You are on page 1of 63

Fungsi Wahyu

Menggali dan meneliti kembali asa hidup dan pandangan hidup Islam, kita perlu membuka Al Kitab, mengetahui kehendak dan fungsi Wahyu dalam tata-kehidupan manusia dan mengendalikan kemanusaan sesuai dengan pola dan formula Al-Chalik Maha Pencipta Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Rangkaian wahyu yang kita angkat dibawah ini, adalah meletakkan tangga tempat naik untuk mengenal hakekat (Marifatul-hakekat), apa tujuan dan sengaja Ilahy menciptakan Hidup dan membuat halaman kemanusiaan bercahaya diatas buminya. Wahai manusia sekalian ! Sesungguhnya telah datang kepada kamu satu keterangan dari Tuhan kamu, dan Kami telah turunkan kepadamu satu cahaya yang nyata. Maka adapun mereka yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada Al Qur-an itu, Tuhan akan memasukkan mereka didalam rahmat dan Karunia dari padaNya, dan Ia akan memimpin mereka kejalan yang lurus yang akan menyampaikan mereka kepadaNya. (QS. Annisaa: 175-176) Wahai ahli kitab ! Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menerangkan kepada kamu banyak sekali dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan ia (Rasul itu) tidak memperdulikan banyak lagi kesalahan kamu. Sesungguhnya telah datang kepada kamu dari Allah Cahaya dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu, Allah memimpin orang yang menurut keridlaanNya dijalan keselamatan, dan Kitab itu mengeluarkan mereka daripada belenggu kegelapan kepada cahaya terang dengan idzinNya, dan kitab itu memimpin mereka kejalan yang lurus. (QS. Al Maidah : 15-16) Ini suatu kitab yang kami turunkan kepada kamu, supaya engkau keluarkan manusia dari kungkungan kegelapan kepada Cayaha dengan idzin Tuhan mereka, kejalan Tuhan Yang Maha Gagah, Maha Terpuji. (QS. Ibrahim : 1) Tidak kami turunkan kepadamu Qur-an, supaya engkau jadi susah dan gelisah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut. Diturunkan dari Tuhan yang menjadikan bumi serta langit-langit yang tinggi. Barang siapa yang berpaling dari pada peringatan, maka adalah baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengabulkan dia pada hari Qiyamat dalam keadaan buta. Ia berkata : Wahai Tuhanku ! Mengapakah Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah orang yang melek Ia (Allah) menjawab : Begitulah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi engkau lupakan dia, dan begitulah hari ini engkau dilupakan. Dan begitulah Kami balas orang yang melewati batas, dan tidak ber Iman kepada ayat-ayat Tuhannya, Dan sesungguhnya adzab Achirat lebih pedih dan lebih kekal. (QS. Thaha : 2-4, 124-127) Allah sediakan untuk mereka siksa yang keras, maka hendaklah kamu berbakti kepada Allah, wahai manusia yang berfikir, yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu satu peringatan. Yaitu seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang nyata untuk mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dari belenggu gelap kepada Cahaya terang. Barang siapa ber-Iman kepada Allah dan menjalankan shaleh, pasti Dia masukkan ia kedalam syurga yang mengalir padanya sungai-sungai, dan mereka kekal didalamnya selama-lamanya, sesungguhnya Allah telah menyempurnakan karunia baginya (QS. Atthalaq : 10-11)

Ialah yang menurunkan atas hambaNya perintah yang nyata dan jelas, karena Ia hendak melepaskan kamu dari belenggu kegelapan kepada Cahaya terang, sesungguhnya Allah itu belas kasihan kepada kamu. ( QS. Al Hadied : 9 )

Rangkaian wahyu yang dikemukakan diatas, adalah fundasi-landasan untuk memahamkan apa fungsi dan arti Risalah yang kita bawa ketengah-tengah dunia untuk berbicara dan berkata dalam gelanggang dan halaman kemanusiaan.
Persoalan zaman kita bukanlah lagi berkisar pada ada atau tiadanya Tuhan, tetapi berkisar kepada Tuhan yang mana yang wajib disembah dan di thaati. Bukan lagi berkisar kepada perlu atau tidak perlunya agama, tetapi berkisar kepada Agama yang bagaimana yang sanggup menjawab dan memecahkan persoalan dan tuntutan kemanusiaan, agama yang dapat dijadikan anutan dan pegangan. Bukan lagi berkisar pada perlu atau tidaknya Iman dan kepercayaan, tapi berkisar kepada kepercayaan dan keyakinan yang bagaimana yang sesuai dengan Fithrah-Insaniyyah, dasar kemanusiaan yang asli dan murni. Susunan filsafat demi susunan filsafat, ternyata tidak mampu menyiram kemanusiaan dan kehidupan yang kering dan layu. Filsafat ternyata tidak mampu memecahkan rahasia dan misteria hidup, menunjukkan tujuan hidup kepada manusia. Dawah Islam langsung datang kepada fithrah-Insaniyyah, membuka matahati dan nurani kemanusiaan. Sebagaimana mata biasa tidak mungkin dapat melihat dan menikmati warna yang indah tanpa mata yang dapat melihat, demikian pula matahati dan nurany kemanusiaan tidak akan mampu melihat dan menggunakan hikmah-keagungan Ilahy, tanpa adanya Nur dan Cahaya Wahyu dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Nur dan cahaya Wahyu tidak mungkin pula akan dapat ditangkap oleh hati yang buta dan kemanusiaan yang telah ternoda. Menyambung cahaya besar dengan cahaya kecil, menyambungkan Cahaya Ilahy dengan nurani kemanusiaan, itulah pokok tugas Dawah Islam dalam arti yang umum. Persoalan kemanusiaan zaman kita demikian menyeluruhnya dan penuhnya. Hanyalah dengan berpedoman kepada Al-Kitab, berpedoman kepada Wahyu, Ideologi Dawah Islam akan mampu menjawab dan memecahkan persoalan yang penuh dan menyeluruh itu. Muhammad Ali Jinnah pembangun Negara Islam Pakistan itu pernah berkata :

Bahwasannya Islam itu bukan hanya sekedar rentetan upacara ibadah belaka, tetapi adalah satu hukum, satu syariat yang maha sempurna, mengatur peri kehidupan dan memberikan kesejahteraan kepada pribadi dan masyarakat.
Agama kita yang hanief itu adalah agama yang mahasempurna, diatasnyalah kita hidup menurut ajaran-ajarannya yang luhur, maka sukses-berhasilnya kita bergantung kepada kesediaan dan kerelaan kita mengikuti ajaran-ajaran emas ini, yang dibawa oleh Al Quranul karim dan ditafsirkan oleh Nabi yang besar dengan ucapan dan perbuatannya.

Al Ustadzul Imam Prof. Syech Muhammad Abduh dalam Muqadimah Tafsirnya (Al-Hakiem) menulis :

....... saya yakin sungguh, sebab kelumpuhan dan kelemahan kaum Muslimin adalah oleh karena mereka telah berpaling dari pimpinan Al-Qur-an. Kemuliaan mereka, kemenangan mereka dan hak milik kekuasaan mereka tidaklah akan pulih kembali kepada mereka, kecuali jika mereka telah kembali kepada pimpinan Al-Qur-an, menthaati petunjuknya dan memegang teguh talinya, sebagaimana yang mereka dapat lihat dan mengetahui yang demikian itu dengan jelasnya dalam ayat-ayat yang menerangkan demikian itu.

Dengarlah seorang Barat Prof. M. Thonnon ikut menyalahkan Ummat Islam tatkala dia menulis :
....... Tuan orang Timur sangat gemar meniru kami orang Barat : tetapi yang tuan tiru itu ialah perkaraperkara yang amat rendah, kerusakan-kerusakan dan hal-hal yang sama sekali tidak berguna, bahkan tuan sangat gemar meniru kami dalam perkara yang oleh orang Barat sendiri dianggap penyakit yang merusakkan tubuh, dan orang terpelajar Barat memerangi dan membasminya. Jikalau tuan ingin berkemajuan yang sebenar-benarnya dan ingin berdiri sama tinggi dengan kami, maka pertama-tama pegang teguhlah agamamu, sebab aku dapatkan Al-Qur-an itu berisi pengajaran yang amat luhur, cukup mengatur peri lahir dan bathinmu

Nabi Muhammad SAW yang telah memenangkan keyakinan Islam dan berhasil menegakkan Negara Islam yang pertama di Madinah, pada sahir hayatnya meninggalkan pesan dan wasiat kepada Muslimin :
Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu (tuntunan) manakala kamu berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan sesat selama-lemanya, suatu ketentuan yang cukup jelas yaitu Kitab Allah dan Sunnah NabiNya

Perjuangan Nabi telah menang dan berhasil menegakkan Daulah dan Hukumah, Syaukah dan Kekuasaan yang berupa Madinatul Munawarah, namun beliau tidak meninggalkan pesan bahwa beliau meninggalkan negara sebagai warisan kepada Ummatnya, tetapi hanyalah Al-Qur-an dan dan Sunnah, harta lama pusaka bersama bagi kaum Muslimin.
Wasiat terachir itu mengajarkan kepada kita bahwa Negara, Daulah dan Hukumah, kekuasaan dibumi hanyalah natijah atau akibat dari berpegang teguhnya kaum Muslimin kepada Qur-an dan Sunnah. Kekuasaan akan lenyap, kemuliaan akan runtuh, persatuan akan binasa, Daulah dan Hukumah akan bertukar dengan perbudakan dan perhambaan, jikalau Ummat Islam telah lepas dari pimpinan Al-Quran dan Sunnah. Berabad-abad Dunia Islam dalam kungkungan dan belenggu imperialisme Nasrani. Chilafah Umaiyah, Abbasiah, Fathimiyah, Usmaniyah runtuh semuanya, dan kekuasaan direbut oleh kaum imperialis, karena kaum Muslimin telah lari dari pimpinan Al-Qur-an dan Sunnah. Keadaan yang demikian itu, telah diramalkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah Hadiets : Kamu sekalian senantiasa akan ditolong oleh Allah untuk mengalahkan musuh-musuh kamu, selama kamu tetap memegang teguh Sunnahku. Sekiranya kamu telah keluar dari Sunnahku, Allah akan menurunkan pemerintahan atas kamu semua dari pada musuh-musuh kamu orang yang menakutnakuti kamu. Maka tidak akan dicabut rasa takut dari hati kamu kembali sebelum menthaati Sunnahku.

Kekuasaan, kekuatan, kebebasan dan kemuliaan yang dijanjikan dalam Al-Qur-an kepada Ummat Islam, tidak akan diberikan selama mereka tidak berpegang teguh secara konsekwen kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Ummat yang sudah lepas dari pimpinan Qur-an dan Sunnah, tidak berhak memiliki kemuliaan dan kebesaran, tidak berhak mewarisi bumi sebagai chalifah, penguasa atasnya. Ideologi Dawah Islam sepenuhnya harus bersumber kepada Qur-an dan Sunnah. Dengan Qur-an dan Sunnah kaum Muslimin berbicara kepada manusia, ikut memberikan sumbangannya untuk membangun bangsa dan negara, membangun dunia dan kemanusiaan yang bersalam dan berbahagia. Ummat Islam tidak akan mampu berbuat baik, ber-amar maruf dan ber-nahi munkar dimuka bumi, memberi sumbangan kepada kemanusiaandan kebudayaan, ekonomi dan politik, sosial dan masyarakat, jikalau Ummat Islam tidak berpedoman kepada Qur-an dan Sunnah. Hanya itulah satu-satunya harta-kekayaan kita, milik pusaka kita. Setelah bebas dan lepasnya bangsa-bangsa Afro-Asia dari belenggu imperialisme Barat, dan zaman kita ditandai oleh kiamatnya imperialisme dan kolonialisme, bangsa-bangsa Afro-Asia dan dunia umumnya kini menghadapi pembangunan dalam segala lapangan : pembangunan bangsa dan negara, pembangunan dunia dan kemanusiaan, perdamaian yang abadi dan sejati. Kaum Muslimin seantero nation harus aktif memberikan sumbangan yang positif untuk membangun dunia dan kemanusiaan itu. Ummat Islam tidak boleh pasif dan statis membiarkan pembangunan dunia tanpa mendengar suara dan bahasa kaum Muslimin. Sebagai Ummatan wasathan, Ummat penengah, Ummat Risalah kita bertanggung jawab atas jalan dan perkembangan dunia dan kemanusiaan. Kita dibangkitkan untuk peri-kemanusiaan. Kita harus aktif menyumbangkan harta kita kepada kemanusiaan, menyumbangkan apa yang kita miliki untuk membangun dunia kembali diatas puing reruntuhan dunia lama. Karena karunia Ilahy ummat Islam didunia sekarang banyak yang memegang kekuasaan dalam negara-negara yang baru merdeka. Sebagai Muslim dia menerima pesan amanat dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membawa dan melaksanakan ajaran dan syariat Islam didaerah kekuasaannya. Kemukakan ajaran Islam kepada manusia. Gempitakan suara Islam dalam segala pertemuan; nasional dan internasional. Jikalau Ayub Khan dari Pakistan, Amir Faisal dari Haramain, dan lain-lain kepala dari negara Muslimin didunia mengatur kerjasama yang rapi, membawa dan memperjuangkan ajaran Islam untuk membangun dunia dan kemanusiaan kembali, wahai, dalam waktu yang dekat Dunia Islam akan beroleh kembali kedudukannya sebagai pemimpin dan penengah didunia. Negara dan bangsa-bangsa Afro-Asia yang kini bergolak mengusir penjajah, banyak terdiri dari kaum Muslimin yang terikat oleh Aqidah yang satu dan keyakinan yang serupa, yalah Qur-an dan Sunnah. Tidak ada alasan yang dapat menghalangi mereka untuk mengadakan kerjasama dalam menghadapi masalah dunia dan manusia. Seluruh Ummat Islam memberikan harapan dan kepercayaan kepada para putera Islam yang kebetulan kini sedang memegang pemerintahan negara, agar mereka membuktikan ke Islamannya dalam praktek kenyataan, melaksanakan hukum dan syariat Islam dalam lapangan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Pena dan pedang Syuhada yang membina Haramain, Pakistan, Suria dan Mesir dan lain-lain negara Muslimin lainnya memesankan, agar diatas bumi yang telah merdeka itu tegak Daulah dan Hukumah Islamiyah.
Dienul Islam sebagai Undang-undang Ilahy dilapangan syachsiyyah dan ijtimaiyyah, menuntut muthlak-perlu adanya Daulah dan Hukumah Islamiyah itu.

Qur-an dan Hadits, hakum dan syariat dan syariat Islamiyah tidak berkaki dan bertahan, tidak bisa berjalan sendiri. Qur-an dan Hadits, hukum dan syariat Islam memerlukan kekuasaan duniawi (weldlijke macht), yang berhak memerintah dan menegah manusia. Kekuasaan itu yang berwenang untuk melaksanakan amar maruf nahi munkar, tugas pokok dari setiap Mumin yang memahami fungsi dan misinya didunia.

Kamu terimalah Kitab yang Aku berikan kepada kamu dengan kekuatan, dan ingatlah apa yang tersebut didalamnya supaya kamu menjadi orang Taqwa.
Kamu terimalah Kitab yang Aku berikan kepada kamu dengan kekuatan dan dengarkanlah betul-betul. (QS. Al Baqarah : 63, 93 ; Al Araf : 17)

Ayat-ayat diatas secara langsung juga berbicara kepada Amir Faisal, Ayub Khan dan lain-lain putera Islam yang memegang kekuasaan negara, agar mereka menggunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, untuk Izzul Islam wal Muslimin.
Di Indonesia warganegaranya tidak kurang dari 95% yang beragama Islam. Para penjabat Negara dari pusat sampai ke Rukun Tetangga terdiri dari sebagian besar Ummat Islam, mempunyai kewajiban moril dan formil untuk menjalankan syariat Islam (Syariyyah Islamiyah), seperti yang diamanatkan oleh Piagam Jakarta yang terkenal itu. Kewajiban moril karena kita adalah kaum Muslimin, dan formil konstitusionil karena Piagam Jakarta tidak boleh dipisahkan dengan UUD 45; kedua-duanya memberi landasan kebijaksanaan untuk melakukan itu. Adalah kewajiban Ulama dan Sarjana Islam untuk memberi bekal dan sumbangan kepada para pemimpin negara diseluruh dunia, terutama di Afro-Asia yang para Umaranya banyak terdiri dari kaum Muslimin. Dalam bidang ini Mujahid Dawah (Muballigh Islam) dapat memberikan darmabaktinya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya pula. Ber-Dawah kepada para Pemimpin Negara supaya dengan kekuasaan dan syaukah yang ditangan mereka, Islam dipakai untuk membangun masyarakat dan negara. Menegakkan Qur-an dan Sunnah, menggunakan dia menjadi asas pembangunan untuk kebahagiaan rakyat, menciptakan mashlahatuljamaah, bahagia bersama. Jikalau kita menyebut beberapa kepala Negara diatas agar merintis perjuangan Qur-an dan Sunnah dengan kuasa dan wewenang yang ada ditangannya, adalah dengan kesadaran, bahwa mereka adalah pendukung Qur-an dan Sunnah itu. Bukankah Negara Saudi Arabia yang pimpinannya sekarang (1964) ditangan Amir Faisal adalah jerih payah dari perjuangan besar Syechul Islam Muhammad bin Abdulwahhab, yang memperjuangkan Qur-an dan Sunnah itu dengan pena dan pedang ? Bukankah Negara Pakistan tidak bisa dipisahkan dengan peletak dasar yang pertama, pujangga dan sarjana Islam yang masyhur Muhammad Iqbal ? Nation building yang kini kita jadikan thema pokok dalam segala kegiatan, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan reformasi dan modernisasi dalam batang tubuhnya Ummat Islam sendiri, justru Ummat Islam adalah golongan mayorita dinegeri ini. Nation Building dan reformisme-modernisme Islam pada hakekatnya adalah satu, seperti satunya jasmani dan ruhani, jiwa dan jasad. Ajaran Islam yang murni dan asli (Qur-an dan Sunnah) bukan saja berguna untuk nation building kita, tetapi untuk membangun dunia baru yang bebas dari perbudakan dan perhambaan.

Islam yang tidak bersumber kepada Qur-an dan Sunnah, yang penuh dengan churafat, syirik, bidah dan sebagainya, tidak mungkin dapat memberikan sahamnya untuk nation building dan character building. Islam yang sudah dikebiri dan dilucuti oleh seribu satu penyakit yang ditumbuhkan oleh Ummat Islam sendiri, tidak akan mampuh memberikan sumbangannya bagi pembangunan Bangsa, Negara dan Dunia. Dari seorang fakir-miskin tak ada kewajiban zakat yang harus dibayarnya, malah dia yang berhak menerima zakat. Ummat yang tidak berpegang kepada Qur-an dan Sunnah (Ummat Islam) tidak mempunyai apa-apa yang dapat disumbangkannya kepada Dunia dan Manusia, malah tidak berhak berbicara atas nama Ummat Islam. Rumus Ideologi Dawah yang bersumber kepada Qur-an dan Sunnah, hanya itu sajalah yang dapat kita ketengahkan kepada manusia, sebagai pilihan dan alternatif untuk mengembangkan kehidupan, mengedalikan kemanusiaan, membuat Negara dan Dunia ini menjadi bahagia dan bercahaya buat semuanya.

NAAN METODOLOGI Sejak kedatangan Islam abad ke-13 hingga saat ini, pemahaman tentang ke-Islaman ummat Islam di Indonesia sangat variatif. Keadaan ini juga terjadi pada negara lain. Gejala seperti ini apakah memang sudah alami yang menjadi sebuah kenyataan untuk bisa diambil hikmahnya, ataukah diperlukan standart umum untuk bisa mengetahui keadaan yang variatif seperti ini. Sehingga sesuatu yang variatif ini tidak keluar dari ajaran yang tekandung dalam al-Quran dan As-Sunnah sehingga tidak akan keluar dari keabsahannya. Adanya sejumlah orang yang pengetahuan tentang ke-Islamannya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistemik. Karena orang tidak menerima Islam secara sistemik maka antara guru satu dengan yang lainnya tidak akan pernah ketemu karena tidak sebuah silabus yang mengacu menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, misalkan ada orang yang menguasi ilmu Fiqh tetapi tidak memahami ilmu-ilmu yang lain setiap ada masalah jawabannya selalu ilmu fiqh yang diberikan. Kalau kepada mereka tentang bagaimana cara mengatasi masalah pelacuran maka yang ada hanya bagaimana menghancurkan tempat pelacuran tersebut. Padahal tidak bisa mengatasi persoalan pelacuran menghancurkan tempatnya saja, karena dalam masalah itu tidak serta merta hanya masalah pelacuran tetapi ada masalah yang lauin yaitu ketenaga kerjaan, kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perekonomian dan sebagainya. B. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG ISLAM Ada dua sisi yang dapat digunakan untuk memahami pengertian Agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kebahasaan Islam dari bahasa Arab salima selamat, sentosa dan damai. Kemudian Aslama berserah diri masuk dalam kedamaian. NUR CHOLIS MAJID : Sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian islam. MAULANA MUHAMMAD ALI : Islam adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokok yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan ummat manusia menjadi bukti nyata. Dari sisi peristilahan dalam memberi pengertian para ilmuwan beragama dalam memberi

pengertian antara lain adalah : Ahmad Abdullah Al-Masdoosi (1962) : Islam adalah Kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya terakhir dan sempurna dalam al-Quran yang suci yang diwahyukan Tuhan Kepada Nabi-Nya yang terakhir yakni Nabi Muhammad Ibnu Abdullah, satu kaidah yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia baik spritual maupun material. Pengertian Islam menurut Maulana Ali dapat dipahami dari Firman Allah surat Al-Baqorah ayat 208 : Hai Orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Kedamaian/Islam secara menyeluruh dan jangan kamu ikuti langkah-langkah Setan. Sesungguhnya setan musuh yang nyata bagimu Kata yang dalam ayat diatas diterjemahkan kedamaian atas Islam, makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. HARUN NASUTION: Islam sebagai agama adalah agama yang ajaran-ajaranya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya satu segi, tetapi mengenai beberapa segi dari kehidupan manusia. ORIENTALIS : islam sering di identikkan dengan Mohammadanism dan Mohammedan. Peristilahan ini disamakan pada umumnya agama diluar Islam yang namanya disandarkan kepada nama pendirinya. Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasul-Nya berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta. C. AKIBAT YANG TIMBUL DARI PEMAHAMAN ISLAM Perjalanan Islam samapi kini telah melampui kurun waktu lima belas abad dan dipeluk oleh manusia diseluruh penjuru dunia. Pemikiran Islam dapat diibaratkan dengan sebagai sungai yang besar dan panjang. Wajar jika sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta mengalir pada alur sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian melebar, berliku-liku dan bercabang-cabang. Airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan sampah. Geraknyapun menjadi lamban. Setiap pemikiran yang kemudian didukung oleh sekelompok orang, idenya muncul dan nafasnya dihembuskan oleh semangat tokoh pemikir. Setiap pemikir ketika melontarkan gagasan atau buah pikirannya tidak lepas oleh situasi lingkungan yang dihadapi , pandangan hidup dan sikap politiknya. Menurut Sosiologi pemikiran teologi dan filosofi selalu terkait dengan politik atau kemasyarakatan, demikian juga sebaliknya. Jika teori ini benar, maka kajian pemikiran Islam hanya dibagi dalam bidang teologi (kalam), sufisme dan filsafat saja dengan meninggalkan

ketatanegaraan(politik) dan hukum, menjadi sebuah kajian yang tidak lengkap. Dengan demikian untuk menghasilkan Islam secara utuh dan menyeluruh perlu menatapnya dari berbagai situasi yang mengitari disekitar kalahiran Islam tersebut serta tokoh-tokoh yang mengembangkannya. Pencampuradukkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai rangka historis bagi pengembangan budaya dan peradaban telah dilanggengkan dan pernah berkembang lebih kompleks hingga hari ini. Namun demikian, masyarakat-masyarakat Islam harus dikaji dalam dan untuk diri sendiri. Mempelajari Islam dengan metode ilmiah saja tidak cukup, karena metode dan pendekatan dalam memahami Islam yang demikian itu masih perlu dilengkapi dengan metode yang bersifat teologis dan normatif. Untuk itu dalam memahami dan menelaah ajaran Islam yang ada dalam buku-buku ilmiah terkadang perlu kita cermati apakah ajaran ini persial atau apakah sudah komprehensif. D. BEBERAPA METODE MEMAHAMI ISLAM Kami mencoba menelusuri metode memahami Islam sepanjang yang dapat dijumpai dari berbagai literaratur ke-islaman. Dalam buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syariati dijumpai uraian singkat tentang metode memahami yang pada intinya Islam harus di lihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup apabila kita memahami secara keseluruhan. Ali Syariati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam a. Dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain b. Dengan mempelajari Kitab suci Al-Quran dan membandingkan dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya. c. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembahruan yang pernah hidup dalam sejarah. d. Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain. Pada intinya metode ini adalah metode komparasi (perbandingan). Secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki obyektifitas. Selain dengan menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syariati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat. NASRUDDIN RAZAK metode memahami Islam sama dengan Ali Syariati menawarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap

yang hormat bagi pemeluk agama lainnya. Untuk memahami agama Islam secara benar Nasruddin Razak mengajukan empat cara : 1. Islam harus dipelajari dari sumber aslinya Al-Quran dan hadits. Kekeliruan memahami Islam, karena orang mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Quran dan Al-Sunah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, yakni bercampur dengan hal-hal yang tidak islami jauh dari ajaran islam yang murni. 2. Islam harus di pelajari dengan integral, tidak dengan cara persial artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara persial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan. 3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari. 4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan teologi normatif yang ada dalam al-Quran, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat. Selain itu Mukti Ali juga mengajukan pendapat tentang metode memahami Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Syariati yang menekankan pentingnya melihat Islam secara menyeluruh. Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan, apabila kita melihat Islam hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat satu dimensi dari fenomena-fenomena yang multi faset (terdiri dari banyak segi), sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam seharusnya dipahami secara bulat, yaitu pemahaman Islam dipahami secara komprehensif. Metode lain yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini banyak ahli sosiologi dianggap obyentif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Metode ini juga untuk memahami agama Islam, juga agama-agama lain, kita dapat mengindentifikasi lima aspek dari ciri yang sama dari agama lain, yaitu 1)aspek ketuhanan 2)aspek kenabian 3)aspek kitab suci dan 4)aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Dari beberapa metode diatas kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami Islam secara garis besar ada dua macam. Pertama metode Komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya, dengan demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua, Metode sintesis yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional obyektif, kritis dan seterusnya dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulai dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama bersal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan Mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagai norma ajaran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang secara

keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologi normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh dan militan pada Islam, sedangkan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM | TASAWUF Rating tidak diperbolehkan

Melaporkan penyalahgunaan Bagikan Paham Teologis-Normatif dalam Islam tak dapat terlepas dari pemahaman mengenai kondisi obyektif masyarakat. Sehingga cara befikir teologis disini berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, seperti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Latar belakang penyebab lain timbulnya paham Teologis-Normatif adalah karena berkembang pesatnya paham teologi teo-centris yang berkembang di dunia Islam, yakni teologi Asyariyah. Harun Nasution dalam bukunya teologi Islam, dalam kaitannya dengan peranan akal Asyariyah berpendapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui baik dan jahat serta kewajiban mengetahui yang baik dan menjauhi yang buruk tidak dapat dicapai oleh akal, melainkan harus melalui wahyu yang disampaikan oleh Tuhan. Hal ini memang dapat dapat dibenarkan, bahwa segala sesuatu dalam beragama tak dapat selalu diisolaikan dengan akal atau rasional manusia. Karena akal yang diberi oleh Tuhan punya keterbatasan dalam membuka hijabNya. Namun sampai sekarang kita belum tahu dimana batasan akal yang kita miliki. Keyakinan pada wahyu inilah yang menjadi salah satu faktor timbulnya paham TeologisNormatif ini berkembang. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaun Asyariah. Al-Dawwani pernah berkata, salah satu fungsi wahyu ialah member tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Faktor lainnya dari latar belakang paham Teologis-Normatif ialah karena sikap yang kurang percaya kepada pendapat akal manusia. Hal ini dikarenakan pendapat akal manusia kadang melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Sehingga pada pendapat akal yang salah dapat menyesatkan atau menyalahkan manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. METODE MEMAHAMI ISLAM Oleh Rustina N Untuk memahami Islam secara komprehensi dan tepat diperlukan metode. Berikut ini beberapa metode yang ditawarkan oleh ilmuwan muslim yang dapat membantu seorang muslim memahami agamanya. Ali Syariati dalam bukunya Tentang Sosiologi Islam menguraikan secara singkat tentang metode memahami Islam yang pada intinya bahwa Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Menurutnya, jika Islam ditinjau dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin pandangan kita itu akan tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alquran yang memiliki banyak dimensi, misalnya aspek lingustik dan

sastra yang telah banyak dipelajari. Demikian juga aspek-aspek filosofis dan keimanan Alquran yang telah banyak dikaji oleh filosof dan teolog. Sementara dimensi manusiawinya yang mengandung aspek historis, sosiologis dan psikologis belum banyak dikaji. Aspek-aspek tersebut seharusnya dikaji untuk menghasilkan pemahaman Islam secara menyeluruh. Secara teknis, Ali Syariati menawarkan berbagai cara memahami Islam yang pada intinya adalah melalui metode perbandingan serta melalui pendekatan aliran. Metode perbandingan atau komparasi dengan cara membandingkan Alquran dengan kitab-kitab samawi lainnya, mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah, mempelajari tokohtokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama atau aliran-aliran pemikiran lain. Adapun cara kedua dalam memahami Islam menurut Ali Syariati adalah melalui pendekatan aliran, yakni para intelektual muslim memikul tugas dan amanah untuk memahami Islam, mengkajinya sesuai dengan bidangnya masingmasing untuk menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam demi masa depan ummat manusia yang lebih baik dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah. Selanjutnya terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razak yang hampir sama dengan konsep Ali Syariati, yaitu metode memahami islam secara menyeluruh. Ia mengajukan empat cara, yaitu, pertama, islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan al-Sunnah, bukan hanya dari sebagian ulama dan pemeluknya, atau hanya dari kitab-kitab filih dan tasawuf; kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja; ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zuamaa dan sarjana-sarjana Islam karena mereka pada umumnya memiliki pemahaman Islam yang baik yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Alquran dan Sunnah serta praktek ibadah yang dilakukan setiap hari. Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Alquran lalu dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Memahami Islam dengan cara keempat sebagaimana disebutkan di atas sangat diperlukan dalam upaya menunjukkan peran sosial dan kemanusiaan dari ajaran Islam itu sendiri. Amin Abdullah dan Mukti Ali juga menawarkan dua metode memahami Islam, yaitu bahwa untuk melihat Islam sebagai sebuah disiplin ilmu (islamic studies) dapat digunakan pendekatan ilmiah yang ciri-cirinya rasional, empiris,obyektif Sedangkan untuk melihat Islam sebagai agama dapat digunakan pendekatan normatif teologis. Mukti Ali melihat bahwa untuk melihat Islam sebagai sebuah agama dapat digunakan metode doktriner dan untuk melihat Islam sebagai sebuah disiplin ilmu, dapat digunakan metode ilmiah dengan ciri-ciri rasional, empiris, obyektif yang selanjutnya disebut pendekatan sintesis. Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi, yaitu mengklasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, serta agama lain kita dapat menidentifikasi lima aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci, aspek keadaan sewaktu munculnya Nabi dan orang-orang yang

didakwahi serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Selanjutnya untuk memahami Islam dapat pula dilakukan dengan memahami kitab sucinya dan mempelajari pribadi Muhammad bin Abdullah, serta meneliti suasana dan situasi di mana Nabi Muhammad bangkit. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua metode yang dapat ditempuh untuk memahami Islam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam dengan agama lain sehingga dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif,empiris, kritis dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode teologis normatif digunakan untuk memahmi Islam yang terkandung dalam kitab suci. Metode teologis normatif dimulai dari keyakinan bahwa Islam sebagai agama mutlak benar dengan alasan karena agama berasal dari Tuhan dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimmana norma ajaran yang berkaitan dengan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang tergolong tua usianya dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada Islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang nilai tergolong muda usianya dapat dihasilkan kemampuan menerapkan Islam yang diyakini dan dicintainya dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Metode-metode yang digunakan untuk memahi Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang harus terus digali oleh pembaharu. (Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 104-115).

METODE MEMAHAMI AGAMA ISLAM


Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal : Metode Memahami Agama Islam : H. A. Mukti Ali : PT. Bulan Bintang : 1991 : xvi + 233 halaman (termasuk biografi singkat)

Persoalan metodologi selalu menjadi perhatian utama para ilmuwan atau peneliti ketika membahas suatu objek kajian. Hal ini diperlukan untuk menghasilkan penelitian yang seobjektif mungkin dan seilmiah mungkin.

Pada bagian pertama bukunya ini, yang membahas tentang "Ulama dan Pesantren" Mukti Ali menerangkan ciri-ciri pesantren kemudian menyatakan bahwa sistem pesantren baik dalam pendidikannya, tetapi tidak baik dalam pengajarannya. Ia lalu mengusulkan bahwa sistem pengajaran dan pendidikan yang paling baik di Indonesia adalah madrasah dalam pesantren. (hlm. v)

Pada bagian kedua bukunya, Mukti Ali mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting daripada filsafat, sains, hanya hanya mempunyai bakat. (hlm. 27)

Demikian pula halnya ketika mengkaji tentang Islam, diperlukan suatu metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan metodologi itu, Islam dapat dipahami secara objektif, benar, ilmiah, tidak emosional, sistematis, tidak subjektif, dan lain-lain. Pertanyaannya adalah bagaimana metode yang baik itu? Orang-orang Barat yang mengkaji Islam menggunakan metode naturalistik, psikologis, atau sosiologis. Mukti Ali menganjurkan para peneliti Muslim untuk menggunakannya. (hlm. 31)

Walaupun demikian, ia tetap mengkritik cara Barat (orientalis) dalam mempelajari Islam yang hanya mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya adalah penelitiannya menarik, tetapi mereka sebenarnya belum mengerti Islam secara utuh. Mereka hanya mengetahui kulit luarnya agama Islam. (hlm. 32)

Para ulama pun mendapatkan kritik dari guru besar Ilmu Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Menurutnya, para ulama sudah terbiasa memahami ajaran Islam dengan cara doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat. Akibatnya, penafsirannya tidak dapat diterapkan dalam masyarakat, sehingga timbul kesan bahwa Islam sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak sesuai dengan alam pembangunan ini. Ia lalu menawarkan pendekatan baru dalam memahami Islam yaitu pendekatan ilmiah-cumdoktriner atau dengan kata lain metode sintesis. (hlm. 32)

Mukti Ali mengajukan metode Ali Syari'ati dalam memahami agama Islam. Ali Syari'ati membandingkan agama dengan manusia. Untuk memahami manusia, maka ada dua cara yang harus ditempuh yaitu, mempelajari hasil karyanya dan mempelajari biografinya.

Adapun cara pertama, seseorang harus mempelajari dan meneliti hasil karyanya. Karya-karya yang dimaksudkan di sini adalah karangan-karangan intelektualnya atau karya-karya ilmiahnya, teori-teori yang digunakannya, berbagai pidato dan kuliahnya, buku-buku yang ditulisnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ide dan kepercayaannya sebagai pendahuluan yang harus dilakukan untuk mengetahui orang tersebut. (hlm. 3334)

Cara pertama dianggap tidak mencukupi. Seseorang yang ingin mengetahui orang itu lebih jauh, maka ia harus menenpuh cara yang kedua, yaitu mempelajari biografinya. Hal-hal yang berkaitan dengan itu adalah di mana tempat lahir, kapan ia lahir, bagaimana keluarganya, sukunya, rasnya, negerinya, bagaimana hidupnya ketika masih kecil, bagaimana kehidupan pendidikan yang diberikan kepadanya, dalam lingkungan apa ia dibesarkan, di mana ia belajar, apa yang dia pelajari, siapa saja guru-gurunya, kejadian-

kejadian penting apa saja yang pernah dialami dalam kehidupannya, apa saja kegagalan yang ia alami dan apa saja kesuksesan yang ia dapatkan? (hlm. 34)

Apabila metode di atas diterapkan pada agama Islam, maka yang dipelajari darinya adalah pertama, al-Quran yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan literer yang terkenal dengan Islam. Kedua, pelajaran tentang sejarah Islam, yaitu mempelajari tentang perkembangan Islam sejak awal misi Nabi Muhammad saw. hingga sekarang. (hlm. 34)

Selain metode di atas, Mukti Ali juga menawarkan metode lain dalam memahami Islam. Metode yang dimaksud adalah metode tipologi. Cara kerja metode ini adalah mengklasifikasikan topik dan tema sesuai dengan tipenya, kemudian dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini dianggap banyak digunakan oleh para sarjana Barat dalam memahami manusia. (hlm. 37)

Apabila metode ini diterapkan pada agama, maka setidaknya ada lima aspek atau ciri yang bisa diidentifikasi pada semua agama. Kelima aspek tersebut adalah 1) Tuhan; 2) Nabi; 3) Kitab; 4) keadaan sekitar ketika munculnya sang nabi dan keadaan orangorang yang didakwahi; dan 5) pribadi-pribadi pilihan hasil didikan agama tersebut. (hlm. 37-38)

Jika metode di atas diterapkan pada Islam, maka yang harus dipelajari adalah, 1) Allah swt. yang berkaitan dengan tipe, konsep, gambaran, dan ciri-ciri Tuhan yang dibahas dalam Islam (hlm. 38); 2) al-Qur'an sebagai kitab suci agama Islam (hlm. 38-39); 3) pribadi Rasulullah saw. (hlm. 39); 4) sejarah bangsa Arab ketika Nabi Muhammad saw. pertama kali muncul (hlm. 40); 5) sejarah orang-orang yang berjuang pertama kali bersama Nabi saw. seperti Khadijah (mewakili wanita), Abu Bakar ash-Shiddiq

(mewakili orang kaya yang terhormat), Ali bin Abi Thalib (mewakili pemuda), Bilal bin Rabah (mewakili budak yang dianggap hina dina oleh kaumnya kala itu). (42)

Pada bagian ketiga bukunya, Mukti Ali mengkritik Muhammadiyah yang menggunakan al-Qur'an, Sunnah, dan Ijtihad sebagai metode pendekatan yang digunakan, tetapi Muhammadiyah sendiri belum menghasilkan karya tentang Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Padahal, saat ini diperlukan pengetahuan tentang ajaran Islam yang komprehensif atau menyeluruh yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. (hlm. 45)

Mukti Ali kemudian memberikan beberapa contoh buku yang membahas tentang Islam secara komprehensif. Beberapa contoh tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok sesuai dengan tujuan dan sasaran penulisannya.

Kelompok pertama adalah buku-buku yang sengaja ditujukan kepada kelompok khusus seperti khusus ditujukan kepada non-muslim atau ditujukan kepada para intelektual. Beberapa contoh buku tersebut adalah, 1) Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, dua jilid, 126 dan 122 halaman, cetakan kedua (Jakarta: UI Press, 1978); 2) Abu A'la Maududi, Towards Understanding Islam, cetakan kesebelas, 179 halaman (lahore: Islamic Publication, 1967); 3) Ahmad A. Galwash, The Religion of Islam, dua jilid, 260 dan 244 halaman (Doha, Qatar: Dar al-Uloom, 1973); 4) Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, cetakan ketiga, 575 halaman (al-Magrib: dar at-Tiba'ah al-Haditsah, 1397/ 1977). (hlm. 46-47)

Kelompok kedua adalah buku yang ditujukan tidak kepada kelompok khusus. Beberapa contoh kelompok ini adalah, 1) Hamka, Pelajaran Agama Islam, cetakan

kelima, 408 halaman (Jakarta: Bulan Bintang, 1973); 2) Mahmoud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah, cetakan ketiga, 570 halaman (Cairo: Dar al-Qalam, 1966). (hlm. 47)

Kelompok ketiga adalah buku yang mempunyai ciri khusus yaitu berusaha untuk mempertahan Islam dari serangan-serangan dan berbagai tuduhan orang-orang Barat. Contoh buku tersebut adalah Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, 784 halaman (Cairo: The Arab Writer Publication & Printers, t.t.). (hlm. 47)

Adapun kekurangan buku ini menurut penulis adalah, 1. Seringnya terjadi pengulangan pembahasan di berbagai tempat. Hal ini terjadi disebabkan karena materi buku ini merupakan materi pidato dan prasaran yang di sampaikan di berbagai tempat.

2. Buku ini berjudul tentang "metode memahami Agama Islam" yang dalam bayangan penulis buku ini membahas secara tuntas tentang berbagai metode yang digunakan dalam memahami agama Islam, tetapi ternyata hanya bagian pertama, kedua, dan ketiga yang membahas metode yang dimaksudkan tersebut, selainnya lebih berbicara tentang sejarah Muhammadiyah dan pendirinya, dan sejarah tokoh lainnya.

3. Buku ini tidak dilengkapi dengan foonote dan daftar pustaka, sehingga sulit untuk melacak referensi yang digunakan penulis.

4. Buku ini tidak dilengkapi dengan indeks, sehingga untuk mencari atau memeriksa kata-kata yang dibutuhkan secara cepat.

5. Buku ini tidak diantarkan oleh penulis lain selain Mukti Ali sendiri. Kata pengantar dari tokoh lain sangat penting untuk informasi awal dari suatu buku agar tidak terkesan subjektif.

6. Biodata penulis kurang memadai atau kurang lengkap karena hanya mencantumkan jabatan dan bukunya yang baru terbit. Padahal informasi yang tidak kalah pentingnya adalah kapan ia lahir, di mana ia lahir bagaimana latar belakang pendidikannya, dan berbagai informasi lainnya.

Rabu, 04 November 2009

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM


PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM

Pendahuluan Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Penelitian antropologi Grounded Research adalah penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya

dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious atau mystical event. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan,

santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religiokulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partaipartai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia. Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masingmasing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting. Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budayabudaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia

sebut sebagai "international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmuilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan crossculture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tidak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati. Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami. Sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayahwilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang

dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama. Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi. Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru. Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial. Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.

Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable. Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandanganpandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi

manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulangulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern. Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia. Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial. Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalanpersoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusiatermasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an

menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition. Agama Sebagai Sistem Budaya Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: "A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic." Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi

tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan Antropologi Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif. Antropologi pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara berkembang) sangat urgen sebagai pisau analisis untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga, antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing. Pada dataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Dan hubungan dengan ini pula, ada bermacam-macam antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan, antropologi agama,

antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain sebagainya. Grace de Raguna, seorang filsuf wanita pada tahun 1941, menyampaikna pidatonya dihadapan American Philosophical Association Eastern Division, bahwa antropologi telah memberi lebih banyak kejelasan tentang sifat manusia daripada semua pemikiran filsuf atau studi para ilmuwan di laboratoriumnya. Dan dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub antropologi yang bias dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi pendidikan dimunculkan sebagai suatu materi kajian, maka yang objek dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kedudukan antropologi pendidikan sebagai sebuah disiplin studi yang tergolong baru di tambah kata Islam sehingga menjadi antropologi pendidikan Islam. Hal ini telah menjadi sorotan para ahli pendidikan Islam, bahwa hal tersebut merupakan suatu langkah yang ada relevansinya dengan isu-isu Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan pola itu, maka antropologi pendidikan Islam tentunya harus dikategorikan sama dengan ekonomi Islam. Artinya bagaimana bagunan keilmuan yang ditonjolkan dalam ekonomi Islam muncul juga dalam dalam antropologi pendidikan Islam, sehingga muncul pula kaidahkaidah keilmiahannya yang bersumber dari kitab suci Al Quran dan dari As Sunah. Seperti dalam ekonomi Islam (juga Hukum Islam) yang sejak awal pertumbuhannya telah diberi contoh oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para sahabat. Maka antropologi pendidikan Islam, kaidah-kaidah keilmiahannya harus juga bersumber atau didasarkan pada Al Quran dan As Sunah. Akan tetapi dalam sejarah kebudayaan Islam belum ada pengakuan terhadap tokoh-tokoh atau pelopor antropologi yang diakui dari zaman Nabi Muhammad atau sesudahnya. Karakteristik dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang tertuju pada fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya sesuatu yang dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak

didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannya untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan. Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islam adalah berpusat pada pengalaman apa yang ditemui. Ibnu Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga merupakan sorang pemerhati pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman pertama anak. Dalam kitabnya al-Siyasah, Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya pendidikan usia dini yang dimulai dengan pemberian nama yang baik dan diteruskan dengan membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta pujian dan hukuman dalam mendidikan anak. Dan juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai sosial pada anak seperti rasa belas kasihan (confession) dan empati terhadap orang lain. Kesimpulan Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia. Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri

mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Masud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002. Ahmad, Akbar S, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Dawah Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002. Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980 M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993 Noto Abuddin,, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993
Diposkan oleh tasauf dalam islam di 22:12 0 komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut Arsip Blog

2009 (10) o November (10) ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN

ISLAM AGAMA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM PENDEKATAN HISTORIS DALAM STUDI ISLAM PRODUK-PRODUK PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM Makalah Filsafat Ilmu makalah Pembelajaran Piqih Makalah METAFISIKA RIVIEW TENTANG TAFSIR dan HADITS TARBAWI MENELADANI SIFAT SIFAT NABI SAW Kajian - kajian...

Istilah tauhid sosial merupakan istilah baru yang diperkenalkannya dalam wacana ilmu-ilmu sosial. Tauhid sosial dimaksudkan sebagai dimensi sosial dari pengakuan kita bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu adalah Rasul-Nya. Sebagai muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk perbuatan. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah) seperti salat, puasa, haji, dan seterusnya memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah seseorang sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi perilaku sosialnya. Menurut Amien Rais, tauhid sesungguhnya menurunkan atau mengisyaratkan adanya lima pengertian. Pertama, unity of Godhead, yaitu kesatuan ketuhanan. Kedua, unity of creation, yaitu kesatuan penciptaan. Seluruh makhluk di alam semesta ini, baik yang kelihatan maupun yang tidak, yang lahir maupun yang gaib, merupakan bagian dari ciptaan Allah. Ketiga, unity of mankind, yaitu kesatuan kemanusiaan. Jadi, perbedaan warna kulit, bahasa, geografi, sejarah, dan segala perbedaan yang melatarbelakangi keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi. Keempat, unity of guidance, yaitu kesatuan pedoman hidup. Bagi orang yang beriman, hanya ada satu pedoman hidup, yakni yang datangnya dari Allah yang berupa wahyu. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka Allah pula yang paling tahu apa yang baik atau buruk bagi manusia, sehingga kita betul-betul dapat mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kelima, unity of the purpose of life, yaitu kesatuan tujuan hidup. Bagi orang yang beriman, satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mencapai rida Allah. Konsep tauhid sosial ini tampaknya muncul dari Amien Rais sebagai respon terhadap meluasnya persoalan ketidakadilan yang ia lihat. Hal ini bisa dirujuk pada pernyataannya yang retoris: Benang merah dari ajaran Islam adalah keadilan. Karena Islam itu

merupakan religion of justice, maka secara potensial setiap orang Islam bisa menjadi trouble maker bagi kemapanan yang tidak adil. Dengan merujuk sosiolog Prof. Gelner, Amien Rais juga mengatakan bahwa di muka bumi ini, setiap orang Islam bisa menjadi masalah bagi rezim yang mapan yang mempertahankan ketidakadilan, karena orang Islam selalu resah, gelisah, dan selalu ingin mengejawantahkan nilai-nilai keadilan dalam berbagai dimensi kehidupannya. Dengan mengutip Ibn Hazim , ia juga mengatakan, bila di tengah masyarakat ada kelompok kaya dan miskin, adalah kewajiban si kaya untuk melakukan proses pemerataan sosial ekonomi ke seluruh masyarakat. Dan, menjadi hak dari si papa untuk mengambil bagiannya dari si kaya. Jadi, secara sederhana, konsep tauhid sosial Amien Rais dapat disimpulkan sebagai tuntutan terwujudnya masyarakat yang adil, sekaligus memperoleh ridha Allah. Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam. Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial Islam yang dianggap tidak komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah, antara lain Tauhid Sosial. Syafii Maarif menyebutkan Tauhid Sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan. AlQuran, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan Tauhid Sosial Syafii Maarif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip

tauhid. Setiap aspek kehidupan yang dijalani merupakan refleksi dari prinsip-prinsip tauhid itu. Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai. Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan. Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip amrun bi al-maruf wa nahyun ani almunkar. Dalam Al-Quran, doktrin amrun bi al-maruf wa nahyun ani al-munkar dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua makkiyah dan tiga madaniyyah. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowijoyo, menyatakan bahwa nilai-nilai Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilainilai tersebut. Di dalam Al-Quran kita sering sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surah Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, percaya kepada yang gaib, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam

adalah Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai. Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li alalamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat penjelasan ini, tauhid sosial sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam konteks menjadikannya sebagai rahmatan li alalamin. Proses menuju ke arah itu harus dimulai dari penguatan dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam dimensi amal berupa praktek sosial kepada sesama manusia. Islam dan Ketidaksamaan Sosial Ketidaksamaan sosial (social inequality) terjadi di hampir semua komunitas masyarakat dunia. Adanya ketidaksamaan sosial ini pada umumnya melahirkan polarisasi sosial yang dalam banyak hal melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini kemudian dirumuskan dengan membaginya dalam istilah kelas sosial. Masyarakat Arab pada zaman nabi juga terbagi dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas budak. Tapi, Al-Quran juga merefleksikan adanya kenyataan sosial lain mengenai pembagian kelas sosial ini, seperti konsep golongan dhuafa, mustadhafin, kaum fakir, dan masakin. Demikian juga dalam masyarakat Eropa abad ke 17, dimana terdapat tiga kelas sosial di sana, yaitu kelas pendeta, kelas bangsawan dan kelas borjuasi. Kemudian juga dikenal kelas proletar Dalam terminologi Marx, ia tidak pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kelas, sehingga pada umumnya terminologi kelas dalam konsep Marxis didefinisikan secara mashur oleh Lenin. Lenin mendefinisikan kelas sosial sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Dengan demikian, masyarakat industri menurut terminologi ini hanya mengenal dua kelas, yaitu

kelas borjuis dan kelas proletar. Dengan doktrinnya yang terkenal, materialisme dialektis dan determinisme ekonomi, Marx yakin bahwa dalam masyarakat industrialkapitalis, golongan proletar adalah yang paling miskin. Sementara dalam Islam, Kuntowijoyo mencatat bahwa Islam mengakui adanya deferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Al-Quran melihat fenomena ketidaksamaan sosial ini sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam, sebagai realitas empiris yang ditakdirkan kepada dunia manusia. Banyak ayat Al-Quran yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa AlQuran mentoleransi social-inequality. Mengakui jelas tidak sama dengan mentoleransi. Sebaliknya, Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara terus-menerus menegakkan egalitarianisme. Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial, oleh Al-Quran dipandang sebagai ajang riel duniawi tempat setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Keterlibatannya dalam perjuangan inilah yang akan menentukan kualitasnya sebagai khalifatullah fil ardh. Dengan demikian, Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti kaum dhuafa dan mustadhafin. Cita-Cita Praktek Sosial Islam Persoalannya adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses ini memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan lompatan-lompatan dalam dataran praksis. Kuntowijoyo punya pandangan menarik dalam merumuskan proses transformasi ini. Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif, demikian

Kuntowijoyo. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan praktis Al-Quran, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif. Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologifilsafat sosialteori sosialperubahan sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana mungkin kita dapat mengatur perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial? Sementara Syafii Maarif berpendapat bahwa transformasi ini harus dilakukan dengan membongkar teologi klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan masalah-masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan budaya. Orang yang tidak berdaya tapi ingin memberdayakan masyarakat tidak pernah akan berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan. Umat yang terlalu banyak berangan-angan tapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban sejarah. Oleh sebab itu, Al-Quran menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret, kepada yang empirik, sebab di sana juga

terdapat ayat-ayat Allah, yakni ayat-ayat kauniyah. Karenanya, suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan pernah menang dalam kompetisi duniawi. Padahal, kejayaan di dunia dibutuhkan untuk menggapai kejayaan di akhirat. Dengan menyadari kekurangan ini, kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam. Tapi di sisi lain, kita perlu melakukan pembongkaran terhadap prinsip-prinsip teologi klasik yang terlalu sibuk mengurus masalah ghaib. Cita-cita sosial Islam untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam memang masih jauh dari cita-cita. Tapi, juga tidak bijak kalau kita hanya menyimpannya dalam teks-teks suci. Perjuangan ke arah itu memang tidak ringan. Tapi itulah tugas kita kalau kita mau menyumbangkan sesuatu yang anggun untuk kemanusiaan. Perjuangan umat Islam yang masih bergulat untuk bangun dari kemiskinan dan keterbelakangan, tentu akan sia-sia jika tak didukung oleh kerja-kerja intelektual yang menopang terbentuknya suatu tatanan sosial masyarakat seperti yang kita cita-citakan. Ini tugas kita semua REALITA IMPLEMENTASI TAUHID SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Diposkan oleh Menuju Cahaya on Sabtu, 10 April 2010

Konsep awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus. Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Jika tauhid kita artikan peng-esaan Tuhan, pengakuan kita bahwa Tuhan hanya ada satu. Dan artinya kita hanya fokus kepada satu Tuhan, tidak lebih tidak kurang, dan Dia tidak lain adalah Allah SWT. Seperti yang saya katakan tadi, pengesaan ini adalah konsep awal dan utama dalam

tauhid. Maka menurut penulis, salah satu aplikasi sosialnya adalah tidak adanya peramal dan dukun, artinya kita hanya percaya bahwa Allah-lah yang bisa memberikan pertolongan, bukan dukun, bukan pula peramal.Karena jika kita tidak berpikiran demikian, maka berarti kita telah menduakan Dia sebagai Yang Maha memberikan pertolongan. Akan tetapi, hal ini mulai terhapus dan dihapus pada masa ini, terutama bisa kita lihat munculnya dukun-dukun entertainer yang sering muncul di televisi, entah Mama laurent, Ki Bodo atau yang lainnya. Tapi konsep pengesaan ini tidak hanya berhenti di sini saja, jika kita menariknya lebih dalam ia memiliki hal lain yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan sosial juga, yaitu tadi dikatakan bahwa pengesaan Tuhan berarti hanya fokus kepada satu Tuhan, maka dalam kehidupan seharihari kita juga harus fokus tehadap kewajiban yang kita emban, tidak boleh menduakan kewajiban itu dengan kepentingan lain apalgi kepentingan pribadi. Dan lagi-lagi, nampaknya makna ini juga sudah mulai tidak berlaku lagi dalam masyarakat kita. Contoh kecilnya adalah realita kehidupan para guruterutama pnssaat ini. Kita tahu bahwa kewajiban utama seorang guru adalah mendidik anak didik mereka, menjadikan anak didik mereka berpendidikan yang sesungguhnya, memanusiakan anak-anak didik mereka. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini, dimana banyak guru yang tidak hanya menjadi guru, ada yang merangkap pengusaha, wiraswasta atau profesi lain dan akhirnya waktu mereka untuk mengajar terkadang terenggut untuk hal-hal yang bukan dalam lingkup mendidika anak-anak mereka. Ini berarti bahwa mereka telah menduakan kewajiban mereka sebagai seorang guru, mereka tidak fokus terhadap satu kewajiban utama mereka, mereka termasuk orang-orang yang musyrik sosial, menyekutukan kewajiban mereka dengan kepentingan pribadi (setidaknya begitulah saya menyebutnya). Makna laindan merupakan kelanjutan dari makna diatasadalah bahwa tauhid bisa diartikan kesetiaan dan ketaatan kita terhadap Tuhan. Kita bertauhid berarti kita mengikat diri dengan janji kita dengan Tuhan; janji untuk taat terhadap segala aturan yang Dia berikan. Kita tidak bisa dikatan sebagai orang yang bertauhid ketika kita melanggar janji kita dengan Tuhan, ketika kita mengingkari perintahnya, meskipun kita tetap percaya dan teguh bahwa Tuhan itu esa. Artinya, tidak cukup dengan mengesakan Tuhan tanpa melakukan ibadah-ibadah yang di perintahkanNya, baik ibadah spiritual maupun sosial. Tidak bisa kita pungkiri jika saat ini banyak orang percaya bahwa Tuhan itu Esa, mengaku bahwa Muhammad itu Nabi mereka, akan tetapi mereka tidak pernah sekalipun melakukan penyembahan terhadapNya baik melalu shalat ataupun puasa atau yang lainnya, mereka juga tidak peka terhadap kehidupan sekitarnya, mereka tidak menghiraukan ketimpanganketimpangan sosial yang terjadi didekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tauhid hanya menjadi pajangan hati saja, tanpa implikasi sosial yang berarti. Makna ini juga mempunya sisi lain yang dapat dan harus kita implementasikan dalam kehidupan sosial. Kesetiaan dan ketaatan adalah sebuah keniscayaan yang harus kita miliki selama kita menginginkan kehidupan yang tentram. Karena hanya dengan keduanya kita bisa menjalin relasi yang baik dengan orang lain, hanya dengan keduanya kita bisa membangun kepercayaan orang lain trhadap kita. Kita harus setia terhadap aturan dan hukum sosial yang ada, kita juga harus setia dan taat terhadap segala janji yang kita ucapkan terhadap orang lain. Ini adalah pondasi kita untuk menggapai kesejahteraan bersama sebagai mahluk yang oleh Plato disebut Zoon Politicon atau mahluk yang bermasyarakat. Jika kita ingat sebuah perkataan Nabi yang menyatakan bahwa jika berjanji lalu kita mengingkari, maka itu berarti kita masuk dalam golongan orang-orang munafik. Maka sama

dengan hal ini, jika kita tidak setia dan tidak taat terhadap janji kita dalam ranah sosial, maka itu berarti bahwa kita munafik sosial. Tapi, lagi-lagi hal ini juga nampak mulai luntur dalam kehidupan masyarakat kita. Pengingkarana dan penghianatan telah banyak dilakukan oleh banyak orang, termasuk oleh para petinggi negeri yang megingkari janjinya dengan memakan uang yang seharusnya tidak mereka makan. Pengingkaran tauhid sosial ini juga dilakukan oleh para tullabyang seharusnya jujur dengan budaya mengutip total alias plagiat bin copy-tempel tugas-tugas mereka, agar mendapatkan nilai bagus yang mana hal ini juga berarti musyrik terhadap kewajiban utama mereka, krena menduakan kewajiban mencari ilmu dengan mencari nilai. Seharusnya, dengan Tauhid Sosial tersebut, realita-realita menyedihkan di atas tidak muncul, dengan Tauhid Sosial umat Islam seharusnya mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus menjalankan perintahNya dan peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.

Tauhid Sosial Sebagai Konsekuensi Tauhiddullah Oleh. Immawan Luqman Novanto Takmir Masjid Tanwir Komlepk PTM Jl. Tidar No 21

Oct 31, '07 5:29 AM untuk semuanya

Manusia hidup di dunia ini pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu, Allah swt telah menjelaskan didalam Al Quran bahwa jin dan manusia telah diciptakan memiliki maksud dan tujuan untuk beribadah kepadaNya. Firman Allah telah aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaKu. (QS. Adz-Dzariat (51):56). Makna ibadah menurut ulama Tauhid adalah meng-Esakan Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepadaNya. (Ahmad Tib, 2003:137). Sedangkan makna ibadah adalah taat kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lesan-lesan para Rosul. (Hasan, 1994:27). Sifat ketundukan dan pengakuan bahwa yang Maha Esa hanyalah Allah, adalah bekal seorang hamba dalam manjalankan tugas ibadah. Dengan mentaati perintah dan cara-cara yang Rosul ajarkan, seorang hamba akan lebih termotifasi ketaatannya dalam beribadah kepada Allah. Pada waktu nabi menerima wahyu Al Quran, mulai saat itu pula ia menyebarkan misi keagamaan, dan reformasi sosial. Reaksi masyarakat Mekkah pada umumnya, khususnya suku Quraisy yang juga merupakan suku nabi sendiri menolak dan menentang secara ekstrim. Tetapi nabi berteguh dan terus berjuang untuk meraih sejumlah pengikut dalam masa lebih dari 13 tahun selama misinya di Mekkah. Secara umum disepakati bahwa periode Mekkah, Al Quran dan sunnah lebih banyak berisi tentang ajaran Agama (Tauhid) dan Moral. (Abdullahi ahmed, 2004:21). Tauhid sebagai ilmu, baru dikenal ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat.

Istilah ilmu Tauhid itu sendiri baru muncul pada abad ketiga Hijriyah. Tepatnya dizaman pemerintahan khalifah Al Makmun, Kholifah ketujuh dinasti Bani Abas. (Yusran Asmuni, 2003:03) .Meskipun inti pokok risalah Nabi Muhammad saw adalah tauhid, namun pada masa beliau Tauhid belum merupakan ilmu keislaman yang berdiri sendiri, tetapi Tauhid sudah terbukti mampu menjadi pilar perjuangan umat Islam. Muhammad Abduh mendefinisikan makna tauhid sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap padaNy, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepadaNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari padaNya, juga membahas tentang Rosul-rosul Allah meyakinkan kerosulan mereka, dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. (Muhammad Abduh, 1979 : 36). Musa Asy'arie menambahkan bahwa makna Tauhid menurut pandangan filsafat Islam adalah suatu sistem pandangan hidup yang menegaskan adanya proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan semua yang ada, berasal dan bersumber hanya pada satu Tuhan saja, yang menjadi asas kesatauan ciptaanNya dalam berbagai bentuk, jenis dan bidang kehidupan. (Asy'arie. 2002 : 181). Dari dua pandangan ini, ternyata Tauhid memiliki tema pembahasan dan peran yang sangat penting dalam membentuk pribadi seorang muslim. Tauhid yang menjadi proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan yang bersumber pada satu Tuhan saja, haruslah menjadi falsafah hidup seorang muslim. Dalam pandangan Islam, Tauhid bukan sekedar mengenal dan memahami bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, buka sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud dan ke-Esa-an Nya serta bukan sekedar mengenal asma dan sifat-sifatNya, tetapi yang paling pokok dari itu adalah penerimaan dan resfons cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Namun yang terpenting adalah agar sikap ketauhidan ini dapat menyemangati kehidupan sehingga bukan hanya keshalehan individu yang kita harapkan dapat terwujud, melainkan juga keshalehan dan ketaqwaan sosialnya Pandangan Hasan Hanafi yang di kutip oleh Kazuo Shimogaki menyebutkan bahawa, selama dalam sistem sosial masyarakat masih ada kesenjangan antara si kaya dengan miskin, adanya golongan penindas dan tertindas maka selama itu pula masyarakat dibalut oleh paham syirik (Shimogaki, 2003:20). Pengingkaran terhadap makna tauhid adalah perbuatan syirik, karena syirik bukan semata-mata tindakan yang ujudnya adalah penyembahan berhala atau kesukaan pergi kekuburan yang maknanya dalam ibadah, melainkan juga penguasaan manusia atas manusia lain. Bagi seorang muslim dalam konteks Teologi, Tauhid adalah pernyataan iman kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, dalam suatu sistem, karena pernyataan iman seseorang kepada Tuhan, bukan hanya kepada pengakuan lesan, pikiran dan hati atau kalbu, tetapi juga tindakan dan aktualisasi, yang diwujudkan dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. . (Asy'arie. 2002 : 182). Dari berbagai pandangan tentang makna tauhid yang di maknai oleh Muhammad Abduh, Musa Asyari, dan Hasan Hanafi, dapat di tarik kesimpula bahwa makna Tauhid adalah tema sentral yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, dan Rosul-rosul Allah yang mempunyai konsekuensi dalam kehidupan berupa praktek sosial umat Islam yang konkrit. Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam

menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam. Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang akan dilakukan. Allah menjelaskan dalam firmanNya bahwa, orang yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang mereka dalam keadaan beriman maka oleh Allah akan diberikan kehidupan yang baik dan juga akan diberi balasan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (An-Nahl: 97). Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial Islam yang dianggap tidak komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah, antara lain Tauhid Sosial. Adie Usman Musa mengutip dari Syafii Maarif, beliau menyebutkan bahwa Tauhid Sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan Al-Quran, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan Tauhid Sosial Syafii Maarif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan.(Ade Usman, 2006. http:// my.opra.Com/adieusman/htm) Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Setiap aspek kehidupan yang dijalani merupakan refleksi dari prinsip-prinsip tauhid. Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip amrun bi al-maruf wa nahyun ani almunkar. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowojoyo, menyatakan bahwa nilainilai Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. (Kuntowijoyo, 1991 : 197). Di dalam Al-Quran kita sering sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surah Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, percaya kepada yang gaib, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut dapat dilihat adanya trilogi iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, ada juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini, penulis menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam adalah Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Manusia memiliki dua kekuatan. Pertama, Nazairah (penyelidikan) puncaknya adalah mengenal hakekat sesuatu menurut keadaan yang sebenarnya. Dua, Amaliah (tindakan) puncaknya melaksanakan menurut semestinya dalam urusan hidup dan penghidupan. (Syulthut, 1994 : 49). Oleh sebab itu tauhid juga bisa dibagi dalam dua tahapan dalam aktualisasinya, tauhid i'tiqadi ilmi (keyakinan teoritis) dengan tauhid amali suluki (amal perbuatan praktis) atau dengan istilah lain dua ketauhidan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. (Qordhawi,1996:33). Kedua bentuk kekuatan tauhid ini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, maka keduanya harus dijalankan secara seimbang. AM Fatwa menegaskan bahwa setiap perbuatan pribadi akan menyebabkan berbagai implikasi

kemasyarakatan, maka tanggung jawab pribadi itu memberi akibat adanya tanggung jawab sosial. Inilah yang sering dipahami dari rahasia susunan Al Quran bahwa setiap kali Kitab Suci menyabut kata iman (aamanu) yang merupakan perbuatan peribadi selalu diikuti dengan penyebutan amal saleh (aamilus shalihati) yang merupakan tindakan kemasyarakatan. (AM. Fatwa, 2001:51). Jika tauhid teoritis dapat melakukan perubahan batiniah dan pembebasan spiritual, maka tauhid praktis dapat melakukan rekonstruksi dan reformasi sosial. Tauhid ibadah atau tauhid praktis inilah yang di istilahkan oleh Prof. Dr. Amin Rais dengan sebutan Tauhid Soaial. Prof. Dr. Amin Rais mengatakan bahwa yang dimaksud tauhid Sosial adalah dimensi sosial dari Tauhidullah. Dimaksudkan agar tauhid Ilahiyah dan Rububiyah yang sudah tertanam di kalangan kaum muslimin dan muslimat, bisa diturunkan lagi kedataran pergaulan sosial, realitas sosial, secara konkrit. ( Rais, 1998: 108) Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai. Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li alalamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat penjelasan diatas, Tauhid Sosial sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam konteks menjadikannya sebagai rahmatan li alalamin. Proses menuju ke arah itu harus dimulai dari penguatan dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam dimensi amal berupa praktek sosial kepada sesama manusia. Dengan kata lain bahwa Tauhidullah harus diujudkan dalam praktek sosial.

Labels

Kitab Kitab Kitab Kitab Kitab Kitab

Tauhid Tauhid Tauhid Tauhid Tauhid Tauhid

1 2 3 3 3 3

(29) (6) Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4

(5) (11) (6) (4)

Kitab Tauhid 1

Makna Aqidah Dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama Sumber-sumber Aqidah Yang Benar dan Manhaj Salaf dalam Mengambil Aqidah. Penyimpangan Aqidah Dan Cara-Cara Penanggulangannya Makna Tauhid Rububiyah dan Kefitrahannya serta Pengakuan Orang-orang Musyrik Terhadapnya. Pengertian Rabb Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah Alam Semesta Dan Fitrahnya Dalam Tunduk Dan Patuh Kepada Allah Manhaj Al-Qur'an Dalam Menetapkan Wujud Dan Keesaan Al-Khaliq Tauhid Rububiyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyah Makna Tauhid Uluhiyah, Dan Bahwa Ia Adalah Inti Dakwah Para Rasul Makna Syahadatain, Rukun, Syarat, Konsekuansi Dan Yang Membatalkannya TaSyRi' Ibadah: Pengertian, Macam Dan Keluasan Cakupannya Paham-Paham Yang Salah Tentang Pembatasan Ibadah Syarat Diterimanya Ibadah

Pilar-Pilar Ubudiyah Yang Benar Tingkatan Dien Makna Tauhid Asma' Wa Sifat Dan Manhaj Salaf Di Dalamnya Asma' Husna Dan Sifat Kesempurnaan, Serta Pendapat Golongan Sesat Berikut Bantahannya Buah Tarbiyah Tauhid Asma' Wa Sifat Pada Diri Individu Dan Masyarakat Al-wala' wal bara' Mudahanah dan Mudarah berikut kaitannya dengan al-wala' wal bara' Beberapa Contoh Tentang Setia Dan Memusuhi Karena Allah Menyayangi Dan Memusuhi Para Ahli Maksiat Menyambut Dan Ikut rayakan Hari Raya Atau Pesta Orang Kafir Serta Berbelasungkawa dlm Hari Duka Mereka Hukum Meminta Bantuan Kepada Orang-Orang Kafir Mengutamakan Tinggal Dan Bekerja Di Negara Kafir Hukum Meniru Kaum Kuffar, Macam-Macam Dan Dampaknya Bentuk-Bentuk Taqlid Kepada Kuffar Yang Buruk Sikap Pasif Kaum Muslimin Dan Problematikanya

Ibadah: Pengertian, Macam Dan Keluasan Cakupannya


Wednesday, May 18, 2005

Kitab Tauhid 1 oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan A. Definisi Ibadah Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara', ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah: 1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasulNya. 2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. 3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta'ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak

menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Adz-Dazariyat: 56-58) Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari'atNya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari'at-kanNya maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari'atNya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah). B. Macam-Macam Ibadah Dan Keluasan Cakupannya Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca Al-Qur'an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hu-kumNya, ridha dengan qadha'-Nya, tawakkal, mengharap nikmatNya dan takut dari siksaNya. Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi'ar-syi'ar yang biasa dikenal.
auhid Ibadah Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kaml mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kaml). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus. Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indahNya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs). Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak. [2]

rang Muslim beriman kepada ketuhanan Allah Ta'ala bagi manusia sejak pertama hingga generasi terakhir, kerububiyahan-Nya terhadap alam semesta, bahwa tidak ada pengaturan dunia selain Dia, dan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Oleh karena itu, ia memperuntukkan bagi Allah ibadah-ibadah yang disyariatkan-Nya kepadanya, dan tidak memalingkannya sedikit pun kepada selain Allah. Jika ia minta pertolongan, ia meminta pertolongan kepada Allah. Jika ia bernadzar, ia tidak bernadzar untuk selain Allah. Untuk Allah-lah semua amal perbuatan batinnya, seperti takut, berharap, taubat, cinta, pengagungan, tawakkal, dan amal perbuatan lahiriyahnya seperti shalat, zakat, haji, dan jihad. Itu semua karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal seperti berikut. Dalil-Dalil Wahyu 1. Perintah Allah Ta'ala kepada sikap seperti di atas dalam firman-firman-Nya, seperti firman-firman-Nya berikut ini. o "Sesungguhnya Aku Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengikuti Aku." (Thaha: 14) o "Dan hanya kepada-Kulah kalian harus takut (tunduk)." (Al-Baqarah: 40) o "Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untuk kalian karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui." (Al-Baqarah: 21-22) o "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang benar melainkan Allah." (Muhammad: 19) o "Maka mohonlah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Fushshilat:36) o "Dan hendaklah orang-orang Mukmin itu bertawakal kepada Allah saja." (AtTaghabun: 13) 2. Penjelasan Allah Ta'ala tentang hal tersebut dalam firman-firman-Nya seperti dalam firman-firman-Nya berikut ini. o "Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut'." (An-Nahl: 36) o "Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat dan tidak akan putus." (Al-Baqarah: 256) o "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku'." (Al-Anbiya': 25) o "Katakanlah, 'Maka apakah kalian menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?'." (Az-Zumar: 64) o "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5)

"Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu, 'Peringatkanlah oleh kalian, bahwa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku'." (An-Nahl: 2) 3. Penjelasan Rasulullah saw. tentang hal tersebut dalam hadits-haditsnya, seperti dalam hadits-haditsnya berikut ini. o Sabda Rasulullah saw. kepada Muadz bin Jabal r.a. yang beliu utus ke Yaman, "Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka ialah hendaknya mereka beribadah kepada Allah Ta'ala." (Muttafaq Alaih). o Sabda Rasulullah saw. kepada Muadz bin Jabal r.a., "Hai Muadz, apa hak Allah atas hamba-hamba?" Muadz bin Jabal menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah saw. bersabda, "Yaitu hendaknya mereka beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun." (Diriwayatkan An-Nasai dan ia men-shahih-kannya). o Sabda Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, "Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah." (Diriwayatkan At-Tirmidzi). o "Sesuatu yang paling aku khawatirkan pada kalian ialah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan syirik kecil, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Riya'. Pada hari kiamat Allah berfirman setelah membalas manusia dengan amal perbuatan mereka, Pergilah kepada orangorang yang kalian lakukan riya' di dunia, kemudian lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?" (Diriwayatkan Ahmad dari banyak jalur dan hadits ini hasan). o "Bukankah mereka menghalalkan bagi kalian apa yang diharamkan Allah bagi kalian kemudian kalian juga menghalalkannya dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian juga mengharamkannya?" Orang-orang menjawab, "Ya betul." Rasulullah saw. bersabda, "Itulah bentuk ibadah mereka kepadanya." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya). Sabda di atas diucapkan Rasulullah saw. kepada Adi bin Hatim ketika ia mendengar firman Allah Ta'ala, "Mereka menjadikan pendeta-pendeta, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah." Kemudian Adi bin Hatim berkata, "Wahai Rasulullah, kita tidak menyembah mereka." o "Sesungguhnya permintaan tolong itu tidak kepadaku, namun permintaan tolong itu kepada Allah." (Diriwayatkan Ath-Thabrani. Hadits ini hasan). Sabda di atas diucapkan Rasulullah saw. setelah sebagian sahabat berkata kepada sebagian sahabat yang lain, "Mari kita minta tolong kepada Rasulullah saw. dari orang munafik yang mengganggu kita." o "Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, ia telah melakukan syirik." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya). o "Sesungguhnya mantra, jimat, dan guna-guna adalah syirik." (Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan lain sebagainya. Hadits ini hasan).
o

Dalil-Dalil Akal

1. Kesendirian Allah Ta'ala dalam penciptaan makhluk, pemberian rizki, dan pengurusan alam semesta mengharuskan manusia beribadah kepada-Nya saja, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. 2. Semua makhluk membutuhkan Allah Ta'ala. Jadi, tidak satu pun dari makhluk-makhluk pantas menjadi Tuhan yang disembah bersama Allah Ta'ala. 3. Sesuatu yang tidak mampu memberi pertolongan atau perlindungan tidak berhak untuk dimintai kepadanya pertolongan, bernadzar untuknya, bergantung atau bertawakkal kepadanya. Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 65-70.

Jabariyah & Qadariyah


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syariat, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]] Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti kata-kata. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau

ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[[2]] Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya. Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaranajarannya secara umum. B. TOPIK PEMBAHASAN a. b. c. d. e. f. Aliran Jabariyah Ajaran-ajaran Jabariyah Aliran Qadariyah Aliran Jabariyah Ajaran-ajaran Qadariyah Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah

BAB II

PEMBAHASAN

a.

ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)

Latar Belakang Lahirnya Jabariyah Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [[3]] Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[[4]] Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[5]] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[[6]] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh

hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[[7]] Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[[8]] Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya: Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah: a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir. b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan. c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan

ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa. d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[[9]] Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[[10]] Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini. Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [[11]]

c.

Ajaran-ajaran Jabariyah

Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat. Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan

nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[[12]] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[[13]] Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[14]] Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah. Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adhDhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[15]]

C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(

Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[16]] Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[[17]] Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Mabad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [[18]] Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syuib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[19]] Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan

lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[[20]] d. Ajaran-ajaran Qadariyah Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[21]] Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[22]] Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.

Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :


Artinya : Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah. (QS. Al-Kahfi : 29).


Artinya : dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Ali Imran :165)

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri. (QS.Ar-Rd :11) e. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya. Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka. Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu. Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.

Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.

BABIII KESIMPULAN Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai

pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya. Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul Jabariyah dan Qodariyah kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2 Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

3. 4.

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

5.

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: alIzzah, 2002)

6.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

7.

an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)

8.

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

9.

al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)

10. asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th) 11. Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

Mutazilah Murjiah

Jabariyah dan Qadariyah


16 January 2009 by Kangsata Leave a Comment Terkait qada dan qadar, mula-mula muncul permasalahan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia (al-jabr wa al-ikhtiyar). Pemikiran seputar masalah ini melahirkan dua kutub pemikiran ekstrim yang berbeda, yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Faham Jabariyah pertama kali dipopulerkan oleh Jad bin Dirham di Basrah yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom

seorang hamba dengan menyandarkan semuanya kepada Allah. Dalam pendapatnya, manusia digambarkan tidak memiliki sifat kesanggupan yang hakiki sehingga segala perbuatannya (baik ketaatan atau kemaksiatan) pada dasarnya adalah keterpaksaan (majburah) karena tidak berasal dari kekuasaan, kehendak maupun usahanya sendiri. Ide jabariyah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah. Di samping menerima ide jabariyah, Jahm juga mengembangkan pemikiranpemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah marifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat. Sedangkan faham Qadariyah dengan tokoh utamanya Mabad bin Khalid al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Jadi, perbuatan manusia berada di luar ruang lingkup kekuasaan atau campur tangan Allah.

You might also like