You are on page 1of 3

KE-NGERI-AN KOMUNIKASI MASSA SUBALTERN Februari 16, 2009

Posted by komitenasionalindonesia in Komunikasi. trackback Oleh: Bayquni* Bagi sebagai orang mungkin mendengar kata ini akan sangat janggal apalagi kalau diucapkan, Subaltern, sejenis binatang apakah itu, ataukah jenis pohon-pohonan yang saat ini sedang marak dijual belikan. Namun bila kita telusuri ternyata memiliki pemaknaan yang dalam, apalagi bila kata tersebut di terjemahkan diranah Indonesia yang nota bene sebagai negara ketiga dan merupakan empowering dari Negara-negara adikuasa. Pemikiran Subaltern sebenarnya bukan serta merta muncul begitu saja, melainkan terlahir dari pemikiran seorang ahli teori post kolonial, dan lebih khusus dikenal sebagai ahli kajian subaltern (subaltern studies) yaitu Gayatri Chakravorty Spivak yang telah meluncurkan pemikiran Can Subaltern Speak pada tahun 1983. Awal kemunculan istilah subaltern ini, digunakan oleh Antonio Gramsci sebagai penunjuk terhadap kelompok inferior, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Seperti petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern. Secara ringkas, Subaltern yang dimaksud oleh Guha atau yang lebih dikenal dengan nama Ranajit Guha, sejarawan India dari Subaltern Studies Group yang pernah menulis On Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982), dinyatakan bahwa subaltern adalah mereka yang bukan elit. Dan yang dimaksud elit adalah kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Sedang para pribumi yang dalam tatanan kelas subaltern dibagi menjadi dua lapis, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).. Bila sedikit mengutip apa yang pernah dinyatakan Hegel mengenai masyarakat sebagai gambaran dan persoalan masyarakat Subaltern, bahwa individu selalu saling berkontradiksi,bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat yang lain. Kalau individu tidak saling berkontradiksi,bernegasi dan bermediasi dengan masyarakatnya, maka tidak mungkin dapat menemukan dirinya sesungguhnya;sebaliknya masyarakat juga tidak dapat menjadi makin sempurna,tinggal seperti semula, tanpa perubahan apa-apa. Hegel menambahkan bahwa, manusia dalam proses menyatakan dirinya ternyata menghadapi suatu dunia obyektif yang berada diluar dirinya,asing dan mengancam kediriannya tapi dunia itu ternyata dibutuhkannya, tanpa dunia obyektif itu,manusia tak mungkin berhasil menyatakan dirinya.Manusia tiba-tiba merasa bahwa dunia itu mengancam kediriannya,ia tidak boleh

ditiadakan,karena meniadakannya sama dengan menghancurkan kedirian manusia sendiri. Maka masalahnya bukan menghancurkan dunia obyektif itu,rekonsiliasi dapat terwujud bila dunia obyektif merupakan obyektifikasi dari kedirian manusia. Memahami pengertian Subaltern sebagai sebuah kajian sosiologis, ternyata bila didekatkan dengan kacamata komunikasi, menjadi fenomena menarik. Terlebih bila itu komunikasi massa. Karena ternyata dalam lapisan masyarakat Indonesia yang nota bene persentase lapisan masyarakat subaltern lebih tinggi dari non subaltern, dalam pola pemahaman hegemoni informasi melalui media massa sangat jelas jurang pemisah yang terjadi, sehingga terkadang tidak dapat melihat dunia secara obyektif, namun lebih kepada sebuah wujud ancaman akan kediriannya, ketakutan bahkan histeria yang cenderung subyektif dan lebih mengedepankan unsur emosi buta ketimbang kekuatan rasionalitas. Tidak heran bila pada media massa setiap hari sering kita temukan kekerasan massa, budaya amuk massa dan budaya manusiawi lainnya yang menghiasi seluruh halaman surat kabar atau layar televisi masyarakat Indonesia, seperti yang baru-baru ini terjadi pada aksi kerebutan selepas pengumuman kenaikan BBM dan aksi pembubaran ajaran Ahmadyah di Indonesia. Pada media tersebut terlihat sebuah penggambaran yang fenomenal , dimana adanya ketegangan di tingkat vertical masyarakat. Bila sedikit melompat pada media komunikasi yang digunakan saat ini dan mencoba memahaminya, jelas bahwa media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi masyarakat adalah televisi. Joseph Straubhaar & Robert La Rose dalam bukunya Media Now, menyatakan; the Avarege Person spend 2600 Hours per years watcing TV or listening to radio. That,s 325 eight-hourdays, a full time job. We spend another 900 hours with other media, including, newpaper, books, magazines, music, film, home video, video games and the internet, that about hours of media use more time than we spend on anything else, including working or sleeping (straubhaar & La Rose, 2004 : 3) Dengan demikian dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya media komunikasi massa tersebut, merambah pemikiran masyarakat subaltern di Indonesia. Dimana kita tahu bahwa masyarakat subaltern ini, kelompok-kelompok dominant yang memiliki kemandirian di bidang ekonomi namun mereka terpinggirkan akibat tidak memiliki akses yang kuat kepada kelompok masyarakat superior. Hal tersebut menjadikan mereka menciptakan independensi sendiri . Mau tak mau object yang sangat jelas adalah media massa,terutama sekali televisi. Dengan TV, masyarakat Subaltern merasa terkoneksitas dengan masyarakat superior, sehingga apa yang dinyatakan ditelevisi merupakan hasil dari kebudayaan tinggi yang dihasilkan masyarakat superior. Akibatnya meski saat ini sudah banyak program TV yang muncul di Indonesia,tetap saja yang namanya hegemoni media, dimana pemirsa merasa terpengaruh dan sepakat terhadap realitas yang disampaikan media akan ada. Sangat mengerikan dirasa , ketika masyarakat subaltern tersebut membenarkan apa yang disampaikan oleh media televisi sebagai wujud kesetaraan terhadap masyarakat superior. Karena rasionalitas dan akal sehat yang terkadang menjadi penentu dalam berbagai keputusan di kalangan masyarakat subaltern, terkadang tidak berlaku lagi tertimbun oleh pembenaran-

pembenaran yang terlahir akibat, keinginan kesetaraan dengan masyarakat superior. Oleh sebab itu sebagai sebuah Negara yang dominasi masyarakatnya adalah masyarakat Subaltern, seharusnya sangqat sadar akan pengaruh media massa khususnya televisi terhadap masyarakat subaltern tersebut. Karena secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari (Gamble, Teri and Michael. Communication works. Seventh edition.) Pertama, media memperlihatkan pada kahalayaknya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini khalayak menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang kahalayak lihat dari media. Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mempengaruhi apa yang khalayak inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan khalayak mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari khalayak, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut. Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan khalayak akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip gaya rambut era 60 an atau era 80, atau menggunakan kacamata ala 60 dan 80 an yang sangat boros kaca (besar-besar) Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi penentu, dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya. Pengaruh inilah yang saat ini menjadi pergeseran masyarakat subaltern dalam memperjuangkan posisinya sebagai bagian dari masyarakat independen, sementara disisi yang lain mereka tidak sadar bahwa hal tersebut adalah permainan dari masyarakat superior dalam menciptakan hegemoni baru dilapis masyarakat tersebut. * Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi, Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

You might also like