Professional Documents
Culture Documents
Sejarah singkat
Wayang Gong nerupakan cabang dari kesenian wayang, yang tidak lepas dari induknya. Menurut G.A.J. Hazeu dan J.L.A. Brandes yang meneliti kesenian wayang, diperoleh suatu kesimpulan bahwa kesenian wayang di Indonesia berinduk kepada kebudayaan asli Jawa, meskipun ceritera yang ditampilkan disadur dari pengaruh kebuayaan Hindu. Bentuk kesenian yang tertua adalah wayang purwa, dari sini kemudian berkembang menjadi jenis-jenis wayang yang beragam. Di Kalimantan Selatan seni wayang jelas menunjukan pengaruh dari Jawa. Dengan embandingkan jenis wayang kulit Banjar dengan Wayang kulit Jawa bahkan dapat diketahi bahwa bentuk wayang, lakon dan kelengkapannya menunjukkan adanya kesamaan-kesamaan dengan wayang Jawa, di segi lain ukuran wayang, bahasa yang digunakan serta tata cara pementasan sudah menunjukkan adanya perkembangan yang khas sebagai Wayang Banjar. Sejarah wayang di Kalimantan Selatan secara kronologis belum diketahui detilnya. Dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa seni wayang sudah tumbuh di Kalimantan Selatan sejak adanya Kerajaan Dipa. .. Bawayang Wong, menopeng, bawayang gadogan, bawayang purwa, babaksan. Merupakan kesenian yang biasa dipertunjukkan di Kerajaan Dipa. Apabila latar belakang Kerajaan Dipa diperkirakan pada abad XIV, maka seni wayang di Kalimantan Selatan sejak hamper 6 abad silam. Dari kutipan tersebut diketahui bahwa Wayang Gong belum disebut-sebut. Maka semakin jelas bahwa Wayang Gong bukan pengaruh langsung dari Jawa, melainkan perkembangan khas Kalimantan Selatan. Menurut penuturan para seniman Wayang Gong, jenis wayang tersebut muncul setelah Wayang Orang Banjar sudah terlalu jauh berkembang baik ceritera maupun pementasannya. Wayang orang terlalu banyak melakonkan kisah-kisah syair di luar pakam. Seni pentasnya juga cenderung surut. Maka Wayang Gong merupakan kreasi yang ingin mengangkat kembali kesenian di tengah masyarakat Banjar. Kisah syair yang sering ditampilkan dalam wayang orang adalah syair Abdul Muluk dari Melayu, selain itu kisah saduran Damarwulan. Maka kemudian sangat
dikenal adanya Seni Abdul Muluk atau Bada Muluk dan juga Badamarwulanan. Perkembangan selanjutnya, abdul Muluk berkembang menjadi dua yaitu bdul Muluk cabang yaitu Abdul Muluk yang menggunakan cabang ( kuluk atau katopang) yang kemudian lebih dikenal sebagai Wayang Gong. Sedangkan yang lainnya adalah Abdul Muluk Ceritera, yang kemudian dikenal sebagai Mamanda. Wayang Gong sendiri kemudian menurunkan kesenian Kuda Gepang Cerita dan Tarian Kuda Gepang. Sampai sat ini masih dapat disksikan antara kesenian-kesenian tersebut memiliki unsur pementasan (dalam hal ini kostum-baju dan gamelan) yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa perkembangannya antara atu dengan yang lain sangat erat, bahkan mempunyai akar yang sama.
Sampai saat ini masih dapat disaksikan antara kesenian kesenian tersebut memiliki unsure pementasan (dalam hal ini kostum\-baju dan gamelan) yang sama. mempunyai akar yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa perkembangannya antara satu dengan yang lain sangat erat , bahkan
BALAMUT
Latar Belakang
Lamut adalah salah satu Sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi Palamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin langka ini. Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putera dari Maharajua Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dari Lautan Gandang Mirung yang jadi penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh paman Lamut bersama anak anaknya yaitu Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, akhirnya Sultan Aliudin kalah. Seni lamut bisa dikatakan bernasib malang karena kini di ambang punah. Satu per satu pelamutan meninggal dunia, sementara proses pewarisan dan regenerasi kesenian itu mandek. LAMUT, seni tradisional yg spesifik masyarakat etnis Banjar, dalam sejarahnya merupakan sebuah kristalisasi budaya masyarakat yang berproses alami dan cukup panjang. Kesenian balamut kini tak banyak dikenal oleh para generasi muda. Keseneian
ini malah kalah populer dibanding Madihin dan Mamanda. Frekuensi pertunjukan balamut di panggung yang amat jarang dan nyaris tak terdengar, membuatnya telah dilupakan masyarakat. Bahkan namanya saja banyak warga etnis Banjar sendiri yang tak tahu, dan merasa aneh dan asing. Seni berkisah itu juga semakin ditinggalkan karena generasi muda tak lagi tertarik memainkannya.Lamut merupakan seni cerita bertutur, seperti wayang atau cianjuran. Bedanya, wayang atau cianjuran dimainkan dengan seperangkat gamelan dan kecapi, sedangkan lamut dibawakan dengan terbang, alat tabuh untuk seni hadrah. Mereka yang baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari Timur Tengah. Pada masa Kerajaan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah, lamut hidup bersama seni tutur Banjar yang lain, seperti dundam, madihin, bakesah, dan bapantun. Padahal, kesenian ini sebenarnya berasal dari China. Kesenian ini diwariskan secara turun-temurun. Pertama kesenian lamut dikuasai oleh Raden Ngabe Jayanegara dari Yogyakarta. Raden Ngabe belajar lamut saat menjadi utusan Kerajaan Banjar yang bertugas di Amuntai, kini ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara. Ceritanya, di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia pertama kali mendengar alunan syair China. Dalam pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan syair China tersebut. "Buku salinan cerita lamut yang dimiliki keluarga itu masih ada sampai sekarang," kata Gusti Jamhar Akbar yang merupakan turunan ke empat, pewaris seni lamut. Sejak itulah Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan terbang. Lamut mulai berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini, Lamut mendapat iringan terbang. Seni bertutur itu disebut lamut karasmin karena menjadi hiburan pada perkawinan, hari besar keagamaan, maupun acara nasional. Lamut juga digunakan dalam proses batatamba (penyembuhan penyakit). Orang yang punya hajat dan terkabul biasanya juga mengundang palamutan. Kata "lamut" konon berasal dari bahasa Arab, laamauta (tidak mati). Pada batatamba, sebelum lamut dimainkan, disiapkan dulu perangkat piduduk (sesaji), kemenyan atau perapin (dupa), beras kuning, dan lainnya. Setelah itu dilakukan tepung tawar dengan mahundang-hundang (mengundang) roh halus, membacakan doa selamat, dan memandikan air yang telah didoakan kepada si sakit. Bila pada wayang ada tokoh
punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, pada lamut tokohnya adalah Paman Lamut serta tiga anaknya: Anglung, Angsina, dan Labai Buranta. Sedangkan ceritanya sudah berpakem seperti wayang purwa, tentang kerajaan yang dipimpin Prabu Awang Selenong. Meski tokoh dan pakem cerita lamut tertentu, pengembangan cerita tetap dimungkinkan sesuai kemampuan si pelamutan dalam meramu. Ramuan cerita itu bisa disadur dari kisah Panji, Andi-andi, atau Tutur Candi, bahkan cerita 1.001 malam. Kisah juga bisa menjadi dramatis dengan lakon yang gagah berani atau romantis. Masyarakat Banjar, paling mengharapkan kisah percintaan antara Junjung Masari dan Kasan Mandi. "Para penonton hanyut ketika mendengar kisah percintaan kedua tokoh itu dalam syair pantun bahasa Banjar." Jamhar mencontohkan sebait syair : ading ada pantun ding, ada pantun ding urang dahulu mari ding pergi ka bukit ada anak kapitan bermain sumpit mari ding kucium sadikit badan kupaluk pinggang kugapit Lamut juga digemari warga China keturunan di Banjarmasin. Mereka kerap minta lamut dimainkan saat hendak sembahyang di Pulau Kembang di tengah Sungai Barito di Banjarmasin. "Mereka gemar mendengar cerita Bujang Maluwala karena ada kisah perkawinan dengan orang China," kata Jamhar yang beristri keturunan China dan penggemar lamut juga. Kini Lamut semakin meredup seiring masuknya berbagai musik modern. "Lamut makin ditinggalkan orang setelah karaoke sampai ke desa-desa," ucap Jamhar. Masa keemasan Jamhar mulai tahun 1960-an hingga 1985-an. Saat itu, setiap kali ia memainkan lamut, penonton berdesakan. Mereka tak beranjak semalam suntuk mendengarkan kisahnya. Pada masa itu hampir setiap malam ia diundang warga untuk balamut. Undangan tak hanya di Kalsel, tetapi dia berlamut sampai ke Jakarta, Surabaya, dan beberapa kota di KalimantanTengah."Pada masa itu saya hanya bisa istirahat pada malam Jumat," ucapnya. Cerita lamut yang dibawakan Jamhar bisa dimainkan bersambung selama 27 malam. Cerita dia kembangkan berdasarkan perjalanan hidupnya.
Belakangan ia hanya balamut untuk satu malam, selama sekitar lima jam. Dalam balamut, ia sisipkan pesan moral, kritik, dan saran. "Kini yang mengundang lamut sudah jarang, sebulan paling banyak tiga," tutur pelamutan yang pernah menerima honor Rp 1 juta setiap sekali main ini. Jamhar mengibaratkan lamut sebagai anak tiri yang tersisihkan. Pada 1982 di Kalsel ada 112 pelamutan. Kala itu, Jamhar, yang berusia 40 tahun, termasuk pelamutan muda. Kini, tak ada organisasi atau lembaga yang peduli kepada lamut, apalagi membina munculnya pelamutan baru.
Fungsi Sastra Banjar Lamut Lamut berfungsi : Sebagai media dawah agama islam dan muatan pesan pesan pemerintah atau pesan dari pengundang lamut. Sebagai hiburan Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan. Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak, kitanan atau sunatan, mendapat rejeki. Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan. Sebagai pendidikan terutama mengenai tata kerama kehidupan masyarakat Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasehat, petuah atau bimbingan moral.
Penggarapan Sastra Banjar Lamut Lamut mempunyai struktur lakon, yaitu : Sebelum memulai cerita, Pelamutan terlebih dahulu membunyikan tarbnang dengan nyanyian pembukaan yang terdiri dari syair syair dan pantun. Narator dan berdialog dilaksanakan dengan terampil oleh pelamutan sendiri. Antara babak babak lakon selalu diselingi dengan lelucon atau dagelan. Ditutup kembali dengan bunyi bunyian tarbang yang dinamis.
Cerita pada lamut merupakan cerita terdahulu dari turun temurun, pakem yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku buku yang merupakan pakem cerita lamut. Oleh karena itu, tidak jarang pelamutan membawakan kisah terjadi ada penambahan dan pengurangan pada cerita semula, bahkan ada yang keluar sama sekali dari carangan (pakem). Sebenarnya pakem yang ada adalah bermula pada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Jaya Sakti yang berputra kembar , bernama Indra Bungsu dan Indra Bayu. Indra Bungsu berputra bernama Kasan Mandi, sedangkan Indra Bayu berputri Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Jung Masari dan melahirkan Bujang Maluala. Bujang Maluala kawin dengan putri maharaja Cina bernama Dandan Walayu Galuh Mamagar Sari. Setiap dinasti ini mempunyai cerita tentang percintaan, perang dengan adu kesaktian. Dan tokoh tokoh yang selalu hadir yaitu Paman Lamut, Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, sebagai pendamping setia, penasihat dan panglima perang dari putra putra raja tersebut. Setelah dinasti Bujang Bungsu, cerita lamut sudah mengalami perkembangan cerita oleh pelamutan yakni menciptakan cerita baru yang lebih menarik, tetapi masih di dalam suatu pakem. Memang kreativitas pelamutan sangat diperlukan agar cerita lebih menarik, baik bumbu dialog maupun gaya ceritanya. Dalam pengembangan cerita dapat pula mengambil dari cerita Panji, cerita Andi Andi, tutur candi, dongeng seribu satu malam, atau pun cerita rakyat, tetapi dalam cerita itu ada tokoh utama Lamut berikut anak anaknya Anglung, Anggasina dan Labai Buranta.
Instrumen Lamut Instrumen sebagai penunjang lakon yang digunakan oleh pelamutan adalah sebuah tarbang lamut. Tarbang ini bentuknya seperti rebana namun lebih besar, dengan ukuran berdiameter 45 sampas 60cm, terbuat dari kayu seperti kayu nangka, kayu sepat, kayu kursi atau kayu apa saja yang asal liat ( keras ), diberi kulit kambing kemudian disimpai sedemikian rupadengan rotan. Agar mengencangkan kulit tersebut diberi pasak kayu pada penampang bagian belakang tarbang dan dipasak dengan batangan rotan bagian dalamnya.
Pantun dan syair dalam Sastra Banjar "Lamut" Pelamutan setelah memukul tarbang dengan beberapa irama, sebagai tradisi maka ia menghaturkan salam kepada penonton dengan berpantun sebagai pembuka. Pantun tersebut antara lain : Tabusa salah sarai sarapun Bawa balayar kuliling nargi Lamun tasalah banyak-banyak maminta ampun Kisah Banjar dibawa kamari Pinang anum barangkap rangkap Pinang tuha barundun rundun Lawan nang anum maminta maaf Lawan nang tuha maminta ampun Kemudian dilanjutkan dengan bersyair, merupakan ungkapan bermacam peristiwa, dengan berlagu. Antara lain : Bismillah itu mula pang ku bilang Kartas pang dawat jualan dagang Kartasnya putih salain lapang Pena manulis di kartas lapang Bukan badanku pandai mangarang
Hanya taingat di dalam badan Syair tidak sembarang ucap, tetapi berplot, seperti berikut ini : Hanyar kurait pulang kaya bilaran Satu pang tali, dua pang lalaran Katiga tungkat, ampat pang ukuran Kalima jarum, anam kulindan Tujuh kompas, lapan padoman Kasambilan teori politik Kasapuluh lawan aturan Syair yang mengungkapkan sebuah negeri atau kerajaan yang kaya raya, makmur sejahtera. Antara lain : Nagri Palinggam Cahaya mimang sugih Handak malunta ada hundang Bajanggut amas, sisiknya pirak, matanya intan Lah jua baisi jukung bapangayuh bagiwas Ulin manggis, bapananjak buluh parindu Ada beberapa prosa lirik merupakan monolog dalam mengungkapkan jalam cerita, maupun keindahan atau kecantikan seseorang. Misalnya : Bengkengnya Galuh Putri Jung Masari dalam mahligai. Sabagaimana kambang nang sadang harum harumnya. Rupa bungas, rupa nang langkar, manisnya. Bakambang goyang, bagalang di batis. Anak rambutnya malantang wilis. Putih kuning kuku panjang nipis nang kaya gambar ditulis. Kemudian penuturan cerita biasanya dengan prosa lirik, seperti : Kasan Mandi maluncat ka atas kuda, lamut ka atas kuda Kasan Mandi. Mamukul kuda, lamut jua, tarur Kasan Mandi mambalap ka hujung kampung nargi Palinggam Cahaya.Lamut mambontel di balakang malalui Pasiban Basar. Jauh tatinggal, maka ujar Kasan Mandi : Paman Lamut lakasi paman , malam pacangan kadap, subuh tatarang upih, kita mudahan sampai ka rimba rimbangun.
TARI GANDUT
sebagai tarian aslinya hanya sebagai pengingat dalam pelestarian kesenian tradisional Banjar.
Para pemain musik/penabuh music pengiring tarian ini duduk berjejer pada salah satu sisi arena yang tidak jauh dari Gandut tersebut. Penempatan tabuhan ini diatur demikian supaya dalam memulai lagu dan juga mengakhirinya dapat serasi. Lagu-lagu pengiring tarian ini adalah : 1. 2. 3. 4. Tari Gandut Mangandangan dengan lagu pengiring Lagu Mangandangan Tari Gandut Mandung-Mandung dengan lagu pengiring Lagu Mandung-Mandung Tari Gandut Karoncongan dengan lagu pengiring Lagu Karoncongan Tari Gandut Manunggul dengan lagu pengiring Lagu Manunggul
tari Gandut pada zaman dahulu cukup hanya dengan menggunakan kain, baju kebaya biasa, selendang atau sapu tangan. Beitu pula dengan penari prianya, hanya berpakaian biasa seperti pakaian lazim dipakai oleh masyarakat petani untuk acara-acara pesta atau pakaian yang biasa mereka pakai dalam upacara perkawinan di desa.
Sebagaimana upacara-upacara adat lainnya, upacara manyanggar banua ini juga membutuhkan perlengkapan upacara. Perlengkapan tersebut meliputi :
Alat Upacara a. b. c. d.
e.
Panggung (panjang 10 m, lebar 8 m) diggunakan untuk tempat pelaksanaan upacara. Binatang, biasanya kerbau atau kambing, sebagai simbol menebus daerah tempat yang terkena wabah penyakit atau yang dianggap tidak aman. Ranting kayu uringin, diletakkan diatas panggung. Tombak, diletakkan bersama ranting kayu tadi. Tatungkal (tapung tawar), dipercaya dapat mendinginkan daerah yang dianggap tidak aman tadi, Ancak, tempat sesasjen seperangkat alat kesenian (wayang kulit dan topeng) secukupnya. Dimaksudkan untuk menutupi kekurangan dalam upacara tersebut.
f.
g.
h. piduduk, paket yang berisi beras, gula merah, jarum, kelapa, dan uang
i.
Sesajen a. b. c. d. e. f. Lemang (beras ketan), gunanya agar penduduk tidak diganggu makhlik halus. Telur ayam atau bebek, merupakan simbol agar selalu bersatu dan tidak melakukan perpecahan. Nasi ketan. Tapai. Harapan supaya cita-cita mereka tercapai. Bubur merah dan bubur putih, simbol agar daerah menjadi subur dan penyakit agar cepat hilang. Pisang emas, harapan mengenai hasil panen agar lebih baik dari tahuntahun kemarin.
g. h. i. j. k. l.
Kakicak, gunanya sebagai simbol agar pekerjaan, dan perbuatan mereka selalu bermanfaat. Kakulih, gunanya sebagi simbol pengharapan agar usaha mereka selalu memperoleh keuntungan. Cucur, sebagai simbol pengharapan agar apa yang mereka kerjakan berjalan dengan lancar. Nasi topeng, pengharapan agar usaha mereka semakin meningkat (berkembang). Ketupat. Wajik, pengharapan agar mereka gemar melakukan kebajikan. (makhluk halus tidak mendiami tempat itu lagi).
m. Dua ekor ayam sudah masak hitam (mengusir penyakit) dan putih n. Serabi
tombak terdapat para pembawa ancak sesajen dan diapit oleh sekitar 40-50 orang menuju sumur sambil membunyikan gamelan. Sesampainya di sumur, pimpinan upacara mengambil kepala hewan (kerbau atau kambing) yang masih berdarah dan di letakkan disebatang pohon bambu disekitar lokasi upacara. Seorang wanita yang kesurupan mengambilnya sambil menari-nari memakan kepala kambing sambil menghisap darahnya. Acara mengantar sesajen diakhiri dengan dipercikannya tapung tawar dan batampungas (membasuh muka) di sumur datu. Pada malam harinya diadakan acara wayang sampir yang membawakan lakon khas penyerahan sesajen, dalangnya ialah dalang khusus dari keturunan datuk Taruna. Mejelang subuh diadakan wayang ba ayun yang menceritakan anak cucu sudah di-dudus di-ayun dan resmi menjadi keluarga Datu taruna. Rangkaian terakhir dari upacara ini ialah upacara manopeng. Pada acara tari topeng ini, dimainkan peran Pantul dan Amban sebagai pengasuh anak-anak dengan gerak-gerik hyang menggelikan. Sebagai penutup, diadakan upacara mambulikakan undangan (memulangkan undangan). Dalang selaku pemimpin upacara mengucapkan manteramantera mempersilakan para makhluk ghain yang dipercayai telah hadir dalam upacara untuk kembali ke alam mereka. Dengan demikian selesailah upacara manyaggar banua.
MAMANDA
Sejarah Mamanda
Asal muasal Mamanda adalah kesenian badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan selatan bernama komedi indra bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda. Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda". Istilah Mamanda berasal dari kata mama yang berarti paman atau pakcik dan kata nda sebagai morfem terikat yang berarti terhormat. Jika digabung, Mamanda berarti paman yang terhormat. Kata paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini juga berlaku untuk orang yang dianggap seusia atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata ini juga sering digunakan oleh seorang sultan ketika menyapa mangkubumi atau wazirnya dengan sebutan mamanda mangkubumi atau mamanda wazir. Kata Mamanda juga sering digunakan dalam syairsyair Banjar. Ada dua aliran dalam Mamanda, yaitu: 1. Aliran Batang Banyu. Aliran ini dipentaskan di perairan atau sungai sehingga disebut dengan istilah Mamanda Batang Banyu. Aliran yang juga disebut Mamanda Periuk dan berasal dari Margasari ini merupakan cikal bakal Mamanda.
2. Aliran Tubau (lahir pada tahun 1937 M). Aliran yang berasal dari Desa Tubau Rantau ini merupakan perkembangan baru dari Mamanda yang kini justru sangat terkenal. Aliran ini berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak bersumber dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Struktur pertunjukannya masih seperti teater pada umumnya, yang dimulai dari ladon atau konom, sidang kerajaan, dan cerita. Pementasan aliran ini tidak mengutamakan musik atau tari, namun lebih mengutamakan bagaimana isi ceritanya. Aliran ini biasanya dipentaskan di daratan sehingga juga dikenal dengan sebutan Mamanda Batubau.
Struktur Pemain
Sebagaimana kesenian tradisional pada umumnya, Mamanda merupakan ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada setiap lakon yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh utama dan ada pula yang berperan sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh utama harus ada pada setiap pertunjukan.
Sedangkan peran pemain pendukung hanya berdasarkan pada cerita yang mengharuskan kehadirannya. Artinya, kehadiran pemain pendukung hanya ketika dibutuhkan saja. Tokoh-tokoh utama yang diangkat dalam pementasan Mamanda adalah sebagai berikut: 1. Sultan 2. Mangkubumi 3. Wazir 4. Perdana menteri 5. Panglima perang 6. Harapan I dan harapan II 7. Khadam/badut 8. Sandut/putri Tokoh-tokoh pendukung dalam pementasan Mamanda adalah sebagai berikut: 1. Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh 2. Anak muda 3. Dayang 4. Komplotan bial/penyamun 5. Raja jin 6. Orang miskin 7. Orang tua
Harapan I dan harapan II muncul ke pentas pertunjukan. Ketika baru sampai sepertiga arena, tepatnya di dekat meja sidang kesultanan, mereka berhenti sejenak lantas menyebutkan nama, jabatan, dan kemampuannya masing-masing. b. Perdana Menteri Setelah mendapatkan laporan dari perdana menteri, sultan memasuki ruang sidang kesultanan. Ia diikuti oleh para stafnya, yaitu mangkubumi, wazir, dan perdana menteri. Sesampainya di belakang meja persidangan, sultan memukul-mukulkan tongkatnya sembari memuji segala pekerjaan harapan I dan harapan II. Sultan kemudian mengungkapkan nama, jabatan, dan apa saja seluruh kekuasaannya. Ia menyempatkan diri menyanyikan lagu yang isinya memuji kesultanannya. c. Sultan dan Para Staf Setelah mendapatkan laporan dari perdana menteri, sultan memasuki ruang sidang kesultanan. Ia diikuti oleh para stafnya, yaitu mangkubumi, wazir, dan perdana menteri. Sesampainya di belakang meja persidangan, sultan memukul-mukulkan tongkatnya sembari memuji segala pekerjaan harapan I dan harapan II. Sultan kemudian mengungkapkan nama, jabatan, dan apa saja seluruh kekuasaannya. Ia menyempatkan diri menyanyikan lagu yang isinya memuji kesultanannya. Lagu-lagu tersebut misalnya: Lagu Dua Mamanda Banyu Batari yadan wayuhai lanya pangbastari yadan sayang saying Angkaumu dangar, kasian banarai barpai sayang lanya pang barpari yadan Salama saya dinagni pang dinagni Salama lanya pang la sayang, yadan sayang sayang Ramai bagaimana, ramai bagaimana, waduhai Ayahnda Wazir nang kusayangi nagri, dalam lanya pang, la nagri yadan sayang sayang Ramai bagaimana, Ayahnda, Mamanda Mangkubumi nang kusayangi nagri di dalam lanya la nagri yadan sayang saya Lagu Dua Mamanda Tubau Aduhai wazir Usullah Darmawan Aduhai wazir Usullah Darmawan
Cukup atawa bukan Waduhai uang pemberian Yalan yalan yalan Dengan sabanar jua wayuhai nang Lamak sadang mangatakan Betalah mangatakan, katakan, betalah mangatakan Yalan yalan yalan Setelah selesai bernyanyi dan menari-nari, sultan pun memerintahkan para stafnya untuk ikut bernyanyi dan menari bersama. Suasana sidang menjadi penuh dengan luapan kegembiraan. Sultan kemudian menyatakan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah bergembira bersamanya. d. Panglima perang Jika ternyata sultan memiliki putra-putri, maka mereka diharapkan agar datang ke sidang sebelum acara dimulai. Kedatangan mereka ke dalam ruang sidang diiringi oleh dayang-dayang. Sultan kemudian memerintahkan harapan I dan harapan II untuk menjemput panglima perang ke ruang sidang kesultanan. Setelah acara sidang kesultanan selesai digelar, para pemain kembali ke balairung seri yang letaknya tidak jauh dari pentas pertunjukan. Ketika ada jeda waktu, biasanya acara pertunjukan bisa diisi dengan tari-tarian. e. Pemain Dalam bagian ini, para pemain yang akan diturunkan disesuaikan dengan bagaimana isi jalannya cerita. Artinya, peran mereka tidak perlu lagi didasarkan pada tradisi turunnya pemain dalam sidang kesultanan yang sebelumnya telah usai digelar. f. Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh Bagian ini merupakan akhir dari pertunjukan Mamanda. Acara yang digelar berupa babujukan, yaitu semacam acara peminangan terhadap satu atau beberapa orang putri yang dilakukan oleh anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh. Acara ini dilakukan dengan nyanyian dan tarian, yang juga diiringi dengan kata-kata rayuan. Sebagai catatan tambahan, setiap pemain yang diturunkan sering dimulai dengan penjelasan yang menggunakan monolog tertentu. Monolog yang diucapkan masing-
masing berbeda karena disesuaikan dengan lakon yang diperankan. Monolog tersebut selalu menjelaskan nama, pangkat, kegagahan diri, serta tugas dan kewajibannya masingmasing.
Bahasa
Bahasa dalam teater Mamanda digunakan sebagai alat komunikasi untuk melakukan dialog, sehingga terjadi apa yang disebut dengan alur cerita. Ada dua macam penggunaan bahasa dalam pertunjukan Mamanda, yaitu:
1) Bahasa di dalam sidang kesultanan
Dialog dalam sidang ini biasanya menggunakan bahasa Melayu dengan dialek dan struktur bahasa Belanda. Dipergunakannya dialek dan struktur bahasa Belanda karena Mamanda lahir pada masa penjajahan Belanda.
2) Bahasa di luar sidang kesultanan
Di luar sidang kesultanan biasanya yang digunakan adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar merupakan perpaduan antara bahasa Melayu dengan bahasa Jawa Kuno.
Tata Busana
1. Sultan
Sultan mengenakan seluar bersirit tepi, yaitu baju yang disulam dengan manikmanik. Di bagian tengah tutup kepala dihiasi dengan bulu burung putih sebagai mahkota sultan.
2. Perdana Menteri
Busana yang digunakan perdana menteri hampir sama dengan busana sultan. Hanya saja, perdana menteri tidak menggunakan mahkota, bahkan kadang tidak menggunakan tutup kepala sama sekali.
3. Wazir
Wazir biasanya mengenakan pakaian dalam yang lebih panjang dari pakaian luarnya. Ia mengenakan penutup kepala yang tidak bersegi, alias bulat.
4. Panglima Perang
Panglima perang mengenakan baju bermanik-manik, yang dilengkapi dengan senjata pedang. Di bahunya diselendangkan teratai yang terbuat dari benang emas. Tutup kepalanya berupa laung, bahkan kadang mengenakan topi polisi saja.
5. Harapan I dan Harapan II
Harapan I dan harapan II mengenakan baju dalam dan baju luar yang mirip dengan baju koboi, namun dengan ada sedikit manik-maniknya. Mereka berdua menggunakan senjata dan penutup kepala.
6. Putri
Putri mengenakan kebaya atau kadang baju kurung yang dilengkapi dengan mahkota di kepalanya.
7. Raja Jin
Raja jin biasanya mengenakan topeng. Jika tidak ada, ia juga bisa membedaki wajahnya dengan arang atau kapur yang dicampur denga pewarna merah kesumba.
8. Penyamun
Penyamun mengenakan sebuah topi yang mirip dengan topi dalam pementasan teater di Barat. Di samping itu, ia juga mengenakan kacamata berwarna hitam.
9. Anak Muda
Anak muda mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu warna hitam.
Alat perlengkapan yang digunakan biasanya hanya berupa meja dan kursi, yang disusun rapi dan disesuaikan dengan bagaimana isi atau cerita pertunjukannya. Kadang ada sekat yang memisahkan antara panggung dan tempat duduk penonton, namun kadang pula tidak ada sekat sama sekali.
Struktur atau urutan pementasannya biasanya dibuka dengan adanya bunyibunyian yang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada penonton bahwa pertunjukan akan dimulai. Pertunjukan di awal biasanya berupa acara perkenalan dengan nyanyian dan tarian. Setelah itu lakon baru dipertunjukkan. Proses penyajian lakon dilakukan secara berurutan yang disesuaikan dengan jalan cerita. Penyajiannya tidak hanya berupa dialog dan laku, namun juga diringi dengan tarian dan nyanyian. Tidak jarang cara penyajiannya dibungkus dengan lawakan dan lelucon yang biasanya muncul secara spontan sebagai bentuk kreativitas para pemainnya sendiri.