You are on page 1of 26

Mengapa kelenjar tiroid membesar?

Jika kelenjar tiroid membesar, kondisi ini dikenal sebagai goiter (gondok). Adanya gondok tidak hanya menunjukkan bahwa kelenjar tiroid tidak berfungsi dengan benar, namun bisa pula menunjukkan masalah kesehatan yang lebih serius, misalnya gangguan tiroid atau bahkan kanker. Pembesaran tiroid bisa menimbulkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan. Pembesaran tiroid dapat menyebabkan perubahan pada kualitas suara, menghalangi jalan napas, dan bisa menyebabkan tersedak makanan atau cairan tertentu. Berikut adalah beberapa masalah kesehatan yang bisa menyebabkan kelenjar tiroid membesar:
Salah satu penyebab goiter alias gondok yang paling sering di dunia ialah kekurangan yodium. Kelenjar tiroid tidak dapat menghasilkan hormon tiroid memadai tanpa yodium yang cukup. Untuk mengatasi, di Indonesia, zat ini biasanya ditambahkan pada bahan yang digunakan sehari-hari, seperti garam. Jika kekurangan yodium, kelenjar pituitary melepaskan TSH merangsang kelenjar tiroid meningkatkan produksinya. Rangsangan berlebihan dalam jangka waktu lama mengakibatkan kelenjar tiroid membesar.

1. Penyakit Graves Penyakit Graves adalah bentuk hipertiroidisme dengan komponen autoimun. Antibodi dalam sistem kekebalan tubuh keliru melihat tiroid sebagai musuh dan melancarkan serangan. Hal ini menyebabkan kelenjar menjadi terstimulasi berlebihan sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan. Pada akhirnya kelenjar menjadi memburuk dan gondok akan terbentuk. 2. Penyakit Hashimoto Seperti halnya penyakit Graves, penyakit Hashimoto juga merupakan gangguan autoimun. Namun, alih-alih menghasilkan tiroid berlebih, kondisi ini memicu hipotiroidisme atau menyebabkan kelenjar tiroid tidak menghasilkan jumlah hormon yang cukup. Meskipun demikian, kelenjar pituitari terus mengirim thyroid-stimulating hormone (TSH) kepada tiroid, sehingga memperburuk kondisi kelenjar tiroid dan menyebabkannya mengalami pembesaran. 3. Thyroid Nodules & Solitary Nodules (Nodul Tiroid)

Pembesaran kelenjar tiroid bisa menghasilkan multiple nodul padat atau nodul yang berisi cairan yang tumbuh di kedua lobus tiroid atau nodul tunggal yang tumbuh hanya pada satu sisi tiroid. Pada kebanyakan kasus, nodul-nodul ini jinak dan tidak memiliki potensi untuk berkembang menjadi kanker. 4. Kanker Tiroid Kanker tiroid lebih jarang terjadi dibandingkan nodul tiroid. Jenis pembesarannya biasanya terjadi hanya pada satu sisi dari kelenjar tiroid. 5. Tiroiditis Tiroiditis adalah peradangan kelenjar tiroid yang bisa disebabkan oleh kondisi kesehatan atau terkadang setelah masa kehamilan. Beberapa bentuk tiroiditis disebabkan oleh infeksi bakteri, namun ini sangat jarang terjadi. Meskipun tiroiditis bisa terjadi karena hubungannya dengan penyakit Hashimoto dan penyakit Graves, namun umumnya hanya bersifat sementara. 6. Kekurangan Yodium Bahan bakar yang diperlukan kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon adalah yodium. Karena yodium sudah ditambahkan pada garam meja dan makanan lainnya, masyarakat yang tinggal di negara maju hampir tidak pernah mengalami pembesaran tiroid karena kekurangan yodium.

. Sistesis dan Sekresi Hormon Tiroid Sintesis dari T4 dan T3 oleh kelenjar tiroid melibatkan enam langkah utama: (1) transpor aktif dari I melintasi membrana basalis ke dalam sel tiroid (trapping 4 of iodide); (2) oksidasi dari iodida dan iodinasi dari residu tirosil dalam tiroglobulin; (3) penggabungan molekul iodotirosin dalam toirglobulin membentuk T3 dan T4; (4) proteolisis dari tiroglobulin, dengan pelepasan dari iodotirosin dan iodotironin bebas; (5) deiodinasi dari iodotirosin di dalam sel tiroid, dengan konservasi dan penggunaan dari iodida yang dibebaskan, dan (6) di bawah lingkungan tertentu, deiodinisasi-5' dari T4 menjadi T3 intratiroidal. Kontrol Fungsi Tiroid Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat mekanisme : (1) sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior

(TSH), yang pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar tiroid (2) deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan T3 (3) autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan suplai iodinnya (4) stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH (1,2). Tirotropin Thyroid-stimulating hormone (hormon perangsang-tiroid), atau tirotropin (TSH), merupakan suatu glikoprotein yang disintesis dan disekresikan oleh tirotrop dari kelenjar hipofisis anterior. Mempunyai berat molekul sekitar 28.000 dan terdiri dari dua subunit yang dihubungan secara kovalen, alfa dan beta. Subunit alfa lazim untuk dua glikoprotein hipofisis lain, FSH dan LH, dan juga untuk hormon plasenta hCG; subunit beta berbeda untuk setiap hormon glikoprotein dan memberikan sifat pengikatan dan aktivitas biologik yang spesifik. Subunit alfa manusia mempunyai suatu inti apoprotein dari 92 asam amino dan mengandung satu rantai o ligosakarida. Glikosilasi terjadi dalam retikulum endoplasma kasar dan Golgi dari tirotrop, di mana residu glukosa, manosa, dan fukosa dan sulfat terminal atau residu asam sialik dihubungkan dengan inti apoprotein. Fungsi dari residu karbohidrat ini tidak seluruhnya jelas, tetapi ada kemungkinan bahwa mereka meningkatkan aktivitas biolgik TSH dan memodifikasi kecepatan bersihan metaboliknya. Contohnya, TSH deglikosilasi akan berikatan dengan reseptornya, tetapi aktivitas biologiknya menurun secara nyata dan kecepaatn bersihan metaboliknya meningkat dengan nyata.

e. Efek dari TSH terhadap Sel Tiroid TSH mempunyai banyak aksi pada sel tiroid. Sebagian besar dari aksinya diperantarai melalui sistem G protein-adenilil siklase-cAMP, tetapi aktivasi dari sistem fosfatidilinositol

(PIP2) dengan peningkatan dair kalsium intraselular dapat juga terlibat). Aksi utama dari TSH termasuk yang berikut ini : 1. Perubahan Morfologi Sel Tiroid : TSH secara cepat menimbulkanpseudopod pada batas sel-koloid, mempercepat resorpsi tiroglobulin.Kandungan koloid berkurang. Tetesan koloid intraselular dibentuk danpembentukan lisosom dirangsang, meningkatkan hidrolisis tiroglobulin . 2. Pertumbuhan Sel : Masing-masing sel tiroid bertambah ukurannya;vaskularisasi meningkat; dan setelah beberapa waktu, timbul pembesarantiroid, atau goiter. 3. Metabolisme Iodin : TSH merangsang semua fase metabolismeiodida, dari peningkatan ambilan dan transpor iodida hingga peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon tiroid. Peningkatan dari cAMP memperantarai peningkatan transpor iodida, sementara hidrolisa PTP2 dan peningkatan Ca2+ intraselular merangsang iodinasi dari tiroglobulin. Efek TSH terhadap transpor iodida adalah bifasik : Pada awalnya terdepresi (effluks iodida); dan kemudian, setelah suatu kelambatan beberapa jam, ambilan iodida meningkat. Efluks dari iodida dapat disebabkan oleh peningkatan yang cepat dari hidrolisis tiroglobulin dengan pelepasan hormon dan keluarnya iodida dari kelenjar. 4. Peningkatan mRNA untuk tiroglobulin dan peroksidase tiroidal, dengan suatu peningkatan pemasukan I ke dalam MIT, DIT, T3 dan T4. 5. Peningkatan aktivitas lisosomal, dengan peningkatan sekresi T4 dan T3 dari kelenjar. Juga terdapat peningkatan aktivitas deiodinase-5' tipe 1, memelihara iodin intratiroid. 6. TSH mempunyai banyak efek lain terhadap kelenjar tiroid, termasuk stimulasi dari ambilan glukosa, konsumsi oksigen, produksi CO2, dan suatu peningkatan dari oksidase glukosa via lintasan heksosemonofosfat dan siklus Krebs. Terdapat suatu percepatan penggantian fosfolipid dan perangsangan sintesis prekursor purin dan pirimidin, dengan peningkatan sintesis DNA dan RNA.

TSH Serum Secara normal, hanya subunit dan TSH utuh ditemukan dalam serum. Kadar dari subunit adalah sekitar 0,5-2,0 g/L; terjadi peningkatan pada wanita pascamenopause dan pada pasien dengan TSH-secreting pituitari tumor . Kadar serum dari TSH adalah sekitar 0,5-5 mU/L; meningkat pada hipotiroidisme dan menurun pada hipertiroidisme, baik karena endogen ataupun akibat asupan hormon tiroid per oral yang berlebihan. Waktu-paruh TSH plasma adalah sekitar 30 menit, dan kecepatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/hari.

Kontrol Sekresi TSH Hipofisis Dua faktor utama yang mengendalikan sintesis dan pelepasan TSH adalah kadar T3 intratirotrop, yang mengontrol mRNA untuk sintesis dan pelepasan TS, dan TRH, yang mengendalikan glikosilasi, aktivasi, dan pelepasan TSH . Sintesis dan pelepasan dihambat oleh kadar serum T4 dan T3 yang tinggi (hipertiroidisme) dan dirangsang oleh kadar hormon tiroid rendah (hipotiroidisme). Di samping itu, hormon-hormon dan obat-obatan tertentu menghambat sekresi TSH. Dalam hal ini termasuk somatostatin, dopamin, agonis dopamin seperti bromokriptin, dan glukokortikoid. Penyakit akut dan kronik dapat menyebabkan penghambatan dari sekresi TSH selama penyakit aktif, dan kemungkinan terdapat peningkatan balik dari TSH pada saat pasien pulih. Besarnya efek ini bervariasi; dengan demikian, obatobatan yang disebutkan di atas mensupresi TSH serum, tetapi biasanya akan dapat dideteksi. Sebaliknya, hipertiroidisme akan menghentikan sekresi TSH sama sekali. Pengamatan ini secara klinik penting dalam menginterpretasi kadar TSH serum pada pasien yang mendapatkan terapi ini. Lesi atau tumor destruktif dari hipotalamus atau hipofisis anterior dapat mengganggu sekresi TRH dan TSH dengan destruksi dari sel-sel sekretori. Hal ini akan menimbulkan "hipotiroidisme sekunder" akibat destruksi tirotrop hipofisis atau "hipotiroidisme tersier" akibat destruksi dari TRH-secreting neuron. Diagnosis banding dari lesi ini dibahas di bawah . . Kerja Hormon Tiroid

1. Reseptor Hormon Tiroid Hormon tiroid, T3 dan T4, beredar dalam plasma sebagian besar terikat pada protein tetapi dalam keseimbangan dengan hormon bebas. Hormon bebaslah yang diangkut melalui difusi pasif ataupun karier spesifik melalui membran sel, melalui sitoplasma sel, untuk berikatan dengan suatu reseptor pesifik pada inti sel. Di dalam sel, T4 diubah menjadi T3 melalui deiodinase-5', menunjukkan bahwa T4 merupakan suatu prohormon dan T3 adalah bentuk hormon aktif. Reseptor inti untuk T3 telah dimurnikan. Merupakan salah satu dari "keluarga" reseptor, kesemuanya sama dengan reseptor untuk retrovirus yang menyebabkan eritroblastosis pada anak ayam, v-erb A, dan terhadap reseptor inti untuk glukokortikoid, mineralokortikoid, estrogen, progestin, vitamin D3, dan asam retinoat. Reseptor hormon tiroid manusia (hTR) terdapat dalam paling tidak tiga bentuk : hTR- 1 dan 2 dan hTR-1. hTR- mengandung 410 asam amino, mempunyai berat molekul sekitar 47.000, dan gennya terletak pada kromosom 17. hTR- mengandung 456 asam amino, dengan berat molekul sekitar 52.000, dan gennya terdapat pada kromosom 3. Setiap reseptor mengandung tiga daerah spesifik: suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktivitas reseptor; suatu daerah pengikat-DNA sentral dengan dua "jari-jari" sistein-seng; dan suatu daerah pengikat hormon terminal karboksil. Ada kemungkinan bahwa hTR-l dan hTR-1 merupakan bentuk reseptor yang aktif secara biologik; hTR-2 tidak mempunyai kemampuan mengikat hormon, tetapi berikatan dengan unsur respons hormon tiroid (TRE) pada DNA dan dengan demikian dapat bertindak pada beberapa kasus untuk menghambat aktivitas dari T3 . Afinitas pengikatan dari analog T3 terhadap reseptor T3 berbanding langsung dengan aktivitas biologik dari analog. Mutasi titik pada gen hTR-, yang menimbulkan reseptor T3 abnormal, merupakan penyebab dari sindroma resistensi generalisata terhadap hormon tiroid. Reseptor hormon tiroid berikatan dengan tempat TRE spesifik pada DNA tanpa adanya T3 tidak seperti kasus dengan reseptor hormon steroid. TRE terletak dekat, dengan promotor di mana transkripsi dari gen hormon tiroid spesifik yang responsif diawali. T3 yang berikatan dengan reseptor menimbulkan stimulasi, atau pada beberapa kasus inhibisi, dari transkripsi gen-gen ini dengan akibat timbulnya perubahan dari tingkat transkripsi mRNA dari mereka. Perubahan dalam tingkatan mRNA ini mengubah tingkatan dari produk protein dari gen ini.

Proetin ini kemudian memperantarai respons hormon tiroid. Reseptor ini sering berfungsi sebagai heterodimer dengan faktor transkripsi lain seperti reseptor retinoat X dan reseptor asam retinoat. 2. Efek Fisiologik Hormon Tiroid Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag time berjamjam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik ini menimbulkan sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan produksi panas dan konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi dari T3 tidak genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan berikut ini. 3. Efek pada Perkembangan Janin Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia sekitar 11 minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan I. Karena kandungan plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan dwarfisme/cebol).

4. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal Bebas T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi Na+-K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion

superoksida. Hal ini dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme kronik. 5. Efek Kardiovaskular T3 merangsang transkripsi dari rantai berat miosin dan menghambat rantai berat miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan konsentrasi protein G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme. 6. Efek Simpatik Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia. 7. Efek Pulmonar Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada pusat pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadangkadang memerlukan ventilasi bantuan.

8. Efek Hematopoetik Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi

O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroidisme. 9. Efek Gastrointestinal Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme. 10. Efek Skeletal Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan resorpsi tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat, hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi hidroksiprolin urin dan hubungan-silang pyridinium. 11. Efek Neuromuskular Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok. 12. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati demikian pula absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor lowdensity lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid

yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya, kadar kolesterol meningkat pada hipotiroidisme. 13. Efek Endokrin Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan obat-obatan farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100 menit pada orang normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal. Ovulasi dapat terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan terapi T4. . KONSEP PENYAKIT 1. DEFINISI Hipertiroid dikenal juga sebagai tirotoksitosis, yang dapat di definisikan sebagai respons jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolic hormone tiroid yang berlebihan. (Sylvia A. Price, 2006). Hipertiroid dalam hal prevalensi merupakan penyakit endokrin yang menempati urutan kedua setelah Diabetes Mellitus, yang merupakan kesatuan penyakit dengan batasan yang jelas, dan penyakit Graves menjadi penyebab utamanya. (Brunner dan Suddarth, 2002).

2. ETIOLOGI
1.

Penyakit Graves diketahui sebagai penyebab umum dari hipertiroid.

Pengeluaran hormone tiroid yang berlebihan diperkirakan terjadi akibat stimulasi

abnormal kelenjar tiroid oleh immunoglobulin dalam darah. Stimulator tiroid kerjapanjang (LATS; Long-acting thyroid stimulator) ditemukan dalam serum dengan konsentrasi yang bermakna pada banyak penderita penyakit ini dan mungkin berhubungan dengan defek pada sistem kekebalan tubuh. 2. 3. 4. 5. 6.
7.

Herediter Stress atau infeksi Tiroiditis Syok emosional Asupan tiroid yang belebihan Dari penyakit lain yang bukan hipertiroid, misalnya adenokarsinoma

hipofisis

3. FAKTOR RESIKO Kelainan hipertiroid sangat menonjol pada wanita, Hipertiroid menyerang wanita lima kali lebih sering dibandingkan laki laki. Insidensinya akan memuncak dalam decade usia ketiga serta keempat.(Schimke, 1992).

4. KLASIFIKASI a. Goiter Toksik Difusa (Graves Disease) Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus. Graves disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 40 tahun. Faktor keturunan

juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri. b. Nodular Thyroid Disease Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring dengan bertambahnya usia.

c.

Subacute Thyroiditis Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.

d. Postpartum Thyroiditis Timbul pada 5 10% wanita pada 3 6 bulan pertama setelah melahirkan dan terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahanlahan.

5. MANIFESTASI KLINIS Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel dan terus merasa khawatir dan klien tidak dapat duduk diam Denyut nadi yang abnormal yang ditemukan pada saat istirahat dan beraktivitas; yang diakibatkan peningkatan dari serum T3 dan T4 yang merangsang epinefrin dan mengakibatkan kinerja jantung meningkat hingga mengakibatkan HR meningkat. Peningkatan denyut nadi berkisar secara konstan antara 90 dan 160 kali per menit, tekanan darah sistolik akan meningkat.

Tidak tahan panas dan berkeringat banyak diakibatkan karena peningkatan metabolisme tubuh yang meningkat maka akan menghasilkan panas yang tinngi dari dalam tubuh sehingga apabila terkena matahari lebih, klien tidak akan tahan akan panas. Kulit penderita akan sering kemerahan (flusing) dengan warna ikan salmon yang khas dan cenderung terasa hangat, lunak dan basah. Adanya Tremor Eksoftalmus yang diakibatkan dari penyakit graves, dimana penyakit ini otot-otot yang menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mesti, sehingga sulit atau tidak mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit mengkordinir gerakan mata akibatnya terjadi pandangan ganda, kelopak mata tidak dapat menutup secara sempurna sehingga menghasilkan ekspresi wajah seperti wajah terkejut. Peningkatan selera makan namun mengalami penurunan berat badan yang progresif dan mudah lelah. Perubahan defekasi dengan konstipasi dan diare
Pada usia lanjut maka akan mempengaruhi kesehatan jantung

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
T4 Serum

Tes yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan teknik radioimmunoassay atau peningkatan kompetitif. Kisaran T4 dalam serum yang normal berada diantara 4,5 dan 11,5 mg/dl (58,5 hingga 150 nmol/L). T4 terikat terutama dengan TBG dan prealbumin : T3 terikat lebih longgar. T4 normalnya terikat dengan protein. Setiap factor yang mengubah protein pangikat ini juga akan mengubah kadar T4
T3 Serum

T3 serum mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau total T3 total, dalam serum. Sekresinya terjadi sebagai respon terhadap sekresi TSH dan T4. Meskipun kadar T3 dan T4 serum umumnya meningkat atau menurun secara bersama-sama, namun kadar T4 tampaknya merupakan tanda yang akurat untuk menunjukan adanya hipertiroidisme, yang menyebabkan kenaikan kadar T4 lebih besar daripada kadar T3. Batas-batas normal untuk T3 serum adalah 70 hingga 220 mg/dl (1,15 hingga 3,10 nmol/L)
Tes T3 Ambilan Resin

Tes T3 ambilan resin merupakan pemeriksaan untuk mengukur secara tidak langsung kaar TBG tidak-jenuh. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah hormone tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Pemeriksaan ini, menghasilkan indeks jumlah hormone tiroid yang sudah ada dalam sirkulasi darah pasien. Normalnya, TBG tidak sepenuhnya jenuh dengan hormone tiroid dan masih terdapat tempat-tempat kosong untuk mengikat T3 berlabel-radioiodium, yang ditambahkan ke dalam specimen darah pasien. Nilai ambilan T3 yang normal adalah 25% hingga 35% yang menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada paa TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Jika jumlah tempat kosong rendah, seperti pada hipertiroidisme, maka ambilan T3 lebih besar dari 35%
Tes TSH (Thyroid Stimulating Hormone)

Sekresi T3 dan T4 oleh kelenjar tiroid dikendalikan hormone stimulasi tiroid (TSH atau tirotropin) dari kelenjar hipofisis anterior. Pengukuran konsentrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipotalamus.kadar TSH dapat diukur dengan assay radioimunometrik, nilai normal dengan assay generasi ketiga, berkisar dari 0,02 hingga 5,0 U/ml. Kadar TSH sensitif dan dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar akan berada dibawah normal pada pasien dengan peningkatan autonom pada fungsi tiroid (penyakit graves, hiperfungsi nodul tiroid).

Tes Thyrotropin Releasing Hormone Tes Stimulasi TRH merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH di hipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil tes T3 dan T4 tidak dapat dianalisa. Pasien diminta berpuasa pada malam harinya. Tiga puluh menit sebelum dan sesudah penyuntikan TRH secara intravena, sampel darah diambil untuk mengukur kadar TSH. Sebelum tes dilakukan, kepada pasien harus diingatkan bahwa penyuntikan TRH secara intravena dapat menyebabkan kemerahan pasa wajah yang bersifat temporer, mual, atau keinginan untuk buang air kecil. Tiroglobulin Tiroglobulin merupakan precursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam serum dengan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaaan radioimmunoassay. Faktor-faktor yang meningkatkan atau menurunkan aktivitas kelenjar tiroid dan sekresi T3 serta T4 memiliki efek yang serupa terhadap sintesis dan sekresi tiroglobulin. Kadar tiroglobulin meningkat pada karsinoma tiroid, hipertiroidisme dan tiroiditis subakut. Kadar tiroglobulin juga dapat akan meningkat pada keadaan fisiologik normal seperti kehamilan. Ambilan Iodium Radioaktif Tes ambilan iodium radioaktif dilakukan untuk mengukur kecepatan pengambilan iodium oleh kelenjar tiroid. Kepada pasien disuntikan atau radionuklida lainnya dengan dosis tracer, dan pengukuran pada tiroid dilakukan dengan alat pencacah skintilas (scintillation counter) yang akan mendeteksi serta menghitung sinar gamma yang dilepaskan dari hasil penguraian dalam kelenjar tiroid. Tes ini mengukur proporsi dosis iodium radioaktif yang diberikan yang terdapat dalam kelenjar tiroid pada waktu tertentu sesudah pemberiannya. Tes ambilan iodiumradioaktif merupakan pemeriksaan sederhana dan memberikan hasil yang dapat diandalkan.Penderita hipertiroidisme akan mengalami penumpukan dalam proporsi yang tinggi (mencapai 90% pada sebagian pasien). Pemindai Radio atau Pemindai Skintilasi Tiroid

Serupa dengan tes ambilan iodium radioaktif dalam pemindaian tiroid digunakan alat detector skintilasi dengan focus kuat yang digerakkan maju mundur dalam suatu rangkaian jalur parallel dan secara progresif kemudian digerakkan kebawah. Pada saat yang bersamaan, alat pencetak merekam suatu tanda ketika telah tercapai suatu jumlah hitungan yang ditentukan sebelumnya. Teknik ini akan menghasilkan gambar visual yang menentukan lokasi radioaktivitas di daerah yang dipindai. Meskipun I131 merupakan isotop yang paling sering digunakan, beberapa isotop iodium lainnya yang mencakup Tc9m (sodium pertechnetate) dan isotop radioaktif lainnya (thalium serta americum) digunakan di beberapa laboratorium karena sifat-sifat fisik dan biokimianya memungkinkan untuk pemberian radiasi dengan dosis rendah. Pemindaian sangat membantu dalam menemukan lokasi,

ukuran, bentuk dan fungsi anatomic kelenjar tiroid. Khususnya jaringan tiroid tersebut terletak substernal atau berukuran besar. Identifikasi daerah yang mengalami peningkatn fungsi (hot area) atau penurunan fungsi (cold area) dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. fungsi Meskipun sebagian besar daerah yang mengalami keganasan penurunan fungsi tidak menunjukkan kelainan malignitas, defisiensi akan meningkatknya kemungkinan terjadinya terutama jika hanya terdapat satu daerah yang tidak berfungsi. Pemindaian terhadap keseluruhan tubuh (whole body CT scan) yang diperlukan untuk memperoleh profil seluruh tubuh dapat dilakukan untuk mencari metastasis malignitas pada kelenjar tiroid yang masih berfungsi.

Bentuk cold area Bentuk cold area yang berupa moth eaten appearance mencurigakan keganasan.

- Hubungan cold area dengan daerah sekitarnya. Cold area dengan distribusi jodium yang tidak merata lebih cenderung untuk kelainan metabolik, terutama bila lobus tiroid yang kontralateral untuk membesar. - Hubungan cold area dengan unsur jenis kelamin Cold area pada laki-laki usia tua dan anak-anak lebih menambah kecurigaan akan keganasan.

Hal-hal yang dapat menyebabkan cold area : - Kista. - Hematom. - Struma adenomatosa. - Perdarahan. - Radang. - Keganasan. - Defek kongenital.

Hal-hal yang dpat menyebabkan hot area : - Struma adenomatosa. - Adenoma toksik. - Radang. - Keganasan.

Ultrasonografi Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan kelainan kistik atau solid pada

tiroid. Kelainan solid lebih sering disebabkan keganasan dibanding dengan kelainan kistik. Tetapi kelainan kistikpun dapat disebabkan keganasan meskipun kemungkinannya lebih kecil.

Pemeriksaan radiologik di daerah leher Karsinoma tiroid kadang-kadang disertai perkapuran. Ini sebagai tanda yang

boleh dipegang.

Pemeriksaan Penunjang

1.

Pemeriksaan kadar kalsitonin (untuk pasien dengan kecurigaan karsinoma medulle.

2.

Biopsi jarum halus Pemeriksaan sidik tiroid. Dengan penggunaan yodium bila nodul menangkap yodium tersebut kurang dari tiroid normal disebut nodul dingin. Bila sama afinitasnya disebut nodul hangat. Kalau lebih banyak menangkap yodium disebut nodul panas. Sebagian besar karsinoma tiroid termasuk nodul dingin

3.

4.

Radiologis untuk mencari metastasis Histopatologi.

5.

Masih merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Untuk kasus inoperable, jaringan diambil dengan biopsi insisi.
Manifestasi oral *HIPERTHYROIDISM pada penyakit Thyroid :

Mudah terjadi karies Penyakit periodontal Terjadi pembesaran jaringan glandula thyroid (struma ovarii- di bagian lateral posterior lidah) Percepatan erupsi gigi Gejala mulut serasa terbakar *HIPOTHYROIDSM Tdk makroglosia Glossitis Penundaan resorbsi Dysgeusia terjadi pembesaran glandula saliva

erupsi

gigi tulang

Manifestasi Diabetes

rongga

Mulut

pada dan

Pasien

Penderita Melitus

Melitus

Terkontrol

Diabetes

Tidak Terkontrol
Posted on November 30, 2012

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kelainan dalam metabolisme karbohidrat yang sangat erat kaitannya dengan kondisi kekurangan insulin. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Russoto 1981). Juga dapat ditemukan beberapa manifestasi diabetes pada rongga mulut. selain perubahan pada kadar glukosa, diabetes mellitus juga berhubungan dengan perubahan patofisiologis yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit periodontal. Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa pada pasien penderita penyakit diabetes yang tidak terkontrol memiliki insidensi infeksi fungal dan bakteri penyebab penyakit periodontal lebih besar. Penelitian lain menerangkan bahwa insidensi diabetes mellitus berhubungan dengan hiposalivasi atau xerostomia,

burning

mouth,

hilangnya

kemampuan

mengecap,

perbesaran

glandula

salivarius, candidiasis, lichen planus dan leukoplakia (Russoto, 1981., Albrecht et al, 1992). Dalam penelitian yang dilakukan tanda dan gejala pada rongga mulut yang sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus baik yang terkontrol maupun yang tidak terkontrol adalah hiposalivasi, halitosis gingivitis, dan periodontitis. Penurunan kemampuan merasa , apthous stomatitis sering ditemukan pada rongga mulut pasien yang mengalami diabetes melitus yang tidk terkontrol. Sedangkan adanya sensasi mouth burning sering ditemukam pada pasien yang mengalami diabetes mellitus terkontrol. Pada pemeriksaan rongga mulut, lesi paling umum terlihat pada kedua kelompok adalah Candidiasis, diikuti oleh lesi proliferatif yang ditandai oleh hiperplasia yang kemungkinan dapat menyebabkan neoplasia. Pada pasien yang mengalami diabetes mellitus tidak terkontrol, hiperplasi yang terjadi dapat mengarah pada neoplasia yang bersifat ganas. Hiposalivasi merupakan gejala yang dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus terkontrol maupun tidak terkontrol. Terjadinya hiposalivasi pada pasien diabetes mellitus sangat berhubungan erat dengan kondisi polyuria yang dialami pasien dan berhubungan dengan adanya kelainan fungsi jaringan adipose pada glandula salivarus sehingga dapat menggaggu glandula salivarius dalam sekresi saliva. Sehingga kadar saliva dalam rongga mulut akan cenderung berkurang sehingga menyebabkan gejala mouth burning. Selain itu oemberian obat-obat diuretic behubungan dengan mouth burning. Penurunan produksi saliva dalam rongga mulut berkolerasi dengan peningkatan jumlah jamur candida albicans dalam rongga mulut (Peter, 1970., Oslen, 1974). Adanya peningkatan kadar glukosa dalam saliva akan cenderung mempermudah bakteri dan jamur untuk invasive kedalam epitel mukosa pada rongga mulut. Sehingga mengganggu pertahanan neutrofil dan memfasilitasi pertumbuhan candida. Penyakit periodontal dapat mengakibatkan control metabolic buruk pada pasien diabetes mellitus. Sehingga pemeriksaan rongga mulut secara rutin dan perawatan jaringa periodontal sangat diperlukan oleh pasien yang mengalami diabetes mellitus (Shrimali, Astekar, Sowmya, 2011) Referensi Albrecht M, Banoczy J, Dinya E, Tamas IRG. Occurrence of Oral leukoplakia and lichen planus in diabetes mellitus. J oral Pathol Med 1992;21;364-6.

Oslen I. Denture stomatitis. Occurrence and distribution of fungi. Acta Odont Scand 1974;32;329-33. Peters Rb, Bahn AR, Barens G. Candida albicans in the oral cavities of diabetics. J Debntal Res 1996;45;771-7. Russoto SB. a symptomatic parotid gland enlargement in diabetes mellitus. Oral surg oral med oral pathol 1981;52;594-8. Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Research R ArticleCorrelation of Oral Manifestations in Controlled and Uncontrolled Diabetes Mellitus. International Journl of Oral and Maxillofacial Pathology 2011;2(4):24-27
MANIFESTASI ORAL DM PERIODONTITIS : Manifestasi oral yang penting dr penyakit DM Resistensi jaringan gingiva dan jaringan periodontal menurun krn adanya : - Perubahan komposisi kolagen - Regulasi DM dan oral Hygiene FAKTOR PENCETUS : - Faktor infeksi - Angiopati diabetik - Neuropati diabetik MEKANISME ANGIOPATI PADA JARINGAN PERIODONTAL : Hiperglikemia --> angiopati --> Suplai darah dan O2 menurun --> rusaknya jaringan periodontal --> periodontal, edema gingiva, perdarahan gingiva, gigi tanggal, infeksi bakteri anaerob. NEUROPATI : ( xerostomia, gloosodynia, TMJ disorder) XEROSTOMIA : DM --> Saliva menurun --> SIg A menurun menyebabkan gigi karies, candidiasis PENGARUH INFEKSI RM terhadap DM : Infeksi RM --> pasien DM ( kadar glukosa sulit turun)

TATA LAKSANA PASIEN DM DGN ORAL DIABETIK : 1. Terapi DM harus adekuat 2. Hindari stres, jangan buat / tindakan perawatan terlalu lama --> bila perlu

gunakan penenang 3. Pemilihan Antibiotik 3 antibiotik yng menunjukkan kepekaan tinggi . SAS ( Sefalosforin, aminoglikosida, sulbensilin)

Pada px DM dengan KGD > 250 mg/dl --> Perlu antibiotik dosis tinggi ( karna leukositnya terganggu) DM perlu dibedakan 3 golongan : 1. Resiko rendah : kadar glukosa <> 300 mg/dl

GOLONGAN RESIKO RENDAH : ( KGD <> Tindakan : - Restorasi dan rehabilitasi - Tindakan bedah Bisa dilaksanakan --> adrenalin rendah

GOLONGAN RESIKO SEDANG (KGD 200 - 300 mg/dl): Tindakan : - Regulasi KGD - Restorasi dan rehabilitasi - Tindakan bedah Perhatian : tunggu 1-2 minggu bisa dilaksanakan biasa, sedang (konsultasi)

GOLONGAN RESIKO TINGGI (KGD > 300 mg/dl ) Tindakan : - Regulasi KGD - Restorasi dan rehabilitasi - Tindakan bedah Perhatian: - tunggu 1-3 minggu - tunda (pemeriksaan aja) - rawat inap bila darurat

HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN OLEH DRG DALAM MENGHADAPI PENDERITA DM DGN ORAL DIABETIK :

1. DM gol. resiko rendah (KGD < style="font-weight: bold;">

LESI RONGGA MULUT PADA PASIEN DIABETES 1. ANGULAR CHEILITIS

Merupakan suatu lesi kronis berupa fissure (celah pada sudut bibir, terasa nyeri krn sampai ke membran basalis, daerah sekitar eritema,berupa fisure yg dalam)... seringnya bilateral. Etiologi : jamur candida albicans.. Faktor predisposisi : anemia, usia tua, kebiasaan OH (oral higiene) mulut yg jelek, penggunaan antibiotik yg luas, merupakan penurunan dimensi vertikal Terapi : - tingkatakan kebersihan OH - Anti jamur topikal (nistatin, ketekonazol) - Vitamin B - ANtibiotik jika perlu

2. MEDIAN RHOMBOID GLOSSITIS

suatu bercak licin, gundul, lesi berwarna merah tanpa papilla

filiformis, berbatas jelas, dengan tepi irreguler Lokasi paling sering : garis tengah dorsum lidah Etiologi : candida albicans Predisposisi : pasien Dm, antibiotik spektrum luas, supresi imun

3. BURNING MOUTH SYNDROME Rasa terbakar pada mulut. Predisposisi : infeksi kronis, aliran balik asam lambung, obat2an, kelainan darah, defisiensi nutrisi, ketidak seimbangan hormonal, alergi.

4. MUCORMYCOSIS

5. FISSURED TOUNGE

6. ORAL LICHEN PLANUS

ciri khas lesi berbentuk seperti jala menyilang, dikenal sbagai "wickham striae"..Bersifat kronis Dapat terjadi pada kulit, mukosa atau kulit dan mukosa ETIOLOGI : Belum jelas Predisposisi (faktor pencetus) : - Stress Emosi - Obat-obatan - gangguan imun - DM 6 gambarn LP : atrofik, erosif,papuler, bula (jarang), menyebar (retikuler) , plak

KELUHAN LICHEN PLANUS - Rasa kasar pada mukosa mulut -Sensitivitas thd makanan panas,berbumbu, asam atau pedas - Rasa nyeri yng hilang timbul pd mukosa mulut - Nyeri pada gingiva -Plak putih/ merah pada mukosa mulut - Ulserasi pada mukosa mulut - Gingiva kemerahan POTENSI KEGANASAN Sguamouse Cell Carsinoma terutama pada OLP type erosif dan dlm jangka wktu panjang.

GAMBARAN HPA : - Hiperkeratosis/ Hiperortokeratosis - Stratum basalis lepas dr lamina propria --> terbentuk vakuola (degenerasi hidrofilik) - Infiltrasi sel2 limfosit pada corium bagian atas diduga sbg penyakit auto imun

- Rete peg berbentuk seperti gergaji

TERAPI : 1. Radikal --> dengan bedah 2. Konservatif --> obat2an Obat2an : - Analgesik topiksl/ obat kumur antihistamin - Kortikosteroid topikal ( bethametasone cream, triamcinolone acetonide) - Cryoterapi - Cauterisasi - Injeksi kortikosteroid ( intra oral) - Vitamin A

Pemilihan Terapi berdasarkan pada : - Umur pasien - Tipe dan luas lesi - Lokasi lesi

SARAN BAGI PASIEN OLP : - Hindari faktor predisposisi - Merokok dan konsumsi alkohol dihilangkan - Konsumsi makanan yang bergizi ( buah dan sayuran) - OH ditingkatkan - Kontrol ke drg

You might also like