You are on page 1of 26

PEMBENTUKAN FILSAFAT MODERN SEBAGAI ASPEK UTAMA DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT

Makalah

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah Yang dibimbing oleh Prof. Dr. Hariyono, M.Pd.

Oleh Chandra Ferry P. Claufia Rosa Estamala Lusi Pratiwi Moh. Dani Ariantono (100731403656)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FEBRUARI, 2013

DAFTAR ISI

Daftar Isi Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah.. I.2 Rumusan Masalah... I.3 Tujuan.. Bab II Pembahasan 2.1 Latar Belakang Filsafat Sebelum Terbentuknya Filsafat Modern.. 2.2 Filsafat Modern dalam Proses Pembentukannya 2.3 Perkembangan Filsafat Sejarah Barat Pasca Filsafat Modern Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan. 3.2 Saran... Daftar Rujukan...

PEMBENTUKAN FILSAFAT MODERN SEBAGAI ASPEK UTAMA DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Filsafat mengandung banyak pengertian. Kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia yang diturunkan dari kata kerja filosofein yang berarti: mencintai kebijaksanaan (Hadiwijoyo, 2005: 7). Dalam hal ini filsafat diartikan sebagai himbauan kepada kebijaksanaan. Maksudnya adalah bahwa kebijaksanaan itu belum diraih atau masih diusahakan untuk dicapai. Berdasarkan pengertian tersebut, seorang filsuf dalam filsafat di Barat dimaknai sebagai orang yang sedang mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Menurut Barness (dalam Basalim, 2010: 1) mengatakan bahwa, Lahirnya pemikiran di Barat berupa filsafat, ilmu pengetahuan, kebudayaan hingga berkembangnya peradaban Barat pada dasarnya berasal dari proses dan `pergumulan` dari interaksi peradaban besar yang telah ada sebelumnya, yaitu peradaban Yunani-Romawi, Judio-Kristiani, dan Islam. Filsafat Sejarah Barat pada dasarnya terbagi menjadi 4 periodesasi, meliputi Filsafat Kuno, Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik), Filsafat Modern serta Filsafat Abad ke-19 dan 20. Masing-masing pembagian filsafat memiliki karakteristik yang berbeda dan saling terkait satu sama lain dalam perkembangannya. Makalah ini akan memaparkan semua filsafat yang pernah ada dalam hal karakteristik sebab masing-masing memberikan pengaruh pada perkembangan Filsafat Sejarah Barat. Namun, pokok pembahasan lebih terfokus pada pembentukan Filsafat Modern. Filsafat Modern merupakan Filsafat Barat dalam arti yang sebenarnya (Hadiwijoyo: 2005: 10). Hal ini disebabkan karena baru pada zaman setelah abad pertengahan bermunculan berbagai pemikiran di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu makalah ini menyajikan tiga pembahasan, antara lain: latar belakang filsafat sebelum terbentuknya Filsafat Modern, proses pembentukan Filsafat Modern, dan perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca

munculnya Filsafat Modern. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui dengan jelas mengenai karakteristik dari Filsafat Sejarah Barat.

I.2 RUMUSAN MASALAH Ada pun rumusan masalah yang menjadi topik bahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: I.2.1 Bagaimana latar belakang filsafat sebelum terbentuknya Filsafat Modern? I.2.2 Bagaimana Filsafat Modern dalam proses pembentukannya? I.2.3 Bagaimana perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca Filsafat Modern?

I.3 TUJUAN Mengacu pada rumusan masalah di atas tujuan penulisan makah ini antara lain sebagai berikut: I.3.1 Mengetahui dan memahami filsafat sebelum zaman Filsafat Modern I.3.2 Mengetahui dan memahami proses pembentukan Filsafat Modern I.3.3 Mengetahui dan memahami perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca zaman Filsafat Modern

BAB II PEMBAHASAN 2.1 LATAR BELAKANG FILSAFAT SEBELUM TERBENTUKNYA FILSAFAT MODERN Perkembangan filsafat dibagi menjadi empat periodesasi, yaitu Filsafat Kuno, Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik), Filsafat Modern, dan Filsafat Abad ke-19 dan 20. Berikut ini bagan perkembangan filsafat yang memberikan pengaruh pada Filsafat Sejarah Barat:
Filsafat Pra Sokrates Filsafat Sokrates, Plato, dan Aristoteles Filsafat Kuno Filsafat Barat Filsafat HelenisRomawi Filsafat Patristik Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik)

Filsafat Modern Filsafat Abad ke-19 dan 20

Filsafat Jerman Filsafat Prancis Filsafat Inggris

Filsafat Amerika & Rusia


Sumber bagan: Hasil olahan penulis

Melalui skema di atas penulis berusaha memaparkan Filsafat Sejarah Barat dalam setiap periodesasi. Dalam bab ini diuraikan tentang Filsafat Kuno dan karakteristiknya. Filsafat kuno merupakan cikal bakal dari perkembangan Filsafat Modern, yang merupakan arti sebenarnya dari Filsafat Sejarah Barat. Pada zaman

inilah asal dari lahir dan berkembangnya filsafat yang ada sampai saat ini. Pemikiran pada zaman ini bersumber dari Yunani. Ada pun garis besar dari Filsafat Kuno adalah sebagai berikut. Filsafat kuno dilahirkan atas kemenangan akal atas dongengdongeng atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal-mula segala sesuatu, baik dunia maupun manusia Para filsuf pertama adalah orang-orang yang mulai meragukan cerita mite-mite dan mulai mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu Pendekatan yang rasional demikian itu menghasilkan suatu pendapat yang dapat dikontrol, dapat diteliti akal dan dapat diperdebatkan kebenarannya (Hadiwijono, 2005: 15). Berdasarkan garis besar tersebut dapat diambil beberapa karakteristik yang menjadi ciri dari Filsafat Kuno. Berikut beberapa karakteristik dari Filsafat Kuno pada abad ke-6 SM: 1. 2. 3. 4. 5. Ketidakpuasan akal manusia atas dongeng atau mite yang ada Adanya filsuf-filsuf alam Munculnya pemikiran yang rasional Belum ada pemisahan yang jelas antara filsafat dan ilmu pengetahuan Hal yang lebih diperhatikan adalah alam, bukan manusia

Kelima unsur yang menjadi karakteristik Filsafat Kuno tersebut dapat dilihat wujud konkretnya pada hasil pemikiran-pemikiran para filsuf pra Sokrates, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Thales ( 625-545 SM) Anaximandros ( 610-540 SM) Anaximentes ( 538-480 SM) Xenophanes ( 570-480 SM) Herakleitos ( 540-475 SM) Parmenides ( 540-475 SM) Empedokles (492-432 SM) Anaxagoras (499-420 SM) Leukippos dan Demokritos ( 460-370 SM)

Tokoh-tokoh pra Sokrates merupakan tokoh-tokoh yang memiliki sasaran penyelidikan terhadap jagat raya. Mereka Pengamatan yang mereka lakukan adalah pengamatan terhadap sesuatu yang bisa diamati. Bahkan menurut Hadiwijono (2005: 16) banyak sekali pernyataan-pernyataan mereka yang mengenai gejala-gejala alam, bahwa perhatian besar kepada gejala-gejala alam itu bersifat filsafati, bukan bersifat keagamaan atau perhatian biasa. Pemikiran mendalam mengenai alam inilah karakteristik utama dari para filsuf pra Sokrates. Perkembangan selanjutnya dari Filsafat Kuno adalah munculnya filsuf Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Menurut Cicero (dalam Hadiwijono, 2005: 32), Sokrates memindahkan filsafat dari langit ke bumi, artinya: sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Manusia dijadikan sebagai objek pemikiran. Selain itu, Noer (1983: 5) mengungkap pemikiran Socrates bahwa, Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai dan tiap-tiap pendirian dapat dibenarkan dengan jalan retorika. Berikut ini karakteristik Filsafat Kuno yang tercermin dari hasil pemikiran Sokrates (469-399 SM): 1. 2. 3. 4. Adanya kebenaran yang objektif Ajarannya bukan untuk meyakinkan orang lain, melainkan untuk Cara pengajaran dialektika, dalam pengajaran dialog memegang peranan Keutamaan adalah pengetahuan Poin ke empat, yaitu Keutamaan adalah pengetahuan merupakan pemikiran dari Sokrates yang memiliki kekuatan utama sebagai pendirian Sokrates. Keutamaan atau kebajikan adalah pengetahuan tentang yang baik. Berdasarkan pemikirannya tersebut, menurut Sokrates tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah. Kalaupun orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena mereka tidak berpengetahuan. Jadi, baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia. Filsuf kuno yang banyak dikenal orang karena karya-karyanya adalah Plato (427-347 SM). Berikut ini karakteristik Filsafat Kuno yang tercermin dari hasil pemikiran Plato: 1. Hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh gerak serta

mendorong orang lain supaya mengetahui dan menyadari sendiri yang penting

perubahan tentu ada yang tetap, tidak berubah 2. 3. 4. 5. Segala sesuatu yang berubah dikenal oleh pengamatan, sedangkan yang Dunia harus diatur oleh manusia Ada dua macam dunia, yaitu dunia ini dan dunia idea Negara harus berfungsi sebagai dokter Hasil pemikiran Plato yang telah disebutkan di atas pada intinya sama dengan yang telah dirangkum oleh Hadiwijono (2005: 43) berikut ini. Bahwa Plato menekankan kepada kebenaran yang di luar dunia ini, hal itu tidak berarti, bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongkrit ini dianggap penting juga. Hanya saja, hal yang sempurna tidak dapat dicapai di dalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin . Agar supaya orang dapat hidup baik harus mendapat pendidikan. Pendidikan bukanlah hanya soal akal semata-mata, tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarahkan diri kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsunafsu. Sama halnya dengan Plato, Aristoteles juga merupakan seorang filsuf kuno yang dikenal melaui karya-karyanya. Berikut ini tahap perkembangan pemikiran Aristoteles (Hadiwijono, 2005: 45) 1. 2. 3. Tahap di Akademi, ketika ia masih setia kepada gurunya, Plato Tahap ia di Assos, ketika ia berbalik daripada Plato, mengkritik ajaran Tahap ketika ia di sekolahnya Athena, waktu ia berbalik dari berspekulasi Aristoteles menjadi murid Plato selama 20 tahun, kemudian setelah Plato meninggal dunia ia mendirikan sekolah di Assos. Pada tahap ia di Assos, dia mulai tidak setuju dengan ajaran Plato tentang idea. Bagi Plato (Hadiwijono, 2005: 49) idea adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas daripada benda yang kongkrit. Bagi Aristoteles idea adalah asas yang berada di dalam benda yang kongkrit, yang menjadikan benda mendapatkan sebutan. tidak berubah dikenal oleh akal

Plato tentang idea-idea serta menentukan filsafatnya sendiri ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang kongkrit dan yang individual

Selanjutnya Aristoteles juga mengajarkan adanya dua macam pengenalan, yaitu pengenalan indrawi dan pengenalan rasional. Pengetahuan indrawi hanya mengenai hal-hal yang kongkrit dari suatu benda tertentu atau terbatas hanya pada satu aspek saja, sedangkan pengetahuan rasional dapat mengenal hakekat sesuatu. Pengetahuan rasional inilah yang memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi perbandingan antara Plato dan Aristoteles menurut Hadiwijono (2005: 53) Plato adalah tokoh yang serba bermenung, sedangkan Arsitoteles adalah orang yang menekankan pada pengalaman. Filsafat kuno selanjutnya adalah Filsafat Helenisme dan Romawi, yaitu zaman terjadinya perpindahan pemikiran filsafati. Pada zaman ini terjadi perubahan dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis. Pada zaman ini pengertian orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal atau rasionya. Dalam Filsafat Helenisme terdapat dua macam aliran pemikiran, yaitu aliran yang bersifat etis (lebih menekankan pada kebijaksanaan hidup yang praktis) dan aliran yang diwarnai oleh agama. Filsafat kuno setelah Filsafat Helenisme adalah Filsafat Patristik. Filsafat Patristik merupakan filsafat yang telah dipengaruhi oleh teologi Kristiani. Karakteristik utama dalam Filsafat Patristik ialah adanya konfrontasi antara filsafat dengan agama Kristen. Pada zaman ini bermunculan para pemikir Kristen. Di antara mereka ada yang bersikap menerima filsafat Yunani dan ada pula yang melakukan penolakan terhadap filsafat Yunani dengan berbagai macam alasann. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada zaman Patristik ini filsafat dan agama Kristen tidak hidup berdampingan secara damai. Sebelum dimulainya zaman Filsafat Modern, berkembang pula Filsafat Skolastik pada abad pertengahan. Filsafat Skolastik adalah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan arah pemikiran kuno (Hadiwijono, 2005: 87). Filsafat Skolastik muncul di tengah-tengah rumpun bangsa Eropa Barat. Dalam filsafat ini, ilmu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah, yang semula timbul di biara-biara. Oleh karena itulah Filsafat Skolastik mengutamakan pengetahuan yang digali dari buku-buku. Filsafat Skolastik juga mempelajari jagat raya, tetapi tidak dengan cara meneliti, melainkan dengan menanyakan kepada para filsuf Yunani. Salah satu tokoh itu adalah Karel Agung. Pada zamannya, pemikiran

filsafati dan teologis mulai tumbuh. Di sepanjang abad pertengahan bermunculan ahli-ahli pikir yang berpendapat bahwa iman adalah satu-satunya sumber pengetahuan atau pengenalan yang benar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan karakteristik antara Filsafat Kuno dengan Filsafat Skolastik terletak pada cara berpikir. Pada zaman Filsafat Kuno orang meninggalkan pemikiran religius dan mulai berpikir dengan memakai akalnya, sedangkan pada zaman menjelang zaman Filsafat Skolastik orang justru berbalik dari berpikir yang intelektualistis ke berpikir secara religius. Pada zaman Filsafat Skolastik berkembang studi dalam ilmu kemanusiaan dan ilmu alam. Filsafat abad pertengahan bergerak dalam kekangan teologia dan iman Kristiani. Beberapa faktor pendukung berkembangnya abad ini adalah sebagai berikut (Hadiwijono, 2005: 99). 1. Adanya hubungan-hubungan baru dengan pemikiran Yunani dan dunia pemikiran Arab, yaitu dengan peradaban Yunani dari Italia Selatan dan Sisilia dan dengan kerajaan Bizantium di satu pihak, dan dengan peradaban Arab yang ada di Spanyol di lain pihak. 2. Timbulnya universitas-universitas dengan memunculkan empat fakultas yang berwibawa di bidang masing-masing, yaitu fakultas teologia, fakultas hukum, fakultas kedokteran, dan fakultas sastra. 3. Timbulnya ordo-ordo baru, yaitu ordo Fransiskan dan ordo Dominikan. Ordo-ordo ini sangat giat mengembangkan ilmu yang disumbangkan kepada universitas-universitas. Salah satu filsuf zaman Filsafat Skolastik yang memberikan pengaruh pada perkembangan Filsafat Sejarah Barat selanjutnya adalah Nicolaus Cusanus. Nicolaus Cusanus telah mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan menjadi sutu sintesa besar menuju masa depan, yang di dalamnya tersirat pemikiran humanis. Pada waktunya seluruh jagat raya akan kembali kepada Penciptanya, yaitu Tuhan. Dari sinilah Filsafat Sejarah Barat memasuki zaman Filsafat Modern.

2.2 FILSAFAT MODERN DALAM PROSES PEMBENTUKANNYA

Filsafat Modern merupakan Filsafat Sejarah Barat dalam arti yang sebenarnya (Hadiwijono, 2005: 10). Hal ini disebabkan karena pada zaman ini manusia berusaha menegakkan suatu pandangan dunia dan mengembangkannya secara sistematis, sehingga dicapai pandangan dunia yang lengkap. Berikut ini bagan proses pembentukan Filsafat Modern.

Renaissance Rasionalisme Filsafat Abad ke-17 Filsafat Modern Empirisme Filsafat di Jerman

Pencerahan di Inggris Filsafat Abad ke-18 (Pencerahan) Pencerahan di Prancis Pencerahan di Jerman

Sumber bagan: Hasil olahan penulis

Pada zaman Filsafat Modern, Filsafat Barat menjadi suatu kuasa rohani yang berdiri sendiri dikarenakan timbulnya aliran Humanisme dan Reinaissance, yang lebih memusatkan pada kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat. Renaissance dimulai pada abad ke-15 dan ke-16. Pengertian Renaisance secara historis (Hadiwijono, 2005: 11) adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Unsurunsur Renaissance yang mempengaruhi perkembangan dari filsafat adalah Humanisme. Ada pun pengertian Humanisme (Hadiwijono, 2005: 11) adalah kebangkitan untuk mempelajari sastra klasik dan penyembutan atas realitas hidup. Berdasarkan pengertian Renaissance dan Humanisme tersebut, berikut rangkuman

beberapa karakteristik pemikiran dari Filsafat Renaissance: 1. Perhatian pemikiran pada segala hal yang bersifat kongkrit, yaitu alam semesta dan manusia 2. Kebenaran dicapai dengan kekuatan sendiri dengan ciri khas kebenaran, yaitu jelas dan terpilah-pilah 3. Bebasnya pemikiran dan penelitian dari tradisi 4. Pangkal pemikiran dimulai dari keragu-raguan 5. Banyak sekali penemuan-penemuan, baik di bidang ilmu pengetahuan alam maupun di bidang ilmu negara. Hadiwijono (2005: 18) menyatakan bahwa, Pada abad ke-17 pemikiran Renaissance mencapai penyempurnaannya. Pada masa ini dipandang sebagai sumber pengetahuan yang dapat dipakai oleh manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri). Oleh karena itulah pada abad ini muncul dua aliran yang saling bertentangan, yaitu: 1. Aliran rasionalisme, berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) 2. Aliran empirisme, berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan Dalam aliran rasionalisme terdapat beberapa nama tokoh, antara lain Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650), Blaise Pascal (1623-1662), dan Baruch Spinoza (1632-1677). Cartesius mendapat julukan Bapa Filsafat Modern. Berikut pemikiran besar dari Cartesius (Hadiwijono, 2005: 19). Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly), artinya bahwa gagasan-gagasan atau idea-idea itu seharusnya dapat dibedakan dengan persis dari gagasan-gagasan atau idea-idea yang lain . Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui indra adalah kabur . Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu: bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu) Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Kutipan pemikiran di atas memberikan gambaran bahwa Cartesius

menganggap bahwa segala sesuatu itu dapat dinyatakan sebagai suatu kebenaran apabila sesuatu tersebut jelas dan terpilah-pilah. Cartesius juga meragukan pengetahuan yang berdasarkan penglihatan indrawi saja, sebab yang dilihat oleh indra masih diragukan kebenarannya dan harus dibuktikan melalui rasio atau akal manusia. Apabila pengetahuan melalui indra telah dibuktikan oleh akal manusia maka akan dihasilkan suatu kebenaran yang jelas. Inilah suatu kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Tokoh selanjutnya adalah Blaise Pascal. Berikut ini pemikiran Blaise Pascal (Hadiwijono, 2005: 25). Ilmu pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus ditiru oleh seorang filsuf, sebab seorang filsuf pertama-tama harus menyelami kadaan manusia yang kongkrit dihadapi, orang demi orang. Dari penyelaman itu ia akan menginderai bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia. Akal atau rasio kita memang dapat memberi pengetahuan kepada kita tentang rahasia itu, akan tetapi akal tidak dapat merumuskannya dalam pengertian-pengertian yang memadai Di dalam jagat raya yang besar ini manusia bukanlah apa-apa, akan tetapi di tengah-tengah jagat raya ini manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpikir. Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui perbedaan antara pemikiran Pascal dengan Descartes yang menjadi pendahulunya. Letak perbedaan tersebut adalah pada penggunaan metode ilmu alam. Menurut Descartes metode yang diterapkan dalam ilmu pasti adalah metode yang harus dipakai dalam berfilsafat, sedangkan Pascal berpendapat bahwa metode ilmu pasti tidak harus dipakai dalam berfilsafat. Meskipun memiliki kesamaan dalam menggunakan metode ilmu pasti, namun Pascal juga mengharuskan akal atau rasio untuk menyelami realitas yang konkret. Tokoh selanjutnya adalah Baruch Spinoza. Berikut ini pemikiran Baruch Spinoza (Hadiwijono, 2005: 29). Pengetahuan didapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jikalau kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran indrawi. Gambaran-gambaran itu kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih

tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulankesimpulan, tetapi di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea-idea yang berakitan dengan Allah. Di sini orang dimasukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal. Berdasarkan pemikiraannya itu, Spinoza berpendapat bahwa pengamatan indrawi tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan kebenaran. Kebenaran tidak cukup diungkapkan dengan menggunakan rasio saja, akan tetapi juga harus menggunakan intuitif. Menurut Hamersma (1992: 102) bahwa Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai kelangsungan murni atau masa murni. Melalui intuitif manusia dapat mencapai pemikiran yang mengarah pada Pencipta alam semesta, yaitu Tuhan. Dengan demikian manusia akan mengerti bahwa pengetahuan mereka tidak terlepas dari kekuatan Tuhan yang kekal. Aliran ke dua yang berkembang dalam Filsafat Modern adalah aliran empirisme. Aliran empirisme mengutamakan pengalaman atau empiri sebagai sumber pengetahuan. Namun, hal ini bukan berarti aliran empirisme menolak keberadaan dari aliran rasio. Dalam aliran empirisme rasionalisme digunakan dalam rangka menuju empirisme. Berbicara mengenai aliran empirisme maka tidak terlepas dari pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (16321704). Berikut pemikiran dari Thomas Hobbes yang darangkum oleh Hadiwijono (2005: 32). Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efekefek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati, sedang maksudnya adalah mencari sebab-sebabnya Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat. Hobbes beranggapan bahwa filsafat diperoleh melalui rasionalisasi

pengetahuan dari sebab-sebabnya. Oleh karena itulah filsafat Hobbes berusaha mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan yang ada secara mekanis. Berdasarkan pemikiran Hobbes, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dapat diterangkan secara alamiah dan mekanis melalui keberadaan dari sebab dan akibat. Dengan demikian manusia akan memperoleh pengalaman dan dari pengalaman itulah yang memberi jaminan akan kepastian. Hobbes telah membuka pikirannya betapa penting penggunaan suatu nalar serta metode eksperimental dalam kehidupan sains (Suhelmi, 2001: 169). Tokoh aliran empiris setelah Thomas Hobbes adalah John Locke. John Locke berusaha menguraikan cara manusia mengenal. Berikut pemikiran John Locke (Hadiwijono, 2005: 36). Segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri Satu-satunya sasaran atau obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ideaidea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriah dan batiniah Dengan demikian mengenal adalah identik dengan mengenal secara sadar. Berdasarkan kutipan pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa pengalaman lahiriah dan batiniah adalah benar atau obyektif apabila gagasan-gagasan dari pengalaman tersebut disebabkan oleh realitas yang ada dalam kesadaran kita. Menurutnya John Locke (dalam Russel, 1994: 98) bahwa, Tuhan telah menganugerahkan setiap manusia kesamaan nalar dan kesamaan keuntungan alamiah karena hal ini telah ada sejak manusia berada dalam keadaan alamiah atau bawaan sejak lahir. Filsafat Sejarah Barat tidak terlepas dari pemikiran tokoh dari Jerman bernama G. W. Leibniz (1646-1716). Dia berusaha menjembatani pertentangan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Pemikiran Leibniz ini telah dirangkum oleh Hadiwijono (2005, 43) sebagai berikut. Isi pengetahuannya tentang jagat raya bukan didapatkan dari luar dirinya. Isi pengetahuan itu telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan Jadi pengenalan atau pengetahuan adalah akibat kekuatan sendiri. Di dalam pengamatan hanya menghasilkan suatu

gagasan atau idea yang kejelasannya dan kesadarannya masih sedikit. Tetapi pengetahuan dalam pengamatan itu pelan-pelan dijadikan jelas dan kemudian muncul di dalam gagasan atau idea yang jelas dan sadar sekali, yaitu pengetahuan dalam bentuk pengertian. Jadi dapat dikatakan, bahwa pengetahuan kita yang lebih lanjut itu diperkembangkan oleh pengalaman. Akan tetapi pengalaman bukanlah sumber pengetahuan, melainkan tingkat awal pengetahuan akali. Pemikiran tersebut menggambarkan bahwa Leibniz berusaha mencari hubungan atau keterkaitan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Leibniz mencoba membuktikan bahwa sebenarnya rasio (akal) memiliki hubungan yang erat dengan pengalaman. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab pengalaman merupakan tingkat awal pengetahuan akali seperti yang telah dingkapkan oleh Leibniz. Perkembangan Filsafat Sejarah Barat selanjutnya adalah Filsafat Abad ke18, yaitu memasuki zaman pencerahan (aufklarung). Zaman pencerahan sendiri memiliki arti sebagai berikut (Basalim, 2010: 99). Renaisans, secara etimologis dalam bahasa Prancis: Renaissance, berasal dari kata re (kembali) dan naitre (lahir) berarti `kelahiran kembali.` Istilah itu bersumber kepada lahirnya spirit baru cara berpikir sebagian pemikir, penguasa, kaum pedagang, dan budayawan di Eropa, semula bersandar dari pandangan agama Romawi yang dogmatis, mistis, dan statis dengan Paus pemegang kekuasaan dengan otoriter yang absolut berubah dengan penghargaan kepada `kebebasan berpikir`, otonomi berkeyakinan serta inovasi dan kreativitas dalam pengembangan sains, teknologi, serta filsafat ilmu. Gerakan pencerahan berasal dari Inggris, yang kemudian dibawa ke Perancis, Jerman dan akhirnya tersebar di seluruh Eropa. Inti dari zaman pencerahan adalah munculnya sikap memusuhi keberadaan agama yang telah berkembang pada zaman filsafat sebelumnya. Hadiwijono (2005: 47) mengungkapkan bahwa, Sikap Pencerahan terhadap agama wahyu pada umumnya dapat dikatakan memusuhi, atau setidak-tidaknya mencurigainya. Hal ini terbukti dengan adanya usaha mengganti agama Kristen menjadi agama yang murni alamiah yang dapat diterima oleh akal manusia.

Salah satu gejala Pencerahan di Inggris adalah adanya aliran Deisme, yaitu suatu aliran yang mengutarakan ajaran agama alamiah. Salah satu tokoh yang terkenal ialah David Hume. Berikut ini pemikiran David Hume dalam buku Sari Sejarah Filsafat Barat jilid II (Hadiwijono, 2005: 53). Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan, bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman . Manurut Hume, tiada bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan, bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Di dalam praktek tiap orang di bidang agama mengikuti kepercayaan yang menjadikan dia dapat menganggap pasti apa yang oleh akalnya tidak dapat dibuktikan. Kutipan hasil pemikiran David Hume di atas menggambarkan bahwa Hume menganggap bahwa kesan-kesanlah yang pasti dan tidak dapat diragukan. Oleh karena itulah Hume bersikap skeptis terhadap agama yang dipercaya oleh masyarakat pada waktu itu. Dari sinilah Hume menampakkan aliran Deisme, yaitu mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini, namun dalam pelaksanannya manusia harus tetap menggunakan hukum-hukum akalnya dalam berbakti kepada Tuhan. Pencerahan yang tidak kalah pentingnya seperti di Inggris ialah Pencerahan di Perancis. Aliran Deisme di Perancis menyerang Agama Kristen. Voltaire atau Francois Marie Arouet dan Jean Jacques Rousseau merupakan tokoh yang menyetujui adanya agama alamiah. Voltaire menentang dogma dalam agama gereja. Menurut Voltaire (dalam Hadiwijono, 2005: 58) sebagai berikut. Agama alamiah yang memenuhi tuntutan akal ialah yang mengasihi Allah dan berbuat adil serta berminat baik terhadap sesamanya Agama mencakup kepastian tentang adanya Allah. Bahwa Allah ada, hal itu dapat dibela terhadap ateisme dengan alas an-alasan yang akali dan yang semata-mata bersifat ilmiah. Penyusunan alam semesta dan peraturan-peraturan umum dari kejadian-kejadian alamiah mengajarkan kepada kita adanya Pekerja yang Tertinggi, yang mengadakan semuanya itu, yaitu Allah. Akan tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang hakekat dan sifat-sifat Allah ini.

Sama halnya dengan Voltaire, Rousseau juga menentang dogma dalam agama gereja. Menurut Rousseau (dalam Hadiwijono, 2005: 62) agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyarakat. Kesalahan agama Kristen menurut Rousseau ialah bahwa agama ini mematahkan kesatuan masyarakat. Baginya masyarakat hanya membebankan kebenaran-kebenaran keagamaan. Pencerahan tidak hanya terjadi di Inggris dan Perancis, tetapi juga terjadi di Jerman. Namun, Pencerahan yang terjadi di Jerman berbeda dengan yang terjadi di Inggris dan Perancis. Hadiwijono (2005: 62) mengatakan bahwa, Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Di dalam Pencerahan di Jerman dikenal seorang tokoh yang dikenal sebagai penyempurna masa Pencerahan, yaitu Immanuel Kant. Berikut ini rangkuman pemikiran Kant tentang filsafat (Hadiwijono, 2005: 64). Yang dimaksud dogmatisme ialah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada tentang Allah, tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakekatnya sendiri, luas dan batas kemampuannya. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis . Filsafat teoritis Kant membicarakan tentang Allah. Di situ ia membicarakan hal buktibukti bagi adanya Allah Filsafat adalah suatu pemikiran yang dalam tertib hukumnya melalui jalan yang dilalui manusia yang menuju kepada Allah Filsafat adalah seni berpikir bebas. Padahal berpikir bebas adalah berpikir yang karena mengikuti hukum rasionya, dan yang dilakukan dalam kesadaran aka misi rasionya. Melihat rangkuman pemikiran Kant di atas tampak bahwa Kant mengakui keberadaan Tuhan. Namun Kant tidak hanya percaya begitu saja, akan tetapi dia berusaha membuktikan dengan rasionya bahwa Tuhan itu memang ada. Dengan demikian keberadaan Tuhan dapat diterima dengan akal manusia.

2.3 PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT PASCA ZAMAN FILSAFAT MODERN Filsafat Sejarah Barat terus mengalami perkembangan. Semua

perkembangan yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh yang diberikan oleh pemikiran Filsafat Modern. Ada pun bentuk-bentuk perkembangan pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam bagan tentang filsafat abad ke-19 dan abad ke20 di bawah ini.
Positivisme Filsafat Abad ke-19 Idealisme Materialisme

Filsafat Barat pasca Filsafat Modern

Pragmatisme Filsafat Hidup Filsafat Abad ke-20 Fenomenologi Eksistensialism e

Sumber bagan: Hasil olahan penulis

Bagan di atas membagi filsafat abad ke-19 menjadi tiga aliran filsafat, yaitu positivisme, idealisme, dan materialisme. Salah satu tokoh pendukung filsafat positivisme adalah Auguste Comte. Comte berpendapat (dalam Hadiwijono, 2005: 109) bahwa, Filsafat Positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui dan yang faktual. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Apa yang kita ketahui dalam hal ini adalah segala yang tampak atau segala gejala. Jadi positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala atau fakta saja. Berbeda dari positivisme, idealisme filsafatnya disebut Wissenschaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan. Filsafat sebagai ajaran tentang ilmu pengetahuan dibedakan antara lain:

a. b.

Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang praktis

Di dalam bagian yang teoritis dibicarakan hal metafisika dan ajaran tentang pengenalan, sedang di dalam bagian yang praktis dibicarakan hal etika. Pangkal pemikiran Fichte (dalam Hadiwijono, 2005: 91) mengatakan bahwa, dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang praktis sama dengan pangkal pikirannya yang terdapat di dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang teoritis, yaitu: tuntutan pikiran. Pemikiran Fichte senada dengan pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa, yang mutlak adalah Roh yang mengungkapkan diri di dalam alam, dengan maksud agar supaya dapat sadar akan dirinya sendiri. Hakekat Roh sendiri adalah idea atau pikiran. Filsafat yang selanjutnya adalah Filsafat Materialisme. Berikut pemikiran Ludwig Feurbach tentang materialisme (Hadiwijono, 2005: 117). Hanya alamlah yang berada. Oleh karena itu manusia adalah makhluk alamiah. Segala usahanya didorong oleh nafsu alamiahnya, yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting pada manusia bukan akalnya, tetapi usahanya, sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala usaha manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia ini. Oleh karena itu agama dan metafisika harus ditolak. Feurbach menganggap bahwa usaha juga merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Akal digunakan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia sedangkan usaha adalah bentuk realisasi dalam mewujudkan kebahagiaan tersebut. Oleh karena itulah dia berpendapat bahwa agama bukan sebagai usaha untuk meraih kebahagiaan di dunia, melainkan sebagai urusan akhirat yang perlu dipisah dari urusan dunia. Hal ini juga diungkapkan oleh Karl Marx berikut ini (Hadiwijono, 2005: 119). dunia bukan dipandang sebagai suatu himpunan yang terdiri dari hal-hal yang telah selesai jadi, melainkan sebagai suatu himpunan yang terdiri dari proses-proses. Tiada sesuatu pun yang telah tetap atau telah bersifat mutlak. Satu-satunya yang ada adalah proses menjadi dan proses hancur yang tiada hentinya Jadi proses ini adalah suatu proses dialektis, yang diisi bukan dengan pandangan dunia yang dialektis, melainkan dengan pandangan dunia yang materialistis.

Dalam pendekatan agama, Karl Marx (dalam Ebenstein, 1990: 2) mengemukakan bahwa, Kehendak Ilahi tidak diketahui dan manusia tidak dapat mengalaminya secara langsung, juga banyak konsepsi manusia mengenai Tuhan serta rencananya untuk umat manusia. Berbeda dari filsafat abad ke-19, filsafat abad ke-20 dibagi menjadi 4 aliran pemikiran, meliputi pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, dan eksistensialisme. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis (Hadiwijono, 2005: 130). Oleh karena itulah, pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan yang berpatokan pada manfaat bagi hidup praktis. Pragmatisme juga berpendapat bahwa tiada kebenaran yang mutlak. Hal ini telah diungkapkan oleh William James berikut (Hadiwijono, 2005: 132). Tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas daripada akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Sama halnya dengan pemikiran dari James di atas, John Dewey (dalam Hadiwijono, 2005: 133) mengatakan bahwa, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup dan harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktifkritis. Menurut John Deawey tidak ada sesuatu yang tetap (Syadzali,1997:126). Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Dalam Filsafat Hidup Henry mengungkapkan pemikirannya (dalam

Hadiwijono, 2005: 133). hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan materi (sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang sebagai materi atau benda) . Dalam hidup yang praktis itu akal harus mempergunakan pengertianpengertian guna mengabadikan perubahan-perubahan yang ada Guna menyelami hakekat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar.

Berdasarkan kutipan di atas, manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menggunakan kekuatan akalnya. Namun, intuisi juga diperlukan oleh manusia untuk dapat menyelami hakekat yang sebenarnya dari segala kenyataan hidup. Oleh karena kekuatan intuisi itulah, agama (Kristen) dalam Filsafat Hidup bisa dikatakan dinamis karena manusia diikatkan kepada hidup dan Tuhan. Bersama dengan Filsafat Hidup muncul suatu filsafat yang dikenal dengan Fenomenologi. Berikut ini Hadiwijono (2005: 140) mengartikan fenomenologi. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau segala sesuatu yang menampakkan diri Fenomena dapat dipakai untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati dengan indra. Dalam arti ini kata fenomena dipakai di dalam ilmu pengetahuan alam. Namun, dalam filsafat fenomenologi, suatu fenomena tidak harus dapat diamati dengan indra, sebab fenomena dapat juga dilihat secara rohani Jadi fenomena dalam hal ini adalah apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita. Dalam fenomenologi dunia tidak dapat memberikan kepastian tentang kebenaran. Supaya ada kepastian akan kebenaran pengertian kita, menurut Husserl (dalam Hadiwijono, 2005: 144), kita harus mencarinya dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang dengan sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau aku kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda di luar kita.

Dalam abad ke-20 juga dikenal Filsafat Ekstensialisme. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi sebagaimana yang diungkapkan oleh Hadiwijono (2005: 148). Eksistensi dalam filsafat adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, namun tidak demikian dengan cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu manusia berada bersamasama dengan sesame manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda berada, sedang manusia bereksistensi. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Karakteristik Filsafat Sejarah Barat sebelum memasuki masa Filsafat Modern: 1. 2. 3. 4. 5. Hal yang lebih diperhatikan adalah alam, bukan manusia Memiliki pandangan hidup yang sama dengan pandangan orang-orang Agama sepenuhnya bersifat duniawi, praktis, mengabdi kepada

Yunani, seperti pandangan rasionalisme, individualisme, optimisme, sekularisme. kepentingan manusia (bukan Tuhan) Peran agama yang mitologis, mengakibatkan cara pandang kemajuan Filsafat menempatkan akal sebagai sumber kebenaran bangsa Eropa menihilkan pentingnya peran spiritualisme rohaniah dan Ketuhanan

Karakteristik Filsafat Sejarah Barat pada masa Filsafat Modern: 1. Perhatian pemikiran pada segala hal yang bersifat konkrit, yaitu alam semesta dan manusia 2. 3. Yahudi 4. Kebenaran dicapai dengan kekuatan sendiri melalui akal dan pengalaman dengan ciri khas kebenaran, yaitu jelas dan terpilah-pilah 5. Bebasnya pemikiran dan penelitian dari tradisi 6. Pangkal pemikiran dimulai dari keragu-raguan 7. Banyak sekali penemuan-penemuan, baik di bidang ilmu pengetahuan alam maupun di bidang ilmu negara Reformasi Kristiani dengan melawan nilai-nilai spiritual yang terkandung Filsafat tidak terlepas dari peranan orang-orang Yahudi maupun keturunan di dalamnya.

Karakteristik Filsafat Sejarah Barat pada masa pasca Filsafat Modern (abad 1920):

1. 2. 3. 4. dunia) 5.

Filsafat masih tidak terlepas dari peranan orang-orang Yahudi Terjadi perkembangan intelektual yang pesat Penentangan terhadap konsep agama (Kristiani), lebih memusatkan pada Berkembangnya gagasan sekulerisme (pemisahan urusan agama dan Pandangan pragmatisme, materialisme, dan eksistensialisme menjadi inti

kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat

sari pemikiran di Barat

3.2 SARAN Filsafat Sejarah Barat terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Munculnya pemikiran-pemikiran dari para ahli turut mempengaruhi kondisi Barat saat ini. Oleh karena itu perlu adanya penambahan sumber-sumber baru untuk menambah informasi mengenai perkembangan Flsafat Sejarah Barat. Dengan demikian penulisan makalah selanjutnya bisa kaya akan informasi baru yang menambah dapat wawasan.

Daftar Rujukan

Basalim, Umar. 2010. Pemikiran Politik Barat-Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3. Jakarta: PT Bumi Aksara Ebenstein, William & Fogelman, Edwin. 1990. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius Hamersma, Harry. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia Noer, Deliar. 1983. Pengantar Kepemikiran Politik. Jakarta: Rajawali Pers Russel, Betrand. 1994. History of Western Philosophy. London: Macmilian Co Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran, Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Bandung: Mizan Syadzali, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia

You might also like