You are on page 1of 191

1.

Hukum Agraria Indonesia


A. Latar Belakang Hukum Agraria Di Indonesia Sebagai negara yang merdeka yang sudah mempunyai landasan yang ideal, maka politik hukum yang berlaku sebelumnya secara berangsur-angsur dihapuskan dan diganti dengan politik hukum yang sesuai dengan prinsip yang dianut oleh negaranya. Demikian halnya dengan negara Indonesia yang telah mempunyai falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka setiap undang-undang dan segala perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan landasan hukumnya. Di bidang pertanahan, politik hukum pertanahan di Indonesia sebagai bagian politik hukum harus menyesuaikan hukum yang berlaku dengan falsafah hukum Indonesia sendiri. Hukum yang sesuai dengan kepentingan, keadaan dan kebutuhan masyarakat. Pentingnya masalah pertanahan ini sudah diatur dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengingat bahwa tanah bagi kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia dilahirkan hidup dan bertempat tinggal dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai kepada akhir hanyatnya di mana ia dikuburkan tidak terlepas ikatannya dengan tanah. Oleh sebab itu, tanah menyangkut segala aspek magis, religius, sosio-ekoNo.mis, psikologis, hankamnas. Manusia akan hidup bahagia, jika di dalam memanfaatkan tanah dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Terutama di Negara Indonesia yang merupakan negara Agraris, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekoNo.miannya, terutama masih bercorak agraris, bumi air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan tegas dicantumkan pada Pasal 33 ayat (3) tentang dasar pengaturan pertanahan ini, yang menyebutkan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakuran rakyat. Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan Tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan kewajiban terhadap tanah tersebut. Jonh Salindeho, menyebutkan antara lain tentang masyarakat dan hubungannya dengan tanah sebagai berikut: kita mengenal masyarakat dengan adanya manusia-manusia yang tidak mengasingkan diri dari kehidupan sekitarnya dan disitulah mereka terhubung dengan tanah dimana mereka membangun kehidupan sebagaimana layaknya (Jonh Salindeho, 1994:35) GBHN 1983, Bab IV, huruf D, angka 27, menyebutkan: Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, pengusaan dan pemilikan tanah teramasuk pengalihan hak atas tanah. Negara sebagaimana disebutkan pada Pasal 33 ayat (3) harus dapat mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) untuk kemakmuran rakyat. Negara tidak boleh memiliki, negara hanya sebagai penguasa untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan tanah untuk agar tanah dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat.

Sejak Indonesia merdeka cita-cita merombak hukum kolonial yang berlaku pada zaman penjajahan telah ada untuk menciptakan hukum agraria nasional yang berlandaskan kepada Pasal 33 ayat (3), UUD 1945 (Dalimunthe, 1998:2). Bahwa hukum agraria pada zaman kolonial sifatnya dualisme yang pada azasnya hukum agraria yang berlaku bagi golongan penjajah lebih tinggi kedudukkannya dari hukum agraria yang berlaku bagi golongan yang dijajah. Namun pekerjaan untuk menciptakan suatu ketentuan perundang-undangan yang sifatnya unifikasi (mengganti yang dualisme bukanlah pekerjaan yang mudah). Perubahan dari hukum kolonial ke hukum nasional tidak terjadi secepat pergantiaan kekuasaan, misalnya pergantian kekuasaan dari Pemerintah Kolonial ke Pemerintah Nasional (Eddy Ruchiyat, 1984:1). Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa segala peraturan yang lama masih berlaku, sepanjang belum diatur menurut Undang-Undang Dasar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No..2 Tahun 1945,

menyebutkan pada pasal 1: Segala badan-badan negara dan peraturanperaturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku asal saja tidak bertentang dengan UUD (Eddy Ruckhiyat, 2004:3). Menciptakan hukum agraria secara nasional baru terwujud pada tanggal 24 September 1960, dengan lahirnya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria No..5 Tahun 1960 (UUPA).

Namun sebelum lahirnya UUPA secara sporadik telah dikeluarkan berbagai peraturan mengenai pertanahan yang menyangkut berbagai materi seperti:

a. Penghapusan tanah partikulasi, Undang-Undang No..1 Tahun 1958. b. Penghapusan tanah-tanah swapraja yaitu Undang-Undang No..8
Tahun 1953.

c. Undang-Undang Bagi Hasil, yaitu Undang-Undang No..2 Tahun


1960 (Dalimunthe, 1998:2).

d. Penyelesaian Masalah Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat,


Undang-Undang Darurat No..8 Tahun 1954.

e. Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Pemiliknya atau Kuasanya,


Pepperpu No..011 Tahun 1958. B. Peraturan Pertanahan Pada Zaman Penjajahan 1. Dualisme Hukum Pertanahan Pada zaman penjajahan hukum agraria yang berlaku di Indonesia bersifat dualisme. Hal ini terjadi sesuai dengan tujuan bangsa asing untuk menjajah ke Indonesia adalah untk memperoleh hasil yang sebanyakbanyaknya dari bumi Indonesia. Oleh karena itu diaturlah ketentuan perundang-undangan agraria ini dalam bentuk yang memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi golongan penjajah. Berlakunya hukum adat disamping hukum barat sebenarnya pada waktu itu menurut Nederburgh adalah semata-mata karena kesabaran dari kompeni menghadapi Hukum adat yang kemudian di dalam uraian lebih lanjut diteruskan kesabaran itu oleh pembentu AB dan RR (Moh. KoeNo.e, 1979:164). Perbedaan hukum agraria yang berlaku itu didasarkan kepada 3 hal, yaitu:

a.

Didasarkan kepada sistem pemerintahan yang terdiri dari: 1) daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah

Pusat yang disebut dengan Daerah Gubernemen; 2) daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah Swapraja (Dalimunthe, 1998:9). Berdasarkan pembagian sistem pemerintahan ini, maka hukum agraria yang berlaku di kedua daerah ini juga berbeda. Menurut Pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah Gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di dalam peraturan tersebut. Bahwa peraturan itu juga berlaku di daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan yang lain. Sebagai contoh (Dalimunthe, 1998:9)

1) 2)

Pasal 1 Agrarische Besluit (S. 1873:116), tentang

tanah negara (Staatsdomein) tidak berlaku untuk daerah Swapraja. Tanah mentah (woeste gronde) di daerah-daerah

Swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarische Besluit. Tanah-tanah mentah berlaku menurut hukum adat di daerah-daerah Swapraja. Oleh karena peraturan-peraturan umum dari Pemerintah Pusat pada azasnya tidak berlaku di daerah-daerah Swapraja, maka jika dipandang perlu Pemerintah menyediakan peraturan-peraturan sendiri dengan mengambil sebagian pedoman peraturan-peraturan yang berlaku di daerah Gubernemen. Contoh: Ordonnantie Erfpacht yang berlaku di daerah-daerah Gubernemen luar Jawa dan Madura (S. 1914-367) maka untuk daerah Swapraja luar Jawa dan Madura diadakan peraturan sendiri yaitu Ordonnantie Erfpracht yang diatur dalam S. 1919-61 b. Perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dengan Di dalam penerapan dan pemberlakuan hukum untuk Jawa dan Madura berbeda dengan luar Jawa dan Madura. Contoh S. 1872-117, tentang

Perubahan status Hak Milik Adat menjadi agrarische-eigendom hanya berlaku di Jawa dan Madura. c. Perbedaan hukum golongan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), membagi penduduk Indonesia atas 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) golongan Eropah, 2) golongan Indonesia asli (Bumi Putera), dan 3) golongan Timur Asing. Pada Pasal 131 IS, ditetapkan, bahwa bagi golongan Eropah berlaku hukum Eropah (hukum Barat) bagi golongan Timur Asing dan rakyat Indonesia asli. Bagi penduduk yang beragama Kristen juga diberlakukan hukum Eropah khususnya hukum keluarga. Pada tahun 1917 hukum Eropah juga diberlakukan bagi golongan Timur Asing. Dengan berlakunya UUPA hukum agraria yang berlaku untuk golongan Eropah ini disebut dengan istilah hukum Barat dan untuk rakyat Indonesia asli disebut dengan hukum adat. Hak-hak atas tanah untuk golongan Eropah Europere-grondrechten (hak-hak adat). Beberapa ketentuan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jajahan menyangkut pertanahan antara lain:

a)

Agrarische

Wet, yang

isinya

antarala lain memberi

kesempatan kepada perusahaan pertanian besar untuk berkembang di Indonesia (S. 1870-55).

b)

Agrarische Besluit (S. 1870-118), yang pada Pasal 1 memuat

tentang tanah negara. Semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom orang lain adalah domein negara/eigendom negara-tanah negara.

c)

Koninklijk Besluit.

2. Kepastian Hukum Hak-Hak atas Tanah Terjadinya dualisme hukum yang berlaku tentang pertanahan, yauitu berlakunya hukum Barat dan hukum adat menyebabkan ketentuan yang

berlaku untuk kedua hukum ini juga berbeda. Hukum Barat

yang

melahirkan hak-hak Barat seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dan lain-lain semuanya sudah terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah (Kantor Kadaster) menurut overschrijvings ordonnantie atau Ordonansi Balik Nama (S. 1834-27) cara memperoleh hak, peralihannya, hapusnya dan pembebanannya diatur menurut ketentuan Hukum Perdata Barat. Tanah-tanah hak adat (Indonesia) hanya sebagian kecil yang terdaftar yaitu yang berada di daerah-daerah istimewa Yogyakarta dan Surakarta dan daerah-daerah Swapraja lainnya, seperti Sumatera Timur, Kalimantan Barat dan Riau. John Salindeho, menyebutkan tentang hukum tanah adat, bahwa: Kelemahan dari Hukum Adat, terutama Hukum Agraria/Tanah Adat, disebabkan ia pada umumnya tidak tertulis sehingga oleh masyarakat dan terutama oleh aparat pemerintah dan penegak hukum agak sulit memberi jaminan akan kepastian hukum atasannya (Jhon Salindeho, 1988:265). Pendaftaran tanah-tanah milik yang diselenggarakan di daerah-daerah lainnya di Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan oleh KantorKantor Landrente atau pajak bumi bukan pendaftaran untuk kepastian hukum (rechtskadaster), tapi bertujuan untuk kepentingan pajak bumi (fiscaalkadaster) (Ruchiyat, 1984:6). Hak agrarische eigendom yang berasalkan dari hak milik adat atas permohonan pemiliknya oleh Pemerintah Jajahan dirobah status haknya menjadi agrarische eigendom sesuai dengan ketentuan Pasal 51 IS ayat (6). Hak agrarische eigendom ini tetap termasuk kepada hak adat, yang kepadanya berlaku ketentuan S. 1872-117 (Saebekti dalam Ruchiyat, 1984:6). Ketentuan-ketentuan pokok dan azas-azas hukum agraria barat bersumber pada KUH Perdata Barat (Burgerlijk Wetbook: BW). 3. Landasan Hukum Agraria Penjualan

Agrarische Wet sebagai landasan hukum agraria barat pada zaman penjajahan, yang mengatur tentang pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian besar berkembang di Indonesia diatur di dalam S. 1870-55. berdasar ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dengan Agrarische Besluit (Keputusan Agraria S. 1870-118) yang pada Pasal 1 memuat suatu azas yang disebut dengan Pernyataan Umum Tanah Negara (Algemeen Domeinverklaring). Pernyataan Umum ini berbunyi, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom perseorangan (privat), adalah tanah (eigendom) negara. Oleh karena rakyat Indonesia asli yang kepadanya berlaku hukum adat, maka mereka tidak dapat membuktikan adanya hak eigendomnya, sehingga hak-hak adat termasuk kepada eigendom negara yang tidak bebas. Berdasarkan ketentuan domein verklaring tersebut, maka tanah-tanah negara terdiri dari:

a. b.

Tanah negara yang bebas (Vrij Landsdomein), yaitu tanah yang

didalamnya tidak ada hak-hak Indonesia. Tanah negara yang tidak bebas (Orvrij Landsdomein), yaitu

tanah yang didalamya ada hak-hak Indonesia. Yang tidak termasuk eigendom negara adalah: a) Tanah-tanah swapraja Tanah eigendom perseorangan (privat) Tanah Partikulir Tanah eigendom agraria (agrarische eigendom)

b)
c)

d)

Dengan S. 1875-119 a Algemeen Domeinverklaring ini juga berlaku di luar Jawa dan Madura. Disamping pernyataan umum tanah negara, di luar Jawa dan Madura berlaku pula pernyataan khusus tanah negara yaitu:

a) Domeinverklaring untuk Sumatera (Pasal 1, S. 1874-94f) 8

b) Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado (Pasal 1, S. 1877-55) c) Domeinverklaring untuk Residen Zuideren Ooster Afdeling dan
Borneo (Pasal 1, S. 1888-58) Ketentuan mana menyebutkan, bahwa semua tanah kosong di daerahdaerah Gubernemen di Suamtera, Keresidenan Manado, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, termasuk kepada tanah negara jika diantaranya tidak ada hak-hak penduduk asli yang diperoleh dari membuka tanah (Ruchiyat, 1984:23). 4. Hak-Hak atas Tanah Menurut Hukum Barat Di dalam hukum Perdata, Buku II KUH Perdata (BW) dikenal bermacam-macam hak atas tanah, seperti:

a) Hak eigendom (Pasal 570). Hak eigendom adalah hak yang paling
mutlak yang dapat dengan bebas menguasai dan mempergunakan seluas-luasnya hak tersebut asal tidak bertentangan dengan Undangundang.

b) Hak opstal (Pasal 711), yaitu hak benda untuk mempunyai bangunan
atau tanaman di atas tanah orang lain.

c) Hak erfpacht (Pasal 720) adalah hak kebendaan untuk menikmati


sepenuhnya penggunaan tanah dengan kewajiban membayar pacht napeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan terhadap hak miliknya, baik berupa uang, maupun berupa hasil dari tanah itu.

d) Hak vruchtgebruika (hak pakai hasil) (Pasal 756). Hak pakai hasil adalah
suatu hak kebendaan untuk memungut hasil dari tanah orang lain. Selanjutnya dikenal pula hak sewa dan hak pinjam yang sifatnya persoonlijk diatur di dalam Buku III KUH Perdata. 5. Hak-Hak atas Tanah Menurut Hukum Adat a) Hak Persekutuan atas Tanah

Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku itu adalah hukum adat. Oleh sebab itu di dalam membahas hukum adat, tidak boleh terlepas dari sistim yang dianut dalam hukum adat, hal-hal apa yang ada, serta hubungan-hubungan hukum antara masyarakat (anggota masyarakatnya) dengan tanah. Di dalam hukum adat dikenal hak-hak yang bersifat publik dan yang bersifat privat. Hak yang bersifat publik adalah hak ulayat. Hak ulayat oleh Van Vollenhoven disebut dengan beschilkingsrecht adalah suatu hak atas tanah yang hanya dikenal di Indonesia yaitu suatu hak yang tidak dapat dipecah-pecah dan mempunyai dasar keagamaan (religie) (Van Vollenhoven dalam Dirman 1952:36). Oleh dr. C.C.J. Maassen dan APG Hens dalam bukunya Agrarische Regeling voor Governementsgebeid van Java en Madura, menyebutkan hak ulayat sebagai berikut: Yang dinamakan hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauanya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerah buat kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa. Dalam hal desa itu sedikit banyak turut campur dalam pembukaan tanh itu dan turut bertanggungjawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan (Dirman, 1958:36). Menurut Ter Haar bahwa hak ulayat itu menurut pandangan bangsa Indonesia, ada hubungan yang erat antara penduduk desa dengan tanahnya, di mana mereka berdiam, tanah yang menghasilkan makanan, tanah di mana mereka akan dikuburkan, tanah yang di lindungi oleh dayang-dayang desa (Ter Haar dalam Dirman, 1952). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa tanah di desanya mempunyai hubungan erat dengan masyarakatnya, yang tidak boleh ada campur-campur tangan masyarakat luar di dalamnya, kecuali dengan izin. Mengenai masalah tanah Hooker menyatakan bahwa hukum adat mempunyai ketentuan yang

10

menekankan sifat yang komunal bukan yang bersifat individu. Sebagai contoh, harta pusaka Minangkabau. Pengertian milik tidak lebih dari hak untuk memungut hasil sesuai dengan penggunaannya. Hak milik tidak boleh dialihkan kecuali diantara persekutuan hukum itu (MB Hooker, 1978:119). Setiap anggota persekutuan mempunyai hak wenang pilih untuk mengerjakan tanah hak ulayatnya. Jika tanah itu telah dikerjakan secara terus menerus, maka hubungan tanah itu dengan warganya tersebut menjadi erat, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayatnya menjadi renggang. Apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkan penggarapnya tersebut mengakibatkan hubungannya dengan tanah tersebut semakin renggang dan hubungan tanah dengan hak ulayatnya semakin erat kembali (Dalimunthe, 1998:21,22). b) Hak Milik Perseorangan atas Tanah Dengan makin renggangnya hubungan antara tanah dengan hak ulayatnya, maka ikatan hukum antara orang-orang yang mengerjakan tanah itu semakin kuat. Jika turut campurnya desa dalam hal tanah makin kurang maka hak perseorangan atas tanahnya menjadi kuat. Mempunyai tanah lebih dari satu bidang dan menjual tanahnya kepada orang lain di luar desa diizinkan (Eddy Ruchiyat, 1984:35). Hak yang demikian inilah yang kemudian diakui sebagai hak milik perseorangan. Hak milik dapat dipandang sebagai hak benda tanah, hak mana memberi kekeuasaan kepada yang memegangnya untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah itu dan mempergunakan tanah itu seolah-olah sebagai eigenaar, dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan dari Pemerintah (Roestandi, 1962:53) lihat Ruchiyat). Hak milik adat (Indonesiech bezitsrecht) dipandang sebagai hak benda tanah, tapi tidak sama dengan hak bezit dalam BW). Prof C Van Vollenhoven dalam bukunya De Indonesier en Zijngrond (orang Indonesia dengan tanahnya), menyebutkan:

11

Hak milik itu adalah suatu macam hak eigendom Timur (Ooster eigendomsrecht) yang walaupun tidak berdasar BW, toh mengandung banyak inti (esensialia) yang sama dengan eigendom menurut hukum Perdata Barat (BW). Orang yang mempunyai hak milik dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri, asal saja tidak melanggar hukum adat setempat dan tidak melampaui batas-batas yang diadakan oleh pemerintah. Ia berhak menjual tanahnya, menggadaikannya, dan mewariskannya kepada ahliwarisnya. Hak milik itu dahulu disebut dengan istilah Indonesisch Besitrecht, yang pengertiannya tidak sama dengan hak bezit didalam BW (Pasal 529). Bezit dalam BW hanya mewujudkan hubungan yang nyata (feitelijk verhouding) dan tidak mengangkut hubungan hukum (rechtsverhounding) (Eddy Ruchiyat, 2004:37). c) Hak-Hak Lain yang Diatur Tersendiri 1) Tanah-tanah partikulir Tanah partikulir ini adalah tanah yang luas yang pada umumnya masih kosong diberikan kepada orang-orang partikulir dengan hak eigendom penuh. Bila kepentingan umum menghendaki pemerintah masih berhak mengatur segala sesuatunya, meskipun kepadanya telah diberikan hak eigendom (Dirman, 1952:55). Tanah partikulir ini diatur dengan suatu Reglemen, ada yang berlaku di Jawa dan Madura dan ada di luar Jawa dan Madura yaitu di Sulawesi Selatan. Hak-hak pemilik tanah partikulir disebutkan dalam Pasal 624 BW, sebagai berikut: Bahwa hak penduduk di tanah partikulir, meskipun sudah diserahkan oleh Pemerintah kepada perorangan tidak berubah sebagai pemegang hak milik adat, haknya tetap dihormati.

12

Ketentuan ini hanya berlaku pada tanah partikulir yang ada di Sulawesi Selatan. Di daerah Jawa dan Madura ditetapkan bahwa hak penduduk terhadap tanah kosong diberikan hak erfpacht dengan kewajiban membayar pajak kepada pemilik tanah partikulir, jika pada waktu membuka tanah kosong tersebut dilakukan dengan biaya sendiri. Pemilik tanah berhak mempekerjakan penduduk bangsa Indonesia dan mereka yang disamakan, dengan tidak membayar upah dan hanya diberi makan secukupnya. Kerja paksa ini dilakukan 1 hari dalam seminggu, untuk satu tahun menjadi 52 hari, jika tidak mampu melaksanakan harus mengganti dengan uang, jika tidak dapat dilaksanakan dapat dihukum pidana.

13

II. Peraturan Pertanahan Pada Masa Peralihan


A. Perombakan Hukum Agraria Secara Sporadis Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan agraria produk Hindia Belanda secara berangur-angsur dihapuskan karena dirasakan tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan. Hukum agraria yang berlaku sebelumnya yang boleh dikatakan hanya mementingkan bagi penjajah harus dihapuskan. Demikian juga ketentuan-ketentuan yang dalam keadaan darurat harus diterapkan perlu direvisi kembali. Oleh karena perombakan hukum agraria secara total tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, karena hal tersebut merupakan pekerjaan besar dan memerlukan pemikiran yang sangat mendalam, maka perombakan hukum agraria di Indonesia dilakukan secara sporadis. Perombakan secara sporadis yang berarti secara berangsur-angsur satu demi satu peraturan yang bertentangan dengan alam nasional Indonesia dihapuskan dan diganti dengan peraturan agraria yang baru yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1. Tanah Di Bawah Kekuasaan Langsung Oleh Negara a. Penyelesaian tanah-tanah yang dahulu diambil oleh Pemerintah Penjajahan Jepang Sebagaimana diketahui bahwa selama penduduk Jepang banyak tanahtanah penduduk ataupun tanah-tanah hak Barat banyak yang diambil oleh pemerintah Jepang baik dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat dan mencegah terjadinya status tanah yang tidak menentu, maka perlu segera ditertibkan kembali status tanah-tanah dimaksud.

14

Dengan Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No..H 20/5/7, tanggal 9 Mei 1950 dan No. Agr 40/25/13, tanggal 13 Mei 1953, ditetapkan:

1)

Tanah-tanah yang diambil secara paksa dikembalikan

kepada pemilik atau ahli warisnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika ada uang ganti rugi yang diterima dikembalikan pada negara sesuai dengan nilai perbandingan.

2)

Jika pengembalian tersebut tidak diinginkan pemilik, maka

apabila tidak diperlukan untuk kepentingan pemerintah dapat diberikan pada penduduk yang memerlukan. 3) a) Penetapan kedudukan tanah Yang berasal dari tanah penduduk asli yang diambil oleh Pemerintah Penjajahan Jepang dengan ganti rugi dipandang sebagai telah diberikan dari hak-hak Indonesia menjadi tanah negara. b) Tanah-tanah yang diambil tanpa ganti rugi tetap Terhadap hak-hak Barat, karena diambil tidak kepunyaan pemilik semula.

c)

berdasar ketentuan onteigerning dan tanah tersebut masih tetap tertulis atas nama pemilik semula, tidak menjadi tanah negara. d) tanah negara. e) Jika keadaan tanah tersebut sudah berbeda dengan keadaan semula, umpamanya sebelumnya ada rumah tanaman dan sebagainya maka pengembalian ganti rugi tidak diharuskan sepenuhnya. b. Penguasaan tanah negara Di dalam ketentuan domeinvsrklaring yang diatur pada Pasal 1, Agrarische Besluit, dinyatakan bahwa semua tanah yang bebas sama sekali dari hak-hak seseorang (baik berdasar hak-hak adat asli Indonesia maupun Jika sudah terjadi balik nama maka harus menjadi

15

hak-hak berdasar hukum Barat) dianggap menjadi tanah eigendom negara bebas (vrij landsdomein) yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai penuh oleh negara, tanah-tanah vrij landsdomein ini secara khusus belum ada pengaturannya. Di dalam ketentuan Staatsblad 1911 No. 110 yang kemudian diubah dengan Stb 1940:430, disebutkan bahwa benda-benda tetap milik negara (termasuk tanah negara) dianggap berada di bawah penguasaan Departemen yang menurut anggaran belanja dibiayai oleh departemen yang bersangkutan. Tentang penguasaan tanah-tanah vrij landsdomein ini Pemerintah Belanda berpegang kepada pendirian, bahwa: 1) Tanah yang dibebaskan dari hak milik Indonesia oleh Tanah-tanah vrij landsdomein yang tidak nyata-nyata sesuatu departemen dianggap di bawah kekuasaan departemen.

2)

diserahkan kepada suatu departemen, dianggap di bawah penguasaan departemen BB. Dengan demikian pada dasarnya setiap bidang tanah negara dianggap masuk dalam lingkungan penguasaan suatu departemen, meskipun tidak ada terlihat perbuatan penguasaan secara nyata (beheersdaad). Tanah-tanah negara ini kemudian dengan PP No. 8 tahun 1953, tentang Penguasaan Tanah Negara diatur kembali dengan ketentuan sebagai berikut: a) Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain, pada berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah negara tersebut berada pada Menteri Dalam Negeri (BPN). b) Jika penguasaan tanah tersebut berada di tangan Menteri Dalam Negeri, maka Menteri yang bersangkutan berhak. c) Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu kementrian atau daerah Swatantra.

16

d) Mengawasi

penggunaannya atau

sesuai daerah

dengan Swatantra.

peruntukkannya, Apabila oleh

termasuk tanah-tanah yang sebelumnya telah diserahkan kepada kementrian-kementrian kementrian-kementrian tersebut tanah itu tidak dipergunakan lagi wajib dikembalikan penguasaannya kepada Menteri Dalam Negeri, jika tanah itu tidak dipergunakan lagi. Atas permintaan yang bersangkutan Menteri Dalam Negeri atau membebaskan penguasaan atas tanah tersebut sebahagian

seluruhnya atau merubah penggunaannya. e) Menteri Dalam Negeri dapat melimpahkan wewenangnya kepada Gubernur. Demikian antara lain ketentuan perubahan terhadap penguasaan atas tanah negara yang berasal dari vrij landsdomein.

2. Penghapusan Tanah Partikulir Sebagaimana diketahui bahwa tanah partikulir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang khusus yang membedakan tanah partikulir ini dengan hak eigendom pada umumnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat hak-hak kenegaraan, seperti hak menuntut kerja paksa, mengadakan pungutan-pungutan baik berupa uang atau hasil tanah dari penduduk yang mempunyai hak usaha. Hak ini disebut dengan hak pertuanan (landhecherlijkc rechten). Tuan-tuan tanah yang menguasai tanah partikulir ini mempunyai kedudukan yang kuat menyebabkan sumber kesengsaraan bagi penduduk. H. Mohammad Said dalam bukunya menggambarkan praktek tersebut (negara dalam negara) sebagai berikut: Praktek negara dalam negara itu sudah berjalan sejak Nieahuys dan Tuan-tuan kebun, menganggap fasilitas sebagian itu sudah cukup .....

17

selesai karena bila ada kuli yang malas kerja tuan kebun bisa menghukum bui padanya. Dan karena hukuman bui itu sebagai akibat memboroskan waktu dan merugikan karena dengan demikian tenaga kuli menjadi mubazir, tidak dimanfaatkan maka menjadi kebiasaanlah sudah bagi tuan-tuan kebun untuk main tendang pukul. Sebab sudah ditentang di pukul, mereka dipaksa lagi bekerja. (H. Muhammad Said, 1997:46). Demikian buruknya keadaan pada tanah-tanah partikulir itu itu, yang sifatnya sebagai hak pertuanan (negara didalam negara). Hustiati menyebutkan bahwa: Penghapusan tanah partikulir merupakan hak azasi, karena berlangsungnya lembaga ini nyata-nyata bertentangan dengan dasar keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara. Lagi pula untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan negara, lembaga ini harus dihapuskan karena hak pertuanan seakan-akan negara kecil dalam negara (Hustiati, 1990:39). Mengingat hal tersebut bahwa di alam kemerdekaan ini keadaan demikian tidak diperkenankan. Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958, tanah partikulir ini dihapuskan, termasuk tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw. Sejak berlakunya undang-undang ini, maka hakhak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikulir hapus dan tanahnya menjadi jatuh pada negara. Kepada mereka yang mengusahakan tanah ini akan diberikan hak milik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian hak milik dimaksud diberikan dengan cuma-cuma. Hak-hak lain yang melekat pada tanah partikulir tersebut tetap berlaku. Orang asing yang mempunyai hak usaha di atas tanah tersebut dengan waktu 1 (satu) tahun harus melepaskan haknya kepada warga negara Indonesia.

18

Kepada pemilik tanah partikulir yang dibebaskan haknya diberi ganti rugi berupa uang dan hak atau bantuan lain. Untuk tanah-tanah yang tidak diusahakan oleh pemiliknya tanpa alasan yang sah, tidak diberi ganti rugi.

B. Menetapkan Undang-Undang Baru 1. Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria Dengan dibentuknya Kementrian Agraria Kepres No.. 55 Tahun 1955, maka untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementerian tersebut, maka perlu ditetapkan undang-undang untuk itu. Tugas dan wewenang agraria yang menurut peraturan perundang-undangan sebelumnya masih dijalankan oleh pejabat-pejabat Pamong Praja dan Badan-badan penguasa lainnya dialihkan kepada Kementerian Agraria sesuai dengan undang-undang yang baru ini. Pelaksanaan peralihan tugas dan wewenang agraria yang diatur dengan undang-undang ini yaitu Undang-Undang No.. 7 tahun 1958 yang menetapkan bahwa semua tugas dan wewenang agraria dialihkan dan dipusatkan kepada Menteri Agraria. Dimungkinkan pelimpahan tugas dan wewenang tersebut kepada daerah-daerah, umpamanya menunjuk badanbadan penguasa, seperti daerah-daerah otoNo.m, jawatan-jawatan dan pejabat-pejabat Menteri Agraria untuk tugas-tugas dan wewenang tertentu. 2. Perjanjian Bagi Hasil Perjanjian bagi hasil yang pada umumnya berlaku pada masyarakat hukum adat pada dasarnya dapat menimbulkan ketidakadilan antara pemilik tanah dan penggarap. Perjanjian ini biasanya dilakukan secara lisan. Seseorang mempunyai hak atas tanah karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, namun ingin tetap memperoleh hasil, pihak lain mempunyai kemampuan untuk mengerjakan tanah tapi tidak punya tanah. Kedua belah pihak melakukan perjanjian, melakukan usaha pertanian yang hasilnya dibagi antara mereka.

19

Parlindungan dalam bukunya Undang-undang Bagi Hasil di Indonesia, menyebutkan: Bagi hasil pasti dan tidak mungkin tidak terjadi, baik karena memang tanh itu diamalkan pemiliknya untuk bagi hasil dengan orang lain, sebagai suatu sumber kehidupan bagi pemilik tanahnya ataupun pada persoalan waktu orang itu tidak mampu menjajahkan sendiri karena sedang berpergian katakanlah sedang naik haji, ataupun dalam keadaan uzur, sedangkan tanah harus tetap produktif, ataupun karena sebab-sebab lain (Parlindungan, 1991:3). Mengenai besarnya imbangan masing-masing tidak ada keseragaman, tergantung kepada jumlah tanah yang tersedia, atau banyaknya penggarap yang membutuhkannya. Jika persediaan tanah sedikit penggarap banyak, maka pemilik tanah akan meminta hasil yang lebih banyak dari penggarap, sebaliknya jika tanah yang akan dikerjakan jumlahnya banyak, sedangkan penggarap sedikit maka penggarap akan mendapat lebih banyak. Demikian juga mengenai jangka waktu perjanjian. Pemilik tanah dapat setiap waktu (sesudah panen pertama) mencabut perjanjian, jika ia menghendaki. Karena perjanjian ini dilakukan secara lisan dan tidak dilakukan dihadapat pejabat, maka akan menimbulkan ketidakpastian bagi penggarap untuk kelangsungan usahanya dan menimbulkan ketidakadilan. Usaha untuk melindungi golongan ekoNo.mi lemah dari orang-orang yang punya tanah maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 2 Tahun 1960, tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang bertujuan: 1) Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil. 2) Menegaskan hak dan kewajiban pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan yang layak bagi penggarap. 3) Agar diperoleh kegairahan kerja bagi para penggarap yang berpengaruh pula kepada usaha menambah dan memelihara kesuburan tanah.

20

Dengan berlakunya undang-undang ini maka setiap perjanjian bagi hasil harus dilakukan secara tertulis dihadapan Kepala Desa dan disahkan oleh Camat. Jangka waktu perjanjian bagi hasil ditetapkan paling minimum untuk tanah sawah minimum 3 tahun, dan untuk tanah kering minimum 5 tahun. Penetapan jangka waktu ini. Dengan jangka waktu ini diharapkan penggarap mempunyai cukup waktu untuk mengupayakan perolehan hasil yang lebih baik dengan cara pemupukan. Pemupukan untuk tanah kering akan lebih lama dari tanah basah. Untuk penimbangan hasil undang-undang ini menyerahkan kepada keadaan daerahnya karena sulit menentukan secara baku untuk seluruh Indonesia. Bupati dapat menetapkan perimbangan tersebut berdasarkan keadaan dan faktor-faktor ekoNo.mis setempat. Namun demikian, undangundang ini kemudian memberikan pedoman perimbangan sebagai berikut: Untuk tanaman padi di sawah antara pemilik dan penggarap adalan 1:1, sedangkan yang ditanam di tanah kering 1:2. setelah disisikan zakat, biaya bibit, pupuk, membajak, menanam dan biaya panen (selanjutnya lihat buku Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya oleh Chadidjah Dalimunthe)

III.

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria

Demi makin maraknya masalah-masalah pertanahan dan yang paling utama semakin terdesaknya kepentingan-kepentingan masyarakat tani maka oleh Pemerintah masalah ini harus segera dicari penyelesaiannya. Negara Indonesia sebagai negara agraris, bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Peraturan Agraria yang berlaku pada zaman penjajahan yang merugikan

21

bangsa Indonesia harus segera dirombak secara total. Menciptakan hukum sesuai dengan cita-cita bangsa merdeka bukanlah pekerjaan yang mudah. Indonesia yang telah mempunyai sistem hukum yang berlandaskan kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan khusus untuk pengaturan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UU Dasar 1945. Sebagai negara kesatuan, maka diperlukan pula kesatuan hukum untuk seluruh Indonesia bukan lagi yang bersifat dualisme, yang membedakan kepentingan penjajah dengan di jajah. A. Perombakan Hukum Agraria Kolonial Dengan lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA maka secara total hukum agraria kolonial dihapuskan. Undang-Undang Pokok Agraria yang selanjutnya disingkat dengan UUPA yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960, dengan nama Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka apa yang menjadi borok dalam daging bangsa Indonesia tentang hukum pertanahan yang dibuat oleh Pemerintah Jajahan, yang nyata-nyata sangat merugikan bagi rakyat Indonesia, baru dapat dirombak secara total pada tanggal 24 September 1960. Abdurrahman, menyebutkan antara lain: Bahwa dengan berlakunya UUPA tersebut, dihapuskan adanya pluralisme hukum sebagai akibat peninggalan masa penjajahan dan ditetapkannya suatu kebijaksanaan baru mengenai Politik Hukum Agraria Nasional, yang bertujuan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaannya Indonesia (Abdurrahman, 1992:5). Di dalam Konsideraans Menimbang, disebutkan secara jelas tentang motivasi penyusunan undang-undang ini sebagai berikut:

22

1) Bahwa Negara Republik Indonesua yang susunan kehidupan rakyatnya


termasuk perekoNo.miannya masih bercorak agraria bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. 2) Bahwa hukum agraria yang berlaku sekarang ini masih berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan dan sebahagian lagi dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat. 3) Bahwa hukum agraria yang berlaku itu bersifat dualisme. 4) Hukum agraria tersebut tidak menjamin kepastian hukum. Oleh sebab itu dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria peraturan-peraturan agraria yang berlaku sebelumnya dihapuskan, yaitu:

1) Agrarische Wet (s. 1870-55) sebagai yang termuat pada Pasal 51 Wet ap
de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal ini.

2) a. Domeinverklaring, tersebut dalam Pasal 1 Agrarische Besluit (S.


1870-118) b. Algemene Domeinverklaring, tersebut dalam S. 1875-119a

c. Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Oosterafdeling van


Borneo, dalam Pasal 1 S. 1888-58

3) Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872, No. 29 (S.1872-117) dan


peraturan pelaksanaannya.

4) Buku kedua KUH Perdata Indonesia, sepanjang yang mengenai bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuanketentuan mengenai hypotheeik yang masih berlaku mulai berlakunya undang-undang ini. Di dalam penjelasan undang-undang ini dengan tegas dikatakan, bahwa hukum agraria nasional ini harus mewujudkan penjelmaan dari azas kerohanian negara dan cita-cita bangsa, khususnya pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

23

Undang-undang ini merupakan peraturan adsar saja, namun sama kedudukannya dengan undang-undang secara formil sesuai dengan sifatnya peraturan ini hanya memuat azas-azas yang pokok-pokok saja yang selanjutnya akan diatur dengan Undang-Undang Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan lainnya. Dengan hapusnya hukum agraria kolonial maka merupakan sejarah baru dan suasa baru bagi rakyat Indonesia untuk menikmati sepenuhnya bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam Indonesia, terutama bagi rakyat tani yang selama ini seolah-olah menumpang di atas tanah sendiri. UUPA sebagai hukum agraria nasional yang merupakan perombakan hukum agraria kolonial, bertujuan untuk memperbaiki kembali hubungan manusia Indonesia dengan tanah. Itulah sebabnya UUPA disebut sebagai induk landrefrom di Indonesia (Parlindungan, 1998:72). Selo Soemarjan dalam tulisannya Landrefrom di Indonesia, menyebutkan sebagai berikut: The Basic Agrarian Act (UUPA) constitutes a redical organization of the agrarian system inherited from the colonial region. Althought it will undoubtedly have ecoNo.mic implications, the Act is No.t primarly aimed as facilitation ecoNo.mic development. Its principles, as stated in the official explanations of the Act are the following: 1. To change the basic agrarian law system from a colonial to a national system so as to make it more genuine to Indonesian national interests and particulary to thoose of Indonesian farmers.

2. To abolish the dual system (Dutcht and Indonesia) of agrarian right


and to arrive at a unified and less complicated system, primarily founded upon the current indigeNo.us adat or customary law. 3. To privide a lawful security for the people with regard to agrarian right. (Selo Soemarjan dalam Sein Lin, 1870:337).

24

Bahwa UUPA merupakan perombakan warisan regin kolonial kepada sistim nasional sesuai dengan yang dicita-citakan bangsa Indonesia terutama para petani. Menghilangkan dualisme hukum agraria untuk mencapai kesatuan hukum, menghilang ketidaksederhanaan hukum, terutama untuk menuju ke hukum adat yang asli, dan untuk memberikan jaminan hukum kepada masyarakat yang berkenaan dengan hal-hal agraria. Menteri Agraria Mr Sadjarwo pada pembahasan RUU Hukum Agraria di DPR GR, dalam pandangan umumnya menyebutkan sebagai berikut: Rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing dengan aparat-aparatnya yang mengadudombakan aparataparat pemerintah dan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetuskan pentraktoran-pentraktoran yang sangat menyedihkan (Parlindungan, 1998:21). Selanjutnya Colin Mac Andrews dalam bukunya Land Policy in Modern Indonesia, bahwa Social and Political Importance of Land adalah: One is immediately struck by a number of aspects of the social and political importance of land in Indonesia. One is the widely different systems of land rights that exist though out the country thus in the present have No.t be fully rationalized. Historically, two types of land system was introduced with the Basic Agrarian Law (BAL) of 1960. one type was existed in many part of Indonesia. Where land is owned and handed down without formal registration of title. A second is the more Westernized system of written land title and land registration although limited mainly to urban areas. (Colin Mac Andrews, 1986:13).

25

Bahwa yang paling penting segera dirombak untuk kepentingan sosial politik pertanahan adalah perbedaan sistim yang sangat mencolok dari hukum pertanahan yang berlaku yang tidak rasional. Berlakunya dua sistim pertanahan di Indonesia sebelum berlakunya UUPA. Hukum Adat yang masih berlaku disebahagian besar wilayah Indonesia yang mengakui hak-hak atas tanah tanpa pendaftaran dan tanpa titel, sedangkan hak-hak barat meskipun terbatas keberadaannya terutama berada di perkotaan, didaftarkan dan mempunyai titel. Budi HarsoNo. menyebutkan dengan lahirnya UUPA, maka terjadilah perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Selanjutnya Budi HarsoNo. mengatakan: Perubahan ini bersifat mendasar atau fundamental, karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya yang dinyatakan dalam bagian Berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman. (Budi HarsoNo., 1999:1) Abdurrahman, mengutip pendapat Soeripto dan WirjoNo. Prodjodikoro, mengenai UUPA, sebagai berikut: Prof. Soeripto, SH menilai UUPA ini sebagai salah satu hasil usaha menjebol tata hukum kolonial, WirjoNo. Prodjodikoro menilai UndangUndang Pokok Agraria ini dapat dikaji sebagai suatu langkah perbaikan perundang-undangan dibidang hukum perdata (Abdurrahman, 1984:33) B. Prinsip-Prinsip Pokok Hukum Agraria Tanah sebagai sumber utama di dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, adalah yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada manusia itu sendiri. Oleh sebab itu manusia harus dapat mempergunakan dan memelihara tanah tersebut

26

dengan sebaik-baiknya. Tanah yang memberi kesejahteraan bagi manusia, sebaliknya bahkan dapat membawa malapetaka jika disalahgunakan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan, bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 1. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria Sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Undang-Undang Pokok Hukum Agraria, bahwa yang menjadi tujuan diundangkannya undangundang adalah: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

b. Meletakkan
c.

dasar-dasar

untuk

mengadakan

kesatuan

dan

kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dengan terlaksananya apa yang menjadi tujuan yang tercantum dalam Penjelasan UUPA ini diharapkan cita-cita Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dapat tercapai. Imam Soetignjo menyebutkan, bahwa sila-sila dari Pancasila tergambar pada pasal-pasal dari UUPA tersebut. Pancasila yang diambil sebagai pedoman dalam menyusun hukum agraria itu secara singkat memuat: 1. Hubungan manusia Indonesia dengan tanah di wilayah Indonesia bersifat kodrat. 2. Bahwa hubungan dengan tanah itu mempunyai sifat privat dan kolektif.

27

3. Bahwa hanya orang Indonesialah yang mempunyai hubungan yang terkuat dengan tanah di Indonesia dengan tetap memberikan kesempatan kepada orang asing untuk mempunyai hubungan dengan tanah-tanah di Indonesia, asal hubungan itu tidak merugikan bangsa Indonesia. 4. Bahwa setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mempunyai hubungan dengan tanah.

5. Bahwa tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan


yang sama untuk Soetignjo, 1983:4) Selanjutnya R Soeprapto menyebutkan, bahwa: Hukum Agraria disamping mewujudkan tata tertib dan keadilan dalam semua urusan agraria, juga mampu mewujudkan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai sumber kesejahteraan lahir dan bathin, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa. (Soeprapto, 1986:7) menikmati hasil bumi Indonesia. (Imam

2. Prinsip-prinsip UUPA Jika diuraikan lebih terperinci prinsip-prinsip yang diatur dalam pasalpasal UUPA mulai dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 19, yang oleh Parlindungan disebut dengan pasal-pasal yang mengatur landrefrom adalah sebagai berikut: a. Prinsip kesatuan hukum untuk seluruh Indonesia Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), berbunyi: (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

28

karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. (5) Dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman, maupun laut wilayah Indonesia. (6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa, ialah ruang di atas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5). Bahwa bumi, air dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang berada di wilayah Republik Indonesia ini adalah merupakan kekayaan rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa telah menjadi milik bangsa Indonesia, yang oleh karena itu harus dipertahankan dan dipelihara sebaik-baiknya. Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa (BAR) merupakan semacam hubungan hak ulayat yang mengenai seluruh wilayah Indonesia. Selama bangsa Indonesia masih ada maka BAR tetap menjadi milik bangsa Indonesia. Hubungan tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama BAR Indonesia masih ada pula tidak ada sesuatu kekuasaan pun yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. (Penjelasan Umum UUPA, angka II) Selanjutnya pada Pasal 1 ayat (4), (5), (6) disebutkan bahwa pengertian agraria di dalam UUPA ini adalah hukum agraria dalam arti luas yaitu yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang selanjutnya pada Pasal 4 UUPA selanjutnya akan membahas lebih dalam hukum agraria dalam arti sempit yaitu permukaan bumi yang

29

disebut dengan tanah, dalam ayat (4), (5), (6) pasal ini dijelaskan tentang pengertian bumi, air dan ruang angkasa. b. Prinsip hak menguasai dari negara (penghapusan azas domein) Pasal 2:

(1)

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan yang teritnggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) a. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, memberi wewenang untuk: penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang

2. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai dari negara tersebut


pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. 3. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan

30

dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Azas domein yang dianut oleh perundang-undangan agraria pada zaman penjajahan yang disebut pada Pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-119a, S.187494f, S.1877-55 dan S.1888-58), tidak sesuai lagi dengan keinginan yang termaktub di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar. Negara tidak dapat bertindak sebagai pemilik tanah, sebagaimana disebut dalam domeinverklaring. Di dalam azas domeinverklaring dinyatakan bahwa, apabila di atas sebidang tanah tidak dapat ditunjukkan adanya hak milik seseorang, maka tanah tersebut adalah hak milik negara. Diharpakan azas domein ini, oleh Notonagoro disebutkan bahwa, alasan dan tujuan mempunyai dasar yang tegas, yaitu: Pada waktu timbulnya alasan dan tujuan itu orang Belanda mempunyai kekuasaan yang mutlak dengan segala akibatnya, yang dengan singkat dapat dirumuskan, bahwa mereka ingin mempunyai kedudukan yang istimewa dalam segala-galanya (Notonagoro, 1984, : 135) Pengertian hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA tersebut bukan berarti hak milik (dimiliki), tapi adalah memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan pada tingkat yang tertinggi, untuk mengatur, menyelenggarakan dan menentukan Bagaimana peruntukan, mengatur penggunaan, persediaan, pemeliharaan BAR.

hubungan hukum antara orang-orang dengan BAR, serta hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai BAR. Sebagai contoh untuk apa sebidang tanah dipergunakan, apakah untuk pertanian, perindustrian, perumahan dan bagaimana cara-cara menggunakannya umpamanya perlu memperhatikan lingkungan. Bagaimana hubungan seseorang dengan hak miliknya. Bagaimana melakukan perbuatan hukum (umpamanya melakukan perjanjian peralihan hak) atas tanahnya. Kekuasaan negara terhadap semua BAR di seluruh wilayah Indonesia, baik

31

yang sudah dihaki maupun yang belum ada hak. Namun untuk yang sudah ada hak seseorang di dalamnya kekuasaan negara dibatasi oleh hak tersebut. Kekuasaan negara terhadap tanah (agraria dalam arti sempit) yang belum dihaki lebih penuh. Dengan demikian negara dapat memberikan tanah yang belum dihaki kepada seseorang, beberapa orang bersama-sama, atau kepada hukum sesuatu hak atas tanah (lihat Pasal 4). Sehubungan denga pemberian hak yang menjadi wewenang negara (Pemerintah Pusat), maka sesuai dengan apa yang disebut pada ayat (4) pasal ini, wewenang tersebut dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang tersebut selanjutnya diatur dengan PMDN No. 6 Tahun 1972, yang kemudian telah dihapuskan dengan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3 Tahun 1999. Di dalam PMDN (Peraturan Menteri Dalam Negeri) No. 6 Tahun 1972 disebutkan antara lain, bahwa: 1. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasaional (Ka Kanwil BPN), berhak memberikan:

a. Hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar
dan untuk tanah bangunan 2000 m2. Hak guna usaha yang luasnya 5 s/d 25 hektar.

b. Hak guna bangunan yang luasnya tidak lebih dari 2000 m2. c. Hak pakai untuk pertanian luasnya juga tidak lebih dari 2 hektar dan
hak pakai untuk bangunan tidak lebih dari 2000 m2. 2. Kepala Badan Pertanahan Nasional berwenang memberikan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai di atas wewenang Ka Kanwil BPN. Namun kemudian dengan Peraturan Ka BPN No.. 3 Tahun 1999, yang menghapuskan PMDN No. 6 Tahun 1972, tersebut wewenang Ka Kanwil BPN tersebutt diturunkan kepada Kakan Pertanahan sementara hak, guna usaha tetap pada Ka Kanwil BPN, hanya luasnya ditingkatkan

32

menjadi sampai dengan 200 hektar. Sebelum keluarnya ketentuan ini telah pernah dikeluarkan Peraturan Ka BPN No.. 16 Tahun 1990, yang memberi wewenang kepada Ka Kanwil BPN untuk mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Usaha, seluas sampai dengan 100 hektar. Wewenang Ka Kanwil BPN di dalam Peraturan Ka BPN No. 3 tahun 1999 adalah:

a. b.
150.000 m .
2

Pemberian hak milik untuk pertanian di atas

2 hektar (s/d batas maksimum=penulis). Hak milik untuk bangunan di atas s/d

c.
s/d 150.000 m2.

Pemberian hak pakai untuk pertanian di

atas 2 hektar, pemberian hak pakai untuk bangunan di atas 2000 m 2 Pemberian wewenang kepada masyarakat hukum adat seperti hak ulayat yang jika keberadaannya menurut kenyataan masih ada akan membatasiwewenang hak menguasai dari negara tersebut. Hak ulayat dapat dikatakan merupakan hak menguasai dari negara dalam arti sempit. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di dalam wilayah Republik Indonesia, seabgai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional, harus dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itulah di dalam Konsiderans angka III point (1) hukum agraria itu harus didasarkan pada ketentuanketentuan hukum adat sebagai hukum yang asli. Dengan kata lain hukum agraria yang berlaku didasarkan kepada hukum adat (lihat Konsiderans

33

UUPA), atau hukum agraria yang berlaku itu adalah hukum adat (Pasal 5). No.rma-No.rma hukum adatlah yang dipergunakan di dalam peraturan perundang-undangan agraria, namun dengan tetap memperhatikan unsur-unsur yang tercantum dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku, umpamanya Pasal 9 dan Pasal 11 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 9: (1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batasbatas ketentuan Pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Sebagai warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita samasama mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah. Hak mana dapat dipunyai dengan sepenuhnya. Perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita di dalah hukum adat sudah tidak dibenarkan lagi. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 21, bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 11:

(1) Hubungan hukum antara orang termasuk badan hukum, dengan


bumi, air dan ruang angkasa, serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

34

(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum


golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekoNo.mis lemah. Pasal ini menekankan agar hubungan hukum antara orang-orang atau badan hukum yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa, tidak dibenarkan adanya exploitation de lhomme pu lhomme, yang maksudnya adanya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain. Sebagai contoh: Perjanjian bagi hasil antara pemilik dan penggarap yang di dalam hukum adat adakalanya terbentuk sewa menyewa yang dapat merugikan penggarap atau perimbangan hasil yang benar-benar tidak imbang, karena biayanya pemilik tanahlah yang menentukan berapa bagian masing-masing antara pemilik dan penggarap. Dalam hal ini UUPA telah membuat ketentuan yang baru untuk perjanjian bagi hasil ini yang melindungi golongan ekoNo.mi lemah (penggarap). Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang No.. 2 Tahun 1964, tentang Penetapan Perimbangan Khusus Dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil, Peraturan Menteri Agraria No.. 4 Tahun 1964, tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil dan Instruksi Presiden No.. 13 Tahun 1980, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No.. 2 Tahun 1960. di dalam ketentuan-ketentuan tersebut ditegaskan, bahwa pemerintah menetapkan perimbangan hasil antara pemilik dan penggarap, yang apabila dilanggar ada sanksi yang dikenakan untuk itu. Selanjutnya ketentuan tentang perjanjian bagi hasil ini akan diuraikan dalam bab tersendiri. Apa yang di atur pada Pasal 2 ini bertujuan agar BAR benar-benar dapat memberikan kemakmuran yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia. c. Prinsip pengakuan hak ulayat

35

Pasal 3: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak adat, yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum sepanjang menurut

kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Hak ulayat dikenal di dalam hukum adat. Hak ulayat yang disebutkan dengan hak persekutuan adalah wilayah di mana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal, mempertahankan hidup, mencari nafkah, tempat berlindung yang sifatnya magis-religius (Dalimunthe, 2005:18). Di dalam masyarakat hukum adat sifat bermasyarakat dan berkelompok adalah merupakan ciri pokok yang tidak dapat diingkari, milik bersama masih memegang peranan yang sangat penting. Koesmoe menyebutkan: Di dalam konsep adat tidak terdapat pandangan tentang individu yang pada azasnya merdeka. Di dalam adat individu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Dia ada dan berarti sebagai individu karena ada masyarakat. Bagi hukum adat masyarakatlah yang primer. Masyarakat adalah sebagai organisme pada mana bagian-bagiannya adalah bagian-bagian yang hidup dalam kesatuan dengan yang lain-lainnya. (KoesNo.e, 1979:60) Ter Haar dalam bukunya Beginsel en Stelsel van Het Adatrecht, menyebutkan tentang hak ulayat sebagai berikut: Ada hubungan erat antara penduduk desa dan tanahnya di mana mereka berdiam, tanah yang menghasilkan makanan pada mereka,

36

tanah di mana mereka dikuburkan jika sudah meninggal dunia, tanah yang diperlindungi oleh dayang-dayang desa. (Dirman, 1952:37) Budi HarsoNo. dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia

menyebutkan, bahwa: Hak ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak di dalam lingkungan wilayahnya merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Di dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian dari tanah itu dengan batasan-batasan. Persekutuan mengatur sampai di mana hak-hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan persekutuan. Ada hubungan erat antara hak persekutuan dengan hak perseorangan. Meskipun setiap anggota masyarakat berhak memperoleh bagian dari tanah ulayat namun tanahtanah yang sudah dihaki oleh seseorang tetap merupakan wilayah dari masyarakat hukum adat tersebut. Namun demikian menurut Jan Breman, pengakuan akan adanya hak komunal itu pada zaman penjajahan hanyalah sebagaimana pertajaman dari sebuah ungkapan pelembut saja terhadap penyangkalan adanya milik perseorangan (Jan Breman, Pengantar Sajogyo, 1986:10). So it is with land, thus giving rice so specific adat termiNo.logies which express the interest of groups and No.t of individuals, for example, the Minangkabau Harta Pusaka. The term milik commonly translated as ownership, in reality referred to little more than a usufrucht, when use in relation to an individual. It was No.t open to an individual to transfer such land, except within a community, and ever hear we must distinguish between a transfer of the land it self and a transfer of the

37

right to occupy and use. The former was uncommon because it was unnescessary and arose largery in relation to princely land. (M B Hooker, 1978:119) Mengenai masalah tanah hukum adat mempunyai kekuatan yang menekankan perhatiannya kepada sifat yang komunal bukan yang bersifat individu. Sebagai contoh dalam hal ini M B Hooker, mengemukakan tentang Harta Pusaka di Minangkabau. Pengertian milik tidak lebih dari hak untuk memungut hasil sesuai dengan penggunaannya. Hak milik tidak boleh dialihkan, kecuali diantara persekutuan hukum itu. Dengan pengakuan adanya tanah-tanah komunal yang berada di bawah hak ulayat raja-raja (Sultan), maka pemerintah jajahan di bawah prinsip domeinverklaring dengan leluasa dapat mengakui dan menetapkan tanaman apa dan berapa pajak yang harus dibayar dari hasil tanaman tersebut. Sebagaimana tersebut di atas meskipun kepada anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak ulayat di wilayahnya yang disebut dengan hak wenang pilih namun hak perseorangan, tersebut tetap termasuk lingkungan hak ulayat tersebut (tidak terlepas dari hak ulayat). Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan tersebut telah dikerjakan oleh seorang warganya secara terus menerus, maka hubungan warga itu dengan tanah semakin kuat sebaliknya hubungan tanah dengan persekutuan semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu akan diakui sebagai milik orang yang mengerjakan. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungan orang tersebut dengan tanah semakin renggang dan sebaliknya hubungan tanah dengan persekutuan itu erat kembali. Jika tanah itu sudah menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap menjadi tanah terlantar, maka putus pulalah hubungan seseorang itu dengan tanahnya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa hak perseorangan atas tanah di dalam hak ulayat tidak mengurangi (penciutan) hak ulayat tersebut.

38

Hak Ulayat Di Dalam UUPA Sebagaimana disebut pada Pasal 3 UUPA tersebut di atas bahwa UUPA masih diakui eksistensinya sepanjang masih ada dengan syarat-syarat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Penjelasan Umum, angka II Nomor (3), bahwa: Kepentingan sesuatu masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika di dalam alambernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan terlepas dari pada hubungannya dengan masyrakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara dan kesatuan. Sebagaimana contoh: Untuk melaksanakan proyek-proyek besar yang membutuhkan tanah yang luas di mana sebagai sasaran termasuk tanah hak ulayat, seperti proyek transmigrasi maka tidak dibenarkan masyarakat hak ulayat itu untuk menghalang-halangi atau meNo.lak pemberian sebahagian hak ulayatnya tersebut. Jika di dalam Pasal 3 tersebut, bahwa pengakuan hak ulayat itu dengan syarat sepanjang masih ada, tentu memerlukan penelitian hak ulayat mana yang masih ada dan yang mana yang sudah tidak ada lagi. Apa yang menjadi persyaratan bahwa suatu hak ulayat masih ada harus ada kriterianya. Baik di dalam hukum adat maupun di dalam UUPA, kriteria tersebut tidak ada disebut dengan tegas. Budi HarsoNo. menyebutkan tentang kriteria hak ulayat, sebagai berikut:

39

Kiranya masih ada hak ulayat diketahui tahun dari kenyataan mengenai masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu dan masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut yang disadari sebagai kepunyaan para warga masyarakat hukum adat itu sebagai lebensraumnya. Selain itu eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan juga diketahui dari kenyataan, masih adanya kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warganya melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum adatnya mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut. (Budi HarsoNo., 1999:192) Keberadaan hak ulayat itu ditandai dengan masih terpenuhinya unsurunsur yang ada di dalam hak ulayat. Hak ulayat di dalam masyarakat hukum adat tak obahnya sebagai negara kecil dengan negara yang mempunyai persyaratan: a. c. Ada wilayahnya. Ada aturan-aturannya yang diakui dan dipatuhi oleh anggotanya. b. Ada anggota masyarakatnya.

d. Ada pengetua adatnya yang juga diakui oleh masyarakatnya yang


bertugas sebagai penguasa untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemeliharaan dan persediaan tanah di wilayahnya. Hak ulayat dapat juga dikatakan sebagai suatu negara di dalam negara. Untuk mengetahui bahwa di suatu daerah masih ada hak ulayat tentu memerlukan penelitian. Bisa saja jika tidak dilakukan penelitian, terjadi rekayasa di mana hak ulayat yang sudah tidak ada lagi dikatakan masih ada, atau sebaliknya, atau yang sebelumnya tidak ada tiba-tiba muncul. Hak

40

ulayat yang sebelumnya tidak ada menjadi tidak diakui keberadaannya lagi dapat terjadi karena pengetua adatnya tidak ada lagi atau tidak diakui oleh masyarakat hukum adat itu. Atau karena pemberian tanah-tanah tersebut kepada warganya semakin lama hak-hak individu tersebut sudah semakin kuat, atau dengan adanya ketentuan perundang-undangan yang mengakui hak-hak individu tersebut sudah terlepas dari hak ulayat. Dapat juga terjadi untuk kepentingan pembangunan hak ulayat itu diambil oleh penguasa. Dalam kenyataannya pada saat ini masih banyak daerah di mana tanahtanahnya dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusannya, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat. Para warganya masih mengakui bahwa tanah-tanah tersebut sebagai tanah ulayat. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan timbulnya sengketa-sengketa apakah keberadaannya masih diakui ataupun masih dalam penguasaannya. Oleh sebab itu perlu adanya pedoman yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.. 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam peraturan ini disebutkan pada Pasal 1, bahwa: 1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya, untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terpautus antara masyarakat hukum adat tersebut denagn wilayah yang bersangkutan.

41

Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat atas wilayahnya, kewenangan mana oleh Pasal 2 ayat (4) UUPA tentang hak menguasai dari negara juga dapat dilimpahkan kepada masyarakat hukum adat tersebut. Dengan demikian hak menguasai dari negara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat menjadi terbatas, sepanjang hak ulayat tersebut masih ada. Pasal 2, tentang Pelaksanaan Penguasaan Hak Ulayat selanjutnya menyebutkan: (1) Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat adat yang bersangkutan, menurut ketentuan hukum adat setempat. (2) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada, apabila: a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c.

Terdapat

tatanan

hukum adat

mengenai pengurusan

penguasaan dan penggunaan tanah rakyat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Untuk mengetahui eksistensi hukum adat itu maka disebutkanlah kriteria-kriterianya sebagai tersebut pada Pasal 2 ayat (2) tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan oleh masyrakat hukum adat yang bersangkutan (ayat (1)). Pengakuan terhadap masih adanya hak ulayat tersebut hanya dapat dilakukan terhadap tanah-tanah: a. Yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.

42

b. Yang tidak diberikan atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Oleh sebab itu bisa saja luas hak ulayat yang asli tidak lagi sama dengan luas pada saat dilakukan penelitian. Ketentuan konversi UUPA menyatakan bahwa penguasaan tanah-tanah di lingkungan hak ulayat (tanah-tanah adat), jika diinginkan oleh pemegangnya dapat didaftarkan menurut ketentuan UUPA. Demikian juga bidang-bidang tanah hak ulayat yang sudah dilepas oleh masyarakat hak ulayat dari wilayahnya, yang kemudian berdasarkan pemberian hak dari negara diberikan kepada perseorangan atau badan hukum atau kepada instansi pemerintah mengakibatkan tanah-tanah ulayat tersebut menjadi berkurang (Pasal 4 ayat (1)). Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan, bahwa apabila tanah hak ulayat diperlukan untuk pertanian dan untuk keperluan lain umpamanya untuk hak guna usaha atau hak pakai, masyarakat hukum adat yang bersangkutan dapat melepaskan hak ulayatnya untuk penggunaan dimaksud untuk jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktu pemberiannya sudah berakhir atau tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan sehingga hak guna usaha atau hak pakainya hapus, maka apabila ingin dipergunakan lagi, harus dilakukan berdasarkan persetujuan kembali dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sepanjang hak ulayat itu masih ada. Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan hak guna usaha dan hak pakai yang diberikan oleh negara dapat diperpanjang dan diperbaharui, maka apabila hak guna usaha atau hak pakai tersebut berasal dari hak ulayat perpanjangan dan pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diberikan oleh masyarakat hukum adat itu. Selanjutnya pada Pasal 5 disebutkan bahwa untuk menentukan masih adanya hak ulayat itu harus dilakukan penelitian oleh Pemerintah Daerah

43

dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan pembubuhkan tanda katografi, dan apabila mengizinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Mengenai pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Daerah. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 ini dikeluarkanlah instruksi Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2000. instruksi tersebut ditujukan kepada: 1. 2. 3. Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di

Propinsi di seluruh wilayah Indonesia seluruh Indonesia Kepada Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah diinstruksikan agar:

a. Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan Peraturan


Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, khusus Pasal 5) b. Menyusun petunjuk teknis pemetaan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi diinstruksikan untuk: 1. Menyusun rencana kerja sebagai bahan masukan Pemerintah daerah untuk penyusunan Peraturan Daerah tentang hak ulayat sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

44

2. Memberikan arahan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk


mempersiapkan sarana dan prasarana peta berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Memantau pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pemetaan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, diinstruksikan untuk: 1. Melaksanakan koordinasi dengan Pemerintah Daerah terhadap persiapan dan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang hak ulayat. 2. Melakukan pengukuran apabila memenuhi persyaratan tanah ulayat yang keberadaannya tidak disahkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat.

3. Menyiapkan sarana dan prasarana berdasarkan Pasal 17 Peraturan


Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 untuk dipergunakan sebagai dasar penataan tanah ulayat. 4. Dari hasil pengukuran di atas agar segera dicatatkan dalam daftardaftar tanah. Pelaksanaan instruksi ini oleh Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota secara berjenjang harus melaporkannya kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Petunjuk teknis pelaksanaan lebih lanjut sebagai pelaksanaan instruksi ini dilakukan oleh Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. d. Prinsip bahwa hukum agraria (UUPA) yang berlaku itu adalah hukum adat Pasal 5:

45

Hukum agraria yang berlaku di atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peratuarn lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Pasal ini menegeaskan bahwa hukum adat dijadikan dasar hukum agraria (UUPA) ini. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia secara sadar bahwa hukum agraria yang sifatnya dualisme sebelumnya tidak sesuai dengan berdasarkan hukum rakyat banyak. Di dalam Penjelasan Umum, angka III, angka (1) dengan tegas dinyatakan, antara lain: Oleh karena rakyat Indonesia sebahagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut, akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Pasal 4, tentang hak-hak atas permukaan bumi yang disebut dengan tanah yang dapat diberikan kepada orang perorangan atau beberapa orang bersama-sama, serta kepada badan hukum sebagaimana disebut pada Pasal 16, membuktikan, bahwa hak-hak tersebut adalah hak-hak yang dikenal di dalam hukum adat, kecuali hak guna usaha dan hak guna bangunan yang merupakan hak atas tanah yang baru sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pada penjelasan Pasal 16 dengan tegas dikatakan, bahwa:

46

Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam Pasal 4, sesuai dengan azas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang nasional didasarkan atas hukum adat maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu, hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketantuan dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang ini (Pasal 1 dan 10). Tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat (1) huruf h jo Pasal 53). Hak-hak yang sifatnya sementara di mana ketentuan tersebut masih sangat dibutuhkan oleh golongan-golongan rakyat sesuai dengan perbedaan dalam keadaan masyarakat, sebagaimana disebut pada Penjelasan Umum III angka (2), yaitu antara lain: Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat, di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat, misalnya perbedaan adlam keperluan rakyat kota dan rakyat pedesaan, pula rakyat ekonomi kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Sebagai contoh pada Pasal 16 ayat (1) huruf h tentang hak-hak yang berasal dari hukum adat yang masih berlaku yang sifatnya sementara

47

sebagaimana disebutkan pada Pasal 53, yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanahan. Hak-hak ini akan diatur kembali untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undangundang dan akan diusahakan hapusnya dalam waktu singkat. Mengenai hak gadai telah diatur di dalam Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, yang sampai dengan sekarang masih tetap diatur dan masih berlaku di daerah pedesaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat hukum adat yang mempunyai tanah-tanah adat yang belum bersertifikat. Demikian juga dengan hak usaha bagi hasil yang sebelum lahirnya UUPA telah diatur dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria (PMA) No. 4 Tahun 1964 dan Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980. Sedangkan untuk sewa tanah pertanian di dalam UUPA dengan tegas dikatakan bahwa dibenarkan, adalah sewa untuk bangunan (Pasal 44). Pada penjelasan Pasal 44 dan 45 disebutkan: Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifatsifat khusus, maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1). Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo Pasal 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah. Selanjutnya Pasal 46 hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, disebutkan di dalam Penjelasan: Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah, hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas dari pada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.

48

Hukum adat yang bagaimana yang diterapkan di dalam UUPA tersebut, dengan tegas disebut pada Pasal 5 tersebut yaitu: a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan Berdasarkan persatuan bangsa. Menganut sosialisme Indonesia. Tidak boleh bertentangan dengan UUPA ini sendiri dan Dan menganut unsur-unsur yang bersandar pada hukum nasional dan negara.

b. c.
d. e. agama.

peraturan-peraturan lainnya.

Oleh sebab itu adanya perbedaan-perbedaan prinsip di dalam hukum adat di daerah yang satu dengan lainnya ditiadakan. Sebagaimana disebutkan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht menyebutkan: Suatu daerah di dalam daerah mana secara garis besar corak dan sifatnya hukum adat yang berlaku di situ seragam rechtskring, yang kalau disebut di dalam bahasa Indonesia menjadi lingkaran hukum atau lingkungan hukum. (Van Vollenhoven dalam Surojo Wignjodipuro, 1971:97,98). Van Vollenhoven membagi seluruh daerah Indonesia dalam 19 lingkungan hukum adat. Pidato pengantar Menteri Agraria Sadjarwo, pada tanggal 12 September 1960, di depan Sidang DPR GR antara lain menyebutkan: Hukum adat mengenai tanah yang kita kenal sekarang sebenarnya adalah hasil perkembangan yang tidak sedikit dipengaruhi oleh politik kolonial, sehingga dalam kenyataannya ada beberapa segi-segi hukum adat itu secara diam-diam menguntungkan golongan kecil tertentu saja dalam masyarakat adat itu sendiri dan menghidup-hidupkan

49

pertentangan antara kita dengan kita yang tidak sesuai dengan azas dan tujuan bangsa Indonesia. Oleh Parlindungan disebutkan: Hukum adat tersebut bukanlah sebagai tampak membeku dan usang akibat politik kolonial, tetapi hukum adat yang berinti azas gotong royong, mengandung potensi berkembang dengan mengendalikan unsur-unsur hukum agraria dan dapat menyesuaikan diri dengan panggilan zaman. (Parlindungan, 1998:64) e. Prinsip bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Prinsip ini diatur dalam Pasal 6 UUPA, prinsip ini menunjukkan pentingnya kebersamaan di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia tidak hanya hak milik, tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Di dalam Pasal 570 KUH Perdata, diaktakan bahwa hak milik (hak eigendom) sifatnya mutlak. Prinsip ini bertentangan dengan prinsip fungsi sosial. Berhubung dengan diambilnya azas di dalam penyusunan perundangundangan Hindia Belanda oleh Eddy Ruchyat disebutkan bahwa: KUH Perdata Indonesia juga konhordansi dengan Burgerlijk Wetbook Belanda. Burgelijk Wetbook Belanda ini disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang merupakan pengkodifikasian hukum Perdata Perancis sesudah Revolusi Perancis Tahun 1789 (Eddy Ruchyat, 2004:7). Sedangkan pada Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (Pasal 26) pernyataan fungsi sosial, hanya dibatasi terhadap hak milik. Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar keperluan rakyat. Kalimat ini menunjukkan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan

50

orang perorang atau sekelompok orang, tapi harus memperhatikan kepentingan semua orang. Dalam Penjelasan Umum UUPA II Angka (4) dikatakan bahwa Pasal 6 ini berarti, antara lain: Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Dari penjelasan ini dapat diartikan bahwa hak-hak atas tanah mempunyai 2 fungsi, yaitu selain berfungsi untuk kepentingan yang mempunyai hak tapi harus juga berfungsi untuk masyarakat. Meskipun dikatakan mempunyai fungsi sosial bukan berarti kepentingan perseorangan diabaikan (terdesak). Kepentingan perseorangan tetap diperhatikan. Kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat harus seimbang agar tercapai tujuan pokok sebagaimana disebut pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (3) UUPA. Dengan demikian pengertian fungsi sosial dari pada tanah menurut Parlindungan, adalah jalan kompromis antara hak mutlak dari tanah degnan sistem kepentingan umum dari tanah, seperti tersebut dalam Penjelasan UUPA II, 4 maupun kewajiban sosianya (Parlindungan, 1998:66) Notonagoro, menyebutkan bahwa: Hak milik mempunyai fungsi sosial itu sebenarkan mendasarkan dari atas individu, mempunyai dasar yang individualistis ditempatkan kepadanya itu sifat yang sosial, sedangkan kalau berdasarkan Pancasila, hukum kita tidak berdasarkan atas corak indivudialistis, tetapi bercorak dwitunggal. (Notonagoro, 1984 :64)

51

Bersifat dwitunggal berarti di dalam satu hak menempel 2 kepentingan yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Pada Pasal 15 disebutkan bahwa: Memelihara tanah temrasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, bukan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah. Sesuai dengan fungsi sosialnya adalah sudah sewajarnya, bahwa tanah itu harus dipelihara dengan baik. Kewajiban itu bukan saja dibebankan kepada pemilik, namun juga merupakan beban setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu (lihat Penjelansan Umum UUPA No. II angka 4). Di dalam pasa-pasal UUPA jelas terlihat penekanan dari fungsi sosial tersebut seperti pada Pasal 18 UUPA tentang Pencabutan Hak atas Tanah disebutkan, bahwa: Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Untuk kepentingan umum hak-hak seseorang dapat dicabut namun tetap ada penghargaan terhadap hak individunya dengan cara membayar ganti rugi yang layak kepada pemiliknya. Selanjutnya juga dilihat pada Pasal 7 dan 17 tentang larangan menguasai tanah pertananian yang melampaui batas dikuasai oleh satu keluarga. Hal ini untuk mencegah jangan sampai terjadi penumpukan tanah-tanah di tangan orang-orang tertentu saja, sementara yang lainnya mempunyai tanah yang sangat minim sekali atau sama sekali tidak punya tanah. Ataupun untuk mencegah jangan sampai ada tanah yang diterlantarkan. Demikian juga dengan Pasal 10 tentang larangan absentee di

52

mana pemiliknya tidak dapat mengerjakan tanahnya secara efektif karena lokasinya berjauhan dengan tempat tinggalnya. Jika ada tanah yang diterlantarkan, maka tanah tersebut akan dicabut oleh Pemerintah menjadi tanah negara (Lihat peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1998, tentang Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan). Budi HarsoNo. dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, menyebutkan: Tanah pun tidak boleh dijadikan obyek investasi semata-mata. Biarpun ada kemungkinan orang yang mempunyai tanah memperoleh keuntungan dari kenaikan harga tanahnya (Penulis: spekulasi tanah), yang bukan disebabkan usahanya sendiri, melainkan sebagai akibat pembangunan yang dilakukan Pemerintah atau pihak lain. Modal lebih diperlukan dan karena itu sebaiknya digunakan untuk membiayai usaha-usaha yang produktif. Kegiatan ini dapat dicegah melalui pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah yang dimaksudkan oleh Pasal 7 dan mekanisme pajak. (Budi Harsono, 1999:289) Sesuai dengan fungsi sosial tersebut dapat diambil kesimpulan apa yang tercantum dalam UUPA itu sendiri bahwa: a. b. pemerasan. c. tataruang. d. Pengrusakan tanah dengan cara penggunaan tanah yang tak seimbang. Adalah merupakan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan dan apabila dilanggar dapat diberikan sanksi pidana. Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan Spekulasi tanah dalam arti menelantarkan tanah. Mendayagunakan tanah yang mengandung unsur

53

f.

Prinsip Nasionalitas Dan Persamaan Hak

Prinsip nasionalitas ini adalah sejalan denga apa yang disebut pada Pasal 1 tentang prinsip kesatuan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1)). Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, bahwa: Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Oleh sebab itu bumi, air dan ruang angkasa (BAR) tersebut adalah merupakan hak dari semua bangsa Indonesia. Maka sudah sewajarnyalah hak-hak atas BAR tersebut diprioritaskan kepada bangsa Indonesia. Hal ini dengan tegas dicantumkan pada Pasakl 9 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: f) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. g) Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri, maupun keluarganya. Sebagai konsekuensi dari prinsip nasionalitas in maka hak milik hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia, kemudian juga dengan hak guna usaha. Hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dianggap sebagai hak yang paling penuh (paling luas) haknya, sedangkan hak pakai, karena dianggap cukup haknya terbatas boleh dipunyai oleh warga negara asing, namun harus merupakan penduduk Indonesia. Malahan khusus untuk badan-badan hukum hanya boleh mempunyai hak milik yaitu badan-badan hukum tertentu (lihat Pasal 2 ayat (2)). Penjelasan Umum II angka 5 antara lain menyebutkan:

54

Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut Pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usahausaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik. (Pasal 17) Badan-badan hukum tertentu yang boleh mempunyai hak milik kemudian diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, tentang Penunjakan Badan-badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah yang pada Pasal 1, menyebutkan: Badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2,3, dan 4 peraturan ini: a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara).

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan


berdasarkan atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139). c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian Agraria setelah mendengar Menteri Agama. d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai tindak lanjut dari Penjelasan Umum UUPA No. II angka 5, alinea ke-2 yang berbunyi:

55

Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungan perekoNo.mian maka diadakan suatu escape-clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik dengan adanya escape-clause ini maka cukuplah nanti apabila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau sesuatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut, sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. (Pasal 21 ayat (2)) Sebagaimana halnya dengan disebut pada ayat (2) Pasal 9 UUPA bahwa laki-laki dengan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap bumi, air dan ruang angkasa adalah sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945, di mana semua warga negara Indonesia (baik laki-laki maupun perempuan) mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Berbeda halnya dengan hukum adat yang nyata-nyata membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam kesempatan mempunyai hubungan dengan BAR. Di samping mengutamakan warga negara Indonesia di dalam hubungannya denagn tanah, juga harus menjadi perhatian terhadap perlindungan bagi golongan ekoNo.mi lemah terhadap sesama warga. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (2) dan (3). Pasal 11 ayat (2): Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan dalam hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, di perhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekoNo.mis lemah.

56

Penjelasan Umum III angka 2 memberikan penjelasan tentang Pasal 11 ayat (2) ini, sebagai berikut: Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat, misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan, pula rakyat yang ekoNo.minya kuat dan rakyat yang lemah ekoNo.minya. Maka ketentuan dalam ayat (2) tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekoNo.mis lemah. Sebagai contoh misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan, yaitu tentang gadai tanah dan hak tanggungan. Meskipun di perkotaan telah berlaku Undang-Undang Hak Tanggungan untuk jamunan hutang, namun di pedesaan masih di akui keberadaan gadai tanah untuk jaminan hutang. Hal ini disebabkan tanah-tanah di pedesaan yang akan dijadikan jaminan hutang boleh dikatakan belum terdaftar, sedangkan untuk hak tanggungan dibutuhkan tanah-tanah yang sudah terdaftar. Berlakunya dua jenis hak jaminan, bukan berarti bahwa masih berlakunya dualisme hukum agraria di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan hukum golonagn. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1), menyebutkan: Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya. Sesuai dengan prinsip nasionalitas ini, bahwa setiap anggota masyarakat di dalam menyumbangkan produksi tanahnya diharapkan dilakukan secara gotong royong dan usaha bersama yang berdasar atas kekuasaan, untuk mencegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Dengan demikian tercapai perlindungan terhadap

57

golongan ekoNo.mi lemah. Sebagai contoh dengan ditetapkannya UndangUndang Bagi Hasil yang memperlindungi si penggarap dari kewenangwenangan dari pemilik tanah. Untuk mencegah terjadinya penindasan terhadap ekoNo.mi lemah tersebut selanjutnya ditegaskan kembali pada Pasal 13 ayat (2) dan (3), sebagai berikut: Ayat (2): Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat moNo.poli swasta. Ayat (3): Usaha-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat moNo.poli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat moNo.poli swasta. Bukan saja usaha swasta tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat moNo.poli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha pemerintah yang bersifat moNo.poli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

g. Prinsip Larangan Penguasaan Tanah Yang Melampaui Batas Sebagaimana disebutkan oleh Parlindungan bahwa UUPA sebagai induk landrefrom, yang mulai dari Pasal 1 sampai Pasal 19 memuat tentang perbaikan terhadap hubungan manusia Indonesia dengan tanah, yang salah satu sasaran pokoknya adalah melarang menguasai tanah yang melampaui batas. Hal ini dengan tegas disebutkan pada Pasal 7 dan 17 UUPA. Pasal 7:

58

Untuk

tidak

merugikan

kepentingan

umum

maka

pemilikan

penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Hal ini dikaitkan dengan fungsi sosial hak atas tanah bahwa semua tanah di Indonesia harus dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang merupakan wewenang Pemerintah Pusat penguasaannya digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (lihat Pasal 2) dan bukan untuk kemakmuran orang perorang atau sekelompok orang. Oleh sebab itulah Pasal 7 ini melarang penguasaan tanah yang mlampaui batas, agar tidak terjadi penumpukan tanah di tangan orang-orang tertentu sementara yang lamanya tidak memperoleh kesempatan menguasai tanah yang dapat menghidupi keluarganya secara layak. Berapa batas luas tanah yang layak bagi satu keluarga secara maksimum harus diatur dengan Undang-Undang. Pasal 17 menyebutkan: Ayat (1): Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Ayat (2): Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat. Ayat (3): Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang

59

membentukkan Pemerintah. Ayat (4):

menurut

ketentuan-ketentuan

dalam

Peraturan

Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Jika pada Pasal 7 adanya larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas yang dalam literatur disebut dengan larangan latifundia atau di Philipina dikatakan dengan istilah hasienda (Parlindungan, 1998:72), maka batasan seseorang boleh mempunyai tanah pertanian sebagaimana tersebut pada Pasal 17 disebutkan dengan istilah ceiling. Dengan adanya pembatasan penguasaan tanah yang melampaui batas diharapkan, bahwa akan diperoleh pembagian tanah (tanah pertanian) adil agar diperoleh hasil yang adil pula. Tanah-tanah kelebihan maksimum tersebut oleh pemerintah akan dicabut dan dibagikan kepada petani yang tidak punya tanah atau yang sedikit sekali punya tanah (landless-farmer dan nearlandless-farmer). Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian karena akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya. (Budi HarsoNo., 1999:355) Sebagaimana disebutkan bahwa tujuan landrefrom secara umum adalah:

a. Tujuan sosial-ekoNo.mis 1) Memperbaiki keadaan sosial ekoNo.mi rakyat dengan


memperkuat hak milik serta memberi isi fungsi sosial pada hak milik. 2) Memperbaiki produksi nasional, khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat. b. Tujuan sosial-politis

60

1) Mengharapkan

sistim

tuan

tanah

dan

penguasaan

(pemilikan) tanah yang luas. 2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani, berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula. c. Tujuan mental-psikologis 1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah. 2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarapnya. (Dalimunthe, 2005:42) Pada Repelita 1994/2995, Bab 19, IV, antara lain disebutkan: Penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas lahan harus dapat menjamin kelangsungan usaha pertanian. Pemilikan lahan pertanian oleh perseorangan secara berlebihan pemilikan bahan pertanian yang sangat kecil dan penguasaan lahan secara absentee dan diterlantarkan perlu dicegah agar terjaga fungsi tanah sebagai faktor produksi dan sumber kehidupan yang layak bagi petani dan seterusnya...(Parlindungan, 1998:11) Untuk menentukan berapa batas maksimum yang diperbolehkan dikuasi oleh seseorang sebagaimana disebutkan pada Pasal 17 ayat (2), maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pada Penjelasan Umum (1), disebutkan antara lain, bahwa: Keadaan masyarakat tani Indonesia sekarang ini ialah bahwa kurang lebih 60 % dari para petani adalah petani tidak bertanah. Sebahagian mereka itu merupakan buruh tani, sebahagian lainnya mengerjakan tanah orang lain, sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi hasil. Para petani yang mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebahagian terbesar masing-masing tanahnya

61

kurang dari 1 hektar (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering) yang terang tidak cukup untuk hidup yang layak. Tetapi di samping petani-petani yang tidak bertanah dan yang bertanah tidak cukup itu, kita jumpai petani-petani yang menguasai tanah petanian yang luas berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu hektar tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa. Dari Penjelasan Umum ini jelas dikatakan bahwa penguasaan tanah pertanian tersebut bukan hanya menyangkut hak milik, tapi juga termasuk penguasaan tanah orang lain karena gadai atau sewa atau perjanjianperjanjian lain antara yang menguasai dengan pemilik tanah. Ada 3 (tiga) hal yang diatur di dalam Undang-Undang NO. 56 Tahun 1960 ini, yaitu: 1) 2) 3) tanah pertanian. Berapa batas maksimum yang ditetapkan di dalam undang-undang ini digantungkan kepada 3 (tiga) kriteria, yaitu: a) Kepadatan penduduk b) Jenis tanah c) Jumlah anggota keluarga Dan dalam hal batas maksimum yang dibenarkan bagi Pegawai Negeri mempunyai tanah secara absentee dapat ditambahkan sebagai kriteria yang ke empat (4). Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 ini menyebutkan: (1) Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah tentang penetapan batas maksimum penguasaan tanah pertanian. Tentang batas minimum tanah pertanian. Tentang batas waktu pegembalian gadai

62

pertanian, baik miliknya sendiri, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini. (2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktorfaktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat (1), pasal ini ditetapkan sebagai berikut: Di daerah-daerah yang 1. a. c. Tidak padat Kurang padat Sangat padat Sawah (hektar) 15 10 7,5 5 Atau Tanah Kering (hektar) 20 12 9 6

2. Padat b. Cukup padat

Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk menghitung luas maksimum tersebut. Luas sawah dijumlah dengan luas tanah kering sama dengan sawah ditambah 38 % di daerah yang tidak padat dan 20 % di daerah padat dengan ketentuan bahwa tanah pertanian seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar. Selanjutnya ayat (4) menyebutkan bahwa luas maksimum tersebut tidak berlaku terhadap tanah pertanian. a. Yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah. b. Yang dikuasai oleh badan-badan hukum. Penetapan batas maksimum tersebut didasarkan kepada satu keluarga yang jumlah anggotanya 7 orang dan apabila lebih dari 7 orang, maka setiap penambahan 1 orang anggota jumlah maksimum ditambah 10 %, tapi tidak boleh melabihi 50 % (Pasal 2 ayat (1)).

63

Sebagaimana disebutkan bahwa kelebihan maksimum itu akan diambil oleh pemerintah dan dibagi-bagikan kepada petani yang tidak punya tanah (tunakisma) atau kepada petani yang sedikit sekali punya tanah (petani gurem), dengan tujuan agar para petani tersebut mempunyai tanah mencapai batas minimum atau di atas minimum. Hal ini adalah salah satu usaha pemerintah agar setiap keluarga petani mempunyai tanah pertanian minimum 2 hektar. (Pasal 17 UUPA jo Pasal 8 UU No. 56 Tahun 1960). Pada Pasal 9 UU No. 56 Tahun 1960 tentang batas minimum tersebut selanjutnya menyebutkan tentang usaha Pemerintah agar jangan terjadi (bertambahnya) keluarga petani mempunyai tanah di bawah 2 hektar, sebagai berikut: (1) Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya sekaligus. (2) Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar di dalam waktu satu tahun mereka harus menunjuk salah seorang diantaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu atau memindahkannya kepada pihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1). Pasal 9 ini menunjukkan bahwa setiap keluarga petani ini dilarang melakukan tindakan peralihan hak atas tanahnya yang mengakibatkan tanahnya menjadi kurang dari 2 hektar (larangan fragmentasi). Di dalam ketentuan landrefrom banyak usaha-usaha yang dilakukan pemerintah agar setiap petani mempunyai tanah minimum 2 hektar. (Hal ini sudah diuraikan di dalam buku Pelaksanaan Landrefrom di Indonesia dan Permasalahannya oleh Penulis). memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual

64

h. Prinsip Larangan Absenteisme


Di samping larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, UUPA juga berprinsip bahwa petani yang mempunyai tanah pertanian harus bertempat tinggal di tempat letaknya tanah pertaniannya (larangan absentee). Pada (1) pasal 10, sebagai dasar hukum dari larangan absentee menyebutkan: Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. (2) (3) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) ini akan Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. diatur dalam peraturan perundangan. Pasal ini menunjukkan bahwa tanah pertanian itu harus benar-benar dipunyai oleh petani, yang harus mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif (land to the tiller). Agar yang bersangkutan dapat mengerjakannya sendiri secara aktif juga diharapkan tempat tinggalnya berada di tempat letaknya tanah. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee menurut Budi HarsoNo. adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebahagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat tinggal yang bersangkutan, karena pemilik tanah bertempat tinggal di daerah penghasil. (Budi HarsoNo., 1999:371) Jika pemilik tanah berada di perkotaan sementara tanahnya berada di pedesaan, kemungkinan besar yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif akibatnya terpaksa dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya tanah. Jika penggarap hanya

65

mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya, apa yang menjadi tujuan landrefrom dalam bidang mental psikologis tidak tercapai (point (1) tujuan landrefrom huruf C-mental psikologis). Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961, tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, menyebutkan pada Pasal 3 antara lain: Ayat (1): Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letaknya tanah, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letaknya tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Ayat (2): Kewajiban tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut pertimbangan Panitia Landrefrom Daerah Tingkat II. Jika dalam UU No. 56 Tahun 1960, tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyebutkan bahwa 3 bulan setelah berlakunya peraturan ini, harus melaporkan kelebihan maksimumnya tersebut kepada Ka Kantor Pertanahan setempat, sedangkan di dalam PP No. 224 Tahun 1961, yang juga memuat tentang larangan absentee menyebutkan pada Pasal 3, bahwa pemilik tanah secara absentee harus mengalihkan tanahnya tersebut kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan letaknya tanah dalam jangka wakti 6 bulan. Namun kemudian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1974, tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landrefrom,

66

menyebutkan antara lain, bahwa kewajiban melapor kelebihan maksimum tersebut menjadi 6 bulan sejak berlakunya PMDN ini (18 Oktober 1974), yang kemudian adanya permintaan agar dalam jangka waktu 1 tahun sejak berlakunya peraturan ini harus mengakhiri penguasaan tanah kelebihan maksimum tersebut, dengan cara: i. ii. Memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut kepada pihak yang memenuhi syarat. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Di samping pengecualian larangan absentee bagi kecamatan yang berbatasan, juga dikecualikan terhadap mereka yang menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama atau alasan khusus lainnya yang diterima oleh Menteri Agraria. Namun penguasaan absentee tersebut bagi mereka dibatasi sampai dengan 2/5 batas maksimum yang ditetapkab bagi daerah yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (4) PP No. 224 Tahun 1961). Selanjutnya PP No. 41 Tahun 1964, tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961, tentang Pelaksanaan Pembagian tanah dan Pemberian Ganti Rugi menambahkan Pasal 3 dengan Pasal 36 tentang Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata yang telah berhenti menjalankan tugas negara dalam jangka waktu 1 tahun harus mengakhiri penguasaan tanahnya secara absentee. Akan tetapi dengan PP No. 4 tahun 1977, tentang Pemilikan tanah Pertanian Secara Guntai (absentee). Bagi para Pensiunan Pegawai Negeri, menyebutkan bahwa Pegawai Negeri yang dibenarkan mempunyai tanah absentee, juga termasuk pensiunan dan jandanya. Bahkan seorang Pegawai Negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara Guntai (absentee) seluas 2/5 dari batas maksimum di daerah yang bersangkutan (Pasal 6) .................

67

Kelebihan batas maksimum dan tanah absentee ini oleh Pemerintah bertujuan untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani (tanah pertanian) agar tercapai batas minimum penguasaan tanah pertanian, dibagi-bagikan pada para petani yang tidak punya tanah atau sedikit sekali punya tanah (PP No. 224 Tahun 1961).

i. Prinsip Tata Guna Tanah


Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara, agar bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka diperlukan adanya suatu rencana tata guna tanah (land use planning), yaitu mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaannnya, untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara demikian di dalam Penjelasan Umum II angka (8). Selanjutnya disebutkan: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan adanya planning ini, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesarbesarnya bagi negara dan rakyat. Untuk mengatur penggunaan, peruntukan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa pada Pasal 2 disebutkan diberi wewenang kepada negara untuk membuat suatu rencana umum, agar tercapai fungsi sosial hak atazs tanah. Pasal 14 UUPA tentang Tata Guna Tanah menyebutkan, sebagai berikut: (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2), pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan

68

bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. Untuk keperluan negara b. Untuk keperluan peribadatan, keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan. d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu. e. (2) Untuk keperluan memperkembangkan industri transmigrasi Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan pertambangan. dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. (3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden. Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah. Sebagaimana disebutkan pada Konsiderans Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang, maka ditetapkanlah PP No. 16 Tahun 2004, tentang Penatagunaan Tanah. Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan:

69

1. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tataguna


tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai pedoman umum penatagunaan tanah di daerah. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Peraturan Ka BPN No. 4 Tahun 1991, tentang Konsolidasi Tanah, bahwa: Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi setiap masyarakat. Sesuai dengan tujuan Pasal 33 ayat (3) UU Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA, bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa harus dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Konsiderans Menimbang Peraturan Ka BPN No. 4 Tahun 1991 huruf a). Selanjutnya huruf b dari Konsiderans Menimbang disebutkan tentang Konsolidasi Tanah, menyebutkan: Bahwa untuk mencapai pemanfaatan dimaksud dalam huruf a, perlu dilaksanakan pengaturan penguasaan dan penatagunaan tanah melalui konsolidasi tanah seabgai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah, serta menyelaraskan kepentingan individu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Wilayah konsolidasi tanah biasanya ditujukan kepada daerah rural sebagai perubahan batas-batas daerah rural pertanian dan kawasan hutan.

70

Azas dan Tujuan Penatagunaan Tanah Penatagunaan tanah berazaskan keterpaduan berdayaguna dan berhasul guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2 PP No. 16 Tahun 2004). Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan tentang tujuan penatagunaan tanah sebagai berikut:

a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi


berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar


sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah. d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan Kebijakan Penatagunaan Tanah Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap: 1. Bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, baik yang sudah atau belum terdaftar. 2. Tanah negara. 3. Tanah Ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 6). Baik terhadap tanah yang sudah dikuasai dengan sesuatu hak maupun tanah negara atau tanah hak ulayat di dalam menggunakan atau memanfaatkannya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

71

Kesesuaian tersebut didasarkan kepada pedoman standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pemegang hak atas tanah wajib dan dapat menggunakan, memanfaatkan, memelihara dan mencegah kerusakannya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Penatagunaan Tanah yang disebut juga dengan Pola Pengelolaan Tataguna Tanah merupakan kegiatan di bidang pertanahan di Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya yang diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dimaksud. Terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah kecuali pada kawasan hutan (Pasal 11 ayat (1)). Terhadap tanah dalam kawasan cagar budaya yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku kecuali pada lokasi situs (Pasal 11 ayat (2)). Sementara untuk tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perariran pantai pasangsurut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasa langsung oleh negara. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-1293, tentang Penertiban Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, menyebutkan pada Surat Edaran tersebut, angka 2 dan 3, sebagai berikut: Angka 2: Tanah-tanah reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan pengaturannya dilaksanakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pihak yang melakukan reklamasi dapat diberikan prioritas pertama untuk mengerjakan permohonan atas tanah reklamasi tersebut. Angka 3: Tanah-tanah timbul secara alami, seperti delta tanah pantai tepi danau/situ, endapan tepi sungai, pulau timbul atau tanah timbul secara alami lainnya, dinyatakan sebagai tanah yang langsung

72

dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta penggunaannya di atur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penggunaan dan pemanfaatan tanah yang baik di kawasan lindung maupun di kawasan budidaya, harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Penggunaan Tanah Penggunaan tanah dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alam. Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh diterlantarkan, harus dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan Tanah Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling mengganggu dan memberikan nilah tambah terhadap penggunaan tanahnya. Dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah dilaksanakan pembinaan dan pengendalian. Pembinaan dilaksanakan melalui pemberian pedoman, bimbingan pelatihan dan arahan. Sedangkan pengendalian dilaksanakan melalui pengawasan yang diwujudkan melalui supermisi, pelaporan dan penertiban. Penatagunaan tanah menunjuk kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Bagi Kabupaten/Kota yang belum menetapkan RT/RW, penatagunaan tanah menunjuk pada rencana tata ruang lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk daerah a. yang bersangkutan direncanakan penatagunaan tanah di Kabupaten/Kota meliputi: Penetapan kegiatan penatagunaan tanah b. Pelaksanaan kegiatan penatagunaan tanah Parlindungan menyebutkan:

73

Perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara, kemudian Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (Regional Planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan terpimpin dan teratas hingga membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. (Parlindungan, 1998:97) Sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional agar kwalitas ruang wilayah nasional dapat terjaga kelanjutannya kesejahteraan umum dan keadilan sosial, dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan landasn adil, Pancasila, menuntut penegakkan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi dan keadilan. Dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi kewenangan semangkin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan itu perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antar daerah dan antar pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah. Maka ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan lahirnya Undang-undang ini maka Undang-Undang Penataan Ruang No.24 Tahun 1992, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 1 angka 5 mengabulkan bahwa yang dimaksud dengan: Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Asas dan tujuan penataan ruang a. b. c. d. Keterpaduan Keserasian, keselarasan, keseimbangan Keterlanjutan Keberdayagunaan dan keberhasilangunaan

74

e. f. g. h. i.

Keterbukaan Kebersamaan dan kemitraan Perlindungan kepentingan umum Kepastian hukum dan keadilan Akutanbilitas

Sedangkan tujuannnya adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang umum, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandasan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, dengan: a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alan dan lingkungan buatan. b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. c. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya bantuan dengan memperhatikan sumber daya manusia.

d. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif


terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. j. Prinsip Pengakuan Hak-Hak Atas Tanah Menurut Pasal 16 UUPA Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia adalah hak bangsa Indonesia jadi tidak semata-mata menjadi hak dari pada pemiliknya saja. Selanjutnya Pasal 2 UUPA menyebutkan, bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah semacam hubungan hak ulayat jadi bukan sebagai milik. Dalam rangka hubungan hak ulayat ini juga dikenal hak milik perseorangan menurut hukum adat. Demikian juga di dalam hukum agraria yang baru

75

(UUPA), di samping hak menguasai dari negara yang disebut pada Pasal 2, juga diakui hak-hak yang dapat dipunyai oleh seseorang atau beberapa orang bersama-sama atau badan hukum, namun dibatasi terhadap permukaan bumi saja. (1) Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan: Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal (2) ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan orang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

(3)

Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksuda dalam Pasal 4 UUPA tersebut ditentukan kemudian pada Pasal 16, yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1) Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1), ialah: a. c. e. f. Hak milik Hak guna bangunan Hak sewa Hak membuka tanah b. Hak guna usaha d. Hak pakai

76

g.

Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan pada Pasal 53. Ayat (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3), ialah: a. c. Hak guna air Hak guna ruang angkasa b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan Tanah sebagaimana dimaksud dapam Pasal 4 ayat (1) adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya menurut ayat (2) meliputi wewenang untuk mempergunakannya, termasuk tubuh bumi yang ada di bawah tanah serta di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan. Dari isi Pasal 4 ini jelaslah, bahwa UUPA menganut pemisahan horizontal sebagaimana dengan hukum adat. Bangunan atau tanaman yang ada di atas tanah belum tentu termasuk kepada hak atas tanah tersebut, kecuali dengan tegas disebutkan. Di dalam melakukan perbuatan hukum terhadap tanah dapat dimungkinkan meliputi juga bangunan atau tanaman yang ada di atasnya. Budi HarsoNo. menyebutkan, asal: 1. Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan tanaman merupakan tanaman keras. 2. dan 3. Maksud demikian secara tegas disebutkan dalam akta yang bersangkutan (Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta 1975). Berbeda dengan KUH Perdata yang menganut aksessi vertikal, di mana hak-hak atas tanah termasuk apa yang melekat di atas dan di bawahnya Bangunan dan tanaman tersebut milik yang empunya tanah,

77

(lihat Pasal 506 s/d508 KUH Perdata). Contoh, Pasal 506 angka 1 dan 3, berbunyi: Kebendaan tak bergerak ialah: 1. Perkarangan-perakarangan dan apa yang didirikan di atasnya.

2. Pohon-pohon dan tanaman ladang, yang dengan akarnya


menancap dalam tanah, buah-buah pohon yang belum dipetik, demikianpun barang-barang tumbang, seperti batu bara, sumpah bara dan sebagainya selama benda-benda itu belum terpisah dan digali dari tanah. Dengan didasarkannya hukum agraria nasional ini kepada hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat maka ketentuan-ketentuan KUH Perdata yang menyangkut bumi, air dan ruang angkasa tidak berlaku lagi. Namun demikian perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat harus tetap diperhatikan (Pasal 11 ayat (2)), yang dimaksud dengan perbedaan keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan, demikian pula dengan rakyat ekoNo.mi kuat dengan ekoNo.mi lemah. Pasal 11 ayat (2), menyebutkan tentang jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekoNo.mi lemah (lihat hak gadai, dan hak usaha bagi hasil yang disebutkan pada Pasal 53), yang disebutkan sebagai hak-hak yang sifatnya sementara. Karena hak gadai dan hak usaha bagi hasil masih dibutuhkan oleh golongan masyarakat pedesaan dan golongan ekoNo.mi lemah sampai saat ini masih berlaku dengan revisi untuk melindungi golongan ekoNo.mi lemah. Sistematika hak-hak atas tanah yang disebut pada Pasal 16 ini sama dengan yang dianut oleh hukum adat, hanya di dalam hukum agraria (UUPA) dikenal hak guna usaha dan hak guna bangunan, yang sebenarnya sama artinya dengan hak pakai, yaitu hak untuk mempergunakan tanah orang lain, namun untuk lebih mengkhususkan kewenagnan penggunaannya sesuai

78

dengan kebutuhan sosial ekoNo.mi, maka diberi perbedaan tentang penggunaannya. Oleh karena rakyat IdNo.nesia sebahagian terbesar tunduk kepada hukum adat, maka hukum agraria yang baru itu (UUPA) akan didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum adat. UUPA harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Hak-hak yang disebut pada Pasal 16 ini sifatnya tidak lumitatif, karena pada huruf (h) disebutkan juga hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Selanjutnya pada huruf h tersebut ada pula hak-hak yang sifatnya sementara yang disebutkan pada Pasal 53. Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang tertentu dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu singkat. Dengan diaturnya hak-hak atas tanah di dalam UUPA ini, maka lembaga hak-hak atas tanah yang diatur tidak berlaku lagi. Hak-hak yang dikenal di dalam hukum adat dan KUH Perdata disesuaikan dengan hak-hak yang diatur di dalam UUPA sesuai dengan ketentuan Konversi. Secara berturut-turut hak-hak yang disebut di dalam Pasal 16 tersebut diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 48. k. Prinsip Kepastian Hukum Hak atas Tanah Sebagaimana disebutkan diatas bahwa pada zaman penjajahan kepastian hukum hak hak tanah tidak dijumpai, terutama terhadap hak hak atas tanah adat. Oleh pemerintah jajahan hanya membuat peraturan pendaftaran

79

tanah untuk hak hak barat yang tujuannya untuk kepastian hukum (rechts kadistr). Untuk Hak Hak Adat diserahkan pengaturannya resmi dengan hukum adat setempat. Oleh karena daerah Swapraja pendaftaran tanah untuk kepastian hukumnya dilakukan sendiri oleh masing-masing daerah Swapraja. Sementara diluar daerah Swapraja pemerintah jajahan membuat peraturan pendaftaran tanah hanya untuk tujuan pembayaran pajak (fiskal Kadastis), Apabila sebidang tanah terdaftar atas nama, maka ialah yang wajib membayar pajaknya ( bukan untuk melindungi haknya ). Dengan Lahirnya UUPA yang bertujuan mengadakan perombakan secara total hukum Agraria sebelumnya, menyebutkan bahwa salah satu, tujuan diundangkannya UUPA adalah untuk mencapai kepastian hukum hak hak atas tanah guna tercapainya kemakmuran yang sukses besarnya untuk seluruh rakyat Indonesia . Sehubungan dngan tujuan tersebut , maka dicantumkan pada Pasal 19 UUPA, tentang pendaftaran tanah yang berbunyi:

1. Untuk ada jaminan kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan


Pendaftran Tanah seluruh wilayah Republik Indonesia, Memuat ketentuan ktentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini, meliputi : a. c. Pengukuan, pemetaan , dan pembukuan tanah . Pemberian Surat surat tanda bukti hal, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran Tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyrakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi srta kemungkiman Agaria. 4. Dalam Persatuan Pemerintah diatur biaya biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 di atas, penyelenggaraannya memuat pertimbangan Materi b. Pendaftaran hak hak atas tanah dan peralihan hak hak tersebut.

80

denagan ketentuan

bahwa rakyat yang tidak mampu dibebeskan dari

bayaran biaya biaya tersebut. Untuk menuju ke arah kepastian hukun ini, Pasal 19 memerintahkan kepada Pemerintah ( sebagai suatu instruksi )Untuk melakukan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia. Meskipun demikian tidaklah dapat diharapkan bahwa tugas tersebut hanya dibebankan pada pemerintah sendiri mengingat keadaan daerah Indonesia yang cukup luas dan terdiri dari pulau pulau yang dipisah oleh laut lautnya. Oleh karena tujuan dilakukannya pendaftaran ini di tujukan terutama kepada perlindungan terhadap pemilik tanah, maka tanggung jawab untuk melakukan pendaftaran juga tidak terlepas dari pemilik tanahnnya. Kewajiban ini kemudian disebutkan pada Pasal 23, Pasal 32 dan 38, yang secara berturut turut ditujukan kepada pemegang hal milik, hal guna uasaha dan hak guna bangunan, yang berbunyi: Pasal 23

1. Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan


pembebanannya dengan hak hak lain harus di daftarkan menurut menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 2. Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 menetapak alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya, hak milik serta sahnya peralihan dan pebebanan hak tersebut.

Pasal 32

1.

hak guna Usaha, termasuk syarat syarat pemberiannya

demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19

81

2.

Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat karena

pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya guna usaha, kecual dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir Pasal 38 1. Hak Guna bangunan, termasuk syarat syarat pemberian nya, demikian juga setiap peralihan dan pengapusannya hak terbut harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud pada Pasal 19. 2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bagunan serta sukunya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Mengingat keadaan Negara dan masyarat srta kepantingan sosial lalu lintas sosial yang membutuhkan juga tenaga skill, biaya dan sebagainya, maka serentak di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu sesuai dengan kepentingan sosial ekonomi, kemungkinan Penyelenggaraannya dan keadaan masyarakat, maka pendaftaran ini akan dimulai dari perkotaa / demikian antara lain disebutkan pada penjelasan pemerintah No. 24tahun 1997, tetang Pedaftaran tanah, pada Pasal 9 disebutkan bahwa obyek pendaftar tanah meliputi :

a. Bidang bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
b. usaha , hak guna bergunan dan hak pakai .

c. Tanah wakaf
d. Hak Milik atas satuan rumah susun e. Hak tanggungan

f. Tanah Negara
Adanya kewajiban mendaftarkan hakhak ini adalah berdasarkan

82

ketentuanketentuan yang sudah ada pengaturannya secara sendirisendiri, seperti berikut ini.

1.
2. 3. 4. 1985) 5.

Hak milik hak guna usaha, hak guna bangunan ( Pasal23, 32 Hak pakai dan hak pengelolahan ( PMA No.1 Tahun 1966) Tanah wakat ( PP No.28 Tahun 1977) Hak milik atas satuan rumah susun ( UU No. 16 Tahun Hak tanggungan ( UU No. 4 Tahun 1996)

dan 38 UUPA ).

Sebelum berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Tentang pendaftaran Tanah, maka untuk pelaksanaan pendaftaran tanah diatur didalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 dengan Peraturan pelaksana selanjutnya PMA No. 10 Tahun 196. Dengan berlakunya PP No 24 Tahun 1997, maka ketentuan ini dinyatakan Tidak berlaku lagi. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah ini adalah pendaftaran tanah demi kepastian hukum ( rechtkadaster), buka untuk kepentingan pajak ( Fiskal kadaster). Kepastian hukum disini dimaksudkan adalah kepastian karena yang menyangkut bidang keagrariaan, khususnya mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. Dengan demikian kekpastian hukum tersebut juga meliputi :

a.
hak.

Kepastian mengenai orang/badan hukum yang

menjadi pemegang hak yang disebut juga kepastian mengenai subyek

b.

Kapastian mengenai letak, batas batasanya serta

luas bidang bidang tanah yang disebut juga kepastian mengenai Objek Hak ( Departemen Dalam Negeri,1980 : 77)

83

Dengan adanya kepastian hukum mengenai subyek dan obyek ini maka seseorang yang ingin membeli sebidang tanah tidak perlu lagi mencari cara kejelasan siapa pemiliknya dan dimana letak dan batas batasnya Dengan pendaftaran tanah juga bertujuan untuk mengetahui bahwa tanah itu pada saat sekarang ini untuk apa dipergunakan, dengan kata lain pendaftaran tanah bersifat land information system dan geografis information system (Dalimunthe, 2005;169). Pendaftaran Tanah dan Konversi. Dengan berlakunya UUPA, maka hak-hak atas tanah yang berlaku sebelumnya harus disesuaikan kepada hak-hak yang baru sebagaimana yang disebut pada Pasal 16 UUPA dan menyesuaikannya dengan system yang dianutnya. Penyesuaian hak-hak ini disebut dengan konvensi. Pelaksanaan konvennsi hak-hak barat dan hak-hak adat ini disesuaikan pula dengan sifatsifat ke dua jenis hak tersebut. Untuk pelaksanaan konvensi hak barat yang sifatnya mempunyai kepastian hukum, yang aslinya jenis haknya sudah jelas (seperti hak ngendom, hak erfpacht, hak apstal), maka ketentuan konvensinya dibatasi jangka waktunya sampai dengan 24 September 1980. Sementara hak-hak adat yang sifatnya sebahagian besar tidak mempunyai kepastian hukum, maka untuk membuktikan jenis haknya akan memakan waktu yang lama dan ketelitian, agar pelaksanaan konvensinya tidak menyebabkan sengketa dikemudian hari, karena kesalahan data fisik ataupun data yuridisnya. Oleh sebab itu keberadaan hak-hak adat sampai dengan sekarang masih diakui. Hal ini bukan berarti bahwa masih terjadi dualisme hukum yang berlaku. Di dalam ketentuan konvensi disebutkan, bahwa untuk mencegah hakhak adat ini hidup terus di dalam masyarakat, dengan PUPA No. 2 Tahun 1962, disebutkan pada Pasal 4.

84

Di dalam hal perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961, yaitu pemindahan hak atas tanah, penggadaian tanah atau peminjaman uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan maka permohonan penegasan konvensi dan pendaftaran Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan yang disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah bersama dengan akta yang dibuat alihnya yang membuktikan perbuatan hukum tersebut diatas. Di dalam akta tersebut hak-hak itu disebut dengan nama bekas hak yang diminta penegasan konvensinya. Jika ketentuan Pasal 4 ini tidak dilaksanakan maka akan diberikan sanksi sebagaimana disebut pada Pasal 8, yang berbunyi : Jika di daerah-daerah dimana Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961, sudah mulai diselenggarakan terjadi perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 dan tidak dimintakan penegasan konversi menurut ketentuan-ketentuan peraturan ini, maka hak yang bersangkutan dianggap sebagai hak pakai dengan jangka waktu paling lama 5 Tahun sejak berlakunya UUPA dan jika jangka waktu tersebut lampau, tanahnya menjadi tanah negara. Sebagai peraturan pelaksana dari pendaftaran tanah yang diatur di dalam UUPA yaitu PP No 10 Tahun 1961, dirasakan selama lebih dari 35 tahun, belum memberi hasil yang memuaskan, maka dirasa perlu mengatur kembali peraturan pelaksana pendaftaran tanah. Di dalam penjelasan umum PP No. 24 tahun 1997, tentang peraturan pendaftaran tanah yang baru disebutkan bahwa dari 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar baru lebih kurang 16,3 juta bidang sudah didaftar. Meskipun PP No. 24 Tahun 1997, ini merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961, namun tujuan pendaftaran tanah tetap dilakukan dalam rangka mencapai kepastian hukum di bidang perternakan dan sistim publikasi yang negatif masih berlaku yang menggandung unsur positif, yang

85

akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Pasal 3. PP No 10 Tahun 1997, menyebutkan, bahwa tujuan pendaftaran tahan adalah: a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hakhak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan


termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan pembuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik maka akan memperoleh dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Sementara azas yang dianut oleh pendaftaran ini berbeda dengan PP No. 10 Tahun 1961, meskipun tetap memakai azas (sistem) publikasi yang negatif yang mengandung unsur positif, namun azas yang paling diitekankan (pasal 2) adalah, azas sederhana, aman, terjangkau, mutahir dan terbuka. Azas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan , terutama pemegang hak atas tanah.

dapat -

Azas aman dimaksudkan untuk mewujudkan bahwa pendaftaran memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuannya

tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya pendaftaran tanah itu sendiri. Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah, pelayanan yang diberikan dalam

86

rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang membutuhkan. Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam sehingga data yang tersedia pelaksanaannya dan berkesinambungan

harus menunjukkan keadaan yang mutakhir, untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari. Azas mutakhir meningkat ialah dengan terpeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata dilapangan dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itu perlu

diberlakukan azas terbuka (Penjelasan Pasal 2 PPNo. 24 Tahun 1997). Jika didalam Peraturan Pemerintah tidak ada disebutkan tentang Pengertian Pendaftaran Tanah, maka untuk penyempurnaan sebagaimana yang disebut pada PP No. 24 Tahun 1997, disebutkanlah pada Pasal 1 angka 1 tentang pengertian pendaftaran tanah sebagai berikut:

1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan perjanjian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun. Termasuk surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak untuk atas Guna satuan rumah susun serta hak-hak dibidang tertentu pengadaan yang dan membebaninya. menjamin kepastian hukum pemeliharaan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan.

87

Pembuatan tanda bukti hak atas tanah bagi bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar dalam rangka memberikan sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat di dalam UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997). Disamping itu untuk mempertegas bahwa penggunaan sistem publikasinya yang negatif tetapi mengandung unsur positif, pada Pasal 32 ayat (2) selanjutnya bahwa seseorang tidak dapat lagi menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas nama orang atau badan hukum lain jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu tidak dimajukan gugatan pada pengadilan, sedangkan tanah itu diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan ikhtikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat persetujuannya (Pasal 32 ayat (2) Peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997). Berdasarkan Pasal 19 UUPA dan Pasal 23, 32 dan 38 dimana pelaksanaan pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan inisiatif Pemerintah (Pasal 19) dan atas inisiatif yang berkepentingan (Pasal 23, 32, 38), maka tata cara pendaftarannya juga diadakan dengan 2 (dua) cara yaitu:

1.

Pendaftaran tanah desa deni desa

(PP No.10

Tahun 1961) atau disebut dengan pendaftaran tanah secara sistemmatik (PP No. 24 Tahun 1997). Dikatakan pendaftaran tanah secara desa demi desa atau secara sistematik karena pendaftaran tersebut dilakukan secara serentak disuatu desa/wilayah yang dilakukan dengan suatu sistem.

88

2.

pendaftaran tanah secara individu (PP No. 10

Tahun 1961) atau pendaftaran tanah secara sporadik (PP No. 24 Tahun 1997). Dikatakan pendaftaran tanah secara individu atau sporadik, karena pendaftarannya dilakukan satu demi satu/seperti spora (tidak merata) sesuai dengan permohonan pemegang hak yang berkepentingan. Baik pendaftaran secara sistematik maupun pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan pada waktu pertamakalinya melakukan pendaftaran tanah atau beberapa obyek pendaftaran tanah. Dengan kata lain yang dimaksud dengan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Jika ada pendaftaran tanah yang dilakukan untuk pertama kalinya, maka diperlukan pula pendaftaran tanah yang berkesinambungan (Continuous Recording - PP No. 10 Tahun 1961) yang didalam PP No. 24 Tahun 1997, disebut dengan istilah pemeliharaan data pendaftaran tanah. Yang dimaksud dengan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesusaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Terjadi perubahan data fisik dan data yuridis yang mengakibatkan harus dilakukan kembali pendaftaran sesuai dengan perubahah tersebut terjadi karena: 1. a. Pendaftaran data yuridis yaitu: Peralihan hak karena jual beli, tukar-menuakr, hibah permohonan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahahan hak lainnya. b. Peralihan hak karena pewarisan

89

c. d. e. f. g. h. i. j. 2.

Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan Pembebanan hak tanggungan Peralihan hak tanggungan Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak Pembagian hak bersama Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan Perubahan nama akibat pemegang hak ganti nama Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah. Perubahan data fisik, yaitu:

perseroan atau koperasi

milik atau, satuan rumah susun dan hak tanggungan.

Putusan Pengadilan atau Penetapan Ketua Pengadilan

Pemecahan bidang tanah Pemindahan sebahagian atau beberapa bagian dari bidang tanah Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. (Peraturan Menteri Dalam Negera Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, tentang Ketentutan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 94). Kepastian hukum yang dikehendaki di dalam UUPA untuk melindungi pemegang hak atas tanah ternyata dengan sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif ternyata sepenuhnya diharapkan. Pengertian sertifikat merupakan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, belum menjamin sepenuhnya perlindungan hukum bagi pemilik Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997, menyebutkan: Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mempunyai data fisik dan data yuridis yang tercatat di dalamnya, sepanjang data yang ada dalam surat akan dan bukan tanah hak yang bersangkutan.

90

Namun di dalam penjelasan Pasal kembali sebagai berikut:

32 ayat (1) tersebut ditegaskan

Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Pengertian sistem pembuktian negatif yang tercantum dalam pasal ini menunjukkan bahwa pemberian sertifikat atas nama pemilik belum sepenuhnya tersebut. Namun karena UUPA tidak mengenal lembaga verjaring kelemahan sistem publikasi negatif ini tidak dapat diantisipasi. Tetapi kemudian, karena UUPA menganut sistem hukum yang dimuat oleh hukum hukum adat, maka lembaga Rechtsverwerking yang dikenal di dalam hukum adat kemudian dicantumkan pada Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, sebagai berikut: Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan ikhtikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan tersebut, apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepada Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau pembuatan sertifikat tersebut. Pemberian jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut kiranya sudah cukup wajar bagi pemilik tanah yang sah untuk mengetahui bahwa tanah yang telah memberikan perlindungan karena masih diberikannya kesempatan untuk membuktikan sebaliknya yang tercantum dalam sertifikat

91

dikuasai oleh orang lain. Hal ini juga dikuatkan dengan tanah terlantar, bahwa jangka waktu 5 tahun tersebut sudah sama miliknya bahwa tanahnya sudah termasuk yang ditelantarkan. Oleh Budi Harsono dikatakan bahwa Pasal 32 ayat (2) ini merupakan sarana pengaman yang terbentuk tertulis (Budi Harsono, 2003:94), meskipun secara tertulis lembaga Rechts Verwerking sebagai lembaga hukum adat sudah dianut oleh UUPA. Pada penjelasan Pasal 32 ayat (2) antara lain: Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang memang tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya hal tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possesion. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu lembaga rechtsverwerwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahya tidak dikerjakan, kemudian tanah- tanah itu dikerjakan orang lain, yang memperolehnya dengan ikhtikad baik, maka hilanglah waktunya untuk memiliki kembali tanah tersebut. Ketentuan ini dalam UUPA yang dinyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai lembaga ini. Kiranya sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif baru merupakan awal dasri penyelamatan bagi pemagang sertifikat sebagai pembuktian yang kuat akan kebenaran haknya. Untuk menuju kepada sistem publikasi yang positif masih jauh dari jangkauan sepanjang pendaftaran tanah untuk seluruh Indonesia belum terlaksana. Sementara untuk melalukan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya Pemerintah masih menemui kesulitan, karena bukti-bukti haknya yang sangat sulit diperoleh.

92

Dengan sarana Pasal 32 ayat (2) ini diharapkan bahwa sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif ini secara berangsur-angsur dapat ditingkatkan menjadi sistem publikasi yang positif. IV. HAK - HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA A. Hak Milik 1. Pengertian Hak Milik Pasal 20, tentang hak milik menyebutkan:

1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang


dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. 2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 20 ini menunjukkan sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak yang terkuat dan terpenuh, bukan berarti hak milik itu sifatnya mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana sifat hak eigendom di dalam KUH Perdata sebagaimana pengertian yang dulu. Terkuat dan terpenuh artinya hak yang paling kuat dan paling penuh di antara hak-hak lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai dan hak lainnya. Hak milik sebagaimana juga dengan hak-hak atas tanah lainnya mempunyai fungsi sosial (Pasal 6). Sifat hak yang mutlak bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial tersebut. Hak yang turun-temurun dalam arti memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk mempergunakannya bagi segala macam keperluan, selama waktu yang tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan untuk itu sesuai dengan fungsi sosial. Luasnya hak milik juga meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya, sepanjang ada kaitannya dengan penggunaan tanah tersebut. Meskipun demikian, wewenang untuk mengambil hasil dari tubuh bumi yang tidak ada kaitannya dengan

93

penggunaan tanahnya tidak dibenarkan. Mengambil hasil bumi (pertambangan) di tubuh bumi memerlukan izin khusus yang disebut dengan Kuasa Pertambangan (Parlindungan, 1998:138). 2. Subyek Hak Milik Sesuai dengan prinsip nasionalitas yang disebut pada Pasal 9 ayat (1), bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, maka pada Pasal 21 disebutkanlah tentang siapa saja yang boleh mempunyai hak milik. Pasal 21 menyebutkan sebagai berikut: (1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

(3) Orang-orang yang sesudah berlakunya peraturan ini memperoleh


hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta, karena perkawinan, demikian pula warfa negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka dia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini. Karena hak milik merupakan hubungan sepenuhnya antara pemilik dengan hak atas tanahnya, maka prinsip nasionalitas tersebut berlaku secara utuh. Hak milik kepada orang asing dilarang. Hanya hak pakai yang boleh

94

dipunyai oleh orang asing. Bahkan badan-badan hukum hanya ditetapkan oleh Pemerintah saja yang boleh mempunyai hak milik tidak semua badan hukum boleh mempunyai hak milik. Penjelasan Umum (UUPA) II angka (5) menyebutkan antara lain: Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik, tapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluankeperluannya yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, menurut Pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian, maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuanketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (Pasal 17) Namun pada Pasal 49, tentang hak-hak atas tanah untuk keperluan suci dan sosial, dikatakan pada ayat (1): Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan utnuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Pemberian hak milik kepada badan-badan hukum sosial dan keagamaan hanya dibenarkan oleh Pemerintah sepanjang tanah itu dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial. Sesuai dengan keperluan masyarakat sebagaimana disebut pada Penjelasan Umum II angka (5), selain dari keperluan yang berhubungan dengan keagamaan dan sosial kepada badan-badan hukum yang ada hubungannya dengan perekoNo.mian juga dapat diberikan hak milik sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah, yaitu:

95

Pasal 1: Badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing yang disebutkan pada pasal-pasal 2,3 dan 4, peraturan ini a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara).

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan


berdasar Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (LN Tahun 1958 No. 139). c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama. d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Bagi koperasi-koperasi pertanian ketentuan Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, tentang batas-batas maksimum juga diberlakukan (Pasal 3). Pada Pasal 21 ayat (3) disebutkan tentang cara-cra WNA (warga negara asing) memperoleh hak milik tanpa disengaja yang artinya karena suatu ketentuan undang-undang yang berlaku baginya mengakibatkan yang bersangkutan mempunyai hak milik atas tanah, yaitu: 1) Seorang WNA memperoleh hak milik atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat. 2) Percampuran harta karena perkawinan antara WNI dengan WNA. 3) Seorang WNI yang mempunyai hak milik atas tanah kemudian kehilangan warga negara. 4) Seorang WNI yang mempunyai kewarganegaraan rangkap mempunyai hak milik atas tanah. Maka yang bersangkutan harus mengalihkan hak miliknya tersebut kepada WNI dalam jangka waktu 1 tahun, jika lewat waktu tersebut tidak dialihkan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada

96

negara, dengan ketentuan hak-hak yang membebaninya tetap berlangsung (Pasal 21 ayat (3) dan (4). Di luar dari cara-cara yang disebut pada Pasal 21 ayat (3) dan (4) tersebut, yaitu WNA memperoleh hak milik dengan sengaja, seperti: 1) Melakukan jual beli hak milik atas tanah antara WNI dengan WNA atau kepada yang berkewarganegaraan rangkap. 2) Mewariskan hak milik atas tanah dengan wasiat kepada WNA.

3) Mengalihkan hak milik kepada Badan hukum, kecuali Badan hukum


menurut Pasal 21 ayat (2). Pertualan tersebut batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Khusus mengenai WNI yang mempunyai kewarganegaraan ganda (rangkap), meskipun ia adalah juga warga negara Indonesia, tapi tidak disamakan dengan WNI lainnya. Hal ini dengan tegas disebutkan pada penjelasan Pasal 21 sebagai berikut: Sudah selayaknya kiranya bahwa selama orang-orang warga negara membiarkan diri di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan dari WNI lainnya. Hal ini terutama dijumpai pada WNI keturunan Cina, di mana yang bersangkutan berdasarkan perundang-undangan Indonesia setelah memenuhi syarat dapat menjadi WNI. Sementara menurut undang kewarganegaraan RRC yang menganut Ins Sanguinis (garis keturunan) dimanapun ia berada tetap menjadi warga negara Cina, kecuali yang bersangkutan tegas menyatakan melepaskan kewarganegaraannya. 3. Terjadinya Hak Milik Sebagaimana disebutkan pada Penjelasan Umum II angka (1) tentang berlakunya hukum agraria yang disesuaikan dengan hukum rakyat banyak,

97

yaitu yang didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum adat, maka Pasal 5 UUPA maka ditegaskanlah bahwa hukum adat dijadikan dari UUPA. Didasarkan kepada hal tersebut Pasal 22 UUPA kemudian menyebutkan pada ayat (4), bahwa terjadinya hak milik dapat berdasarkan hukum adat. Di dalam ketentuan hukum adat, bahwa seseorang anggota masyarakat hukum adat di dalam masyarakat hukum adat berwenang memiliki bagian-bagian tanah di daerah ulayatnya untuk dikuasai dan diusahai atas izin dari pengetua adatnya yang disebut dengan hak wenang pilih (hak membuka tanah). Berdasarkan hak membuka tanah ini yang bersangkutan setelah mengusahai tanah tersebut secara terus menerus bahkan turun temurun, maka hubungan antara yang bersangkutan dengan tanah itu semakin erat, sementara hubungan tanah dengan hak ulayat semakin renggang, maka dapatlah diakui yang bersangkutan sebagai pemegang hak milik. Berdasarkan ketentuan dari hukum adat tersebut, maka UUPA tentang Pendaftaran Tanah dapat mendaftarkan tanah dimaksud menjadi hak milik. Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 60 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 menyebutkan, bahwa hak-hak lama dapat didaftarkan sebagai hak milik yang berasal dari hak-hak adat sebagaimana disebut pada ayat (2), huruf: c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan. f. Patuh pajak bumi/Landrente, girik, pipil kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaiman dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII, Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA. Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 61 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, menyebutkan bahwa apabila sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian tertulis, maka dapat dibuktikan dengan

98

penguasaan secara fasik selama 20 tahun berturut-turut atau lebih, baik oleh yang bersangkutan maupun pendahulu-pendahulunya, yang dituangkan dalam bentuk pernyataan. Jika perlu disertai sumpah. Pasal 22 ayat (2) UUPA selanjutnya menyebutkan sebagai berikut: Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena: a. Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. Ketentuan undang-undang. Terjadinya hak milik berdasarkan Penetepan Pemerintah dapat berdasarkan: a. Permohonan hak kepada instansi yang berwenang, apabila yang menguasai tanah tersebut telah memenuhi syarat untuk diberikan hak milik. Umpamanya kepada yang bersangkutan sebelumnya telah diberikan izin membuka tanah (hak menggarap). Apabila permohonannya telah dibakukan dengan cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan, kepada yang bersangkutan atau dapat diberikan hak milik dengan suatu Surat Keputusan oleh instansi yang berwenang.

b. Pemberian
Berdasarkan

hak

milik

berdasarkan

ketentuan

landreform. obyek

ketentuan

landrefrom

bahwa

tanah-tanah

landreform, yaitu tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah bekas tanah partikulir, tanah bekas swapraja, tanah surplus, tanah eks perkebunan yang dibagi-bagikan kepada rakyat petani gurem dan tunakisma, setelah memenuhi syarat yang ditentukan (lihat UU No. 56 Tahun1960 dan PP No. 224 Tahun 1961), oleh instansi yang berwenang dapat diberikan hak milik.

c. Pemberian hak milik berdasarkan tindak lanjut landreform, seperti:

99

1) Pemberian hak milik kepada para transmigran (lihat Parlindungan,


1998:149). Pemberian hak milik kepada para transmigran dituangkan dalam Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. 91 Tahun 1973 dan No. 77/KpTs/Men/73, tanggal 9 Juni 1973, tentang pelaksanaan proyek pemberian hak milik atas tanah besarta sertifikat bagi para transmigran yang sudah menetap. 2) Pemberian hak milik kepada peserta Proyek Inti Rakyat. Proyek ini adalah proyek untuk membantu para petani di sekitar lokasi perkebunan besar. Kepada para petani dibagikan tanah 2 hektar untuk membuka lahan perkebunan yang nantinya akan dibina oleh perkebunan besar. Perkebunan besar sebagai inti, perkebunan kecil ini (yang menjadi proyek) sebagai plasma. Tanah-tanah yang dibagikan ini kemudian akan diberi hak setelah memenuhi syarat pada waktu menjadi anggota plasma (lihat lebih lanjut dalam tulisan Proyek Inti Rakyat).

3) Pemberian hak milik berdasarkan pencetakan sawah. Pencetakan


sawah adalah kegiatan mengubah fungsi areal tanah bukan sawah menjadi sawah beririgasi, yang khusus dilaksanakan menurut Keputusan Presiden ini (Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1980, tentang Pelaksanaan Mengenai Pencetakan Sawah, Pasal 1 angka 1). Di dalam ketentuan Pencetakan Sawah ini ada 3 (tiga) obyek tanah yang menjadi sasaran, yaitu: a. c. Tanah hak milik Tanah ulayat b. Tanah negara Apabila obyek Pencetakan Sawah adalah Tanah Negara atau tanah ulayat, maka:

100

a) Yang obyeknya tanah negara, maka setelah selesai pencetakan sawah tersebut tanahnya dibagikan kepada petani menurut prioritas: 1) 2) 3) 1) Petani yang belum mempunyai tanah Petani yang dimukimkan kembali Petani transmigran Apabila penguasa adat setempat mempertahankan

b) Jika obyeknya tanah ulayat, maka: status tanahnya sebagai tanah ulayat, maka hubungan antara masyarakat hukum adat dengan penggarap ialah sebagai penggarap turun temurun. 2) Apabila penguasa adat setempat dapat menyetujui, maka tanah ulayat dimaksud diberikan kepada penggarap dengan hak milik, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. d. Pemberian hak milik berdasarkan Konsolidasi Tanah Pasal 1, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 menyebutkan: Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai pentaan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, guna meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Dalam pelaksanaan konsolidasi tanah, para peserta menyerahkan sebahagian tanahnya sebagai sharing untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya serta pendayaan pelaksanaan konsolidasi tanah. Apabila konsolidasi tanah telah selesai dilaksanakan, maka penyelesaian status tanah adalah sebagai berikut (lihat Dalimunthe, 2005:99):

101

a.

Tanah yang disumbangkan sebagai sharing dilepaskan Jika tanah yang disumbangkan itu sebagai pengganti

hak atas tanahnya menjadi tanah negara.

b.

pembiayaan konsolidasi tanah diserahkan kepada para petani yang mempunyai tanah yang sangat kecil atau kepada pihak lain dengan pembayaran kompensasi. c. Sebelum diserahkan kepada petani atas usul Kanwil Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanahnya diproses BPN, oleh BPN ditetapkan sebagai obyek Konsolidasi Tanah.

d.

menurut tata cara retribusi tanah PP No. 224 Tahun 1961 untuk tanah No.n pertanian diproses menurut, ketentuan PMDN No. 5 Tahun 1973.

e.
Kepala Kantor

Pemberian hak atas tanah diusulkan secara kolektif oleh Pertanahan setempat dan Kepala Kanwil BPN

menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (PMDN) No. 6 Tahun 1972 sekarang dengan Keputusan Ka BPN No. 3 Tahun 1999, wewenang Ka Kanwil BPN telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan. 4. Pemberian Hak Atas Tanah Di Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Di dalam ketentuan pelaksanaan pendaftaran Tanah PP No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Ka BPN No. 3 Tahun 1997) ada 3 tatacara pendaftaran tanah berdasarkan bukti-bukti haknya, yaitu dengan: a. b. c. Penegasan hak Pengakuan hak Pemberian hak

Dengan penegasan hak, pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan buktibukti yang sudah ada secara tertulis baik berdasar hak-hak lama maupun hak-hak baru. Sedangkan dengan pengakuan hak, pendaftaran tanah dilakukan dengan pembuktian secara fisik. Berdasarlan pengakuan hak kepada seseorang dapat

102

diberikan hak atas tanah sebagaiman disebut pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 61 ayat (1), Peraturan Ka BPN No. 3 Tahun 1997, tentang pengakuan hak menyebutkan sebagai berikut: Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, maka penguasaan secara fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya sebgaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut sebgai milik yang bersangkutan. Ketentuan ini memberikan jalan keluar, apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan secara tertulis. Meskipun pada kenyataannya yang bersangkutan telah menguasai tanah itu secara terus menerus selama 20 tahun atau lebih, namun karena pembuktian secara tertulis tidak dapat ditunjukkan, maka dapatlah dikategorikan bahwa pembukuan haknya sebagai pemberian hak dengan cara pengakuan hak. Pemberian hak secara kolektif pada pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (3) c PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 66 ayat (1), menyebutkan sebagai berikut: Pasal 66 ayat (1): Berdasarkan Berita Acara Penyerahan Data Fasik dan Data Yuridis sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 ayat (1), Ketua Panitia Ajudikasi mengusulkan secara kolektif kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat pemberian hak atas tanah-tanah negara, termasuk tanah negara yang menjadi obyek landrefrom dengan menggunakan daftar isian 310 dengan dilampiri daftar isian 210, 210 B, 210 C. 5. Pemberian Hak Milik yang berasal dari Hak Pengelolaan

103

Istilah Hak Pengelolaan ditemui pada Penjelasan Umum II angka 2, tentang delegasi wewenang hak menguasai dari negara (Pasal 2 ayat (4)). Kemudian lahir Ketentuan Konversi Hak Penguasaan yang diatur di dalam Peraturan Pemrintah No. 8 Tahun 1953 yang sesudah berlakunya UUPA, dengan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9 Tahun 1965, dikonversi menjadi: a. b. Hak pakai (khusus), jika tanahnya dipergunakan oleh Hak pengelolaan, jika tanah di samping dipergunakan instansi yang bersangkutan untuk kepentingan tugasnya. untuk kepentingan tugas juga bagian-bagian dari tanah tersebut akan diserahkan kepada pihak ke-3. Pasal 6 PMA No. 9 Tahun 1965, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, menyebutkan pada Pasal 3 sebagai berikut: Dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijakan Selanjutnya hak pengelolaan sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a berisi wewenang untuk: a. b. c. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan bersangkutan. pelaksanaan usahanya. Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah itu kepada pihak ke-3 menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, dst. Selanjutnya PMDN No. 1 Tahun 1977, tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak

104

Pengelolaan Serta Pendaftarannya, menegaskan tentang pemberian hak kepada pihak ke-3 yang berasal dari hak pengelolaan, yang dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999, telah dihapuskan. Pasal 2 PMDN No. 1 Tahun 1977: Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, lembaga, instansi dan/atau Badan Hukum (milik) Pemerintah untuk pembangunan wilayah pemukiman, dapat diserahkan kepada pihak ketiga, dan ditujukan kepada Menteri Dalam Neteri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Dari ketentuan di atas dapat dilihat bahwa dari hak pengelolaan dapat juga diberikan hak milik, meskipun pada kenyataan di lapangan bahwa dari hak pengelolaan lebih sering diberikan hak guna bangunan dan hak pakai. (Selanjutnya tentang hak pengelolaan akan diuraikan di dalam Bab tersendiri. Delegasi Wewenang Pemberian Hak Hak menguasai dari negara sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) adalah merupakan wewenang Pemerintah Pusat sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam tingkatan yang tertinggi. Kekuasaan negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa baik yang dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Bagi tanah-tanah yang sudah dihaki, hak organisasi negara tersebut telah dibatasi sesuai dengan sifat-sifat hak tersebut (Pasal 4 dan seterusnya pada pasalpasal tentang hak-hak yang dimaksud pada Pasal 16 dan hak-hak lainnya

105

yang diatur kemudian). Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuai hak oleh seseorang atau pihak lain adalah lebih luas dan penuh. Oleh sebab itu negara dapat memberikan tanah yang belum dipunyai dengan sesuatu hak kepada seseorang atau badan hukum lain dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai dan pengelolaan kepada suatu Badan Penguasa. Untuk memperlancar pelaksanaan pemberian hak tersebut, maka oleh Pemerintah Pusat, wewenang itu dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, PMDN No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Di dalam ketentuan ini yang berwenang memberikan hak atas tanah, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan serta hak pakai adalah Gubernur Kepala Daerah dalam batas luas tertentu, selebihnya adalah wewenang Menteri Dalam Negeri. Ketentuan PMDN No. 6 Tahun 1972 ini, penulis tidak menguraikan secara terperinci, karena peraturan ini telah dihapuskan dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3 Tahun 1999. Di dalam ketentuan Pendaftaran Tanah PP No. 24 Tahun 1997 jo Perat Ka BPN No. 3 Tahun 1997, telah disebutkan bahwa Kantor Pertanahan berwenang memberi hak secara kolektif yang berasal dari tanah negara dan tanah-tanah obyek landreform. Untuk mempertegas kewenangan yang dilimpahkan kepada instansi di daerah tentang pemberian hak atas tanah serta pembuatan keputusan mengenai pemberian hak atas tanah, maka Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3 Tahun 1999, menyebutkan sebagai berikut: b) Kewenangan 1) Hak Milik (1) Hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (hektar) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya (Pemerintah Kota)

106

(2) Hak milik No.n pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000
m2 (dua ribu meter persegi), kecuali tanah bekas hak guna usaha. (3) Pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: (a) (b) (c) Transmigrasi Redistribusi tanah Konsolidasi tanah Pendaftaran tanah secara massal, baik dalam rangka

(d)

pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik (lihat Pasal 3). 2) Hak Guna Bangunan

(1) Pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya


tidak lebih dari 2000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha.

(2) Semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak


pengelolaan. (Pasal 4). 3) Hak Pakai (1) Pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar).

(2) Pemberian hak pakai atas tanah No.n pertanian yang


luasnya tidak lebih dari 2000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha. (Pasal 5). 4) Perubahan Hak Kepala Kantor Pertanahan memberikan keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain. (Pasal 6). c) Kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional 1) Hak Milik

107

(a) Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha (dua hektar).

(b) Pemberian hak milik atas tanah No.n pertanian yang luasnya
tidak lebih dari 5000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten (Kotamadya sebagaimana dimaksud pada Pasal 3. (Pasal 7) 2) Hak Guna Usaha Pemberian hak guna usaha yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar). (Pasal 8) 3) Hak Guna Bangunan Pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), kecuali kewenagan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kota. (Pasal 9) 4) Hak Pakai (a) Pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha (dua hektar).

(b) Pemberian hak pakai atas No.n pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), keculai yang wewenang pemeberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Kabupaten/Kotamadya. (Pasal 10). Ada kalanya jika diperlukan atas laporan Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan keadaan di lapangan, wewenang Kepala Kantor Pertanahan yang sudah diberi wewenang memberikan Surat Keputusan Pemberian Hak kewenangan itu diambil alih oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. (Pasal 11) Di samping wewenang untuk mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Peraturan Ka BPN No. 3 Tahun 1999 ini, pada Pasal 12, juga

108

diberikan wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan Surat Keputusan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah, yaitu: (a) Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.

(b) Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan


pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi, untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. (Pasal 12) d) Kewenangan Nasional (a) (b) dan pembatalan Menetapkan pemberian hak atas tanah yang Memberikan keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang tidak dilimpahkan diberikan secara umum. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

kewenangannya kepada Ka Kanwil BPN atau kepada Ka Kan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. (c) Memberikan keputusan mengenai pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dilimpahkan kewarganegaraannya kepada Ka Kanwil BPN atau Ka Kan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, apabila atas laporan Ka Kanwil BPN hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan. Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, kemudian di atur di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999. 4. Pendaftaran Hak Milik

109

Hak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh harus memperoleh kepastian hukum. Sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran tanah, bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah: a. b. Untuk memberikan kepastian hukum Untuk menyediakan informasi kepada dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah memperoleh data tentang tanah, apabila diperlukan. c. administrasi pertanahan. Sebagai landasan hukum pendaftaran tanah di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diatur pada Pasal 19, yang menyebutkan sebagai berikut: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) ini mewajibkan kepada Pemerintah agar seluruh wilayah Republik Indonesia dilakukan pendaftaran tanahnya. Kewajiban melakukan pendaftaran tanah ini bukan saja dibebankan kepada pemerintah namun di dalam ketentuan UUPA, kewajiban tersebut juga dibebankan kepada yang berkepentingan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 23 (hak milik), Pasal 32 (hak guna usaha) dan Pasal 38 (hak guna bangunan). Mengenai hak-hak lainnya serperti hak pakai, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun, hak milik wakaf diatur tersendiri mengenai pendaftarannya. Pasal 23 UUPA, menyebutkan: (1) Hak milik demikian pada setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak Untuk terselenggaranya tertib

110

lain (2)

harus

didaftarkan

menurut

ketentuan-ketentuan

yang

dimaksud dalam Pasal 19. Pendaftaran termaksud pada ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah ini, maka jelaslah bukan untuk kepentingan pembayaran pajak sebagaimana yang dijumpai pada ketentuan yang lama, yang dibuat oleh bangsa penjajah, yang disebut dengan Fiscal Cadaster. Sebagaimana disebutkan bahwa pada zaman penjajahan pendaftaran tanah-tanah hak adat selama dari yang ada di daerah swapraja tanah-tanah di luar daerah swapraja didaftarkan untuk kepentingan pajak, sehingga hak-hak tanah Indonesia ditemui nama-nama seperti, girik, kekitir, verponding Indonesia. Oleh sebab itulah setelah Indonesia merdeka, jelasnya dengan berlakunya UUPA untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah, terutama yang berasal dari hak-hak Indonesia harus didaftarkan. Hal ini didorong pula dengan semakin pesatnya pembangunan yang membutuhkan tanah, sehingga sering terjadi sengketa tanah sebagai akibat dari kurangnya alat pembuktian terhadap tanah-tanah tersebut. Sesuai dengan sifat hak milik yang dapat beralih serta dialihkan, maka apabila hak milik atas tanah akan dialihkan, baik karena jual beli, hibah, tukar menukar, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat juga harus dilakukan menurut ketentuan yang berlaku PP No. 10 Tahun 1961 yang selanjutnya diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan sebagai berikut:

(1)

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan

111

hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 19 UUPA, bahwa pendaftaran tidak hanya dilakukan satu kali saja, namun setiap terjadi perubahan data pendaftaran baik data fisik maupun data yuridis tetap harus dilakukan pendaftarannya. Pendaftaran ini disebut dengan Pemeliharaan Data Pendaftaran Perbuatan mengalihkan hak milik atas tanah harus tetap mengacu kepada prinsip nasionalitas sebagaimana telah disebut di atas tentang subjek hak milik (Pasal 37 ayat (2)). Meskipun disebutkan bahwa hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat, terpenuh, namun hak milik juga dapat hapus. Hak milik hapus dapat terjadi karena (Pasal 27 UUPA): a. Tanahnya jatuh kepada negara, karena: 1) Pencabutan hak berdasar Pasal 18 2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3) Diterlantarkan 4) Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) b. Tanahnya musnah

Sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah, menurut Pasal 6 UUPA, maka apabila kepentingan umum menghendaki hak-hak seseorang atas tanah dapat dicabut dengan tetap membayar ganti kerugian yang layak pemiliknya sebagai pengakuan terhadap hak pribadinya. Hak milik atas tanah juga dapat hapus, karena diterlantarkan. Sesuai dengan fungsi sosial, bahwa setiap orang, badan hukum maupun instansi yang mempunyai hubungan dengan tanah wajib memelihara,

112

menambah kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA) sehingga tanah tersebut berdaya guna dan berhasil guna. Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998 menyebutkan pengertian tanah terlantar sebagai berikut: Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penggunaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sebidang tanah dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar, maka diperlukan pernyataan tertulis dari Menteri atau atas nama Menteri bahwa sebidang tanah telah diterlantarkan. Jika tanah tersebut sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar, maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Hapusnya hak milik atas tanah sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2), sesuai dengan prinsip nasionalitas, apabila yang mempunyai hak milik tersebut berkewarganegaraan asing, atau mengalihkan hak atas tanah dengan sengaja kepada WNA atau yang berkewarganegaraan rangkap. Hapusnya hak milik atas tanah karena musnah, jelas jika tanahnya musnah, hak milik atas tanah tersebut menjadi hapus. B. Hak Guna Usaha Berbeda dengan hak milik bahwa hak guna usaha yang secara hirarki berada di urutan ke-2 di bawah hak milik, maka meskipun hal ini masih termasuk kepada hak yang kuat, tapi jenis penggunaannya dibatasi, demikian juga dengan jangka waktunya. Pasal 28 UUPA, menyebutkan tentang hak guna usaha sebagai berikut:

113

Ayat (1): Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut pada Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.

Ayat (2): Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Ayat (3): Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Menurut Parlindungan, jika dikaitkan dengan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA tentang batas maksimum penguasaan tanah, bahwa Pasal 28 ayat (2) adalah merupakan pengecualian. Alasan pengecualian ini karena usaha pertanian, peternakan dan perikanan tidak mungkin areal kecil, ketiga obyektif HGU ini biasanya memerlukan labor intensive dengan teknis perusahaan yang baik (Parlindungan, 1990:126) Komentar Ketentuan-ketentuan tentang hak guna usaha ini sebagaimana diatur di dalam pasal-pasal UUPA ini masih merupakan pokok-pokok saja yang memerlukan pengaturan lebih lanjut. Hal ini dengan tegas disebutkan pada Pasal 50 UUPA, yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Ketentuan-ketentuan lebih lanjut menguasai hak milik diatur dengan undang-undang. Ayat (2):

114

Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan-peraturan perundang-undangan. Ketentuan undang-undang mengenai hak milik sampai dengan penulisan buku ini belum diundangkan, sementara mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, peraturan perundang-undangan yang diinginkan oleh Pasal 50 UUPA tersebut telah terwujud dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUPA, tentang jangka waktu hak guna usaha, disebutkan bahwa jangka waktu hak guna usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Namun jika hak guna usaha tersebut memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan untuk paling lama 35 tahun. Dan atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, Pasal 8 menyebutkan tentang jangka waktu hak guna usaha sebagai berikut: Ayat (1): Hak guna usaha sebagaimana disebut pada Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun. Ayat (2): Sesudah jangka waktu hak guna usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak guna usaha di atas tanah yang sama. Dari ketentuan pasal ini dapat dilihat bahwa hak guna usaha dapat diperoleh untuk jangka waktu sampai dengan sembilan puluh lima tahun,

115

asal saja masih memenuhi syarat sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 ayat (1) dan (2), yaitu: a. b. c. hak. 1. a. Subyek Hak Guna Usaha Warga Negara Indonesia Masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang dan tujuan pemberian hak tersebut. oleh pemegang hak.

Subyek hak guna usaha adalah:

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan


berkedudukan di Indonesia (Pasal 60 UUPA jo Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996). Apabila pemegang hak guna usaha tidak lagi memenuhi syarat sesuai dengan prinsip nasionalitas sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 UUPA dan Pasal 30 ayat (1), serta Pasal 2 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan haknya tersebut kepada orang yang memenuhi syarat. Jika tidak dilepaskan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus demi hukum. Demikian juga tentang badan hukum haruslah didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jika perusahaan asing ingin menanamkan modalnya di Indonesia dengan hak guna usaha, maka harus dengan cara Penanaman Modal dengan persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal dan didirikan menurut hukum Indonesia. Pasal 34 UUPA jo Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa hak guna usaha hapus, karena: a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya atau perpanjangannya.

116

b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau


dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan (lihat Pasal 12,13, dan 14 PP No. 4 Tahun 1996). 2) Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.

d. Dicabut menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.


e. f. Diterlantarkan. Tanahnya musnah.

g. Pemegang yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PP


No. 40 Tahun 1996, yaitu kewajiban mengalihkan HGU tersebut dalam jangka waktu 1 tahun, jika yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang HGU. 2. Obyek Hak Guna Usaha Yang menjadi obyek hak guna usaha adalah disebut pada Pasal 28 ayat (1) UUPA dan Pasal 4 UUPA No. 40 Tahun 1996 adalah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut juga denagn tanah negara. Oleh sebab itu HGU hanya dapat terjadi berdasarkan Penetapan Pemerintah dengan suatu Surat Keputusan Pemberian HGU. Hak guna usaha tidak dapat terjadi berdasarkan perjanjian antara pemilik hak dengan yang memperoleh hak guna usaha, karena HGU tidak dapat berasal dari hak milik. Perolehan HGU berdasarkan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk dibuatkan buku tanahnya dan sertifikat. Hak guna usaha terjadi sesudah didaftarkan. 3. Perpanjangan dan pembaharuan HGU

117

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa jangka waktu hak guna usaha dapat diperpanjang dan diperbaharui. Bagi kepentingan penanaman modal permintaan perpanjangan dan pembaharuan dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada waktu pertama kali memajukan permohonan HGU. Permohonan perpanjangan dan pembaharuan hak guna usaha harus tetap dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut, baik itu bagi kepentingan penanaman modal atau bukan. Permohonan perpanjangan dan pembaharuan HGU dapat dilakukan jika memenuhi syarat sebagaimana disebut pada Pasal 9 ayat (1) dan (2): a. b. c. hak. Sama halnya dengan pemberian hak guna usaha perpanjangan dan pembaharuannya juga harus didaftarkan. 4. Hak dan kewajiban pemegang HGU a. Hak Pemegang HGU (Pasal 14) peternakan dan perkebunan. (2) Berhak mempergunakan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah haknya untuk mendukung usaha sebagaimana disebut pada ayat (1). (1) Berhak melaksanakan usaha di bidang pertanian, perikanan, Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. oleh pemegang hak.

(3) HGU dapat dijadikan jaminan hutang Hak tanggungan (Pasal 15).

118

(4) HGU dapat beralih serta dialihkan kepada orang lain, dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, pewarisan (Pasal 16) b. Kewajiban Pemegang HGU 1) Membayar uang pemasukan kepada negara. 2) Mengusahakan sendiri HGU tersebut sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria. 3) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan. 4) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. 5) Membuat laporan setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah. 6) Mengembalikan tanah HGU tersebut kepada negara setelah jangka waktunya berakhir. 7) Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. 8) Tidak dibenarkan menyerahkan pengusahaan tanah HGU kepada pihak lain, kecuali yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. 9) Wajib memberikan jalan keluar atau jalan air ataupun kemudahan bagi pemilih tanah yang terkurung dari lalu lintas umum atau jalan air. C. Hak Guna Bangunan Sebagaimana halnya dengan HGU, HGB adalah hak yang tidak berdiri sendiri seperti Hak Milik. Hak guna bangunan diletakkan di atas tanah negara atau tanah hak milik. Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa: (1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

119

Berbeda

dengan HGU, bahwa hak guna bangunan sesuai dengan

namanya, hak tersebut dipergunakan untuk bangunan dan jangka waktu yang diberikan adalah 30 tahun. Dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan diperbaharui kembali untuk jangka waktu 30 tahun. Hak guna bangunan ini dapat juga diberikan di atas hak pengelolaan (Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996). Oleh karena itu HGB dapat terjadi: a. Di atas tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak oleh pejabat yang berwenang. b. Di atas tanah hak pengelolaan dengan Surat Keputusan Pemberian Hak oleh pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. c. Di atas Hak Milik, dengan perjanjian antara pemegang Hak milik dengan penerima HGB yang dibuat denga akta PPAT. Sebagai pejabat yang ditunjuk untuk mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak diatur di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 3 Tahun 1999. Pemberian HGB berdasarkan suatu Surat Keputusan Kantor Pertanahan. Hak guna bangunan yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan dan tanah negara terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan. Kepada yang berkepentingan diberikan sertifikan atas tanah. Subyek HGB Pasal 36 UUPA dan Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan tentang subyek HGB, yaitu warga negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hak guna bangunan dapat diperpanjang dan diperbaharui, kecuali HGB di atas hak milik, yang hanya dapat diperbaharui atas kesepakatan kedua belah pihak. Perpanjangan dan pembaharuannya sebagaimana halnya dengan HGU, bagi penanaman modal dapat dilakukan permohonannya dapat dilakukan sekaligus pada waktu

120

permohonan HGB-nya. Namun demikian secara administratif permohonan perpanjangan ataupun pembaharuan harus tetap dilakukan 2 tahun menjelang berakhirnya jangka waktu sebelumnya. Dan permohonan dapat dikabulkan dengan syarat: 1) 2) 3) hak. 4) Tanah tersebut masih sesuai dengan tata ruang wilayah yang bersangkutan. Menurut Sudargo Gautama: Adanya kemungkinan untuk memperpanjang ini memang sepatutnya dan merupakan suatu hal yang adil. Sebab sebuah bangunan yang masih kokoh dan kuat tidak perlu dirobohkan atau dikosongkan semata-mata untuk jangka waktu hak tersebut berakhir. Jika ada ketentuan sebaliknya dari ketentuan di atas berarti ketentuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip tanah berfungsi sosial. HGB dapat beralih serta dialihkan kepada pihak lain, dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar, penyertaan dalam modal, pewarisan. HGB dapat juga dijadikan jaminan hutang hak tanggungan. Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah: a. b. c. Hak milik Hak guna usaha Hak guna bangunan Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang keadaan, sifat dan tujuan pemberiannya. oleh pemegang hak.

121

d.

Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang

berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Hapusnya HGB Pasal 40 UUPA jo Pasal 35 Peraturan Ka BPN No. 40 Tahun 1996 menyebutkan tentang hapusnya HGB, sebagai berikut: Hak guna bangunan hapus karena:

a. Beralihnya jangka waktu sebgaimana ditetapkan di dalam Surat


Keputusan Pemberian Haknya ataupun dalam perjanjian pemberiannya. b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, ataupun pemegang haknya, sebelum jangka waktunya berakhir karena: 1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggar ketentuan-ketentuan Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32. 2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak antara pemilik dengan pemegang Pengelolaan. 3) Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. HGB, atau perjanjian penggunaan tanah Hak

d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 (tentang


Pencabutan Hak). e. f. Diterlantarkan. Tanahnya musnah.

g. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA dan Pasal 20 ayat (2) PP No. 4
Tahun 1996. D. Hak Pakai Pasal 41 UUPA menyebutkan pengertian hak pakai sebagai berikut:

122

(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh Pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. (2) Hak pakai dapat diberikan: a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. b. Dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Jika diperhatikan pengertian hak pakai ini, dapat diartikan sama halnya dengan hak-hak lainnya yaitu hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang tujuannya adalah mempergunakan tanah yang bukan miliknya untuk waktu yang tertentu. Dengan penggunaan yang berbeda dan jangka waktu yang berbeda. Di dalam penjelasan pasal demi pasal UUPA disebutkan pula mengenai Pasal 41, sebagai berikut: Hak pakai adalah suatu kumpulan pengertian dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyainya sebagai yang disebutkan pada pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja.

123

Bahwa hak pakai ini dimasukkan ke dalam hak-hak yang diatur di dalam UUPA, mengingat bahwa hak-hak atas tanah seseorang pengusahaannya masih berserahkan kepada orang lain dengan cara hak pakai yang namanya berbeda-beda sesuai dengan keadaan daerahnya. Selain dari penggunaan istilah hak pakai pada Pasal 16 ayat (1), huruf d, maka pada huruf h nya juga ada disebut hak-hak atas tanah yang penggunaannya diserahkan pada orang lain, seperti sewa, bagi hasil, gadai tanah. Hak-hak ini yang berasal dari hukum adat sesuai dengan kebutuhan masyarakat pertanian, maka sewa untuk tanah pertanian sudah tidak dibenarkan, sementara bagi hasil dan gadai tanah oleh UUPA masih tetap dibenarkan untuk berlaku, setelah ada revisi (Perjanjian Bagi Hasil dengan UU No. 2 Tahun 1960 dan Gadai Tanah dengan UU No. 56 Tahun 1960). Pada Penjelasan Umum UUPA angka II, No.mor (7), yang memberikan penjelasan yang ada kaitannya dengan Pasal 24,41, dan 53, menyebutkan antara lain: Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini, kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubunganhubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat (Pasal 21,41 dan 53). Dilakukannya revisi terhadap ketentuan-ketentuan adat tersebut yang masih dibutuhkan sesuai dengan susunan masyarakat pertanian, yaitu untuk mencegah terjadinya exploitation de lhomme par lhomme dimana dalam mengadakan perjanjian antara pemilik dan pihak ke-2 tidak dilakukan secara bebas namun diatur dengan syarat-syarat tertentu.

124

Dari Pasal 41 tentang Hak Pakai ini dapat ditarik beberapa pengertian, yaitu: a. b. c. Haknya berasal dari tanah negara dan tanah hak milik. Penggunaannya yaitu untuk mempergunakan dan

memungut hasil. Terjadinya hak, yaitu: Keputusan Pemberian Hak. 2) Tanah yang berasal dari hak milik, terjadi berdasar suatu perjanjian antara pemilik dengan pemegang hak pakai. d. yaitu: 1) Hak pakai privat, yaitu hak pakai yang ditentukan jangka waktunya. 2) Hak pakai publik, yaitu hak pakai yang jangka waktunya selama tanahnya dieprgunakan untuk keperluan yang tertentu. e. Tidak sama dengan sewa. Karena penerima hak dapat memperoleh dengan cuma-cuma, atau dengan pembayaran yang bukan sewa atau dapat berupa jasa. Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996, menambahkan bahwa hak pakai dapat juga diberikan di atas hak pengelolaan, meskipun sebenarnya bahwa tanah hak pengelolaan adalah sebahagian dari pelimpahan wewenang hak menguasai dari negara. Oleh sebab itu hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan yang tanahnya adalah juga tanah negara, maka hak tersebut dapat terjadi berdasar suatu Surat Keputusan dari instansi yang berwenang atas rekomendasi dari pemegang hak pengelolaan. Jangka Waktu Hak Pakai Sebagaimana disebut pada Pasal 41 ayat (2), bahwa hak pakai diberikan untuk jangka waktu: Jenis hak pakai. Dari ketentuan jangka waktu hak pakai yang disebut pada ayat (2), dapat dikatakan bahwa ada 2 jenis hak pakai, 1) Untuk tanah yang berasal dari tanah negara. Terjadi berdasar Surat

125

a. Selama dipergunakan untuk keperluan tertentu, yaitu terhadap hak


pakai khusus yang diberikan kepada departemen-departemen, lembaga pemerintah No.n departemen, Pemerintah Daerah, Badan-Badan keagamaan dan Sosial, Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional.

b. Untuk jangka waktu tertentu, yaitu terhadap hak pakai privat. UUPA
tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu yang tertentu tersebut. PMA No. 9 Tahun 1965, menyebutkan tentang Konversi Hak Penguasaan menjadi hak pakai khusus dan Hak Pengelolaan menyebutkan, bahwa hak pakai yang terjadi berdasar Hak Pengelolaan dapat diberikan untuk jangka waktu 6 tahun, yang kemudian dipertegas lagi dengan PMDN No. 5 Tahun 1973, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yang menyebutkan Hak Pakai yang berasal dari Hak Pengelolaan dapat diberikan untuk jangka waktu 10 tahun. Sementara di dalam Ketentuan PMDN No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah disebutkan bahwa Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tidak lebih dari 10 tahun. Pasal 45 PP No. 40 tahun 1996, menyebutkan pada ayat (1), bahwa Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Pada ayat (2) kemudian disebutkan dapat diperbaharui kembali, tentunya untuk jangka waktu 25 tahun. Perbedaan dengan hak pakai yang berasal dari Hak Milik, tidak dapat diperpanjang, hanya dimungkinkan diperbaharui dengan mealukan perpanjangan pembaharuan dihadapan PPAT dengan suatu akta. Perpanjangan dan pembaharuan dapat dikabulkan jika memenuhi syarat yang telah ditentukan. Untuk perusahaan penanaman modal perpanjangan dan pembaharuan hak pakai dan hak guna bangunan, permohonan perpanjangan dan pembaharuan dapat dimajukan sekaligus pada waktu

126

permohonan a. (Pasal 47). b.

haknya.

Namun

demikian

syarat-syarat

perpanjangan

pembaharuan harus tetap dilaksanakan, yaitu: Dua tahun menjelang habisnya jangka waktu yang pertama dan kedua, harus sudah dimohon perpanjangan atau pembaharuan Dikabulkannya permohonan jika masih memenuhi syarat: sifat dan tujuan pemberian haknya. 2) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, dan

1) Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,

3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak


sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 (yaitu sebagai Subyek Hak Pakai) (lihat Pasal 46 PP No. 40 Tahun 1996). Subyek Hak Pakai Di dalam UUPA Pasal 42 menyebutkan bahwa subyek hak pakai berbeda dengan hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang menganut prinsip nasionalitas secara utuh, artinya bahwa WNA dan BH Asing tidak dibenarkan sebagai subyeknya, maka untuk hak pakai diberikan kelonggaran, yaitu WNA dan BH Asing boleh mempunyai hak pakai asal saja yang bersangkutan berkedudukan di Indonesia. Subyek Hak Pakai adalah: a. c. Warga Negara Indonesia Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia berkedudukan di Indonesia d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Selanjutnya Pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996 mempertegas lagi tentang Subyek Hak Pakai. Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah: a. Warga Negara Indonesia

127

b. Bdan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

c. Departemen,
Pemerintah Daerah

Lembaga

Pemerintah

Non

Departemen

dan

d. Badan-badan keagamaan dan sosial e. f. g. asing Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonsia Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional yang berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang

Subyek Hak Pakai yang disebut pada huruf e, diartikan bahwa orang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. (Penjelasan Pasal demi Pasal) Penjelasan lebih lanjut tentang pengertian berkedudukan di Indonesia, selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996, tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia. Pada Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia adalah Orang Asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Di dalam Penjelasan Umum PP ini diperjelas lagi, maksud dari berkedudukan di Indonesia, sebagai berikut: Secara konkrit tidak perlu harus diartikan sama dengan tempat kediaman atau domisili. Di bidang ekoNo.mi misalnya, orang dapat memiliki kepentingan yang harus dipelihara tanpa harus menunggunya secara fisik, apalagi untuk waktu yang panjang dan secara terus menerus. Kemajuan di bidang tekNo.logi, transportasi dan komunikasi, memungkinkan orang memelihara kepentingan yang dimilikinya di negara lain, tanpa harus menunggunya sendiri. Kadangkala mereka

128

cukup hadir berkala. Dalam keadaan seperti itu, yang mereka perlukan adalah fasilitas tempat tinggal atau hunian, bila secara berkala tetapi teratur harus datang untuk mengurus atau emelihara kepentingannya. Dengan pertimbangan seperti itu, upaya untuk memperjelas makna, berkedudukan tadi perlu diperjelas. Pendaftaran Hak Pakai dan Obyek Jaminan UUPA tidak menyebutkan bahwa hak pakai harus didaftarkan sebagaimana halnya dengan hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang harus didaftarkan oleh yang berkepentingan. (Pasal 23, 32 dan 38). Demikian juga sebgai obyek jaminan. (Pasal 25, 33 dan 39 UUPA). Ada tafsiran bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang, karena hak pakai tidak didaftarkan. Parlindungan dalam bukunya Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, memberikan komentar tentang pendaftaran hak pakai sebagai berikut: Apakah hak pakai harus didaftarkan, juga merupakan masalah tersendiri oleh karena dari pasal-pasal 41 hingga 43, sama sekali tidak diatur tentang pendaftaran ini sebagaimana ditentukan untuk hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Kelupaan ini segera diperbaiki oleh Departemen Agraria dengan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK VI/5/Ka, tanggal 22 Januari 1962 tentang Pendaftaran Hak Penguasaan dan Hak Pakai, demikian juga tersebut dalam PMA No. 9 Tahun 1965 dan PMA No. 1 Tahun 1966, tentang Pendaftaran Hak Pakai ini. (Parlindungan, 1998:204). Dengan didaftarkannya hak pakai inilah sehingga ada penafsiran pada waktu itu, bahwa hak pakai juga dapat dijadikan jaminan hutang. Dan anggapan ini kemudian dibantah dengan Surat Edaran DLB 3/37/3/73, yang menyatakan:

129

Mengenai didaftarkannya hak pakai, memang hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian hukum terhadap status hak atas tanah tersebut, akan tetapi ketentuan itu belum dapat berarti bahwa hak pakai tersebut akan dengan sendirinya dapat dibebani hipotik/kredit verbal, walaupun tidak ada ketentuan yang secara kredit verbal tegas melarangnya, karena tafsiran demikian dapata membawa risiko bagi para kreditor. Hak pakai dapat beralih serta dialihkan, dengan cara: a. b. c. d. e. Jual beli Tukar menukar Penyertaan dalam modal Hibah Pewarisan

Peralihan hak pakai di atas hak pengelolaan harus dengan persetujuan pemegang hak pengelolaan. Demikian juga pengalihan hak pakai di atas hak milik, harus dengan persetujuan pemegang hak milik. Hapusnya Hak Pakai Di dalam ketentuan UUPA tidak ada disebutkan tentang apakah hak pakai dapat hapus dan sebab-sebab hapusnya hak pakai. Teka teki ini telah terjawab pada PP No. 40 Tahun 1996, Pasal 55, di mana disebutkan bahwa: (1) Hak Pakai hapus karena:

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan


pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya. b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik, sebelum jangka waktunya berakhir karena:

130

1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak, dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau 2) Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan atau 3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya, sebelum jangka waktunya berakhir.

d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961


e. f. g. (2) Keputusan Presiden. Sebab-sebab hapusnya hak pakai sebgaimana disebut pada Pasal 55 ayat (1) b point 1, yaitu karena melanggar Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52, adalah karena tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pmberian haknya atau di dalam perjanjian penggunaan haknya, yaitu: Pasal 50: a. c. e. Membayar uang pemasukan Memelihara tanah dengan baik Menyerahkan sertifikat hak pakai ke Kantor Pertanahan. b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya d. Menyerahkan tanah tersebut kembali Diterlantarkan Tanahnya musnah Ketentuan Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya hak

pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

131

Pasal 51: f. g. Memberikan jalan keluar atau jalan air yang terkurung. Menguasai dan mempergunakan tanah hak pakai selama jangka Pasal 53: waktu yang tertentu. Hapusnya hak pakai sebagaimana disebut pada ayat (1) huruf g, yaitu tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 40 ayat (2), apabila yang bersangkutan tidak memenuhi syarat lagi sebagai pemegang hak pakai. Ada kewajiban dari yang bersangkutan untuk mengalihkan haknya kepada yang memnuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun, jika tidak diindahkan, haknya tersebut hapus demi hukum. E. Hak Sewa Pasal 44 UUPA menyebutkan tentang hak sewa, sebagai berikut: (1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan: a. Satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu b. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Dari Pasal 44 ayat (1) pasal ini dapat dilihat, bahwa hak sewa untuk tanah pertanian tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan sesuai dengan sifat hak sewa, uang sewa dapat dibayar pada awal persewaan, akan dapat menimbulkan pemerasan. Jika hak sewa dibenarkan untuk tanah pertanian dan ternyata setelah dibayar sewa pada awal perjanjian sementara kemudian

132

tidak diperoleh hasil maka dapat dianggap sebagai pemerasan terhadap golongan ekoNo.mi lemah. Pasal 11 atar (2) dengan tegas disebutkan ketentuan-ketentuan hukum agraria ini harus dapat menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekoNo.mis lemah. Hak sewa tanah pertanian sebgaimana disebut pada Pasal 16 dan Pasal 53 hanya bersifat sementara karena dapat menimbulkan pemerasan. Hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus. Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah (Penjelasan Pasal 44 dan 45). Yang Menjadi Subyek Hak Sewa: Pasal 45 menyebutkan yang menjadi pemegang Hak Sewa ialah: a. b. c. d. Indonesia. Bahwa prinsip nasionalitas yang dianut oleh hak pakai sama dengan yang dianut oleh hak sewa yaitu prinsip nasionalitas yang tidak utuh F. Hak Pengelolaan Di dalam UUPA, tegasnya pada Pasal 16 yang mengatur tentang jenisjenis hak-hak atas tanah tidak ada disebut tentang hak pengelolaan. Namun pada Pasal 2 ayat (4) tentang hak menguasai dari negara yang merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Pada Penjelasan Umum II angka (2), yang menyangkut Pasal 2 ayat (4) disebutkan, antara lain: Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Warga Negara Indonesia Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di

dan berkedudukan di Indonesia.

133

Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberinya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masingmasing (Pasal 2 ayat (4)). Apa yang dimaksudkan dengan pengertian hak pengelolaan ini selanjutnya tidak ada diuraikan algi pada pasal-pasal, selanjutnya di dalam UUPA. Baru kemudian istilah Hak Pengelolaan ini muncul dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, dengan sebutan hak pengelolaan. Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1965 (PMA No. 9 Tahun 1965), tentang pelaksanaan konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Pelaksanaan selanjutnya yang menyebutkan bahwa hak penguasaan dikonversi menjadi hak pakai atau hak pengelolaan sesuai dengan peruntukannya. Jika hak pengelolaan ini mengacu kepada Pasal 2 ayat (4), jo Pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang wewenang pelaksanaannya sebahagian dilimpahkan kepada pemegangnya, maka dapat disimpulkan bahwa hak pengelolaan ini tidak termasuk golongan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 16. hak pengelolaan adalah sebahagian kecil dari hak menguasai dari negara yang kewenagnannya diberikan kepada instansi tertentu. Dengan kernangannya tersebut kepadanya diberikan hak untuk mengusahainya, yang kemudian dengan tujuan akan diberikan kepada pihak ketiga. Budi Harsono. menyebutkan:

134

Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki dengan keperluan usahanya. Tujuan utamanya adalah, bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Dalam pengadaan dan pemberian tanah itu pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebahagian dari kewenangan negara, yang diatur dalam Pasal 2. Sehubungan dengan itu, hak pengelolaan pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melaksanakan gempilan Hak Menguasai dari Negara. Namun dengan lahirnya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang menguraikan pengertian hak pengelolaan ini ditambah dengan lahirnya ketentuan-ketentuan pendaftaran hak-hak atas tanah seperti pendaftaran hak pakai dan hak pengelolaan. PMA No. 1 Tahun 1966, kemudian Peraturan Pendaftaran Tanah PP No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan Pasal 9 ayat (1), bahwa: Obyek pendaftaran tanah meliputi: a. b. c. d. e. f. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak Tanah hak pengelolaan Tanah wakaf Hak milik atas satuan rumah susun Hak tanggungan Tanah negara guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

Sementara pada ayat (2) nya disebutkan bahwa tanah negara, cukup dilakukan dengan cara membukakannya dalam daftar tanah tanpa mengeluarkan sertifikat bagi pemegangnya.

135

Oleh sebab itu hak pengelolaan dapat digolongkan kepada salah satu jenis hak-hak atas tanah. 1. Proses Lahirnya Hak Pengelolaan Berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia pada zaman penjajahan, yaitu berlakunya hukum adat dan hukum barat, mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran tentang hukum tanah yang berlaku di Indonesia. Sampai dengan Indonesia merdeka tegasnya sebelum berlakunya UUPA, masih banyak produk-produk hukum barat yang masih berlaku, meskipun secara berangsur-angur mulai dihapuskan. Ketentuan domein verklaring yang diatur di dalam ketentuan Agrarisch Besluit yang mengakui bahwa negara di samping privat dapat mempunyai hak milik. Hal ini benar-benar bertentangan dengan prinsip hukum yang dikehendaki oleh hukum pertanahan di Indonesia yang secara tegas telah dihapuskan oleh UUPA. Untuk menghapuskan prinsip domein negara ini maka dilaksanakanlah PP No. 8 Tahun 1953, tentang Penguasaan TanahTanah Negara. Tanah hak milik negara yang bebas (vrij landsdomein) yaitu tanah-tanah milik negara yang tidak ada hak-hak adat di atasnya, oleh Pemerintah Jajahan pada waktu itu berpendapat, bahwa:

a.

Tanah yang menjadi vrij lansdomein, karena dibebaskan

dari hak-hak milik Indonesia oleh sesuatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan Departemen itu.

b.

Tanah-tanah vrij landsdomein yang penguasaannya tidak

nyata-nyata diserahkan kepada suatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan Departemen BB. (Staatsblad 1911 No. 110 yang diubah dengan Stb 1940 No. 430). BB=Binnenlands Bestuur Di masa pendudukan Jepang, keadaan dan suasana berubah sama sekali. Untuk keperluan perang, Jawatan-Jawatan diberi kebebasan untuk mengatur kepentingannya termasuk di dalam mempergunakan tanah.

136

Tanah-tanah

negara

banyak

dipergunakan

yang

menyimpang

dari

peruntukannya atau yang dipindahtangankan. Bahkan banyak yang diterlantarkan karena tidak dibutuhkan penggarapan-penggarapan oleh rakyat pun merajalela. Tindakan-tindakan dari berbagai Jawatan yang tidak menunjukkan garis-garis kebijaksanaan yang sama antara satu dan lainnya, yang menimbulkan kesimpangsiuran dalam urusan penguasaan tanah memerlukan pengaturan yang lebih tegas. Dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 yang tujuannya disamping untuk menghilangkan keraguraguan perihal hak-hak penguasaan atas berbaagai tanah negara yang sekaligus menghapuskan tanah domein (domein verklaring). Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini menyebutkan, bahwa: Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri. Pasal ini dimaksudkan agar tanah yang belum diserahkan

penguasaannya kepada departemen-departemen atau daerah Swatantra pengawasannya berada dalam satu tangan, agar selanjutnya tanah-tanah yang tidak tegas status penguasaannya dapat mudah diatur kembali. Hal ini ditegaskan pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini, yang berbunyi sebagai berikut: 1. a. Di dalam hal penguasaan tersebut dalam Pasal 2 ada pada Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4 (Penulis: untuk melaksanakan kepentingan tertentu dari Kementerian atau Jawatan itu, atau Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya). Menteri Dalam Negeri, maka ini berhak:

137

b. Mengawasi agar supaya tanah negara tersebut pada sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut ketentuan tersebut dalam Pasal 8.

2.

Dalam

penguasaan

atas

tanah

negara

waktu

mulai

berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut pada Pasal 2 maka Menteri Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8. Kalau disimak PP No. 8 Tahun 1953 ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hak penguasaan yang dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra, departemen dan Jawatan, meliputi: a. b. tugasnya. c. Menerima uang pemasukan/ganti rugi atau uang wajib tahunan (Parlindungan, 1989:6) Di samping hak penguasaan yang diberikan kepada Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, sebagaimana disebutkan pada Pasal 4, maka pada Pasal 12 disebutkan pula, bahwa penguasaan atas tanah negara yang dilimpahkan tersebut bertujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan suatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri. Dengan kata lain hak penguasaan yang dilimpahkan tersebut, terdiri: 1) Untuk dipergunakan untuk pelaksanaan tugasnya. 2) Untuk kemudian bagian-bagian dari tanah tersebut akan diberikan kepada pihak ketiga dengan sesuatu hak. Merencanakan peruntukan, penggunaan tanah tersebut. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan

138

Dan jika diberikan kepada pihak ketiga ini, maka Pemerintah Daerah tersebut dapat menarik uang pemasukan atau ganti rugi ataupun uang wajib tahunan untuk uang pemasukan kas daerahnya. (Parlindungan, 1989:7) Dengan berlakunya UUPA yang pada Pasal 16 telah diatur tentang macam-macam hak atas tanah yang menyebutkan pula di dalam ketentuan konversi hak-hak yang lama (hak adat dan hak barat) harus disesuaikan dengan hak-hak yang disebut di dalam UUPA. Di dalam ketentuan konversi tidak ada disebut tentang hak penguasaan yang berarti bahwa hak penguasan masih. Mengingat bahwa di dalam UUPA, tentang pendaftaran tanah bahwa hak pakai tidak termasuk yang harus didaftarkan, maka oleh SK VI/5/Ka, tanggal 20 Januari 1962, dianggap perlu mendaftarkan hak pakai dan hak penguasaan, bahwa: Di samping hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (LN Tahun 1961 No. 28):

1.

Hak Penguasaan (beheer) oleh sesuatu Departemen,

Jawatan atau Daerah Swatantra atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 (LN 1953 No. 14) atau peraturan perundangan lainnya sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut. 2. Hak Pakai yang jangka waktunya lebih dari 5 tahun, dengan pengertian, bahwa jika jangka waktunya tidak ditentukan, maka dianggap sebagai lebih dari 5 tahun. (Parlindungan, 1989:7). Jika di dalam pasal-pasal UUPA tentang hak-hak atas tanah yang mengatur tentang pendaftaran tanah tidak ada disebut pendaftaran tanah hak pakai, maka dengan SK VI/5/Ka, ini disebutkan bahwa di samping hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan harus didaftarkan, juga harus

139

didaftarkan hak pakai dan hak penguasaan yang disebut pada PP No. 8 Tahun 1953. Sesuai dengan Ketentuan Konversi Pasal V disebutkan bahwa hak erfpacht dan hak opstal untuk perumahan dikonversi menjadi hak guna bangunan. Jika hak erfpacht atau hak opstal tersebut berasal dari hak eigendom Kotapraja, maka setelah pelaksanaan konversi hak eigendom tersebut di dalam tata usaha pendaftaran tanah dicatat sebagai tanah yang berada dalam kekuasaan Kotapraja (Keputusan Menteri Peraturan dan Agraria No. SK 12/Ka/1963, tentang Konversi Hak Opstal dan Erfpacht di atas tanah eigendom Kotapraja). Di dalam SK tersebut disebutkan bahwa wewenang Kotapraja terhadap tanah yang berada dalam kekuasaan (beheer) nya, meliputi: a. Bahwa wewenang-wewenang yang berhubungan dengan pemberian hak atas tanah-tanah itu memperpanjang/memperbaharui dan pencabutannya serta pemberian izin tentang peralihannya tetap ada pada b. kami atau pejabat agraria yang kami tunjuk. (Penulis: kami=Menteri Pertanian dan Agraria) Bahwa di dalam mempergunakan wewenang tersebut sub a perlu diingat perencanaan wewenang kota yang telah ditetapkan oleh karenanya, maka di dalam memberikan hak-hak atas tanah-tanah itu, akan dimintakan lebih dahulu pertimbangan Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan. c. Bahwa penerimaan Kotapraja yang bersangkutan dengan tanah-tanah tersebut, seperti uang pemasukan dan uang wajib tahunan akan tetap akan berlangsung. d. Bahwa dalam pengertian Kotapraja termasuk Daerah Khusus Ibukota. Oleh karena di dalam Ketentuan Konversi sebagaimana disebut di atas, bahwa hak penguasaan tidak termasuk yang ikut dikonversi, maka demi untuk menertibkan konversi hak-hak atas tanah yang sesuai dengan

140

Ketentuan UUPA, maka dipandang perlu mengatur kembali konversi hak penguasaan yang diatur di dalam PP No. 8 Tahun 1953. Dengan Peraturan Menteri Agraria (PMA) No. 9 Tahun 1965, ditetapkan Ketentuan Konversi Hak Penguasaan atas tanah negara dan Ketentuanketentuan Kebijaksanaan selanjutnya pada Pasal 1, disebutkan bahwa: Hak Penguasaan atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953, yang diberikan kepada Departemen-departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi hak pakai sebagai dimaksud dalam UndangUndang Pokok Agraria, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instanasi yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 2, menyebutkan: Jika tanah negara sebagai dimaksud dalam Pasal 1 selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan. Di dalam PP No. 8 Tahun 1953, sebagaimana disebutkan bahwa hak penguasaan yang diberikan kepada Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, yang bertujuan:

1.

Untuk melaksanakan kepentingan tertentu dan kepentingan

daerahnya (Pasal 4 PP No. 8 Tahun 1953).

141

2.

Dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain

dengan sesuatu hak (Pasal 12). Berdasar penggunaan inilah Ketentuan Konversi yang diatur dengan PMA No. 9 Tahun 1965 tersebut, konversinya terbagi dua (menjadi 2 jenis hak), yaitu sesuai dengan sifatnya, menjadi: a. Hak Pakai (khusus) b. Hak Pengelolaan Yang kemudian pada PMA No. 9 Tahun 1965, diberikan penjelasan tentang pengertian Hak Pengelolaan. Dengan kata lain lahirnya hak pengelolaan ini secara tegas setelah Ketentuan Konversi Hak Penguasaan yang diatur di dalam PMA No. 9 Tahun 1965. Pada Pasal 6 PMA No. 9 Tahun 1965 disebutkan tentang wewenang yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan, sebagai berikut: (1) Hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 di atas, memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk: a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut. tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 tahun. d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan. (2) Wewenang untuk menyerahkan tanah kepada pihak ketiga sebgai dimaksud dalam ayat (1) huruf c di atas terbatas pada: b. Menggunakan

a. Tanah yang luasnya maksimum 1000 m2 (seribu meter persegi).


b. Hanya kepada warga negara Indonesia dan badan hukum yang dibentuk Indonesia. menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

142

c.

Pemberian hak yang untuk pertama kalinya saja, dengan ketentuan bahwa perubahan, perpanjangan dan penggantian hak tersebut akan dilakukan oleh instansi agraria yang bersangkutan dengan pada azasnya tidak mengurangi penghasilan yang diterima sebelumnya oleh pemegang hak.

Dari ketentuan UUPA No. 9 Tahun 1965 ini dapat diambil beberapa ketentuan sebagai berikut:

1. Mengenai subyek hak pakai. Ada perbedaan antara hak pakai di


dalam UUPA Pasal 42 dan PP No. 40 Tahun 1996, Pasal 39, yaitu:

a. Pada PMA No. 9 Tahun 1965, yang dibenarkan sebagai Subyek Hak
Pakai hanyalah warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Sedangkan pada Pasal 42 UUPA jo Pasal 39 PP No. 4 tahun 1996, Subyek Hak Pakai termasuk WNA, Badan Hukum Asing.

b. Jangka waktu. Pada UUPA tidak ada disebut jangka waktu, baru
sesudah lahirnya PP No. 40 disebut dengan tegas jangka waktu hak pakai yaitu 25 tahun. Dengan lahirnya PMA No. 9 Tahun 1965 ini, maka disebutlah bahwa jangka waktu hak pakai, yaitu 6 tahun kemudian pada PMDN No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, disebutkan pula jangka waktu hak pakai yang dapat diberikan oleh instansi yang berwenang, adalah 10 tahun.

c. Pada PMA No. 9 Tahun 1965, tentang yang berwenang memberikan


Hak Pakai tersebut adalah Pemegang Hak Pengelolaan dengan luas dibatasi sampai dengan 1000 m2. Tetapi dengan lahirnya Ketentuan PMDN No. 6 Tahun 1972 dan Peraturan Ka BPN No. 3 Tahun 1999 wewenang tersebut tidak lagi ada pada pemegang Hak Pengelolaan, tetapi berada pada instansi yang mempunyai wewenang (lihat Peraturan Ka BPN No. 3 Tahun 1999).

143

d. Pada UUPA, Hak Pakai tidak disebut termasuk hak yang harus
didaftarkan, namun menurut Pasal 9 PMA No. 9 Tahun 1965, bahwa Hak Pakai yang jangka waktunya melebihi 5 didaftarkan. Jika di dalam Pasal 1 PMA No. 9 Tahun 1965 jo Pasal 2 tentang Konversi Hak Penguasaan menjadi Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang kewenangannya di tangan, Departemen-departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra, yang di dalam UUPA, hal tersebut sudah disebut pada Pasal 2 ayat (4), tentang pelimpahan wewenang hak menguasai dari negara, dalam pengertian memberikannya dalam pengelolaan (Penjelasan Umum UUPA No. II angka (2)). Selain kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat sebagaimana disebut pada Pasal 2 ayat (4), oleh Budi HarsoNo. disebutkan bahwa: Pelimpahan pelaksanaan sebahagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan kepada apa yang disebut Badan-badan Otorita, perusahaan-perusahaan Negara dan perusahaan-perusahaan Daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan apa yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan. (Budi HarsoNo., 1999:266) Jika di dalam Penjelasan Umum UUPA wewenang ini disebut dengan dalam pengelolaan, maka kemudian pada PMA No. 9 Tahun 1965, disebut dengan hak pengelolaan. Dengan lahirnya hak pakai khusus dan hak pengelolaan yang berasal dari konversi hak penguasaan ini, maka dengan PMA No. 1 Tahun 1966, ditegaskan kembali tentang pendaftaran hak pakai dan hak penguasaan yang disebut pada SK VI/5/Ka, yang sekaligus menghapuskan SK tersebut Pendafaratan Hak Pakai pada PMA No. 1 Tahun 1966 ini tidak dibatasi jangka waktunya. tahun harus

144

Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan menegaskan kembali tentang pengertian hak pengelolaan sebagai berikut: Pasal 3: Dengan mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan Kebijaksanaan Selanjutnya, gak pengelolaan sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a berisikan wewenang untuk: a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya; Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, bersangkutan;

b. c.
pemegang

pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku. Meskipun kepada pemegang hak pengelolaan diberikan wewenang untuk menyerahkan bagian-bagian dari hak pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga, namun hanya sebatas perjanjian pemberian hak. Selanjutnya jika sudah dipenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam perjanjian, maka pihak ketiga harus memajukan permohonan haknya kepada instansy yang berwenang dengan perantaraan pemegang hak pengelolaan. Instansi

145

berwenang dimaksud sesuai dengan ketentuan PMDN No. 6 Tahun 1972, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 (lihat penjelasan tentang Delegasi Wewenang Pemberian Hak atas Tanah). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1977, tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya, selanjutnya mengatur tentang bagamana tata cara mengajukan permohonan oleh pihak ketiga dan cara penyelesaian pemberian haknya. Pada PMDN No. 1 Tahun 1977, ini ditegaskna kembali tentang pengertian hak pengelolaan yang dalam Pasal 1 disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan hak pengelolaan dalam peraturan ini adalah: 1. a. Hak pengelolaan yang berisi wewenang untuk: Merencanakan bersangkutan. b. Menggunakan usahanya. c. Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Khusus pemberian hak pengelolaan yang diberikan untuk pembangunan wilayah pemukiman, dapat diserahkan bagian-bagian dari tanah hak pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai, sesuai dengan rencana peruntukan, penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. (Pasal 2 PMDN No. 1 Tahun 1977). tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan peruntukan dan penggunaan tanah yang

146

Pemegang hak pengelolaan di dalam menyerahkan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga, harus dilakukan denagn membuat perjanjian tertulis antara pemegang hak pengelolaan dan pihak ketuga. Perjanjian tersebut harus memuat antara lain: a. c. Identitas pihak-pihak yang bersangkutan. Jenis penggunaannya. kepada pihak ketiga yang bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya. e. Jenis-jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan f. g. penyerahan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan. Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya. Syarat-syarat lain yang dipandang perlu. penggunaan tanah tersebut oleh pihak ketiga, seperti b. Letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud. d. Hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan

Setelah dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pembayaran uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya, dan syaratsyarat lainnya, maka pihak ketiga dapat memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian kepada instansi yang berwenang dengan perantaraan pemegang hak pengelolaan. Pemegang hak pengelolaan berkewajiban melengkapi berkasberkas permohonan tersebut dan meneruskannya kepada instansi yang berwenang. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga tersebut harus didaftarkan. Dengan pendaftaran hak oleh pihak ketiga yang berasal dari hak pengelolaan tidak mengakibatkan hubungan antara pemegang hak pengelolaan dengan tanah tersebut menjadi hapus.

147

Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999) Sebagaimana disebut pada PMDN No. 5 Tahun 1973 dan PMDN No. 1 Tahun 1977, tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya, bahwa: a. Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah yang berisi peruntukan tanah dan penggunaan keperluan tanah yang wewenang untuk: 1) Merencanakan bersangkutan. 2) Menggunakan usahanya. 3) Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah itu kepada pihak ketiga, menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut. b. Permohonan hak milik, hak guna bangunan, hak pakai diajukan oleh pihak ketiga dengan peraturan pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan c. Selain pemohon (pihak ketiga) harus memenuhi kewajiban kepada pemegang hak pengelolaan, juga berkewajiban membayar uang administrasi kepada Kantor Bendahara Negara sumbangan kepada Yayasan Dune Landrefrom serta biaya pendaftaran tanah. Di dalam ketentuan Peraturan Ka BPN No. 9 Tahun 1999, bahwa pemberian hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak dibedakan tata cara permohonannya apakah yang berasal dari tanah negara ataupun dari tanah hak pengelolaan. Demikian juga tentang kewajiban yang harus dipenuhi olehpenerima hak pada Peraturan Ka BPN disebutkan bahwa selain uang pemasukan kepada negara, penerima hak juga harus membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). tersebut untuk pelaksanaan

148

Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan Tata cara pemberian dan pembatalan hak-hak atas tanah yang menggantikan PMDN No. 5 Tahun 1973, diatur di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999. Pada Pasal 1 Ketentuan Umum, antara lain dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan:

1.

Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud di dalam

Pasal 16 UUPA dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, tentang Rumah Susun. 2. Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang Pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UUPA.

3.
4.

kewenangan pelaksanaan sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. yang memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak termasuk pemberian hak di atas hak pengelolaan. 5. pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah, karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Wewenang pemberian dan pembatalan hak ini sebagaimana disebut pada Pasal 2 UUPA adalah merupakan Wewenang Pemerintah Pusat yang sebahagiannya dapat dilimpahkan kepada instansi di bawahnya. Sejauhmana wewenang tersebut telah ditetapkan di dalam ketentuan PMDN No. 6 Tahun

149

1972,

yang

kemudian

diganti

dengan

Peraturan

Menteri

Negara

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999. Tentang tata cara pemberian haknya diatur di dalam PMDN No. 5 Tahun 1973 dan PMDN No. 1 Tahun 1977, khusus untuk hak pengelolaan kemudian diganti dengan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999. Pasal 2, peraturan ini menyebutkan: (1) pengelolaan. (2) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum. Jika diperhatikan Pasal 1 angka1 tentang pengertian hak atas tanah di samping hak-hak atas tanah yang disebut pada Pasal 16 UUPA, juga termasuk hak milik atas satuan rumah susun yang disebut dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sementara pada Pasal 2 hanya menyebutkan hak atas tanah yang ada pada Pasal 16 UUPA dan hak pengelolaan. Hak milik atas satuan rumah susun tidak dimasukkan. Namun demikian menurut penulis hak milik atas satuan rumah susun sudah termasuk di dalam jenis-jenis hak atas tanah. Hak milik atas satuan rumah susun dapat didirikan di atas tanah hak miliki, hak guna bangunan atau hak pakai. Syarat-syarat pemohon hak secara umum: 1) Pemohon harus sudah menguasai tanah tersebut baik secara fisik maupun secara yuridis. Pemberian hak meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara dan hak

150

2) Jika tanah yang dimohon berasal dari tanah hak pengelolaan, setelah memeperoleh pemajukan berupa perjanjian dari pemegang hak pengelolaan.

3) Jika berasal dari kawasan hutan harus sudah dilepaskan statusnya


sebagai kawasan hutan. Pemberian hak atas tanah dapat dilakukan secara individual atau kolektif. Pemberian hak atas tanah secara individual adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau kepada badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama sebagai penerima hak bersama. Pemberian hak atas tanah secara kolektif adalah merupakan pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada setiap orang atau badan hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak, yang dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak. Tata Cara Permohonan Hak Untuk memajukan permohonan hak, si pemohon harus memenuhi syarat sebagai subyek hak, yaitu: 1. a. Hak milik; Warga negara Indonesia

b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah (PP No. 38


Tahun 1963) c. Bank Pemerintah Pemerintah (Pasal 8) 2. a. Hak guna bangunan; Warga negara Indonesia berkedudukan di Indonesia (Pasal 32) 3. Hak pakai; d. Badan keagamaan dan badan-badan sosial yang ditunjuk oleh

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

151

a. c. e. 4. a. c. e. f.

Warga negara Indonesia Instansi Pemerintah Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (Pasal 49) Hak milik; Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah Badan Usaha Milik Daerah Badan Otorita Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia d. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

b. Badan Usaha Milik Negara d. PT Persero

Pemberian hak pengelolaan kepada badan hukum tersebut harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan hak pengelolaan. Syarat-Syarat Permohonan Hak Pengelolaan Permohonan hak pengelolaan dilakukan secara tertulis, yang memuat:

1. Identitas pemohon (badan hukum) subyek hak pengelolaan.


2. Data yuridis dan data fisik tanah Dengan lampiran: a. c. e. f. g. Foto copy identitas pemohon Izin lokasi Surat persetujuan dari instansi terkait, jika dibutuhkan Surat ukur, jika ada Surat pernyataan (bukti), bahwa modalnya seluruhnya dari b. Rencana perusahaan jangka pendek dan jangka panjang d. Bukti pemilikan atau perolehan tanah

Pemerintah (lihat Pasal 69)

152

Tata Cara Pemberian Hak Permohonan diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan. Setelah Ka Kan Pertanahan meneliti kelengkapan data fisik dan data yuridis. Jika syarat-syarat sudah dipenuhi meneruskan ke Kantor Wilayah. Kepala Kantor Wilayah setelah meneliti syarat-syaratnya Kepala Kantor Wilayah meneruskan permohonan ke Menteri dengan pendapat dan pertimbangan sebagaimana halnya juga dengan Kepala Kantor Pertanahan. Berdasar pertimbangan-pertimbangan tersebut Menteri menerbitkan Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan atau Keputusan PeNo.lakan. G. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Untuk mengefisienkan pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan, perlu dilakukan pembangunan perumahan dengan sistim lebih dari satu lantai. Hal ini mutlak diperlukan dan merupakan usaha yang paling baik. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai diartikan sebagai perumahan yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Perumahan dengan sistim lebih dari satu lantai yang dikenal dengan Rumah Susun (selanjutnya disingkat Rusun) dibangun untuk mengantisipasi kebutuhan akan perumahan, terutama bagi golongan ekoNo.mi menengah ke bawah dan mereka yang berpenghasilan rendah. Rusun ini juga dapat disebut dengan Kondominium. Namun pada saat ini, di samping sebagai akibat dari semakin padatnya penduduk dan pesatnya perdagangan dimana tanah-tanah di pusat-pusat kota sudah semakin terbatas, bagi golongan ekoNo.mi tinggi yang memerlukan fasilitas yang lebih baik, komunikasi yang cepat dan lancar, pembangunan Rusun ini semakin diminati. Pembangunan Rusun untuk golongan ekoNo.mi lemah berbeda dengan untuk golongan ekoNo.mi tinggi

153

yang disebut dengan Flat dengan sifat mewah dan mempunyai fasilitas yang lengkap dan sifat-sifat khusus. Rumah-rumah susun untuk mengantisipasi kebutuhan akan rumah di daerah perkotaan, mulai dari Flat, Kondominium (Rusun) yang akan dibangun mau tidak mau akan menimbulkan masalah-masalah baru, oleh karena itu perlu diadakan pengaturan untuk itu. Undang-Undang menyebutkan: Yang dimaksud dengan Rumah Susun adalah gedung bertingkat (kondominium) yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan kesatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Di dalam Draft RUU tentang Hak Tanah, disebutkan tentang pengertian hak atas satuan rumah susun (bukan hak milik atas satuan rumah susun), sebagai berikut (Pasal 124 ayat (1)) (1) Hak atas satuan rumah susun merupakan hak atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak tanah dan sebagai tanda bukti hak atas satuan rumah susun, diterbitkan sertifikat hak atas satuan rumah susun. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang ini pada angka 1 disebutkan bahwa kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk: 1. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia. No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

154

2. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna. Parlindungan menyebutkan bahwa: Dari segi kelestarian lingkungan selalu dipermasalahkan bahwa rumah susun tersebut telah menyekat gerakan angin sehingga menimbulkan bahaya-bahaya angin ribut ataupun pembangunan rumah-rumah kaca, telah ikut membuat udara lebih panas dari sebelumnya. (Parlindungan, 1997:85) Hak kepemilikan atas satuan Rusun (Hak Milik atas Satuan Rumah Susun) merupakan kelembagaan hukum baru, yang memerlukan pendaftaran dalam undang-undang untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemiliknya. Dengan undang-undang ini lahir suatu dasar hukum untuk Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRusun) yang meliputi: a. b. rumah susun. c. d. Hak bersama atas benda-benda. Hak bersama atas tanah. Hak kepemilikan perseorangan atas satuan Rusun Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan yang dipergunakan secara terpisah.

Yang kesemua ini merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama. (Pasal 8 ayat (4)) Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah atas bagian besama dari bangunan tersebut serta benda bersama dan tanah bersama yang sifat

155

dan fungsinya harus digunakan dan dimiliki bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Satuan rumah susun merupakan milik perseorangan dikelola sendiri oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak bersama harus digunakan dan dikelola secara bersama, karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak. (Parlindungan, 1992: 48,49) Pasal 1 angka 2,3,4,5,6 tentang Ketentuan Umum menyebutkan: (1) Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. (2) Lingkungan adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun rumah susun termasuk prasarana dan fasilitasnya, yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman. (3) Bagian Bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. (4) tidak terpisah. (5) Tanah Bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Pasal 124 ayat (3) Draft RUU tentang Hak Tanah, menyebutkan tentang Hak Ruang Udara yang merupakan suatu hal yang sangat penting dicantumkan di dalam pembangunan rumah susun. Pada ayat (3) pasal tersebut, dikatakan tentang Hak Ruang Udara sebagai berikut: (3) atas permukaan Hak ruang udara merupakan hak yang berada di tanah dengan dimensi atau ruang tertentu Benda Bersama adalah benda yang bukan emrupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara

156

berdasarkan pencahayaan,

persyaratan peredaran

yang udara,

berlaku

terhadap

konstruksi, serta

keserasian,

keamanan

hubungan ke dalam maupun ke luar. Penghuni rusun tidak dapat menghindari atau melepaskan diri dari kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, karena semuanya merupakan kebutuhan fungsional yang saling melengkapi. Yang termasuk dalam bagian bersama dari bangunan Rusun antara lain pondasi, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga lift, saluran, selasar, pipa-pipa, jaringan listrik, gas, telekomunikasi, serta ruang umum. Yang termasuk pada benda bersama terdiri dari bangunan-bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, rumah ibadah, tempat bermain, tempat parkir yang sifatnya terpisah dari struktur bangunan Rusun. Pembangunan Rusun disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah, baik mengenai jumlah, kualitas bangunan, lingkungan, maupun persyaratan dan tata cara perolehannya. Pembangunan Rusun dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN atau BUMD), Koperasi dan Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang itu serta Swadaya Masyarakat. Pasal 7 selanjutnya menyebutkan: (1) Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak guna bangunan di atas hak pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

157

(3)

Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah

susun atas satuan dan bagian-bagian dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberi kejelasan atas:

a. Batas satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk


perorangan. b. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi haknya masing-masing satuan. c. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing satuan.

Pemisahan Hak Atas Satuan Rusun Penyelenggara pembangunan Rusun wajib memisahkan Rusun atas satuan Rusun yang meliputi: a. b. c. Bagian bersama Benda bersama Tanah bersama

Pemisahan itu harus jelas diuraikan dalam bentuk gambar dan uraianuraiannya, batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal sesuai dengan pemisahan Rusun dengan nilai perbandingan secara proposional, sebagai dasar penetapan hak milik untuk kemudian dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas satuan Rusun. Pemisahan hak atas satuan Rusun harus dibuat dengan suatu akta pemisahan yang disahkan oleh Pemerintah Daerah setempat yang dilampiri gambar uraian dan batas-batas. Akta tersebut kemudian harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan sertifikat hak atas tanah, izin layak huni serta

158

warkah lainnya. Hak milik atas satuan Rusun terjadi setelah didaftarkan akta pemisahan dengan dibuatnya buku tanah untuk setiap satuan Rusun. Di dalam Draft RUU tentang Hak Tanah bahwa pemisahan atas masingmasing satuan rumah susun pengesahannya bukan dari Pemerintah Daerah setempat tetapi oleh Kantor Pertanahan dengan melampirkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut (Pasal 124 ayat (2)):

(2)

Penyelenggara pembangunan rumah susun wajib meminta

pengesahan dari Kantor Pertanahan dari masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, tanah bersama beserta uraian perbandingan proporsionalnya dengan melampirkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Bagi pemegang hak pengelolaan penyelenggaranya harus lebih dahulu menyelesaikan status hak guna bangunannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tanah bersama yang merupakan bagian dari hak milik atas satuan Rusun yang bersangkutan memperoleh status hak guna bangunan. Pemberian status hak guna bangunan itu harus sudah selesai sebelum satuan Rusun yang bersangkutan dijual. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977, dikatakan bahwa dari hak pengelolaan diberikan hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan di dalam Undang-Undang Rumah Susun dari hak pengelolaan hanya dapat diberikan hak guna bangunan dan hak pakai. Jika di atas dikatakan bahwa di dalam Undang-Undang Rumah Susun pemegang hak pengelolaan harus menyelesaikan lebih dulu status hak guna bangunannya di atas tanah hak pengelolaan, baru dapat diserahkan pada pihak ketiga. Sedangkan pada PMDN No. 1 Tahun 1977, bahwa permohonan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai diajukan oleh pihak ketiga yang memperoleh penunjukan/penyerahan dengan perantaraan pemegang hak pengelolaan. Dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Ka BPN No. 9

159

Tahun 1999, pihak ketiga memohon hak guna bangunan atau hak pakai kepada instansi yang berwenang dengan melampirkan akta perjanjian penggunaan tanah antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga. Dengan didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga tidak mengakibatkan hapusnya hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan tanah tersebut. Dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi pemilik satuan Rusun, kepada pemilik diberikan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat hak milik atas satuan Rusun. Hak milik atas satuan Rusun meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan kesatuan hukum yang bersangkutan yang menimbulkan hak dan kewajiban dan tanggung jawab bagi pemiliknya. Kita ketahui bahwa hak milik atas satuan Rumah Susun selain meliputi pemilikan atas SRS yang bersangkutan, juga pemilikan bersama atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama. Maka sertifikat HMSRS tersebut selain merupakan alat bukti pemilikan SRS-nya, sekaligus juga merupakan alat bukti hak bersama atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan sebesar nilai perbandingan proporsionalnya. Di negara bagian New South Wales (Australia) misalnya untuk tanah bersama dan benda bersama tersebut, yang disebut Common property diterbitkan satu sertifikat tersendiri atas nama satu body corporate (Dalam UU No. 16 Tahun 1985: Perhimpunan Penghuni) sebagai badan hukum yang mewakili para pemilik satuan. Satuan rumah susun yang bersangkutan, masing-masing sebesar nilai prebandingan proporsionalnya (Bud Piter dalam Budi HarsoNo., 1999:337,338). Sertifikat hak milik atas Rusun terdiri dari: a. Salinan buku tanah dan surat ukur hak atas tanah bersama. satuan Rusun yang dimiliki. b. Gambar denah tingkat Rusun yang bersangkutan yang menunjukkan

160

c.

Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang bersangkutan.

Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang merupakan alat bukti hak milik atas satuan Rusun. Sertifikat tersebut harus sudah ada sebelum satuan Rusun yang bersangkutan dijual. Pasal 31 ayat (4) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa pemberian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan Rusun kepunyaan bersama atau beberapa orang atau badan hukum dapat diterbitkan satu sertifikat yang diberikan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukkan tertulis para pemegang hak bersama lainnya. Kemudian pada ayat (5) disebutkan bahwa mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan Rusun kepunyaan bersama dapat diterbitkan sertifikat sejumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Pengaturan atas bagian bangunan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah yang mengandung hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang memberikan landasan bagi sistim pembangunan mewajibkan kepada penyelenggara pembangunan (developer, pengembang) untuk melakukan pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun dengan pembauatan akta pemisahan dan disahkan oleh instansi yang berwenang (Penjelasan Umum Tentang UU Rusun). Pemisahan itu harus diuraikan dengan jelas dalam bentuk gambar serta uraian-uraian, batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal sesuai dengan pemisahan Rusun dengan nilai perbandingan secara proporsional sebagai dasar penetapan hak milik, untuk kemudian dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas satuan Rusun.

161

Pemisahan hak atas satuan Rusun harus dibuat dengan suatu akta pemisahan yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Setempat (Bupati, Walikota) yang dilampiri gambar, uraian dan batas-batasnya. Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, menyebutkan:

(1)

Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah

susun meliputi bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian, dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dengan penyesuaian seperlunya sesuai dengan kenyataan yang dilakukan dengan pembuatan akta pemisahan. (2) Pertelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan satuan-satuan yang terjadi karena pemisahan rumah susun menjadi hak milik atas satuan rumah susun, mempunyai nilai perbandingan proporsional yang sama, kecuali ditentukan lain yang dipakai sebagai dasar untuk mengadakan pemisahan dan penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. (3) Akta pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh Pemerintah Daerah dilampiri gambar, uraian, batasbatasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31.

(4)

Akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya dengan melampirkan sertifikat hak atas tanah, izin layak huni, beserta warkah-warkah lainnya.

162

(5)

Hak milik atas satuan rumah susun terjadi sejak

didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan. (6) Bentuk dan tata cara pembuatan Buku Tanah dan penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Peralihan Pembebanan dan Pendaftaran Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Hak milik atas Rusun sebagaimana halnya sifat hak milik yang mempunyai right to use dan right disposal (hak untuk mempergunakan dan hak untuk mengalihkan) dapat dialihkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemindahan hak milik atas satuan Rusun harus dilakukan dihadapan PPAT. Pasal 42 menyebutkan: Pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan pendaftaran peralihan haknya dilakukan dengan menyampaikan: a. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah atau Berita Acara Lelang. b. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan. c. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan penghuni. d. Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pemindahan hak (ayat 1) Oleh sebab itu pengalihan Satuan Rumah Susun kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila sudah dilakukan pemisahan Rumah Susun yang sudah selesai dibangun yang meliputi bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan Satuan Rumah Susun yang dilengkapi pula dengan sertifikat atas Satuan Rumah Susun.

163

Bagaimana pula penjualan aset Strata Title yang dilakukan dengan cara mengutip terlebih dahulu pembayaran atas Rumah Susun dalam suatu apartemen atau gedung perkantoran yang masih dalam rencana pembangunan? Menurut Budi Harosno, penjualan Strata Title dengan mengutip terlebih dahulu yang masih dalam perencanaan pembangunan bertentang dengan UU Rumah Susun (Budi Harsono dalam Sumardjono, 2006:132). Namun oleh Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) yang pendapatnya didukung oleh seorang developer dan pengacara, menyatakan bahwa penjualan tersebut tidak melanggar ketentuan UU Rumah Susun. Menurut Maria SW. Sumardjono bahwa pendapat Budi Harsono dan Menpera sama-sama dapat dibenarkan dengan alasan: Jika pembayaran dimuka dengan pengertian Jual-Beli dengan objek tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dipahami sebagai perbuatan hukum yang tunduk pada Hukum Tanah Nasional yang berdasarkan konsep hukum adat, maka pendapat Budi Harsono dapat dibenarkan sesuai engan sifat Jual-Beli yakni tunai denga dibayar harga obyek Jual-Beli tersebut (walaupun baru sebahagian) maka pada saat itu haknya sudah beralih kepada pembeli sementara penjualan Satuan Rumah Susun baru dapat dilakukan setelah bangunan selesai, bersertifikat, dan layak huni. Akan tetapi jika pengutipan pembayaran dilakukan pada saat bangun masuk dalam proses penyelesaian yang ditempuh bukan Jual-Beli, maka hal tersebut bukan bertentang dengan UU Rumah Susun karena ikatan Jual-Beli tidak termasuk dalam lingkup Hukum Tanah Nasional, tetapi tunduk pada Hukum Perjanjian (Maria SW. Sumardjono, 2006:133). Jika pengalihan hak milik atas satuan Rusun berdasarkan pewarisan maka pendaftaran peralihan haknya dapat dilakukan dengan menyampaikan (Pasal 42 ayat 2):

164

a. c.

Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Surat wasiat atau surat keterangan waris sesuai dengan ketentuan

b. Surat keterangan kematian pewaris. hukum yang berlaku. d. Bukti kewarganegaraan ahli waris. e. f. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perhimpunan Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan. penghuni. Rumah susun dapat juga dijadikan jaminan hutang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dimana hipotik masih diberlakukan untuk hak tanggungan, maka Pasal 12 menyebutkan: (1) Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan : a. Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik dan hak guna bangunan. b. Dibebani fiducia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara. (2) Hipotik atau fiducia dapat juga dibebankan atas tanah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut. hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan hutang dengan: a. Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik dan hak guna bangunan.

165

b. Dibebani fiducia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.
Pendaftaran hipotik atau fudicia yang bersangkutan dilakukan dengan menyampaikan: a. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan.

b. Akta pembebanan hipotik atau fiducia.


c. Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pembebanan (pasal 43 PP No. 4 Tahun 1988) (Ketentuan Pasal 43 ini telah dihapus dengan berlakunya UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Perubahan dan Penghapusan Hak Kepemilikan Apabila terjadi perubahan fisik Rusun yang mengakibatkan perubahan nilai perbandingan proporsional harus mendapat persetujuan dari perhimpunan penghuni dan disahkan oleh Pemerintah Daerah setempat baik mengenai izin bangunan maupun akta pertelaan. Persetujuan perhimpunan penghuni dipergunakan sebagai dasar di dalam membuat akta perubahan pemisahan. Akta perubahan dan pemisahan harus didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya untuk dijadikan dasar dalam mengadakan perubahan pada Buku Tanah dan sertifikat-sertifikat hak milik atas satuan Rusun yang bersangkutan (lihat Pasal 48). Apabila terjadi perubahan rencana dalam pelaksanaan pembangunan beberapa rumah susun untuk tahap berikutnya, yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan nilai perbandingan proporsional, perubahan tersebut oleh penyelenggara pembangunan harus dimintakan persetujuan kepada perhimpunan penghuni dan dalam hal itu harus diadakan perhitungan kembali. Jika perhimpunan penghuni tidak memberikan persetujuannya, penyelenggara pembangunan dapat mengajukan keberatan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah harus memberikan

166

keputusan dalam jangka waktu 30 hari (keputusan terakhir dan mengikat (Pasal 47)). Hapusnya Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Hak milik atas Satuan Rumah Susun hapus karena: a. b. c. d. Hak milik atas tanahnya hapus menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku Tanah dan bangunannya musnah Terpenuhinya syarat batal Pelepasan hak secara sukarela (Pasal 50)

Hapusnya hak milik atas Satuan Rumah Susun karena terpenuhinya syarat batal apabila syarat-syarat yang disebutkan pada Pasal 8 UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun tidak terpenuhi, yaitu adanya unsur-unsur yang bersifat perseorangan dan terpisah bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Hapusanya dalam pengertian pasal ini tidak menghapuskan subyek hukum (pemilik) dan obyek hukumnya (benda), sehingga yang hapus hanyalah hubungan hukum atas haknya dan pemilik atas Satuan Rumah Susun tetap mempunyai hak secara de facto bendanya (Parlindungan, 1997: 162, 163). H. PERWAKAFAN TANAH MILIK Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasrkan atas: a. b. c. Persatuan bangsa Sosialisme Indonesia Peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-

Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya

167

d.

Segala sesuatu dengan mengindahkan unsusr-unsur yang

bersandar pada hukum agama Bahwa hukum agraria yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam landasan idial Pancasila, bahwa unsur agama harus melekat di dalamnya. Hal itu selanjutnya dapat pula dilihat pada Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3); 1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. 2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai. 3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain dari Pasal 5 dan Pasal 49, sebagaimana disebut pada Pasal 49 ayat(2), juga pada Pasal 14 ayat (1) b tentang rencana umum tataguna tanah, yaitu mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan peribadatan dan keperluan-kperluan suci lainnya sesuai dengan Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Perwakafan tanah milik sebagaimana disebut pada Pasal 49 ayat (3) beasal dari lembaga yang dikenal di dalam agama Islam. Pewakafan tanah di Indonesia pada dasarnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak masuknya agama Islam ke Indonesia karena wakaf bersumber dari ajaran agama Islam. Wakaf secara harfiah dapat diartikan sebagai menahan atau memisahkan sesuatu benda yang kekal sifatnya untuk keperluan kebajikan serta merupakan suatu ibadah yang disyariahkan.

168

Dalam Fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda meskipun dari berbagai riwayat Hadist masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tetapi beberapa ulama menyatakan bahwa wakaf selain tanah pun boleh asal bendanya tidak langsung musnah (habis) ketika diambil manfaatnya. (Soni Harsono, 1991: 8) Sebagai tindak lanjut dari Pasal 49 ayat (3) yang menghendaki dibentuknya Peraturan pemerintah untuk melindungi perwakafan tanah, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa: wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebahagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik melembagakannya untuk selamalamamya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena perwakafan tanah merupakan penyerahan tanah dengan tujuan melembagakannya untuk selama-lamanya seyogianya tanah yang diserahkan tersebut haruslah tanah hak milik yang tidak berjangka waktu. Selain dari harus tanah hak milik juga tanah tersebut sedang tidak dibebani oleh sesuatu hak apapun atau tidak ada ikatan, sitaan, atau sengketa. Oleh sebab itu fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf (Pasal 2 PP No.28 Tahun 1977). Ada beberapa unsur dan syarat-syarat wakaf, yaitu: 1. Wakif, yaitu orang atau orang-orang atau badan hukum yang a. dewasa b. c. d. e. Sehat akalnya Oleh hukum tidak terlarang melakukan perbuatan hukum Atas kehendak sendiri tanpa paksaan orang lain Dalam hal badan hukum maka yang bertindak atas namanya Orang atau orang-orang atau badan hukum yang telah mewakafkan tanah miliknya. Syarat-syarat wakaf:

adalah pengurus yang sah menurut hukum

169

2. Ikrar, adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Syarat-syarat ikrar: a. Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nazir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. b. Dalam keadaan tertentu penyimpangan ketentuan ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama. 3. Nazir, adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Syarat-syarat nazir: a. c. e. f. Warga negara Republik Indonesia (jika perorangan) Sudah dewasa Tidak berada di bawah pengampuan Bertempat Tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang di wakafkan Jika nazir berbentuk badan hukum, syarat-syaratnya: a. Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia b. Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan c. Nazir harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempatuntuk mendapatkan pengesahan d. Jumlah nazir yang diperbolehkan untuk suatu daerah ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (4) bahwa nazir berkewajiban memelihara dan mengurus kekayaan wakaf. Penyerahan hak-hak atas tanah dari si pemilik (wakaf) kepada si penerima hak harus dengan suatu akta. Setiap penyerahan hak-hak atas tanah harus dilakukan dengan suatu akta b. Beragama Islam d. Sehat jasmani dan rohani

170

otentik. Perwakafan tanah harus dilakukan dengan penyerahan secara ikrar dihadapan seorang pejabat yang disebut dengan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Pihak a. yang mewakafkan tanah diharuskan membawa, serta menyerahkan kepada PPAIW, antara lain: Setifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah lainnya b. Surat Keterangan kepada Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang membenarkan kepemilikan tanah dan tidak dalam sengketa c. Surat keterangan pendaftaran tanah d. Izin Bupati/Walikota (Kepala Kantor Pertanahan) Perwakafan Tanah yang dilakukan sebelum berlakunya PP No.28 Tahun 1977 yaitu yang dilakukan sesuai dengan ketentuan menurut hukum Islam pada saat sekarang ini kurang terlindungi karena tidak adanya kepastian hukum. Banyak tanah-tanah hak yang diwakafkan hanya dengan ikrar (ijab) oleh pemilik (wakif) dan penerimaan oleh nazir yang tidak dikuti dengan pendaftaran perwakafannya menimbulkan sengketa. Hal ini banyak terjadi pada waktu wakif meninggal dan meninggalkan warisan termasuk tanah yang sudah diwakafkan. Surat-surat tanah yang sudah tetap ditangan si wakif sehingga ahli warisnya tidak mengetahui atau mungkin juga tidak mau tahu bahwa tanah tersebut sudah diwakafkan, karena surat-surat tanahnya masih berada di tangan wakif. Oleh karenanya banyak terjadi ahli waris menjual tanah-tanah yang sudah diwakafkan apalagi nazirnya juga sudah tidak ada lagi, yang ada adalah ahli waris nazir. Jika terjadi sengketa mengenai perwakafan tanah, harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama. PP No.28 Tahun 1977 tidak menyebutkan bahwa apakah ada kemungkinan, jika Pengadilan Agama tidak dapat menyelesaikan sengketa tersebut dapat diserahkan penyelesaiannya kepada Pengadilan Negeri.

171

Perlu kiranya pengawasan secara aktif perkembangan wakaf tanah agar dipergunakan sebagaimana mestinya dan meminta laporan secara berkala terhadap pelaksanaan wakaf dari Kantor Agama setempat. Sebagaimana disebutkan bahwa sesuai dengan hakekat wakaf yang harus dilembagakan untuk selama-lamanya maka objek wakaf tanah haruslah hak milik yang tidak ada batasan jangka waktunya. Namun pihak BPN sendiri mengharapkan agar dibuat Peraturan Perundang-undangan yang membenarkan disamping hak milik hak-hak lainnya juga dapat dijadikan objek perwakafan tanah. Meskipun hak-hak lainnya tersebut mempunyai batas waktu namun sewaktu-waktu dapat diperpanjang atau diperbaharui, bahkan dapat ditingkatkan haknya menjadi hak milik. Kiranya tanah milik yang disebut pada Pasal 1 PP No.28 Tahun 1977 tersebut dapat diartikan sebagai tanah kepunyaan, bahkan sebagai hak milik atas tanah. Hal ini juga kemudian ditegaskan pada Pasal 1 PMDN No.6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik, bahwa: Tanah yang diwakafkan harus merupakan Tanah Hak Milik atau tanah milik yang baik seluruhnya maupun sebahagian harus bebas dari beban, ikatan, jaminan, sitaan, dan sengketa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 PP No.28 Tahun 1977. Oleh sebab itu seyogianya pendaftaran Tanah Milik tersebut dilakukan secara lunas. Jika tanahnya belum berstatus hak milik yang mewakafkan tanah tersebut meningkatkan status haknya menjadi hak milik melalui pemohonan kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian pemberian Sertifikat Hak Milik dapat dilakukan sekaligus dengan penerbitan Sertifikat Perwakafan Tanah. Untuk meningkatkan pensertifikatan Tanah Wakaf kemudian oleh Menteri Agama bersama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Instruksi Bersama No.4 Tahun 1990 tentang penyelesaian Sertifikasi Tanah Wakaf, yang isinya menginstruksikan kepada seluruh

172

jajaran Departemen Agama dan BPN Tk. I dan II di seluruh Indonesia bahwa pensertifikatan Tanah Wakaf harus diselesaikan bersama-sama oleh instansi terkait dengan mempedomani pelaksanaan Prona. Banyak perwakafan tanah yang terjadi sebelum berlakunya PP No.28 Tahun 1977, yang jelas belum terdaftar sehingga tidak jelas statusnya. Jika tanah-tanah yang telah diwakafkan ini diakui rakyat supaya diproses sertifikatnya sebagai tanah wakaf. Pelaksanaan pensertifikatan tanah wakaf yang sudah ada sebelum lahirnya PP No.28 Tahun 1977 banyak ditemui hambatan-hambatan. Untuk kejelasan bahwa sebidang tanah telah diwakafkan memerlukan penelitian dengan menelusuri bukti-buktinya agar dibuat akta ikrar wakafnya. Perlu dilakukan identifikasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. c. Penelitian ulang tentang kebenaran adanya perwakafan Mengusahakan bukti-bukti untuk memenuhi persyaratan pewakafan b. Mengklasifikasikan status dan penggunaanya tanah agar dapat dibuat Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf dan penerbitan sertifikat Ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan tanah, antara lain: 1. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Tanah Wakaf Milik 3. Peraturan Menteri Agama Tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik 4. Instruksi Menteri Agama No.15 Tahun 1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah Wakaf 5. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.D/ED/BA.032/01/1990 tentang Petunjuk Teknis Instruksi Menteri

173

Agama No.15 Tahun 1989 tentang Perubahan Akta Ikrar Wakaf Perwakafan Tanah Wakaf. 6. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1990 dan No.24 Tahun 1990 tanggal 30 November 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf 7. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.D11/5/H.K004/2981/1990 perihal pejabat yang menandatangani Keputusan tentang Tim Koordinasi Tanah Wakaf tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Jika dalam PP No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang diatur adalah khusus tentang Perwakafan Tanah oleh sebab itu wakaf bukan hanya dikhususkan obyeknya tanah. Menurut Satria Efendi bahwa pengertian wakaf adalah: Wakaf berasal dari bahasa Arab waqfun, kata kerjanya wakafa yang menurut etimologi berarti menahan atau menghentikan sesuatu. wakaf berarti menyisihkan harta Dalam Hukum Islam istilah

tertentu yang tahan lama untuk diserahkan manfaatnya bagi kepentingan yang sesuai dengan ajaran Syariat Islam. (Satria Efendi, 1991: 163) Yang berarti bahwa benda yang diwakafkan baik benda bergerak maupun tidak bergerak haruslah bendanya yang tahan lama yang manfaatnya dapat diambil secara terus-menerus/berkesinambungan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 215 menyebutkan bahwa: Ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebahagian dari benda miliknya Islam. dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan lainnya sesuai dengan ajaran

174

Menurut PP No.28 Tahun 1977 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa: wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebahagian dariharta kekayaannya yang berupa Tanah Milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Kalau disimak isi Pasal 1 ayat (1) ini bahwa pengertian wakaf yang tercantum bukanlah pengertian wakaf pada umumnya. Wakaf yang dimaksudkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan sebagai memenuhi permintaan Pasal 29 ayat (3) UUPA. Pada penjelasan umum PP No. 28 Tahun1977 dengan tegas disebut bahwa yang diatur pada Peraturan Pemerintah ini adalah khusus mengenai Wakaf Sosial (untuk umum) atas Tanah Milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembahasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan di kemudian hari. (Penjelasan Umum PP No.28 Tahun 1977) Pengaturan tentang wakaf secara umum kemudian diatur di dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 yang pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan pengertian wakaf sebagai berikut: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.

175

Oleh karena itu khusus untuk pendaftaran tanah wakaf sebagaman diatur uratkemudian secara umum tentang Pendaftaran Tanah yaitu Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 juga Peraturan Menteri Negara Agraria /Ka BPN No.3 Tahun 1997 maka pendaftaran pelaksanaan pendaftaran Tanah Wakaf tetap dilakukan menurut Peraturan Pemerintah tersebut. I. HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH 1. Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Dengan berlakunya dualisme Hukum Agraria sebelum berlakunya UUPA maka untuk jaminan perkreditan juga berlaku dualisme hukum, yaitu lembaga jaminan hypothek untuk hak-hak barat yang diatur pada Pasal 1162 KUH Perdata, yang dimaksud dengan hypothek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak begerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu ikatan (hutang). Pada masyarakat adat ada suatu lembaga jaminan yang disebut dengan gadai yang sifatnya berbeda dengan hypothek karena tanah yang digadaikan (dijaminkan) berpindah ke tangan yang meminjamkan uang. Oleh karena itu pada waktu itu lembaga hukum jaminan itu dibutuhkan oleh golongan bumi putera, maka dengan suatu Surat Keputusan Raja (Koninklijke-biskuit) S. 1908-542 jo S. 1909-586, mulai 1 Januari 1910 diberlakukanlah suatu lembaga hukum perkreditan untuk orang Indonesia (bumi putera) dengan nama credietverband yang jaminannya hampir sama dengan hypothek, apabila hak atas tanahnya tidak dapat dijaminkan dengan hypothek (yang bukan hak-hak barat). Credietverband adalah penjaminan atas tanah hak milik Indonesia yang merupakan suatu hak kebendaaan atas harta benda yang bertujuan untuk menjadi jaminan bagi memenuhi suatu perikatan. Yang dapat dicredietverband adalah:

176

a. kepunyaan negeri b. c. d. atas tanah negara e.

Hak pakai (hak milik turun-temurun) atas tanah Hak pakai atas benda penduduk, tanah partikulir Hak pakai atas benda humanite Indonesia (desa, Hak pakai atas benda yang belum dibagi-bagi, yaitu

negeri, marga dan sebagainya) di atas tanah negara milik kaum keluarga Indonesia asli milik perkampungan Indonesia di Bangunan tanam-tanaman atau pembibitan

kepunyaan orang Indonesia di atas tanah hak milik Credietverband dibuat dengan akta atentik di hadapan seorang Pegawai Negeri yang ditunjuk oleh Menteri Agama dengan grosse akte: Atas Nama Sri Baginda Maharaja. Dengan berlakunya UUPA lembaga jaminan Hipotik dan Credietverband ini untuk sementara masih tetap berlaku, sementara belum diciptakannya lembaga jaminan yang sesuai dengan UUPA. Pasal 25, 33, dan 39 UUPA menyebutkan bahwa hak milik hak guna usaha, hak guna bangunan, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan selanjutnya pasal 51 menyebutkan bagaimana bentuk dan tata cara lembaga jaminan yang dimaksudkan pada Pasal 25,33, dan 39 tersebut akan diatur kemudian dengan Undang-Undang. Sementara ketentuan Undang-Undang yang disebut pada Pasal 51 belum terbentuk maka untuk sementara masih tetap mempergunakan ketentuan hipotik dan credietverband (Pasal 57). Soni Harsono, menyebutkan: Dengan adanya ketentuan dalam Pasal Peralihan tersebut sejak dimulai berlakunya UUPA kecuali mengenai obyek yang sudah hypothek dan credietverband. Ketentuanditunju sendiri oleh UUPA terhadap hak tanggungan diberlakukan ketentuan-ketentuan ketentuan tersebut baik mengenaia hukum materilnya maupun

177

tatacara pembebanannya serat penerbitan surat tanda bukti haknya. (Soni Harsono, 1996: XXXV) Sesuai dengan apa yang disebutkan dengan Pasal 25,33, dan 39 UUPA bahwa yang menjadi obyek hak tanggungan hanyalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Ada tafsiran bahwa pembatasan obyek hak tanggungan ini dilatarbelakangi, karena hak-hak tersebut yang harus dudaftarkan yang berarti ada kepastian hukumnya. Dengan lahirnya PMA No.1 Tahun 1966, tentang pendaftaran hak pakai dan hak pengelolaan, timbul pertanyaan apakah dengan didaftarkan hak pakai ini dengan sendirinya juga dapat dijadikan jaminan hutang? Dengan surat edaran Direktur Jendral Agraria Cq direktur pengurusan hak-hak atas tanah No.DIB/3/37/3/73, tertanggal 26 Maret 1973 menyebutkan bahwa: Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan UUPA,bahwa yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Sedangkan hak guna pakai tidak disebutkan dengan tegas apa hak boleh atau tidak dapat dibebani hak tanggungan. Ini tidak berarti tidak ada larangan. Hal ini harus diratikan bahwa pembebanan suatu hak atas tanah sebagai hak tanggungan harus dilandasi dengan suatu pengaturan dalam bentuk Undang-Undang bukan dengan cara penafsiran. Hal ini juga dimaksudkan dan jaminan untuk melindungi proses pengadilan. 2.Hak Tanggungan untuk Rumah Susun, Perumahan, dan parakreditur terhadap kepastian

hukumnya, jika terjadi sengketa/eksekusi yang

menjurus kepada

Pemukiman Dalam Undang-Undang Rumah Susun No.16 tahun 1985, dikatakan bahwa:

178

Rumah Susun berikut Tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan denagn tanah tersebut dpat dijadikan jaminan hutang dengan: a. Dibebani Dibebani hipotik fiducia jika jika tanahnya tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan

b.

tanah hak pakai atas tanah negara (Pasal 12 UU Rumah Susun Pada penjelasan Pasal ini antara lain disebutkan bahwa: untuk memantapkan penggunaan tanah hak pakai tersebut sebagai jaminan untuk memperoleh kredit dalam pasal ini dibuka kemungkinan untuk membebaninya dengan fiducia adalah sesuai dengan tujuan diciptakannya lembaga tersebut oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Selanjutnya Pasal 13 menyebutkan bahwa hak milik atas Satuan Rumah Susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan: a. Dibebani hipotik jika tanahnya tanah hak milik atau hak Dibebani fiducia jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah guna bangunan

b.
negara

Sementara pada Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman No.4 Tahun 1992, Pasal 15 tentang jaminan hutang menyebutkan: 1. Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan hutang

2. a. Pembebanan fiducia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang


dibuat oleh notaris sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. b. Pembebanan hipotik atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan Peraturan Peundang-Undangan yang berlaku.

179

Berbeda dengan ketentuan Undang-Undang Rumah Susun, pemakaian jaminan hutang fiducia di dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman hanya dapat dibebankan pada rumahnya, bukan pada tanahnya. 3.Undang-Undang Hak Tanggungan atas Tanah No.4 Tahun 1996 Ketentuan-ketentuan yang disebut pada Pasal-Pasal UUPA tentang Jaminan Huatng yang masih mempergunakan hipotik dan kreditverband, meskipun hanya bersifat sementara , sudah jelas tidak sesuai dengan prinsipprinsip yang dianut oleh Hukum Agraria Nasional (UUPA) dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan sebagai akibat perkembangan kemajuan pembangunan perekonomian. Akibatnya, menurut Soni Harsono: Timbul perbedaan pandangan dan penafsirsan mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah, misalnya title eksekutorial pelaksanaan eksekusi dan sekarang. (Soni mengenai pencantuman

lain sebagainya, sehingga dirasakan kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan Harsono, 1996: XXXIX) Berdasarkan hal tersebut perlu segera ditetapkan Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 51 UUPA, sebagai lembaga jaminan atas tanah yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang mempergunakan lembaga jaminan tersebut. Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena kreditur mengambil pelunasan atas didahulukan dan dimudahkan dalam

tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur dan atau ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat kepada hak kreditur yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan suatu tekanan

180

psikologis terhadap debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Disini adanya semacam tekanan psikologis karena berusaha kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya adalah yantg berharga baginya Sifat manusia untuk

benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang mempertahankan apa yang berharga dan tetap dianggap atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar 2002: 12) Lembaga jaminan dimaksud adalah lembaga jaminan atas tanah yang kuat yang mempunyai ciri-ciri: a) b) c) Memberikan Selalu kedudukan obyek diutamakan (preferent) kepada pemegangnya mengikuti azas yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada Memnuhi spealitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan hukum jaminan. (Satrio,

d)

Mudah

dan

pasti

pelaksanaan eksekusinya (Soni Harsono, 1996: XXXIX). Dalam UU ini yang dimaksud dengan Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. (Pasal 1 Angka 1)

181

Jika diperhatikan ketentuan pada Pasal 1 Angka 1 tersebut jelas bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana azas yang dianut oleh UUPA yang berasal dari Hukum Adat bahwa pemisahan horizontal yang memisahkan tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya jelas terlihat. Dalam rangka azas pemisahan horizontal benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, menurut hukum bukan meupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hakhak atas tanah hanya dapat dikatakan termasuk apa yang melekat di atasnya, jika dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam akta pemberian Hak Tanggungan. Obyek Hak Tanggungan Pasal 4 menyebutkan bahwa: (1) hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. b. c. hak milik hak guna usaha hak guna bangunan

(2) selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga dibebankan hak tanggungan (3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Hak Milik akan di atur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Dengan ditunjuknya hak pakai sebagai objek hak tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan UUPA dengan perkembangan hak pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Meskipun pada PMA No.1 Tahun 1966, Hak Pakai sudah harus didaftarkan, namun karena bukanlah ketentuan yang tegas bahwa Hak Pakai itu dapat dijadikan jaminan hutang, maka dengan tegas dinyatakan bahwa Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Surat Edaran No.DIB/3/37/3/73).

182

Tata Cara Pemberian Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak Tanggungan Proses Pembebanan Hak Tanggungan Dalam proses pembebanan hak tanggungan ditempuh dengan dua tahap, yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di hadapan PPAT dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan. Janji tersebut harus dituangkan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian Hutang-Piutang atau perjanjian lain. Hutang yang dijamin bisa berasal dari satu hubungan hukum, yaitu suatu Perjanjian Hutang-Piutang tertentu , bisa juga berupa suatu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. (Budi Harsono, 1996: 9). Hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accessorisyang artinya bahwa hak tanggungan ada karena ada Perjanjian Hutang-Piutang atau perjanjian lain. Jika piutang tersbut beralih kepada kreditur lain maka hak tanggungan yang menjaminnya, karena hukum beralih kepada kreditur tersebut. Pembebanan hak tanngungan pada azasnya wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanngungan di hadapan PPAT, demikian juga dengan penerima hak tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi. Jika tanah yang dijaminkan belum bersertifikat, yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa/Lurah dan seorang anggota Pemerintah Kota/Kelurahan yang bersangkutan. Apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri, dapat dikuasakan kepada pihak lain. Pemberian Kuasa tersebut disebut dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). SKMHT dilakukan

183

di hadapan seorang Notaris atau PPAT dengan Akta Otentik dengan syratsyarat: c. tanggungan d. e. tidak memuat kuasa subtitusi mencantumkan secara jelas objek tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak

hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur, apabila debitur bukan Pemberi Hak Tanggungan ( Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan) Pemberi Hak Tanggungan adalahorang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan. Kewenangan terhadap objek hak tanggungan tersebut harus ada pada saat pendaftaran hak tanggungan. Hal ini disebabkan bahwa lahirnya hak tanggungan setelah didaftarkan di Kantor Pertanahan. Demikian juga pada saat pembuatan SKMHT, Notaris atau PPAT harus sudah berkeyakinan yang bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai yang waktu kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan dimilikinya dibebankan, walaupun baru kepastian mengenai pada kewenangan tersebut dipersyaratkan

pemberian hak tanggungan didaftarkan. Lahirnya Hak Tanggungan Pada tahap pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur, hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak tanggungan itu baru lahir pada saat di bukukannya dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Saat pendaftaran ini adalah saat yang paling penting bagi kreditur untuk menentukan kedudukannya yang diutamakan dari kreditur-kreditur yang lain. Dermikian juga saat penentuan peringkat terhadap kreditur-kreditur lain yang juga pemegang hak tanggungan.

184

Penetapan tanggal pendaftaran hak tanggungan tersebut ditentukan oleh tanggal buka tanah hak tanggungan, yaitu hari ke tujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh kantor pertanahan. Jika hari ke tujuh jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari bekerja berikutnya. Di dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata bahwa tanggal yang dijanjikan (ditetapkan) pada hari ke tujuh tersebut masih tidak dapat dilaksanakan. Hal ini sering merugikan kreditur yang telah menyerahkan uang pinjaman. Sementara dari pihak Kantor Pertanahan tidak ada laporan bahwa pemberian hak tanggungan tersebut bermasalah, sementara tanggal hari ke tujuh tersebut sudah terlewati. Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus. Ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga pasak eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement), dan pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (Penjelasan Umum Angka 9 UU No. 4 Tahun 1996) Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 menyebutkan : Apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualannya tersebut. Selanjutnya Pasal 11 Ayat (2) huruf E, tentang janji-janji yang dapat dicantumkan pada akta pemberian hak tanggungan, menyebutkan ayat (2) huruf e : dalam akta pemberian hak tanggungan dapat dicantumkan janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cedera janjil.

185

Baik Pasal 6 maupun Pasal 11 tersebut bukanlah merupakan tindakan eksekusi, melainkan merupakan pembuka jalan bagi kreditur bahwa kreditur diberi kesempatan pertama untuk menjual benda yang dijaminkan atas kekuasaan sendiri. Pelaksanaan penjualan ini bukanlah merupakan tindakan eksekusi sebagaimana disebut pada Pasal 29 ayat (1) dan (2). Sebenarnya penjualan objek hak tanggungan berdasarkan janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri yang tanggungan pertama sebagaimana dimiliki oleh pemegang hak 1996 : 18) Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan yang memakai irah-irah dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan. Sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut :

dimaksud dalam pasal (6), bukanlah tindakan eksekusi. (Retno Wulan,

(2)

Sertifikat hak tanggungan sebagaimana

disebut pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata demi keadaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (3) Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan peraturan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grose akta hipotik, sepanjang mengenai hak atas tanah. Selanjutnya pada pasal 20 ayat (1) menyebutkan : Apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan : a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan

186

dalam

peraturan

perundang-undangan

untuk

pelunasan

piutang

pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada krediturkreditur lainnya. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) ini merupakan perundangan dari kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang bagi para kreditur pemeganghak tanggungan dalam hal harus dilakukan eksekusi. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum karena dengan cara ini diharapkan dapat tinggi untuk objek hak tanggungan. penjualan itu diperoleh harga yang paling

Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek hak tanggungan. Dalam hal hasil lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan sisanya menjadi hak pemberi hak tanggungan. (Penjelas Pasal 20 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996) Menurut putusan Mahkamah Agung No. 1520 Pdt/1984 , Tgl. 31 Mei 1984, maka untuk dapat melaksanakan eksekusi grose akta sebagaimana dimaksud pada pasal 224 HIR / 258 RBG, haruslah dipenuhi syarat : 1. Maha Esa. 2. Syarat materiil, yaitu bahwa jumlah hutang yang harus dibayar oleh debitur telah menjadi pasti. Grose akta sebagaimana disebut pada Pasal 224 HIR / 258 RBG, adalah merupakan syarat formil yang harus dilaksanakan jika tidak maka akta yang dibuat tersebut hanya berkekuatan sebagai akta otentik biasa (tidak berkekuatan titel eksekutorial). Menurut Yahya Harahap bahwa objek sahnya suatu Grose akta harus memenuhi syarat : a. Syarat formil, adalah syarat yang berkenaan dengan tata cara pembuatan dan bentuk grosse akta yang memerlukan formalitas Syarat formil, yaitu bahwa pada grose akta tersebut dicantumkan kalimat demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

187

tertentu yang dilihat dari

rujukan ketentuan peraturan dan Undangilmu hukum yang menggolongkan melengkapi

Undang dan dari rujukan doktrin

grosse akta sebagai bentuk perjanjian yang memiliki karakter accessoir / tambahan, serta adanya dokumen yang grosse akta.

b. Syarat materiil, adalah ketentuan mengenai rumusan isi yang harus


tercantum dalam grosse akta yaitu rumusan grose akta tidak perjanjian hutang dan menyebut secara yang dibebani serta menyebut mengandung syarat-syarat

khusus dan terperinci benda objek

secara pasti jumlah hutang debitur. (Yahya Harahap, 1998 : 115-116) Grose akta dapat dieksekusi karena memuat titel eksekutorial yait terdapat kalimat irah-irah yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dengan demikian grose aktr disamakan dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dengan demikian dapat dieksekusi. (Mertokusumo, 1996 : 6) Oleh sebab itu agar jaminan suatu hutang dapat dilakukan eksekusi yang didasarkan kepada kekuatan titel eksekutoial yaitu grose akta yang memuat irah-irah : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka proses pembuatannya haruslah dilakukan secara sempurna, yaitu mulai dari pembuatan akta perjanjian kredit. Pengikatan jaminan sampai kepada pendaftaran harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku. Grose akta yang memuat irah-irah tersebut dicantumkan pada sertifikat yang sudah dilampirkan akta hak tanggungannya (lahirnya hak tanggungan setelah didaftarkan). Hapusnya Hak Tanggungan Sesuai dengan sifat hak tanggungan yang accessoir, yaitu adanya hak tanggungan tergantung kepada adanya hutang yang dijamin pelunasannya.

188

Maka apabila hutang hapus dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus. Pasal 18 menyebutkan bahwa : (1) sebagai berikut : a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak yanggungan (2) Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan (3) Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut, agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 (4) Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin. Hak atas tanah dapat hapus karena hal-hal sebagai mana disebut pada Pasal 27, 34, dan 40 UUPA dalam hal hak guna usaha, hak guna bangunan atas hak pakai yang dijadikan objek hak tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut (2 tahun sebelum berakhir). Hak tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan. Hak tanggungan hapus karena hal-hal

189

Demi

ketertiban

administrasi,

apabila

hak

tanggungan

hapus

sebagaimana disebut pada Pasal 18, maka harus dilakukan pencoretan catatan atau roya. Pada Pasal 22 tentang pencoretan hak tanggungan menyebutkan bahwa : (1) Setelah hak tanggungan hapus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. (2) Dengan lepasnya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut hal-hal yang diatur dalam UndangUndang hak tanggungan, terdapat dalam berbagai peraturan perundangundangan yang sudah ada sedang sebahagian lagi masih perlu ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya (Penjelasan Umum angka 12 UU Hak Tanggungan).

Medan,

Februari 2009

( Hj. Chadidjah Dalimunthe, SH, M Hum )

190

191

You might also like