You are on page 1of 21

PATOFISIOLOGI NYERI & NYERI NEUROPATI definisi Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

terkait dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam kerusakan tersebut. Berdasarkan durasinya nyeri dibedakan menjadi 2: 1. Nyeri akut 2. Nyeri kronis KLASIFIKASI NYERI Berdasarkan Letak Nyeri 1. Nyeri Neuropatik Perifer Pada nyeri neuropatik perifer Letak lesi di sistem perifer, mulai dari saraf tepi, ganglion radiks dorsalis sampai ke radiks dorsalis Contoh: Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post Herpetik Neuralgia (PHN), Trigeminal neuralgia, CRPS tipe I, CRPS tipe II. Berdasarkan Letak Nyeri 2. Nyeri Neuropatik Sentral Letak lesi dari medula spinalis sampai ke korteks Contoh: Nyeri post stroke, Multiple Sclerosis, Nyeri post trauma medula spinalis Berdasarkan waktu terjadinya 1. Nyeri Neuropatik Akut Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan Contoh Neuralgia herpetika, Acute Inflammatory Demyelinating Neurophaty 2. Nyeri Neuropatik Kronik Nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan Nyeri neuropatik kronis juga dibedakan menjadi: a. Malignan (nyeri keganasan, post operasi, post radioterapi, post chemoterapi b. Non Malignan (neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome, neuropati toksis, avulsi pleksus, trauma medula spinalis, neuralgia post herpes Berdasarkan Etiologi 1. Saraf Perifer Trauma: neuropati jebakan, kausalgia, nyeri perut, nyeri post torakotomi Mononeuropati: Diabetes, invasi saraf/ pleksus oleh keganasan, Iradiasi pleksus, penyakit jaringan ikat (Systemic Lupus Erytematosus, poliartritis nodusa) Polineuropati: Diabetes, alkohol, nutrisi, amiloid, penyakit Fabry, isoniasid, idiopatik. 2. Radiks dan ganglion Diskus (prolaps) arakhnoiditis, avulsi radiks, rizotomi operatif, neuralgia post herpes, trigeminal neuralgia, kompresi tumor. 3. Medula Spinalis Transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio, hematomieli, pembedahan, syringomieli, multiple sclerosis, Arteri-Vena Malformasi, Defisiensi Vit B12, mielitis sifilik.

4.

Batang Otak Sindroma Wallenberg, Tumor, Syringobulbi, Multiple Sclerosis, Tuberkuloma. 5. Talamus Infark, hemoragik, tumor, lesi bedah pada nukleus sensorik utama. 6. Korteks / Sub korteks Infark, Arteri-Vena Malformasi, Truma dan tumor.

Berdasarkan asalnya: 1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) Nyeri perifer asal: kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll nyeri akut, letaknya lebih terlokalisasi. Nyeri visceral/central lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya 2. Nyeri neuropatik MEKANISME NYERI NOSISEPTIF Stimulasi Sebagian besar jaringan dan organ diinervasi reseptor khusus nyeri nociceptor yang berhubungan dgn saraf aferen primer dan berujung di spinal cord. Jika suatu stimuli (kimiawi, mekanik, panas) datang diubah menjadi impuls saraf pada saraf aferen primer ditransmisikan sepanjang saraf aferen ke spinal cord ke SSP Transmisi dan persepsi nyeri Transmisi nyeri terjadi melalui serabut saraf aferen (serabut nociceptor), yang terdiri dari dua macam: serabut A- (A- fiber) peka thd nyeri tajam, panas first pain serabut C (C fiber) peka thd nyeri tumpul dan lama second pain contoh: nyeri cedera, nyeri inflamasi Mediator inflamasi dapat meningkatkan sensitivitas nociceptor ambang rasa nyeri turun nyeri Contoh: prostaglandin, leukotrien, bradikinin pada nyeri inflamasi substance P, CGRP (calcitonin gene-related peptide) pada nyeri neurogenik Persepsi nyeri Setelah sampai di otak nyeri dirasakan secara sadar timbul respon Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik Peredaan nyeri Sangat diinginkan Sangat diinginkan Ketergantungan thd obat Tidak biasa Sering Komponen psikologis Umumnya tidak ada Sering merupakan masalah utama Penyebab organik Sering Seringkali tidak ada Kontribusi lingkungan dan keluarga Kecil Signifikan

Insomnia Jarang Sering Tujuan pengobatan Kesembuhan Fungsionalisasi Depresi Jarang Sering Karakteristik nyeri akut dan kronis Gejala dan tanda Nyeri bisa berupa nyeri tajam, tumpul, rasa terbakar, geli (tingling), menyentak (shooting) yang bervariasi dalam intensitas dan lokasinya. Suatu stimulus yang sama dapat menyebabkan gejala nyeri yang berubah sama sekali (mis. tajam menjadi tumpul). Gejala kadang bersifat nonspesifik. Nyeri akut dpt mencetuskan hipertensi, takikardi, midriasis tapi tidak bersifat diagnostik. Untuk nyeri kronis seringkali tidak ada tanda yang nyata. Perlu diingat : nyeri bersifat subyektif ISTILAH-ISTILAH YANG BRKAITAN KHUSUS DENGAN NYERI Nyeri Neuropatik Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf. Nyeri Neuropati Berbeda dari nyeri nosiseptif, Nyeri biasanya bertahan lebih lama dan merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau CNS. Biasanya lebih sulit diobati. Mekanismenya mungkin karena dinamika alami pada sistem saraf. Pasien mungkin akan mengalami: rasa terbakar, tingling, shock like, shooting, hyperalgesia atau allodynia. Nyeri Neurogenik Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi , disfungsi atau gangguan sementara primer pada sistem saraf pusat atau perifer. Neuralgia Nyeri pada daerah distribusi saraf Neuritis Inflamasi pada sistem saraf Neuropati Gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf Jika mengenai 1 saraf disebut mononeuropati Pada beberapa saraf disebut mononeuropati multipleks Bersifat difus dan bilateral disebut polineuropati Alodinia Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri Hiperalgesia Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri. Hiperestesia Meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus, tidak termasuk didalamnya sensasi khusus (indera lain).

Hiperpatia Sindroma dengan nyeri bercirikan reaksi nyeri abnormal terhadap stimulus, khususnya terhadap stimulus berulang, seperti pada peninggian nilai ambang. Disestesia Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik bersifat spontan maupun dengan pencetus. Parestesia Sensasi abnormal, baik bersifatspontan maupun dengan pencetus. Analgesia Tidak adanya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan nyeri. Hipoalgesia Berkurangnya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan nyeri. Anestesia Hilangnya sensitivitas terhadap stimulus tidak termasuk sensasi khusus (indera lain). Hipoestesia Menurunnya sensitivitas terhadap stimulus, kecuali sensasi khusus (indera lain). Anestesia Dolorosa Nyeri pada area atau regio yang semestinya bersifat anestetik. Kausalgia Sindroma yang timbul pada lesi saraf pasca trauma yang ditandai nyeri seperti terbakar, alodinia, hiperpatia yang menetap, seringkali bercampur dengan disfungsi vasomotor serta sudomotor dan kemudian diikuti oleh gangguan trofik. Nyeri sentral Nyeri yang didahului atau disebabkan atau disfungsi primer pada sistem saraf pusat. Nyeri Neuropatik Perifer Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf perifer. Nosiseptor Reseptor yang sensitif terhadap stimulus noksius (yang merusak) atau terhadap stimulus yang merusak apabila berkepanjangan. Stimulus Noksius Stimulus yang menimbulkan kerusakan terhadap jaringan tubuh normal. Nilai Ambang Nyeri Intensitas stimulus terkecil yang dapat dirasakan sebagai nyeri. Tingkat Toleransi Nyeri Tingkat nyeri terbesar yang mampu ditoleransi subyek. Trigger Point Titik dalam satu area tertentu pada otot dan/ atau fasianya yang menimbulkan pola nyeri menjalar yang khas, dapat berupa kesemutan atau baal sebagai reaksi terhadap tekanan yang agak lama. Tender Point Nyeri lokal yang timbul pada otot, ligamentum, tendo atau jaringan periosteum pada penekanan yang agak lama.

Tujuan Penatalaksanaan Nyeri Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari Penatalaksanaan nyeri neuropati Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan analgesik opioid. Terapi utamanya: the tricyclic antidepressants (TCA's), the anticonvulsants and the systemic local anesthetics. Agen farmakologi yang lain: corticosteroids, topical therapy with substance P depletors, autonomic drugs and NMDA receptor antagonists. Contoh obat baru: pregabalin (Lyrica) dari Pfizer ? untuk nyeri neuropati ? Review Mekanisme nyeri Perifer Impuls ektopik (ectopic Discharge) Transmisi efaptik Sensitivitas terhadap katekolamin Perubahan neuropeptida pada serabut aferen nosiseptif primer Refleks spasme otot Rangsangan pada nervi nervorum Sentral Sensitisasi sentral Perubahan fenotip Sprouting serabut Ab ke lamina 2 rexed layer Peningkatan jumlah reseptor (contoh a2 di pre sinaptik medula spinalis Perubahan pada gene related C-fos Hilangnya kontrol inhibisi (disinhibisi) Lepas muatan epileptik dari neuron nosiseptif kortikal Adjuvant Therapy for Neuropathic Pain sumber

TEP 1 Intensitas nyeri: seberapa sering nyeri terjadi Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu Nyeri tekan: nyeri yang timbul bila ditekan didaerah yang terjdi kerusakan jaringan Nyri neuropatik: nyeri yang didahului atau disebabkan oleh kerusakan sistem saraf STEP 2 Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik dan intensitas nyeri STEP 3 Nyeri neuropatik 1. Definisi nyeri yang didahului atau disebabkan oleh kerusakan sistem saraf 2. Etiologi: Penyebab: dapat timbul dari kondisi (gangguan)yang mempengaruhi sistem saraf Tanda2: serangannya mendadak, tidak ada nyeri tekan 3. Patofisiologi:denyut jantung cpat,tkanan darah tinggi 4. Mekanisme: LI 5. Klasifikasi dan karakteristik: Klasifikasi Penyakit yang mendahului dan letak anatomisnya Perifer,dapat diaibatkan neuropati Medulla spinalis Otak Berdasarkan gejala Nyeri spontan Nyeri oleh karena stimulus Gabungan antara keduanya 6. Karakteristik: Intensitas nyeri 1. Definisi: Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu 2. Jenis: NOVI Pengukuran sensorik ad 3 meto Toleransi nyeri 3. Cara pengukuran nyeri: menggunakan respon FISiologi tubuh terhdp nyeri itu sndiri Tehniknya: Skala intersitas nyeri deskritif Skala intensitas nyeri numerik Skala analog visual Skala nyeri menurut bourbanis STEP 4 STIMULUS NON INFLAMASI INFLAMASI TERAPI

NEUROPATIK

STEP 5 LI SEMUA Nyeri neuropatik 1. Definisi nyeri yang didahului atau disebabkan oleh kerusakan sistem saraf 2. Etiologi: Penyebab: dapat timbul dari kondisi (gangguan)yang mempengaruhi sistem saraf Tanda2: serangannya mendadak, tidak ada nyeri tekan 3. Patofisiologi:denyut jantung cpat,tkanan darah tinggi 4. Mekanisme: LI 5. Klasifikasi dan karakteristik: Klasifikasi Penyakit yang mendahului dan letak anatomisnya Perifer,dapat diaibatkan neuropati Medulla spinalis Otak Berdasarkan gejala Nyeri spontan Nyeri oleh karena stimulus Gabungan antara keduanya 6. Karakteristik: Intensitas nyeri 1. Definisi: Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu 2. Jenis: NOVI Pengukuran sensorik ad 3 meto Toleransi nyeri 3. Cara pengukuran nyeri: menggunakan respon FISiologi tubuh terhdp nyeri itu sndiri Tehniknya: o Skala intersitas nyeri deskritif o Skala intensitas nyeri numerik o Skala analog visual o Skala nyeri menurut bourbanis STEP 6 BELAJAR MANDIRI STEP 7 Nyeri neuropatik 1. Definisi Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat

khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri neuropatik adalah non-self-limiting dan nyeri yang dialami bukan bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam proses patologi penyakit itu sendiri. Adalah nyeri yang timbul sebagai konsekuensi langsung terhadap adanya lesi atau penyakit yang mengenai somatosensorik.(sha2) Gejala klinik yang timbul akibat kelainan sistem perifer (medulla spinalis dan ganglion radix dorsalis) 2. Etiologi: a. Penyebab: Nyeri neuropatik dapat timbul dari kondisi yang mempengaruhi sistem saraf tepi atau pusat. Gangguan pada otak dan korda spinalis, seperti multiple sclerosis, stroke, dan spondilitis atau mielopati post traumatik Gangguan sistem saraf tepi yang terlibat dalam proses nyeri neuropatik termasuk penyakit pada saraf spinalis, ganglia dorsalis, dan saraf tepi. Kerusakan pada pada saraf tepi yang dihubungkan dengan amputasi, radikulopati, carpal tunnel syndrome dapat menyebabkan nyeri neuropatik Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksius, yang paling sering adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan low back pain, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropati adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi Disebabkan oleh kerusakan sistem saraf yang bertugas menghantarkan sensasi nyeri yang akan menimbulkan kehilang fungsi atau tanda2 defisit sensorik Suatu kelainan disepjang suatu jalur syaraf, yang akan menggang sinyal syaraf yang nantinya akan diartikan salah oleh syaraf. 3. Patofiologi Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel. Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal mechanosensitivity, thermosensitivity, dan chemosensitivity, Ectopic discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical) dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain. Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari

kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. 4. Mekanisme: Disfungsi sistem saraf yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri, dapat berasal dari: (A) sistem saraf perifer, (B) ganglion radiks dorsalis, dan (C) medula spinalis. Pada sistem saraf perifer dapat terjadi sensitisasi, autosensitisasi nosiseptor, heterosensitisasi reseptor non nosiseptif, impuls ektopik berkepanjangan, dan koneksi ephaptik. Perubahan fenotip sel saraf sensoris dapat terjadi pada ganglion radiks dorsalis. Pada medula spinalis, dapat terjadi sensitisasi sentral, peningkatan sensitivitas reseptor post sinaptik, dan disinhibisi (Andres dan Ribas, 2003). 5. Klasifikasi dan karakteristik: a. Berdasarkan penyakit yang mendahului dan letak anatomisnya, nyeri neuropati terbagi menjadi : Perifer, dapat diakibatkan oleh neuropati, nueralgia pasca herpes zoster, trauma susunan saraf pusat, radikulopati, neoplasma, dan lain-lain Medula spinalis, dapat diakibatkan oleh multiple sclerosis, trauma medula spinalis, neoplasma, arakhnoiditis, dan lain-lain Otak, dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain b. Berdasarkan gejala, nyeri neuropati terbagi menjadi : Nyeri spontan (independent pain) Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan nyeri oleh karena stimulus (evoked pain) Gabungan antara keduanya c. Berdasarkan letak lesi 1. Letak lesi di system aferen perifer, mulai Nyeri neuropatik perifer dari saraf tepi, ganglion radix dosalis sampai ke radix dorsalis Contoh : Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post Herpetik neuralgia (PHN), CRPS type I, CRPS type II, Trigeminal Neuralgia

Letak lesi dari medulla spinalis, sampai ke korteks 2. Nyeri neuropatik sentral Contoh : nyeri pasca stroke, sklerosis multiple, nyeri pasca trauma medulla spinalis d. Berdasarkan waktu terjadinya Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan 1. Nyeri neuropatik akut Contoh : neuralgia herpetika, acute inflammatory demyalinating neuropathy. nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan 2. Nyeri neuropatik kronik Dibagi menjadi 3 a) Malignan,,contoh: nyeri kanker/metastasis, pasca operatif, pasca radioterapi,pasca kemoterapi b) Non-malignan,,contoh: neuropatik diabetic, Sindroma Terowongan Karpal, neuropatik toksik, avulsi pleksus, trauma medulla spinalis, neuralgia pasca-herpes. e. Berdasrkan etiologi 1. Saraf tepi a. Trauma: neuropati jebakan, transeksi saraf termasuk pembedahan, kausalgia, amputasi dengan nyeri putung(stump pain), nyeri perut, nteri pasca torakotomi b. Mononeuropati: diabetes, infasi saraf/pleksus oleh keganasan, iradiasi pleksus, iradiasi iskemik c. Polineuropati: diabetes, alcohol, nutrisi, amoloid, penyakit fabry, isoniasid, idiopatik diskus (prolaps) Arakhnoiditis, Avulsi radiks, Rizotomi operatif dan penyebab Neuralgia pasca herpes 2. Radix dan ganglion transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio 3. Medulla spinalis f. Berdasrkan simetri/asimetri 1. Asimetri - Neuralgi kranialis - Oleh karena kompresi saraf - Neuroma - Neuropati pleksus - Metabolic/diabetic - Neuropatik angiopatik 2. Simetri - Metabolic - Toksin - Reaksi imun - Herediter Intensitas nyeri 1. Definisi: Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu Sesorang akan merasa nyeri jika terkena suhu lebih dari 45 drajat, terjadi karena kerusakan jaringan 2. Cara pengukuran nyeri: pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut : 1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik 3) Skala analog visual 4) Skala nyeri menurut bourbanis Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. Ada 3 tipe pengukuran nyeri yaitu : self-report measure, observational measure, dan pengukuran fisiologis. Self-report measure Pengukuran tersebut seringkali melibatkan penilaian nyeri pada beberapa jenis skala metrik. Seorang peenderita diminta untuk menilai sendiri rasa nyeri yang dirasakan apakan nyeri yang berat (sangat nyeri), kurang nyeri dan nyeri sedang. Menggunakan buku harian merupakan cara lain untuk memperoleh informasi baru tentang nyerinya jika rasa nyerinya terus menerus atau menetap atau kronik. Cara ini sangat membantu untuk mengukur pengaruh nyeri terhadap kehidupan pasien tersebut. Penilaian terhadap intensitas nyeri, kondisi psikis dan emosional atau keadaan affektif nyeri juga dapat dicatat. Self-report dianggap sebagai standar gold untuk pengukuran nyeri karena konsisten terhadap definisi/makna nyeri. Yang termasuk dalam self-report measure adalah skala pengukuran nyeri (misalnya VRS, VAS, dll), pain drawing, McGill Pain Quesioner, Diary, dll). Observational measure (pengukuran secara observasi) Pengukuran ini adalah metode lain dari pengukuran nyeri. Observational measure biasanya mengandalkan pada seorang terapis untuk mencapai kesempurnaan pengukuran dari berbagai aspek pengalaman nyeri dan biasanya berkaitan dengan tingkah laku penderita. Pengukuran ini relatif mahal karena membutuhkan waktu observasi yang lama. Pengukuran ini mungkin kurang sensitif terhadap komponen subyektif dan affektif dari nyeri. Yang termasuk dalam observational measure adalah pengukuran tingkah laku, fungsi, ROM, dan lain-lain.

Pengukuran fisiologis Perubahan biologis dapat digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut nadi mungkin menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan tersebut akan kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung lama. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran secara observasi lebih sulit dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernapasan, dll. Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas nyeri) dan pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri). Pengukuran komponen sensorik Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical Rating Scale (NRS). VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari no pain sampai nyeri hebat (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore 0, mild (kurang nyeri) dengan skore 1, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore 2, severe (nyeri keras) dengan skor 3, very severe (nyeri yang sangat keras) dengan skore 4. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini mempunyai keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 10 atau 0 100. Angka 0 berarti no pain dan 10 atau 100 berarti severe pain (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11 point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan. VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan ujung kanan diberi tanda bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya

yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992) LAPORAN HASIL SGD NYERI NEUROPATIK Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik dimana penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah dan baru dirasakan setelah terjadi komplikasi lanjut pada organ tubuh. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan dengan gejala sangat bervariasi. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan sampai ketika orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya. Terkadang gambaran klinik dari diabetes tidak jelas dan diabetes baru ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati. Sedikitnya setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia tidak mengetahui kalau mereka menderita diabetes karena hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pertambahan usia. Diabetes melitus pada lanjut usia umumnya adalah diabetes tipe yang tidak tergantung insulin (NIDDM). Prevalensi diabetes melitus makin meningkat pada lanjut usia. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang akibat peningkatan kemakmuran di negara yang bersangkutan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif. Jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia terus meningkat dimana saat ini diperkirakan sekitar 5 juta lebih penduduk Indonesia atau berarti 1 dari 40 penduduk Indonesia menderita diabetes. Penemuan diagnosa dini dan penanganan yang adekuat pada lanjut usia yang menderita

DM dipandang cukup penting artinya bagi kelangsungan hidup penderita. Selain itu skrining pada lanjut usia yang termasuk resiko tinggi untuk menderita DM juga sebaiknya dilakukan untuk menghindari terjadinya penyakit ataupun menghindari komplikasi yang lebih lanjut Etiologi Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Jadi untuk golongan lanjut usia diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi dari pada batas yang dipakai untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus pada orang dewasa yang bukan merupakan golongan lanjut usia. Intoleransi glukosa pada lanjut usia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, di samping karena pada lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Pada lebih 50 % lanjut usia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal, namun intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan diabetes melitus. Menurut Jeffrey, peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: - Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang - Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin, akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular. - Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan. - Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress, operasi. - Sering menggunakan bermacam-macam obat-obatan. - Adanya faktor keturunan.

Patosiologi Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri dari karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat. Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.

Klasifikasi dan Karakteristik Diabetes melitus

Diabetes melitus tipe I: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik maupun idiopatik. Diabetes melitus tipe II: Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Diabetes melitus tipe lain: 1. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity onset diabetes of the young (MODY) 1,2,3 DNA mitokondria

2. Defek genetik kerja insulin 3. Penyakit eksokrin pankreas 4. Endokrinopati :


Akromegali Sindrom Cushing Hipertiroidisme

5. Obat atau zat kimia 6. Infeksi


Citomegalovirus Rubela kongenital

7. Imunologi : Antibodi anti insulin 8. Sindrom genetik lainnya :


Sindrom Down Sindrom Klinefelter Sindrom Turner

Karakteristik Diabetes Melitus: DM TIPE I


Mudah terjadi ketoasidosis Pengobatan harus dengan insulin Onset akut Biasanya kurus Biasanya terjadi pada umur yang masih muda Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4 Didapatkan antibodi sel islet 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga 30-50 % kembar identik terkena

DM TIPE II

Sukar terjadi ketoasidosis Pengobatan tidak harus dengan insulin Onset lambat Gemuk atau tidak gemuk Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun

Tidak berhubungan dengan HLA Tidak ada antibodi sel islet 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga 100% kembar identik terkena

Tanda dan Gejala Diabetes Melitus Keluhan umum pada pasien diabetes melitus atau DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lanjut usia pada umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien ialah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai dengan komplikasi yang lebih lanjut. Hal yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah adanya keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh, antara lain :

Gangguan penglihatan : katarak Kelainan kulit : gatal dan bisul-bisul Kesemutan, rasa baal Kelemahan tubuh Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh Infeksi saluran kemih

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah lipatan kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Rasa baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga merupakan keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah keluhan mata kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun gangguan-gangguan refraksi akibat perubahanperubahan pada lensa akibat hiperglikemia. Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus pada lanjut usia:

Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala awal. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi traktus urinarius sulit untuk disembuhkan. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot dan rasa sakit, mononeuropati, disfungsi otomatis dari traktus gastrointestinal (diare), sistem

kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan inkontinensia stress. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemi, angina, dan infark miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan stroke), atau perdarahan darah tepi (tungkai diabetes dan gangren). Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat), ginjal (proteinuria, glomerulopati, uremia).

DIABETES MELITUS
Konsep dasar Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, di sertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron ( Mansjoer Arif dkk, 1999 ). Diabetes Melitus adalah masalah yang mengancam hidup (kasus darurat) yang disebabkan oleh defisiensi insulin (Doenges M. E, 2000).Menurut WHO, Diabetes Melitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Sedangkan menurut Prince, A. S, 1999 : Diabets Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara klinis dan genetik termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Diabetes Melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan atau herediter, yang menyebabkan gangguan metabolik berupa defisiensi insulin akibat gangguan hormonal sehingga menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh yang lain, seperti pada: mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi Diabetes Melitus terdiri atas : 1. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) termasuk dalam tipe satu di mana insulin tidak lagi diproduksi pankreas. 2. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) termasuk dalam tipe dua dimana pankreas masih dapat memproduksi insulin. 3. Gestational Diabetes Melitus pada golongan ini hanya terjadi pada ibu hamil. 4. Gangguan toleransi glukosa. 5. Malnutrisi Related Diabetes Melitus. Anatomi dan Fisiologi Pankreas

Pankreas adalah kelenjar majemuk bertandan , strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah, panjangnya kurang lebih 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa, terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang retroperitonial dan terdiri dari tiga bagian, yaitu : 1. Kepala pankreas, yang paling lebar, terletak disebelah kanan rongga abdomen dan didalam lekukan duodenum. 2. Badan pankreas, merupakan bagian utama pada organ tersebut dan letaknya dibelakang lambung dan didepan vertebra lumbalis pertama. 3. Ekor pankreas, adalah bagian yang runcing disebelah kiri dan menyentuh limpa. Jaringan pankreas terdiri atas lobula daripada sel sekretori yang tersusun mengitari saluran-saluran halus. Saluran ini mulai dari persambungan saluran kecil dari lobula yang terletak didalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari kiri ke kanan. Saluran kecil itu menerima saluran dari lobula lain dan kemudian bersatu. Pankreas merupakan kelenjar ganda yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian eksokrine dan endokrine. Dimana eksokrine dilaksanakan oleh sel sekretori lobula yang membentuk cairan getah pankreas dan yang berisi enzim dan elektrolit untuk pencernaan sebanyak 1500 sampai 2500 ml sehari dengan pH 8 sampai 8,3. Cairan ini dikeluarkan akibat rangsangan dari hormon sekretin dan pankreoenzimin. Sedangkan endokrine terdapat di alveoli pankreas berupa massa pulau kecil yang tersebar diseluruh pangkreas dan disebut Pulau Lengerhans . Setiap pulau berdiameter 75 sampai 150 mikron yang terdiri sel Beta 75 %, sel Alfa 20 %, sel Delta 5 % dan beberapa sel C. Sel Alfa menghasilkan glukagon dan sel Beta merupakan sumber insulin sedangkan sel delta mengeluarkan somatostatin, gastrin dan polipeptida pankreas. Etiologi Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau Diabetes tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel beta pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer. A dkk, 1999). Patofisiologi Keadaan tubuh yang sehat makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin serta air dalam saluran cerna dipecah menjadi polisakarida, glukosa menjadi monosakarida, mengalir dalam pembuluh darah vena porta sehingga terjadi rangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin. Monosakarida disimpan diotot dan hati sebagai dalam glikogen, sisanya beredar dalam pembuluh darah dan dikontrol oleh insulin.

Jika glukosa berkurang maka terjadi pemecahan glikogen yang disebabkan oleh reaksi glikogenolisis. Sedangkan bila kadar glukosa berlebihan maka disimpan dalam bentuk glikogen, reaksi ini disebut glikogenesis. Pada penderita Diabetes Melitus terjadi pengeluaran glukosa yang berlebihan di liver melalui glikogenolisis dan glikoneogenesis serta oleh tidak adekuatnya penggunaan glukosa oleh otot-otot skeletal, jaringan adiposa dan hati. Trigliserida ditransformasi dari sel-sel menuju kehati dirubah menjadi keton yang digunakan oleh otot. Pada IDDM sekresi insulin sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, sedangkan pada NIDDM terdapat ketidak sesuaian Glukosa Sinsing Mekanism oleh sel beta pankreas. Demikian pula pada obesitas, ada penurunan jumlah reseptor insulin pada membran sel otot dan sel lemak. Pada obesitas di ekskresikan sejumlah besar insulin, tapi tidak efektif penggunaannya karena berkurangnya jumlah reseptor insulin. Saat glukosa darah meningkat tubulus renal tak mampu mereabsorsi seluruh glukosa saat glumerolus filtrasi sehingga tidak terjadi glukosuria. Glukosa darah yang tinggi menyebabkan osmotik diuresis karena gula bersifat mengikat air. Air, sodium, clorida, photasium dan phospat menjadi hilang keluar bersama urin, sehingga klien menjadi haus. Bila insulin defisiensi atau tidak ada, glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan menyebabkan sel dalam keadaan lapar, tetapi di pihak lain glukosa meningkat dalam tubuh. Jika sel tidak dapat memakai glukosa sebagai bahan bakar,maka alternatif yang digunakan yaitu dengan memecah asam lemak, keton bodies dalam jumlah terbatas. Keton bodies ini berhasil digunakan oleh sel sebagai energi Manifestasi klinis Tanda dan gejala yang biasa terjadi pada Diabetes Melitus adalah dengan adanya gejala khas berupa klien banyak makan (polifagia), banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), paralysis, parastesisa. Kadar glukosa dalam darah yang tinggi menyebabkan klien banyak mengeluarkan urin (poliuria), tubuh akan memerlukan lebih banyak air untuk mengimbangi jumlah besar cairan yang keluar sebagai urine, oleh karena itu klien merasa haus. Tanda-tanda lain badan terasa lemas dan berat badan menurun, gejala lain yang mungkin dikeluhkan oleh klien Diabetes Melitus adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensi pada pria serta pruritus vulva pada wanita. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penyaringan perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk Diabetes Mellitus, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, hipertensi, riwayat keluarga diabetes mellitus, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir > 4.000 gr, riwayat Diabetes Melitus pada kehamilan dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa sewaktu, kadar gula darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk pemeriksaan penyaringan ulangan tiap tahun bagi pasien berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan tiap tiga tahun

Komplikasi Berbagai komplikasi dapat terjadi pada klien dengan Diabetes Melitus: 1. Akut : Koma hipoglikemia, ketoasidosis, koma hiperosmolar nonketotik. 2. Kronik : Makroangiopati, Mikroangiopati, Neuropati, Nefropati, Retinopati, kaki diebetik. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam jangka pendek bertujuan untuk menghilangkan keluhan atau gejala Diabetes Melitus. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa darah, lipid, dan insulin. Lebih penting pula mengajarkan agar pasien mampu mandiri dan hidup normal dengan Diabetes Melitusnya. 1. Terapi diet, klien Diabetes Melitus dianjurkan dengan diet tinggi serat dengan prinsip jumlah kalori yang tepat, gula dan produk gula dilarang, diit sesuai pola hidup, tinggi serat, cukup vitamin dan mineral. 2. Terapi latihan, dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 4 kali setiap minggu selama setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, joging, lari, renang, bersepeda dan mendayung. Hal yang perlu diperhatikan jangan memulai olah raga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, selalu didampingi oleh orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai penderita Diabetes Melitus, selalu memeriksa kaki secara cermat setelah olah raga. 3. Terapi insulin, diberikan sebagai bantuan bila klien telah melakukan pengaturan makan dan olah raga tetapi belum berhasil. Manajemen Diet 1. 2. 3. 4. Diet berisi kalori, protein dan vitamin serta mineral yang adekuat 30 kal/kgBB. Dapat ditambah 35-40 kal/kgBB untuk aktifitas yang meningkat. Dapat dikurangi 15 25 kal/kg BB untuk pasien gemuk / kurang Beraktifitas. Tinggi serat.

You might also like