You are on page 1of 15

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi Dalam Seni

Disusun Oleh : Novita Putri Agusta

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN FAKULTAS ISIP PURWOKERTO 2008

KATA PENGANTAR Penyusun panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberi segala

kemurahan, rahmat, serta hidayah dan petunjuk-Nya kepada penulis. Sehingga penyusunan makalah ini berjalan dengan lancar hingga selesai. Selesainya penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak, selaku dosen pengampu mata kuliah.

2. Orang tua yang sudah memberi dorongan secara materi maupun moral. 3. Serta berbagai pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah membantu menyusun makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik materi maupun penyajianya. Oleh karena itu penulis sangat menghargai kritik dan saran yang membangun.

Purwokerto, 26 Maret 2008

Penyusun,

DAFTAR ISI Halaman Judul

Kata Pengantar........ i Daftar Isi...... ii BAB I. Pendahuluan A. Tujuan...... 1 B. Hipotesis.. 1 BAB II. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Pustaka.. 2 BAB III. Pembahasan

BAB IV. Penutup 1. Kesimpulan.. 17 2. Saran 18 Daftar Pustaka..... 19

BAB I PENDAHULUAN

A.

TUJUAN Peerkembangan zaman dan teknologi, memebuat pornografi dan pornoaksi semakin

merambah pesat.dikalangan masyarakat Indonesia. Di satu sisi sebagian masyarakat (dalam lapisan golongan tertentu) masih setia atau setidaknya memelihara norma-norma yang membingkai perilaku, tata krama, atau kesopanan, sementara di sisi lain, masyarakat dalam lapisan yang lain terus berada dalam situasi dan kondisi yang semakin permisif. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk menanggapi RUU anti pornografi dan pornoaksi dikalangang masyarakat dan remaja Indonesia.

B. 1.

HIPOTESIS Tanggapan tentang RUU pornografi dan pornaksi 2. Sensor Film (BSF) secara benar dan proporsional.

Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi Dalam Seni

(Tanggapan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)

Persoalan yang selalu muncul dan senantiasa menyimpan passion dalam kehidupan masyarakat adalah ikhwal pornografi. Iapornografimudah sekali (dan memang potensial) menjadi tertuduh, berkaitan dengan berbagai kejahatan dan kekerasan. Kini seiiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi--media-massa--komunikasi, yang memanjakan siapa pun untuk mengakses apa pun, dan dari mana pun. Media informasi dalam segala bentuknya, media cetak (koran, majalah, tabloid, dsb.), media elektronik (radio, televisi, dsb.), memasuki ruang-ruang privat setiap orang dalam segala usia, tanpa mengenal batas dan hambatan. Perkembangan selanjutnya, kini masyarakat menuai keresahan. Di satu sisi sebagian masyarakat (dalam lapisan golongan tertentu) masih setia atau setidaknya memelihara normanorma yang membingkai perilaku, tata krama, atau kesopanan, sementara di sisi lain, masyarakat dalam lapisan yang lain terus berada dalam situasi dan kondisi yang semakin permisif. Pergeseran norma pastilah terjadi. Dengan demikian, pada dua kutub itu pastilah pula terjadi benturan. Karena itu, maka dapat dimengerti, apabila muncul pemikiran dan sejumlah aksi untuk melihat kembali secara kritis tentang pornografi, pornoaksi, kebebasan berekspresi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, dan bagaimana menanggulanginya. Secara etimologi, pornografi berarti suatu tulisan yang berkaitan dengan masalahmasalah pelacuran, dan tulisan itu kebanyakan berbentuk fiksi (cerita rekaan) yang materinya diambil dari fantasi seksual. Pornografi biasanya tidak memiliki plot dan karkter, tetapi memiliki uraian yang terperinci mengenai aktivitas seksual, bahkan sering dengan cara berkepanjangan, dan kadang-kadang sangat menantang. Jika kita tengok dalam kamus, pornografi artinya, (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (KBBI, 1991: 782). Semula pornografi hanya berbentuk tulisan. Namun kini, seperti disinggung di atas, hadir dalam bentuknya yang beragam meliputi seluruh media, baik cetak berupa gambar, foto, iklan, termasuk tulisan, maupun media elektronik berupa film sinema, video tapes, dan telefon. Terdapat dua kata kunci pada penjelasan (kamus) di atas, yaitu membangkitkan

nafsu berahi dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Artinya, terdapat persoalan dalam presentasi tekstulisan maupun visual/audio visualyang harus dilihat secara kritis dalam konteks pornografi, kekerasan, dan berekspresi dalam seni. Tentu saja hal ini akan terkait pula dengan persoalan pengertian secara definitif. Artinya, harus dipertanyakan misalnya, seperti apa dan bagaimana batas-batas tentang pornografi dan kekerasan, dan kebebasan berekspresi seni, seiring dengan bergesernya norma-norma dalam masyarakat. Berkaitan dengan media dan bentuk mediasi seperti itu, kini dapat dilihat terdapat dua jenis pornografi yaitu pornografi perangkat keras (hard core) dan pornografi perangkat lunak (soft core). Perbedaan dari keduanya hanya terdapat pada penggunaan materi, dan yang paling penting terdapat pada subject matter (masalah dan ruang lingkupnya). Pornografi perangkat lunak tidak memasukkan masalah-masalah kekerasan (kejahatan); jika laki-laki yang ditampilkan biasanya tidak menunjukkan organ intinya. Pada pornografi perangkat keras, seperti yang terdapat di Amerika Serikat, atau Eropa, sering terdapat teks yang berhubungan secara terperinci dengan gambar atau foto yang disajikan. Apa pun jenis dan bentuknya, pornografi pada intinya terdiri dari kombinasi persentuhan seksual dengan tujuan utama adalah untuk membangkitkan gairah seksual. Provokasinya atau tepatnya mediasinya diupayakan dengan berbagai cara dan strategi yang bermacam-macam, antara lain sex shop, iklan, telefon, video, dan sebagainya. Pornografi pada akhirnya memiliki kaitan erat dengan percabulan dan erotisme. Cabul memiliki konotasi yang sangat negatif, mencitrakan kekerasan dan kejahatan, dan sudah pasti tidak dapat diterima oleh masyarakat. Pengertian dalam kamus bahkan sangat tegas, yaitu keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Percabulan, disamping melanggar kesusilaan dan kesopanan, sudah pasti melanggar rambu-rambu hukum. Dalam kaitan inilah, sektor hukum semestinya segera menunjukkan kekuatannya secara efektif. Seperti dilansir oleh Heriadi Willy S.H., Law Worker dan seorang IKADIN Yogyakarta dalam Tropong Hukum bahwa selama ini soal pornografi maupun yang disebut sebagai pornoaksi penindakannya selalu dikaitkan dengan Bab XIV KUHP tentang Kejahatan

Terhadap Kesopanan (Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2003). Dijelaskan lebih lanjut, dalam pasal 281 KUHP disebutkan Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 4.500, (1e) barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka umum; (2e) barang siapa sengaja merusak kesopanan di muka orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri (KUHP 37, 289, 298, 532) (Ibid). Tampak dalam uraian itu apa yang disebut sebagai kesopanan yang terkait pula dengan moralitas serta norma-norma dalam suatu masyarakat. Karena itu, agar terdapat rambu-rambu yang jelas untuk mengetahui kebenaran formal dan material, seperti dikatakan oleh Heriadi Willy, jika terdapat Undang-undang khusus tentang Pornografi dan Pornoaksi, perlu diauraikan secara jelas apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut. Kejelasan sebuah terminologi, akan menghindarkan dan penyalahgunaan atau penyimpangan dalam pemahaman dan penerapannya. Terdapat istilah lain yang rawan dari pengertian dan pemahaman yang keliru, yaitu erotika/erotismeberkenaan dengan kebirahian. Karya-karya sastra (puisi, cerita pendek, novel) karya para penulis perempuan seperti Rieke Diah Pitaloka, Ayu Utami, Nukila Amal, atau Djenar Maesa Ayu, mengungkapkan ikhwal seksualitas secara terbuka. Tentu saja karyakarya mereka menarik untuk dilihat dan didiskusikan secara kritis, berkaitan dengan topik kita kali ini. Karya-karya seni rupa memiliki sejarah yang panjang dalam kaitan perdebatan antara mana yang seni dan mana yang porno dan sudah pasti terus menerus dalam bingkai pengertian yang bergeser. Perdebatan yang tak kunjung selesai itulah rupanya yang dijadikan kesempatan perlindungan para produsen hiburan yang bernuansa pornografi/seks dan kekerasan, dengan mengatasnamakan sebagai seni.

Persoalan seperti itu memancing pertanyaan, misalnya, adakah pornografi yang bersifat seni? Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa pornografi bukalah seni, dan tidak memiliki elemen-elemen seni yang artistik dan estetik (ingat misalnya kasus perempuan model untuk sampul majalah yang diajukan di pengadilan, dan argumentasi mereka ketika

menjawab tuntutan/tuduhan masyarakat; foto-foto saya adalah karya seni kata mereka). Agar jernih dalam mematok terminologi dan pengertian, maka pengertian dan pemahaman tentang pornografi, ertika, kekerasan, dan sejenisnya dapat dilihat secara kontekstual dari perspektif (pandangan) budaya (masyarakat) yang melatarbelakangi. Tematema erotik dalam seni lukis tradisional Bali mislanya, adalah bagian dari magi produktif merupakan konsep lingga-yoni (dalam ideologi Ciwaistik), sebagai metfora tentang kesuburan. Pada bentuk atau ekspresi kesenian lainnya, tentu memiliki pengertiannya sendiri. Dalam seni rupa Bali, sebuah patung Datonta yang disebut Ratu Pancering Jagat terdapat di desa Trunyan, Kintamani merupakan peninggalan megalitik terbesar di Bali dengan tinggi patung sekitar 4 meter. Patung telanjang bulat itu menampakkan kelaminnya lembut mengarah pada sebuah lobang yang terletak diantara kedua kaki patung itu. Lagi-lagi wujud ini adalah manifestasi idiologi lingga-yoni. Di istana Klungkung ditemukan sebuah relief batu padas yang menggambarkan seorang laki-laki sedang diikat pada sebatang pohon menunjukkan alat vitalnya tengah ereksi ketika menyaksikan dua orang wanita sedang telanjang bulat di depannya. Masih berkaitan dengan seni relief, sebuah panil dari kayu juga dijumpai di sebuah pura di Bali yang menggambarkan seorang laki-laki sedang tersangkut di atas pohon kayu, diapit oleh dua ekor lembu, kainnya lepas dan alat kelaminnya tampak panjang dan besar. Di Jawa, adegan porno sudah ada di Candi Sukuh, kurang lebih 30 Km dari kota Solo. Candi agama Siwa yang dibangun pada tahun 1437-1438 itu memamerkan relief penis (lingga) yang berhadapan dengan vagina (yoni). Di bagian lain dari candi itu ada patung pria yang memegang penisnya dalam keadaan ereksi. Di Kecamatan Ngampel, Boyolali terdapat rief-relief pria dan wanita dalam posisi bersenggama. Diperkirakan relief Candi Ngampel dan Candi Sukuh dibangun pada masa yang sama. Penggambaran erotisme dalam seni lukis Bali malah lebih dasyat dibandingkan dengan seni lainnya. Seorang pelukis tua Dewa Putu Mokoh dari Pengosekan Ubud senantiasa menggali dan memaknai ketelanjangan dengan esttika seni rupa tradisi lokal. Bahkan

muridnya yang bernama Gusti Ketut Murniasih (kini almarhum) malah menghadirkan teror visual, dimana wujud kelamin manusia selalu hadir dalam kanvas-kanvasnya. Gusti Ketut Murniasih yang sempat belajar dari Dewa Putu Mokoh itu seakan-akan meluapkan eskpresi bawah sadarnya, termasuk pula ketegangan psikologisnya sebagai perempuan yang meninggal terserang kanker pada rahimnya (Kun Adnyana, Balipost 2005). Dari 6 (enam) jenis Pajogedan (Joged Pingitan, Gandrung, Adar, Leko, Gudegan) dalam seni pertunjukan Bali terdapat salah satu diantaranya yang paling erotis disebut Joged Bumbung. Tari ini merupakan tari pergaulan dengan konsep arena terbukanya memberi peluang pada pengibing laki-laki untuk menari secara intim dan menantang. Karena sifatnya sebagai tari pergaulan berkonsekuensi logis pada sifat-sifat ritme dan geraknya, yaitu dari gemulai goyang pinggul, hingga kelincahannya dalam menghindari serbuan para pengibingnya. Penari Joged Bumbung yang baik, dalam pengertian mampu menguasai varian gerak tari erotik yang menawan memang tak akan pernah terhenti dalam penampilannya pada titik gerak visual yang seronok dan vulgar. Ada persoalan penghayatan gerak erotik yang lebih sublim yang mesti ditampilkan. Namun demikian, Joged Bumbung berbeda dengan tari cabaret dan striptease yang berbicara ertika secara fisikal dan vulgar. Sesungguhnya seni bukan alasan yang pas untuk mengesahkan kehadiran pornografi. Maksudnya suatu produk lukisan telanjang itu dikatagorikan porno atau tidak, tak bisa diukur dengan kriterium-kriterium kesenian. Persoalan kesenian adalah keindahan. Sedangkan pornografi lebih menjadi persoalan etika. Karena menyangkut masalah etika, maka persoalannya juga menjadi relatif, tergantung siapa yang memandang dan dari latarbelakang agama serta sosial budayanya (Cholis, Special Gallery, 2001).

Menurut Hindu (Kama Sutra 1.37.) seksualitas adalah penting bagi kehidupan manusia, seperti halnya makanan perlu untuk kesehatan badan, dan seksulitas mereka bergantung pada artha dan dharma. Menurut Hindu, makna seks atau seksualitas bukanlah sesuatu yang kotor, jahat atau hina. Membicarakan, memperlihatkan dan melakukan pada

tempat, waktu, dan situasi serta kondisi (desa, kala, dan patra) yang tepat adalah sah. Seks penting untuk mencapai totalitas atau kesempurnaan, untuk memupuk rasa percaya diri, keberanian, memperhalus kepribadian dan rasa termasuk welas asih. Dalam Ikonogtafi Hindu penggambaran alat kelamin (phalus atau lingga) dan alat kelamin wanita (yoni) dalam seni rupa adalah melambangkan api atau kekuasaan dan bumi, yang apabila kedua unsur itu bersatu akan menghasilkan kekuatan atau energi. Hindu memiliki konsep yang sangat jelas ketika memaknai pornografi dan pornoaksi. Dalam Manawa Dharmasastra setidaknya ada 4 ayat suci dan dalam Kama Sutra terdapat 3 ayat suci yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Memberikan sesuatu yang merangsang wanita lain, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan yang (hukumannya) harus dianggap sama dengan berzina (Manawa Dharma Sastra VIII.357). Hendaknya bagian yang sensitif dari tubuh ini jangan diperlihatkan, karena hal itu akan merusak mental dari orang yang melihatnya (Kama Sutra III.12). Penganut agama yang puritan misalnya, jelas menganggap seksualitas itu tidak boleh. Di kalangan masyarakat perkotaan atau masyarakat pasca modernis yang pluralistik, persoalan itu mengalir secara dialektis. Dan ada kalanya bisa menimbulkan pro dan kontra, papar pengamat seni rupa kawakan Jim Supangkat. Pendeknya, semuanya terpulang pada pilihan individu masing-masing. Setiap pilihan tentu juga akan membawa reksiko (implikasi), baik budaya, etis maupun moral yang berbeda pula. Pada saat lalu lintas nilai kebudayaan berseliweran dan berhamburan ke arah pluralisasi, pilihan apa pun bukan lagi sesuatu yang mustahil terjadi. Pilihan apa pun juga akan turut memperlebar terbukanya berbagai peluang untuk muncul dan hidup. Secara tradisional Bali telah memiliki proses penciptaan seni yang terkait dengan siwam (kesucian), satyam (kebenaran) dan sundaram (esttika). Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan dalam bidang seni mengandung pengertian yang terpadu antara kreativitas, penemuan dan inovsi yang dipengaruhi oleh rasa. Namun

demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat. Berdasarkan ideologi siwam, satyam dan sundaram, lahirlah kesenian Bali dalam tiga katagori, yaitu seni wali, bebali, dan balih-balihan. Penelitian kami pada tahun 1992, ternyata menunjukkan bahwa 70% kesenian Bali bersifat wali dan bebali (bersifat sakral dan seremonial), dan hanya 30% bersifat balih-balihan atau sekuler. Penelitian itu telah menganalises sebanyak 5612 kelompok seni pertunjukan yang kini hidup di Bali. Kesimpulan itu membuktikan bahwa motivasi terkuat bagi seniman untuk menciptakan kesenian Bali adalah agama Hindu Dharma. Namun demikian, untuk menghindari pelarangan-pelarangan terhadap pementasan seni sakral di ruang publik yang dianggap tidak tepat, atau penampilan seni erotis dalam ruang publik terbuka, dibutuhkan pendidikan etika dan tata krama yang tegas dan secara terus menerus. Hal ini perlu didukung oleh pendidikan seni yang unggul agar mampu melahirkan para pencipta yang dapat memadukan kesucian, kebenaran, dan esttika. Atau dengan perkataan lain bahwa kesenian Bali diciptakan lewat logika, etika, dan estetika berdasarkan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu Dharma. Dalam kaitan dengan pornografi, pornoaksi, dan kebebasan berekspresi, semiloka ini memiliki urgensinya. Penerbitan atau tayangan pornografi, pornoaksi, kekerasan, dan sejenisnya, apa pun alasannya lebih mengakibatkan dampak yang buruk, terutama bagi anakanak dan remaja. Maka semiloka ini tidak hanya penting dalam hal merumuskan pengertian maupun batasan-batasan berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Akan tetapi, yang paling penting adalah merumuskan bagaimana solusi penanggulangannya .Tentu saja sebelum merumuskan pengertian maupun solusi hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang budaya masyarakat tertentu, penertiban media sesuai Undang-Undang Pers, adanya political will dari pemerintah dan penegak hukum, mengoptimalkan lembaga sensor seperti Badan Sensor Film (BSF) secara benar dan proporsional. Tentang rencana DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan RUU Pornografi dan Pornoaksi, melalui sebuah Seminar Pornografi dan Pornoaksi Menurut Hindu yang

berlangsung tanggal 11 Desember 2005 di Gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta (Penulis membacakan Makalah Kunci) dapat menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut: RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi memiliki urgensi yang lemah, karena pasal-pasal KUHP masih relevan. Yang perlu ditingkatkan adalah low enforcement-nya. Bahkan dalam RUU KUHP yang disusun oleh Pemerintah terdapat 12 (dua belas) pasal yang mengatur tentang Pornografi dan Pornoaksi. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi kurang relevan untuk dibahas pada masa-masa dimana masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan masih menyisakan banyak masalah yang perlu mendapat perhatian lebih banyak dan lebih serius. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi banyak mengandung potensi disintegrasi karena bisa memunculkan polemik nasional khususnya menyangkut nilai-nilai sosial dan budaya. RUU Anti Pornogragfi dan Pornoaksi tidak mencerminkan semangat reformasi dan demokratisasi malah sebaliknya lebih bersifat represif. Menciptakan BAPPN (Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional) sama dengan membangun kekuasaan ekstra terrestrial dengan memanfaatkan kekuasaan Presiden.

Kesimpulan

Atas dasar tersebut di atas, forum mengusulkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi harus dikritisi lebih cermat, baik nama lembaga atau badan yang kurang mencerminkan

demokrasi, rumusan/batasan tentang kewajiban warga masyarakat dalam menanggapi/menilai Pornografi dan Pornoaksi, limitasi kriteria Pornografi dan Pornoaksi dalam masyarakat multikultural Indonesia, maupun sangsi hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan bahkan tidak mencerminkan kesetaraan gender. Demikian pokok-pokok fikiran ini saya sampaikan semoga dapat menjadi bahan kajian dalam Semiloka Pornografi dan Pornoaksi selanjutnya.

Daftar Pustaka Bandem, I Made. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. K.L.: Oxford University Press, 1995. Creese, Helen and Laura Bellows. Erotic Literature in Nineteenth Century Bali. Virgina: University of Virginia, 1999. Cholis, ST. Antara Seni Cita Rasa Ketelanjangan. Special Gallery, 2001. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1998). Kun Adnyana. Seni Erotik di Ruang Publik. Denpasar: Balipost, 19 November 2005. Maswinara, I Wayan. Kamasutra. Surabaya: Paramita, 1997. Murti, Lila dan I Nengah Dana. Rumusan Hasil Seminar Pornografi dan Pornoaksi Menurut Hindu. Jakarta: STAH Dharma Nusantara, Desember 2005. Sukatno, Otto CR. Seks Para Pangeran. Jojakarta: Bentang Budaya, 2002. Titib, I Made. Veda: Sabda Suci. Surabaya: Paramita, 1996. Willy, Heriadi. Tropong Hukum Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2003. Wisetrotomo, Suwarno. Seni, Anarkhisme, dan Kemanusiaan. Yogyakarta: ISI Yogyamarta, 2005.

Yogyakarta, 10 Februari 2006 I Made Bandem Makalah ini dipresentasikan pada Semiloka Pornografi dan Pornoaksi yang diselenggarakan oleh Yayasan Sandhi Murti, Imam Bonjol Denpasar, 11 Februari 2006.

You might also like