusia (dari pasa 28, 28A sampai 28J). Upaya bela negara (pasal 27 ayat (3)) Sama/tidak ada perubahan

Bab IX Kekuasaan Kehakiman

Tidak diatur 13 Bab X Warga Negara dan Penduduk Bab XA HAM Hanya mengatur masalah warga negara Dimasukkan dalam pasal 30 ayat (1) Tidak ada

14

15

Bab XI Agama

16

Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa Kemerdekaan beragama dan beribadah Mengatur usaha bela negara

17

Mengatur hal pokok hak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan

Mengatur pertahanan dan kemanan (Sistem Hankam), Tentara Nasional Indonesia dan Polri Kewajiban mengikuti pendidikan dasar, hak di bidang pendidikan, kebudayaan nasional, dan jaminan pemerintah untuk menghormati bahasa daerah

No 1 18

Muatan Materi Pembukaan UUD 1945 Bab XIV Perekonomian dan kesejahteraan Sosial

19

20

Bab XV Bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan Bab XVI Perubahan UUD

Perbedaan yang Mendasar Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen) Pokok-pokok tentang asas Ada penambahan ayat yang ekonomi, cabang produksi mengatur masalah prinsipyang penting dikuasai negara prinsip demokrasi ekonomi. serta mengatur masalah bumi, air dan kekayaan alam Fakir miskin dan anak Adanya jaminan sosial, terlantar dipelihara oleh penyedia fasilitas kesehatan negara dan pelayanan umum Hanya mengatur masalah Mengatur masalah bendera, bendera dan bahasa bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Putusan terhadap UUD dilakukan dengan persetujuan minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir Putusan perubahan UUD dilakukan dengan persetujuan minimal lima puluh persen ditambah satu dari semua jumlah anggota MPR Khusus untuk bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan Ada 3 pasal, isinya berbeda Ada dua ayat isinya berbeda Tidak ada penjelasan

21 22 23

Aturan peralihan Aturan tambahan Penjelasan UUD

Ada 4 pasal Ada dua ayat Memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal

4. Penyelewengan-penyelewengan Terhadap Konstitusi. Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, secara sepintas UUD 1945 telah mengatur seruan paham konstitusi yaitu anatomi kekuasaan tunduk pada hukum (supremasi hukum) adanya jaminan dan perlindungan HAM, adanya prinsip peradilan yang bebas dan menganut asas kedaulatan rakyat. Namun dalam kenyataannya, prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan, belum dielaborasikan secara proporsional dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia. Beberapa kali pergantian konstitusi telah membawa dampak terhadap sistem politik dan pemerintahan negara. Berkali-kali pergantian konstitusi, berkali-kali pula terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap konstitusi yang telah disusun dan disepakati bersama. a. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD 1945 (18 Agustus

1945 27 Desember 1949) dapat dikemukakan : (1). Dengan pasal IV aturan peralihan adalah bertentangan dengan pasal I ayat 2. Dalam pasal IV aturan peralihan, tugas MPR dijalankan oleh Presiden dibantu Komite Nasional. Jadi presiden berfungsi sebagai eksekutif, legislatif dan konsultatif. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip konstitusi negara Indonesia, (2). Lembaga-lembaga negara belum berfungsi sebagaimana mestinya, (3). Keluarnya maklumat pemerintah no 5 BPKNP 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer yang ditandai dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I. b. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD RIS 1949 (27 Desember 1949 17 Agustus 1950), antara lain : (1). Terbentuknya bentuk negara serikat yang bertentangan dengan konsep pendirian negara kesatuan RI, (2). Pergantian UUD yang dipakai (UUD 1945) menjadi UUD RIS (Konstitusi RIS 1949), (3). Berlakunya pemerintahan parlementer yang tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 (presidensial). Dampak dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah kondisi pemerintahan menjadi tidak stabil, selain itu juga muncul gerakan separatis atau pemberontakan di berbagai daerah. c. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 05 Juli 1959) antara lain, (1). Diterapkannya demokrasi liberal, yaitu sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan mutlak individu atau kelompok, (2). Diterapkannya sistem pemerintahan parlementer yang mengakibatkan kondisi politik tidak stabil, kabinet yang dibentuk sering berganti-ganti (kabinet jatuh bangun), program-program tidak dapat berjalan. d. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959 11 Maret 1966) antara lain (1). Penyelenggaraan negara menganut sistem demokrasi terpimpin yang dalam prakteknya menonjolkan peran pemimpinnya, bila suatu musyawarah tidak mencapai mufakat maka

keputusan diserahkan kepada presiden sebagai pemimpin. Dengan demikian demokrasi terpimpin tidak sesuIai dengan makna demokrasi itu sendiri, (2). Dikeluarkannya penetapan presiden yakni penpres No. 1 tahun 1959 tentang DPRS, penpres No. 2 tahun 1959 tentang MPRS, penpres No. 3 tahun 1959 tentang DPAS, (3). Pengangkatan presiden seumur hidup (TAP MPRS No III/MPRS/1963), (4). Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955 (5 Maret 1960) dengan penpres No. 3 tahun 1960, (5). Pembentukan DPRGR dengan penpres No. 4 tahun 1960, (6). Ditetapkannya asas NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). Hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. e. Penyimpangan-penyimpangan konstitusi (UUD 1945) pada masa berlakunya ORBA (11 Maret 1966 21 Mei 1998) antara lain : (1). Keluarnya TAP MPR No. 1/MPR/1978 pasal 115, TAP MPR No. 1/MPR/1983 pasal 104 109, TAP MPR IV/MPR/1983 dan UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum. Dalam ketentuan ini MPR tidak akan mengubah UUD 1945, namun akan melaksanakan secara murni dan konsekuen, dan jika MPR akan mengubah UUD 1945 harus minta persetujuan kepada seluruh rakyat melalui referendum. Aturan ini tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945, (2). Dalam setiap pelaksanaan Pemilu ada anjuran agar PNS untuk loyal pada salah satu parpol (monoloyalitas), pada hal PNS adalah abdi negara dan abdi masyarakat, (3). Pengangkatan anggota DPR dari unsur TNI/Polri. f. Penyimpangan-penyimpangan konstitusi pada masa reformasi dari kurun waktu 21 Mei 1998 sampai dengan sekarang antara lain; Kerja kabinet sering tidak kompak, karena memiliki latar belakang partai yang berbeda. Kondisi ini sering membuat presiden mengambil kebijakan dengan mengganti menteri. Akibatnya, hubungan partai politik yang ada di DPR dengan pemerintah tidak harmonis. Hal ini ditunjukkan DPR tidak percaya kepada presiden sehingga DPR memberikan memorandum dan

selanjutnya diakhiri sidang istimewa. 5. Makna Amandemen bagi Kehidupan Negara RI Bagi kehidupan negara RI, amandemen UUD 1945 memiliki makna yang sangat penting, antara lain : (1). Memberi landasan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan negara, (2). Mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara hukum yang demokratis, (3). Meningkatkan jaminan perlindungan HAM, karena perubahan ini telah banyak mengatur jaminan hak asasi manusia, (4). Meningkatnya dalam hal partisipasi hubungan warga sosial negara dalam pemerintahan, (5). Mendorong terwujudnya civil society yang merupakan masyarakat otonom antarpribadi, kewarganegaraan, dan kemasyarakatan tanpa intervensi dari pemerintah, sehingga memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai bidang dan profesi masing-masing. 6. Sikap Positif terhadap Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen Pada hakekatnya amandemen UUD 1945 adalah sebuah tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dengan amandemen tersebut diharapkan terselenggaranya negara hukum yang demokratis, terhindar dari sistem pemerintahan absolut, terjaminnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa, terciptanya pengawasan pemerintahan yang efektif, terjaminnya perlindungan HAM, meningkatnya partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan serta terwujudnya masyarakat madani yang tertib, damai harmonis dan sejahtera. Setelah terjadinya amandemen UUD 1945, maka konstitusi yang berlaku saat ini diharapkan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Namun demikian, amandemen ini tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi adanya sikap positif dan dukungan dari seluruh warga negara, mulai dalam kehidupan berkeluarga, sekolah, masyarakat berbangsa dan bernegara. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh setiap warga negara dalam melaksanakan UUD yang diamandemen, dapat berupa partisipasi

positif, partisipasi negatif, partisipasi aktif maupun partisipasi pasif. Positif artinya, warga negara dapat meminta agar negara mengusahakan sesuatu yang menjadi haknya. Negatif artinya, warga negara berhak untuk menolak campur tangan negara terutama menyangkut hak pribadi. Aktif artinya warga negara turut aktif menentukan kebijakan publik baik langsung maupun tidak langsung. Pasif artinya, warga negara harus patuh terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Adapun partisipasi warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945, dapat meliputi berbagai aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya maupun di bidang pertahanan keamanan. B. DAMPAK GLOBALISASI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA 1. Hakekat Globalisasi Globalisasi adalah merupakan suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia dapat menjangkau satu dengan yang lain dan saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, maupun lingkungan (Budi Winarno, 2004: 39). Martin Khor menyebutkan bahwa terdapat dua ciri utama globalisasi, yaitu : Pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahan-perusahaan transnasional maupun lembaga-lembaga internasional. Jika dulu perusahaan multinasional hanya mendominasi sebuah produk, maka saat ini sebuah perusahaan transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai macam produk, pelayanan dan barang-barang semakin beragam, bahkan diprediksikan bahwa beberapa produk-produk yang dihasilkan oleh perusahan-perusahaan transnasional tergantung pada permintaan pasar. Kedua ,dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan yang meliputi berbagai bidang (sosial, ekonomi, politik dan teknologi) yang sekarang berada dalam yuridiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam suatu wilayah

negara,

bergeser

menjadi

dibawah

pengaruh-pengaruh

badan-badan

internasional, serta pelaku ekonomi dan keuangan internasional (Martin Khor, 2002: 11-12). Globalisasi, merupakan karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-bata konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut, dunia telah dimampatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang secara tidak langsung dunia seolah-olah seperti perkampungan besar. Globalisasi mengalami akselerasi sejak beberapa dekade terakhir, tetapi proses yang sesungguhnya sudah berlangsung sejah jauh dimasa silam (Roland Robert dalam Dimyati, 2000: 5). Seiring dengan perkembangan IPTEK Informasi dan Komunikasi, proses globalisai semakin intensif, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan perkembangan kapitalisme dan mengglobalnya peran pasar sebagai kata kunci memasuki persaingan dalam dunia usaha yang melahirkan energi besar pada arah perdagangan bebas. Robert Gilpin berpendapat bahwa hakekat politik ekonomi dunia saling pengaruh-mempengaruhi secara timbal balik dan bersifat dinamis (Robert Gilpin, 1972: 111-119). Tujuan yang dicapai adalah kekayaan dan kekuasaan. Negara-negara besar dan kuat lebih banyak memberikan pengaruh, bahkan kerap kali memaksakan sekalipun dengan dalih yang bermacam-macam. Alasan yang sering dipergunakan diantaranya dikaitkan dengan HAM. Sebaliknya negara-negara kecil atau negara yang lemah secara politik maupun ekonomi bersifat tergantung di tingkat global (Dalhak Latief, 2001; 103). 2. Faktor Penyebab Globalisasi Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya globalisasi, yaitu faktor ekstern dan faktor intern. Faktor ekstern antara lain meliputi : (1). Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, (2). Ditemukannya sarana komunikasi yang semakin canggih (internet, HP,), (3). Adanya tuntutan pasar

bebas, sehingga tiap negara terlibat dalam persaingan yang tidak hanya terbats di dalam negerinya saja, (4). Adanya keberhasilan perjuangan pro demokrasi di beberapa negara di dunia, (5). Meningkatnya peran dan fungsi lembagalembaga internasional, serta meningkatnya tuntutan HAM di setiap negara. Faktor intern antara lain meliputi : (1). Adanya ketergantungan sebuah negara terhadap negara lain, (2). Meningkatnya peran media massa, (3). Meningkatnya tuntutan transparansi dan kesadaran berdemokrasi, (4). Berkembangnya lembaga swadaya masyarakat serta meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat. 3. Manfaat Globalisasi bagi Bangsa Indonesia Bagi bangsa Indonesia, globalisasi memiliki manfaat yang sangat besar baik dalam bidang politik (pemerintahan), sosial budaya, ekonomi, hukum dan bidang pertahanan kemanan. Dalam bidang politik (pemerintahan), dengan adanya globalisasi pemerintah dapat dengan mudah melakukan komunikasi dan koordinasi antardaerah. Dengan demikian, setiap kebijakan yang telah diambil dapat dengan segera sampai pada masyarakat. Demikian pula aspirasi masyarakat dapat dengan mudah diterima oleh pejabat pemerintahan. Pejabat negara yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dapat segera diawasi, selanjutnya dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan publik. Globalisasi juga dapat meningkatkan partisipasi rakyat terhadap pemerintahan terutama dalam hal pemilihan anggota parlemen, penempatan pejabat publik, yang sekaligus dapat mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam bidang hukum, globalisasi mendorong meningkatnya penegakan hukum secara adil dan tidak memihak. Dan bila terjadi ketidakadilan hukum, masyarakat akan ikut menekan perilaku para penegak hukum yang tidak adil tersebut. Selain itu, mendorong upaya perlindungan serta penegakan HAM, karena berbagai pelanggaran HAM yang menjadi

perhatian masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri dapat dengan mudah diakses sehingga negara yang tidak mau menegakkan HAM akan mendapatkan tekanan bahkan diisolir oleh masyarakat internasional. Dalam bidang ekonomi, globalisasi memperlancar perdagangan luar negeri, ekspor impor guna mencukupi kebutuhan masyarakat, meningkatnya jaringan kerjasama di bidang ekonomi, tenaga kerja, dan penanaman modal ke dalam negeri dalam rangka mempercepat pembangunan. Selain itu, mempercepat terwujudnya pasar bebas, mendorong perkembangan industri dalam negeri. Melalui sarana informasi yang canggih, berbagai perkembangan industri dunia secara cepat dapat diakses oleh masyarakat dan dapat dimanfaatkan. Dalam bidang sosial budaya, globalisasi dapat mempermudah kerjasama dalam upaya pengembangan pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai belahan dunia dapat mudah diakses dan diterapkan di Indonesia. Demikian pula, karya seni dan budaya dari manca negara dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian masyarakat tidak akan ketinggalanjaman. Dalam bidang pertahanan dan keamanan, dengan adanya globalisasi kondisi setiap daerah mudah di pantau. Berbagai hambatan, tantangan, gangguan dan ancaman dapat diketahui lebih dini, sehingga pemerintah dan masyarakat dapat dengan cepat melakukan langkah-langkah penanggulangan. Selain itu, kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan dengan negara lain dapat dengan mudah dilakukan. Melihat kenyataan tersebut di atas, tanpa globalisasi bangsa Indonesia akan mengalami kesulitan melakukan komunikasi antardaerah maupun antarnegara. 4. Dampak Negatif Globalisasi terhadap kehidupan Masyarakat, Bangsa dan Negara

Dalam bidang politik, globalisasi berpengaruh terhadap persebaran ideologi internasional seperti komunisme, kapitalisme dan sosialisme yang mana ideologi tersebut bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam bidang pemerintahan, globalisasi dapat mendorong gerakan yang menentang pemerintah secara radikal yang cenderung menggunakan aksi kekerasan di berbagai belahan dunia dengan mudah dapat diakses dan ditiru oleh masyarakat Indonesia yang sebenarnya sistem pemerintahan, peraturan hukum di Indonesia tidak sama dengan negara lain. Dalam bidang HAM, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dapat meningkatkan penegakan HAM dalam negeri akan tetapi juga dapat menjadi penekan terhadan negara Indonesia yang mengancam kedaulatan bangsa dan negara RI. Dalam bidang ekonomi, globalisasi cenderung ke arah kapitalisme. Oleh karena itu, bila diikuti oleh masyarakat dalam negeri, dapat melemahkan nilai-nilai ekonomi kekeluargaan. Selain itu, dengan berlakunya pasar bebas akibat globalisasi membuat para pedagang kecil dalam negeri kalah bersaing dengan produk luar negeri. Dalam bidang sosial budaya, globalisasi berpengaruh terhadap gaya hidup para generasi muda seperti mode, gaya hidup, perilaku seks bebas, narkoba, dll, hal ini dapat merusak nilai-nilai kesopanan, adat istiadat dan nilai agama. Selain itu juga dapat melunturkan kecintaan budaya daerah, terutama pada masyarakat perkotaan yang cenderung memilih gaya hidup luar negeri. Dalam bidang pertanahan keamanan, globalisasi dapat meningkatkan bahaya gangguan internasional, terutama teroris dunia yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan kehidupan masyarakat seperti kasus bom bunuh diri, dan teror lainnya. Globalisasi juga dapat meningkatkan kejahatan internasional berupa aksi penyelundupan narkoba, senjata api, minuman keras dan sejenisnya.

5. Sikap yang perlu dikembangkan menghadapi Globalisasi Dalam rangka mengantisipasi pengaruh globalisasi diperlukan sikap dan perilaku yang positif baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu diperlukan adanya kualitas sumber daya manusia yang memadai, baik dari segi mental spiritual maupaun aspek intelektual. Hal ini sangat penting agar masyarakat mampu menerima, mengadopsi, pengaruh globalisasi tersebut secara positif. Sebaliknya, masyarakat juga harus siap mampu menangkal pengaruh yang negatif. Sikap dan perilaku yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia antara lain (1). Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan adat istiadat serta nilai agama yang baik bagi masyarakat, (2). Membentuk dan mengembangkan lembaga swadaya guna memperkokoh kepribadian masyarakat, (3). Memperluas lapangan kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran yang pada gilirannya dapat mengeliminir aktivitas masyarakat yang tidak bermanfaat, (4). Menumbuhkembangkan kesetiakawanan sosial, sehingga setiap anggota masyarakat merasa memiliki peran dan fungsi di dalam kelompok, (5). Meningkatkan kerjasama antar warga. C. IDEOLOGI NASIONAL 1. Pengertian Ideologi Istilah ideologi berasal dari kata-kata Yunani yaitu Idea dan Logos. Idea yang berarti ide atau gagasan. Logos yang berarti perkataan atau ilmu, kemudian juga diartikan sebagai filsafat hidup maupun pandangan dunia atau Weltanschauung (Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus 3, 1986: 1366 1367). Terdapat dua pandangan tentang ideologi dengan isi yang berbeda bahkan bertentangan. Yang satu dalam pengertian negatif dan yang lain dalam pengertian positif. Ideologi mengandung arti yang negatif, karena dikonotasikan dengan sifat yang totaliter yaitu memuat pandangan dan nlai yang menentukan seluruh segi

kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh ideologi itu, sehingga akhirnya mengingkari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya. Selain itu istilah ideologis sering kali dipakai untuk mengungkapkan cemooh atau ejekan, karena dibelakangnya sebetulnya tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan tertentu (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 44). Para tokoh yang menganut pandangan ini, antara lain adalah Niccollo Machiavelli dan Karl Marx. Nocollo Machiavely dalam bukunya Il Principle atau sang Penguasa, dijelaskan bahwa ideologi pada dasarnya berkenaan dengan siasat dalam berpolitik praktis. Siasat ini terutama tampak dalam tiga hal. Pertama, kecenderungan orang untuk melakukan penilaian keadaan kekuasaan berdasarkan kepentingannya. Kedua, konsepsi-konsepsi keagamaan seringkali digunakan untuk menggalang kekuasaan dan melakukan dominasi. Ketiga, kebutuhan untuk menggunakan tipu daya dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam pandangan Machiavelli ideologi hakekatnya adalah pengetahuan mengenai cara menyembunyikan kepentingan, mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan konsepsi-konsepi keagamaan dan tipu daya sedangkan Karl Marx dalam bukunya yang berjudul Die Deutch Ideologie mengemukakan bahwa ideologi adalah kesadaran palsu. Dikatakan kesadaran palsu karena ideologi merupakan hasil pemikiran tertentu yang diciptakan oleh para pemikir yang bersangkutan. Padahal kesadaran para pemikir itu (diakui atau tidak), pada dasarnya sangat ditentukan oleh kepentingannya. Dengan demikian ideologi menurut Karl Marx pada dasarnya adalah pengandaian-pengandaian spekulatif. Pengandaian-pengandaian spekulatif itu bisa berupa: agama, moralitas, atau keyakinan politik. Dengan kata lain ideologi adalah kesadaran palsu yang digunakan sebagai dasar pembenaran atas hak-hak istimewa kelas tertentu (Bambang Suteng, 2006: 4-5). Ideologi dalam pandangan positif adalah menunjuk kepada keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai, dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang konkret. Ideologi dianggap mampu mambangkitkan kesadaran

akan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia beserta isinya dan menambahkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan dan selanjutnya mewujudkannya dalam sistem dan penyelenggaraan negara (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 45). Padangan ini dianut oleh De Tracy. Dalam bukunya yang berjudul Element de L Ideologie menyebutkan bahwa ideolgi adalah ilmu pengetahuan baru yang mempelajari berbagai gagasan (idea) manusia serta kadar kebenarannya (Soejadi, 1999: 139). Disamping pengertian ideologi seperti tersebut diatas, Reberu, mengetengahkan adanya lima unsur utama ideologi yaitu: (1) ada pandangan komprehensif tentang manusia dan dunia serta alam semesta dimana manusia itu hidup, (2) adanya rencana penataan kehidupan sosial atau kehidupan politik, (3) adanya kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi rencana itu membawa perjungan dan pengamalan yang menuntut perombakan dan perubahan, (4) adanya usaha mengeneralisasikan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham dan rencana kerja yang diturunkan dari perangkat paham tersebut, dan (5) ada usaha menjangkau lapisan lapisan masyarakat seluas mungkin secara yakin serta menuntut loyalitas dan keterlibatan dari penganutnya (Sastrapratedja, 1986: 45). 2. Fungsi Ideologi Pada hakekatnya ideologi adalah tidak lain hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya (Soerjanto Poespowardojo, 1986: 247). Antara keduannya, yaitu ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik yang terwujud dalam interaksi yang mana disatu pihak mamacu ideologi makin realistis dan di pihak lain mandorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat namun juga membentuk masyakat menuju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukanlah sekedar pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk

mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang akan berarti semakin tinggi pula rasa komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang menyakini ideologisnya sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang karena ditaati dalam hidup bermasyarakat. Soerjanto Poespowardoyo (1996: 48) mengemukakan bahwa ideologi mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (1) struktur kognitif, adalah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya; (2) orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia; (3) norma-norma yang menjadi pedoman dan pengangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak; (4) bekal dan jalan seseorang untuk menemukan identitasnya; (5) kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan, dan (6) pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta melakukan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan normanorma yang terkandung di dalamnya (Soerjanto Poespowardoyo, 1991: 49). Senada dengan Soerjanto Poespowardoyo, Sastropratedjo (1991: 143), mengemukakan ideologi memiliki beberapa fungsi antara lain: (1) dapat memberikan dorongan pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan orientasi pemanfaatannya; (2) membentuk identitas kelompok atau bangsa; (3) mempersatukan bangsa atau mempersatukan orang dari berbagai agama sehingga dapat untuk mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial. 3. Pancasila Sebagai Ideologi Negara Muzajin (1990: 16-17) mengatakan bahwa bangsa dan negara manapun sudah pasti memiliki dan menetapkan ideologi sesuai dengan cita-cita dan kepribadiannya guna dijadikan landasan ideologi perjuangannya. Muzajin menunjukkan contoh diberbagai negara, misalnya: di Jepang, sebelum perang Dunia Ke II berdasarkan pada fasisme yang bersumber pada shintoisme, Jerman juga sebelum Perang Dunia Ke II mendasarkan pada Nazisme, di Amerika Serikat

berdasarkan pada Liberalisme dan Kapitalisme dan bangsa Indonesia berdasar kepada Pancasila yang menitikberatkan pada kodrat manusia yang dijiwai oleh semangat keimanan kepada Tuhan, Perikemanusiaan, Persatuan Kerakyatan dan Keadilan Sosial yang bercita-cita menghapuskan segala bentuk penjajahan di muka bumi itu. Kunto Wibisono Siswomiharjo (1996: 9) mengemukakan bahwa kekuatan ideologi tergantung pada kualitas 3 dimensi yang ada pada ideologi tersebut, yakni: (1) Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi termasuk mencerminkan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ideologi harus memberikan citra bahwa dirinya adalah kenyataan masyarakat ide sendiri; (2) dimensi idealitas, dalam arti bahwa kadar idealisme yang terkandung dalam dirinya mampu membutuhkan motivasi, gairah, kepada subjek pendukungnya sehingga apa yang terkandung dalam dirinya bukan sekadar utopi, tanpa makna melainkan pada suatu saat benar-benar akan diwujudkan dalam kenyataan hidup; (3) dimensi Flexibelitas, dalam arti tetap relevan dan tetap fungsional sebagai deseingrund dan leitsmotif dalam kenyataan hidup. Ideologi negara dalam arti cita-cita negara memiliki ciri-ciri yaitu: (1) mempunyai derajad yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan, da, (2) mewujudkan satu asas kerokhanian pandangan dunia, dikembangkan hidup yang harus dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi penerus bangsa (Elly M. Setiadi, 2003: 168). Sebagai ideologi negara, Pancasila setidaknya memiliki empat fungsi pokok dalam kehidupan, yaitu: (1) mempersatukan bangsa; (2) membimbing dan mengarahkan, bangsa menuju tujuannya; (3) memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas bangsa dan memberikan dorongan bagi nation and character building; dan (4) menyoroti secara mendalam melainkan kenyataan yang ada dan mengkritisi upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila (Bambang Suteng, 2007: 14). Pancasila sebagai ideologi negara tidak lahir secara mendadak melainkan, tumbuh dan berkembang dalam dalam pandangan hidup masyarakat dan bangsa

Indonesia. Secara yuridis formal, pancasila sebagai ideologi negara tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan rumusan..... Ketuhanan Yang Maha Esa....yang memiliki makna dasar filsafat negara sekaligus asas kerohanian negara. Berdasarkan catatan sejarah, upaya perumusan pancasila terkait dengan upaya bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, yaitu diawali dari sidang BPUPKI. Adapun gambaran mengenai proses perumusan tersebut, secara ringkas disajikan dalam uraian dibawah ini. Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 28 Mei 1945 secara sah terbentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyunbi Tjosakai. Badan ini terdiri dari 62 orang anggota. Ketuanya adalah seorang bekas ketua Budi Utomo yaitu Dr. Radjiman Widyodiningrat. Ia didampingi oleh dua wakil ketua, masing-masing seorang berkebangsaan Jepang dan seorang kebangsaan Indonesia. Tugas BPIPKI adalah memprtimbangkan masalah-masalah pokok dn kemudian merumuskan rncana-rencana pokok bagi bangsa Indonesia Merdeka. BPUPKI mengadakan dua kali sidang, yang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945, dan yang kedua pada tanggal 10 sampai 17 Juli tahun 1945. Dalam sidany yang pertama (29 Mei sampai 1 Juni 1945) ketua Dr. Radjiman Widyodiningrat meminta kepada anggota BPUPKI untuk mengemukakan pandangan tentang apa yang akan dijadikan dasar Indonesia Merdeka yaitu pandangan tentang dasar falsafah negara. Dasar falsafah negara itu diangap penting karena negara hanya akan berfungsi dengan baik bil;a terdapat gambaran yang jelas tentang hakekat, dasar, dan tujuannya. Karena itun para pendiri negara harus mempunyai gambaran dasar yang jelas tentang negara. Gambaran dasar itu akan menjadi landasan dan pedoman bagi pemerintah dan rakyat dalam berpartisipasi membangun negara. Sebagai tanggapan atas permintaan ketua BPUPKI, para anggota BPUPKI

mengemukakan pendapatnya mengania dasar Indonesia Merdeka. Beberapa tokoh yang berbneda untuk mengusulkan konsep dasar negara antara lain adalah Mr. Moh Yamin, Prof. Dr Mr. Soepomo, dan Ir Soekarno. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Moh Yamin berpidato dengan judul Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Dalam pidato iti ia mengsulkan lima asas yang akan dijadikan dasar negara, yaitu: (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Peri KeTuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan Rakyat. Selain itu Moh Yamin juga mengusulkan konsep dasar negara dalam bentuk tertulis. Konsep ini hampir sama dengan rumusan pancasila yang ada didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan Perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof Dr. Mr Soepomo menyampaikan pidato yangb berisi penjelasan masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara yaitu: 1. Paham negara persatuan 2. Perhubungan negara dan agama 3. Sistem badan permusyawaratan 4. Sosialisme negara 5. Hubungan antar bangsa Prof. Dr. Mr Soepomo tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kelima hal tersebut diusulkan sebagai dasar negara. Ia mengajukan keterangan itu sebagai bahan masukan dalam perumusan dasar negara Indonesia Merdeka. Pada tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir masa sidang pertama BPUPKI Ir Soekarno menyampaikan Pidato tentang dasar negara. Pidato ini kemudian amat

terkenal dengan sebutan pidato lahirnya pancasila. Dalam pidato ini Ir Soekarno menawarkan agar Indonesia merdeka bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan pancasila. Rumusan pancasila yang diusulkan Ir. Soekarno dengan ururan sebagai berikut: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau Demikrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam masa sidang tersebut para anggota belum mencapai kesepakatan mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Sidang berikutnya ditunda sampai bulan Juli. Ambil menunggu masa sidang berikutnya 9 orang anggota BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs Moh Hatta, Mr. A. A Maramis, Abikoesno Tjokrosoeyoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr. Ahmad Soebarjo, K.H.A Wahid Hasyim, dan Mr. Moh Yamin. Panitia kecil ini dengan diketuai Ir. Soekarno bekerja dengan keras merumuskan rancangan pembukaan undang-undang dasar (pembukaan hukum dasar) yang nantinya harus mengadung asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Akhirnya tugas itu terselesaikan pada tanggal 22 Juni 1945 dn hasil rumusannya disebut dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Di dalam alinea keempat piagam Jakarta tersebut terdapat rumusan lima asas falsafah negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Piagam Jakarta tersebut diatas dengan beberapa perubahan, terutama

mengenai rumusan pancasila kemudian dijadikan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sidang kedua membahas ranangan Undang-Undang Dasar beserta pembukaannya. Panitia perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno m,enyetujui bahwa Undang-Undang Dasar diambil dari piagam Jakarta. Untuk merumuskan Undang-Undang Dasar, panitia perancang membentuk lagi keil yang diketai oleh Prof. Dr. Hussein. Pada tangal 14 Juli 1945 Ir. Oekarno melaporkan hasil kerja sama Panitia Perancang Undang-Undang Dasar kepada sidang sebaga berikut. 1. Pernyataan Indonesia mendeka 2. Pembukaan Undang-Undang Dasar 3. Undang-Undang Dasar (batang tubuh) Akhirnya sidang BPUPKI menerima hasil kerja panitia itu. Setelah berhasil menyelesaikan tugas tugasya, BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945. Sebagai gantinya, dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tanggal 7 Agustus 1945, Ir Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman dipanggil oleh Panglima Tertinggi Mandala Selatan Jepang yang membawahi seluruh Asia Tenggara, yakni Marsekal Darat Hisaici, ke Markas besarnya di Dalat (Vietnam Selatan). Marsekal Terauci menyampaikan kepada ketiga pemimpin itu bahwa pemerintahan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sesuai dengan Dokuritsu Junbi Cosakai, para anggota PPKI, kecuali yang berkewarganaan Jepang, bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Yang ditujuk sebagai ketuanya adalah Ir. Sokrno dan Drs. Hoh. Hatta sebagai wakilnya. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu pada tangal 15 Agustus1945 telah diketahui oleh sebagian pemimpin Indonesia, terutama para pemimpin muda. Golongan pemuda menghendaki agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan pemerintah Jepang sementara Soekarno-Hatta ingin berbicara lebih dulu dengan oihak Jepang lalu

merapatkannya dalam PPKI. Golongan pemuda tetap memaksakan kehendaknya dan rencana itu dilaksanakan oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singih. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok, sebuah kota kedewanan disebelah utara Karawang yang telah diambil alih dai kekuasaan Jepang dan merupakan tempat kedudukan sebuah kompi tentara Peta di bawah Syudanco Subeno. Berdasarkan perundingan dan tercapainya kata sepakat antara Mr. Ahmad Subarjo dari golongan tua dan Syudanco dari goongan pemuda, Mr. Ahmad Subarjo menjamin bahwa proklamasi akan dirumuskan keesok harinya. Setelah tiba di Jakarta dari rengasdengklok, Soekarno dan Hatta langsun dibauwa kerumag Laksamana Muda Maeda seorang perwakilan angkatan laut Jepang di Jakarta tempat Ahmad Subarjo sebagai stafnya. Di rumah Maeda, Mr. Subarjo memohon agar para tokoh pergerakan diperbolehkan berkumpul dirumahnya untuk membicarakan persiapan priklamasi Persiapan Kemerdekaan keesok harinya. Laksamana Maeda memberi izin dan menjamin keselamatan mereka di rumahnya yang belokasi di Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pada malam itu, Soekarno Hatta menemui kepala pemerintahan umum, Mayor jenderal Nisyimura untuk menjajaki sikapnya. Ternyata Nisyimura takut disalah kan oleh sekutu. Dengan demikian proklamasi kemerdekaan harus dilakukan terlepas dari campur tangan Jepang. Malam itu juga musyawarah dilaksanakan. Pembicaraan tentang perumusan teks Proklamasi baru dimulai pada pukul 23.00 dihadiri oleh para tokoh: Ir. Soekarno, Drs. Moh Matta, Mr. Ahmad Soebarjo, para anggota PPKI, dan para tokoh pemuda, antara lain Sukarni, Sayuti Melik, B.M Diah, dan Mbah Sudiro. Ir. Soekarno yang dengan pena dan secarik kertas ditangan merumuskan teks proklamasi bersama Drs. Moh Hatta dan Mr. Moh Ahmad Soebarjo menyampaikan kalimat pertama yang berbunyi, Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian Moh Hatta menyempurnakan dengan kalimat kedua: hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, deselenggrakn dengan cara saksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Teks priklamasi yang telah disusun lelu dibawa keruang depan untuk

dimusyawarahkan. Saat itu timbul persolan tentang siapa yang mendatangani teks proklamasi tersebut. Chaerul Saleh menyatakan tidak setuju jika teks itu ditandatangani oleh anggota-anggota PKI sebab badan itu dibentuk oleh Jepang. Sukarni kemudian mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Seluruh hadirin pun setuju. Setela itu konsep teks proklamasi di serahkan kepada sayuti melik untuk diketik. Dalam pengetikan, Sayuti Melik untuk diketik. Dalam pengetikan, Sayuti mengadakan perubahan sedikit, yaitu kata tempoh dan wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi Atas nama bangsa Indonesia. Penulisan tanggal juga diubah menjadi Djakarta, ari 17 boelan 8 tahoen 05. Tahun 05 adalah tahun Showa (Jepang), yaitu 2605 yang ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Naskah inilah yang dianggap sebagai naskah autentik. Perumusan teks Proklamasi hingga penandatanganannya baru selesai pukul 04.00 tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu juga telah diputuskan bahwa proklamasi akan dibacakan di halaman rumah Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta pada pukul 10.00 WIB. Walaupun isinya sangat singkat, teks priklamasi tersebut mengandung makna yang sangat dalam karena merupakan pernyataan bangsa Indonesia yang sebelumnya terjajah m,enjadi bangsa yang merdeka. Tokoh yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan adalah Ibu Fatmawati karena beliaulah yang membuat Bendera Merah Putih yang dikibarkan pada upacara Proklamasi 17 Agustus 1945. Ketika Proklamasi dikumandangkan, bangsa Indonesia telah menyatakan dirinya merdeka dan berdaulat. Bangsa Indonesia memiliki perubahan bangsa yaitu negara, maka bangsa Indinesia mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Agar kelangsungan hidup berjalan dengan teratur diperlukan undang-undang dasar. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang yang pertama. Dalam persidangan tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting yaitu :

a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh Dokuritsu Junbi Cosakai yang sekarang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945. b. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh Hatta sebagai Wakilnya. c. Dalam masa peralihan, Presiden untuk sementara waktu akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Rancangan Undang-Undang Dasar itu sendiri merupakan hasil karya BPUPKI. Dalam sidangnya pertama pada tanggal 29 Mei dengan tanggal 1 Juni 1945, badan ini membahas asas-asas dasar Negara Indonesia Merdeka dan sebagai hasil dari pertemuan-pertemuan itu lahirlah Pancasila. Dalam sidangnya yang kedua pada tanggal 10 Juli sampai 16 Juli 1945, badan tersebut menghasilkan rancangan UndangUndang Dasar. Setelah mengalami beberapa perubahan oleh PPKI, rancangan inilah yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang Dasar 1945. rumusan terakhir Pancasila yang benar dan berlaku sekarang tercantum dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. 4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Terkait dengan soal penafsiran ideologi, penting diketahui adanydua macam watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi tetutup, adalah ideologi yang bersifat mutla. Ideologi macam ini memiliki ciri: a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam mayarakat, melainkan cita-cita sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat; b. Apabila kelompok terebut berhasil mengusai negara, ideologinya itu akan dipaksakan kepada masyarakat. Nilai-nilai, nomra-norma, dan berbagai segi kehidupan masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi

tersebut; c. Bersifat totaliter, artinya mencakup/mengurusi semua bidang kehidupan. Karena itu, ideologi tertutup ini cenderung cepat-cepat berusaha menguasai bidang informasi dan pendidikan; sebab, kedua bidang tersebut merupakan saranan efektif untuk mempengauhi perilaku masyarakat; d. Pluralisme pandanga dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak dihormati; e. Menuntut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total dan kesediaan untuk berkorban ideologi tersebut; f. Isi ideologi tidak hanya nilai-nilai dan cita-cita, tetapi tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, mutlak dan total. Sedangkan ideologi terbuka, adalah ideologi yang tidak dimutlakkan. Ketidakmutlakan ini bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila tetapi mengeksplisifkan wawasanya secara lebih konkret, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru. Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang bersifat mendasar dan tidak langsung bersifat operasional. Oleh karena itu setiap kali harus dieksplisifkan. Eksplitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional, sehingga tertangkap makna operasionalnya. Dengan demikian jelasla bahwa penjabaran ideologi dilaksanakan melalui interpretasi dan reintepretasi yang kritis. Disinal dapat ditunjukkan kekuatan ideologi terbuka. Ideologi terbuka memiliki sifat yang dimanis dan tidak akan membeku. Ideologi terbuka memiliki beberapa ciri sebagai berikut: (1) merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat. Jadi bukan keyakinan ideologis kelompok melainkan kesepakatan masyarakat, (2) tidak diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri. Ia adalah milik

seluruh rakyat dan bisa digali serta ditemukan dalam kehidupan mereka, (3) isinya tidak langsung operasioanal sehingga setiap generasi baru dapat dan perlu menggali kembali falsafah tersebut dan mencari inplikasinya dalam situasi kekinian mereka, (4) tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan menginspirasi masyakat untuk berusaha hidup bertanggung jawab sesuai dengan falafah itu, dan (5) menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima oleh warga masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Bertolak dari ciri-ciri sebagaimana dipaparkan diatas, bisa dikatakan bahwa pancasila memenuhi semua persyaratan sebagai ideologi terbuka. Hal itu akan makin jelas dari penjelasan seperti berikut: Pertama, Pancasila adalah pandangan hidup yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia. Pancasila bukan impor dari luar negeri bukan pula suatu ideologi yang dipikirkan oleh satu dua orang tokoh, melainkan milik masyarakat Indonesia sendiri sebagai kesadaran dan cita-cita moralnya. Pancasila bukan ideologi milik kelompok tertentu, tetapi milik seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, isi pancasila tidak langsung operasional. Sebagaimana kita ketahui, pancasila berisi lima nilai dasar. Kelima nilai dasar itu berfungsi sebagai acuan penyelenggaraan negara. Dalam pancasila tidak tersedia rumusan yang berisi tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang harus dilaksanakan. Karena hanya berisi nilai-nilai dasar, penerapan Pancasila memerlukan penafsiran. Penafsiran dilakukan untuk mencari implikasi kelima nilai dasar itu bagi situasi nyata. Setiap generasi bangsa Indonesia dapat dan bahkan perlu melakukan penafsiran terhadap pancasila sesuai tantangan kekinian mereka masing-masing. Dengan demikian, pancasila menjadi ideologi yang senantiasa relevan dan aktual. Ketiga, Pancasila bukan ideologi yang memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat sebaliknya, pancasila justru menghargai kebebasan dan tanggung jawab masyarakat. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya, mengakui kebebasab dan kesamaderajatan manusia (hak asasi manusia); bahkan tidak hanya meliputi manusia Indonesia, melainkan juga semua umat manusia diakui sebagai mahkluk yang memiliki kebabasab dan kesamaderajatan. Keempat, Pancasila juga bukan ideologi

totaliter. Oleh para pendiri negara ini, Pancasila tidak dimaksudkan sebagai ideologi totaliter, yang mengurusi segala segi kehidupan masyarakat. Melainkan, Pancasila adalah ideologi ideologi politik, sebuah pedoman hidup dalam masyarakat, bangsa, dan bernegara. Pedoman tersebut menjawab lima masalah pokok tentang negara, Yaitu: (i) bagaimana kedudukan agama atau kepercayaan kepada Tuhan dalam kehidupan negara; (ii) bagaimana kedudukan manusia dalam negara; (iii) untuk siapa negara didirikan; (iv) siapakah yang berdaulat atas negara dan bagaimana keputusan dalam urusan mengenai negara diambil; dan (v) apa tujuan negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan ideologi yang terbatas. Karena itu, Pancasila tidak boleh diubah menjadi ideologi totaliter. Kelima, Pancasila menghargai pluralitas, hal ini bisa kita lihat misalnya dalam sejarah perumusan Pancasila. Rumusan definitif Pancasila dicapai justru karena didorong oleh semangat untuk tetap mengahargai pluralitas. Pluralitas menjadi kata subatansi ideologi Pancasila. 5. Pancasila sebagai Sumber Nilai dan Paradigma Pembangunan Pancasila adalah merupakan sumber nilai, ini berarti pancasila adalah merupakan acuan utama bagi pembentukan hukum nasional, kegiatan penyelenggaraan negara, partisipasi warga negara, dan pergaulan antar warga negara, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjiwai seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara (Bambang Suteng, 2007: 16-17). Sebagai sumber nilai, karena pancasila mengandung nilai dasar atau nilai yang bersifat fundamental. Moerdiono (naskah ceramah, 1995: 14), menjelaskan bahwa dalam memahami pancasila harus dibedakan antara nilai-nilai dasarnya yang sudah baku dengan nilai-nilai instrumental dan nilai praksisnya yang berkembang secara dinamis. Hal ini sejalan apa yang dikemukakan oleh Notonagoro (1980: 19) yang mengatakan bahwa Pancasila dasar filsafat negara atau dasar kerohanian negara mempunyai arti yang sangat penting karena berkaitan dengan rumusan sila-silanya, tata urutan serta sumber atau tempat didapatinya rumusan-rumusan itu. Demikian

pula dikemukakan oleh Drijarkara (Kodhi dan Soejadi, 1988: 28 ) bahwa bagi bangsa Indonesia Pancasila adalah sein im sollen yaitu sebagai kenyataan yang merupakan budaya bangsa sekaligus cita-cita dan harapan. Wajarlah apabila kedudukan yang demikian itu melahirkan banyak atribut yang dilekatkan pada pancasila antara lain sebagai pandangan hidup bangsa atau jiwa bangsa, sebagai dasar negara atau dasar kerohanian negara, sebagai landasan ideal pembangunan, sebagai cita hukum dan sebagai pokok kaidah negara. Nilai-nilai dasar yang dimaksudkan diatas meliputi keTuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut juga tercermin dalam norma dasar yaitu pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai nilai dasar, nilai tersebut bersifat abstrak dan umum, relatif tidak berubah, namun maknanya selalu bida disesuaikan dengan perkembangan jaman. Hal ini bisa terjadi karena nilai dasar tersebut dapat terus menerus digali dan ditafsirkan mengikuti perkembangan jaman. Melalui proses penafsiran akan didapat nilai-nilai baru yang lebih operasional sesuai dengan tantangan kekinian. Nilai tersebut bisa berupa nilai instrumental maupun nilai praksis. Nilai instrumental adalah merupakan penjabaran dari nilai dasar. Nilai ini berlaku untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu yang sifatnya kontektual menyesuaikan dengan perubahan jaman. Nilai ini tampil dalam bentuk kebijakan, strategi maupun program-program pembangunan sebagai penjabaran lebih lanjut dari nilai dasarnya. Nilai praksis adalah merupakan penjabaran dari nilai instrumental dalam situasi konkret pada tempat tertentu dan situasi tertentu yang sifatnya amat dinamis. Dengan kata lain nilai praksis itu terkandung dalam kenyataan sehari-hari yaitu cara bagaimana kita menerapkan pancasila dalam kehidupan nyata sehari-hari. Berkaitan dengan pancasila sebagai paradigma pembangunan, mengandung makna bahwa pancasila merupakan landasan, metode, nilai, dan

sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan (Elly M Setiadi, 2003: 173). Bambang Suteng (2007: 22) mengemukakan bahwa sebagai paradigma pembangunan pancasila berisi angapan-angapan dasar yang meruoakan kerangka keyakinan. Kerangka keyakinan ini berfungsi sebagai acuan, kiblat, dan pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan pengawasan, dan evaluasi hasil-hasil pembangunan. Posisi pancasila sebagai paradigma pembangunan membawa konsekuensi tertentu yakni keberhasilan pembangunan di Indonesia harus diukur dari kesesuaiannya dengan pancasila. Ini berarti bahwa pembangunan di Indonesia tidak boleh bersifat pragmatis dalam arti hanya mementingkan tindakan nyata dan menafikkan pertimbangan etis. Pembangunan juga tidak boleh bersifat ideologis semata dalam arti secara mutlak hanya melayani ideologi tertentu dan menafikkan manusia. Melainkan pembangunan ditujukan untuk melayani manusia dengan segala aspirasi dan harapan-harapannya. 6. Sikap Positif terhadap Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Pancasila bukan sekedar untuk dipahami dengan penalaran yang jernih semata tetapi juga untuk dihayati dalam batin serta diamalkan secara konsisten dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi hal ini bukan sekedar masalah teoritika murni tetapi mempunyai inplikasi yuridis konstitusional, filsafat, ideologi, serta politik (Moerdiono, 1991: 399). Ada beberapa faktor yang mendorong pemikiran mengenai pancasila sebagai ideologi terbuka yang antara lain sebagai berikut: Pertama, kenyataan bahwa dalam proses pembangunan yang demikian cepat sebagi akibat perkembangan IPTEK, jawabannya tidak selalu bisa ditemukan dalam pemikiran-pemikiran ideologi sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan kejelasan sikap secara ideologis yang mampu mengantisipasi adanya perubahan tersebut. Kedua, adanya kenyataan bangkrutnya ideologi tertutup seperti Marxisme-Leninisme/Komunisme. Ketiga, pengalaman sejarah politik kita sendiri yang mana pancasila pernah dijadikan semacam dogma yang kaku. Dalam suasana kekakuan tersebut, pancasila tidak lagi tampil sebagai

ideologi yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang lawan-lawan politik sehingga menjadikan pemerintah bersifat absolout. Keterbukaan ideologi pancasila bukan saja merupakan suatu penegasan kembali dari pola pikir yang dinamis dari pendiri negara kita, tetapi juga merupakan kebutuhan konseptual dalam dunia modern yang berubah demikian cepat. Oleh karena itu disatu pihak, kita diharuskan mempertajam kesadaran akan nilai-nilai dasar yang bersifat abadi, di lain pihak kita didorong untuk mengembangkannya pancasila secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan jaman yang berubah secara cepat tersebut. Dengan mencermati hal tersebut diatas menuntut sikap dan tanggapan positif dari semua warga masyarakat. Sikap positif itu terutama adalah kesediaan segenap warga masyarakat untuk aktif serta kreatif mengungkapkan pemahamannya mengenai pancasila melalui dalam berbagai macam cara, misalnya dialog publik, seminar, serta forum ilmiah lainnya. Selain itu adanya kesediaan dan segenap warga masyarakat untuk menjadikan nilai pancasila makin tampak nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

BAB III EVALUASI DAN REFLEKSI D. Evaluasi Petunjuk : Kerjakan soal di bawah ini ! 1. Samakah konstitusi dengan Undang-Undang Dasar ? Berikan argumentasi secukupnya ! 2. Jika dikaitkan pendapat dari Karl Loewenstein, UUD 1945 mengandung nilai yang mana ? Berikan argumentasi secukupnya ! 3. Jika dilihat dari sifatnya, UUD 1945 bersifat fleksibel ataukah rigid ? Berikan penjelasan secukupnya ! 4. Sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah mengalami beberapa kali mengalami perubahan. Deskripsikan secara singkat mekanisme perubahan tersebut ! 5. Uraikan secara singkat dampak positif dan negatif dari globalisasi bagi kehidupan bangsa dan negara di Indonesia ! 6. Uraikan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak negatif sebagai akibat globalisasi bagi kehidupan bangsa dan negara di Indonesia ! 7. Menurut pendapat saudara apakah selama era reformasi pancasila sudah sungguh-sungguh dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan bernegara ! 8. Apakah Pancasila sudah sungguh-sungguh dijadikan sebagai paradigma pembangunan ! E. Refleksi 1. Pada hakekatnya, perubahan/amandemen UUD 1945 adalah sebuah tuntutan

masyarakat yang menginginkan adanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dengan amandemen tersebut, diharapkan terselenggaranya negara hukum yang demokratis, terhindar dari sistem pemerintahan absolut, terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa, terciptanya pengawasan pemerintahan yang efektif, terjaminnya perlindungan HAM, meningkatnya partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan serta terwujudnya masyarakat madani yang tertib, damai, harmonis dan sejahtera. Namun demikian, perubahan / amandemen tersebut tidakakan ada artinya jika tidak dibarengi adanya sikap positif dan dukungan dari seluruh warga negara mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, masyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Globalisasi memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia di semua aspek kehidupan, baik kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, HAM maupun pertahanan dan keamanan. Dampak tersebut dapat berifat positif maupun negatif. 3. Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari globalisasi diperlukan sikap dan perilaku yang positif setiap warga negara, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu juga diperlukan kualitas sumber daya manusia yang memadai, baik dari segi mental spiritual maupun dari segi intelektual. 4. Para pendiri bangsa kita sebenarnya sudah meletakkan visi yang jelas tentang pancasila, tetapi selama ini pancasila telah dimanipulasi untuk keuntungan penguasa. Pancasila hanya dijadikan lips service, hanya dipandang sebagai ritual politik tanpa ada sangkut pautnya dengan kenyataan sejarah. Oleh karena itu pancasila harus dikembalikan ke visi semula serta dikembangkannya secara dinamis dan kreatif sesuai dengan perubahan jaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Penerjemah : Sylvia Tiwon. Jakarta : Graffiti. A.K Pringgodogdo, 1956, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang Dasar dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pembangunan. Alfian,1991, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik, Jakarta: BP7 Pusat. Bagir Manan, Kuntana Magnar, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju. ---------------------------------------, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni. Bambang Suteng, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XII, Jakarta: Erlangga. Budi Winarno, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Med Press. ------------------ 2004. Globalisasi Wujud ImperialismeBaru Peran Negara dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tajidu Press Dahlan Thaib, 2004, Jazin Hamidi, Nimatul Huda, Jakarta: Teori dan Hukum Konstitusi, Radja Grafindo Persada. -------------------, 2004. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakarta: Kreasi Total Media. Elly M. Setiadi, 2003, Pendidikan pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Jakarta: Rimdi Press. Harun Alrasid, Suara Pembaharuan, 24 Juni 1999. I Gede Pantja Astawa, 2000, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Bandung: Pascasarjana Universitas Padjajaran, Ismail Suny, 1981, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru. --------------, Kompas, 25 September 1999. Koerniatmanta Soetoprawiro, (1987), Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No 2 tahun V, Mei 1987. Kunto Wibisono Siswomiharjo, 1996, Pancasila suatu telaah ideologi dalam perspektif 25 tahun mendatang, Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM. Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2004, Buku I Naskah Akademik Kajian Komperhensif Komisi Konstitusi Tentang perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta. Martin Khor. 2002. Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan. Yogyakarta : Cilalaras Pustaka Rakyat Cerdas. Miriam Budiardjo, 1984, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan. ----------------------, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia. Michael J. Perry, 1998, What is the Constitution (and Other Fundamental Quenstion) dalam Larry Alexander (ed), Constitutionalism, United Kingdom : Cambridge University Press. Moerdiono, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Jakarta: BP7 Pusat. Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia ,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti. Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta, LP3ES. Mohtar Probotinggi, (1998). Strategi dan Upaya Penyusunan Agenda Politik dalam Reformasi. Makalah disampaikan dalam seminar di P4K UGM. Yogyakarta : 29-30 Juni 1998. Mochtar Kusumatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembanguan Nasional, Bandung: Bina Cipta. MPR RI, 2007, Panduan Pemusyaratan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Jakarta: Sekretarian Jendral MPR RI. Notonagoro, 1980, Pancasila secara ilmiah popule, Jakarta: CV Pancuran Tujuh. Robert Gilpin, 1987.The Political Economic of International Relation. New Jersey : Princeton University Press. Roland Robert.1992. Globalisasi, Social Theory and Global Culture. (ed) Khudzaifah Dimyah, Kelik Wardiono. 2000. Problema Globalisasi. Surakarta : UMS Perss Sastrapratedja. M. J. Riberu dan Frans M.Parera, 1986, Menguak Mitos-mitos pembangunan talaah etis dan kritis, Jakarta: PT Gramedia. Sastrapratedja, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Budaya, Jakarta: BP7 Pusat. Shepherd L. Witman dan John J Wuest, 1963, Visual Outline of Comparative Government, New Jersey: Littlefield, Adams & Co, Peterson. Soejadi, 1999, Pancasila Sebagi sumber tertib hukum Indonesia, Yogyakarta: Lukman Offset. Soerjanto Poespowardojo, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi ditinjau dari segi pandangan hidup bersama, Jakarta: BP7 Pusat. Sri Soemantri, 1984, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni. ----------------, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.

----------------, 21 Februari 1987, Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR sebagai produk MPR, Pidato Guru Besar, Bandung: FH Universitas Padjajaran. Strong, C.F, 1966, Modern Political Constitutions, London: Sidg Wiek & Jackson Limited. Taufiqurahman, Prosedur Perubahan Konstitusi (perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perbandingannya dengan konstitusi negara lain), Desertasi, Jakarta: FH UI, 2003. Wade E.C.S, & G. Godfray Philips, 1987, Constitutional Law, London: Logmen, Green and Co. Wheare, K.C, 1952, Modern Constitutions, London: Geoffrey Cumberlege Oxford University Press. ----------------, 2003, Konstitusi-Konstitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka.

You might also like