You are on page 1of 13

1

METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL)


Oleh: Muhtarom, S.Pd

A. Pembukaan.
Al-Quran merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus
petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam
keistemewaan. Keistimewaan tersebut, di antaranya adalah susunan bahasanya
yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat
dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat
pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai
petunjuk bagi manusia telah menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama
dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama
yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu
memberikan petunjuk atau jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di
sepanjang masa.
Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Quran
lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia
melalui Al-Quran dengan hidayah Aqidah dan syariat. Selain itu Allah juga akan
mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-
Quran.
Sebagai firman Allah, al-Quran juga merefleksikan pesan-pesan ilahiyah
untuk umat manusia. Secara bahasa, al-Quran memang menggunakan bahasa
manusia, karena al-Quran memang ditujukan kepada umat manusia sehingga
harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Quran. Aka
tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Quran tersebut, pesan substansial dari
makna hakiki al-Quran tidak ditampakkan oleh Allah.
Para pembaca al-Quran masih harus mampu melakukan kerja-kerja
penafsiran yang maksimal untuk menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan ideal
Allah di balik ayat al-Quran yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan
petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan tersebut, al-Quran hanya akan menjadi
2

rangkaian ayat yang terdiam. Hal ini merupakan konsekuensi rasional dari asumsi
bahwa al-Quran dalam pandangan kaum hermeneutis, merupakan teks diam dan
tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Quran dibutuhkan untuk
bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa tafsir al-Quran adalah
hal yang sangat penting dalam Islam. Hal ini dikarenakan al-Quran merupakan
sumber pokok dari ajaran Islam dan seseorang tidak dapat memahaminya tanpa
mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, ataupun seseorang tidak
dapat mengetahui hukum-hukum yang ada di dalamnya tanpa memahami apa
maksud dari lafadz yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman :

RU4-g +OE4^4O^ El^O)
[4O4:N` W-NO+O4Og
gOg-4C-47 4O-EO441g4
W-O7q U4:^- ^g_
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. ( Shad (38):29).

E 4pNO+E4-4C
]-47O^- ; _O>4N
OU~ .E_7E^~ ^gj
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka
terkunci? (Muhammad (47) : 24)

Pada ayat yang pertama di atas Allah menjelaskan bahwa hikmah
diturunkannya al-Quran adalah agar supaya manusia mentadaburi ayat-ayat yang
ada di dalamnya. Sedangkan pada ayat yang kedua Allah mencela orang-orang
yang tidak mau mentadaburi al-Quran. Sedangkan seseorang tidak dapat
memtadaburi al-Quran tanpa mengetahui maksud-maksud dari lafadz-lafadz al-
Quran, maka jelaslah bahwa tafsir al-Quran sagat penting adanya.
Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup
bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam
penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan
3

keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan, motivasi mufassir, misi
yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan
perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Quran
dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya
membuka dan menyingkap petunjuk dan pesan-pesan teks secara optimal sesuai
dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran
yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam
adalah metode ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir
ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlui, muqaran dan
tahlili) yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi
beberapa kitab tafsir.

B. Pembahasan
1. Pengertian Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu
metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara singkat untuk
mengemukakan makna global tanpa uraian panjang lebar. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa
yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca untuk memudahkan
pemahaman. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam
mushaf.
1
Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-
Quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar
Al-Quran padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

2. Ciri-ciri Metode Ijmali
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan
ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya
dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara
ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat

1
Imam Al Qurthuby, Al Jamiu-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir. http://faculty.ksu.edu.s
4

diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas
secara panjang lebar.
Sebagai contoh: Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5
ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global
hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran kalimat
[Alif Lam Mim], misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula penafsiran [Al-kitab], hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh
Muhammad
2
. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat
itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi,
misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman
3
.
Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai
pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari
al-Quran atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama,
juga tidak ketinggalan argumen semantik.
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Quran
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini
tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis
lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global,
tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah
sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan
penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih
membaca Al-Quran padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada
ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada
wilayah tafsir analitis.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya
sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara
tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal,
karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Quran,

2
Jalaludin Muhammad Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As
Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11
3
Syaikh Ahmad Mustafa Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 - 44
5

sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali,
layaknya membaca ayat al-Quran. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir
dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode
tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara
metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali,
antara lain:
a. Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa
memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan
judul.
b. Penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini
lebih sangat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang
mufassir untuk memperkaya wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir
ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir
dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Quran.
Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan
yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan
sedikit luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah
untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan
dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih
menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan
target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Quran sebagai
kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
4


3. Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak
jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili
(analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara

4
http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/view/92/86.
Diakses 04/02/2013
6

menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Quran
secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir
secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode
ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan,
antara lain
5
:
a. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang
lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
b. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi
jelas.
c. Menyebutkan latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat yang
ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan asbabun nuzul.
Asbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi
turunnya ayat yang ditafsirkan. Asbabun nuzul menjadi sangat urgen,
karena dalam asbabun nuzul mencakup beberapa hal yang berkaitan
dengan peristiwa pelaku dan waktu.
d. Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah
dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, Sahabat, Tabiin maupun tokoh tafsir.

4. Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang
merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Quran, yang
tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya
menafsirkan al-Quran, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan
dalam rangka memahami al-Quran yang notabene memiliki makna dan pesan
yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak
melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Quran
yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Quran, merupakan firman

5
http://my-jazeerah.blogspot.com/2011/05/hadist-tentang-kewajiban-mengajarkan-
alquran.html

7

yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang
tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid,
6
beragamnya tafsir dan interpretasi
terhadap al-Quran, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan,
dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor.
a. Sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu
sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya.
b. Horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam
menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana
teks bisa mengungkapkan dirinya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab
Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-
Wasith, terbitan Majma al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad
Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bersama Jalaluddin al-
Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis
dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak
tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan. Namun demikian, seiring perkembangan
zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam
melakukan proses penafsiran, metode ijmali dalam kenyataannya termasuk
metode yang kurang disukai, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali
(global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa
alasan, yaitu :
a. Tekstualistik-skriptualitik.
Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-
skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas
teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis

6
Nasr Hamid Abu Zaid adalah Seorang professor bahasa Arab and tafsir Al Quran di Universitas
Cairo, dan professor of Islam di Leiden university dan Utrecht university of Humanistics. Dia
adalah termasuk salah seorang teolog Islam yang terkenal, yang menawarkan hermeneutika
humanistik pada Al Quran.
Sumber: http://www.deenresearchcenter.com/DRC/NasrAbuZaydslegacy diakses Februari 2013
8

lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dzohir, padahal makna yang
seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks
yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam
penafsiran disinyalir tidak mampu menerjemahkan makna dasar dari sebuah
ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga
melahirkan tafsir tektualis (tradisional).
Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada
penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa
memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.
7
Teks
dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar
makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi
dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam
memahami al-Quran ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak
dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-
pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan
tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana
realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balik teks yang memaksa
untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dzohir.
Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu hanya
sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh
pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode
ijmali. Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku
pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada usaha untuk membongkar teks
secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain
merupakan tafsir yang mengedepankan corak bertolak dari teks, berakhir
pada teks dan atas petunjuk teks dan belum mempertimbangkan realitas
sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam
metode ini, asbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi
asbabun nuzul disebutkan terkesan hanya sekedar dijadikan sebagai

7
Adang Kuswaya, Dari Teks Menuju Realitas, sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal
diakses Februari 2013

9

pelengkap, karena tidak ada analisa filosofis terhadap asbabun nuzul tersebut,
padahal asbabun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut
Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Quran harus dilihat dalam
konteks sosio-historisnya (asbabun nuzul) secara tepat.

b. Hegemoni penafsir.
Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir
hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak
membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain,
sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan.
Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal
subyektif dalam memahami al-Quran, tetapi dalam metode ijmali (salah satu
contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode
non-ijmali.
5. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam
menguak makna al-Quran ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan
pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Quran.
a. Kelebihan
Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Al Qur'an memiliki
beberaa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara
keistimewaan ini adalah;
1) Praktis dan mudah di pahami.
Hal ini terletak pada proses penafisran ayat yang tidak terbelit-belit
dan bentuknya yang mudah dipahami, selain itu pesan-pesan yang
terkandung dalam tafsir ini juga sangat mudah ditangkap oleh
pembaca.
2) Bebas dari penafsiran israiliyat.
Pengaruh penfsiran israiliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi,
karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat
tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain,
10

seperti penafsiran dengan cerita-cerita israiliyat menyatu ke dalam
tafsirannya. Selain pemikiran-pemikiran Israiliyat, dengan metode ini
dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu
jauh dari pemahaman ayat-ayat Al Quran seperti pemikiran-
pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh penganut teologi, sufi,
dan lain-lain.
3) Akrab dengan bahasa Al Quran.
Uraian yang singkat dan padat menjadi sebab tidak adanya penafsiran
ayat-ayat Al Quran yang keluar dari kosa kataayat tersebut. Metode
ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan, sehingga pembaca akan merasa bahwa dirinya sedang
membaca Al Quran dan bukan membaca suatu tafsir.
b. Kekurangan
1) Menjadikan petunjuk al- Quran bersifat parsial.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al Quran
tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Menurut Subhi saleh
kandungan ayat-ayat Al Quran mempunyai keistimewaan dalam hal
kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan
ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita
pasti menemukan pada bagian yang lain, baik yang bersifat membatasi
maupun memperjelas secara rinci.
8
Al Quran merupakan satu kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu
pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti. Hal-hal yang
global atau samar-samar dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain
ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat
tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat
terhindar dari kekeliruan.
9


8
Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Quran, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta:
Pustaka Firdaus, h. 299
9
Sebagai contoh: perhatikan firman Allah dalam ayat 11 surah ar-Radu dan ayat 53 surah al-
Anfal sebagai berikut:
11

2) Terlalu dangkal dan berwawasan sempit.
Tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau
pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu
ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan adanya analisis yang rinci,
metode ijmali tidak dapat diandalkan.

6. Urgensi metode ijmali
Manusia diciptakan Allah SWT dalam berbagai tingkatan dan strata sosial.
Pebedaan semacam itu juga terlihat pada tingkatan-tingkatan kecerdasan dan
daya nalar mereka. Untuk memahami al- Quran secara baik dan benar diperlukan
penafsiran yang tepat.
Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka yang
berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir al- Quran dan merka yang sibuk
mencari kehidupanya.

]) -.- +O)O4NC 4` `O) _/4EO
W-+O)O4NC 4` jgO^)
ElgO ]) -.- l4C -LO)O4N` OEugE^
E_EEu^ _O>4N `O~ _/4EO W-+O)O4NC 4`
jgO^)
Kedua ayat itu ditafsirkan oleh al-jalalain sebagai berikut:
"

"

"

"

[sesungguhnya Allah tidak


mengubah apa yang ada pada suatu kaum] tidak mencabut nikmatnya dari mereka [kecuali
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], dari sifat-sifat bagus dan terpuji menjadi
perbuatan maksiat.
"

"

"

"

"

"

"

"

[Yang demikian itu] yakni menyiksa orang-orang kafir [dikarenakan] sesungguhnya [Allah
selamanya tak pernah mengubah nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum]
dengan menggantikannya dengan kutukan [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri
mereka], yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kekufuran seperti perbuatan para kafir
Mekkah yang menukar anugerah makanan, kemanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap
ingkar, menghalang-halangi agama Allah, dan memerangi umat Islam. Kedua penafsiran yang
diberikan itu tampaak tidak sinkron. Di dalam ayat pertama ia [al-Suyuthi]- menafsirkan
[_WjgO^)4`-+O)O4NC/4EO] itu dengan: mengubah sifat-
sifat yang baik dengan perbuatan maksiat. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang
sama dia memberikan penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: menggaanti nikmat itu
dengan kekufuran. Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat
konkret.

12


C. PENUTUP
Kesimpulan
Terlepas dari beberapa permasalahan yang terdapat dalam metode ijmali,
dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran
yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap
metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan
metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-
Quran tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Quran tetap bukan
harga mati yang harus menjadi satu-satunya pilihan atau sesuatu yang terbenarkan
secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak
bisa dinafikan. Dan, setiap individu yang punya kapasitas berhak melahirkan
metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Quran
bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan
miliki semua orang.
Aal-Quran akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-
ayatnya yang universal dan global, memungkinkan setiap mufasir baru untuk
menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan
gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Quran. Oleh karena itu, sikap kritis
terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan yang bisa dilakukan,
karena mufasir bukanlah manusia sempurna yang luput dari kesalahan, tetapi
mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.








13


DAFTAR PUSTAKA


Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Quran . cet. Ke- 1. Yogjakarta :
Pustaka Pelajar, 1998.

Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Quran. Bandung : Pustaka, 1996

Al Qurthuby, Imam, Al Jamiu-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir.
http://faculty.ksu.edu.s

Muhammad, Jalaludin Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin
Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11

Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Quran, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet.
kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 299

Mustafa, Syaikh Ahmad Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h.
39 44

http://my-jazeerah.blogspot.com/2011/05/hadist-tentang-kewajiban-mengajarkan-
alquran.html diakses Februari 2013

http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/view/92/86. diakses
Februari 2013

http://www.deenresearchcenter.com/DRC/NasrAbuZaydslegacy diakses Februari
2013

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal diakses Februari 2013

You might also like