You are on page 1of 5

Medical Journal AVICENNA Artikel Asli

Vol.1 No.01 Sept, 2010

TES SEROLOGI DIPSTIK DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DINI DEMAM TIFOID


Syamsu Rijal1, Ratnawati Hatta2, Muhammad Sabir3, Hermiaty4
Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar 2 Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 3 Laboratorium Biomedik & Agent Penyakit FKM Universitas Muslim Indonesia Makassar 4 Bagian IKM dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar
1

Abstrak Demam tifoid masih merupakan penyakit sistemik yang serius dan penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis saja tidaklah mudah. Untuk itu peranan laboratorium sangatlah penting membantu penegakan diagnosis. Penelitian ini bertujuan membandingkan tes dipstik dan widal untuk mendiagnosis demam tipoid. Sebanyak 129 sampel serum dikumpulkan dari penderita demam dengan dugaan demam tifoid dan diuji menggunakan tes dipstik dan widal. Sampel dikumpulkan dari beberapa puskesmas di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas tes widal besarnya 96.7% dan 85.5%. Sedangkan tes dipstik sebasar 91.7% dan 84.1%. Uji McNemar menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara tes widal dan tes dipstik dalam penegakan diagnosis demam tifoid (p<0.05). Kata kunci : Demam tifoid, tes serologi, tes widal , tes dipstik A. Pendahuluan Demam tifoid merupakan penyakit sistemik serius yang disebabkan oleh Salmonella typhi dengan periode inkubasi rata-rata 10-20 hari. Insidens penyakit ini diperkirakan 3.1 per 1.000 penduduk dengan kasus fatal sebesar 5.1%.1 Di Indonesia insidens demam tifoid masih tinggi bahkan mungkin tertinggi di antara negara-negara dunia ketiga dan masih merupakan masalah kesehatan.2,3 Diperkirakan ada sekitar 16 juta kasus per tahun di seluruh dunia dengan angka kematian 600.000 jiwa (4). Di Sulawesi Selatan, penderita demam tifoid memperlihatkan peningkatan, dari tahun 1990 terdapat 8.528 penderita menjadi 24.405 penderita pada tahun 1995 ; sedangkan angka kematian dari 1.80% menjadi 4.5% (2). Angka kematian rata-rata nasional berkisar antara 2-3.5%.4,5

Diagnosis demam tifoid sukar untuk dapat ditegakkan hanya atas dasar gejala klinis saja. Sebab gambaran klinis penyakit ini amat bervariasi dan umumnya tidak khas untuk demam tifoid. Dengan demikian, peranan laboratorium dalam membantu menegakkan diagnosis amat penting.(6) Bila di masa lampau diagnosis laboratorium demam tifoid hanya berlandaskan pada hasil isolasi penyebabnya yaitu S. typhi dari spesimen klinis dan uji widal, maka pada dasawarsa ini telah terjadi kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan sarana laboratorium untuk diagnosis demam tifoid.2,7 Berbeda dengan kultur darah dan sumsum tulang, tes widal dan dipstik mempuyai sensitifitas dan spesifisitas lebih rendah pada awal penyakit. Setelah beberapa hari, ketika respon imun penderita telah

Medical Journal AVICENNA

Vol.1 No.01 Sept, 2010

terbentuk cukup, sensitifitasnya akan meningkat.8-10 Tes widal dengan menggunakan antigen O dan H merupakan tes sederhana tetapi memiliki keterbatasan dengan adanya hasil positif dan negatif palsu.(9) Sampai saat ini widal masih merupakan tes serologi yang paling sering digunakan untuk menunjang diagnosis demam tifoid walaupun mempunyai kelemahan yaitu spesifisitasnya yang agak rendah. Kesulitan untuk menginterpretasi hasil tes widal disebabkan karena pemeriksaan titer aglutinin O atau H harus dilakukan dua kali dengan jangka waktu 5-7 hari. Bila terdapat kenaikan titer sebesar empat kali, maka hasil uji ini mempunyai nilai diagnostik untuk demam tifoid.6,11 Tes dipstik Salmonella adalah tes yang dapat dipercaya untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) dari S. typhi dan Salmonella paratyphi, yang didasarkan atas ikatan antara IgM spesifik Salmonella typhi dengan LPS tanpa membutuhkan peralatan dan ketrampilan khusus serta dapat diterapkan diperifer.7,12-14 Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tes serologi dipstik dengan widal dalam penegakan diagnosis demam tifoid. B. Bahan dan Cara Kerja Sampel Sampel serum sebanyak 129 dikumpulkan dari Puskesmas Kassi-Kassi, Puskesmas Jumpandang Baru, Puskesmas Batua dan Puskesmas Antang Makassar, Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Oktober 2006. Keseluruhan sampel (129 sampel) dilakukan masing-masing uji kultur, widal, dan dipstik untuk setiap sampel. Pengambilan sampel darah pada hari ketiga sampai hari ketujuh. Uji kultur darah, widal, dan dipstik dilakukan di Laborattorium Imunologi dan Biologi 2

molekuler Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNHAS. Setiap penderita dengan suspek klinis demam tifoid diambil sampel serumnya. Kriteria klinis untuk demam tifoid adalah demam 3-7 hari, kesan tifosa (kesadaran menurun, rambut dan kulit kering, bibir kering, terkelupas dan pecahpecah, lidah kotor dan muka pucat), anoreksia, mual, muntah, letargi dan malaise. Pada studi ini diagnosis akhir demam tifoid yang dipakai sebagai standar baku (gold standard) adalah gejala klinis dan kultur positif. Kultur Darah Dilakukan pada semua sampel dengan menginokulasi 15 ml Bile Broth (Merck, Rahway, NJ) dengan 5 ml darah segar pasien. Biakan darah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C. Satu milliliter biakan darah kemudian ditanamkan pada medium Salmonella Shigella dan diinkubasi selama 18-20 jam pada suhu 37C. Setelah diinkubasi, koloni kuman yang tumbuh diwarnai dengan pewarnaan gram dan diuji secara biokimia untuk mengidentifkasi S. Typhi.12 Tes Widal Dengan menggunakan antigen O dilakukan dilusi serial dari sampel larutan garam faal sehingga didapatkan penipisan sebesar 1/20 -1/1280. Ke dalam masingmasing sampel yang telah ditipiskan ini ditambahkan suspensi antigen O (1 tetes dengan pipet widal tes KIT) dan diinkubasi pada suhu 50C selama 4 jam. Hasil positif jika terjadi aglutinasi pada titer antigen 320.12 Tes Dipstik Dipstik terdiri dari dua pita tersusun secara horizontal: pita tes antigen (bawah) mengandung antigen reaktif yang spesifik dan pita internal kontrol (atas) mengandung anti-human IgM antibodi. Uji didasarkan atas ikatan antibodi IgM spesifik S. Typhi terhadap antigen S.typhi. Ikatan antibodi IgM secara spesifik dideteksi dengan konjugat IgM anti-human. Uji dilakukan dengan

Medical Journal AVICENNA

Vol.1 No.01 Sept, 2010

membuat dilusi 1:50 dari serum (4 mikroliter) pada reagen deteksi (200 mikroliter) dan dipstik diinkubasi dengan larutan ini selama 3 jam pada temperatur ruangan. Pewarnaan dari pita antigen menyatakan adanya antibodi IgM spesifik dalam sampel serum. Kekuatan pewarnaan pentig dalam interpretasi hasil tes. Referensi warna strip digunakan untuk membandingkan intensitas pewarnaan dengan rentangan dari O (tidak ada reaksi) sampai +4 (reaksi baik). Interpretasi hasil : terbentuk warna seperti pada pita kontrol dianggap positif dan jika tidak terbentuk warna negatif.12,14 Data dianalisis dengan program SPSS. Uji McNemar digunakan untuk membandingkan hasil analisis tes dipstik dengan widal pada tingkat kemaknaan p 0.05 C. Hasil Tabel 1. Validitas tes widal dalam penegakan diagnosis demam tifoid
Kultur Tifoid n % Positif 55 42,6 Negatif 5 3,9 Jumlah 60 46,5 Tes widal Darah Non-tifoid n % 11 8,5 58 45 69 63,5 Jumlah n 66 63 129 % 51,1 48,9 100

Tabel 2. Validitas tes dipstik dalam penegakan diagnosis demam tifoid Diagnosis Akhir Jumlah Tifoid Nontifoid n % n % n % Positif 58 45 10 7,8 68 52,7 Negatif 2 1,5 59 45,7 61 47,3 Jumlah 60 46,5 69 53,5 129 100 Dari antara 60 pasien dengan diagnosis akhir demam tifoid, 58 pasien (45%) menunjukkan hasil tes dipstik positif dan 2 pasien (1,5%) dengan hasil tes dipstik negatif. Sedangkan pada 69 pasien non tifoid didapati 10 pasien (7,8%) dengan tes dipstik positif dan 59 pasien non tifoid (47,5%) dengan tes dipstik negatif. Sensitifitas, spesifisitas, prediktive value positif dan predictive value negatif masingmasing besarnya 96.7%, 85.5%, 85,3% dan 96,7% (Tabel 2). Dipstik Tabel 3. perbandingan tes widal dan dipstik dalam penegakan diagnosis demam tifoid
Widal Positif Negatif Jumlah Dipstik Positif Negatif n % n % 55 43 11 8 13 10 50 39 68 53 61 47 Jumlah n 66 63 129 % 51 49 100

Sebanyak 60 pasien (46,5%) didiagnosis akhir demam tifoid, 55 pasien (42,6%) dengan tes widal positif dan 5 pasien (3,9%) dengan tes widal negatif. Sedangkan 69 pasien non tifoid didapati 11 pasien (8,5%) dengan tes widal positif, dan 58 pasien non tifoid (45%) dengan tes widal negatif. Sensitifitas, spesifisitas, prediktive value positif dan prediktive value negatif masing-masing besarnya 91.7%, 84.1%, 83,3% dan 92,1% (Tabel 1)

Dari 66 pasien (57,1%) dengan tes widal positif ternyata 55 pasien (42,6%) menunjukkan tes dispstik yang positif pula. Sedangkan dari 63 pasien (48,9%) dengan hasil tes widal yang negatif ternyata 50 pasien (38,8%) menunjukkan hasil tes dipstick yang negatif pula. Hasil uji McNemar menunjukkkan tidak ada perbedaan bermaka antara tes dipstik dan tes widal dalam penegakan diagnosis demam tifoid (p< 0.05) (tabel 3) D. Pembahasan Semakin cepat demam tifoid dapat didiagnosis semakin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan

Medical Journal AVICENNA

Vol.1 No.01 Sept, 2010

mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan bakteri masih terlokalisasi hanya dibeberapa tempat.15 Deteksi secara dini juga sangat penting sebagai kontrol, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur diagnosis yang dapat menunjukkan hasil yang benar-benar akurat. Berbagai teknik digunakan untuk mendiagnosis tifoid. Beberapa diantaranya adalah uji widal, kultur darah dan teknik molekuler.16,17 Uji widal dan kultur darah merupakan prosedur diagnosis laboratorium yang umum digunakan. Masalah yang dijumpai adalah sensitifitas dan spesifisitas prosedur diagnosis tersebut. Pada uji widal, antibodi yang spesifik akan terdeteksi setelah satu minggu infeksi dan tidak cukup dilakukan satu kali pemeriksaan saja. Uji widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial setiap minggu.16,17 Pada penelitian ini secara rutin digunakan cut-off value (1:320) terhadap 129 sampel yang diuji dengan tes widal. Hasilnya menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas masingmasing sebesar 91.7% dan 84.1%. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Vietnam dengan antigen O pada cut-off yang berbeda (1:100) memiliki sensitifitas rendah (83%) dan spesifistasnya lebih tinggi (89%).13 Sementara pada penelitian lain dengan cutoff value yang sama memiliki sensitifitas yang sama (92%) sedangkan spesifisitas lebih rendah (57%) dibanding penelitian ini.14 Hasil uji dipstik menunjukkan bahwa sensitifitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 96.7% dan 85.5%, lebih tinggi dibanding dengan hasil tes widal dengan sampel yang sama. Berbeda dengan sensitifitas dari kultur darah yang diperkirakan mencapai 65.3%.18 Sensitifitas dari kultur darah yang lebih rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk frekuensi penggunaan antibiotik yang tinggi, rendahnya dosis infektif dan relatif sedikitnya volume darah yang digunakan pada saat pemeriksaan.14 Pada studi yang dilakukan di Vietnam sebagaimana yang 4

dilaporkan sebelumnya, dipstik memiliki sensitifitas dan spesifisitas sebesar 77% dan 95%. Sensitifitas tes dipstik pada penelitian ini lebih tinggi (96.7%). Tes widal dan dipstik tidak berbeda secara bermakna dalam penegakan diagnosis demam tifoid walaupun sensitifitas dan spesifisitas kedua tes tersebut berbeda.12-14,18 E. Kesimpulan Uji disptik merupakan uji yang cepat dan mudah digunakan untuk diagnosis demam tifoid serta tidak memerlukan ketrampilan khusus, memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding tes widal. Daftar Pustaka 1. Velema JP, Germaine VW, Peter B, Naersen TV, Jota S. typhoid fever in Ujung Pandang, Indonesia High-risk groups and high risk behaviours. Trop Med Int Health 1997;11:1088-94 2.Windarwati, Harjoeno. Sensitifitas hasil pemeriksaan Gall kultur pada penderita demam tifoid di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo. Prosiding Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB) XI. Makassar;1998.p.341-4 Harjoeno. Interpretasi hasil tes laboratorium diagnostik, Makassar: Hasanuddin University Press;2001 Suwondo ES. Patogenesis demam tifoid dan virulensi Salmonella typhi. Jurnal Kimia Klinik Indonesia, 1996; 7:128-31 Maulana SY, Muharyo LH, Sudarmono P. Validitas pemeriksaan uji aglutinin O dan H, S. typhi dalam menegakkan diagnosis dini demam tifoid. Kedokteran Trisakti 2000;19:82Handojo I. Diagnosis laboratorium demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia 1996;7:117-21 Hatta M, Lakre CH, Smith HL. New simple method for detection IgM antibodies against Salmonella typhi infection on human. Med J Indonesia 1998;7(suppl 1):208

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Medical Journal AVICENNA

Vol.1 No.01 Sept, 2010

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Schroeder SA. Interpretation of serologic tests for typhoid fever. JAMA 1968;206:839-40 Wicks AGB, Holmes GS, Davidson L. Endemic typhoid fever : a diagnostic pitfall. Q J Med 1971, 40 : 341-54 Coleman W, Buxton BH. The Bacteriology of the blood in typhoid fever : an analysis of 1602 cases. Am J Med Sci 1907 ;133 :896-903 Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002 ;51:173-7 Hatta, M., Goris M,G., Gooskens, J.R., Smits, H.L. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhispecific IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002; 66(4):416-21 Parry CM, Hoa NTT, Diep TS, Wain J, Chinh NT, Vinh H, et al. Value of single-tube widal test in diagnosis of typhoid fever in Vietnam. J Clin Microbiol 1999; 37: 2882-6

14. Shanson DC. Blood culture technigue: current controversies. J Antimicrob Chemother 1990 April;25 supple:17-29 15. House D, Wain J, Ho VA, Diep TS, Chinh NT, Bay PV, et al. Serologi of typhoid fever in endemic area and its relevance to diagnosis. J Clin Microbiol 2001;39:1002-7 16. Song JH, Cho H, Park MY, Na PS, Moon HB, Pai CH. Detection of Salmonella typhi in the blood of patient with typhoid fever by Polymerase Chain Reaction. J Clin Microbiol 1993;31:1439-43 17. Haque A, Jambaz A, Javed Q. Early detection of typhoid by Polimerase Chain Reaction. Ann Saudi Med P 1999;11:337-40 18. Hatta,M., Mubin H., Abdoel T., Smits, HL. Antibody Response in Typhoid Fever in Endemic Indonesia and the Relevance of Serology and Culture to Diagnosis. South East AsiaJ Trop Med & Public Health 2002 December 33 (4): 182-191

You might also like