You are on page 1of 9

Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, sedikitnya ada delapan pasal dalam draf terbaru RUU Kamnas yang

patut dicurigai karena bisa merusak tatanan Orde Reformasi Indonesia.

Pertama, pasal 14 ayat 1 yang menyatakan status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. "Padahal aslinya darurat militer hanya kalau ada pemberontakan senjata atau ada serangan milier dari luar. Untuk urusan sosial, misalnya seperti kerusuhan 1998, tak perlu darurat miiter, cukup darurat sipil. Kalau darurat sipil, seharusnya TNI tak perlu masuk," paparnya.

Kedua, Pasal 17 ayat 4, yang menyebutkan ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. "Ini bahaya. Karena artinya nanti Presiden boleh buat skenario apa saja yang jadi ancaman. Jadi kalau ada mogok, misalnya, bisa dikeluarkan Perpres untuk mengerahkan pasukan," terangnya.

Purnawirawan TNI Bintang Dua ini juga menilai pasal 22 ayat 1, yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif intelijen negara. "Mestinya dibuat jelas mana intelijen yang boleh dan yang tidak," kata Hasanuddin.

Kemudian, lanjut Hasanuddin, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi Panglima TNI dapat menetapkan kebijakan operasi dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi kebijakan penyelenggara Kamnas.

"Itu tak boleh. Mestinya Panglima TNI menyelenggarakan operasi militer menurut fungsi TNI saja. Tak harus ikuti kebijakan Dewan Kamnas. Kalau pasal seperti ini, nantinya dia (Panglima TNI) bisa digunakan melakukan apa saja, termasuk hal yang keluar dari tugas militer sesuai UU," jelasnya.

Menurut Hasanuddin, ada yang unik, dalam ayat selanjutnya dari pasal tersebut, yakni polisi ditugaskan sesuai fungsi Kepolisian yang diatur UU. "Jadi TNI dibuat leluasa, Polisi dikunci. Ini artinya TNI ada keleluasaan, sementara Polri berjalan di koridornya," sambungnya.

Sementara dalam, Pasal 30, disebutkan presiden dapat menggunakan usur TNI dalam menanggulangi ancaman bersenjata dalam kondisi tertib sipil. "Ini juga tak jelas. Dengan demikian, kalau ada kriminal bersenjata, penugasan TNI bisa dilaksanakan," kata Hassanudin.

Lalu pasal 32 ayat 2, dinyatakan pelibatan masyarakat dalam kamnas lewat komponen cadangan (Komcad) dan komponen pendukung. Ini baru, sebab RUU Komcad sendiri sedang digodok dan mendapat banyak penolakan.

Sedangkan, di pasal 48 ayat 1C, dinyatakan bahwa komando dan kendali tingkat operasional di wilayah provinsi, ditangani panglima atau komandan satuan terpadu. Dalam hal ini berarti Panglima Kodam. Dan ayat D, disebutkan penanganan di tingkat kabupaten dilaksanakan pejabat setingkat komandan batalion dan atau komandan distrik militer (Kodim).

"Nah kami kembalikan, apakah TNI mau digeser seperti peran jaman Orba dulu? Atau kita ikuti UU TNI. Kami kembalikan ke rakyat mau seperti apa," simpulnya.

PDI Perjuangan, ditegaskan Hasanuddin tetap menggunakan aturan-aturan yang ada saat ini. Pasalnya, sudah jelas menunjukkan bagaimana peran TNI dan peran Kepolisian. "Dan kalau mau jujur, untuk masalah sosial, peran TNI dan Polri ini sudah ada di UU Penanganan Konflik Sosial. Tak perlu Kamnas lagi," tutupnya.

mengkhawatirkan sejumlah pihak. Kekhawatiran munculnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali ikut serta dalam keamanan nasional semakin kuat. Bayangbayang era orde baru pun kembali muncul. Sejumlah anggota Komisi III DPR khawatir dengan kehadiran RUU yang diusulkan pemerintah ini.

Salah satu yang dikhawatirkan adalah berkurangnya kewenangan Polri dalam menjaga keamanan, dan diserahkannya sebagian kewenangan itu ke tentara. Kami ingin mengetahui sikap Polri terhadap RUU ini. Kami tak ingin ada organ yang terlalu kuat seperti era Orde Baru, ujar Anggota Komisi III dari Partai Keadilan Sejahtera Adang Daradjatun, di ruang rapat Komisi III, Rabu (1/2).

Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengucapkan terima kasih atas dukungan para anggota Komisi III. Ia menjelaskan RUU Kamnas ini dibahas di internal pemerintah melalui proses yang sangat panjang. Proses pembahasan RUU ini juga diikuti oleh para senior Polri seperti Awaluddin, Dai Bachtiar dan perwakilan dari Polri sendiri. Prosesnya panjang sekali, ujarnya.

Namun, karena RUU ini merupakan inisiatif dari pemerintah, dan Polri merupakan bagian dari pemerintah, Timur enggan mengkritik isi RUU Kamnas ini. Saya bagian dari pemerintah. Kami tak bisa bertentangan dengan sikap pemerintah. Bukan kami tak mau bahas, tapi RUU ini sudah dibahas berkali-kali (di internal pemerintah), ujarnya.

Ini sudah deadlock berkali-kali dan sekarang RUU ini sudah jadi. Silakan dibahas apakah RUU Kamnas ini bisa selesaikan masalah atau justru membuat masalah baru, ujarnya.

Anggota Komisi III dari Partai Golkar Nudirman Munir menilai Polri seakan tak mau berjuang habis-habisan untuk mempertahankan kewenangan yang dimilikinya. Saya lihat Polri kurang all out mempertahankan kewenangannya, ujarnya. Ini bukan hanya terlihat dalam pembahasan RUU Kamnas, melainkan juga dalam pembahasan UU Imigrasi beberapa waktu lalu.

Contohnya hilangnya kewenangan Polri dalam urusan imigrasi. Semua diserahkan ke penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Kami sudah berusaha memperjuangkan, tetapi Polri biasa-biasa saja, ujarnya.

Ahmad Yani, Anggota Komisi III dari PPP, secara tegas menolak RUU Kamnas ini. Ia menilai RUU ini tak diperlukan untuk saat ini dan tidak terlalu penting untuk dibahas. Pemerintah ini aneh. Kami minta agar RUU KUHP dan RUU KUHAP diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama tak juga diserahkan, tapi RUU seperti ini justru diserahkan untuk dibahas, jelasnya.

Yani juga tak terlalu peduli dengan sikap Kapolri yang terkesan adem-ayem saja. Ia keukeuh akan tetap menolak RUU ini agar kewenangan menjaga keamanan tetap berada di tangan polri. Walau polisi bersikap biasa saja, kami juga berkepentingan. Polri itu bukan punya Polri sendiri, tapi Polri itu punya rakyat Indonesia. Lagipula,

Anggota DPR juga bisa terancam dengan adanya RUU ini, jelasnya.

Anggota Komisi III dari PDIP Ahmad Basara melihat adanya rivalitas antara TNI dan Polri dalam RUU ini. Kita tak bisa pungkiri, ada rivalitas baju coklat (polisi) dan baju hijau (TNI) selama ini. Ada perasaan jealous (cemburu) dari TNI yang sudah tak terlalu aktif lagi seperti era Orde Baru. Ini jangan dibiarkan menjadi bara dalam sekam, ujarnya.

Bahkan, lanjutnya, maraknya kerusuhan belakangan ini ada yang mengkaitkan dengan RUU Kamnas ini. Basara menganalisis menggunakan hukum dialektika. Tesisnya, ada kesan bahwa Polri dianggap tak mampu menjaga keamanan dengan banyaknya kerusuhan yang ada. Lalu, dibangun antitesa, bahwa untuk urusan keamanan harus melibatkan kembali TNI seperti era yang lalu.

Sintesanya ya dengan munculnya RUU Kamnas ini, jelasnya.

Basara meminta agar Polri jangan hanya mengatakan sebagai bagian dari pemerintah, tetapi harus menggunakan logika hukum ketatanegaraan yang ada. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan bahwa kewenangan menjaga keamanan nasional adalah milik Polri. Sedangkan, TNI menjaga pertahanan. Kalau mau konsep ini diubah, ya ubah dulu UUD 1945, pungkasnya

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saiq Aqil Siroj yang didapuk sebagai pembicara dalam diskusi menyorot RUU Keamanan Nasional berharap semua pihak benar-benar mengawal isu ini.

Sehingga semangat reformasi, demokratisasi, HAM, serta kebebasan menyatakan pendapat tidak terganggu dan tetap sesuai dengan UUD 1945.

Ini sebagai ikhtiar menjaga keamanan nasional, di mana landasannya harus dengan undang-undang. Karena itu, ada empat prinsip yang wajib diperhatikan dalam pembahasan RUU Kamnas, yaitu supremasi sipil, demokrasi, penegakan HAM dan hukum, kata Saiq Aqil di Gedung DPR, Selasa (9/10/2012).

Saiq mengingatkan, RUU Kamnas juga harus dijauhkan dari politisasi maupun kepentingan asing. Jangan sampai RUU Kamnas mengandung bias sekaligus menyimpan bom waktu, sehingga dengan mudah dijadikan alat untuk memberangus lawan politik maupun melibas kegiatan masyarakat sipil.

Untuk itu, sebagai salah satu penyeimbangnya, diperlukan forum koordinasi keamanan nasional agar RUU Kamnas di kemudian hari tidak digunakan secara semena-mena oleh pihak tertentu. Terpenting lagi, RUU Kamnas harus merinci pengertian dan pembatasan yang jelas terkait bentuk-bentuk ancaman nasional.

Dulu, ada penghukuman dan tindakan kekerasan terhadap orang atau sekelompok orang tanpa melalui peradilan. Sekarang, hal ini tidak boleh lagi terjadi. Jauhkan tindakan represif terhadap rakyat dan kedepankan pendekatan kebebasan yang bertanggung jawab. Logika dan kepastian keamanan harus diganti dengan logika hukum dan kepastian demokrasi, tegasnya.

Lebih lanjut Said Aqil Siradj menambahkan, sejak dulu NU menginginkan terwujudnya negara Indonesia yang didasari ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) yang kokoh. Dengan adanya RUU Kamnas yang bisa disahkan dalam jangka waktu tidak terlalu lama, harapannya hal tersebut bisa terjadi.

Dalam pembahasan RUU Kamnas, NU sudah mempercayakan sikap politiknya kepada PKB. Apa pendapat PKB, itulah pendapat NU, tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Pertahanan Syafrie Sjamsoeddin menyatakan menyetujui catatan dari Ketua Umum PBNU, karena sudah selaras dengan isi RUU Kamnas. Syafrie menuturkan, sejak republik ini berdiri, Indonesia hanya memiliki satu undang-undang tentang keadaan bahaya negara. Sayangnya, materi undang-undang itu sangat otoriter dan sudah tidak relevan dengan era kini.

Ini kan sungguh ironis. Kami berpandangan, adanya RUU Kamnas diharapkan bisa merancang sistem keamanan negara yang lebih baik, bukan mengatur sesuatu secara teknis atau menakut-nakuti rakyat. Semangat dan pemahaman yang dibangun RUU Kamnas demi kepentingan bersama, bukan milik pemerintah semata.

Selain itu, RUU Kamnas sama sekali bukan untuk meningkatkan kekuatan tentara, kata Syafrie.

Terkait Dewan Keamanan Nasional, Syafrie Sjamsoeddin menegaskan, dewan ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Sehingga, dewan ini tidak bisa memutuskan atau menghakimi suatu kondisi secara langsung tanpa persetujuan Presiden.

Ada pihak yang mengesankan bahwa RUU Kamnas bakal membuat TNI come back, reduksi Polri maupun merusak kebebasan masyarakat sipil. Sama sekali ini tidak benar. Tolong dibaca lagi RUU Kamnas secara detail dan komprehensif. Jika ditemukan ada pasal yang janggal atau pasal karet, mari kita sempurnakan RUU ini, demi kepentingan nasional, ujarnya.

Sementara itu, Ketua FPKB DPR RI Marwan Jafar menyatakan bahwa NU dan PKB pada dasarnya setuju dengan RUU Kamnas sebagai sebuah kewajiban demi menjaga keutuhan NKRI. Hanya saja, memang perlu ada beberapa perbaikan dalam draftnya dan agar RUU ini tidak bertabrakan dengan undang-undang lain.

Pada prinsipnya, FPKB siap mengawal pembahasan RUU Kamnas, sesuai arahan Ketua Umum PBNU. Sebab PKB merupakan satu-satunya partai yang dilahirkan NU, tandasnya.

PDI Perjuangan menyatakan akan tetap menolak dan mengembalikan RUU Kamnas ke Pemerintah. Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR TB Hasanuddin mengatakan aturan-aturan yang terdapat dalam RUU Kamnas sudah ada dalam UU yang lainnya.

"Dalam aturan-aturan yang ada, peran TNI dan Polri sudah ada. Untuk masalahmasalah sosial juga sudah ada di UU Penyelesaian Konflik Sosial," kata TB Hasanuddin dalam keterangan yang diterima VIVAnews, Minggu 28 Oktober 2012.

Selain itu, TB Hasanuddin menilai ada tujuh Pasal yang krusial dan mengancam dalam RUU Kamnas ini. Pertama, Pasal 14 ayat 1 yang berbunyi 'Status darurat militer diberlakukan apabila terjadi kerusuhan sosial'

Politisi PDI Perjuangan ini berpendapat status darurat militer seharusnya hanya diberlalukan jika ada pemberontakan bersenjata atau ada serangan militer dari luar. "Untuk kerusuhan sosial yang sifatnya rendah tidak perlu diberlakukan darurat militer. Kalau status darurat sipil TNI tidak bisa masuk, tapi kalau status darurat militer sepenuhnya bisa diambil oleh TNI," ungkap dia.

Kedua, Pasal 17 ayat 4 yang berbunyi 'Ketentuan mengenai ancaman potensial dan aktual diatur dengan Peraturan Presiden'.

"Jadi presiden boleh membuat skenario siapa saja yang menjadi ancaman. Misalnya kalau ada mogok ya bisa dikeluarkan Perpres kalau ini ancaman dan dengan segala kekuatannya ini bisa dikerahkan pasukan," ujarnya.

Ketiga, Pasal 22 ayat 1 yang berbunyi 'Penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif Penyelenggara Intelijen Negara'. "Artinya intelijen dulu bergerak, baru departemen yang lain," ujarnya.

Keempat, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi 'Panglima TNI menetapkan dan melaksanakan kebijakan operasional dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan keamanan nasional'

TB Hasanuddin mengatakan semestinya Panglima TNI menyelenggarakan kebijakan operasi dan strategi militer menurut fungsi TNI saja, dan tidak harus mengikuti Kebijakan Wakamnas. "Dengan Kebijakan Wakamnas bisa terjadi apa saja nanti, dan keluar dari UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI," jelasnya.

Selain itu pada Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi 'Kapolri menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan strategi penyelenggaraan fungsi Kepolisian'. Artinya, Kepolisian bergerak hanya sesuai fungsi-fungsinya saja. "Jadi TNI ada keleluasaan berdasarkan perintah dari Kamnas, sementara polisi hanya melaksanakan fungsifungsi Kepolisian," jelasnya.

Kelima, Pasal 30 yang berbunyi 'Presiden dalam penyelenggaraan Keamanan

Nasional dapat mengerahkan unsur TNI untuk menanggulangi ancaman bersenjata' "Ini juga menjadi wacana yang debatable. Ancaman bersenjata apakah? Apakah dalam masalah kriminal bersenjata, TNI bisa dikerahkan," tanya TB Hasanuddin.

Keenam, Pasal 32 ayat 2 mengenai pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Keamanan Nasional. "Istilah komponen cadangan dan komponen pendukung adalah istilah baru," ujar TB.

Ketujuh, Pasal 48 ayat 1c dan 1d. "Atas peran-peran ini, kami DPR sebagai wakil rakyat akan mengembalikan. Kalau mau mengembalikan peran TNI seperti zaman dulu berlakukanlah UU Kamnas ini," tegas dia.

RUU Keamanan Nasional (Kamnas) hanya akan mengancam penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) dan kehidupan demokrasi. Sebab, pemberian wewenang kepada aktor yang bukan penegak hukum, TNI dan BIN, misalnya penyadapan dan penangkapan adalah keliru. "Kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan lembaga penegak hukum lainnua yang ditetapkan undang-undang," ujar Harris Azhar, koordinator Kontras, dalam siaran pers bersama 'Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan', di Warung Bumbu Desa, Jakarta, Senin (22/10/2012). TNI dan BIN (Badan Intelijen Negara) bukan penegak hukum. Dikatakan Harris, jenis dan bentuk keamanan nasional dalam RUU tersebut juga multitafsir. Misalnya bentuk ancaman tidak bersenjata dalam Pasal 16 jo pasal 17 yang mengkategorikan pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa. "Bisa saja buruh, petani dan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-haknya serta media yang kritis terhadap kekuasaan dapat dikategorikan sebagai bentuk ancaman nasional," tegasnya. Dewan Keamanan Nasional, sebagai perangkat yang disiapkam dalam RUU Kamnas, juga dinilai tidak bisa memiliki kewenangan. "Kewenangan pengendalian tertinggi berada di tangan presiden. Dewan Keamanan Nasional harusnya menjadi penasihat presiden," pungkasnya. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan

dari berbagai organisasi. Diantaranya Imparsial, Kontras, YLBHI, Elsam, LBH Masyarakat, IDSPS, AJI Indonesia, Lespersi, HRWG, The Ridep Institute, ICW, Infid, LBH Jakarta, LBH Pers, dan Setara Institute.

Pemerintah telah memperbaiki draf RUU Kamnas sebelumnya yang dianggap membahayakan keamanan nasional. Dalam perbaikan tersebut pemerintah memangkas beberapa pasal yang semula 60 menjadi 55 pasal. Berikut inti muatan lima pasal yang telah dihilangkan dari draf RUU Kamnas 1. RUU Kamnas tidak akan mengubah peran TNI sebagaimana UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yang dengan tegas diamanatkan mengemban tugas Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer selain Perang (OMSP). Oleh karena itu, tidak terdapat ruang dalam RUU Kamnas untuk mengembalikan peran TNI seperti pada masa orde baru.

2. RUU Kamnas tidak bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP) dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Sehingga tidak benar apabila RUU Kamnas ini akan mengurangi kebebasan pers.

3. RUU Kamnas tidak akan mendegradasi peran Polri sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, namun justru mempertegas peran polri baik secara organisasi, tugas dan fungsinya. Dengan demikian tidak ada maksud sedikitpun untuk mereduksi peran polri seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan.

4. Dengan keterlibatan unsur masyarakat dalam DKN, kebijakan dan strategi keamanan nasional ditetapkan melalui forum yang demokratis . DKN bukanlah lembaga operasional seperti Kopkamtib atau Bakorstanas pada era orde baru.

5. RUU Kamnas ini telah dilakukan harmonisasi dan sudah tidak bertentangan dengan UU No. 17 tahun 2011 tentang intelijen dan UU No. 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial

You might also like