You are on page 1of 5

Filsafat, Teologi dan Tasawuf

Semua agama pada hakikatnya terbentuk berdasarkan wahyu dan tafsir terhadap wahyu itu. Yang pertama bersifat pasti dan tetap, oleh karena merupakan pernyataan aktual dari kehendak Allah, serta mengandung kebenaran-kebenaran abadi. Adapun yang kedua, merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu dan bersifat subyektif. Selama berabad-abad, wahyu bertahan tanpa mengalami sesuatu perubahan apa pun, sedangkan tafsir, dalam perjalanan masa, menjadi sasaran tekanan, baik oleh kekuatan dalam maupun luar, sehingga membentuk masyarakat Islam yang beragam. Di tengah pergumulan sejarah pemikiran Islam yang beragam itu, hadir filsafat, teologi dan tasawuf dengan saling berkaitan. Ketiganya membahas tentang teodosi, antropologi, eskatologi dan alam. Teodosi menyangkut kenyataan bahwa Allah itu Ada, Kekal, Maha Kuasa, Tunggal, Pencipta langit dan bumi, Pengasih, Maha Tahu. KehendakNya bersifat kreatif. Walaupun Ia transenden, tetapi Ia tidak jauh dari manusia yang bermohon kepadaNya. Antropologi menyangkut kenyataan bahwa manusia diciptakan langsung oleh Allah. Adam dan Hawa telah membangkang, tetapi dosanya tidak temurun kepada anak turun mereka. Masing-masing jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Manusia telah diciptakan agar menyembah kepada Allah dan mengabdi kepadaNya. Maka seorang muslim adalah yang hidup di bawah ajaran Allah, dan masyarakat Islam adalah masyarakat yang teosentris. Eskatologi menyangkut kenyataan bahwa manusia di atas bumi ini adalah pengelana. Takdirnya di alam baka. Maut ada di tangan Allah dan jika waktunya tiba tidak dapat ditawar. Jasadnya akan hancur, tetapi suatu hari akan dihidupkan kembali dan ikut menikmati kenikmatan surga atau menanggung adzab neraka. Pembentukan pemikiran filsafat Islam adalah hasil pertemuan umat Islam dengan filsafat Yunani di Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma'mun pada abad ke-9. Filsafat Yunani yang diterima masyarakat Islam pada saat itu tidak saja yang dari Plato dan Aristoteles, tetapi dari para penerusnya yang sudah mengembangkan atau menafsirkannya. Di samping Platonisme dan Aristotelianisme, terdapat juga Stoiksime, Pitogorisme dan Neo-Platonisme dari Plotinus dan Proclus. Dengan demikian, filsafat Islam itu berpangkal dari al-Qur'an dan ajaran Islam, serta basis rasional dari filsafat Yunani, bertujuan untuk menggapai kebijaksanaan yang biasa disebut dengan hikmah. Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd yakin akan ketunggalan pengetahuan yang dimahkotai dengan metafisika atau ilahiyyat. Dalam karyanya Ihsa' al Ulum, al-Farabi mendaftar aneka ragam ilmu, menguraikan masing-masing dan akhirnya menyebutkan filsafat sebagai mahkotanya, karena filsafat dianggap dapat menjamin kepastian pengetahuan seperti yang didapat melalui penalaran apodeistik. Dalam karyanya al Syifa, Ibn Sina merangkum seluruh ilmu pengetahuan sebagai berikut: logika, fisika, matematika dan metafisika. Dalam kawasan metafisika Ibn Sina memasukkan semua data yang diwahyukan yang termuat dalam al-Qur'an. Ia membuktikan bahwa Allah adalah Maha Kuasa, Pencipta segala sesuatu. Ia menguraikan masalah kejahatan dengan membedakan antara sebab-sebab per se dan sebab-sebab per accident. Ia pun membicarakan masalah kebangkitan daging yang peka itu. Di sini ia melakukan more philosophico dan menghubungkannya dengan ilmu pengetahun agama yang sesuai, dengan menempatkan prinsip-prinsip keyakinan sebagai masalah. Selanjutnya dengan penalaran falsafi ia menunjukkan sifat totaliter kebijaksanaan metafisik dengan

filosof. Ibn Sina berusaha menemukan kembali perintah-perintah sosial positif alQur'an; kekhalifahan, struktur keluarga, pembenaran poligami, talak dan lain-lain. Ibn Rusyd bahkan lebih jauh lagi. Menurutnya terdapat tiga macam pendapat, sesuai dengan tiga macam argumen yang dikemukakan oleh Arestoteles. Pertama, pendapat yang bersifat membuktikan (demonstratif) dapat mengikuti argumen yang setepat-tepatnya dan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang perlu dan terang. Perangkaian antara pembuktian-pembuktian inilah yang merupakan filsafat, tetapi ini hanya bisa dipahami oleh sebagian kecil pikiran yang cukup berbakat untuk mencurahkan dirinya dalam masalah ini. Kedua, pendapat logis yang sudah puas dengan argumen-argumen yang bersifat kemungkinan. Ketiga, pendapat yang cenderung pada desakan atau argumen oratorik yang tidak mampu mengikuti formal. Hal ini dimiliki oleh semua orang biasa. Mayoritas manusia hanya dapat menangkap daya khayal (imajinasi) dan kegairahan. Tetapi salah satu sifat ajaib al-Qur'an, menurut Ibn Rusyd, adalah bahwa ia dapat dipahami oleh semua kategori yang tiga di atas. Masing-masing dari mereka memahaminya sesuai dengan kemampuan intelektualnya sendiri-sendiri. Tentang ayat-ayat yang jelas (al muhkamat) tidak ditemukan masalah. Semua bisa dipahami dan diterima oleh semua orang dalam maknanya yang jelas. Tetapi, tentang ayat-ayat yang mendua maknanya (menggunakan lambang-lambang dan kiasan) dan membutuhkan pemahaman yang lebih karena memiliki arti yang lebih dalam dan tersembunyi, tidak dapat dipahami oleh semua orang. Hanya para filosof, jiwa-jiwa yang terpilih, yang mempu menyelami rangkaian penalaran sempurna atau memahami maknanya yang lebih dalam. Meskipun demikian, ditemukan kekacauan ketika muncul pemahaman dari kelompok mutakallimun, karena ketika tidak menerima pembuktian apodeiktis, mereka mencari jalan lain pada penalaran dialektis, yang ternyata tidak memberikan hasil. Maka Ibn Rusyd sangat keras dengan para mutakallimun itu, dan menghimbau kepada penguasa untuk mencegah mereka agar tidak meneruskan kejahatannya. Di tengah permasalahan tersebut, filsafat Islam lahir memberikan fungsinya dengan memunculkan kebijaksanaan. Ia mengandung unsur-unsur keagamaan yang diambil dari al-Qur'an. Bersungguh-sungguh berusaha menggabungkan agama dan akal untuk memberikan status keilmuan pada yang pertama. Ia menerapkan struktur filsafat Yunani pada prinsip-prinsip agama dan dengan demikian juga memberikan gema keagamaan pada filsafat Yunani, suatu hal yang tidak terdapat pada guru-guru Yunani itu. Dengan demikian ia bisa mendapatkan tanggapan dari pendapat-pendapat keagamaan atau setidak-tidaknya dari mereka yang ingin menyelaraskan kepercayaan mereka dengan akal dan ilmu pengetahuan. Inilah dasar keberhasilan metafisika Ibn Sina. Akhirnya, filsafat Islam menunjukkan kegemarannya akan masalah pengetahuan dan dasar-dasar psikologi serta ontologinya. Dalam risalah-risalah al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina ditemukan analisis yang mendalam mengenai beberapa kekuasaan makhluk dan tingkat-tingkat yang harus dilalui untuk mencapai kesatuan dengan sumber segala makhluk, termasuk tingkat penyucian moral. Dengan demikian, NeoPlatonisme Yunani mendapatkan dirinya diperkuat oleh penjelasan-penjelasan tertentu yang berasal dari al-Qur'an. Teologi (kalam) merupakan pemikiran yang menghimpun dogma-dogma tentang keimanan. Dalam sejarah pemikiran Islam dikenal al-Asy'ari dengan kitabnya al Maqalat, al Ibanah, al-Baghdadi dengan kitabnya al Farqu bayn al Firaq, alSyahrastani dengan kitabnya al Milal wa al Nihal, yang berhasil memberikan pendirian baru mengenai pengelompokan keimanan itu. Ibn Hazm dalam risalahnya

membagi kajiannya menjadi dua; pertama, tentang sekte-sekte non Islam, dan yang kedua tentang madzhab dan sekte Islam. Di antara kelompok teologi dalam Islam yang terkenal adalah Muktazilah. Mereka dipandang sebagai filosof sekaligus sebagai teolog yang berusaha memikirkan masalah dogma sesuai dengan kebutuhan akal dan mempertahankan akal dari pengecam-pengecamnya. Merekalah orang pertama yang berusaha memberikan pengenalan tentang iman keagamaan secara sistematik. Banyak di antara teolog muslim, khususnya kalangan Muktazilah, yang membaca karya Aristoteles, sehinga pengaruh filsafat terhadap para teolog sangat kental sehingga tulisan mereka di kemudian hari menjadi mirip dengan tulisan para filosof. Ketika kalam memperluas bidangnya, filsafat lalu menyusup ke dalamnya sehingga masalah-masalah yang semestinya termasuk teologi, pada akhir analisisnya masuk ke dalam wilayah metafisika dan kosmologi. Karya-karya yang dapat dijadikan contoh adalah Nihayat al Aqdam, karya al-Syahrastani, Muhassal, karya al-Baydawi, Mawaqif, karya al-Iji. Karya-karya tentang kalam tersebut bukan suatu keutuhan yang tersusun ilmiah, atau suatu sentesis menyeluruh atas semua data wahyu, tetapi merupakan suatu apologetik defensif, yang pusat masalahnya tergantung pada serangan-serangan dari lawan-lawannya. sebenarnya adalah sebagai suatu apologetif defensif. Kalam sebagai ilmu pengetahuan rasional tidak berusaha untuk memastikan dasar-dasarnya tetapi juga tidak membikin kesimpulan-kesimpulannya sebagai keutuhan, oleh karena keduanya telah menjadi pembenaran satu-satunya bagi data wahyu, seperti telah ditegaskan oleh ilmu pengetahuan berkenaan dengan tradisi. Selain melahirkan teologi, filsafat dalam Islam juga melahirkan tasawuf. Banyak teori yang dikemukakan mengenai kemunculan tasawuf; monastikisme Syria, Neo-Platonisme, Zoroaster Persia dan Vedanta India. Di antara tokoh paling berpengaruh dalam bidang tasawuf adalah al-Muhasibi dan al-Junaid adalah di antara yang terpengaruh olehnya. Di antara tokoh berpengaruh lainnya adalah al-Ghazali, yang memahami dengan mendalam ilmu pengetahuan agama Islam, memahami filsafat dan terpengaruh oleh Neo Platonisme. Lalu apa hubungan antara filsafat dan tasawuf? Dalam penjelasan di atas telah disebutkan bahwa kata filsafat (al falsafah) berasal dari bahasa Yunani yang sudah mengalami Arabisasi, yaitu berasal dari kata philo yang berarti mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Kebijaksanaan (hikmah) adalah penyempurnaan jiwa manusia dengan cara menganalisa segala perkara yang dihadapinya dan meyakini segala bentuk kebenaran teoritik maupun praktis sesuai dengan kemampuan dirinya sebagai manusia, sehingga dapat memahami dengan baik bagaimana hidup bermasyarakat, berkeluarga, mana yang baik dan mana yang buruk. Semua itu, dapat dilakukan oleh manusia jika ia mengetahui keberadaan Allah (al marifah bi Allah), karena dengan mengetahui keberadaan Allah, manusia akan menjauhi perbuatan yang buruk untuk melakukan perbuatan yang baik. Maka inti daripada filsafat Islam adalah mengungkap kebaradaan Allah. Artinya, filsafat adalah sarana untuk mencapai pengenalan diri dengan Allah. Sementara tasawuf atau sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiosasi dan intensifikasi dari keyakinan dan praktik Islam. Memang belum ditemukan kata sepakat di antara peneliti tentang arti sebenarnya dari sufisme, baik pada tataran etimologis maupun

terminologis. Tidak adanya kesepakatan definisi dari tasawuf itu dapat dilihat dari beberapa istilah yang beragam, terkadang disebut sebagai mistisisme Islam, terkadang pula disebut sebagai esoterisisme Islam. Pada tataran etimologis sering ditemukan pendapat yang menyebut tasawuf berasal dari kata sawf yang berarti wol, artinya seorang sufi adalah seseorang yang berbusana wol. Pada abad ke-8 kata tersebut digunakan untuk menyebut orang muslim yang karena kecenderungan asketisnya menggunakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman. Tetapi secara bertahap istilah ini digunakan untuk menunjuk sekelompok orang muslim yang membedakan dirinya dari yang lain dengan cara menekankan ajaran-ajaran dan praktik-praktik khusus dari al-Quran dan sunnah. Tidak ditemukannya kata sepakat terhadap definisi tasawuf, menyulitkan kita untuk membedakan mana yang sufi dan mana yang bukan. Menjadi sufi tentu saja tidak berkaitan dengan pemisahan diri dari Sunni atau Shiah ataupun dengan madzhabmadzhab fiqh dalam Islam. Secara umum, istilah tasawuf sering digunakan untuk menyebut sekelompok muslim yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh seruan Allah untuk menyadari kehadiranNya, baik di dunia maupun di akhirat, di mana mereka lebih menekankan halhal batiniah di atas lahiriah, kontemplasi di atas tindakan, perkembangan spiritual di atas aturan hukum dan pembinaan jiwa di atas interaksi sosial. Pada tingkat teologi misalnya tasawuf berbicara perihal ampunan, keagungan dan keindahan Tuhan. Intinya adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat selalu merasakan bahwa Allah selalu hadir bersama manusia. Keyakinan ini biasa digambarkan dalam konsep yang biasa disebut dengan istilah ihsan. Untuk menumbuhkan konsep ihsan pada diri setiap muslim, Nabi mengajarkannya melalui Hadithnya an tabud Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya, jika tidak mampu, dengan menumbuhkan keyakinan bahwa Allah Melihat kita). Konsep ini dimunculkan berdasarkan pada kayakinan bahwa sebab manusia melakukan keburukan adalah karena kurang memiliki keyakinan bahwa Allah selalu melihatnya. Pentingnya ajaran tasawuf dalam Islam tidak lepas dari adanya dua unsur yang saling melengkapi, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Unsur lahir diwakili oleh shariah, sementara unsur batin diwakili oleh haqiqah. Shariah merupakan pintu masuk menuju haqiqah, dan haqiqah merupakan tujuan yang dari pelaksanaan shariah. Perbedaan antara shariah dan haqiqah dapat diibaratkan seperti kulit dan isi atau lingkaran dan titik tengahnya. Rene Guenon, seorang tokoh ternama dalam mistisisme Kristen yang kemudian masuk Islam melalui pendekatan sufisme mengatakan bahwa antara shariah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan. Demikian pula dengan Abu Ali al-Daqqaq juga mengatakan bahwa antara shariah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Ia

menggambarkan bahwa ayat iyyaka nabud sebagai ayat yang berkonotasi shariah, sementara iyyaka nastain sebagai ayat yang berkonotasi haqiqah. Memang banyak kalangan, terutama orientalis, mengatakan bahwa ajaran tasawuf bersumber dari agama Hindu atau Budha. Adapula yang menyebut bahwa tasawuf bersumber dari ajaran Kristen. Memang tuduhan itu sangat berasalan, karena antara ajaran tasawuf dalam Islam dan mistisisme dalam Kristen, Hindu dan Budha terdapat kesamaan, seperti konsep wahdat al wujud, yang dalam ajaran Hindu atau Budha disebut dengan Vedanta. Selain itu banyak tokoh sufi dalam Islam yang berasal dari non-Arab, seperti Ibrahim bin Adham, Shaqiq al-Balkhi, Abu Yazid al-Bustami, Yahya bin Muadh dan lain sebagainya. Di samping itu ajaran tasawuf tumbuh dan berkembang di Khurasan, sebuah kawasan di Persia yang erat sekali dengan budaya Hindu dan Budha. Jika dilihat tujuan dari kajian filsafat dalam Islam dan tasawuf dapat ditarik kesimpulan bahwa kedunya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Allah, sehingga mau melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan jiwa. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa korelasi antara filsafat dalam Islam dan tasawuf adalah sebagai berikut; filsafat lebih bersifat teoritik, sementara tasawuf lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah, di mana filsafat sebagai sarana teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi tujuan belajar filsafat Islam adalah untuk mencapai wilayah tasawuf. Dalam rangka menggapai tujuan tersebut, Fakultas Ushuluddin

You might also like