You are on page 1of 13

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA KONFLIK SARA

Disusun oleh : Agnesia Brilianti Kananlua Vicky Wijoyo Stephanie Siti Sisca Audya Edward Christian Sona Karisnata Inriano (128114129) (128114131) (128114145) (128114151) (128114156) (128114167)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural. Pluralisme dalam bangsa Indonesia terlihat dari budaya, suku, bahasa, agama, dan golongan yang beraneka ragam. Pluralisme ini sebenarnya menjadi suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia di mata dunia. Tetapi di lain sisi, kemajemukan (pluralisme) ini menjadi suatu pemicu konflik antarwarga masyarakat. Dewasa ini, kehidupan masyarakat Indonesia di beberapa daerah mulai tidak kondusif. Hal ini disebabkan terjadinya beberapa konflik antarwarga daerah tertentu. Konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) marak terjadi di Indonesia. Konflik ini didasarkan oleh sentimen identitas yang menyangkut agama, suku, golongan, bahasa, dan ras. Sungguh sangat memprihatinkan bahwa di zaman yang sudah modern seperti ini, masyarakat Indonesia tidka dapat terbuka terhadap suatu perbedaan. Masyarakat masih terjebak dalam pola pikir primitif yang mana menganggap kepunyaannya adalah yang paling baik. Suatu perbedaan itu sudah selayaknya dipandang sebagai suatu anugerah. Dengan adanya perbedaan masyarakat dapat saling mengisi dan melengkapi. Seharusnya masyarakat dapat membandingkan dan mengambil nilai positif dari setiap perbedaan yang ada. Sifat-sifat positif tersebut kemudian dapat pula diterapkan di dalam kehidupan masing-masing golongan. Sehingga masyarakat Indonesia dapat berkembang. Keprihatinan ini yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat Konflik SARA sebagai judul makalah ini. Sebagai generasi muda, kitaseharusnya dapat meredam konflik SARA yang sering terjadi tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan generasi muda untuk dapat mengubah pikiran masyarakat yang primitif terhadap pluralisme menjadi pola pikir yang terbuka terhadapat pluralisme.

I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pemulis mengangkat beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini. Adapun masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Apa penyebab terjadinya konflik SARA? 2. Bagaimana hubungan nilai-nilai Pancasila dengan konflik tersebut? 3. Apa saja tindakan konkret yang dapat dilakukan generasi muda untuk mengatasi konflik tersebut? I.3. Tujuan Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa saja penyebab terjadinya konflik SARA. 2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan nilai-nilai Pancasila dengan konflik tersebut. 3. Untuk mengetahui apa saja tindakan konkret yang dapat dilakukan generasi muda untuk mengatasi konflik tersebut.

BAB II PEMBAHASAN II.1. Faktor Penyebab Konflik SARA Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang patut dibanggakan di mata dunia. Indonesia memiliki harta yang paling berharga yang tidak dapat dimiliki oleh bangsa-bangsa lain, yaitu kemajemukan. Kemajemukan di Indonesia meliputi agama, ras, suku, budaya, dan adat istiadat. Apabila dilihat dengan kacamata positif, hal ini merupakan suatu anugerah yang sangat besar yang patut disyukuri. Kemajemukan yang seharusnya mempersatukan bangsa Indonesia, dapat saja menjadi pemicu dari munculnya suatu perpecahan antar warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena pola pikir masyarakat yang masih primitif mengenai golongannya masing-masing. Sifat mengagung-agungkan golongan masing-masing menjadi salah satu faktor utama terjadinya suatu konflik. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana satu pihak berusaha menghancurkan pihak lainnya atau membuatnya tidak berdaya.Konflik ini bisa disebabkan oleh perbedaan antar individu atau kelompok, di antaranya adalah perbedaan latar belakang seperti agama, suku, atau ras. Faktor-faktor terjadinya konflik antara lain: 1. 2. 3. 4. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk karakter yangberbeda Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam suatu masyarakat Konflik bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihindari dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Konflik kepentingan yang kita angkat dalam kelompok ini adalah konflik mengenai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, kebangsaan, agama atau kesukuan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat digolongkan sebagai SARA. SARA dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu : 1. Individual : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalamnya tindakan maupun pernyataan yang bersifat

menyerang, mengintimidasi, menghina, atau melecehkan identitas diri maupun golongan. 2. Institusional : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu

institusi, termasuk negara, yang telah membuat suatu peraturan ataupun kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung, daisengaja maupun tidak, merupakan suatu peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya. 3. Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi, dan ide-ide

diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat. Di Indonesia, akhir-akhir ini sering terjadi konflik yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). SARA merupakan pandangan atau tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas masyarakat yang meliputi suatu suku, agama, ras, budaya, keturunan, dan golongan. Konflik mengenai SARA selalu diwarnai dengan aksi kekerasan, pengucilan, diskriminasi, serta pelecehan antar golongan. Pemicu dari konflik ini sendiri adalah adanya salah satu pihak yang mudah tersinggu karena merasa dilecehkan nama golongannya oleh kelompok lain. Masyarakat yang terlibat konflik SARA merupakan masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir yang masih primitif terhadap perbedaan. Artinya, masyarakat ini tidak mau atau menolak adanya perbedaan. Mereka merasa golongan mereka adalah yang paling bagus dan paling utama. Konflik-konflik SARA mungkin memanglah sudah menjadi konsumsi umum dan tidak jarang lagi kita temui di Indonesia. Perselisihan antar agama yang sudah menjadi fenomena umum. Diskriminasi antar ras dalam suatu institusi atau kepengurusan dari yang sederhana sampai di tingkat DPR. Konflik dan perang antar suku, atau bahkan intern suatu suku atau golongan. Semua masalah ini berakar dari keegoisan masing-masing golongan atau kelompok yang tidak mau mengalah dan senantiasa bersaing satu sama lain. Nampaknya juga tidak ada suatu tindakan yang berarti yang mampu menyadarkan masyarakat kita dan menghentikan rentetan konflik ini. Selain karena kepentingan pribadi, konflik SARA juga disebabkan oleh adanya kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi ini yang menyebabkan kecemburuan sosial terhadap suatu golongan. Kecemburuan sosial itu diperparah dengan adanya tindakan anarkis dari masing-masing pihak. Misalnya saja dapat dilihat dari kasus

konflik kecemburuan sosial antara pribumi dengan keturunan Tiong Hua. Masyarakat Tiong Hua dianggap sebagai pendatang, namun mereka terlihat lebih sukses dibandingkan dengan pribumi. Maka muculah sentimen negatif pada pribumi terhadap masyarakat Tiong Hua. Masyarakat pribumi lebih cenderung mudah tersinggung dengan perlakuan masyarakat Tiong Hua. Masyarakat pribumi mudah untuk memprotes atau melakukan tindakan yang anarkis untuk membela golonganya. Begitu juga dengan masyarakat Tiong Hua yang akan terus membela kepentingan golongannya. Stigmatisasi merupakan salah satu hal yang berkaitan erat dengan konflik SARA. Stigmatisasi ini yang terkadang menjadi pemicu adanya konflik tersebut. Stigmatisasi merupakan suatu anggapan negatif terhadap suatu golongan. Di sini berarti, suatu golongan memiliki anggapan yang negatif terhadap golongan lain. Bahkan saat golongan yang menjadi objek stigmatisasi melakukan perbuatan baik, misalnya membantu, golongan yang melakukan stigmatisasi akan merasa mudah tersinggng. Stigmatisasi ini juga tidak lepas dari adanya etnosentisme. Etnosentisme merupakan suatu anggapan bahwa golongannya merupakan yang paling hebat dan utama. Apabila setiap golongan hidup dalam stigmatisasi dan etnosentisme maka konflik SARA dipastikan akan terus terjadi, mengingat Indonesia memiliki banyak suku dan golongan. Contohnya saja peristiwa sampit yang terjadi di Kalimantan antara suku Dayak dan suku Madura. Selain itu, konflik SARA juga dapat terjadi karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan satu golongan saja. Misalnya saja undangundang mengenai penodaan agama. Undang-undang ini menimbulkan banyak pertentangan karena ada pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan dalam segala hal yang menguntungkan penganut agama yang sedang berkuasa. Hal ini memicu terjadinya konflik atas dasar ketidakadilan. Penganut agama lain tentu merasa dirugikan dengan adanya kebijakan ini. Sehingga muncul anggapan negatif terhadap penganut agama yang diuntungkan serta timbul suatu kebencian di antara mereka. Sehingga konflik SARA dapat saja mudah terjadi.

II.2. Konflik SARA dan Hubungannya dengan Pancasila Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru.Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jati dirinya.Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya perbedaan diantara golongan dan berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan. Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI (Negara KesatuanRepublik Indonesia), terancam, ucap Gus Dur. Beliau kemudian menjelaskan sejarah Indonesia yang sejak abad ke-18 telah menunjukkan kultur bangsa dan semangat yang berkobar. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada tataran selanjutnya masih banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik yang terjadi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah. Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut berlanjut dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk saling memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang tegas dalam menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang bersifat struktural dan berkelanjutan. Jika dihubungkan dengan prinsip moral dan ajaran nilai-nilai Pancasila yang ada dianut oleh masyarakat Indonesia, konflik SARA ini jelas sangat bertenangan dengan prinsip dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsa kita ini. Konfik SARA yang berhubungan dengan agama dan menentang suatu agama atau kepercayaan lain telah melawan prinsip Ketuhanan yang dijunjung jelas di sila pertama. Suatu konflik jelas telah menyingkirkan nilai Kemanusiaan yang ada di sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab). Suatu konflik antar golongan juga berdampingan dengan timbulnya suatu perpecahan yang bertentangan dengan sila ketiga (Persatuan Indonesia). Belum lagi

dampak dari konflik SARA yang bisa mengakibatkan suatu pihak yang merasa dirugikan juga bertentangan dengan prinsip keadilan di sila kelima. Pada dasarnya, agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama. Sebagai bukti, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan mempunyai dasar atau pun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khusus nya Sila ke-1 berbunyi Ketuhanan Yang MahaEsa, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru mendorong berbagai keributan atau pun kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besardansulituntukmenemukanjalantengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masing-masing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, danAntarGolongan). Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya terdapat pada masyarakat yang berbedakeyakinan, bahkan tak jarang dari mereka yang mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami konflik internal. Hal tersebut dikarenakan rendah nya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu jiwa yang mengikat kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk karena trust (kepercayaan) masyarakat terhadap apa yang mereka dengar dan lihat. Pancasila berperan penting dalam segala hal, begitu pula dalam keagamaan. Fundamentalismeseperti merupakansalahsatufenomena yang telahdikemukakanoleh Karen Armstrong, kepaling 2001

yang

sangatmengejutkanpadaabad peristiwa

20.Begitumengerikanekspresidarifundamentalismeini, menghebohkandunia yang

terjadipadaSeptember

silamyaitupenghancurangedung World Trade Center (WTC) di New York, AmerikaSerikat, kejadiantersebutdihubungkandenganfundamentalisme. Sementara di

Indonesia terjadiperistiwabombunuhdiri di berbagaitempatsepertiBom Bali I, Bom Bali II, BomKedutaanBesar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dariperistiwaitutidakjauhdarifundamentalisme agama yaitumenghalalkansegalacara demi mencapaitujuandengandilandasifanatisme agama yang berlebihan. Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi

masyarakatkita.Kegagalanpemerintahmengatasikemiskinandanmasalahmasalahekonomiselalumembuatmasyarakattergodauntukmelakukankekerasandalammen yalurkanaspirasinya. Di sampingitu, yang

ketidaktegasanaparatjugaturutmemberiandilbagikelangsunganhiduporganisasi

identikdengankekerasandalammengemukakanpendapatnya.Sehinggadapatdikatakanbah waselamatidakadaperubahandarikondisisosial, danekonomimasyarakatdanselamaaparattidaktegasdalammenindakkejadiankejadiansepertiitu, hal-halitutetapakanterusberlangsung. Contoh konflik SARA lainnya ialah perang salib. PerangSalib (1069-1291) merupakanperangantarumat Kristen Eropadenganumat Islam yang memperebutkan Yerussalem atau Palestina. Perang Salib berlangsung hinggatujuh kali (PerangSalib VII tahun 1270-1291) status Yerusalem atau Palestinatidakberubah, yaitutetapdikuasaiumat Islam. Bahkan kedudukan bangsa Barat atau Kristen di SyiradanPalestinahilang. II.3. Solusi Konflikberlatar SARA (suku, agama, ras, politik,

danantargolongan)seringsekalimerebutnyawanyawatidakbersalahsebagaikambinghitamdaripelampiasan masing.Perbedaanaliran ego merekamasingyang

menjadifaktorpemicumembuatinsidenberdarahtersebutmenjadiisunasional.Semua media cetakdanelektroniktertarikuntukmenyajikannyasebagaiberitautamaselamabeberapahari. Beragamkomentardanaksisimpatik punmengalirdarisegenapkomponenbangsamulaidaripresidensampaimasyarakatbiasa.Na mun, yang diharapkandisinitidakhanyasekedaraksisimpatik yang yang

terucapbelakasaja.Perbuatanatautindakansekecilapapun

mendukunguntukterciptanyapersatuandankesatuan yang kokohmerupakantindakan yang berharga. Sebenarnya konflik berbau SARA ini tidak harus terjadi dan bisa ditanggulangi dengan jalan kesadaran dan keterbukaan antar golongan sehingga bersedia mengesampingkan egonya masing-masing demi kebaikan dan kerukunan antar golongan. Prinsip keterbukaan ini memang klise dan telah sangat sering digemborgemborkan namun memang inilah prinsip dasar yang masih perlu dipertahankan. Sebagai generasi muda, sudahlah menjadi kewajiban bagi kita untuk merubah tradisi dan cara pandang kolot dari masyarakat negri kita yang masih saja mengkotakkotakkan masyarakatnya yang multikultur ini. Banyakpihak yang menyayangkanataumengutukperistiwatersebut, tetapi yang paling positifadalahresponscepatmasyarakatlainuntukikutbertanggungjawabataskonflik yang terjadikarenakesadaranmerekasebagaibagiandaribangsa agama, maupunras Indonesia. yang

Meskipunberasaldarisuku,

berbeda,kelompokmasyarakatiniberusahauntukmenyatukanperbedaanmerekamenjadise buahharmoni yang membangkitkan rasa persatuandankesatuan yang kokoh, yang lain Padatitikini,

sehinggadiharapkanmasyarakat sedangbertikaitersebutdapatmelihatdarisudutpandang mengenaimasalahperbedaantersebut.

semualapisanmasyarakatdiharapkandapatberperanaktifdalam proses recovery yang sedangberlangsung, agar masalahpertikaian yang disebabkanolehkonflik SARA dapatsegeraterselesaikandantidakberkepanjangan. Proses recovery iniharusdilaksanakandenganbaikagar dapatterciptakehidupan yang harmonis di masadepan.Namun, bukanberartidenganadanya proses recovery pascakonflikmakakonflik SARA yang seringterjadi di Indonesia dapatdianggapremeh. Supaya proses recovery tersebuttidakmenjadirutinitaspascakonflik,

perluketerlibatansemuaelemenbangsa, baikstructuralmaupunculturaldalamproyekrekonsiliasidanrekonstruksi komprehensif. Langkahkrusial yang yang harussegeradilakukanadalahmengusuttuntassemuapihak yang

berusahauntukmemecahbelahkesatuanbangsakitadenganmemprovokasipihaktertentume ngenaiperbedaan yang terjadidalammasyarakat yang seharusnyabukanmerupakanhal yang negativemelainkanpositifbilakitamaumenelusurinyalebihjauh. Di sampingitu, pemerintahharuslebihseriusmenjalankan amanah UUD 1945 Pasal 28 dan 29, supayatiapwargabenar-benarmendapatkanhaknyadalammemeluk

agamadanmelaksanakankeyakinanmereka.Pemerintahtidak bolehraguuntukmengerahkansetiapinstrumen yang dimiliki demi

tegaknyapelaksanaanundang-undangini, termasukBadanIntelijen Negara (BIN). Secara teoritis hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi konflik SARA ini antara lain: 1. Pencegahan konflik Langkah ini merupakan perwujudan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya suatu perbedaan pendapat atau hal-hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Membentuk suatu kehidupan yang saling rukun dan membantu satu sama lain tanpa memandang perbedaan yang ada merupakan suatu langkah kecil yang dapat mengawali tahap ini. 2. Penyelesaian konflik Apabila konflik telah terjadi, maka suatu penyelesaian harus secepat mungkin dibuat agar tidak terjadi hal-hal lain yang tidak diinginkan. Suatu mediasi dari petinngi atau pihak yang dipercaya mungkin dibutuhkan, dan yang paling penting adalah kesiapan hati dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut. 3. Pengelolaan konflik Selama terjadi suatu ketegangan antar golongan, baiklah supaya tiap pihak mampu mengelola emosi nya dan tidak menimbulkan suatu pertikaian yang mampu merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah. Pengelolaan dan kontrol konflik ini juga membutuhkan suatu keterbukaan antar golongan. 4. Resolusi konflik Resolusi konflik merupakan upaya untuk menganalisa sebab-sebab terjadinya konflik dalam upaya membangun suatu hubungan dan pemikiran baru dari tiap-tiap golongan atau kelompok yang terlibat konflik. 5. Transformasi konflik

Adalah suatu upaya mengatasi sumber-sumber konflik dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif.

BAB III PENUTUP III.1. Kesimpulan 1. Faktor yang menyebabkan konflik SARA di Indonesia, yaitu: Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk karakter yangberbeda Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam suatu masyarakat 2. Hubungan konflik SARA dengan Pancasila, yaitu konfik SARA yang berhubungan dengan agama dan menentang suatu agama atau kepercayaan lain telah melawan prinsip Ketuhanan yang dijunjung jelas di sila pertama. Suatu konflik jelas telah menyingkirkan nilai Kemanusiaan yang ada di sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab). Suatu konflik antar golongan juga berdampingan dengan timbulnya suatu perpecahan yang bertentangan dengan sila ketiga (Persatuan Indonesia). Belum lagi dampak dari konflik SARA yang bisa mengakibatkan suatu pihak yang merasa dirugikan juga bertentangan dengan prinsip keadilan di sila kelima. 3. Solusi untuk mengatasi konflik SARA yaitu dengan pencegahan konflik, penyelesaian konflik, pengelolahan konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. III.2. Saran Agar konflik SARA ini terjadi secara terus-menerus, masyarakat sebaiknya saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Dengan begitu kerukunan antarwarga dapat tercapai sehingga tidak terjadi konflik SARA yang berkepanjangan.

You might also like