You are on page 1of 69

Paradigma

Pendidikan Islam
Sebuah Kajian Awal

Oleh
Al-Ustadz Hilmy Bakar Almascaty
Pendahuluan
Kemunduran drastis yang telah menimpa kaum Muslimin dewasa ini sebagaimana
dikemukakan para cendikiawan Muslim tidak diragukan lagi bersumber dari kegagalan
mereka dalam memahami dan menerapkan metode intelektual1 yang dikehendaki Islam,
terutama dalam sistem pendidikan mereka.2 Keadaan ini akan membawa dampak yang
sangat buruk bagi kaum Muslimin, sebagaimana yang dialaminya dewasa ini. Kaum
Muslimin menjadi kaum yang terbelakang peradabannya, terbelakang pengetahuan-tekno-
loginya, terbelakang ekonominya, menjadi mainan empuk musuhnya, dipecah belah, diadu
domba, dikeluarkan dari warisan dan tradisi pendahulunya dan mereka akhirnya menjadi
manusia-manusia lemah yang siap didekte dan diperintah orang lain. Karena kegagalan
inilah kaum Muslimin telah berusaha mengadopsi metode dan sistem pendidikan yang lain,
yang bukan bersumber dari akar sejarah dan tradisi generasi Islam terdahulu, bahkan
bertentangan dengan yang dikehendaki Islam. Diterapkannya sistem ini mengakibatkan
kaum Muslimin bertambah lemah dalam kelemahannya, bertambah bingung dalam
kebingu-ngannya dan bertambah mundur dalam kemundurannya. Eksperimen-eksperiman
para cendikiawan Muslim yang telah gagal ini sepatutnya tidak diulangi lagi oleh generasi
berikutnya, karena akan menambah parahnya penderitaan dan kesengsaraan ummat. Maka
itulah sebabnya, jika kaum Muslimin yang sedang mundur ini hendak dibangkitkan
kembali menjadi kaum yang memimpin peradaban dunia, hal pertama yang harus
dilakukan adalah merombak sistem pendidikan yang diterapkan selama ini kemudian
dibangun dan dikembangkan sebuah bentuk sistem dan metode pendidikan yang akan
mengangkat harkat dan martabat mereka sebagaimana yang telah dibuktikan oleh generasi
Islam terdahulu yang telah berhasil dengan gemilangnya memahami dan menerapkan
sistem dan metode pembinaan manusia unggul yang diajarkan Allah SWT melalui
bimbingan Rasulullah SAW. Demikian pula dengan sistem generasi sesudahnya yang telah
melahirkan peradaban baru dalam sejarah kemanusia dan menjadi mercusuar dunia masa
itu. Sejarah kegemilangan Islam terdahulu dapat dicapai karena generasi-generasi Islam
benar-benar memahami sistem dan metode pembinaan yang akan mengantarkan mereka
menuju kemenangan.
Maka untuk mengetahui lebih jauh kegagalan ummah dalam memahami dan
menerapkan metode intelektualnya, khususnya dalam sistem pendidikan perlu diadakan
studi kritis terhadap sistem yang mereka terapkan dewasa ini. Mengadakan studi terhadap
sistem dan metode pendidikan secara lurus dan jujur, mau tidak mau harus pula diadakan
kritik terhadap segala bentuk kelemahan dan kegagalannya, baik secara teori atapun
praktiknya, disamping menunjukkan di mana letak keutamaannya agar dapat dibangun

1
Untuk menghindari kerancuan, terlebih dahulu adalah sangat penting untuk memahami pengertian metode
intelektual dalam kontek ini. Secara harfiahnya, metode-metodologi diartikan sebagai cara/tatacara/kaedah yang akan
digunakan dalam memahami atau menerapkan sesuatu pemikiran, yang dalam bahasa Arabnya sinonim dengan manhaj
yang biasanya diartikan sebagai thariqon wadhihan-Sabilan, jalan (cara) yang terang-benderang atau kaedah. Intelektual,
dari bahasa Inggris (Intellectual) adalah segala bentuk yang berkaitan dengan kecendikiaan, pemikiran dan sejenisnya,
dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pengertian Intelektual sebagai kata sifat, bukan sebagai kata benda yang menujuk
pada orang/cendikiawan. Maka yang dimaksud dengan metode-metodologi intelektual di sini adalah tata cara/kaedah
yang digunakan dalam memahami dan menerapkan sesuatu bentuk pemikiran, ajaran, nilai-nilai, amalan-amalan dan
segala yang berkaitan dengan kecendikiaan.
2
Yang terkemuka diantara mereka adalah Ismail R. Faruqi dalam Isalamization of Knowledge dan lain-lainnya
sebuah formula yang lebih mendekati warisan dan tradisi yang telah diajarkan Rasulullah
SAW dan diikuti para shahabatnya yang telah membuktikan keunggulannya. Inilah salah
satu jalan selamat dan akan mendekatkan mereka menuju puncak kegemilangannya di
masa depan.
Setelah mengalami masa kegemilangan dan kemun-duran silih berganti selama
beberapa abad dengan dinamika intelektualitasnya, para cendikiawan Muslim, yang
terutama diantara mereka seperti Iqbal, Sayyid Hoseyn Nashr, Syed Naquib al-Attas, Ismail
Faruqi dan Fazlur Rahman, membagi sistem pendidikan kaum Muslimin masa kini berjadi
beberapa bentuk umum. yaitu :
1. Sistem Pendidikan Tradisional
2. Sistem Pendidikan Sekuler
3. Sistem Pendidikan Gabungan Tradisional dan Sekuler
4. Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan3
Kristalisasi ini terjadi tidak terlepas dari latar belakang historis yang dialami kaum
Muslimin dari awal kebangkitan Islam sampai terjadinya penjajahan Barat atas mereka.
Berawal dari pergolakan-pergolakan politik dan pemikiran beberapa tahun setelah
wafatnya Rasulullah saw, khususnya pada masa Khalifah Ali RA yang melahirkan
beberapa aliran pemikiran besar seperti Syi’ah, Sunni, Khawarij, Murjiah dan lainnya yang
akhirnya melahirkan cabang-cabang pemikiran baru lagi. Aliran-aliran ini kemudian
membentuk sistem dan metode intelektual mereka sendiri-sendiri yang tidak ada titik temu
satu dengan lainnya, bahkan tumbuh semacam fanatisme mazhab yang memakan korban
besar di kalangan kaum Muslimin sendiri. Demikian pula halnya dengan interaksi-interaksi
mereka dengan peradaban-peradaban besar seperti peradaban Yunani, Romawi, Persia,
Mesir dan lainnya yang telah melahirkan mazhab filsafat-rasional yang menjadi polemik
panjang sejarah intelektual kaum Muslimin. Pertentangan-pertentangan pemikiran yang
kurang sehat di antara para ulama konservatif dan cendikiawan reformer yang melibatkan
rezim-rezim penguasa diktator yang kurang berpengetahuan sehingga memihak satu aliran
dan melarang aliran lainnya, sangat mempengaruhi perkembangan intelektualitas kaum
Muslimin dan metodologinya. Demikian pula halnya ketika ditutupnya pintu ijtihad serta
tumbuhnya semangat taqlid sangat merugikan ummah dengan hilangnya pemikir-pemikir
kreatif ummah. Akibat perdebatan panjang antara tokoh-tokoh mazhab yang tak kunjung
berakhir, dan dominasi aliran tashawwuf al-Ghazaly yang sangat luas, ummah menolak
aliran-aliran filsafat-rasional dengan segala keutamaannya secara membabi buta. Dan
akhirnya sampai abad pertengahan hijriah, mazhab tashawwuf sangat dominan dan sangat
mempengaruhi metode intelektual kaum Muslimin, di samping mazhab fiqh dan kalam.
Demikian pula halnya ketika penjajah-penjajah kafir Barat datang merobek-robek
kepribadian dan metode intelektual kaum Muslimin dengan menyebarkan faham
Sekulerisme melalui peradaban yang dibawanya dan menjadi dasar rujukan dalam segala
3
Untuk masalah ini lihat misalnya : K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf,
1942).Prof. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago : The Univ. Press,
1982) khususnya bab II. Dr. Ismail R. Faruqi, Islamization of Knowledge, General Principles and Workplan, (Virginia : IIIT,
1982) hlm. 5. Prof. Syed M.Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur : ABIM , 1980) dan karya
beliau yang lain, Islam and Philosophy of Science, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1989) dan juga Islam and Secularism, (Kuala
Lumpur : ABIM, 1980). Prof. S.H. Nashr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (London : Thames and Hudson,
1978). Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Crest of A Hill, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1991).
aspek kehidupan bermasyarakatnya, termasuk dalam sistem pendidikan. Kemerdekaan
negeri-negeri kaum Muslimin membawa dampak positif terhadap perkembangan metode
intelektual ummah selanjutnya. Dengan ada perbaikan dalam ekonomi dan politik, telah
tampil para pemikir Muslim yang mengajukan beberapa metode dalam usahanya
mengangkat martabat ummah. Namun sampai sejauh ini metode intelektual kaum
Muslimin yang tercermin dalam sisim pendidikan mereka tetap terpolarisasi dan terkristal
menjadi kutub-kutub sebagaimana dikemukakan terdahulu.4

1. Sistem Pendidikan Tradisional


Sistem pendidikan tradisional Muslim adalah sistem pendidikan yang menerapkan
metode intelektual yang merujuk pada metode yang telah diwariskan generasi-generasi
Islam abad pertengahan hijriyah terdahulu yang telah mengalami polarisasi dan kristalisasi.
Metode intelektual ini telah mengakibatkan ajaran dan pengetahuan Islam mengalami
pembagian-pembagian dan pemecahan-pemecahan menjadi beberapa sub ajaran dan
pengetahuan yang terpisah satu dengan lainnya. Yang terkenal dari metode ini adalah
aliran mazhab fiqh, teologi (kalam), sufi (thasawuf), sastra (adab), disamping aliran ilmu-
ilmu aqliyah non syar’i (al-ulum aqliyat ghair syar’iyyat). Terdapat juga aliran mazhab
filsafat-rasionalisme yang hampir mendominasi pengetahuan, khususnya pengeta-huan
non syar’i, namunyang terakhir ini banyak di tolak dan di tentang kaum Muslimin yang
lebih condong kepada aliran tasawuf, padahal aliran filsafat-rasional inilah yang telah
membangkitkan pencerahan Eropa (Europe Renaissance).5
Pengkristalan sistem pemikiran seperti ini menjadi aliran-aliran yang kompleks
adalah sebagai konsekwensi logis penyebaran dan perkembangan Islam yang melewati
berbagai bentuk peradaban dan budaya dunia. Bersamaan dengan proses Islamamisasi di
tengah-tengah masyarakat, maka lahir dan berkembang pula budaya dan peradaban baru
yang merupakan hasil integrasi antara ajaran Islam dengan budaya dan peradaban
setempat, misalnya peradaban Yunani, Romawi, Persia, Mesir dan lainnya. Perkawinan ini
telah melahirkan berbagai disiplin ilmu baru sekaligus aliran-aliran pemikiran yang sangat
luas, kompleks, canggih, dan belum pernah muncul sehingga kaum Muslimin benar-benar
menjadi tumpuan para pencari ilmu. Perkembangan ini didukung pula oleh semangat cinta
ilmu yang merupakan ajaran utama Islam, sehingga para raja dan penguasa diktatorpun
merasa berkepentingan untuk membiayai tradisi agung ini. Sehingga pada masa itu lahirlah
intelektual-intelektual yang sangat aktif mempelejari dan mengem-bangkan aliran-aliran

4
Untuk memahami sejarah pemikiran Islam secara sistematis dan terperinci, lihat misalnya: al-Thabary, Tarikh
Umam wa al-Mulk, (Beirut: Dar Fiqr, 1979) jil.I. Ibn. Sa’ad, Tabaqat al-Qubro, (Beirut : Dar Shadir, 1957). Ibn. Athyr, al-
Kamil, (Misr : al-Mumriyat, 1356 H). Ibn. Katsir, al-Bidayat wa al-Nihayat, (Misr : Al-Saadat, tt), Ibn. Khaldun, Muqaddimah,
(Misr : Mustafa Bab al.H, tt). Ibn. Abdil Baar, al-Isti’ab, (India : Dairat al-Ma’rif , 1336 H). al-Baghdady, al-Farq bayna al-
Firaaq. (Misr :tt) bab i-ii. Ibn. Hazm, al-Fishol fi al-Milal wa al-Nihal, , vol. iv. (Qahirah, 1964). Imam Muhammad Abu Zahrah,
Tarikh al-Mazahib al-Islamiyat, (Qahirah : Dar al-Fiqr al-Arbi, tt) al-Amid Abdurrazak M. Aswad, al-Madkhal ila Dirasat al-
Adyan wa al-Mazahib, (Beirut : 1980) khususnya jil. II. M. Husyn Aly Kashfil Githo’, asl al-Syi’at wa ushliha, (Beirut : Dar al-
Bihar, 1960) bab I. al-Kashiy, Ma’rifat al-Naqilin an al-ummat al-Shiddiqin ( Rijal al-Kashy ), (Karbala : Muassat al-A’lamy, tt)
Muh. Khudary Bek, Tatikh al-Tasyri’ al-Islamy, (Libanon : Dar Fiqr, Th.8, 1981) hlm. 108-115. Abul A’la al-Maududy, al-
Khilafat wa al-Mulk, (Kuwait : Dar Qalam, 1978). Dr. Thaha Jabir al-Wany, Adabul akhtilaf fi al-Islam, (Virginia : IIIT, th.3,
1987) hlm.75-78. Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Cairo : Maktabah al-Nahdah, 1965) Abul Hasan al-Nadvi, Madza Khasiro al-
Alam bi inhithoth al-Muslimun,(Beirut : Dar Salam, th.11, 1978) hlm. 15o-157. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (London :
Cristopher, 1955), Abdurrahman Hj. Abdullah, Sejarah dan Pemikiran Islam, (Kuala lumpur : Pena Mas, 1984). Dr. Ismail R.
Faruqi. op.cit. hlm. 23-30. Dr. Fazlur Rahman, op.cit. bab II.
5
Prof. Fazlur Rahman, op.cit. hlm.33
pengetahuan baru dengan biaya dari para raja dan hartawan muslim dan bersamaan
dengan itu lahirlah pusat-pusat ilmu pengetahuan berupa madrasah ataupun perpustakaan
yang didatangi oleh pelajar dari seluruh dunia, termasuk Barat.6
Namun akibat lainnya adalah telah muncul pula cabang-cang ilmu baru yang asing
dan bahkan tidak sedikit yang bertentangan dengan tradisi dan ajaran Islam yang
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.7 Perkawinan Islam dengan ajaran-ajaran
filsafat-rasionalis Yunani telah melahirkan aliran filsafat-rasional Islam yang menjadi
metode unggul dalam mengkaji cabang-cabang ilmu pengetahuan duniawi, sehingga aliran
ini banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Ibn. Sina, Ibn Rush, Ibn Khaldun
dan lainnya yang menjadi mahaguru Barat dan dikagumi sampai sekarang.8 Bersamaan
dengan keberhasilan Islam dalam menciptakan peradaban baru dunia dengan segala
konsekwensi penguasaan materinya, terutama munculnya pribadi-pribadi yang mabok
kepayang dengan kenikmatan duniawi yang membawa dampak penuhanan terhadap rasio
dan hawa nafsu, maka lahirlah aliran tasawuf yang merupakan koreksi total terhadap
keadaan masa itu. Metode intelektual ini merupakan obat mujarab untuk menyem-buhkan
penyakit ummah yang telah jauh terseret arus duniawi dengan ajaran-ajarannya yang lebih
menekankan pada pembersihan jiwa dan mengontrolan diri (al-Nafs) terhadap kehendak
materi, baik yang bersifat pemikiran, kekuasaan ataupun keperluan badaniah lainnya.
Akhirnya metode intelektual ini menjadi sangat populer dan dominan karena dapat
memberikan jalan keluar kepada masyarakat Islam, terutama dalam upaya mencapai
ketenangan batiniyah masyarakat masa itu yang sudah jauh bergelimang dengan
keagungan materi akibat kemenangan dan kemajuan pemerintah Islam.9 Di antara aliran
tasawwuf yang paling populer dan yang nantinya banyak mempengaruhi perjalanan
sejarah kaum Muslimin adalah metode yang telah dikembangkan al-Ghazaly dengan karya-
karya gemilangnya.10

6
Untuk mengetahui sejarah perkembangan lembaga pengetahuan Islam abad pertengan lihat misalnya : Ahmad
Syalaby, History of Muslim Education, (Beirut : Dar Al-Kasysyaf, 1954). Bayard Dogde, Muslim Education in Medieval Times,
(Washinton DC : The Middle East Inst, 1962). Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and The Scholar’s Social Status Up to
the 5th Century Muslim Era (11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad,(Zurich : Verlag der Islam,1968).
George Makdisi, The Rise of Colleges : Institution of Learning in Islam and the West (Edinburgh : Edinburgh Univ. Press,
1981)
7
Lihat misalnya : al-Ghazaly, Tahafut al-Falasifah, (Cairo : Mustafa al-Babi al-Halibi, 1321 H) disertai dengan karya
Ibn. Rusyd, Tahafut, dan juga karya Khawajah Zadah, Tahafut al-Falasifah. Ibn. al-Jauzi, Talbis Iblis, (Qahirah : Idarat al-
Thabaat al-Muniriyyah, tt), Ibn. Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in an Robb al-Alamiin, (Beirut : Dar al-Jiil, tt)
8
Lihat : M. Goichon, La Philosophie d’ Avicenne et son infuence en Europe Medievale, (Paris : 1951). P. Morewedge, The
Metaphysica of Avecenna,(New York : Columbia Univ. Press, 1973). Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology, (London : Oxford
Univ. Press, 1953). A.J. Arberry, Avicenna on Theology, (London : 1951). M.N. Zanjani, Ibn Sina wa Tadbir-i manzil, (di dalam
SH. Nashr, Traditional Islam in the Modern World. ( London : KPI, 1987). Masataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of The
Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, (Tokyo : Institute For the Study of Language and Cultures of Asia
and Africa, 1987). Lihat juga karya-karya Ibn. Sina seperti : Kitab al-Shifa’ (al-Tabi’iyyat : al-Nafs) ed. G. Ganawati dan Sa’id
Zayid, ( Cairo : al-Maktabah al-Arabiyyah, 1975). Ibn. Rush, Tahafut, (Cairo : Mustafa al-Babi al-Halibi, 1321 H). Ibn. Arabi,
Fusus al-Hikam, ed. dan komenter oleh A.’A. Affifi, (Cairo : 1946). Ibn. Khaldun, The Muqaddimah. tran. Franz Rosenthal, 3
vols. (New York : Pantheon/Bollingen, 1958).
9

Untuk masalah ini lihat misalnya : Syahrastany, Kitab al-Milal wa al-Nihal, 2.nd, (Beirut : 1395). Imam Moh. Abu Zahrah,
Tarikh al-Madzahib al-Islamiyat, (Qahirah : Dar al-Fiqr al-Arbi, tt). al-Amid Abd.Razak. M. Aswad, al-Madkhal ila Dirasat al-
Adyan wa al-Madzahib, (Beirut : 1980). al-Kalabadhi, Kitab al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, ed.Taha Abd. Baqi Surur,
(Cairo : Isa al-Babi al-Halabi, 1966). Abul Hasan Ali al-Nadvi, Madza Khasiro al-Alam bi anhithoth al-Muslimun, (Beirut: Dar
Salam, th,11, 1978). Dr. Abul Wafa’ al-Ghanamy al-Taftazany, Madkhal ila Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah : Dar al-Tsaqafat li
al-Nusyr wa al-Tauzi’, 1988). hlm. 68-71.
10
Karya-karya al-Ghazaly yang mempengaruhi metode intelektual ummah, diantaranya seperti : Ihya’ Ulum al-Din, al-
Mumkid min al-Dhalal, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs, Mizan al-Amal, Misykat al-Anwar, Al-Maqsad al-Asna fi
Sharh Ma’ani Asma’. Tahafut al-Falasifah dan Al-Iqtisad fi al-I’tiqad.
Pada zaman penjajahan dunia Islam oleh Imprialis Barat, metode intelektual
tradisional yang dianut sebagian besar sistem pendidikan kaum Muslimin semakin
mengkristal, terutama akibat tekanan-tekanan penjajah yang sangat aktif menyebarkan ide-
ide sekulernya yang berkedok modernisasi, kemajuan dan istilah sejenisnya yang pada
hakikatnya ingin menghilangkan keimanan kaum Muslimin. Faktor inilah yang mendorong
para pemuka kaum Muslimin yang umumnya menjadikan madrasah, pondok pesantren,
surau dan lainnya beroposisi mati-matian terhadap penjajah kafir dengan segala program
dan aktivitasnya. Generasi-generasi Islam didikan sistem tradisional ditanamkan semangat
anti penjajah dan anti segala yang berbau penjajah Barat, sehingga mendorong mereka
kepada sikap antipati terhadap segala sesuatu yang datangnya dari penjajah Barat,
termasuk pengetahuan-pengetahun yang di ambil Barat dari kaum Muslimin terdahulu
berupa ilmu-ilmu terapan praktis yang akan membantu mereka menuju kemajuan dunia.
Karena sikap anti Barat yang ekstrim inilah kemudian sistem pendidikan Islam tradisional
dipinggir-kan penjajah, dihambat perkembangannya, tidak mendapat bantuan semestinya
bahkan ada yang dibubarkan penjajah karena dijadikan pusat gerakan menentang panjajah.
Dari lembaga pendidikan tradisional ini banyak lahir tokoh-tokoh yang menentang penjajah
dengan sikapnya yang gagah berani, dari Indonesia sampai ke Timur Tengah. Sebagian
besar tokoh-tokoh pergerakan dan kebangkitan nasional pra kemerdekaan di dunia Islam
lahir dari kalangan tradisional, seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol di Indonesia.
Demikian pula ketika zaman pergolokan merebut kemerdekaan dunia Islam dari penjajah
Barat, umumnya lembaga pendidikan tradisional Islam menjadi benteng utama kaum
Muslimin dengan kharisma Ulamanya sebagai pemimpin gerakan, sekaligus menjadi
markas untuk menentang dominasi penjajah Barat yang menanbah bencinya kaum penjajah
terhadap lembaga tradisional Islam yang susah ditakluki.
Akhirnya penjajah membuka lembaga pendidikan sekuler ala Barat untuk mendidik
kader-kadernya dari kalangan pribumi dengan pembiyaan penuh dari penjajah dan
sekaligus menyaingi dominasi lembaga pendidikan tradisional Islam yang dikelola secara
waqaf. Akhirnya pada masa pasca kemerdekaan, setelah berjuang melawan penjajah
dengan semangat tinggi sabung menyambung, generasi produk lembaga pendidikan
tradisional Islam disingkirkan peranannya dari birokrasi kekuasaan oleh kaum modernis-
sekuler produk lembaga pendidikan Barat. Para pejuang sejati ini dianggap tidak
memenuhi persyaratan karena mereka tidak menguasai ilmu modern yang diajarkan
panjajah sebagai syarat mutlak seorang birokrat pemerintah, mereka hanya direkrut
sebagai pegawai rendahan pinggiran yang mengurus hal-ihwal keagamaan yang tidak
memiliki nilai strategis dalam pemerintahan.
Sampai hari ini metode intelektual tradisional masih dipertahankan sebagaian besar
kaum Muslimin, baik secara murni ataupun dengan tambahan sedikit beberapa materi
pengetahuan duniawi, seperti matematika, fisika, biologi, bahasa inggris dan lainnya.
Sistem pendidikan yang mempertahankan metode intelektual tradisional semacam ini,
umumnya akan melahirkan para cendikiawan teksbook, yang handal membahas kitab-kitab
klasik, tanpa inovasi baru, kecuali mengulas (mensyarah) kitab yang sudah ada. Ataupun
ulama dan ustadz yang terpinggir arus modernisasi dan globalisasi dunia, karena
ketidakmampuannya menanggapi dan menyelesaikan problem-problem baru yang
dihadapi masyarakat modern.
Namun bagaimanapun, sistem pendidikan tradisional ini memiliki keutamaan-
keutamaan yang mengangumkan, seperti telah terbukti mampu melahirkan generasi yang
konsisten dan sangat menghormati ajaran Islam, bahkan mereka rela mengorbankan harta
dan nyawa untuk kepentingan Islam dan ummatnya, disamping pribadi yang peka
terhadap masyarakat disekelilingnya, berakhlaq mulia, tawaddu’, ahli ibadah, patriotik
menentang kemungkaran dan kebatilan dengan semangat juhadnya dan sifat-sifat mulia
seorang muslim. Dan metode ini telah melahirkan pemikir-pemikir besar dunia dalam
bidangnya masing-masing, baik dalam ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu tafsir,
ilmu hadits, ilmu sastra, filsafat, pengetahuan alam dan sosial serta cabang-cabang ilmu
lainnya yang mengangumkan dunia sampai sekarang.
Contoh paling tepat untuk sistem pendidikan yang menerapkan metode intelektual
tradisional adalah Universitas Al-Azhar di Mesir pada awal abad ini dan sebelumnya, yaitu
masa sebelum terjadinya pembaruan-pembaruan pada sistem pendidikannya yang
dianjurkan cendikiawan terkemuka seperti Syaikh Muhammad Abduh.
Universitas Al-Azhar awalnya adalah sebuah masjid yang didirikan oleh Dinasti
Fatimiyah yang bermadzhab syi’ah dan berhasil mengembangkannya sebagai sebuah
institusi pengkajian Islam bermadzhab syi’ah, khususnya di msa pemerintahan Sultan al-
Aziz. Ketika Mesir di ambil alih Salahuddin al-Ayyubi yang bermadzhab sunni syafi’yyah,
Al-Azhar dikembangkannya berdasarkan madzhab sunni dan mengalami perkembangan
yang demikian pesatnya dan menjadi tumpuan pelajar-pelajar dari dunia Islam untuk
mendalami ilmu fiqh, ilmu kalam, ataupun adab (sastra Arab). Demikian pula masa-masa
sesudahnya di bawah pemerintahan dinasti Mamluk, Al-Azhar berkembang amat pesat
menjadi pusat studi Islam terbesar di dunia.11

2. Sistem Pendidikan Sekuler


Sistem pendidikan sekuler12 dikenal kaum Muslimin setelah masuknya penjajah
Barat yang menguasai dunia Islam. Para penjajah yang dilengkapi teknologi modern datang
ke dunia Islam dengan semboyan 3 G, Glory (kemenangan), Gold (emas) dan Gospel
(penginjilan), dengan kata lainnya bertujuan untuk menguasai negeri, merampok kekayaan
dan sekaligus menyebarkan faham mereka yang sekuleristis. Untuk mencapai maksud yang
terakhir ini para penjajah telah mendirikan institusi-institusi pendidikan model Barat

11
Untuk ini lihat misalnya : Syaikh Abdullah ‘Inan, Tarikh al-Jami’ Al-Azhar, (Qahirah : Muassasah al-Khumji, th.2.
1958) .Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning (Washington DC : The middle East Institute, 1962); A.Chris
Eccel, Egypt, Islam and Social Change : Al-Azhar in Conflict and Accomodation (Berlin : Klaus Schwarz Verlag, 1984).
12
Sekuler / sekulerisme adalah faham yang memisahkan antara ajaran dunia dengan agama, menurut faham ini dunia,
baik ilmu pengetahuan, teknologi, kekuasaan, moral dan lainnya adalah terpisah sama sekali dengan ajaran agama. Faham
paling ektrim dari sekulerisme adalah Atheisme yang dianut kaum Komonis, bukan saja memisahkan, namun menolak dan
memerangi agama dan tidak mempercayai adanya Tuhan Pencipta alam. Dan Sekulerisme lahir akibat pemberontakan
intelektual yang dilakukan para Cendikiawan Barat abad pertengahan yang sudah tercerahkan terhadap pemuka-pemuka
Kristen yang mendominasi kehidupan masyarakat dan mendapat dukungan para Raja. Para cendikiawan tercerahkan
mendapatkan momentumnya ketika terjadinya revolusi industri yang membawa arti kemenangan para cendikiawan
terhadap dominasi Raja dan Pemuka Gereja. Revolusi industri telah melahirkan pemikir-pemikir ulung Barat dalam berbagai
disiplin ilmu, akibatnya mereka memusihi agama Kristen yang selama ini dianggapnya telah membelenggu pemikiran dan
kreativitas mereka, dan mereka menjadi orang yang sekuler, memisahkan agama dari segala aktivitas keduniaan. Untuk
memahami segala yang berkaitan dengan Sekulerisme, lihat : Syed Moh. Naguib al-Attas, Islam and Secularism.(Kuala
Lumpur : ABIM, 1978).
dengan metode dan landasan filsafat pendidikan Barat yang sekuler dengan tujuan untuk
mencetak kader-kader yang berwajah pribumi (Muslim) namun berfikiran Barat dan akan
dijadikan sebagai pegawai-pegawai upahan mereka. Sehubungan masalah ini, Abduh
menulis :
(pendidikan ini diadakan agar murid) memperoleh gelar yang
memungkinkannya untuk menduduki jabatan juru tulis di suatu departemen
pemerintah kolonial. Tetapi bahwa keperibadian-nya harus dibentuk dengan
pendidikan dan penanaman nilai-nilai hingga ia menjadi orang yang baik dan
layak, agar ia melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya di dalam
pemerintahan ataupun luarnya, tidaklah pernah dipikirkan oleh guru-guru atau
mereka yang mengangkat guru-guru tersebut.13

Pada awalnya para cendikiawan Muslim seperti Sayyid Ahmad Khan, Syekh
Muhammad Abduh, Iqbal dan lainnya berprasangka baik terhadap sistem pendidikan
sekuler dengan metode intelektual Baratnya yang rasional dan modern. Bahkan dengan
metode ini para cendikiawan Muslim ingin mencetak generasi-generasi Muslim yang
berpengetahun maju seperti Barat dengan metode intelektualnya yang modern. Namun
realitasnya generasi apakah yang telah dilahirkan oleh sistem pendidikan sekuler yang
diterapkan pada generasi Islam oleh para pemerintah kolonial ini ? Muhammad Abduh
menulis :
Murid-murid sekolah ini sampai sekarang adalah anak-anak yang tujuan orang
tuanya mendidik mereka adalah untuk menjadi pegawai pemerintah, baik
menyadari tujuan tersebut atau tidak....... (jika mereka tidak menyadarinya),
maka si murid akan pulang kampung, kembali kepada orang tuanya sesudah
menyelesaikan sekolahnya, sesudah mempelajari unsur-unsur sains yang ia tidak
tahu di mana menerapkannya....... Ia merosot dalam kondisi moral yang lebih
buruk daripada orang-orang buta huruf yang bagaimanapun masih tetap berada
dalam kondisi alamiyah mereka; mereka frustasi, ia melihat dirinya tidak bisa
melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua dan keluarganya. Dengan
demikian ia menggunakan umurnya dengan sepenuhnya menganggur atau
hampir setingkat dengan itu.14

Atau apa yang dikatakan penyair Hali, seorang yang pernah mendukung
kebijaksanaan Sayyid Ahmad Khan untuk mengadopsi pendidikan sekuler Inggris, dalam
syairnya berjudul Musaddas :

Mereka tidak dapat meraih prestadi dalam pemerintah


Tidak sanggup berkata sepatahpun
dalam bahasa Durbar yang tinggi
Tidak kuat memikul barang di bazar-bazar
Tidak tahu bercocok tanam di ladang
Ah, kalau saja mereka tidak “terdidik”
13
Syaikh Muhammad Abduh, op.cit. vol 3. hlm. 111
14
ibid.
mereka tentu dapat mencari rezeki dengan seribu cara
tapi sekarang, berkat pendidikan mereka,
mereka tidak dapat berbuat apa-apa.15

Setelah kemerdekaan negeri-negeri kaum Muslimin diperoleh, maka sistem


pendidikan yang menerapkan metode intelektual sekuler ini mendapat tempat utama
dalam pendidikan negara, karena umumnya penguasa-penguasa pemerintahan yang baru
merdeka adalah produk sistem pendidikan sekuler yang telah disiapkan penjajah untuk
meneruskan penjajahannya. Sehubungan masalah ini, Fazlur Rahman menulis :

Sejak diperolehnya kemerdekaan politik, (a) pendidikan di negeri-negeri tersebut


pada dasarnya hanya merupakan kelanjutan dari pendidikan kolonial, yang
pada intinya ditujukan untuk melatih pegawai-pegawai pemerintah rendahan
yang akan melayani kepentingan pemerintah kolonial; pendidikan ini tidaklah
memberikan pendasaran yang kuat dalam budaya tradisional, tidak pula latihan
yang ril untuk melaksanakan tanggungjawab dalam suatu masyarakat modern
yang merdeka.16

Atau apa yang dikatakan Faruqi :

Kemerdekaan nasional telah memberikan dorongan yang terbesar kepada sistem


pendidikan sekuler, dengan menganggap-kan kemerdekaan itu sebagai
kemerdekaannya sendiri. Mencu-rahkan dana negara ke dalam sistemnya dan
semakin menyebar-luaskannya dengan dalih demi nasionalisme dan
patriotisme. Kekuatan-kekuatan westernisasi dan sekulerisasi dan sebagai
akibatnya, de-Islamisasi para guru dan murid berlanjut terus dengan pasti dan
menentukan di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universi-tas.17

Metode intelektual yang diterapkan sistem pendidikan sekuler yang sebagian


besarnya diterapkan kaum Muslimin saat ini telah melahirkan generasi tanggung yang
serba salah. Tidak menjadi pribadi Muslim yang soleh seperti produk metode tradisional
ataupun tidak juga seperti generasi Barat yang modern-ilmiyah dan rasional, tidak
menyerupai generasi Islam terdahulu yang konsisten terhadap ajaran Islam juga tidak
memiliki wawasan maju seperti generasi Barat sekuler, tapi hanya sebuah karikatur
generasi Barat yang hanya pandai membeo, membebek dan meniru penampilan luar Barat
saja, tidak lebih dari itu. Produk pendidikan metode sekuler ini menambah beban kaum
Muslimin yang sudah menderita dengan keterbelakangannya, karena mereka tidak dapat
dipergunakan untuk Islam dan kemajuan ummatnya akibat ketidak fahaman mereka
terhadap ajaran Islam dan yang terpenting mereka tidak memiliki ruh keislaman yang akan
menjadi penggerak utama dalam kehidupan seorang Muslim, karena metode ini telah

15
Khawaja Altaf, Husayn Hali, Musaddas, (Luknow : Sadi, 1935). hlm. 72
16

Fazlur Rahman, op.cit ,hlm.89


17
Ismail Faruqi, op.cit. ,hlm. 12
memisahkan mereka dari ajaran Islam dan semangatnya. Sebagian besar dari mereka
akhirnya mengejar materi keduniaan dengan profesi masing-masing karena metode ini
telah menjadikan mereka manusia-manusia materialis, yang menjadi salah satu tujuan dan
falsafah didirikannya lembaga pendidikan sekuler. Generasi Muslim yang terdidik dalam
metode ini meneruskan pendidikan setinggi-tingginya agar kelak mendapat kedudukan
yang tinggi dengan penghasilan yang tinggi pula. Bahkan tidak sedikit di antara mereka
yang menjadi penentang-penentang Islam yang amat gigih, lebih mengutamakan sistem
hidup sekuler daripada Islam, dan jika mereka mendapat kedudukan tinggi dalam
pemerintahan, merekalah yang akan menjadi agen utama para penjajah modern dalam
menyebarkan segala bentuk ide sesat yang akan menjeruskan ummah. Namun anehnya, di
saat yang sama mereka tetap ngotot menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, bahkan
dengan bangga menyatakan dirinya sebagai Muslim sekuler, sebuah istilah yang tidak
pernah dikenal Islam, dan pernyataan ini yang akan mengakibatkan terkeluarnya mereka
dari Islam. Karena dalam Islam tidak ada istilah Islam sekuler, Islam yang memisahkan
antara dunia dengan agama, Islam berbeda dengan ajaran Kristen yang menjadi penyebab
lahirnya sekulerisme, karena Islam adalah ajaran lengkap dan sempurna yang
memerintahkan pemeluknya agar mengikuti Islam secara totalitas (kaffah).
Dewasa ini telah berkembang dengan pesatnya institusi-institusi pendidikan yang
menerapkan metode sekuler yang yang dikelola kaum Muslimin, bahkan ada yang
menggunakan nama universitas Islam, namun metode yang diterapkan adalah metode
sekuler, akhirnya institusi seperti ini tidak akan mengantarkan kemajuan kepada ummah,
bahkan akan menambah beban yang sudah ada. Sehubungan masalah ini, Faruqi menulis :

Meskipun perluasan hebat yang terjadi sedemikian jauhnya, keadaan


pendidikan di dunia Islam adalah yang terburuk. Sehubungan Islamisasi, baik
sekolah-sekolah, akademi-akademi dan universitas-universitas yang tradisional
ataupun sekuler tidak pernah seberani sekarang dalam mengemukakan tesa-tesa
yang tidak Islami dan tidak pernah sehebat sekarang acuhnya mayoritas
terbesar pemuda-pemuda Muslim terhadap Islam. Karena diciptakan di masa
pemerintahan kolonial, sistem pendidikan sekuler ini memegang proporsi yang
sangat besar dan mencampakkan sistem Islam dari bidang ini.18

Contoh nyata dari sistem pendidikan sekuler ini adalah sekolah-sekolah, akademi-
akademi, universitas-universitas dan isntitusi-institusi yang dikendalikan oleh pemerintah
di sebagian besar dunia Islam. Institusi pendidikan yang merupakan karikatur dari sistem
pendidikan Barat, yang tidak memberikan tempat pada Islam, kecuali sedikit sekali, sebagai
mata pelajaran pelengkap yang tidak akan memberikan pemahaman mendalam tentang
Islam apa lagi akan menumbuhkan semangat keislaman tinggi yang membawa perubahan
mental. Islam dipelajari sebatas pengetahuan, sebagaimana pengetahuan-pengetahuan
lainnya, bukan dipelajari sebagai pembimbing kehidupan yang harus diterapkan dalam
kehidupan nyata sebagai pedoman aktivitas kehidupan. Generasi Islam yang belajar
didoktrin sebagaimana faham sekuler memandang kedudukan agama dan memisahkannya

18
ibid,
dari kehidupan dunia, dan memandang Islam sebagai amalan seremonial belaka. Akhirnya
institusi pendidikan semacam inilah yang akhirnya akan melahirkan orang-orang yang
menyatakan dirinya Muslim, namun tidak mengamalkan Islam dalam kehidupannya,
bahkan jauh dari ajaran Islam. Orientasi hidupnya adalah orientasi sekuler yang hanya
mengejar kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya semata, sebagaimana mereka
diajarkan metode intelektual sekuler.
Walaupun institusi sekuler semacam ini, yang banyak dikelola kaum Muslimin,
ngotot menyatakan dirinya sebagai institusi Islam, karena dinamakan dengan “Universitas
Islam”, “Akademi Islam”, “Sekolah Islam” dan sejenisnya namun dapat dipastikan bahwa
institusi ini tetap institusi sekuler, karena menerapkan metode sekuler dalam sistem
pendidikannya. Disinilah banyak para cendikia kita mengalami kebingungan dalam
membedakan sekuler dan Islaminya sebuah institusi pendidikan akibat ketidakta-huannya
membedakan antara metode intelektual sekuler dan metode intelektual Islami. Mereka
beranggapan bahwa apabila dikenakan nama Islam pada sebuah institusi, maka jadilah
institusi tersebut sebagai institusi Islam walaupun pada hakikatnya menerapkan metode
sekuler. Islam dan sekulernya sebuah institusi pendidikan bukan ditentukan oleh namanya,
namun yang terpenting adalah metode intelektual yang diterapkan dalam sistem
pendidikan tersebut. Sebuah institusi dinamakan institusi Islam apabila menerapkan
seluruh aspek metode intelektual Islami dan sebaliknya, dikatakan sekuler apabila
menerapkan metode sekuler, walaupun institusi ini ngotot menyatakan dirinya institusi
Islam, namun bagaimanapun ia tetaplah sebuah institusi sekuler karena menerapkan
metode intelektual sekuler.

3. Sistem Pendidikan Gabungan Tradisional dan Sekuler


Sistem pendidikan gabungan antara sistem tradisional dengan sekuler adalah salah
satu metode alternatif yang dikemukakan para cendikiawan Islam sejak akhir abad delapan
belasan dan awal abad sembilan belasan dan mngalami penyempurnaan-penyempurnaan
sampai sekarang. Sistem ini dirumuskan dengan tujuan untuk menggabungkan keutamaan-
keutamaan yang ada pada kedua metodelogi yang sudah umum berlaku di kalangan kaum
Muslimin guna meningkatkan kwalitas mereka di segala aspek kehidupan, khususnya
kwalitas intelektualitas yang menjadi sumber penggerak kemajuan.19 Penggabungan ini
hakikatnya berangkat dari asumsi bahwa sistem tradisional telah terbukti melahirkan para
cendikiawan yang memahami Islam dengan baik dan konsisten dalam melaksanakannya,
namun kelemahan mereka tidak menguasai sains-sains modern dengan metode
ilmiyaahnya, sementara sistem sekuler terbukti telah melahirkan para cendikiawan yang
ulung dalam menguasai sains-sains modern dengan metodeloginya, namun tidak
memahami Islam dengan baik, bahkan cendrung tidak konsisiten terhadap ajaran Islam
akibat bias faham sekulerisme yang netral dari agama. Maka dengan sistem gabungan ini
kelak diharapkan akan melahirkan model cendikiawan Muslim yang memahami ajaran
Islam dengan baik serta konsisten dalam melaksanakannya sekaligus menguasai
pengetahuan modern dengan metodeloginya sebagaimana cendikiawan Barat, dan mereka
akan menjadi penggerak kemajuan kaum Muslimin dengan penguasaan sains-teknologi
19
Ismail Faruqi, op.cit, hlm.13. Fazlur Rahman, op.cit, bab III
modern dan sekaligus mengembangkan sains-sains baru yang berlandaskan semangat
Islam.20
Umumnya para cendikiawan Muslim yang menyerukan pembaharuan sistem
pendidikan dengan menggabungkan kedua metode ini memiliki asumsi-asumsi dasar yang
mereka jadikan sebagai landasan teorinya, sebagaimana dikemuka-kan Fazlur Rahman :

(1) bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang


teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah
memerlukan produk intelektual Barat- bahkan produk tersebut haruslah
dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan
dalam pikiran Muslim, dimana sistem kepercayaan Islam tradisional telah
memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan
puncak mengenai pandangan dunia; (2)bahwa kaum Muslimin tanpa takut boleh
dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tapi juga
intelektualismenya, karena tidak ada satu jenis pengetahuanpun yang
merugikan dan bahwa bagaima-napun juga sains dan pemikiran murni dulu
telah dengan giat dikembangkan kaum Muslimin pada awal abad-abad
pertengahan, yang kemudian di ambil alih oleh Eropa sendiri.21

Fazlur Rahman membagi proses pembaharuan yang akan menggabungkan kedua


metodelogi ini, yang diistilahkannya sebagai modernisasi, menjadi dua fase, yaitu: (1).
Modernisasi Klasik (Classical Modernism) (2). Modernisasi Kontemporer (Contemporary
Modernism)22

Akademi Aligarh (Aligarh College) yang didirikan pada tahun 1881 oleh Sayyid
Ahmad Khan adalah salah satu institusi pendidikan yang tepat untuk mewakili sistem
gabungan tradisional dan sekuler ini pada awal-awal diserukannya. Akademi Aligarh
didirikan dengan tujuan untuk menggabungkan metode tradisional Islam dengan sekuler
yang diadopsi dari Inggris. Bahasa pengantarnya adalah Inggris dan Arab, disamping Urdu
dan Parsi. Programnya setingkat sarjana muda (BA) dan sarjana (MA). Adapun mata kuliah
yang diajarkan meliputi teologi, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, ilmu aqaid, matematika,
fisika, sejarah, psikologi, filsafat, politik, ekonomi, geologi, biologi dan lainnya.23 Namun
produk institusi gabungan ini sangat mengecewakan, seperti yang dinyatakan Fazlur
Rahman :
Ciri produk-produk pendidikan baru sebagai tak punya darah segar, sebagai
bayangan Barat yang pucat dan sebagai tak punya darah segar, sebagai
bayangan Barat yang pucat dan sebagai anak haram budaya intelektual,
merupakan tema-tema gamlang bagi Abul Kalam Azad dan penyair Akbar

20
Fazlur Rahman, op.cit. hlm. 143.
21
Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 46-47
22
Fazlur Rahman, op.cit. bab II & III
23

Syed Masroor Ali Akhtar Harmi,Muslim Response to Western Education,(New Delhi: Commenwealth Publ, 1989), hlm. 85-98.
lihat juga, Barbara Daly Metcalf, Islamic Revival in Brithis India : Deoband 1860-1990,(Princeton : Princeton Univ. Press,
1982).
Alahabadi. Sayyid Ahmad khan sendiri melukiskan produk-produk awal
Aligarh sebagai “setan-setan”. Mengenai ketidak orisinalitas dan
kebermanfaatan mereka bagi masyarakat mereka, dinyatakan kuat Hali, Syibli
Nu’mani dan Iqbal. Istilah hinaan “magrib zadah” (tertimpa penyakit Barat)
diterapkan kepada masyarakat yang berpendidikan Barat dan yang terbaratkan
oleh banyak penulis, yang paling terkemukan diantaranya Azad, Zhafar Ali
Khan dan Maududi.... ”Di Lahore, misalnya, dapat ditemui orang-orang yang
bertitel MA menyemir sepatu di tangga toko-toko kecil. Kualitas lulusan baru
yang sangat rendah dan ketidakbergunaan serta ketidakber-dayaan inilah yang
disoroti Hali dalam Musaddasnya.24

Salah satu penyebab utama kegagalan institusi ini adalah akibat ketiadaannya
tenaga pengajar profesional yang memahami benar orientasi sistem gabungan ini. Aligarh
College misalnya, harus mengambil profesor-profesor sains sekuler dari Universitas Oxford
Inggris sementara menyerahkan pengajaran agama kepada Ulama lulusan Dar al-Ulum
Deobond yang sangat tradisional. Di samping buku-buku referensi yang belum memadai
untuk menggabungkan kedua sistem ini. Akhirnya sistem gabungan ini tidak memberikan
hasil maksimal yang memuaskan, bahkan menghasilkan sistem yang merugikan sistem
sekuler ataupun tradisional karena tidak memberikan integrasi timbal balik bagi keduanya.
Disamping itu sistem pendidikan Barat yang diadopsi kaum Muslimin berasal dari sistem
tersendiri yang berbeda latar belakang filsafat dan budaya dengan kaum Muslimin.25

4. Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan

Rumusan terkini yang dikemukakan para cendikiawan Muslim dalam


pengembangan dan penyempurnaan sistem pendidikan kaum Muslimin adalah apa yang
diistilahkan mereka sebagai Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Istilah ini
muncul dan menjadi populer setelah Ismail R. Faruqi membacakan makalahnya yang
terkenal : Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan pada seminar
internasional Islamisasi pengetahuan yang pertama di Islamabad Pakistan pada tahun 1982
yang dihadiri oleh para cendikiawan Muslim terkemuka dari seluruh dunia. Makalah yang
disampaikan Faruqi adalah hasil penelitian bersamanya dengan tokoh-tokoh cendikiawan
Muslim seperti AbdulHamid AbuSulayman (tokoh Assocation of Muslim Social Sciencists,
AMSS di Amerika). Seminar ini bertujuan mencari rumusan-rumusan baru hubungan Islam
dengan pengetahuan modern. Menyempurnakan pembaha-ruan-pembaharuan metode
intelektual kaum Muslimin yang telah diserukan terdahulu oleh tokoh-tokoh pelopor
pembaharuan seperti Syeikh Muhammad Abduh. Seminar ini berhasil merumuskan
kerangka dasar pemikiran sebagai referensi dalam mengislamisasikan pengetahuan
modern.26
24
Fazlur Rahman, op.cit. hlm. 72.
25

Fazlur Rahman, op.cit.hlm.70


26
Ismail R. Faruqi, Islamization of Knowledge, revised and expanded,(Virginia : IIIT, 1989). National Hijra Council, Knowledge
for what ?. Being the Proceeding and Papers of the Seminar on Islamization of Knowledge,(Islamabad : National Hijra
Council, 1986)
Menurut Wan Mohd. Nor Wan Daud,27 sebenarnya yang pertama sekali
mengemukakan konsep tentang Islamisasi pengetahuan karena pengetahuan yang ada
dianggapnya Atheis adalah Sir Muhammad Iqbal pada tahun 30-an, namun beliau tidak
menjabarkan lebih jauh idenya.28 Pada tahun 1960, Prof. S.H. Nasr, seorang sarjana
terkemuka dalam pengetahuan Islam mengemukakan metode dalam mengislamisasikan
pengetahuan modern yang diintrpetasikan dan diaplikasikan dalam teorinya mengenai
konsep Islam tentang kosmos.29 Dan yang pertama sekali secara resmi merumuskan,
mendifinisikan dan mempertahankan teori Islamisasi pengetahuan yang ada saat ini,
dengan mendifinisikan pengertian pengetahuan dan hubungan pentingnya dengan konsep,
manusia, keadilan dan kebijaksanaan adalah Prof. Syed Moh. Naquib al-Attas pada tahun
1977 dalam makalahnya The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic
Philosophy of Education30 yang dibacakannya pada konferensi Internasional Pertama dalam
Pendidikan Muslim di Makkah al-Mukarramah yang dihadiri lebih dari 300 cendikiawan
Muslim dari seluruh penjuru dunia.31

4.1. Urgensi Islamisasi Pengetahuan


Islamisasi pengetahuan yang diilhami oleh Sir Muhammad Iqbal dan dikembangkan
para cendikiawan Muslim belakangan ini memiliki urgensi yang sangat mendasar terhadap
sistem pendidikan kaum Muslimin. Kerena pada hakikatnya semua pengetahuan modern
yang berkembang pesat dan telah mendominasi pemikiran sebagian besar ummah masa ini
adalah datang dari peradaban Barat yang sekuler dan dualistik. Mengenai akar peradaban
Barat, Syed Muhammad Naquib al-Attas menulis :
peradaban yang telah tumbuh dari peleburan historis dari kebudayaan, filsafat,
nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno beserta perpaduannya dengan
ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat
Latin, Jermia, Keltik dan Nordik. Dari Yunani kuno diperoleh unsur-unsur
filosofis dan epistemologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta
estetika. Dari Romawi unsur-unsur hukum dan ilmu tata negara serta
pemerintahan, dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan
relegius dan dari rakyat Latin, Jermia, Keltik dan Nordik nilai-nilai semangat
dan tradisi mereka yang bebas dan nasionalis. Mereka ini mengembangkan serta
memajukan ilmu-ilmu pengetahuan alam, fisika dan teknologi. Bersama-sama
dengan rakyat Slavia, mereka telah mendorong peradaban Barat ke puncak-
puncak menara kekuatan. Islam juga telah memberikan sumbangan-sumbangan
pengetahuan, menanamkan semangat rasional dan ilmiyah. Mereka telah
melebur dan memadukan semua unsur yang membentuk watak serta kepribadian
peradaban Barat. Peleburan dan pemaduan yang berlangsung ini menghasilkan

27
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Crest of A Hill,(Kuala Lumpur : ISTAC, 1991), hlm. 34-35
28
Lihat, K.G. Saiyidain, Iqbal Educational Philosophy (Lahore : Sh. Muh. Ashraf, 1942), hlm. 99.
29
S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines,, Revised edt. (London : Thames and Hudson, 1978).
hlm. xxi-xxii.
30
Syed M. Naqub al-Attas, The Concept of Education in Islam ; A Framework for an Islamic Philosophy of Education,
(Kuala Lumpur : ABIM, 1980).
31
Wan Mohd. Nor Wan Daud, op.cit,hlm.13
suatu dualisme yang khas dalam pandangan dunia dan nilai-nilai kebudayaan
dan peradaban Barat.32

Dengan landasan filsafat yang dualistik inilah Barat modern kemudian bergerak
dengan kecepatan tinggi mengembangkan dan menguasai sains-teknologi dalam hampir
semua bidang kehidupan manusia. Akibat dualisme pada landasan filsafat pemikirannya
ini, maka terjadilah kepincangan-kepincangan pada peradaban Barat yang membawa
dampak sangat serius bagi keselamatan umat manusia di muka bumi ini. Akhirnya
peradaban yang dibangun Barat modern dengan segala timbunan materinya yang sangat
menyilaukan sebagian besar para cendikiawan Muslim telah mengalami kegagalan seperti
yang digambarkan Sayyid Hossein Nasr;

Peradaban yang berkembang di Barat sejak zaman Renaissance adalah sebuah


eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga
umat manusia menjadi ragu apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di
masa yang akan datang. Sangatlah tidak ilmiyah apabila kita menganggap
peradaban modern ini dengan segala gambaran mengenai sifat manusia dan
alam semesta yang mendasarinya, bukan sebagai sebuah eksperimen yang gagal.
Dan sesungguhnya penelitian ilmiyah, jika tidak menjadi jumud karena
rasionalisme dan empirisme yang totalarian seperti yang kami katakan di atas,
sudah tentu merupakan cara termudah untuk menyadarkan manusia sekarang
bahwa peradaban modern sesungguhnya telah gagal karena kesalahan konsep-
konsep yang melandasinya. Peradaban modern telah ditegakkan di atas dasar
konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling mendasar
bagi manusia.33

Kegagalan peradaban Barat modern, baik secara teori maupun praktek adalah
tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia dan harus segera diatasi secepat mungkin,
karena tantangan telah menjadi sumber segala problematika umat manusia, seperti
dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas;

Banyak tantangan yang timbul di tengah-tengah kebingungan manusia


sepanjang zaman, tetapi tidak satupun yang lebih serius dan sangat destruktif
kepada manusia sekarang selain yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Saya
berpendapat bahwa tantangan yang paling besar yang secara sembunyi-
sembunyi telah muncul pada zaman kita adalah tantangan pengetahuan
(knowledge), tidak seperti berperang melawan kejahilan; tapi sebagai
pengetahuan yang disusun dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia oleh
peradaban Barat; sifat dasar pengetahuan menjadi permasalahan setelah ia
kehilangan tujuan sebenarnya karena disusun secara tidak adil yang dengan
begitu justru menimbulkan kekacauan pada kehidupan manusia, dan lebih jauh
pada kedamaian dan keadilan; pengetahuan menganggap diri sesuai dengan
32
Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism, hlm. 136
33
S.H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (London : Longman, 1975), hlm.12
kenyataan, padahal ia adalah produk dari rasa kebingungan dan skeptisme, yang
mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiyah dalam metodeloginya
dan memandang keraguan sebagai epistemologi paling tepat dalam mencari
kebenaran; pengetahuan, untuk pertama kali dalam sejarah, telah membawa
kekacauan pada tiga kerajaan alam; binatang, tumbuhan dan mineral.34

Asumsi-asumsi seperti inilah yang dijadikan alasan utama oleh para cendikiawan
Muslim kontemporer seperti Sayyid Hossein Nasr, Syed Muhamad Naquib al-Attas, Ismail
R. Faruqi dan lain-lainnya dalam mengembangkan metodelogi pemikiran yang bertujuan
untuk mengislamisasikan pengeta-huan (Islamization of Knowledge) yang dimiliki peradaban
Barat Modern. Karena bagaimanapun peradaban Barat telah menghasilkan pengetahuan
yang luar biasa dalam segala aspek kehidupan dan sangat bermanfaat untuk kepentingan
umat manusia. Itulah sebabnya, pengetahuan modern Barat perlu diislamisasikan agar
sesuai dengan kehendak dan tujuan mulia ajaran Islam.

4.2. Aliran Islamisasi Pengetahuan


Jika dianalisis lebih jauh menurut pendekatan yang digunakan dan diterapkan
dalam pengembangan teori-teorinya, ada beberapa aliran yang sangat berpengaruh dalam
mengembangkan metode pemikiran yang berdasarkan Islamisasi pengetahuan ini, namun
pada hakikatnya yang dominan dan didukung institusi intelektual yang solid ada dua,
yaitu; Islamisasi Pengetahuan model Faruqi dan Penerusnya yang didukung The
International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Virginia Amerika Serikat
dan Islamisasi Pengetahuan model Syed Muhammad Naquib al-Attas yang didukung
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang berpusat di Kuala
Lumpur Malaysia.
Konsep Islamisasi pengetahuan menurut Faruqi hakikatnya adalah proses untuk
memberikan ruh (spirit) Islam kepada pengetahuan modern yang telah ditemukan Barat
terlebih dahulu, dengan proses mengetahui landasan filsafat pengetahuan tersebut,
kemudian dinilai relevansinya terhadap nila-nilai Islam. Oleh karena itu, seorang
cendikiawan yang akan mengislamisasikan sebuah pengetahuan harus mengetahui secara
pasti ajaran Islam dan pengetahuan modern yang akan dislamisasikan. Istilah Islamisasi
sendiri digunakan untuk menyaingi dua istilah yang telah populer lebih dahulu dikalangan
kaum Muslimin dan sangat mempengaruhi pemikiran mereka, yaitu Westernisasi dan
Modernisasi. Di mana kedua istilah ini sangat banyak menimbulkan kekeliruan akibat
ketidakjelasan pengertiannya ataupun orientasinya, dan dapat menyesatkan ummah.
Pelaksanaan Islamisasi pengetahuan ini boleh saja berbentuk transformasi pengetahuan
yang tidak bertentangan dengan Islam kepada ummah secara langsung, menyaring
pengetahuan pengetahuan dari pengetahuan non Islami dengan memberikan spirit Islam,
ataupun orientasi Islami sehingga sesuai dengan kaedah pengetahuan Islam,
menyempurnakan pengetahuan non Islami yang sesuai dengan ajaran Islam dengan
memberikan kaedah-kaedah Islami, memperbaharui atau merombak pengetahuan non

34
Syed Muh. Naquib al-Attas, Nature of Knowledge and The Definition and Aim of Education,(Jeddah : King Abdul
Aziz Univ, 1979). hlm. 19-20.
Islami menjadi Islami, menggabungkan kedua pengetahuan yang ditemukan metodelogi
gabungan tradisional dengan sekuler sehingga lahir bentuk pengetahuan baru yang lebih
sempurna ataupun cara-cara lainnya.35 Untuk mensukseskan program Islamisasi
pengetahuan ini, ditunjuk The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang
berpusat di Herndon, Virginia Amerika untuk menghimpun para cendikiawan Muslim
seluruh dunia dari berbagai disiplin pengetahuan, mereka ditugaskan meneliti dan menulis
sesuai dengan spesialisasi pengetahuannya masing-masing, kemudian hasil penelitian
mereka diterbitkan dalam jurnal atau buku yang akan disebarluaskan. Para cendikiawan
Muslim yang dihimpun IIIT sudah berupaya semaksimal mungkin dengan pengetahuan
yang dimilikinya untuk mendifinisikan, merumuskan, menjabarkan dasar-dasar Islamisasi
pengetahuan, kemudian didiskusikan dan diseminarkan dikalangan mereka dan akhirnya
diterapkan pada beberapa institusi pendidikan tinggi Islam di negara-negara Muslim
seperti Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia dan lainnya.36
Sementra Islamisasi pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas pada
hakikatnya adalah proses untuk mengisolasi dan memindahkan segala sesuatu yang tidak
Islami, terutama elemen-elemen Barat dan konsep-konsep yang menyertainya. Ini juga
berarti memasukkan elemen-elemen kunci Islam dan konsep-konsep yang menyertainya
kepada elemen-elemen dan konsep-konsep yang baru ataupun asing. Beberapa elemen dan
konsep kunci Islam diantaranya adalah agama (din), manusia (insan), pengetahuan (ilm dan
ma’rifah), kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), perbuatan benar (‘amal sebagai adab),
dimana semua ini menjadi kesatuan landasan dan dasar yang saling berhubung-kait dengan
konsep Tuhan, esensi dan atribut-Nya (tauhid); pengertian dan pesan al-Qur’an, al-Sunnah
dan Syariah.37 Untuk mengembangkan konsep Islamisasi pengetahuan ini, Syed al-Attas
didukung oleh sebuah lembaga yang solid, International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) yang merupakan lembaga studi Islam yang sekaligus mendidik
mahasiswa di tingkat pasca sarjana dan tempat berhimpunnya para cendikiawan Muslim
seluruh dunia untuk mendiskusikan masalah-masalah keislaman yang didukung oleh
perpustakaan yang besar dan lengkap, khususnya mengenai Islam. ISTAC telah
menerbitkan beberapa buah buku yang menjadi panduan dalam memahami Islam.
Lembaga ini didirikan pada hakikatnya untuk menjadi simbol keagungan pendirinya, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, seorang cendikiawan Muslim terkemuka masa ini yang
memiliki pemikiran-pemikiran cemerlang.38

4.3. Evaluasi terhadap Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan


Usaha-usaha serius para cendikiawan Muslim yang berkelanjutan dalam
mengislamisasikan pengetahuan ini sangat bermanfaat untuk menyempurnakan sistem dan

35
Ismail R. Faruqi, op.cit.hlm. 83. Lihat juga, ‘Imad al-Din Khalil, Madkhal ila Islamiyat al-Ma’rifah, (Herndon,
Virginia : IIIT, 1991). Abu al-Qasim Hajj Hammad, al ‘Alamiyah al-Islamiyah al-Insaniyah, (Beirut : Dar al-Masirah, 1980).
Taha J. al-’Alwany, “The Islamization of Knowledge : Yesterday and Today”, Dalam The American Journal of Islamic Social
Sciences, vol. 12, Spring 1995, No 1 ( Kuala Lumpur : IKD, 1995), hlm. 80-101. ‘AbdulHamid A. AbuSulayman, Mafahim fi
I’adat Bina’ Manhajiyat al-Fikr al-Islamy al-Mu’asir, dalam Toward Islamization of Disciplines,(Herndon, Virginia : IIIT,
1989).hlm.31-68.
36
ibid
37
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon, op.cit. hlm.37
38

op.cit. hlm. 4-6.


metode pendidikan kaum Muslimin di masa depan, dan harus difahami bahwa proses ini
adalah proses yang masih berada pada tingkat permulaan yang memerlukan penelitian
berkepanjangan. Karena kaum Muslimin dewasa ini sudah kehilangan jejak tradisi dan
warisan para cendikiawan Muslim terdahulu beberapa abad sejak terjadinya pencerahan
Eropa. Memang terlalu awal jika konsep Islamisasi Pengetahuan ini dinilai keberhasilannya,
karena teori ini sedang dalam proses eksperimen yang akan menyempurnakan sistem dan
metodeloginya. Namun demikian, untuk mengevalusi sejauh mana keabsahan teori ini
perlu diberikan penjelasan yang lebih terperinci, sebagaimana dikemukakan Fazlur
Rahman,39 terutama dalam proses memberikan spirit Islam kepada pengetahuan Barat
modern. Sebagaimana dimaklumi, pengetahuan terdiri dari sains-sains kealaman (eksak)
dan sains-sains sosial (humanika). Sains-sains kealaman adalah pengetahuan yang sesuai
dengan Sunnatullah (hukum alam) dan tidak mungkin diolahsuai menurut kehendak
manusia, karena hal ini adalah sesuatu kejadian yang sudah pasti tertentu kadarnya. Usaha-
usaha untuk memanipulasinya jelas akan mendatangkan kegagalan belaka. Dalam hal ini
Islamisasi atau pemberian ruh Islam dapat dilakukan, karena pada hakikatnya alam ini
adalah kitab Allah yang tidak tertulis, yang tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an,
sumber utama ajaran Islam, selama tidak dimanipulasi kehendak yang ingin
menyimpangkannya. Namun pada sains-sains sosial humanika, lain halnya, karena jelas
pengetahuan ini sangat relevan terhadap nilai-nilai yang menemukannya dan
merumuskannya. Jika pengetahuan ini dikemukakan Barat, maka pengetahuan ini tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai Barat, dengan kata lainnya terkandung unsur subyektivitas
dalam pengetahuan tersebut. Maka dalam kasus seperti ini, Islamisasi pengetahuan perlu
diberikan pengertian yang lebih jelas, karena sains-sains sosial-humanika yang telah
dikemukakan Barat saat ini pasti tidak terlepas dari nilai-nilai mereka yang sekuleris dan
materialis.
Pertanyaan yang timbul, mungkinkah mengislami-sasikan pengetahuan yang
berbeda, bahkan bertentangan, landasan filsafatnya, orientasinya, relevansinya, produknya
dan lain-lain aspeknya dengan ajaran Islam ? Realitasnya, para cendikiawan Muslim yang
berhadapan dengan kasus seperti ini, mau tidak mau harus menggali langsung ajaran Islam
yang berkaitan dengan pengetahuan berkenaan.
Seperti kasus Islamisasi ekonomi misalnya, para cendikiawan Muslim tidak
mungkin mengislamisasikan konsep riba’ (bunga) yang terkandung pada sistem ekonomi
Kapitalis Barat modern yang berlandaskan filsafat dan nilai-nilai sekuler yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan Islam. Untuk mengatasi masalah ini, para
cendikiawan Muslim terpaksa menggali warisan tradisi Islam yang bersumber pada al-
Qur’an, al-Sunnah, perilaku sahabat, ijma’, qiyas dan lainnya sehingga mereka menemukan
dan merumuskan sistem ekonomi Islam tersendiri dengan konsep-konsep ataupun teori-

39

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 131-132


teorinya yang sama persis ataupun bertentangan dengan konsep atau teori ekonomi Barat. 40

Hal serupa pula yang dilakukan para cendikiawan Muslim ketika mereka akan
mengislamisasikan sosiologi,41 mengislamisasikan antropologi,42 mengislamisasikan seni
dan disiplinnya,43 mengislamisasikan bahasa,44 dan mengislami-sasikan pengetahuan yang
lain-lainnya.45
Dengan demikian, apa yang diistilahkan sebagai Islamisasi pengetahuan dan
dipraktikkan cendikiawan Muslim saat ini, khususnya Islamisasi model Faruqi, pada
hakikatnya bukanlah suatu proses mengislamkan atau memberikan spirit Islam kepada
pengetahuan Barat modern, tetapi lebih merupakan proses mencari, meneliti, merumuskan
dan mengembangkan suatu disiplin pengetahuan yang belum ada pada peradaban modern,
walaupun nantinya dalam pelaksanaannya mereka menjadikan referensi pengetahuan-
pengetahuan yang sudah ada, baik dari warisan tradisi peradaban Islam ataupun
peradaban Barat. Sementara Islamisasi mengandung pengertian merubah sesuatu yang
tidak Islami menjadi Islami, maka jelas perubahan tidaklah identik dengan penyusunan,
karena perubahan mengandung pengertian merubah sesuatu yang sudah ada, baik dengan
mengurangi ataupun menambahnya, menjadi bentuk lainnya, tetapi penyusunan
mengandung makna mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Seperti ekonomi
Islam misalnya, saat ini kaum Muslimin belum memiliki model sistem ekonomi Islam yang
dapat diterapkan sesuai keperluan masyarakat modern, maka para cendikiawan Muslim
tidaklah mengadopsi ekonomi Barat menjadi ekonomi Islam dengan proses perubahan
yang disebutnya sebagai Islamisasi, tetapi mereka berusaha mencari, meneliti, merumuskan
dan mengem-bangkan teori-teori ekonomi tersendiri berdasarkan ajaran Islam, dan
mungkin mereka akan menggunakan teori ekonomi Barat sebagai bahan perbandingan dan
referensi sehingga mereka menemukan suatu teori ekonomi Islam yang mungkin berbeda
dan mungkin juga sama persis dengan ekonomi Barat. Namun proses ini tidaklah dapat
dinamakan sebagai perubahan teori, namun penyusunan teori baru.
Istilah Islamisasi pengetahuan sendiri dapat memberikan kesan seakan-akan ajaran
Islam tidak memiliki sistem pengetahuan dan kehidupan yang sempurna, sehingga perlu
diambilkan dari dari luar Islam. Seperti sistem ekonomi, seakan-akan Islam tidak memiliki
sistem ekonomi sendiri sehingga perlu diambilkan dari sistem luar Islam dengan proses
40
Untuk masalah ini lihat misalnya, M. Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics”, dalam Toward Islamization of
Disciplines, op.cit. hlm.253-261. M. Anas al-Zarqa,”Tahqiq Islamiyat ‘Ilm al Iqtishad : al-Mafhum wa al-Manhaj, dalam
Toward Islamization of Disciplines. op.cit. hlm.317-351. Abdul Hamid A. AbuSulayman, “The theory of the Economics of
Islam : the Economics of Tawhid and brotherhood” di Contemporary Aspects of Economic Thinking in Islam,(Indianapolis :
American Trust Publ. April, 1968). Mohammad Anwar, Modelling Interest-Free Economy, A Study in Macro-econonomics and
Development, (Herndon, Virginia : IIIT, 1987). Khursid Ahmad,(ed), Studies in Islamic Economics, (Jeddah : International
Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz Univ, 1980). A.H.M. Sadeq, Islamic Economics, Some Selected
Issues,(Lahore : Islamic Publ. 1989). Zohurul Islam, Islamic Economics, (Dhaka : Islamic Foundation Bangladesh, 1987).
Taqyuddin al-Nabhani, al-Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam,(Beirut : Dar al-Ummah, 1990). M. Umer Chapra, Towards a Just
Monetary System, (London : The Islamic Foundation, 1985). S.M. Yusuf, Economic Justice in Islam, (Lahore : Shaikh
Muhammad Ashraf, 1971).
41

Ilyas Ba-Yunus & Farid Ahmad, Islamic Sociology : An Introduction,(Cambridge : Hodder and Stoughton, 1985).
42
Akbar S. Ahmad, “Toward Islamic Anthropology, dalam Toward Islamization of Disciplines,,op.cit,hlm.199-247.
43
Lamya al-Faruqi, “Islamizing The Arts Disciplines”, dalam Toward Islamization, op.cit. hlm. 459-504.
44
Sayyid M. Syeed, “Islamization of Linguistics”, dalam Toward Islamization, op.cit. hlm. 545-555.
45
AbdulHamid A. AbuSulayman, “Orientation Guidelines for the International Conference on Islamization of
Knowledge, dalam Toward Islamization, op.cit, hlm. 13-16.
Islamisasi ekonomi. Sementara Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa Islam adalah
sistem yang kaffah dan syumul, yaitu ajaran yang mengatur semua sistem kehidupan
manusia, dari masalah individu sampai masyarakat dan negara.46 Bagaimana mungkin
Islam telah mengajarkan secara terperinci doktrin-doktrin sederhana tata cara keluar masuk
kamar kecil dan adab-adabnya, sementara tidak mengajarkan sistem ekonomi, sosial,
politik, pendidikan dan lainnya yang lebih besar dan penting dalam kehidupan
pengikutnya ? Maka tentu Islam sebagai al-dien (sistem hidup) telah mengajarkan dasar-
dasar filsafat semua sistem kehidupan dunia ini, tinggal bagaimana para cendikiawan
Muslim mengembangkannya menurut kemampuannya masing-masing. Islam dengan
pendekataannya yang khas telah memberikan dorongan kepada pengikutnya untuk
meneliti dan mengembangkan segala phenomena alam ini menurut kadar kemampuannya
masing-masing. Semangat inilah yang telah mendorong para cendikiawan Muslim
terdahulu yang telah mengantarkan mereka menuju puncak kegemilangan peradaban.
Maka dengan pengertian ini, Islamisasi pengetahuan harus lebih difokuskan kepada
penyusunan dan pengembangan teori-teori pengetahuan baru Islami yang berbeda dari
pengetahuan Barat, baik secara substansi ataupun materinya yang berlandaskan filsafat
pengetahuan Islam, berorientasi Islami dan menghasilkan produk-produk Islami pula. Jadi
yang diperlukan saat ini adalah bagaimana menemukan dan merumuskan kembali konsep
pengetahuan Islami, sains Islami, teknologi Islami dan seterusnya, walaupun kaum
Muslimin harus mengadopsinya dari Barat yang non Islam, kerena mungkin mereka telah
menemukannya lebih dahulu. Para cendikiawan Muslim mempunyai hak untuk
mengadopsi pengetahuan tersebut dari mereka, yang hakikatnya adalah ilmu Allah SWT,
selama pengetahuan tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Rasulullah sendiri telah
memerintahkan kepada ummatnya untuk mengambil ilmu yang bermanfaat sebagaimana
sabdanya :”sesungguhnya al-Hikmah (pengetahuan bermanfaat) adalah milik kaum Muslimin,
dimanapun mereka menemukannya, mereka berhak mengambilnya kembali”(al-Hadits).
Walaupun sistem ekonomi Islam misalnya sudah ditemukan Karl Marx yang atheis,
maka para cendikiawan Muslim tetap berhak mengambilnya tanpa rasa rendah diri. Karena
semua sistem yang bermanfaat dan benar adalah ilmu Allah yang telah diberikan-Nya
kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh, walaupun mereka kafir, atheis ataupun
sekuler. Atau para cendikiawan Muslim menggali langsung berdasarkan warisan-warisan
cemerlang pendahulu mereka, menyempur-nakan dan merumuskan kembali menurut
keperluan masyarakat masa kini, karena Barat yang memiliki peradaban tinggi saat ini pada
awalnya juga belajar dari para cendikiawan Muslim terdahulu.
Saat ini, di mana Barat menjadi pemuka pengetahuan modern, maka ummah mau
tidak mau harus mengambil darinya jika mereka hendak menjadi pemimpin peradaban
dunia masa depan. Untuk itu perlu diperjelas bentuk pengetahuan produk Barat sekuler
saat ini. Secara global menurut pandangan Islam, pengetahuan Barat saat ini terbagi
menjadi dua, yaitu pengetahuan Barat Islami dan pengetahuan Barat non Islami. Ini berangkat
dari asumsi tadi, bahwa semua pengetahuan yang benar dan bermanfaat pasti dari Allah

46
Tentang kesempurnaan Islam ini lihat misalnya : Said Hawa, al-Islam, (Beirut : Dar al-Fiqr, 1978). Yusuf al-
Qardhawi, al-Hall al-Islam, (Dauhah, Qatar : al-Jamiah al-Islamiyah Qatar, 1986). Hamudah Abdalaty, Islam in Focus,(Kuwait
: IIFSO, 1978). Abu Urwah, Sistem-sistem Islam,(Kuala Lumpur : Pustaka Salam, 1989). Abul A’la al-Maududi, Asas-asa
Islam, ( Kuala Lumpur : IIFSO, 1981.
SWT dan kebetulan ditemukan oleh Barat yang non Islam maka tidak mejadikan
pengetahuan itu non Islami pula. Maka yang dimaksudkan dengan pengetahuan Barat Islami
adalah pengetahuan yang dihasilkan Barat namun bersesuaian atau tidak bertentangan
dengan ajaran Islam secara substansi ataupun materinya. Sementara pengetahuan Barat non
Islami adalah pengetahuan yang diproduk Barat dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Implikasi dari pengertian ini adalah pengetahuan Barat Islami tinggal ditransfer ummah,
kemudian dimanfaatkan dan diatur sesuai dengan syari’at Islam, maka secara otomatis
pengetahuan itu akan menjadi pengetahuan Islami yang dapat dimanfaatkan ummah.
Adapun pengetahuan Barat non Islami harus ditolak. Konsekwensi logisnya, para
cendikiawan Muslim harus mengetahui dengan pasti ajaran-ajaran Islam dan juga
pengetahuan Barat yang akan ditransfer, baik landasan filsafatnya, orientasinya,
relevansinya dan yang terpenting metodeloginya.
Itulah sebabnya, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman,47 program utama yang
harus dilakukan para cendikiawan Muslim saat ini dalam proses Islamisasi pengetahuan ini
adalah mencetak kader-kader cendikiawan Muslim yang berkemampuan untuk menilai
pengetahuan Barat dengan dasar pengetahuan keislaman yang dimilikinya kemudian
mengembangkannya menurut kemampuannya. Dan menurutnya, yang paling layak
mengislamisasikan pengetahuan adalah orang yang memiliki dasar pengetahuan keislaman
yang kuat, baik pengetahuan Islam klasik ataupun kontemporer, kemudian mereka dididik
agar menguasai dan memahami pengetahuan Barat sesuai minat dan kemampuannya agar
dapat menghasilkan pengetahuan yang Islami. Atau sebaliknya dengan mendidik para
cendikiawan Muslim yang telah menguasai pengetahuan Barat dengan pengetahuan
keislaman. Namun cara terakhir ini harus benar-benar mendapat perhatian khusus, karena
banyak diantara mereka yang sudah menganggap dirinya menguasai pengetahuan
keislaman dengan benar dan mulai mengislamisasikan pengetahuan Barat, namun pada
hakikatnya mereka mentransfer apa adanya pengetahuan Barat tersebut dengan semangat
sekulernya sekaligus akibat ketidakfahamannya terhadap ajaran Islam.
Demikian pula halnya masih terdapat kerancuan-kerancuan pada metodelogi yang
digunakan para cendikiawan Muslim dalam mengislamisasi-kan pengetahuan. Diantaranya
ada yang menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang
berasal dari Islam, padahal belum tentu sama pengetiannya. Misalnya menganggap bahwa
nafs al-Ammarah, nafs al-Lawwamah dan nafs al-Muthmainnah dari al-Qur’an identik dengan
konsep id, ego dan super ego dalam psikologi, ataupun menyamakan konsep demokrasi Barat
dengan konsep syuro dalam politik, konsep humanisme dengan ukhuwah dalam sistem sosial,
dan lainnya dimana hal ini akan mengakibatkan biasnya pengetahuan ke taraf agama yang
harus diyakini kemutlakannya.48
Sebagaimana dikemakakan terdahulu, pengetahuan yang dikembangkan Barat,
khususnya pengetahuan-pengetahuan sosial-humanika, berasal dari akar filsafat yang

47
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 134. lihat juga, “Islamization of Knowledge : A Respons”, dalam Ulumul
Qur’an, op.cit. no.4. vol.III.
48
Tokoh-tokoh IIIT sendiri sebagai pendukung utama Islamisasi pengetahuan model Faruqi sebagian besar adalah
para cendikiawan Muslim yang latar belakang pendidikannya sekuler Barat ataupun tradisional Islam, dimana hal ini sangat
mempengaruhi produk pemikirannya. Demikian pula karya-karya yang diterbitkannya masih banyak dipengaruhi oleh
metodelogi sekuler atau tradisional. Lihat misalnya, Toward Islamization of Disciplines terbitan IIIT yang menghimpun
tulisan tokoh-tokohnya
berbeda bahkan bertentangan dengan filsafat pengetahuan dalam Islam. Filsafat
pengetahuan Barat berlandaskan faham sekulerisme dan materialisme yang menolak agama
dan dogma-dogma yang terkandung didalamnya, termasuk perananan Tuhan sebagai
pencipta alam raya ini dan ajaran metafisik lainnya dengan alasan tidak rasional, tidak
ilmiyah dan tidak sesuai dengan toeri empirisme yang mereka yakini. Faham ini sendiri
lahir dari pemberontakan terhadap agama Kristen abad pertengahan yang penuh dengan
doktin-doktrin palsu, penyelewengan dan penipuan para pemukanya yang korup dengan
mengatasnamakan Tuhan, ajaran yang membelenggu pemikiran-pemikiran cemerlang para
cendikiawan Barat. Faham ini akhirnya menganggap semua agama yang mengajarkan
metafisik adalah candu masyarakat, penghalang kemajuan dan akhirnya menyimpulkan
“Tuhan telah mati’, peranannya diganti oleh pengetahuan.49
Sementara filsafat pengetahuan Islam berlandaskan pada Tauhid, wujudnya Allah
dalam ketunggalan-Nya sebagai sumber segala pengetahuan yang diterima manusia, yang
berkedudukan sebagai kholifah, atau wakil Allah yang akan mengatur dan memakmurkan
alam menurut kehendak Allah SWT. Penyatuan alam nyata (fisis) dengan alam ghaib
(metafisis), penyatuan dunia dengan akhirat, nilai moral dan intelektual, yang tidak
mempertentangkan antara wahyu Allah dengan aqal manusia.50
Maka implikasinya, produk-produk pengetahuan yang sifatnya relatif, tidak
mungkin disejajarkan dengan konsep ajaran di dalam al-Qur’an51 yang absolut
kebenarannya. Karena produk-produk pengetahuan yang dianggap benar dan didukung
hari ini, mungkin besok akan ditentang oleh pendukungnya sendiri dengan adanya
penemuan-penemuan baru yang dianggap lebih mendekati kebenaran sebagaimana yang
menimpa teeori-teori pengetahuan dari zaman dahulu hingga saat ini. Sementara al-Qur’an,
sumber utama ajaran Islam, sejak awal diturunkannya sampai akhir zaman tetap mutlak
kebenarannya, tidak akan berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman, yang berubah-
ubah adalah penafsiran dan pemahaman orang terhadap kandungannya sehingga
melahirkan banyak tafsir al-Qur’an, yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi
pengetahuan orang berkenaan.52 Dengan mensejajarkan pengetahuan dengan al-Qur’an,
jelas akan merendahkan nilai al-Qur’an yang mutlak kebenarannya ke taraf
pengetahuan/sains yang relatif dan berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman.
Demikian pula masih ada di antara para cendikiawan Muslim yang menjadikan Islam
sebagai penguat pengetahuan, dengan mencari-cari dalil yang akan mendukung suatu
gagasan atau teori pengetahuan. Hal ini biasanya dilakukan para cendikiawan yang telah
49
Syed M.Naquib al-Attas, Islam and Secularism, khususnya bab I dan II.
50
Tentang filsafat pengetahuan Islam, lihat misalnya : Syed M. Naquib al-Attas, Islam and The Philoshopy of
Science, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1989). Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam,(London : Mansell
Publ, 1989). C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World,(New York: Croom Helm, 1988) khususnya bab 1.
Mahdi Golshani, “Philoshophy of Science from the Qur’anic Perspective” dalam Toward Islamization of Disciplines. op.cit.
hlm.73-92.
51
Sengaja penulis menggunakan al-Qur’an dan bukan ajaran Islam, karena al-Qur’an merupakan sumber ajaran
Islam yang tidak pernah dipertentangkan kebenaran dan keabsahannya, dan tidak ada seorangpun sampai hari ini yang
berhasil membuktikan kepalsuan ajaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT, sementara ajaran Islam adalah produk dari
pemahaman terhadap sumber ajaran ini, yang mungkin terdapat perbedaan dalam menafsirkan atau memahaminya,
sebagimana yang telah melahirkan berbagai madzhab pemikiran Islam.
52
Tentang difinisi al-Qur’an lihat : Subhi Sholih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar Ilm li al-Maliyin, tt) hlm.
21. Syaikh M. Ali Al-Shabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an,(Damsyiq : Maktabah al-Ghazaly, 1981) hlm. 6. Fuad Ali Ridha, Fi
‘Ulum al-Qur’an,(Beirut : Dar Iqra’, 1986), hlm. 13-14. M. Ali al-Hasan, al-Manar fi ‘Ulum al-Qur’an, (Amman : Mathbaah al-
Syuruq, 1983). hlm.7-8. Shabir Thayyimah, Haza al-Qur’an,(Beirut : Dar al-Jill, 1989) hlm. 13.
meyakini kebenaran sebuah teori pengetahuan, kemudian dia berusaha membenarkannya
dengan mengutip dalil-dalil al-Qur’an ataupun al-Hadits yang menguatkan teori
berkenaan. Sehingga lahirlah istilah-istilah aneh seperti sosialisme Islam,53 humanisme
Islam,54 demokrasi Islam,55 diktatorisme Islam,56 modernisme Islam,57 sekulerisme Islam,58
fundamentalisme Islam,59 dan lainnya. Sementara istilah-istilah seperti itu sudah
mengandung konotasi, pengertian, sejarah, filsafat dan pengertian tersendiri yang berbeda
dengan ajaran Islam. Apakah mungkin organ-organ sistem yang lahir bukan dari ajaran
Islam dapat diadopsi begitu saja karena memiliki kemiripan sedikit saja dengan ajaran
Islam ? Tentu tidak mungkin, karena Islam telah memiliki sistem tersendiri dengan ciri
khasnya yang berbeda dengan sistem-sistem yang diciptakan manusia. Perbuatan
menjadikan Islam sebagai penguat pengetahuan semata-mata adalah sama artinya dengan
perbuatan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah yang dilarang Islam.60 Dan
perbuatan ini akan merendahkan Islam ke taraf pengetahuan yang nilainya relatif, yang
dapat diterima ataupun ditolak.
Proses Islamisasi pengetahuan ini juga harus menjangkau keseluruhan tingkat
pendidikan, dari tingkat dasar, menengah dan tinggi. Apabila dilakukan hanya pada
tingkat tinggi saja, tanpa diikuti Islamisasi pada tingkat dasar dan menengah, dalam arti
membiarkannya sekuler ataupun tradisional sepenuhnya, jelas akan mengurangi
keberhasilannya secara maksimal. Karena pada tingkat dasar dan menengah, dimana
pelajar masih murni keyakinan dan pemikirannya, jika Islamisasi bertujuan untuk
menanamkan keterikatan cendikiawan pada Islam, maka harus diwarnai dengan semangat
ajaran Islam sedini mungkin agar tertanam orientasi keislaman pada dirinya sejak muda
yang akan sangat membantunya untuk memahami pengetahuan keislaman pada tingkat
yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya, apabila institusi dasar dan menengah
disislamisasikan, ditanamkan nilai-nilai Islam dengan ketat, sementara tingkat tinggi
dibiarkan sekuler, boleh jadi akan menghilangkan nilai-nilai Islami yang sudah tertanam
dan menjerumuskan para pelajar menjadi sekuler akibat pelajaran tinggi mereka yang
sekuler. Itulah sebabnya keberhasilan yang maksimal dapat diraih apabila dilakukan
Islamisasi pada semua tingkatan dengan relevansinya masing-masing. Dengan proses
Islamisasi menyeluruh ini diharapkan akan melahirkan cendikiawan-cendikiawan Muslim
yang utuh, yaitu cendikiawan Muslim yang kreatif dalam spesialisasi pengetahuannya
namun memiliki keterikatan yang kuat pada Islam, atau cendikiawan Muslim yang
menjadikan Islam sebagai landasan berfikir kreatifnya, sebagaiman yang telah ditempuh
para cendikiawan Islam terdahulu yang menjadikan Islam sebagai landasan spirit dalam
53
Mustafa H. al-Siba’i, Isytirokiyyat al-Islam, (Sosialisme Islam), (Damsyiq : Damsyiq Univ,tt)
54
Marcel A.Boisard, Humanism in Islam,trans. by Albin Michel,(Indianapolis:The American Trust Publ.,1979)
55
Abul ‘Ala al-Maududi adalah diantara cendikiawan Muslim yang menentang keras istilah demokrasi Islam, karena
prinsip demokrasi dan syuro dalam Islam bertentangan. Lebih lanjut lihat tulisan beliau The Islamic Law and Constitution,
dan Khilafat wa al-Mulk.
56
Lihat dalam The Islamic Law and Constitution karya Abul “Ala al-Maududi.
57
Istilah ini digunakan secara meluas oleh cendikiawan Muslim, diantara yang menentangnya adalah Maryam
Jamilah dalam bukunya Islam and Modernism,(Lahore : Moh. Yusuf Khan, 4th.ed.1977).
58
Istilah ini dipopulerkan Nurcholis Madjid pada tahun 70-an dan mendapat tentangan dari H.M. Rasjidi dalam
bukunya Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekulerisasi,(Jakarta : Bulan Bintang, 1972).
59
Masalah ini lihat Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme,(Jakarta : Panjimas,198
60
“dan janganlah kamu menjual ayat-ayat Kami dengan harga yang murah”
meneliti dan mengembangkan pengetahuan karena berkeyakinan bahwa terlibat dalam
pengetahuan dianggap sebagai salah satu sarana beribadah kepada Allah SWT.
Kurang berhasilnya proses penggabungan kedua metodelogi (tradisional dan
sekuler) terdahulu sebagaimana yang dialami Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh
Collegenya, karena masih tetap bertahannya kedua metodelogi tersebut pada tempatnya
masing-masing, belum mampu saling lengkap melengkapi satu dengan lainnya. Disamping
kegagalan tersebut akibat tidak adanya tenaga pengajar yang menguasai metodelogi dan
sistem yang diterapkan, namun ini terjadi juga akibat dari proses pemberian spirit Islam
hanya dilakukan pada tingkat tinggi saja, sementara pada tingkat dasar dan menengah,
yang merupakan jembatan penghubung terpenting yang akan memaksimalkan
keberhasilan metodelogi baru ini dibiarkan sepenuhnya sekuler ataupun tradisional.
Ataupun kegagalan yang menimpa generasi-generasi Islam yang belajar di Barat dan
tersekulerkan akibat mereka hanya mengalami proses penanaman spirit Islam pada tingkat
dasar dan menengah, sementara pada tingkat tinggi menerima pengetahuan yang
sepenuhnya sekuler dan akhirnya mereka tersekulerkan dengan terkikisnya spirit Islam
yang ditanamkan terdahulu. Demikian pula halnya, jangan sampai proses Islamisasi
pengetahuan yang sedang dilaksanakan para cendikiawan Muslim ini terjebak faham Barat
yang hanya mengutamakan pengetahun saja. Apapun yang diketahui tidak diikuti dengan
penekanan pada aspek amali (pelaksanaan). Islam dipelajari hanya sebagai pengetahuan
belaka, tanpa suatu tekanan berat kepada pengamalan, karena Islam menekankan
pengetahuan sekaligus pengamalan kepada pengikutnya. Apalah artinya mendirikan
universitas-universitas yang memakai nama dan lambang Islam, namun pada hakikatnya
masih menerapkan dengan penuh kesadaran segala bentuk pengetahuan yang
berlandaskan filsafat Barat yang berjiwa sekuler dan materialistik. Idealnya sebuah
universitas Islam adalah universitas yang menerapkan aspek pengetahuan dan pengamalan
sekaligus, dan nilai keberhasilan sebuah institusi Islam adalah keberhasilannya dalam
melahirkan generasi-generasi yang berpengetahuan dan berupaya mengamalkan
pengetahuannya dengan semaksimal mungkin. Demikian pula institusi intelektual Islam
jangan sampai melahirkan alumni yang hanya pandai mengeluarkan teori, konsep ataupun
makalah dalam seminar dengan metode yang mereka namakan ilmiyah, namun jauh dari
masyarakatnya dan terjebak pada budaya sangkar emas intelektual, sebagaimana
digambarkan Syari’ati :

“Ironisnya dalam budaya dan dan sistem pendidikan modern kaum muda kita
dididik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tak
tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat,
mereka ditempatkan pada kedudukan-kedudukan sosial yang sama sekali terpisah
dari rakyat jelata. Maka kaum intelektual muda itu hidup dan bergerak dalam
arah yang sama dengan rakyat, tetapi di dalam suatu “sangkar emas”
lingkungan eksklusif. Akibatnya di satu fihak, kaum intelektual itu mengejar
kehidupan yang terpencil di atas menara gading tanpa memahami sama sekali
keadaan masyarakat mereka sendiri dan di lain fihak, rakyat jelata yang tak
terpelajar tidak memperoleh kebijaksanaan (hikmah) dan pengetahuan dari kaum
intelektual yang sama, yang telah mereka biayai pendidikannya dan mereka
dukung perkembangannya.61

Membangun Kembali Paradigma Pendidikan Islami


Sebuah Konsep Awal
Sistem Pendidikan Dunia Masa Kini

Pendidikan adalah salah satu sarana terpenting yang akan menentukan kedudukan
sebuah bangsa, karena hakikatnya pendidikan, baik formal ataupun informal adalah tempat
pengembangan sumber daya manusia, membangun dan mengolah segala potensi yang ada
menjadi manusia-manusia berkualitas yang akan memegang peranan sesuai dengan
kemampuan dan minatnya masing-masing. Tidak ada satu bangsapun yang dapat
berkembang dengan menjadi bangsa maju dan besar, kecuali memiliki sistem pendidikan
yang baik pula. Raelitasnya bangsa-bangsa yang memiliki sistem pendidikan yang maju,
ditopang tenaga-tenaga pendidik berkualitas dan fasilitas yang memadai, akan mengalami
perkembangan dan kemajuan drastis menjadi bangsa kuat yang disegeni dunia dan dan
sebagai akibatnya akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakatnya. Itulah sebabnya

61
Ali Syariati, What is To Be Done, op.cit.hlm. 26
bangsa-bangsa besar saat ini memulai kebangkitannya dengan membangun sistem
pendidikan yang dibutuhkan dan merancang pengembangannya dengan tepat. Sebagian
besar dana diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam upaya
mencerdaskan bangsa dengan melengkapi semua infrastruktur yang diperlukan dalam
pendidikan, seperti penyusunan kurikulum, mempersiapkan tenaga pengajar, buku-buku,
gedung, laboratorium dan sarana lainnya. Dalam hal ini Malaysia adalah contoh terdekat.
Setelah mendapat kemerdekaannya para pemimpin Malaysia melakukan investasi besar-
besaran dalam bidang pendidikan dengan mencurahkan sebagian besar dananya untuk
membangun insfrastuktur pendidikan. Karena para pemimpinnnya meyakini bahwa
membangun pendidikan adalah jalan yang paling tepat untuk mengantarkan bangsanya
menuju kemajuan. Kebijaksanaan ini telah mendorong dibangunnya institusi-institusi
pendidikan dengan sarana-sarananya, mengirim generasi terbaiknya keluar negeri dan
mengundang pengajar-pengajar dari luar negeri termasuk dari Indonesia. Setelah dua
dekade menjalankan kebijaksanaannya, kini dunia menyaksikan Malaysia adalah salah satu
Negara Industri Baru yang dinamis dan akhirnya pendidikan mendatangkan kemakmuran
bagi Malaysia saat ini.
Bangsa-bangsa maju Barat telah menyusun konsep dan sistem pendidikan
berdasarkan prinsip-prinsip rasionalisme dan empirisme kemudian mengembangkannya
dengan canggih sehingga menjadi sistem pendidikan unggul yang mampu merangsang
intelektualitas, kebebasan berkarya dan tradisi keilmuan yang mengagumkan. Sistem
pendidikan ini telah mengantarkan mereka menuju kebangkitan dan kemajuan peradaban
modern dengan diciptakannya berbagai cabang pengetahuan dan teknologi yang sangat
memeranjatkan dunia. Bagaimana tidak, sistem pendidikan ini telah melahirkan manusia-
manusia yang mampu menciptakan berbagai bentuk kemudahan dalam kehidupan dunia.
Mereka telah menciptakan pesawat terbang yang kecepatannya melebihi suara dan mampu
mengantarkan manusia kemanapun yang diinginkannya dalam waktu singkat. Bahkan
mereka telah berhasil menjelajah bulan dan planet-planet lainnya. Mereka telah
menciptakan telpon, faksimile, televisi dan sarana komonukasi canggih yang tidak
terpikirkan sebelumnya yang mempermudah hubungan manusia satu dengan lainnya.
Demikian pula mereka telah menciptakan komputer dan teknologi-teknologi canggih dalam
berbagai bentuknya yang sangat mengangumkan siapapun. Disamping itu mereka juga
telah menciptakan berbagai bentuk mesin perang yang sangat menakutkan setiap orang.
Dan akhirnya tidak diragukan bahwa konsep pendidikan Barat ini terbukti telah mampu
melahirkan manusia-manusia unggul yang menguasai pengetahuan modern dengan tradisi
keilmuannya yang tinggi. Dengan semangat dan tradisi inilah yang telah mengantarkan
bangsa-bangsa Barat menjadi bangsa maju dan sebagai mercusuar peradaban dunia
modern. Lebih jauh kamajuan ini telah menjadikan mereka sebagai pengontrol kehidupan
dunia, baik dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, iptek dan lainnya.
Konsep pendidikan Barat bersama produknya ini kemudian disebarkan kepada
dunia dan realitasnya bangsa-bangsa yang mengadopsinya menjadi bangsa maju perekono-
miannya seperti Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia dan lainnya. Keadaan ini telah memaksa
para pemimpin bangsa mayoritas Muslim untuk mengadopsi konsep pendidikan Barat ini
pada sistem pendidikan nasional mereka dengan harapan dapat mencapai kemajuan
sebagaimana negara-negara Barat. Kebijaksanaan mengadopsi sistem pendidikan Barat ini
sebagiannya telah dipaksakan secara halus kepada institusi-institusi pendidikan tradisional
kaum Muslimin dengan alasan modernisasi sistem pendidikan Islam. Namun sejauh ini
belum kelihatan hasilnya secara maksimal terhadap kemajuan sistem pendidikan kaum
Muslimin dan lulusannya, yang kelihatan pasti adalah akibat sampingannya, yaitu
menyebarnya virus-virus sekulerisasi yang telah mempengaruhi sistem pendidikan
tradisional Islam dan berkembang biak dengan suburnya pada pemikiran anak didiknya
dalam bentuk munculnya sikap sok modern, materialis, hedonistik dan kebarat-baratan.
Secara lahiriah sistem pendidikan model Barat ini telah melahirkan manusia-
manusia unggul yang menguasai pengeta-huan dan teknologi canggih yang mengagumkan,
namun disamping itu sistem pendidikan ini telah melahirkan manusia-manusia yang asing
terhadap dirinya, sehingga tokoh pendidikan Barat terkemuka menyifatkan sistem
pendidikan Barat sebagai inhuman (tidak manusiawi), nonhuman (bukan manusiawi) dan
antihuman (anti-manusiawi).62 Karena sistem pendidikan ini telah mengesampingkan
perkara pokok pembinaan unsur-unsur kemanusiaan (manhood) dan telalu mengutamakan
unsur-unsur ketenagakerjaan (manpower). Tujuan utama sistem pendidikan Barat adalah
menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam bidangnnya dengan demikian mereka
diharapkan dapat berkompetisi di pasar tenaga kerja namun akhirnya mereka menjadi
asing terhadap hakikat dirinya sebagai manusia, sehingga ketika mereka mengalami krisis,
kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa karena tidak semua permasalahan dapat
dijawab pengetahuan dan teknologi yang mereka ciptakan dan kembangkan.63 Lebih jauh
kontradiksi-kontradiksi kemanusiaan yang dihadapi Barat saat ini sebenarnya disebabkan
tidak lain karena diterapkannya faham sekulerisme yang pemisahan agama dari keduniaan
pada sistem pendidikan mereka yang akhirnya melahirkan manusia ambivalen, yaitu
manusia yang hanya mengetahui aspek material/duniawi saja dan menolak aspek spiritual
yang hakikatnya sangat diperlukan manusia. Karena spitualitas yang bersumber agama
akan mengantarkan manusia menuju keselamatan dan kedamaian.64
Di institusi pendidikan sekuler para pelajar dididik dengan ilmu-ilmu yang
diperlukan oleh pasar tenaga kerja (manpower oriented) sehingga mereka mampu bersaing,
bahkan mereka selalu memenangkan persaingan untuk menguasai lapangan kerja, namun
karena pembinaan aspek spiritualnya terlupakan, akhirnya mereka menjadi manusia-
manusia yang bermental binatang, yang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Mereka sanggup
mengeksploitasi, menipu dan melakukan perkara-perkara amoral lainnya untuk mencapai
maksudnya. Produk sistem pendidikan inilah yang telah melahirkan para pencipta senjata-
senjata canggih pemusnah yang telah menghancur-kan peradaban dunia. Akhirnya sistem
pendidikan ini akan mengancam keselamatan dunia sebagaimana telah kelihatan tanda-
tanda belakangan ini, karena telah mencetak manusia-manusia yang tidak mengetahahui
hakikat jati dirinya serta hilang hakikat kemanusiannya.

62
Robert M. Hutchins, The Learning Society, (Middlesex, England: Penguin,1968) hlm. 10.

63
Lihat, Jacques Maritain, Education at the Crossroad. (London : Yale Univ. Press, 1943). hlm. 6-7.
64

Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur : ABIM, 1978) hlm. 144-145.
Sistem pendidikan Barat sekuler yang mendominasi sistem pendidikan dunia saat
ini tidak dapat dipisahkan dari akar sejarah Barat, terutama pada masa pencerahan Eropa.
Sejarah membuktikan, setelah Barat berinteraksi dengan dunia Islam pada abad
pertengahan lalu, terutama pada perang Salib, mereka mendapat rampasan perang yang
tidak ternilai harganya berupa peradaban dunia dengan berbagai cabang ilmunya sebagai
warisan generasi Islam. Peradaban ini sendiri adalah pengembangan dari peradaban-
peradaban dunia masa lalu yang telah diberi spirit keislaman, sehingga menjadi peradaban
yang dimanis dan rasionalis sebagaimana ajaran Islam. Karena pengaruh sentimen perang
Salib yang keterlaluan inilah para cendikiawan Barat akhirnya memanipulasi peradaban
yang baru diperolehnya dengan menghilangkan segala sesuatu yang berbau Islam. Hal ini
juga dipengaruhi oleh faham sekulerisme yang mulai dominan di Barat yang lahir akibat
dari kemenangan kaum pembaharu menentang para pemuka agama Kristen. Sistem
pendidikan Islam berupa madrasah atau jami’ah telah ditiru apa adanya oleh para
cendikiawan Barat, baik konsep, sistem maupun metodeloginya namun dengan menghi-
langkan semangat keislaman yang terkandung di dalamnya. Dan tidak berlebihan jika
dikatakan semangat rasionalisme dan empirisme yang ada pada sistem pendidikan Barat
saat ini diadopsinya dari sistem pendidikan Islam terdahulu.65
Berangkat dari realita ini, para cendikiawan Muslim, baik produk sistem pendidikan
tradisional Islam ataupun sekuler, berkewajiban menemukan solusi terbaik dari
permasalahan yang dihadapi kaum Muslimin dalam mengintegrasikan keutamaan-
keutamaan sistem pendidikan di masa depan dengan menjadikan referensi pengalaman
para cendikiawan Muslim terdahulu. Karena pengalaman para cendikiawan terdahulu
adalah mata rantai yang tidak terpisahkan dengan proses penyempurnaan sistem
pendidikan kaum Muslimin. Namun yang terpenting bahwa tradisi keislaman dengan
segala nilai-nilai mulianya harus senantiasa diutamakan.

Kaum Muslimin dan Pendidikan


Islam adalah agama langit terakhir yang diturunkan Allah Sang Pencipta alam
kepada seluruh umat manusia melalui perantaraan Nabi besar Muhammad saw sebagai
rahmat yang akan menyelamatkan kehidupan mereka. Sebagai agama langit terakhir yang
akan membimbing umat manusia sampai akhir zaman, Islam telah memiliki dan dilengkapi
dengan seperangkat ajaran sempurna yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, dari masalah-masalah yang berkaitan dengan orang perongan, keluarga,
masyarakat, negara dan hubungan diantaranya. Dengan kesempurnaan ajarannya, Islam
akan membimbing para pengikutnya menuju kesempurnaan dan kemenangan hidup di
dunia dan akherat kelak. Ajaran-ajaran mulia Islam secara langsung ataupun tidak telah
memberikan rangsangan sedemikian rupa kepada para pengikutnya dari berbagai
pendekatannya yang unik agar selalu menjadi orang-orang yang terlibat dalam proses
pengembangan ilmu pengetahuan, baik sebagai orang yang berilmu, orang yang mencari
ilmu, orang yang mengembangkan ilmu ataupun orang-orang yang memberikan pasilitas
kepada mereka, sehingga Islam telah melahirkan banyak para ilmuawan brilyan kelas
65
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Crest of a Hill, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1991) hlm. 9-11
dunia menurut bidang spesialisasinya masing-masing yang menjadi referensi dunia sampai
sekarang. Diantara mereka yang tekenal adalah al-Jabar, al-Biruni, Ibn. Hayyan, Ibnu
Rusyd, Ibn. Sina, al-Farabi, al-Ghazali, Ibn. Khaldun dan banyak lagi lainnya yang telah
menjadi bintang-bintang dunia keilmuaan. Uniknya mereka tidak hanya menguasai ilmu-
ilmu dunia seperti fisika, matematika, biologi, kimia, sosiologi-antrofologi, geografi dan
sejenisnya, namun pada saat yang sama mereka adalah para ahli agama Islam yang
menghafal al-Qur’an dan al-Hadits, menguasai fiqh dan lainnya, bahkan diantara mereka
ada yang menjadi Qadhi (hakim agama) bahkan Mufti (pemberi fatwa agama). Ini dapat
terjadi karena Islam dengan sistem pendidikannya yang terpadu tidak pernah memisahkan
antara ilmu agama dengan ilmu dunia sebagaimana dikenal masyarakat modern yang
sekuler. Islam menekankan pada para pengikutnya, ajaran dan perintah agama adalah
landasan utama dalam mencapai kegemilangan dunia, sehingga para cendikiawan Islam
pterdahulu adalah orang yang menguasai agama sekaligus menguasai ilmu dunia.
Sejak awal diturunkannya Islam telah memulai ajarannya dengan menyerukan
proses pendidikan sesuai keperluan masyarakat waktu itu, jika pendidikan diartikan
sebagai proses membangun dan mengembangkan sumber daya manusia. Perintah Allah
yang paling pertama turun kepada Nabi Muhammad adalah ayat yang memerintahkan
untuk membaca (iqra’). Membaca dalam pengertiannya yang luas adalah salah satu proses
terpenting dalam sistem pendidikan. Tidak ada umat yang mencapai kemajuan dan
kebesaran tanpa melalui proses membaca. Membaca pengetahuan-teknologi, membaca diri,
membaca lingkungan, membaca alam raya dan membaca apapun yang dapat
membangkitkan peradaban manusia. Dengan perintah membaca ini, sejak awal Islam telah
menempatkan dirinya sebagai agama yang hendak merangsang fitrah manusia, mendorong
para pengikutnya agar menjadi manusia-manusia berpengetahuan, bahkan dengan jelasnya
Islam memberikan ketinggian beberapa drajad kepada orang-orang beriman yang memiliki
pengetahuan, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an :

Allah akan meninggikan drajad orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa drajad.
(al-Mujadilah : 11)

Jika generasi Islam pertama tidak memiliki sistem pendidikan yang canggih
menurut ukuran zamannya, mana mungkin mereka dapat menguasai bangsa-bangsa besar
seperti Romawi, Persia, Mesir dan lainnya yang pada hakikatnya adalah negara-negara
super power masa itu dan menyatukan mereka dalam satu kekuasan dibawah bimbingan
para pemimpin agung. Kecanggihan sistem pendidikan Islam inilah yang telah melahirkan
manusia-manusia agung penakluk dunia dan peradabannya, padahal sebelumnya mereka
adalah sekumpulan kecil suku-suku Arab padang pasir yang terpecah belah, dikuasai
bangsa besar, terbelakang moral dan peradabannya sehingga Islam sendiri menjulukinya
sebagai masyarakat jahilyah. Berkat kecanggihan sistem pembinaan dan pendidikan Islam
yang menyeluruh, menyentuh aspek fisik, intelektual dan spiritual inilah kemudian mereka
bangkit menjadi ummat terbaik yang dipilih Allah untuk menyelamatkan dunia dan
peradabannya. Hanya ummat yang memiliki sistem pembinaan dan pendidikan yang
canggih saja yang mampu menguasai pengetahuan dan teknologi sehingga dapat
menakluki bangsa-bangsa besar, baik menakluki fisik, pemikiran, pengetahuan-teknologi
bahkan kepercayaan mereka. Demikian pula jika generasi Islam pertama tidak memiliki
sistem pembinaan dan pendidikan, mana mungkin mereka mampu melahirkan
sekumpulan manusia-manusia agung terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia yang
telah menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia yang telah memiliki tradisi intelektual
yang mapan. Keunggulan mereka kelihatan dari karya-karya agung dalam seluruh cabang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mereka wariskan kepada dunia dan dijadikan
referensi sampai sekarang.

Maka dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa generasi Islam pertama telah
memiliki sistem pembinaan dan pendidikan yang canggih sehingga mereka mampu
melahirkan manusia-manusia unggul dalam semua lapangan kehidupan. Karena pada
hakikatnya seluruh sistem pendidikan, baik sistem pendidikan Barat maupun Islam
bertujuan untuk menciptakan manusia-manusia unggul (Good Men)66 yang di dalam Islam
biasanya diistilahkan dengan al-Insan al-Kamil.67 Cuma pengertian manusia unggul inilah
yang berbeda. Sistem pendidikan Barat mengartikan manusia unggul (good Men) sebagai
manusia yang mentaati peraturan serta bermanfaat bagi bangsa dan negaranya sebagai
warga negara yang baik sesuai dengan nilai-nilai Barat yang lebih mengutakan aspek
material dan intelektual. Namun pengertian Islam mencakup tujuan yang lebih luas, yaitu
menciptakan manusia-manusia beriman dan bertaqwa serta menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, dengan kata lainnya manusia sempurna yang terbina unsur-unsur spiritual
dan intelektualnya sebagimana dilambangkan oleh generasi Islam pertama.68
Seluruh dakwah dan perjuangan suci Muhammad Rasulullah dan para sahabatnya,
baik yang mereka lakukan dengan perkataan, perilaku, pengorbanan harta sampai pada
peperangan bersenjata, dengan berbagai pendekatan dan metode, bertempat di masjid,
rumah, kebun sampai medan peperangan pada hakikatnya adalah perjuangan panjang
yang tidak mengenal lelah dalam membentuk manusia-manusia unggul yang akan
menciptakan keadilan dan kedamaian di muka bumi. Dan mereka bertekad dengan
perjuangan hendak menjadikan seluruh manusia di muka bumi ini menjadi manusia-
manusia unggul. Ajaran-ajaran Islam sendiri adalah merupakan susunan materi dalam
pembinaan dan pendidikan manusia-manusia unggul. Dengan sistematika ajarannya yang
tersusun indah dalam untaian ayat-ayat al-Qur’an dan peri kehidupan Nabi Muhammad,
Islam akan mengantarkan para penganutnya menuju keunggulan setahap demi setahap
menurut kadar potensi yang dimilikinya. Itulah sebabnya ajaran Islam diturunkan setahap
demi setahap dengan bagian-bagiannya dalam masa 23 tahun agar benar-benar tertanam

66
Lihat misalnya : SMN. al-Attas, Islam and Secularism, op.cit. hlm. 144. lihat juga Paul Nash, A.M. Kazamis dan
Henry J. Perkinson, The Educated Man : Studies in the History of Educational Thought, (Malabar, Florida : Krieger, 1965)
dan M.L. Jacks, The Education of Good Men. Reprint. (Connecticut : Greenwood Press, 1980).
67
Terminologi al-insan al-kamil biasanya digunakan oleh para sufi dan dalam istilah peradaban Islam diartikan
sebagai manusia sempurna yang memiliki pengetahuan Islam, mengamalkan Islam dan menguasai peradaban zamannya.
Untuk detilnya lihat : Syed Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur :
Ministry of Culture Malaysia, 1986) hlm.44. R.A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism, (Lahore : Sh. Muhammad
Ashraf, 1970). hlm. 70-85. Ibn. Arabi, The Bezel of Wisdom, Trans. by R.W.J. Austin. (New York : Paulist Press, 1980).
Introduction, hlm. 32-38
68
Syed Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur : ABIM, 1980). 26-27.
dalam kehidupan manusia dan bukan hanya di alam teori dan angan-angan saja, sehingga
ajaran Islam terwujud dalam kehidupan para penganutnya. Inilah yang membedakan
sistem pembinaan dan pendidikan Islam dengan lainnya, karena Islam menghendaki apa
yang diajarkannya tercermin dalam tingkah laku penganutnya dan hanya dengan cara
demikianlah mereka baru berhak menyebut dirinya beriman.69
Akhirnya memang tidak dapat dinafikan bahwa Islam sejak awal diturunkannya
telah membangun sistem pembinaan dan pendidikan kepada para pengikutnya dengan
pendekatan dan metodenya yang khas. Dan sistem ini terbukti mampu melahirkan
manusia-manusia unggul yang dikehendakinya, dan ketika Rasulullah wafat Islam
dikatakan telah sempurna tertegak dalam masyarakat yang dibinanya. Sistem pembinaan
dan pendidikan Islam yang diterapkan generasi pertama Islam pada hakikatnya adalah
sistem yang langsung diturunkan Allah berupa wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad. Karena keseluruhan ajaran Islam sendiri adalah materi lengkap yang tersusun
rapi untuk membangun dan mengembangkan manusia unggul. Itulah sebabnya
pendekatannya sangat menyeluruh dan menyentuh segala aspek kehidupan manusia, baik
aspek fisik, intelektual maupun spiritualnya. Kerena sistem ini diturunkan Allah Sang
Pencipta alam raya, maka sistem ini adalah sistem terunggul sepanjang zaman, dan
keunggulannya telah terbukti dengan melahirkan manusia-manusia terunggul dalam
sejarah kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir dari semua sistem pendidikan.
Sistem inilah yang biasa disebut para cendikiawan Muslim dengan madrasat al-Rasul yang
akan dibahas secara mendetil dibagian selanjutnya.
Bersamaan dengan perkembangan dan kemenangan kaum Muslimin terhadap
bangsa-bangsa besar dan maju mereka mendapat banyak pengetahuan-pengetahuan baru
yang diadopsinya ke dalam pengetahuan mereka. Hal ini juga berarti berinteraksinya ajaran
Islam dengan peradaban-peradaban besar dunia, apalagi Islam adalah agama yang sangat
terbuka dengan pengetahuan-pengetahuan bermanfaat, sehingga memerintahkan kepada
para pengikutnya untuk mengambil pengetahuan bermanfaat di manapun dan dari
manapun sumbernya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bersamaan dengan
itu, kaum Muslimin mulai mempelajari berbagai jenis pengetahuan dan mengadopsinya ke
dalam sistem pengetahuan Islam sehingga melahirkan peradaban baru yang
menggabungan antara tradisi keislaman dengan tradisi filsafat keilmuan yang sudah
berkembang pesat sebelumnya di Yunani, Romawi, Persia, Mesir, India dan lainnya.
Dengan pengalaman dan pengetahuan baru yang diperolehnya dari bangsa-bangsa maju
ini, para generasi Muslim sesudahnya kemudian membentuk dan mengembangkan sistem
pendidikan Islam sedemikian rupa sehingga menjadi lembaga pendidikan formal dengan
sistem, metode dan tingkatannya yang mendidik para pelajar dari seluruh dunia, baik yang
Muslim ataupun bukan. Diantara lembaga pendidikan Islam pertama yang terkenal adalah
Al-Azhar di Cairo dan Nizamiyyah dan al-Mustansiriyyah di Bagdad dan beberapa institusi
pendidikan Islam di Afrika, Iran dan India.70
69

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori, Rasulullah telah bersabda : Iman itu bukan hanya angan-angan
saja, tetapi ia ditambat dalam hati, dikrarkan dengan pengakuan dan diwujudkan dengan amalan lahir.
70
Mengenai sistem pendidikan Islam pertama lihat misalnya : Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, (Beirut
: Dar al-Kasysyaf, 1954). Bayard Dodge, Al-Azhar : A Millenium of Muslim Learning (Washington : The Middle East Institute,
1961). Juga karyanya, Muslim Education in Medieval Times, (Washington:The Middle East Institute, 1962). Mehdi
Bersamaan dengan tumbuh pesatnya sistem pendidikan Islam, telah tumbuh pula
sarana-sarana penunjangnya seperti buku referensi atau perpustakaan yang menandakan
kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu. Ziauddin Sardar menggambar-kannya :

Tepat seratus tahun setelah datangnya Islam, industri buku maju pesat,
sedemikian, sehingga kaum Muslimin manjadi “ahl Kitab” dalam arti yang
sebenar-benarnya; dan membaca, bukan saja Bacaan Mulia (al-Qur’an), menjadi
salah satu kesibuklan utama....
Hampir tidak mengejutkan bila pada dua abad berikutnya industri buku tersebar
sampai kesetiap pelosok Dunia Islam. Perpustakaan-perpustakaan, baik
perpustakaan kerajaan, umum, khusus, maupun pribadi, toko-toko buku, baik
yang kecil, yaitu yang ada dilingkungan masjid, yang besar, yaitu yang ada di
pusat kota-kota besar dan dalam bazar-bazar, dan insan-insan buku, yaitu
penulis, penerjemah, penyalin, pelengkap naskah, pustakawan, penjual buku dan
kolektor buku yang kesemuanya itu merupakan aspek-aspek peradaban Muslim
di sekitar buku.....
Tak pelak lagi, perpustakaan Muslim paling terkenal ialah Bayt al-Hikmah,
suatu gabungan lembaga riset, perpustakaan dan biro penterjemahan, didirikan
oleh Khalifah Abbasiah, Harun al-Rasyid di Bagdad pada 830 M.... Putra Harun
al-Rasyid, Khalifah al-Makmun diriwayatkan telah memperkerjakan
cendikiawan-cendikiawan terkenal seperti al-Kindi, filosof Muslim pertama,
untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al-Kindi
sendiri menulis hampir tiga ratus buku tentang masalah-masalah kedokteran,
filsafat sampai musik yang disimpan di Bayt al-Hikmah... Makmun juga
mengutus banyak orangnnya ke tempat-tempat yang jauh seperti India, Syiria,
Mesir untuk mrngumpulkan karya-karya yang jarang dan unik. Dokter
terkenal, Hunain Ibn. Ishaq, mengembara sampai ke Palestina guna
mendapatkan Kitab al-Burhan....... Musa al-Khawarizmi, matematikawan
ternama Muslim penemu al-jabar, juga bekerja di Bayt al-Hikmah dan menulis
buku terkenalnya, Kitab al-Jabr wa Muqabilah di sini.71

Bersamaan dengan berputarnya waktu terutama jatuh bangunnya dinasti-dinasti


kerajaan Islam, sistem pendidikan Islam mengalami pengembangan-pengembangan yang
menga-gumkan sehingga produknya mampu menjadi mata rantai penghubung peradaban
dua dunia, peradaban klasik Yunani-Latin dengan peradaban modern Barat dengan
memberikan spirit Islam yang rasionalis ilmiyah kepada peradaban Yunani yang lebih
cendrung spekulatif-kontemplatif ataupun rasionalis murni yang tidak didukung data
empiris. Sehingga melahirkan model filsafat pengetahuan yang baru dalam sejarah

Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350. (Boulder : University of Colorado Press, 1964).
Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholar’s Social Status Up to the 5th Century Muslim Era (11th Century
Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad. (Zurich : Verlag der Islam, 1968). George Makdisi, The Rise of Colleges :
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh : Edinburgh Univ. Press, 1981). Barbara Daly Metcalf, Islamic
Revival in British India : Deobond. 1860-1900. (Princeton : Princeton Univ. Press, 1982). A. Crish Eccel, Egypt, Islam and
Social Chance : Al-Azhar in Conflict and Accomodation. (Berlin : Klaus Schwarz Verlag, 1984).
71
Ziauddin Sardar, Information and the Muslim World : A Strategy for the Twenty-first Century, Terj. Mizan.
(Bandung : Mizan, 1989) hlm. 41-55
perkembangan pengetahuan, sebagaimana yang kemukakan oleh para filosof Muslim
seperti al-Kindi, al-Biruni, al-Farabi, Ibn. Sina, Ibn. Rusyd dan lain-lainnya yang dekenal
dengan filsafat rasionalis-ilmiyah.72
Pada masa-masa inilah, sistem pendidikan Islam yang telah diwariskan para
generasi Islam pertama dan dikembangkan generasi sesudahnya, mengalami kemajuan-
kemajuan yang mengagumkan, sehingga menjadi referensi sistem pendidikan Barat. Secara
filosofis istilah Universitas (University-Universal-Universitetem) yang digunakan Barat saat
ini dengan segala sistem pendidikannya adalah menjiplakan apa adanya dari istilah
Kulliyah, yang menunjuk pada konsep yang membawa ide yang universal, dengan kata
lainnya tidak terpisahnya pengetahuan (knowledge) dengan bagian-bagiannya pada diri
manusia sebagaimana dikemukakan SMN. al-Attas.73 Demikian pula dengan hasil karya
para cendikiawan Islam dipelajari dan diterjemahkan oleh berbagai bangsa, termasuk Barat
yang akhirnya mengantarkan mereka menuju masa pencerahan (renaissance) dengan
lahirnya cendikiawan-cendikiawan yang tercerahkan. Karena pengaruh faham sekulerisme
akhirnya pengetahuan yang diperoleh Barat dari kaum Muslimin dengan segala sistem dan
perangkatnya mengalami sekulerisasi pula.74
Setelah mengalami masa kegemilangan selama beberapa abad, akhirnya kaum
Muslimin mulai mengalami masa kemundurannya yang ditandai dengan melemahnya
semangat keilmuan di kalangan mereka dan menjadi sangat eksklusif serta reaksioner.
Tentang sebab-sebab melemahnya semangat keilmuan kaum Muslimin, ada yang
berpendapat sebabkan oleh penyerbuan tentara Mongol ke pusat kekuasaan Islam di
Bagdad dan menghancurkan peradaban mereka. Namun ada pula yang menunjuk peranan
Imam Ghazaly sebagai penyebab melemahnya semangat keilmuan dikalangan kaum
Muslimin karena telah berhasil mengungkapkan kepalsuan dan penyimpangan yang
dilakukan para cendikiawan Muslim yang dianggapnya telah mencampurkan pemahaman
Islam dengan filsafat-filsafat paganis-rasionalis Yunani dalam karya agungnya Tahafut al-
Falasifah.75
Adalah menarik membahas peranan al-Ghazali yang dituduh sebagai penyebab
kemunduran kaum Muslimin dengan pemikiran yang dikemukakannya. Dalam Tahafut al-
Ghazali mengemukakan dua puluh penyimpangan dan kesesatan para filosof Muslim,
tujuh belas dipandangnya sebagai pembaharuan yang tercela, dan tiga lagi, yaitu tentang
kadimnya alam, penyangkalan pengetahuan Allah tentang masalah-masalah kecil dan
penyangkalan terhadap kebangkitan kembali, membawa mereka pada kekafiran.76
Al-Ghazali mengemukakan pendapatnya tentu dengan alasan yang tepat, apalagi
beliau dianggap sebagai salah seorang Mujaddid Islam terbesar. Menurut Philip K. Hitti,
seperti dikutip Nurcholis Madjid, al-Ghazali sedemikian sempurna dan menyeluruh
memberikan penyelesaian terhadap masalah-masalah keagamaan kaum Muslimin yang

72
lihat misalnya S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, terj. Mahyuddin. (Bandung : Pustaka, 1987).
73
SMN. al-Attas, Islam and Secularism, op.cit. hlm. 146-147.
74
ibid.
75
Masalah ini lihat misalnya : Abul Hasan al-Nadwi, Madza Khasira al-Alam bi inhithoth al-Muslimun, (Beirut : Dar
Salam, th.11, 1978). hlm. 160- .
76
Lihat : al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Cairo : Mustafa al-Babi al-Halibi, 1321 H) disertai dengan karya Ibn.
Rusyd, Tahafut, dan juga karya Khawajah Zadah, Tahafut al-Falasifah.
sedang dilanda kebingungan, sehingga yang terjadi sesungguhnya adalah dia bagaikan
telah menciptakan sebuah kamar untuk ummat yang walaupun sangat nyaman dan
menentramkan, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas intelektuali-tas
Islam, sampai saat ini.77
Latar belakang al-Ghazali mengemukakan pemikiran brilyannya tidak lain karena
keadan kaum Muslimin masa itu yang sudah lepas kontrol akibat berkembangnya faham
kebebasan berfikir yang sangat ektrim. Para cendikiawan Muslim masa itu mengemukakan
pemikiran-pemikiran yang telah mengalami infiltrasi sesat faham-faham filosof paganis
Yunani dalam menafsirkan dan menjabarkan ajaran Islam. Dimana hal ini dapat
menyesatkan ummat dan lebih jauh dapat mengantarkan mereka menuju kekafiran dengan
mengatasnakan ajaran Islam. Keadaan ini mendorong tampilnya al-Ghazali dengan hujjah-
hujjahnya yang mampu menstabilkan keadaan dan pemahaman kaum Muslimin terhadap
agamanya, mengembalikan mereka menuju relnya kembali dengan pendekatannya yang
sangat mengagumkan. Namun akibatnya kemudian kaum Muslimin menjadi beku dengan
pemahaman ala sufiisme yang memang mengasyik-kan dengan kenikmatan-kenikmatan
rohaniah yang tidak terhingga. Dan keadaan ini bertambah mapan apabila faham-faham
fatalis al-Asy’ariyah mulai mendominasi pemahaman mayoritas kaum Muslimin serta
ditutupnya pintu ijtihad oleh sebagian ulama sebagai sikap kehati-hatian mereka terhadap
masuknya faham-faham sesat dalam ajaran Islam yang dapat merusak pemahaman kaum
Muslimin seperti yang terjadi sebelumnya.
Kemenangan al-Ghazali dalam menghujjat para cendikiawan Muslim zamannya,
telah mengantarkan beliau menjadi tokoh sentral dunia pemikiran Islam masa itu serta
mengemukakan landasan-landasan filsafat pengetahuan yang berlandasakan spiritualisme
Islam (sufiisme) yang diterima luas kaum Muslimin. Namun pengikut aliran al-Ghazali (al-
Ghazaliyyah) yang berkembang sesudahnya menjadi pengikut ektrim yang menolak segala
bentuk filsafat rasionalisme yang dikemukakan para cendikiwan Muslim dan cendrung
penyesatkan setiap penganutnya secara membabi buta. Karena tidak mendapat tempat di
pusat dunia Islam, akhirnya filsafat rasionalis diadopsi para cendikiawan Eropa yang
tercerahkan dari para cendikiawan Muslim di Andalusia, Spanyol dan pemikiran yang
rasionalis ini telah mengantarkan Eropa menuju kebangkitan peradaban.
Setelah pemikiran al-Ghazaliyyah menguasai mayoritas pemikiran kaum Muslimin
dan diterapkan pada sistem pendidikan Islam, ironisnya pendidikan Islam mengalami
kemunduran demi kemunduran karena kurang menghasilkan al-insan al-kamil sebagaimana
tujuan utama sistem pendidikan Islam. Karena sikap ektrimisme dalam menerapkan
pemikiran ala sufiisme, sistem pendidikan masa ini telah melahirkan para cendikiawan
yang sangat terlalu berhati-hati dalam mengemu-kakan atau mengembangkan
pemikirannya, dan mereka merasa lebih aman dan selamat apabila hanya mensyarah
(mengomentari) pendapat guru atau cendikiawan pendahulunya dari mengemukakan
pemikiran-pemikiran baru. Keadaan ini juga dipengaruhi oleh fatwa mayoritas
cendikiawan Muslim yang telah menutup pintu ijtihad, sehingga kejumudan pemikiran ini
bertambah parah, bahkan lebih jauh telah menghilangkan semangat pengembangan
intelektualitas generasi Islam. Dan zaman ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab yang
77
Nurcholis Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1985). hlm. 35.
mensyarah atau mensyarah atas syarah (syarah min syarah) dengan kedetilan komentar
dan super komentar, yang akhirnya melupakan tujuan asal dari pemikiran itu sendiri.
Mengenai metode sistem pendidikan Islam masa itu, Fazlur Rahman menyatakan :

Metodologi yang menjauhkan diri dari al-Qur’an, menimbunnya di bawah


tumpukan gramatika dan retorika. Menggantikan naskah-naskah asli mengenai
theologi, filsafat, yurisprudensi dan sebagainya, sebagai pengajaran tinggi
dengan komentar-komentar (syarah) dan superkomentar-superkomentar (syarah
min syarah). Dimana pengkajian komentar-komentar akan menghasil-kan
keasyikan dengan detil-detil yang rumit dengan mengesampingkan masalah-
masalah pokok dalam obyek yang dikaji. Perselisihan pendapat (jadal) menjadi
kegemaran utama dan hampir-hampir menggantikan upaya intelektual yang asli
untuk membangkitkan dan menangkap masalah-masalah yang riil dalam obyek
yang dikaji.78

Metode pemikiran ini berkembang dan mendominasi pemikiran mayoritas kaum


Muslim mengikuti perkembangan Islam ke seluruh dunia Islam. Sistem ini bertambah
mapan dengan masuknya imprialis Barat yang ingin menyebarkan sekulerisme dalam
sistem pendidikan kaum Muslimin. Sistem pendidikan ini dipertahankan oleh sebagian
besar cendikiawan Muslim sampai sekarang, yang dikenal dengan sistem pendidikan Islam
tradisional. Karena sistem ini menurut mereka mampu membentengi keimanan generasi
Islam dari pengaruh-pengaruh sesat pemikiran terutama yang datang dari Barat.

3. Pendidikan Rasulullah (Madrasat al-Rasul)


Pendidikan Rasulullah (Madrasat al-Rasul), adalah pendidikan yang telah
diterapkan Nabi Muhammad kepada para pengikutnya dalam membina mereka dimana
sistem, metode, materi, kurikulum dan susunannya berdasarkan wahyu Allah yang
diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril. Pada hakikatnya pendidikan ini adalah
pendidikan terbaik dan tersempurna yang diberikan Allah Sang Pencipta kepada manusia
di muka bumi melalui perantaraan Nabi utusan-Nya. Karena apa-apa yang dilakukan dan
diperkatakan Rasulullah bukanlah atas kemauannya sendiri, melainkan wahyu dari Allah
SWT. Itulah sebabnya pendidikan ini adalah pendidikan terbaik dan terunggul yang
diturunkan sepanjang zaman sebagai contoh bagi umat manusia. Sebagaimana pendidikan
di zamannya, pendidikan Rasulul-lah bukan seperti institusi-institusi pendidikan modern
dengan segala kelengkapannya. Namun jika dibandingkan dengan seluruh pendidikan
sezamannya, pendidikan Rasulullah adalah pendidikan yang terunggul, baik dari tujuan,
sistem, kurikulum ataupun hasilnya.

78
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, op.cit. hlm.36-37
Untuk mengetahui hakikat pendidikan Rasulullah secara menyeluruh, harus
diketahui beberapa aspek penting dari pendidikan ini, terutama tujuan, sistem, metode,
kurikulum, produk dan lain-lain yang berkaitan dengannya.

3.1. Tujuan Pendidikan Rasulullah

Setiap pendidikan memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan manusia-manusia


unggul sebagimana diterang-kan terdahulu. Pendidikan Barat memandang manusia unggul
apabila ia memiliki kemampuan yang memadai dalam kekuatan fisik dan intelektualnya
dan hal ini lebih cendrung menonjolkan aspek-aspek material yang menjadi dasar
pemikiran Barat. Namun konsep manusia unggul yang akan diciptakan oleh pendidikan
Rasulullah berbeda dengan konsep manusia unggul manapun, karena manusia unggul
menurut pendidikan Rasulullah adalah manusia yang memiliki keunggulan secara
menyeluruh, yaitu memiliki keunggulan fisik, keunggulan jiwa (spiritual) dan keunggulan
intelektual. Pendidikan Rasulullah tidak hanya membina keunggulan fisik saja sebagaimana
pendidikan model kemiliteran Romawi, keunggulan spiritual saja sebagaimana model
pendidikan para rohaniawan India atau keunggulan intelektual saja sebagaimana model
pendidikan para filosof Yunani. Pendidikan Rasulullah telah melahirkan manusia-manusia
unggul dalam fisik, itulah sebabnya mereka dapat menjadi tentara-tentara kuat yang
menakluki Romawi, Persia, Mesir dan sebagian Eropa. Pendidikan ini juga telah melahirkan
manusia-manusia unggul kerohaniannya sehingga sanggup mengemban semua
penderitaan dalam perjuangan dan menjadi para cendikiawan dan filosof yang dikagumi
sehingga menjadi maha guru dunia. Karena kesempurnaan pendidikan inilah yang telah
menjadikan Islam sebagai agama yang dianut oleh berbagai kalangan dan tingkatan, baik
dia seorang pejuang, tentara, cendikiawan, rohaniawan, politisi dan lainnya, mereka akan
mendapatkan kepuasaan pada Islam dengan pendidikannya yang khas.
Pendidikan Rasulullah dengan karakteristiknya telah berhasil melahirkan manusia-
manusia unggul dan agung dalam segala bidang kehidupan sebagai tujuan utama semua
pendidikan. Namun manusia-manusia unggul yang dilahirkan pendidikan Rasulullah
adalah yang terunggul diantara hasil pendidikan dunia, sebelum dan sesudahnya karena
mereka adalah himpunan masyarakat yang dididik langsung oleh Allah Sang Pencipta
manusia. Walaupun sebelumnya pendidikan Yunani telah melahirkan para filosof seperti
Plato, Aristoteles dan lainnya yang menjadi tonggak peradaban Barat, namun pendidikan
Rasulullah telah melahirkan para filosof agung yang bukan hanya mampu berfikir, namun
mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan nyata, bahkan mereka
sekaligus menjadi rahib di malam hari dan pejuang di siang harinya (ruhban bi al-lail wa
furshan bi al-nahar).
Keunggulan pendidikan Rasulullah tidak lain disebabkan oleh pandangannya yang
benar tentang konsep manusia. Pendidikan Barat menilai manusia adalah sebahagian dari
hasil evolusi alam yang keberadaannya secara kebetulan. Dengan teori kebetulan inilah
kemudian para pemikir Barat mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan asal
usul manusia serta tugas dan fungsinya di muka bumi. Akhirnya para pemikir Barat
mencoba berbagai bentuk teori yang akhirnya mendatangkan kegagalan demi kegagalan
dalam kehidupan manusia. Teori yang diagungkan hari ini akan dikritik dan dicampakkan
oleh pendukungnya sendiri pada masa yang datang. Kegagalan-kegagalan ini tidak lain
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan para pemikir Barat tentang hakikat manusia dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya, hal ini telah mengakibatkan kekecewaan para
pengikutnya. Sementara Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk tersempurna
yang kehadirannya diciptakan Allah dengan tugas-tugas khusus yang menyertainya.
Manusia telah diberikan bekal yang sesuai dengan tugas dan fungsinya di muka bumi.
Pendidikan Rasulullah mengemban tugas untuk memaksimalkan kemampuan manusia
dengan memberikan-nya pengetahuan dan didikan yang terbaik.
Dengan demikian, secara garis besarnya tujuan utama pendidikan Rasulullah
adalah:
Pertama,melahirkan manusia-manusia yang mengabdi pada Allah semata (Abd’ Allah).

Sehubungan dengan itu Allah berfirman,

Dan tiadalah aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku
( al-Zariat : 56 )

Manusia yang mengabdi pada Allah semata berarti manusia yang telah
menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah. Abd’ dalam bahasa Arab berarti budak
yang tidak memiliki kehendak pribadi terhadap semua keinginan-nya, karena terikat
dengan kehendak tuannya, jadi jika dikatakan Abd’ Allah, berarti telah menjadi budak
Allah, si budak tidak akan menjalankan segala kegiatan kecuali yang diizinkan dan
diperintahkan Allah sebagi satu-satunya tuannya. semua keinginan pribadinya harus
senantiasa mendapat restu tuannya. Itulah sebabnya di dalam solat seorang Muslim sebagai
budak Allah harus mengikrarkan segala yang dilakukannya karena Allah semata
sebagaimana disebutkan al-Qur’an :
Katakanlah :”Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah,
Tuhan sekalian alam. (al-An’am : 162)

Penghambaan diri hanya kepada Allah akan menjadikan manusia sebagai makhluk
yang terbebas dari segala bentuk perhambaan, baik perhambaan material, perhambaan
intelektual dan spiritual. Karena hanya Allahlah satu-satunya Tuan dari segala tuan Yang
Kekuasaan dan Kebesarannya tidak tertandingkan yang dapat menjadi tempat bergantung
dan meminta bantuan, Yang akan Menentramkan hati hamba-hamba-Nya. Itulah sebabnya
penghambaan pada Allah Yang Maha Tunggal akan menjadikan manusia sebagai makhluk
yang bebas merdeka dibawah kekuasaan Yang Maha Mutlak.
Penghambaan kepada Allah inilah yang telah menjadikan para didikan Rasulullah
sebagai manusia-manusia agung yang berjuang tanpa mengenal lelah untuk menegakkan
kebenaran ke seluruh pelosok dunia. Dengan bantuan dan kekuasaan-Nya mereka
mendapat kemenangan demi kemenangan yang menabjubkan. Mereka berlomba-lomba
dengan semangat yang membara untuk mendapatkan janji-janji Allah, Tuan mereka yang
akan memberikan syurga pada mereka.
Kedua, menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi sebagiamana disebutkan al-
Qur’an :

Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.


(al-Baqarah : 30)

Khalifah adalah wakil Allah yang akan mengelola dan mengembangkan alam sesuai
dengan petunjuk dan kehendak-Nya. Untuk menjadi khalifah, manusia diberi bekal dengan
berbagai pengetahuan yang memungkinkan mereka sebagai pengelola alam dan
berhadapan dengan berbagai tantangan dan rintangan yang dihadapinya. Pendidikan
Rasulullah dengan pendidikan yang diberikannya telah mencetak para khalifah yang
mengelola dan memakmurkan alam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan tujuan yang jelas inilah pendidikan Rasulullah telah melahirkan manusia-
manusia unggul sebagai hamba sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Dengan
pengetahuan yang mendalam tentang konsep manusia yang sebenarnya sebagaimana
dikehendaki Sang Pencipta manusia, Pendidikan Rasulullah bukan hanya melahirkan
manusia-manusia yang menguasai satu bidang pengetahuan saja sebagaimana keluaran
pendidikan selainnya. Karena manusia-manusia seperti ini tidak mungkin diharapkan
sebagai manusia unggul yang akan menciptakan kemakmuran di muka bumi. Namun
pendidikan ini telah menghasilkan manusia unggul yang memahami hakikat dirinya yang
berunsurkan fisik, rohani dan intelektual, sehingga mereka menjadi al-insan al-kamil, yaitu
manusia sempurna yang mementingkan aspek fisik, rohani (jiwa) dan intelektual.
Pendidikan Rasulullah telah mendidik fisik, rohani dan intelektual para pelajarnya dengan
sempurna sehingga mereka mampu merubah keadaan dunia sekaligus membangun
peradaban baru.
Pendidikan Rasulullah telah mencapai tujuannya apabila telah melahirkan manusia-
manusia agung yang memiliki semboyan hidup :
Allah Robb kami
Muhammad Rasulullah teladan kami
Islam sistem hidup kami
Al-Qur’an dan Sunnah panduan kami
Jihad (perjuangan) di jalan Allah jalan hidup kami
Gugur di jalan Allah cita-cita tertinggi kami
Syurga tujuan akhir hidup kami

Inilah prinsip hidup para sahabat yang telah dididik Rasulullah sehingga mereka
mampu menjadi hamba sekaligus khalifah Allah di muka bumi. Kemanapun mereka pergi,
para sahabat senantiasa mengumandangkan semboyan yang telah membuat musuh-
musuhnya gentar dan bertekuk lutut. Dan prinsip inilah yang telah menjadikan mereka
pengembara-pejuang yang kuburannya tersebar di seluruh pelosok dunia, dari Arab, Afrika
sampai Eropa dan Cina.
3.2. Metode (Manhaj) Pendidikan Rasulullah
Metode (manhaj) model apakah yang digunakan pendidikan Rasulullah dalam
mendidik para pengikutnya menjadi manusia-manusia unggul dalam arti yang sebenarnya
sehingga mampu menguasai dan memimpin 2/3 dunia, menakluki bangsa-bangsa besar
dan maju yang berperadaban tinggi. Padahal mereka sebelumnya adalah bangsa yang
terbelakang peradabannya serta terpecah belah menjadi suku-suku kecil yang saling
memerangi serta menyembah berhala-berhala. Dan keheranan akan bertambah-tambah
karena mereka dipimpin dan dididik oleh seorang utusan Allah yang buta huruf, tidak
dapat membaca dan menulis yang tidak memungkinkannya mempelajari peradaban dan
pengetahuan luar. Metode pendidikan model apakah yang telah berhasil membuat revolusi
besar kepada bangsa Arab jahiliyah, revolusi yang telah merombak jiwa, pemikiran, tatanan
serta kepercayaan mereka sekaligus menghantarkannya menjadi manusia-manusia unggul
yang tidak tertandingkan keunggulannya sampai hari ini ?
Adalah sangat penting dan mutlak mengetahui metode (manhaj) pendidikan
Rasulullah, karena banyak dikalangan kaum Muslimin yang masih rancu dalam memahami
hakikat metode yang diterapkan pendidikan Rasulullah dalam membina para pengikutnya.
Mereka beranggapan bahwa metode pendidikan Rasulullah sama dengan metode-metode
pendidikan manusiawi lainnya sehingga mereka dengan mudahnya mengadopsi metode
pendidikan selain yang diajarkan Rasulullah. Metode pendidikan ini akhirnya telah
melahirkan para lulusan yang mengecewakan karena mereka tidak memiliki jiwa, semangat
dan pengetahuan sebagaimana generasi Islam pertama yang mengagumkan. Kerancuan-
kerancuan dalam memahami metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah kepada para
pengikutnya telah mengakibatkan kaum Muslimin mengalami kemunduran demi
kemunduran dan kekalahan demi kekalahan, dari kekalahan fisik, intelektual sampai
kekalahan spiritualitas yang telah menghantarkannya menjadi manusia-manusia sekuler
yang menjadikan agama hanya sebagai simbol kehidupan semata. Itulah sebabnya sangat
penting memahami hakikat metode pendidikan Rasulullah, sehingga tujuan pendidikan itu
mencapai sasarannya. Karena metode (manhaj) adalah jalan untuk mencapai tujuan. Apalah
artinya jika seseorang mengetahui tujuannya namun tidak mengetahui jalan menuju ke
sana. Mengetahui metode pendidikan Rasulullah adalah sama pentingnnya dengan
mengetahui tujuan pendidikan itu sendiri.
Apakah yang dilakukan Rasulullah ketika beliau mendapat perintah Allah untuk
mendidik para pengikutnya menjadi manusia-manusia unggul ? Apakah beliau
menerapkan metode pendidikan ala Yunani, Romawi, Persia, Mesir yang pada masa itu
sudah maju dan mapan kepada para pengikutnya ? Ataukah beliau mengadopsi metode-
metode pendidikan tersebut ? Ataukah beliau mengislamisasi-kan pengetahuan dan filsafat
sebelumnya untuk mencapai drajad manusia unggul ? Kenapa Rasulullah tidak
mengadopsi metode dan pengetahuan sebelumnya dalam mendidik para pengikutnya ?
Dan mengapa Rasulullah melarang Umar bin Khattab membaca Kitab Taurat sebagaimana
yang diterangkan sebuah hadits ? Pertanyaan-pertanyaan ini akan memperjelas hakikat
metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah dalam mendidik para Sahabat.
Ketika Allah memerintahkan Rasulullah untuk mendidik para pengikutnya menjadi
manusia-manusia unggul, pada hakikatnya Allah telah menurunkan bersama perintah itu
apa-apa yang harus dilakukan Rasulullah dalam menjalankan proses pendidikannya.
Termasuk metode yang harus diterapkan kepada para pengikutnya. Dengan demikian
maka metode (manhaj) yang diterapkan pendidikan Rasulullah dalam membina para
didikannya adalah manhaj Ilahi, yaitu metode yang diturunkan oleh Allah SWT berupa
wahyu-wahyu yang bersifat mutlak kebenarannya. Metode pendidikan Rasulullah sama
sekali berbeda dengan metode-metode pendidikan sebelumnya yang dikembangkan para
filosof Yunani dan Romawi dan Rasulullah tidak pernah sama sekali mengadopsi metode
atau pengetahuan pendidikan lain dalam mendidik para pengikutnya, Rasulullah
mencukupkan dengan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya karena beliau
berkeyakinan hanya wahyu Allahlah yang mampu mengantarkan manusia menjadi
manusia unggul. Itulah sebabnya beliau sangat marah ketika melihat Umar membaca Kitab
Taurat seraya berkata : Demi Allah wahai Umar, jika Nabi Musa masih hidup, beliau pasti akan
mengikutiku. (HR. Abu Ya’la). Ini dapat difahami, karena Rasulullah tidak menghendaki
para didikannya memiliki pemahaman yang bercampur baur atau tercemar oleh
pengetahuan selain wahyu yang diturunkan kepadanya, walaupun itu Kitab para Nabi
sebelumnya apalagi pengetahuan-pengetahuan yang bersumber dari manusia. Pengertian
ini tidak bermakna bahwa Rasulullah melarang semua pengetahuan selain wahyu, namun
pengetahuan itu dapat dipelajari apabila para pengikutnya sudah benar-benar memahami
dan mengamal-kan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dari sini dapat difahami bahwa metode pendidikan Rasulullah seluruhnya adalah
berdasarkan wahyu menurut susunan yang dikehendaki Allah Sang Pencipta manusia.
Rasulullah tidak menerapkan metode pendidikan seperti pendidikan-pendidikan
sezamannya yang lebih mengutama-kan pengetahuan-pengetahuan manusiawi yang
bersifat filosofis ataupun beliau tidak pernah sama sekali mencampur antara wahyu dengan
pengetahuan manusia, namun seratus persen wahyu baik berupa wahyu-wahyu Allah yang
diturunkan kepada beliau ataupun perkataan beliau sendiri yang pada hakikatnya adalah
wahyu sebagimana disebutkan al-Qur’an:
Dan tiadalah dia (Muhammad) berkata-kata dengan hawa nafsunya, melainkan dengan
wahyu yang diturunkan. (Al-Najm : 3-4)

Jadi untuk mengetahui hakikat metode pendidikan Rasulullah, maka harus


diketahui dan difahami hakikat wahyu yang diturunkan kepada beliau. Karena metode
pendidikan Rasulullah terdapat dalam wahyu yang diturunkan kepada beliau. Itulah
sebabnya proses pendidikan dan pembinaan generasi Islam pertama tidak dapat dipisahkan
sama sekali dari metode yang diterapkan al-Qur’an. Karena pada hakikatnya metode
pendidikan yang diterapkan Rasulullah adalah metode yang diterapkan al-Qur’an. Metode
Qur’ani tersebut sengaja disusun dan diprogram untuk keperluan manusia sepanjang masa,
baik dia seorang Arab, Persia, Eropa, Cina ataupun Melanesia dan lainnya. Pada dasarnya
manusia adalah sama jiwa, tabiat dan karakternya. Jiwa dan tabiat inilah yang dididik dan
dipimpin metode ini agar manusia mengetahui hakikat hidup dan kehidupannya,
hubungan antara dirinya dengan Tuhan Penciptanya, sesama manusia serta seluruh
makhluk hidup lainnya.
Metode pendidikan Rasulullah yang terkandung dalam metode Qur’ani
memerlukan tahap-tahapan tertentu untuk melahirkan generasi Islam yang akan menjadi
teladan sepanjang masa. Metode yang diterapkan pendidikan Rasulullah bukan sekedar
memberikan sekumpulan teori untuk dipelajari dan dihafal serta didiskusikan saja
sebagimana pengetahuan-pengetahuan manusiawi yang dipelajari pada pendidikan
selainnya. Sekiranya Allah meng-hendaki wahyu yang diturunkan-Nya (al-Qur’an) menjadi
perbendaharaan pengetahuan saja, tentu tidak akan diturun-kannya dalam tempo waktu
yang panjang selama 23 tahun, namun tentu diturunkan wahyu sejumlah 30 juz sekaligus
dalam satu waktu, kemudian manusia dibiarkan mempelajarinya, menelaahnya,
mendiskusikannya serta mengembangkannya sendiri menurut kemampuan mereka
masing-masing dari berbagai cabang pengetahuan, sehingga pengetahuan tentang wahyu
memenuhi kepala mereka dan mereka menjadi pakar-pakar wahyu yang handal, yang
dapat menjelaskan maksud-maksudnya tersebut secara terperinci sebagaimana filsafat
sehingga tidak mampu difahami oleh masyarakat awam. Namun bukan itu yang
dikehendaki metode pendidikan Rasulullah. Wahyu kepada Nabi Muhammad sebagai
intipati pendidikan Rasulullah diturunkan secara beransur-ansur sesuai dengan keperluan
dan tahap pendidikan yang diterapkan Rasulullah kepada pengikutnya yang akan
melahirkan manusia unggul. Berhubung perkara ini, al-Qur’an menyatakan :

Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan beransur-ansur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.(al-Isra’:
106)
Metode pendididikan Rasulullah adalah metode yang telah digariskan Allah untuk
mendidik para manusia unggul yang berfungsi sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka
bumi sesuai dengan kehendak-Nya, dan bukan hanya sekedar melahirkan ulama penghafal
wahyu dan kitab-kitab ataupun para cendikiawan yang hanya pandai membahas wahyu
dengan berbagai pendekatan dan pengetahuan. Namun Allah Sang Pencipta menghendaki
agar wahyu terwujud di dalam realitas kehidupan sehari-hari pada pribadi, keluarga dan
masyarakat sehingga menjadi susunan yang ideal. Itulah sebabnya Allah Yang Maha
Mengetahui dengan metode-Nya mendidik dan membina generasi yang dikehendakinya
sebagai pilar Islam dalam waktu selama 23 tahun. Dimulai dari masalah-masalah asasi
dalam kehidupan manusia sampai masalah-masalah kemasyarakatan lainnya agar wahyu
tertanam di dalam dada dan dijadikan sebagai sistem dalam realitas kehidupan.

Berkatalah orang-orang yang kafir : “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja” ?. demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya bagian demi bagian.
(al-Furqon : 32)
Pengertian ini memberikan penjelasan bahwa metode pendidikan Rasulullah adalah
bersumber dari wahyu dengan susunan yang dikehendaki Allah. Metode pendidikan
Rasulullah bukan seperti metode pendidikan manusia yang lebih mementingkan aspek
pengetahuan belaka, yang memandang keberhasilan apabila para murid mampu menyalin
dan menghafal pengetahuannya. Metode pendidikan Rasulullah menghendaki para
didikannya agar mempraktik-kan apa yang diketahuinya dalam kehidupan nyata, dimulai
dari mengetahui hakikat diri, keberadaan, fungsi dan tugasnya di muka bumi. Itulah
sebabnya metode pendidikan Rasulullah pada awalnya sangat menekankan pengetahuan
dan pengamalan wahyu kepada para didikannya, mereka tidak diizinkan mempelajari
selainnya, walaupun itu Kitab Taurat, sampai mereka benar-benar memahami dan
mempraktekkan wahyu dalam kehidupan nyata. Karena wahyu akan memberikan mereka
semua perbendaharaan pengetahuan yang diperlukan sebagai syarat menjadi hamba dan
khalifah Allah termasuk pengetahuan-pengetahuan tentang dunia jika mereka memahami
dan mengamalkannya sesuai petunjuk Rasulullah sebagimana yang telah dibuktikan oleh
generasi Islam pertama yang telah berhasil membangun peradaban baru dunia berdasarkan
wahyu.
Metode mempelajari untuk diamalkan yang diterapkan dan ditekankan pada
pendidikan Rasulullah inilah yang telah melahirkan manusia-manusia yang keunggulannya
tidak diragukan. Generasi yang dididik Rasulullah menerima wahyu, membaca wahyu,
mempelajari wahyu dan memahami wahyu semata-mata untuk diamalkan, untuk
diterapkan di dalam kehidupan nyata mereka sehingga mereka menjadi “wahyu hidup”.
Setelah mereka mendengar wahyu yang diajarkan Rasulullah mereka langsung
mengamalkannya tanpa mempersoalkan aspek-aspek filsafatnya yang rumit. Mereka
mendengarkan wahyu dari Rasulullah ibarat seorang prajurit yang menerima perintah
harian dari jendral tertingginya. Perintah-perintah harian ini harus segera dilaksanakan di
dalam kehidupan dan mereka tidak akan meminta tambahan-tambahan perintah yang akan
memberatkan mereka sampai Allah sendiri menurunkan perintah-Nya lagi. Mereka
menerima wahyu Allah yang disampaikan Rasulullah dengan penuh perhatian dan
kesungguhan, kemudian menghafalnya sebagaimana seorang prajurit menghapal tugas-
tugas pokoknya dan selanjutnya mempraktekkannya dalam kehidupan. Jika mereka tidak
memahaminya, maka Rasulullah akan menjelaskan maksudnya agar mereka dapat
melaksanakannya dengan mudah. Allah Yang Maha Mengetahui menurunkan wahyu
kepada utusan-Nya menurut keadaan pertumbuhan masyarakat binaan Rasulullah.
Beberapa ayat turun untuk mendidik masyarakat, atau turun keika sesuatu peristiwa,
keadaan atau kejadian tertentu terjadi untuk memberikan arahan manusia tentang apa yang
terbaik untuk mereka. Keadaan ini terjadi berulang-ulang sehingga didikan Rasulullah
benar-benar mencapai tujuannya sebagai manusia unggul, unggul fisik, jiwa ataupun
fikirannya.
Mendahulukan wahyu atas segala pengetahuan manusiawi inilah yang
membedakan metode pendidikan Rasulullah dengan metode pendidikan selainnya. Metode
pendidikan Rasulullah menghendaki agar wahyu benar-benar terwujud dalam pribadi yang
dididik, sehingga mereka layak dikatakan sebagai “wahyu berjalan”. Metode ini telah
melahirkan manusia-manusia unggul yang berkualitas prima, sementara metode-metode
selainnya, baik metode yang diciptakan manusia ataupun metode campuran antara wahyu
dengan filsafat manusia belum terbukti mampu melahirkan manusia-manusia unggul
sampai sekarang. Bahkan metode pendidikan yang diterapkan kaum Muslimin saat ini
belum mampu mencapai tujuan, bahkan telah hilang tujuan dan misi yang diembannya
akibat pengaruh faham sekulerisme dan materialisme yang telah merasuki sistem
pendidikan mereka.
Hikmah dilarangnya mempelajari pengetahuan selain wahyu yang diajarkan Nabi
Muhammad sebelum habis masa pemahaman dan pengamalannya dalam metode
pendidikan Rasulullah adalah agar para didikan memiliki pemahaman dan pengertian yang
bersih murni tentang wahyu dan tidak tercampur baur dengan pengetahuan-pengetahuan
manusia-wi dengan berbagai latarbelakang filsafatnya yang mungkin akan mempengaruhi
kesucian dan kesempurnaan metode Ilahiyah yang terkandung di dalam pendidikan
Rasulullah. Ini juga mengandung pengertian bahwa metode pendidikan Rasulullah
melarang pencampuran antara wahyu yang diteriamnya dari Allah dengan segala bentuk
pengetahuan, walaupun itu berbentuk Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa.
Percampuran antara wahyu dengan selainnya jelas akan merusak dan menghancurkan
kesempurnaan yang dikandung wahyu, sebagaimana yang terjadi pada kaum Muslimin
belakangan ini. Karena mereka telah mencampuradukkan antara wahyu dengan
pengetahu-an manusiawi, baik dari Barat dan Timur, yang akhirnya merusak hakikat
wahyu dengan metodenya. Mereka telah menjadikan wahyu bukan lagi perintah yang
harus diamalkan, tetapi seperti pengetahuan yang hanya dipelajari dalam pengetahuan
seperti pengetahuan manusiawi lainnya yang akhirnya menghilangkan semangat Ilahiyah
wahyu.
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa metode pendidikan Rasulullah adalah
menerapkan semua wahyu yang diturunkan Allah kepada para didikannya menurut
tahapan-tahapannya, mulai sejak turunnya di gua Hira’ sampai wahyu terakhir. Rasulullah
mencukupkan dengan wahyu yang diterimanya dalam membina para pengikutnya, dan
menolak semua bentuk metode selainnya sampai para didikannya memahami benar
hakikat wahyu.

4. Filsafat Pengetahuan Islam


Membicarakan paradigma pendidikan Islam tidak akan sempurna tanpa membahas
filsafat pengetahuan79 dalam Islam, karena hal ini merupakan inti pati dari keseluruhan
sistem pendidikan Islam. Walaupun ada sebagian kaum Muslimin, terutama kalangan
tradisional konservatif yang menolak filsafat yang dikatakannya sebagai pengetahuan yang
bukan berasal dari Islam dan tidak memiliki relevansi dengan ajaran Islam akibat
79
Untuk menghindari kerancuan, perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa pengertian yang dimaksudkan pada
bagian ini. Pengetahuan pada bagian ini adalah terjemahan dari kata al-ma’rifah dalam bahasa Arab dan knowledge
dalam bahasa Inggris, dan bukan terjemahan dari perkatan al-ilm ataupun science yang mengandung pengertian lain.
Para cendikiawan Muslim kontemporer umumnya menggunakan istilah al-ma’rifah / knowledge / pengetahuan untuk
menunjuk seluruh perbendaharaan yang diketahui oleh manusia secara general. Itulah sebabnya ketika mereka ingin
mengislamisasikannya, mereka tidak menggunakan Islamiyat al-ilm atau Islamization of science, tetapi menggunakan
Islamiyat al-ma’rifah atau Islamization of knowledge. Lebih detil lihat misalnya : Faruqi, Islamization of Knowledge,
General Principles and Workplan.
terpengaruh oleh ektrimisme faham pengikut al-Ghazali (Ghazaliyyah bukan Imam Ghazali)
yang menolak segala bentuk aliran filsafat yang dikatakannya sebagai sesat dan
menyesatkan. Terlepas dari pro dan kontra, filsafat sendiri berkembang dengan pesatnya
menjadi pengetahuan yang sangat diminati bahkan dianggap penting oleh sebagian
cendikiawan Islam. Bahkan mereka berkeya-kinan bahwa filsafat akan dapat membantu
kaum Muslimin dalam membangun kembali peradaban mereka.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kerancuan mayoritas kaum Muslimin dewasa ini
dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka terutama disebabkan oleh kesalah-
fahaman atau ketidakfahaman mereka terhadap filsafat pengetahuan yang menjadi intipati
seluruh sistem pendidikan. Sehingga mereka dengan mudahnya mengadopsi apapun jenis
dan bentuk pengetahuan tanpa melihat latar belakang filsafat yang menyertainya. Demikian
pula sistem pendidikan Barat yang diagungkan dewasa, terlepas dari kelebihan dan
kekurangannya, telah memiliki landasan filsafat pengetahuan canggih yang telah
dikembangkan oleh para filosof mereka sehingga berhasil melahirkan manusia-manusia
unggul sebagaimana yang dikehendakinya. Bisa dibayangkan bagaimana kebingungan dan
kesesatan para lulusan sebuah institusi pendidikan yang tidak mengetahui landasan filsafat
pengetahuan yang mereka terapkan, sehingga dengan mudahnya mengajarkan
pengetahuan yang tidak diketahui landasan filsafatnya, yang akhirnya akan
menghantarkan para lulusannya menjadi manusia-manusia bingung dan terasing
sebagimana yang telah menimpa sebagian besar institusi pendidikan yang dikembangkan
kaum Muslimin saat ini. Untuk meluruskan kesalahfahaman ini, harus difahami makna dan
sejarah perjalanan filsafat itu sendiri dan bagaimana sampainya ke tangan kaum Muslimin.
Tentang perjalanan filsafat, Al-Farabi dalam Tahshil al-Sa’adah mengungkapkan :

Konon ilmu tersebut pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan, penduduk
Iraq. Kemudian berpindah pada orang Mesir kuno dan berpindah lagi pada
orang-orang Yunani. Beberapa kurun waktu kemudian ilmu tersebut berpindah
lagi pada orang Suryani dan selanjutnya ke tangan orang-orang Arab Muslim.
Semua yang tercakup dalam pengetahuan itu dirumuskan dalam bahasa Yunani,
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani lalu ke bahasa Arab. Ilmu
yang mereka peroleh dari orang-orang Yunani itu pada umumnya mereka beri
nama Hikmah dan Hikmah Terbesar. Sedangkan penekunan dan penguasaan-
nya dinamakan filsafat, yang berarti mengutamakan dan mencintai Hikmah
Terbesar. Orang yang menguasai ilmu itu disebut filosof, yaitu orang yang
mencintai dan mengutamakan Hikmah Terbesar. Mereka berpendapat bahwa
Hikmah Terbesar itu merupakan keutamaan , karena itu mereka menamakannya
: Sumber segala ilmu, induk semua ilmu, sumber segala Hikmah dan sumber
kecakapan manusia.80

Filsafat sebagai disiplin pengetahuan dikenal kaum Muslimin setelah mereka


berinteraksi dengan peradaban-peradaban luar sebagai konsekwensi logis penaklukan demi
penaklukan yang mereka lakukan, terutama ketika mereka mulai menterjemahkan

80
Lihat : Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991) hlm.2
pengetahuan-pengetahuan karya para filosof dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dan mencapai puncaknya ketika zaman pemerintahan al-Makmun yang mendirikan Bayt
al-Hikmah yang merupakan badan penelitian sekaligus penterjemah pengetahuan.
Mengenai sejarah transformasi filsafat ke dunia Islam, Arkoun menulis :

Penterjemahan karya-karya filosof Yunani dimulai tidak lebih belakangan dari


masa pemerintahan raja Umayyah, yaitu Hisyam (724-743), yang sekertarisnya,
Salim bin Abu al-’Ala’, seorang putra Iran, menerjemahkan risalah-risalah
Aristo-teles hingga Alexender. Pada abad ke 9, terjema-han-terjemahan ini
menjadi lebih akurat dan lebih banyak dan, berkat penemuan kertas pada tahun
762, secara meterial dapat dijangkau. Penerjemh-penerjemah terbesar adalah
para filosof sendiri. Hal ini benar bagi Hunain bin Ishaq, puteranya Ishaq
(w.910), Qusta bin Luqa (w.912) dan Tsabit bin Qurra (w. kira-kira thn 900).
Ibn Na’imah al-Himsi, tokoh sezaman dengan al-Kindi, menyedia-kan parafrasa
Enneades yang tidak memasukkan pelbagai ekspresi dengan konotasi-konotasi
pagan dan menekankan sifat transenden yang benar (risalaah tentang ilmu
Ilahiah yang dikaitkan de-ngan al-Farabi). Al-Kindi (w.870), yang merupakan
filosof besar pertama yang karyanya mencakup berbagai cabang dari apa yang di
zaman klasik dan abad tengah disebut filsafat (ilmu fisika dan ilmu alam,
matematika, kebijaksanaan), itu sendiri mengoreksi intisari Enneades yang ter-
akhir, yang dikenal sebagai Teologi Aristoteles.81

Tentang peranan bayt al-Hikmah yang dikatakan sebagai sumber pertama


pengembangan filsafat di dunia Islam, Sardar menulis :

Perpustakaan Muslim paling terkenal ialah bayt al-Hikmah, suatu gabungan


lembaga riset, per-pustakaan dan biro penterjemahan didirikan oleh Khalifah
Abbasiah, Harun al-Rasyid di Bagdad pada 830 M. Banyak diantara buku-buku
terjemahan dari bahasa-bahasa bukan Arab seperti bahasa Yunani dan Sanskrit,
yang menyemarakkan perpustakaan ini. Putra Harun al-Rasyid, Khalifah
Makmun al-Rasyid, diriwa-yatkan telah memperkerjakan cendikiwan-cen-
dikiawan terkenal seperti al-Kindi, filosof Muslim pertama, untuk
menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Al-Kindi sendiri
menulis hampir tiga ratus buku tentang masalah-masalah kedokteran, filsafat
sampai musik yang disimpan di bayt al-Hikmah. Makmun menggaji para
penterjemah dan, untuk merangsang upaya mereka, mensahkan dan
menandatangani setiap terjemahan.82

Sementara cara berfikir filosofis sendiri adalah bagian dari ajaran Islam yang
dikembangkan sejak wahyu pertama diturunkan sebagimana digambarkan al-Qur’an.

81
Dr. Mohammed Arkaoun, Arab Thought, terj. Yudian WA ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). hlm. 40
82
Dr. Ziuddin Sardar, Information and The Muslim World : A Strategy for the Twensty-first Century, Terj. Mizan,
(Bandung : Mizan, 1985) hlm.42
Demikian pula al-Qur’an senantiasa memberikan rangsangan kepada kaum Muslimin
untuk berfikir secara filosofis. Jadi anggapan bahwa filsafat dalam Islam lahir akibat
masuknya pemikiran Yunani ke dalam pemikiran cendikiawan Muslim masa itu melalui
interaksi ataupun penerjemahan pengetahuan Yunani tidak selamanya benar. Karena para
cendikiawan Muslim senantiasa menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan
berfikir dan sumber insfirasi dan pemikiran Yunani hanya memberikan dorongan dan
rangsangan kepada sumber tersebut.83
Dari beberapa keterangan terdahulu, jelaslah bahwa Rasulullah belum mengajarkan
pengetahuan-pengetahuan yang dikenal dengan filsafat sebagaimana dikembangkan
generasi sesudahnya dan beliau mencukupkan materi pendidikannya pada wahyu yang
diterimanya dari Allah sampailah beliau wafat. Demikian pula halnya dengan para
shahabat, terutama zaman Khalifah yang empat, mereka tetap meneruskan tradisi yang
dilakukan Rasulullah. Namun demikian kerangka berfikir filosofis pada hakikatnya sudah
mulai ditanamkan sejak awal turunnya wahyu dan dikem-bangkan oleh para shahabat
dengan kemampuan mereka masing-masing. Tema-tema al-Qur’an tentang penciptaan
alam raya adalah salah satu kerangka pemikiran filsafat yang senantiasa akan mendorong
para pengikutnya untuk berfikir dan mencari kebenaran. Rangsangan al-Qur’an agar kaum
Muslimin menggunakan akalnya dalam mempelajari realitas alam adalah bukti paling
nyata dukungan al-Qur’an terhadap disiplin pengetahuan ini. Beberapa atsar menyebutkan
bahwa para shahabat, dengan pendidikan yang diterimanya, telah menjadi filosof-filosof
agung jika filsafat diartikan sebagai disiplin pengetahuan untuk mencari kebenaran
mengguna-kan kemampuan akal. Namun yang membedakannya dengan filsafat Yunani
adalah filsafat para shahabat tidak berdasarkan akal semata dalam mengembangkan
pengeta-huannya, namun mereka menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai referensi
utama. Dengan demikian peroduk-produk pemikiran yang dihasilkannya adalah pemikiran
yang berlandaskan wahyu.
Filsafat sebagai sebuah sistem pengetahuan rasional dengan segala disiplin yang
menyertainya berkembang pesat sebagai disiplin pengetahuan yang dipelajari oleh bangsa-
bangsa besar yang berperadaban maju seperti Yunani, Mesir, Persia ataupun India. Ketika
kaum Muslimin berhasil menguasai bangsa-bangsa besar tersebut, maka konsekwensi
logisnya mereka mendapatkan semua peninggalan peradaban bangsa tersebut. Menghadapi
kenyataan ini kaum Muslimin dituntut untuk menolak atau menerimanya sebagai bagian
dari peradaban mereka. Pada saat inilah terjadinya perpaduan antara filsafat yang
dikembangkan kaum Muslimin dengan filsafat lainnya dan menghasilkan filsafat baru yang
berbeda dengan bentuk sebelumnya. Dengan kata lainnya para cendikiwan Muslim
mengadopsi dan menyaring pengetahuan tersebut sehingga sesuai dengan kehendak al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dalam prakteknya tidak semua produk pengetahuan baru yang
diadopsi kaum Muslimin sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka konsekwensi-nya,
pengetahuan ini ditolak atau ditafsirkan menurut versi Islam. Cara terakhir ini,
sebagaimana dilakukan al-Farabi dan lainnya mendapat sorotan tajam oleh cendikiwan
Muslim seperti al-Ghazali karena menurutnya dapat menyesatkan kaum Muslimin akibat

83
Lihat misalnya : C.A. Qadir, Philoshophy and Science in The Islamic World, terj. Hasan B. ( Jakarta : Yayasan
Obor, 1989). hlm. 26-33
masuknya pemikiran-pemikiran pagan yang sesat dan menyesatkan. Namun diantara para
filosof Muslim seperti al-Kindi berpendapat bahwa filsafat bukan hanya perangkat dialektik
untuk mempertahankan wahyu Qur’an melawan para penentangnya, tetapi filsafat juga
merupakan satu disiplin yang sangat kokoh dari pemikiran manusia dalam pencarian
kebenaran, kebenaran sejati yang dimiliki oleh Nabi dari “ilmu Ilahi”, yang diwahyukan
dalam bahasa yang dapat dijangkau oleh semua orang.84
Kemenangan demi kemenangan yang mendatangkan kemakmuran dunia Islam
telah mengakibatkan berkembang pesatnya institusi-institusi intelektual yang mendukung
berkembangnya pengetahuan-pengetahuan baru, termasuk filsafat. Berkembang luasnya
filsafat di dunia Islam telah melahirkan para cendikiawan Muslim yang menekuni bidang
ini, yang dalam bahasa Arab di kenal dengan falasifah. Gelar ini biasanya diberikan kepada
mereka yang aktif menekuni disiplin-disiplin filsafat, baik dalam kedokteran, fisika, kimia,
biologi, sosiologi, astronomi, matematika, dan sejenisnya. Julukan ini untuk membedakan
mereka dengan ulama ataupun hukama yang lebih berkonotasi kepada orang yang menekuni
disiplin keagamaan.
Jika demikian keadaannya, kenapa ada dikalangan para cendikiawan Muslim
menentang filsafat bahkan menye-satkan para penganjurnya. Untuk menjawab pertanyaan
ini, perlu ditelusuri jalan pemikiran para penentang filsafat, yang terutama diantaranya
adalah al-Ghazali yang telah berhasil cemerlang menghujjat para filosof besar zamannya
dalam karya agungnya Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali dalam karyanya tersebut melihat ada
dua puluh penyimpangan besar yang dilakukan oleh para filosof Muslim, tujuh belas
perkara dipandangnya sebagai pembaharuan tercela (bid’ah) dan tiga sisanya, yaitu
kadimnya alam, penyangkalan terhadap pengetahuan Allah tentang perkara-perkara
mendetil dan penyangkalan terhadap kebangkitan kembali, dapat menjerumuskan mereka
menuju kekafiran. Namun sejauh itu, al-Ghazali tidak mengharamkan semua jenis filsafat,
mengenai filsafat sains kealaman, astronomi, fisika dan kedokteran, beliau berkomentar
sebagaimana dikemuka-kan S.H. Nasr :

Ini adalah penyelidikan tentang langit beserta benda-benda langit dan apa yang
berada di bawah langit, benda-benda sederhana seperti air, udara, api dan wjud
majemuk seperti hewan, tumbuhan, dan mineral dan juga tentang sebab-sebab
perubahan, transformasi dan kombiinasi mereka. Ini serupa dengan penyelidikan
ilmu medis mengenai tubuh manusia dengan organ-organ utama dan
bawahannya dan tentang sebab perubahan tempramen. Seperti halnya fungsi
aga-ma bukanlah untuk menolak ilmu medis, begitu pula penolakan sains alam
bukanlah salah satu fungsinya, kecuali yang mengenai perkara terten-tu seperti
yang saya uraikan dalam buku saya Tahafut al-Falasifah. Soal lain yang harus
ditinjau secara berbeda dari pandangan para filosof dapat diambil dari penelitian
terhadap soal-soal terse-but. Dasar semua keberatan ini ialah pengakuan kita
bahwa alam takluk kepada Allah Maha Tinggi tidak bertindak sendiri, tapi
merupakan alat di tangan Penciptanya. Matahari dan bulan, bintang dan elemen

84
Dr. Mohammed Arkaun, Arab Thought, op.cit. hlm.45
lainnya tunduk kepada perintah-Nya. Tidak satupun di antara mereka yang
aktivitasnya dihasilkan oleh atau disebabkan oleh wujudnya sendiri”.85

Dengan demikian pemikiran yang menolak secara apriori keberadaan filsafat yang
telah dikembangkan para cendikiawan Muslim terdahulu dengan susah payah adalah satu
kesalahan fatal yang berdampak buruk terhadap perkembangan peradaban kaum
Muslimin. Karena penolakan terhadap pengetahuan ini secara membabi buta telah
menghantarkan moyoritas mereka menuju kejumudan dan keterbelakangan, dan akhirnya
menjadikan mereka dikuasai penjajah Barat, baik fisik dan pemikirannya. Penolakan para
cendikiawan Muslim terhadap filsafat, sebagaimana yang dilakukan al-Ghazali adalah
sebatas penafsiran ajaran teologis Islam menggunakan filsafat paganis Yunani, baik
Aristoteleanisme dan Neoplatonisme anjuran al-Farabi yang dapat menyesatkan. Namun
sejauh menyangkut pengeta-huan kealaman, matematika, kedokteran dan sejenisnya tidak
bertentangan dengan agama, sebagaimana dinyatakan Nasr :

Sungguh satu kejahatan besar terhadap agama telah dilakukan oleh orang yang
mengira bahwa Islam dipertahankan dengan menolak sains mete-matika, karena
nyata-nyata tidak ada sesuatu dalam wahyu yang bertentangan dengan sains
ini, yang menyangkal maupun yang membenarkannya dan tidak ada dalam
sains ini yang berlawanan dengan kebenaran agama.86

4.1. Urgensi dan Relevansi Filsafat Pengetahuan Islam


Apakah urgensi dan relevansi filsafat bagi kaum Muslimin, terutama dalam
mengembangkan pengetahuan mereka ? Karena akibat pengaruh para pengikut al-
Ghazaliyyah banyak dikalangan kaum Muslimin yang mengharamkan filsafat yang
dianggapnya tidak memiliki urgensi dan relevansi bagi kaum Muslimin. Demikian pula
dengan berkembangnya pengeta-huan-pengetahuan terapan praktis yang dibutuhkan pasar
tenaga kerja telah menghilanhkan minat generasi muda terhadap filsafat yang merupakan
inti pengetahuan itu sendiri. Sehubunggan dengan perkara ini, Jamal al-Dien al-Afghani
menyatakan;

Ilmu yang mempunyai kedudukan sebagai jiwa yang utuh dan menempati
jenjang teratas dalam menciptakan kekuatan adalah ilmu filsafat, karena bidang
studinya universal. Ilmu filsafatlah yang menunjukkan orang akan kebutuhan-
kebu-tuhan manusiawinya yang mendasar....... Jika suatu masyarakat tidak
menguasai filsafat, dan setiap individu yang ada dalam masyarakat itu hanya
dibekali dengan ilmu-ilmu tentang bidang-bidang tertentu, ilmu-ilmu itu tidak
akan mampu bertahan di dalam masyarakat itu, setidak-tidak-nya selama satu
abad.

Sehubungan dengan perkara ini, Fazlur Rahman menyatakan :


85
S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, terj. J. Mahyuddin (Bandung : Pustaka, 1986) hlm. 288
86
ibid
Akan tetapi, filsafat merupakan suatu kebutuhan intelektual yang abadi dan
mesti dibiarkan tumbuh subur baik demi disiplin filsafat itu sen-diri, maupun
demi disiplin-disiplin yang lain, karena ia menanamkan semangat kritis-analitis
yang sangat diperlukan dalam melahirkan gaga-san-gagasan baru yang menjadi
alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, tak kurang bagi agama dan
teologi. Karenanya suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti
men-campakkan dirinya dalam bahaya kelaparan gaga-san-gagasan segar
-melakukan bunuh diri intelektual. 87

Bagi kaum Muslimin sendiri, khususnya pada saat dimana kebangkitan peradaban
sedang menjadi prioritas utamanya, maka menguasai filsafat tidak diragukan lagi adalah
sangat penting. Karena filsafat adalah salah satu alat yang mutlak dikuasai agar mereka
dapat menguasai peradaban dunia modern dan agar terhindar dari kesesatan yang
terkandung dalam filsafat Barat modern. Disamping itu Islam sendiri telah merangsang
agar para pengikutnya senantiasa menggunakan akalnya dalam mempelajari raelitas alam
semesta ciptaan Allah. Namun filsafat yang dianjurkan Islam bukan filsafat bebas nilai
sebagaimana yang diajarkan Barat sekuler, tapi filsafat yang semata-mata akan
mendekatkan dan menghantarkan manusia kepada Allah sebagai hamba dan khalifah-Nya.
Itulah sebabnya seluruh produk filsafat yang berdasarkan Islam tidak boleh bertentangan
dengan ajaran Islam, baik dalam epistemologis, ontologis maupun metodeloginya.
Filsafat pengetahuan Islam berdasarkan pada tauhid, yaitu keesaan Allah dalam
segala hal, baik sebagai sumber pengetahuan, pencipta pengetahuan dan pemilik pengeta-
huan, manusia hanya sebagai wakil yang akan mengelola dan mengembangkan
pengetahuan sebagaimana yang dikehenda-ki Allah. Konsekwensi logis pengertian ini
adalah bahwa manusia dibenarkan menggunakan kemampuan aqalnya selama tidak
bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.88
Demikian pula dengan kegagalan demi kegagalan yang diderita filsafat
pengetahuan Barat dalam menghantarkan para pengikutnya menuju cita-citanya seperti
saat ini sebagaimana dikemukakan oleh para cendikiawan mereka, maka tidak diragukan
lagi pentingnya filsafat pengetahuan yang berdasarkan Islam sebagai alternatif pengganti
yang akan menghantarkan umat manusia menuju kebenaran sejati sebagai tujuan akhir
filsafat. Karena jika tidak dicarikan alternatif pengganti filsafat pengetahuan Barat yang
sudah rapuh ini akan menjadi sumber kehancuran dunia yang sudah kelihatan tanda-
tandanya akhir-akhir ini akibat kesalahan konsep yang mendasarinya sebagaimana
dikemukakan SH. Nashr;
Peradaban yang berkembang di Barat sejak zaman Renaissance adalah sebuah
eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga
umat manusia menjadi ragu apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di
87
Fazlur Rahman, Islam and Modernity,hlm. 190
88
Tentang masalah ini, lihat misalnya : Syed M.Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy of Science, (Kuala
Lumpur : ISTAC, 1989). Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam, (London : Manshell Publ. 1989).
C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, (New York : Croom Helm, 1988) khususnya bab I. Mahdi Golshani,
“Philosophy of Science from The Qur’anic Perpective” dalam Toward Islamization of Disciplines. (Virginia : IIIT, 1989) hlm.
73-92.
masa yang akan datang. Sangatlah tidak ilmiah apabila kita menganggap
peradaban modern ini dengan segala gambaran mengenai sifat manusia dan
alam semesta yang mendasarinya, bukan sebagai sebuah eksperimen yang gagal.
Dan sesungguh-nya penelitian ilmiah, jika tidak menjadi jumud karena
rasionalisme dan empirisme yang totalarian seperti yang kami katakan di atas,
sudah tentu merupakan cara termudah untuk menyadarkan manusia sekarang
bahwa peradaban modern sesungguhnya telah gagal karena kesalahan konsep-
konsep yang mendasa-rinya.89

Kegagalan peradaban Barat modern ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi
umat manusia, sebagaimana dikemukakan SMN. al-Attas ;

Banyak tantangan yang timbul di tengah-tengah kebingungan manusia


sepanjang zaman, tetapi tidak satupun yang lebih serius dan sangat destruktif
kepada manusia sekarang selain yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Saya
berpen- dapat bahwa tantangan yang paling besar yang secara sembunyi-
sembunyi telah muncul pada zaman kita adalah tantangan pengetahuan
(knowledge), tidak seperti berperang melawan kejahilan; tapi sebagai
pengetahuan yang disusun dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia oleh
peradaban Barat; sifat dasar pengetahuan menjadi permasalahan setelah ia
kehilangan tujuan sebenarnya karena disusun secara tidak adil yang dengan
demikian justru menimbulkan kekacauan pada kehidupan manusia, dan lebih
jauh pada kedamaian dan keadilan; pengetahuan mengang-gap diri sesuai
dengan kenyataan, padahal ia adalah produk dari rasa kebingungan dan
skeptisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiah dalam
metodeloginya dan memandang keraguan sebagai epistemologi paling tepat
dalam mencari kebenaran; pengetahuan, untuk pertama kali dalam sejarah,
telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam, binatang, tumbuhan dan
mineral.90

Maka dengan demikian tidak diragukan lagi pentingnya pada saat ini untuk
mengembangkan sebuah paradigma filsafat pengetahuan Islam yang berdasarkan pada
wahyu agar dunia modern dengan segala perbendaharaan peradabannya dapat
menghantarkan manusia menuju kebenaran sejati. Karena filsafat pengetahuan Barat
modern yang berkembang pesat bahkan menjadi pegangan sebagian besar kaum Muslimin
saat ini telah mengalami kegagalan dengan menghasilkan produk pengetahuan yang
merusak manusia dan lingkungannya. Dan yang terpenting agar kaum Muslimin tidak
mengalami kerancuan dan kebingungan yang membawanya kepada keterbelakangan dan
kemunduran akibat menerapkan filsafat pengetahuan yang bertentangan dengan ajaran
Islam.

89
SH. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (London : Longman, 1975) hlm. 12.
90
Syed M. Naquib al-Attas, Nature of Knowledge and The Definition and Aim of Education, (Jeddah : King Abdul
Aziz Univ, 1979) hlm. 19-20
Untuk membangun kembali paradigma filsafat pengetahuan yang berdasarkan pada
ajaran Islam, harus ditelusuri sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah,
pemikiran para shahabat dan para pengikutnya. Disamping itu perlu dikaji pemikiran-
pemikiran para cendikiwan Muslim di zaman kegemilangan Islam terutama di zaman
kegemilangan filsafat, baik yang mendukung penuh filsafat seperti al-Farabi, al-Kindi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd dan lainnya ataupun yang menentangnnya seperti al-Ghazali. Karena
perkara ini sangat penting untuk membangun kembali kerangka acuan filsafat yang
berdasarkan pada ajaran Islam. Dengan mengetahui dan memahami pemikiran para
cendikiawan Muslim terdahulu, maka akan dapat dijadikan sebagai referensi yang sangat
berharga dan pemikiran mereka adalah mata rantai dari peradaban Islam yang tidak dapat
dipisahkan dalam upaya untuk membangun kembali peradaban dunia yang berdasarkan
ajaran Islam. Demikian pula usaha-usaha serius yang berkelanjutan dari cendikiawan
Muslim kontemporer dalam membangun kembali landasan filsafat pengetahuan Islam
harus senantiasa menjadi referensi dalam mengembangkan filsafat pengethuan Islam di
masa depan. Harus disadari, membangun kerangka dasar filsafat pengetahuan Islami
adalah perkara besar yang menjadi tugas setiap cendikiawan Muslim sebagai kewajiban
jihad yang utama.
Secara garis besarnya para cendikiawan Muslim menyatakan bahwa kerangka
filsafat pengetahuan Islami berdasarkan pada tiga konsep dasar, yaitu al-Tauhid
(ketunggalan Allah), al-Amanah (amanat yang dititipkan Allah) dan al-Khilafah (wakil Allah
di muka bumi). Ini berarti bahwa Allah adalah satu-satunya sumber, pemilik, pencipta
ataupun pemberi pengetahuan kepada manusia yang berupa amanat yang harus
dipertanggungjawabkan penggunaannya. Apabila manusia menggunakan amanah
pengetahuan ini sesuai dengan kehendaknya, maka kelak akan mendapatkan balasan baik
di hari kemudian, namun apabila manusia menyia-nyiakan amanah pengetahuan ataupun
menyele-wengkannya maka ia akan mendapat balasan buruk pula. Sedangkan manusia
sendiri fungsinya sebagai khalifah (wakil) Allah yang akan mengelola dan mengembangkan
pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pemilik yang memberikan amanah
kepadanya.91
Jadi pemahaman ini bertentangan dengan landasan filsafat Barat sekuler yang telah
menghilangkan peranan Tuhan sebagai pemilik dan sumber pengetahuan dan menjadikan
manusia sebagai penggantinya sebagaimana yang difahami oleh para filosof paganis
Yunani. Pemahaman ini telah menghantarkan manusia menjadi Tuhan-tuhan yang
menentukan perjalanan hidup mereka sendiri. Dengan landasan filsafat sekuleris inilah
kemudian Barat mengembangkan segala bentuk pengetahuan sehingga mereka berhasil
membangun peradaban Barat yang mengangumkan. Namun karena landasan filsafat ini
didasari atas kebatilan dan penentangannya terhadap kekuasaan Sang Pencipta, yang pada
hakikatnya adalah penentangan terhadap alam itu sendiri, akhirnya pengetahuan Barat
menjadi bumerang buat mereka. Pengetahuan Barat modern telah memakan tuan
penciptanya sendiri, sehingga para cendikiawannya takut dengan penemuan mereka
sendiri dengan segala dampak yang ditimbulkannya.

91
Lebih jauh lihat : SMN. al-Attas, Islam and Philosophy of Science, op.cit
Lebih jauh untuk membangun kembali filsafat pengetahuan Islam ini, ada beberapa
perkara yang perlu dikaji serta dikembangkan, terutama mengenai aspek ontologi,
epistemologi, aksiologi dan metodelogi pengetahuan yang berdasarkan pada ajaran Islam.
Tulisan-tulisan para cendikiwan Muslim seperti SMN. al-Attas dalam Islam and The
Philosophy of Science, SH. Nasr dalam Science and Civilization in Islam, Wan Mohd. Nor Wan
Daud dalam The Concept of Knowledge in Islam, C.A. Qadir dalam Philosophy and Science in
The Islamic World, Mahdi Gholsani dalam The Holy Qur’an and The Science of Nature dan lain-
lainnya dapat dijadikan rujukan dalam membangun kembali paradigma filsafat
pengetahuan Islam.

Rancang Bangun Pendidikan Islami Masa Depan

Dalam mengembangkan rancang bangun pendidikan Islam masa depan, ada


beberapa perkara yang perlu dijelas-kan. Pertama, dalam merancang bentuk pendidikan
Islam sepenuhnya harus bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah dan tradisi Islam yang tidak
bertentangan dengan keduanya. Karena hanya jalan ini saja yang dapat menyelamatkan
seseorang dari kesesatan sebagaimana diterangkan hadits terdahulu. Kedua, tujuan
pendidikan ini harus jelas, yaitu untuk melahirkan manusia-manusia unggul dalam arti
yang sebenarnya, yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam serta menguasai
peradaban dunia modern. Pendidikan ini bukan bertujuan semata-mata untuk melahirkan
para sarjana yang menyandang gelar saja atau tidak untuk menciptakan para lulusan yang
berlomba mendapatkan pekerjaan. Karena jika mereka sudah menjadi manusia unggul,
pasti mereka akan diperebutkan oleh dunia. Ketiga, tidak terpengaruh atau terikat dengan
pendidikan yang telah diterapkan dunia modern, baik menyangkut model, sistem, metode,
kurikulum atau waktu pendidikan. Karena jika masih terikat dengan pendidikan selainnya,
maka sulit dirancang sistem pendidikan yang dikehendaki Islam. Kegagalan kaum
Muslimin dalam mengembangkan sistem pendidikan, termasuk yang menerapkan
Islamisasi pengetahuan, adalah akibat keterika-tannya yang kuat pada sistem pendidikan
sekuler. Seperti waktu belajar misalnya, pengagagas pendidikan Islam menghendaki dalam
tempo waktu yang relativ sama dengan pendidikan sekuler mereka menginginkan
mencetak pribadi Muslim yang konsisten sekaligus menguasai pengetahuan modern
sebagaimana produk sistem pendidikan lainnya. Tentu ini adalah isapan jempol belaka,
mana mungkin pelajar menguasai dua pengetahuan sekaligus dalam tempo waktu yang
sama dengan pendidikan sekuler, untuk itu perpanjangan waktu pendidikan adalah mutlak
untuk keberhasilan pendidikan Islam. Karena Islam sendiri tidak pernah membatasi tempo
waktu belajar kepada pengikutnya. Keempat, diperlukan sekumpulan kaum Muslimin yang
bertekad bulat menegakkan dan mendukung sepenuhnya sistem pendidikan ini, baik
sebagai pengelola pendidikan, para pelajar, orang tua dan masyarakat. Semua pihak harus
yakin bahwa ini adalah perjuangan panjang menuju kebangkitan Islam yang dinantikan
dunia. Kelima, menyiapkan fasilitas penunjang, baik berupa sarana dan prasarana
pendidikan yang diperlukan semaksimal kemampuan. Namun tidak sepenuhnya meniru
pendidikan yang sepenuhnya berorien-tasi material.
Sebagai agama langit terlengkap dan tersempurna, Islam menghendaki sistem
pendidikan ideal yang sepenuhnya berorientasi pada tujuan suci dan mulia, yaitu
pembentukan manusia unggul yang lahir dari didikan wahyu Ilahiyah yang akan
menghantarkan manusia menuju kesempurnaan hidup. Dengan sistem pendidikannya
yang paripurna, Islam tidak pernah membedakan dan mempertentangkan antara dunia
dengan akhirat, antara aqal dengan wahyu antara ayat-ayat dengan pengetahuan, antara
ilmu agama dan ilmu umum. Dalam sistem pendidikan Islam semuanya adalah satu
kesatuan yang diciptakan Allah sebagai Sang Maha Pencipta untuk kegunaan dan
kemudahan manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Wahyu harus menjadi
dasar dari setiap pergerakan manusia, baik perbuatannya, perkataannya, berfikirnya dan
berkaryanya serta seluruh aktivitas kehidupannya. Karena wahyu adalah satu-satunya
sumber pengetahuan yang mutlak kebenarannya, karena ia datang dari sumber Yang Maha
Mutlak Kebenarannya. Itulah sebabnya sistem pendidikan Islam menjadikan wahyu sebagai
fondamen utama filsafat keilmuannya yang harus difahami dan diamalkan para penganut
Islam. Ketinggian dan kesempurnaan sistem pendidikan Islam semata-mata tidak lain
karena menjadikan wahyu sebagai tolak ukur aktivitas kehidupan. Dan manusia unggul
yang telah dididik dengan wahyu akan menjadi pencinta-pencinta pengetahuan sejati
sebagimana telah dibuktikan oleh generasi Islam terdahulu, wahyu akan mendorong
mereka untuk senantiasa mencari dan mengembangkan berbagai cabang pengetahuan
sebagai salah satu upaya menegakkan Islam di muka bumi. Dengan sistem pendidikan
Islam yang diterapkan Rasulullah telah terbukti melahirkan generasi yang menguasai dan
mengamal-kan Islam sekaligus menjadi pembangun peradaban baru dunia, dan sejak kaum
Muslimin berpaling dari sistem pendidikan Rasulullah, mereka tidak pernah mampu
melahirkan generasi seperti itu lagi.
Sistem pendidikan Islam ideal ini harus diterapkan sedini mungkin kepada kaum
Muslimin, yaitu sejak anak-anak berada di buaian ibu secara informal sampai berusia 4
tahun. Dan dari usia 5 sampai 7 tahun mulai mengikuti klas-klas formal yang diadakan
sampai jenjang yang memungkin-kan mereka menerima pendidikan formal sehingga
terbentuk manusia-manusia unggul sebagimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Karena Rasulullah telah memerintahkan pengikutnya agar mencari ilmu dari buaian
sehingga ke liang lahat. Sitim pendidikan Islam tidak pernah membatasi waktu bagi
pelajarnya dalam mencari ilmu sebagaimana sistem pendidikan modern yang senantiasa
memacu pelajarnya agar menyelesaikan pendidikannya secepat mungkin agar dapat masuk
ke pasar tenaga kerja. Sehingga menjadikan mereka seperti robot-robot yang diperhamba
pengetahuannya yang akhirnya akan menimbulkan rasa frustasi. Apalagi jika mereka tidak
dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di tengah masyarakat dan tidak
mampu bersaing di pasar tenaga kerja akibat kedangkalan pengetahuannya yang
dipaksakan penerimaannya. Itulah sebabnya pendidikan Islam dapat terealisasi apabila ada
sekumpulan masyarakat Islam yang menyadari pentingnnya pendidikan ideal untuk
generasi muda mereka dengan tidak membataskan waktu yang harus ditempuh untuk
menjadi manusia-manusia unggul yang menguasai Islam dan mampu bersaing di dunia
modern.
Pendidikan Islam yang ideal, sebagaimana pendidikan yang terapkan suri teladan
kaum Muslimin, Rasulullah adalah pendidikan yang mengawali pelajarannya dengan
wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya, sebagimana diterangkan al-Qur’an :
sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)
dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
(al-Baqarah : 151)
Ayat di atas dengan tegas menyebutkan asas pengajaran yang harus diterapkan kaum
Muslimin, pertama mengajarkan tentang bacaan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian
mengajarkan kandungan al-Qur’an serta al-Hikmah secara mendalam baru kemudian
sesudah itu diajarkan ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menopang kehidupan mereka di
dunia. Bahasa Arab harus diberikan bersamaan dengan pelajaran membaca al-Qur’an agar
kelak mereka dapat memahami apa yang terkandung didalamnya, karena hanya dengan
memahami bahasa Arablah seseorang baru dapat mengerti al-Qur’an dengan baik dan
benar. Idialnya seorang anak Muslim yang berusia 4-5 tahun, begitu mereka dapat
membaca tulisan Arab sebagai ilmu dasar yang wajib diajarkan, harus sudah mulai
menghafal al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya. Sebuah hadits menyatakan :
Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara : mencintai Nabimu, mencintai ahli baytnya dan
membaca al-Qur’an.
(HR. al-Thabrani)

Sehubungan dengan dasar-dasar rancang bangun sistem pendidikan Islam ini, Dr.
Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam menukilkan beberapa
perkara yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengembangkan sebuah model
pendidikan Islam ideal di masa depan :
1. Al-Jahidz meriwayatkan, bahwa Uqbah bin Abi Sufyan, ketika menyerahkan
anaknya kepada seorang pendidik, ia berkata :
“Hendaklah engkau dalam memperbaiki anak-ku ini dengan memulai
mempernbaiki dirimu sendiri. Sebab mata mereka itu terikat dengan matamu,
yang baik menurut mereka adalah yang baik menurutmu dan yang jelek
menurut mereka adalah yang jelek menurutmu. Ajarkanlah kepada mereka
biographi orang-orang bijaksana, akhlak orang-orang terpelajar dan rasa
takut kepadaku. Didiklah mereka agar menghormatiku. Jadilah engkau bagi
mereka bagai dokter yang tidak terburu-buru memberikan resep obat sebelum
mengetahui penyakitnya. Dan janganlah engkau bersandar kepada ketidak
mampuanku. Karena sudah kuserahkan sepenuhnya kepada kemampuan-
mu”.

2. Di dalam Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun meriwayatkan bahwa ketika


Harun al-Rasyid menyerahkan putranya, al- Amin, kepada seorang pendidik,
ia berkata kepadanya:
“Hai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan belahan
jiwanya dan buah hatinya kepadamu. Oleh karena itu, bentang-kanlah
tanganmu untuknya. Dan ia wajib men-taatimu. Maka bertindaklah engkau
terhadap-nya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mukminin.
Bacakanlah al-Qur’an kepa-danya, beritahukanlah kata-kata layak kepada-
nya, riwayatkanlah sya’ir-sya’ir kepadanya, ajarkanlah sunnah-sunnah
kepadanya, terang-kanlah tujuan-tujuan pembicaraan dan latar
belakangnnya kepadanya, laranglah ia untuk tertawa selain pada waktunya,
dan janganlah engkau membiarkan waktu berlalu begitu saja, kalau tidak,
maka engkau telah memanfaatkan suatu faedah yang bermanfaat baginya
tanpa tanpa membuatnya sedih, sehingga engkau mematikan pikirannya.
Janganlah engkau membiarkan waktu libur baginya, sehingga ia bersenang-
senang dengan waktu yang senang itu. Luruskanlah ia semampumu dengan
pen-dekatan dan kelemah lembutan. Dan bila ia tidak mau menerima, maka
engkau harus menggunakan kekerasan”.

.................................................
4. Abdul Malik bin Marwan menasihati orang yang mendidik anaknya :
“Ajarkanlah kebenaran kepada mereka sebagai-mana kamu mengajarkan al-
Qur’an kepada me-reka. Riwayatkanlah sya’ir kepada mereka sehingga
mereka berani...............92

Sa’ad bin Abi Waqash ra berkata :


“Kami mengajar anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah saw
sebagaimana kami mengajarkan surat al-Qur’an kepada mereka”93

Dr. Muhammad Athiyah al-Abrasi menukilkan dalam bukunya Al-Tarbiyat al-


Islamiyat :

Pada suatu ketika, Mufaddal bin Zaid melihat anak seorang wanita Islam dari
desa, maka beliau terpesona melihat wajahnya dan kesempurnaan bentuk
badannya. Zaid bertanya kepada ibunyaa mengenai anak tersebut, dan di jawab :
“Ketika ia berumur genap 5 tahun saya telah menyerahkan-nya kepada seorang
juru didik, di mana ia belajar membaca dan menghafal al-Qur’an, kemudian
disuruh mempelajari syair dan sesudah itu diberikan kepadanya sejarah nenek
moyang dan kaumnya dan membaca jasa-jasa dan kemegahan mereka sehingga
sampailah ia kepada umur dewasa kemudian ia dilatih mengendarai kuda dan
mempergunakan senjata. Setelah ia mahir dalam soal-soal memakai senjata
disuruh berjalan dari rumah ke rumah dan ia dapat mendengar suara minta
tolong dan dengan cepat ia membantu dan menolong”.

Ibnu Sina di dalam bukunya al-Siyasah telah membentangkan pendapat-


pendapat berharga dalam pendidikan anak-anak dan beliau menasihatkan
supaya pendidikan anak-anak di mulai dengan pelajaran al-Qur’an yaitu segera
setelah ada kesediannya secara fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu yang
sama ia belajar mengeja, membaca, menulis dan mempelajari dasar-dasar agama,
setelah itu belajar syair dan mulai dengan yang singkat-singkat, karena
menghafal syair-syair pendek itu lebih gampang dan lebih ringan..... Bila si anak
telah selesai dari menghafalkan al-Qur’an dan mengerti pula tata bahasa Arab
barulah dilihat, diarahkan dan diberi petunjuk kepada ilmu yang sesuai dengan
bakat dan kesediaannya”.

Ibnu Tawam berkata :”Yang seharusnya dilakukan oleh bapak-bapak sesudah


anak-anaknya hafal al-Qur’an ialah mengajar mereka menulis, berhitung dan
berenang”

92
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, (Beirut : Dar al-Salam, Tab. Tsaniyah, 1978)
muqaddimah.
93
ibid
Al-Ghazali mewasiatkan supaya anak-anak di ajar al-Qur’an, sejarah dan
kehidupan orang-orang besar kemudian beberapa hukum-hukum agama dan
sajak yang tidak menyebut soal cinta dan pelaku-pelakunya.

Ibnu Khaldun mengisyaratkan kepada pentingnya penghafalan al-Qur’an bagi


anak-anak, dan beliau menjelaskan bahwa pengajaran tentang al-Qur’an ini
adalah sendi pendidikan dalam semua rencana pelajaran sekolah di berbagai
negara Islam, oleh karena pengajaran al-Qur’an itu adalah syiar dari syiar-syiar
agama Islam yang akan membawa kepada kepada semakin kokohnya iman
seseorang.94

Selanjutnya beliau menukilkan hikmah mempelajari dan menghafal al-Qur’an.

Tujuan dari para filosof Islam dengan menghafal-kan al-Qur’an ialah mengambil
berkat dari per-bendaharaan Ilahi dan kekayaan rohaniah yang Maha Besar di
alam ini. Dengan menghafal ayat-ayat itu, anak-anak akan tertolong dalam
penggu-naan terminologi yang halus dan indah, iramanya yang menarik,
mukjizat, hikmah, sastra, logika, kisah dan wasiat-wasiat berharga yang terkan-
dung di dalam al-Qur’an. Meskipun mereka tidak sanggup mengerti akan
maksud surat-surat dan ayat yang mereka hafal oleh karena umur mereka yang
masih kecil dan kekuatan fikiran yang masih rendah, namun demikian mereka
dapat mengambil manfaat dengan adanya kekuatan angatan dan hafalan secara
otomatis di waktu kecil. Hal ini tidak ada buruknya, karena bila telah mulai
besar mereka akan sanggup mengenal tafsir, yaitu setelah pancaindera dan
kekuatan pemikiran mereka bertambah sempurna.95

Disamping al-Qur’an dan al-Sunnah, ada beberapa ilmu dasar keislaman yang wajib
diketahui oleh seorang Muslim. Mengenai perkara ini, Said Hawa menyatakan :

2. Oleh karena seorang Muslim tidak akan menca-pai kefahaman yang


sempurna apabila mempe-lajari hukum-hukum Allah secara langsung dari
al-Qur’an dan Sunnah, maka diharuskan baginya mempelajari ilmu-ilmu
alat ataupun ilmu-ilmu yang dapat menghantarkan kepada pemahaman
hukum-hukum Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Seperti
dengan mempelajari ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu akhlak dan ilmu-ilmu yang
telah dirumuskan para ulama dengan prinsip dan kaedah tertentu untuk
mempermudah pemaha-man seorang Muslim, harus pula diketahui.
Disebabkan hukum-hukum bersumber dari al-qur’an dan Sunnah, maka ada
ilmu yang membahas cara pengambilan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah,
dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh, inipun harus dikuasai seorang Muslim
supaya ia mengetahui hakikat dari hukum yang dipelajarinya.

94
Dr. Athiyah al-Abrasi, al-Tarbiyat al-Islamiyyat, terj. DDPPI, hlm. 160-162
95
op.cit. hlm.163
3. Oleh karena sejarah Islam (tarikh Islam) meru-pakan gambaran lengkap dari
sosok penam-pilan kaum Muslimin serta Islam yang dapat di-jadikan
sumber teladan. Lagi pula sejarah Islam membahas tentang pola hidup
Rasulullah dan para shahabat dan dengan demikian harus menjadi teladan
yang harus diepelajari.
4. Oleh karena setiap Muslim dituntut agar senantiasa memperhatikan
kepentingan-kepen-tingan kaum Muslimin seperti sabdanya “Ba-rangsaiapa
yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka mereka bukanlah
termasuk golongannya (HR. Bukhori). Memper-hatikan kepentingan mereka
tidak mungkin di-lakukan kecuali dengan mengenal kedudukan mereka.
Oleh sebab itu harus dipelajari kondisi alam Islami dan mengetahui
kedudukan kaum Muslimin.
5. Oleh karena adanya tantangan-tantangan dari musuh terhadap Islam dan
kaum Muslimin, maka harus pula diketahui hal-hal tersebut dan sasarannya
untuk mengelakkan ummat dari bencana yang ditimbulkannya.
6. Oleh karena bahasa Arab dan ilmu-ilmunya/ ilmu alat menjadi anak kunci
dalam memahami dienul Islam, maka sudah seharusnya kaum Muslimin
berusaha lebih giat untuk menguasainya dengan baik.
7. Oleh karena pengkajian Islam modern mempu-nyai kebaikan seperti dapat
menyampaikan Islam sesuai dengan alam kekinian, maka pengkajian inipun
harus diperlukan.
8. Karena ilmu-ilmu ini berguna untuk menjelas-kan tiga masalah utama bagi
seorang Muslim, yaitu Allah, Rasul dan Islam, maka seorang Muslim mesti
mempelajarinya secara mendalam ketiga-tiga masalah tadi dengan seksama.96

Menurut beberapa keterangan di atas, pendidikan Islam ideal adalah pendidikan


yang mampu memberikan dasar-dasar pengetahuan keislaman yang kuat kepada para
pelajarnya. Untuk mencapai tujuan di atas maka setiap pelajar diwajibkan menguasai secara
global beberapa cabang pengetahuan, yang biasa diistilahkan oleh para cendikiawan
Muslim sebagai pengetahuan fardhu ain, diantaranya adalah:

1. Al-Qur’an dengan beberapa cabang ilmunya, dari tajwid, ulumul Qur’an sampai pada
tafsir. Jika memungkinkan al-Qur’an dihafal seluruhnya atau beberapa bagian menurut
kadar kemampuan pelajar. Pengajaran al-Qur’an lebih ditekankan pada aspek
pengamalan dan bukan sebagai pengetahuan belaka.
2. Al-Sunnah dengan beberapa cabang ilmunya, dan jika memungkinkan dihafal beberapa
hadits yang penting-penting.
3. Ilmu-ilmu alat yang telah dirumuskan para ulama untuk mempermudah memahami
Islam seperti ilmu tauhid, akhlak, fiqh, ushul fiqh, tasawwuf, filsafat dan lainnya.
4. Tarikh Islam, sejarah para shahabat dan Nabi, kegemila-ngan peradaban Islam dan
cabang-cabangnya
5. Bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuannya menurut kadar kemampuan agar dapat
memahami al-Qur’an dan al-Sunnah.
96
Syekh Said Hawa, Jundullah, Tsaqofah wa Akhlaq. hlm.375-376
6. Kajian-kajian keislaman modern dengan beberapa aspek-nya, termasuk didalamnya
tentang keadaan dunia Islam dan tantangan-tantangan yang dihadapi Islam.
7. Ilmu-ilmu pendukung yang menumbuhkan keimanan dan keislaman seseorang, baik
yang menyangkut hukum-hukum, spiritualitas ataupun pengembangan fisik dan mental
pelajar.

Ilmu-ilmu fardhu ain di atas harus dikuasai secara maksimal oleh para pelajar
menurut kadar kemampuan mereka masing-masing. Setelah mereka menguasai
pengetahuan ini, diberikan pengetahuan fardhu kifayah yang merupakan spesialisasi mereka,
baik dalam ilmu-ilmu umum seperti ekonomi, sosiologi, kimia, kedokteran ataupun dalam
bidang tafsir, hadits, fiqh dan lainnya menurut minat dan bakat para pelajar.
Dengan sistem pendidikan Islam ideal ini kelak diharapkan akan lahir manusia-
manusia unggul (al-Insan al-Kamil) dalam arti yang sebenarnya. Yaitu ahli-ahli fisika, kimia,
matematika, kedokteran, pertanian, ekonomi, sosiologi, astronomi, komputer, ekonomi,
penerbangan ataupun ahli fiqh, tafsir, hadits, tasawwuf dan lainnya namun memiliki kadar
pemahaman fardhu ain yang sama sebagimana para shahabat ataupun para cendikiawan
Muslim sesudahnya seperti Imam yang empat ( Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi), al-
Ghazali, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusy, al-Kindi, Ibnu Khaldun dan lainnnya. Walaupun
mereka adalah para filosof yang menguasai pengetahuan-pengetahuan aqliyah, namun pada
saat yang sama mereka adalah ulama-ulama yang menghafal al-Qur’an dan menguasai
ajaran Islam sehingga ada diantara mereka yang menjadi hakim agama dan mufti seperti
Ibnu Sina yang ahli kedokteran dan Ibnu Khaldun penggagas sosiologi.
Para generasi Muslim terdahulu dapat menguasai kedua-dua pengetahuan sekaligus
karena sistem pendidikan Islam tidak pernah memisahkan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan lainnya, karena mereka berkeyakinan semua pengetahuan datangnya dari
Allah. Sebagimana dikemukakan beberapa kutipan di atas, bahwa wahyu baik al-Qur’an
ataupun al-Sunnah menjadi dasar pengajaran utama kepada generasi Islam. Setelah mereka
menguasai pengetahuan-pengetahuan dasar sebagai fardhu ain, barulah mereka
mempelajari fardhu kifayah menurut kemampuan dan minat mereka masing-masing.
Sistem pendidikan Islam ini telah mendorong lahirnya para cendikiawan yang tidak
memisah-misahkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, namun mereka hanya
mengklassifikasikannya menurut tingkatan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, mana
yang harus didahului dan mana yang harus dibelakangkan. Dan pemisahan pengetahuan
dikenal dunia Islam setelah masuknya penjajah Barat yang menyebarkan sistem pendidikan
sekuler yang memisah-misahkan antara agama, moral dan pengetahuan.
Sketsa Pendidikan Islami Masa Depan
Untuk memaksimalkan keberhasilamn pendidikan Islam dalam melahirkan
manusia-manusia unggul yang memiliki kwalitas keimanan, keislaman serta penguasaan
ilmu pengetahuan-teknologi yang tinggi di masa depan harus dibentuk dan disusun sebuah
model lembaga pendidikan Islam yang akan menerapkan rencana pendidikan Islam ideal
sebagimana disebutkan di atas dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Lembaga ini
harus memiliki sistem pendidi-kan tersendiri yang berbeda dengan pendidikan lainnya,
baik tujuan, orientasi, visi, materi, kurikulum ataupun metode pengajarannya. Sistem
pondok pesantren (ma’had) yang terbukti memiliki beberapa keunggulan dapat
dikembangkan menjadi sistem pendidikan ideal dengan merombak dan menyempurnakan
beberapa bagiannya. Di mulai dari tingkat dasar (ibtida’iyyah), tingkat menengah
(tsanawiyyah-Aliyah), tingkat atas/tinggi (Kulliyat) yang lebih merupakan priode spesialisasi
menurut disiplinnya.

1. Pendidikan Tingkat Dasar/Permulaan


Pada tingkat dasar, dimulai dari umur 5-6 tahun sampi berumur baligh (12-13
tahun), para pelajar diwajibkan mempelajari dasar-dasar membaca dan menulis, terutama
bahasa Arab. Sesudah mereka dapat membaca dengan baik diwajibkan menghafal al-
Qur’an, beberapa hadits-hadits Arbain dan syair-syair Arab yang pendek dan mudah.
Setelah anak-anak-anak dapat lancar membaca dan menulis ditambahkan ilmu-ilmu dasar
keislaman (fardhu ain) seperti ilmu aqidah-akhlaq, ibadah-syareah, sejarah Islam, Bahasa
Arab, dan lain-lainnya disamping beberapa pengetahuan dasar umum seperti matematika,
ilmu pengetahuan alam, bahasa nasional, bahasa inggris dan lainnya menurut kebutuhan.
Kebanyakan kaum Muslimin kurang memperhatikan pendidikan dasar ini kepada
anak-anak mereka, padahal di masa inilah potensi anak sangat memungkinkan untuk
dikembangkan, terutama untuk menghafal al-Qur’an secara sempurna sebagai dasar utama
sistem pengetahuan dan kehidupan Islam. Pemanfaatan waktu perlu dimaksimalkan, anak-
anak harus di asramakan setengah hari dari pagi sampai magrib atau asrama penuh jika
sudah memungkin-kan, karena anak-anak akan bergembira jika memiliki banyak kawan
dalam belajar, namun waktu diatur sebaik mungkin agar tidak menimbulkan kebosanan
anak-anak dengan aktivitas-aktivitas yang menarik dan bermanfaat seperti rekreasi,
kunjungan atau olah raga, bela diri (silat/karate), menunggang kuda, berenang dan
sejenisnya.
Sehubungan dengan pendidikan dasar ini, Dr. Muhammad Athiyah al-Abrasi
menulis :
Bahan-bahan pokok yang diberikan kepada anak-anak dalam tingkat pertama atau permulaan
secara umumnya adalah sebagai berikut : al-Qur’an dan sendi-sendi agama, membaca,
menu-lis, berhitung, bahasa, sajak-sajak yang mengan-dung ajaran akhlak, menulis halus,
cerita-cerita dan latihan berenang dan menunggang kuda.97

97
Dr. M. Athiyah al-Abrasi, op.cit. hlm. 163
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar para pelajar yang sudah menjalani
pendidikan selama 6 sampai 8 tahun, diharapkan sudah menghafal al-Qur’an 30 juz atau
beberapa juz menurut kemampuan, menguasai beberapa kitab hadits seperti Arbain An-
Nawawi atau Riyadush Sholihin atau sejenisnya, memahami dasar-dasar ilmu keislaman
seperti aqidah-tauhid, akhlak, sejarah para Nabi, Rasul dan Shahabat, ibadah-syareat dan
bahasa Arab sebagai dasar percakapan. Disamping itu menguasai pula dasar-dasar ilmu
umum seperti matematika, pengetahuan alam, sosial, ketrampilan dan bahasa nasional-
Inggris.
Di sini perlu ditegaskan sekali bahwa pendidikan dasar dengan kurikulum
utamanya penghafalan al-Qur’an dan pengenalan dasar-dasar pengetahuan keislaman dan
umum ini adalah fase terpenting bagi pendidikan generasi Islam. Ibarat sebuah bangunan,
maka pendidikan dasar adalah fondasi yang harus disiapkan dengan perencanaan yang
matang, karena bangunan pasti akan roboh jika fondasinya rapuh. Kenakalan remaja
dengan segala penyimpangannya yang telah menjadi gejala umum sosial saat ini tidak lain
adalah akibat kegagalan sistem pendidikan menanamkan fondasi keagamaan yang kuat
kepada para pelajar. Jika anak-anak telah terlatih dari kecil dengan amalan dan budaya
Islami, maka perkara ini akan senantiasa menjadi jalan hidupnya kelak sesudah dewasa.
Anak-anak yang diibaratkan sebagai kain putih bersih harus diwarnai dengan tinta suci dan
agung agar tinggi nilainya. Itulah sebabnya Rasulullah, para shahabat dan para
cendikiawan Muslim terdahulu sangat memperhatikan pendidikan dasar anak-anak mereka
dan mengisi pengetahuan pertamanya dengan wahyu Allah dengan segala mukjizat yang
menyertainya. Tujuan mereka sangat jelas, yaitu untuk memberikan fondasi terkuat bagi
kehidupan generasi mereka. Adakah sebuah pengetahuan yang lebih suci, lebih mulia, lebih
tinggi, lebih agung selain dari wahyu Sang Pencipta alam yang diturunkan kepada Rasul-
Nya ? Jika ayat-ayat Allah ini telah tertanam dalam fikiran dan hati sanubari generasi
muda, maka ia akan senantiasa menjadi pengontrol dan pembimbing hidup yang paling
efektif, sebagimana disebut-kan al-Qur’an :

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petun-juk kepada jalan yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang mukmin yang beramal salih, bahwa bagi
mereka ada ganjaran besar.
(al-Isra’ : 9)

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (al-Qur’an) kepada mereka, yang
Kami telah menjelaskannya ilmu pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.
(al-A’raf : 52)

Penghafalan al-Qur’an adalah mutlak dan senantiasa harus diutamakan dari segala
bentuk pengetahuan pada pendidikan tingkat dasar ini. Begitu pelajar dapat membaca al-
Qur’an maka mereka harus diwajibkan menghafalnya semaksimal kemampuannya tanpa
dapat ditawar-tawar. Ini dimaksudkan agar al-Qur’an benar-benar menjadi fondasi utama
pembentukan manusia unggul sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan
agar benar-benar menjadi bagian dari kehidupan mereka sampai dewasa kelak. Al-Qur’an
bagi seorang Muslim bukan seperti pengetahuan biasa yang dapat diajarkan atau tidak,
tetapi ia adalah sumber dan induk dari segala pengetahuan yang diturunkan Sang Pencipta
alam kepada manusia dengan segala kemuk-jizatan dan perbendaharaan Ilahiyah yang
turun bersamanya. Tidak ada satu kitabpun di muka bumi ini yang akan dapat
menyamainya, baik dari segi kandungan ataupun susunan kata-katanya yang telah
menaklukkan para penyair agung. Dengan masuknya al-Qur’an beserta semangat
Ketuhanan yang menyertainya pada para pelajar, maka ia akan membimbing mereka
menuju puncak kecemerlangan dan keagungan, baik intelektual mapun spiritual
sebagimana telah dibuktikan para generasi Islam terdahulu.98
Musuh-musuh Islam mengerti benar akan perkara ini sehingga mereka telah
berusaha dengan segala daya kemam-puan untuk memisahkan al-Qur’an dari generasi
Islam. Sehubungan dengan ini, Dr. Abdullah Nashih Ulwan ketika menukilkan rencana
menghancurkan Islam dan ummatnya :

Kedua: Menghancurkan dan Menghapus al-Qur’an


Hal ini dilakukan karena ajaran salib beranggapan bahwa al-Qur’an adalah
sumber pokok kekuatan orang-orang Islam, sumber mereka untuk kejaya-an,
kekuatan dan kemajuannya yang telah lalu.

1. Gladstone, yang menjabat perdana menteri Inggris selama empat kali


(1864-1894) dalam majelis umum (the House of Commons) Ingg-ris,
sambil mengangkat al-Qur’an, berkata :
“Selama al-Qur’an ini berada di tangan orang-orang Islam, maka Eropa
sama sekali tidak akan dapat menguasai Dunia Timur. Bahkan Eropa itu
sendiri akan terancam”.
2. Seorang missionaris, William Jeford Balcrof, berkata :”Jika al-Qur’an dapat
disisihkan dan kota Makkah dapat diputuskan hubu-ngannya dari negara-
negara Arab,maka sangat memungkinkan bagi kita untuk meli-hat seorang
Arab secara bertahap mengikuti kemajuan Barat, terjauh dari Muhammad
dan sekitarnya.”
3. Seorang missionaris lain, Catly, berkata: “Kita harus menggunakan al-
Qur’an sebagai senjata yang paling ampuh dalam Islam untuk melawan
Islam itu sendiri, sehingga kita dapat menghancurkannya. Kita harus
menerapkan kepada kaum Muslimin bahwa yang benar dalam al-Qur’an
bukanlah baru, dan yang baru bukanlah benar.”
4. Seorang penguasa kolonial Prancis di Alja-zair, dalam peringatan
berlalunya seratus tahun kedudukannya, berkata :”Kita harus melenyapkan
al-Qur’an yang berbahasa Arab itu dari kehidupan mereka, dan
melenyapkan bahasa Arab dari lidah mereka agar kita dapat berkuasa
penuh”.99

98
Lebih detil lihat : Hilmy Bakar Almascaty, Generasi Penyelamat Ummah, (Kuala Lumpur: Berita Publ, 1995)
khususnya bab 2.
99
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad, jil. 2 hlm.206-207.
Maka dengan demikian tidak diragukan lagi maha pentingnya penanaman al-
Qur’an kepada generasi muda Islam sedini mungkin, sebelum jiwa dan pemikiran mereka
dirusak berbagai propaganda sesat yang dilakukan syaithan dengan para pengikut setianya.
Ketika anak sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya, mereka dapat diibaratkan sebagai
bibit-bibit unggul al-Qur’an berjalan di muka bumi yang menghafal al-Qur’an,
memahaminya dan menjadikannya sebagai pedoman kehidupnya. Jadi tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa pendidikan tingkat dasar ini difokuskan sepenuhnya untuk penghafalan
al-Qur’an beserta cabang pengetahuannya dan adapun pengetahuan-pengeta-huan lainnya
adalah pengetahuan penunjang dan tambahan. Al-Qur’an harus menjadi pengetahuan yang
pertama diajar-kan sehingga menjadi pengetahuan pertama yang akan mem-pengaruhi
perkembangan jiwa dan pemikiran anak. Al-Qur’an dengan mukjizat Ilahiyahnya akan
menjadi penyaring dan penetral semua pengetahuan yang diterima para pelajar sehingga
mereka terhindar dari kesesatan yang akan membawa mereka kepada kerusakan dan
kehancuran. Kegagalan pengajaran al-Qur’an pada pendidikan tingkat tinggi sebagaimana
dialami kaum Muslimin tidak lain disebabkan oleh pengajarannya yang terlambat kepada
para pelajar, yaitu setelah para pelajar mendapat pengetahuan-pengetahuan duniawi yang
tidak steril dari pengaruh pemikiran sesat yang akan menghambat masuknya semangat al-
Qur’an. Itulah sebabnya, ketika Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengajarkan al-
Qur’an kepada para pengikutnya, sebelumnya mereka disucikan/dibersihkan dari segala
bentuk kejahiliyahan terlebih dahulu sebagaimana diterangkan ayat terdahulu. Pemikiran
inilah yang melandasi bahwa al-Qur’an harus diajarkan sedini mungkin, yaitu ketika para
pelajar masih bersih dari kejahiliyahan.
Itulah sebabnya, pendidikan Islam ideal mesti memiliki kurikulum yang berbeda
dengan pendidikan Islam konven-sional sekuler ataupun tradisional Islam yang diterapkan
sebagian besar kaum Muslimin saat. Karena sistem pendidi-kan ini pada hakikatnya secara
langsung atau tidak dirancang dan didirikan oleh para kolonialis Barat dengan tujuan yang
jelas agar kaum Muslimin tetap dalam keterbela-kangan dan kemunduran sehingga tetap
menjadi budak-budak setia Barat. Sementara pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan
manusia-manusia unggul yang akan mem-bebaskan dunia dari segala bentuk kejahiliyahan
dan menegakkan keadilan ajaran Islam yang menjadikan wahyu sebagai sumber utama
pengetahuan dan tindakannya.

2. Pendidikan Tingkat Menengah

Pendidikan tingkat menengah adalah kelanjutan dari pendidikan tingkat dasar yang
telah diberikan terdahulu. Setelah para pelajar menyelesaikan pendidikan tingkat dasar
dengan kurikulum yang diajarkan, maka akan kelihatan bakat, kemampuan serta minatnya
masing-masing sebagai konsekwensi logis pendidikan yang diberikan kepadanya. Karena
sistem pendidikan Islam memandang manusia sebagai makhluk tersempurna yang
dijadikan Allah dan memiliki keistimewaan tertentu yang terpendam dalam dirinya. Tugas
pendidikan Islam dengan pengajaran utamanya yang bersumberkan wahyu Allah akan
memastikan potensi terpendam itu tampil ke permukaan sehingga dapat menga-rahkannya
bakat dan kemampuannya secara maksimal sehingga menjadi manusia terunggul dalam
tingkatannya. Pencarian potensi terpendam melalui pendidikan Ilahiyah inilah yang tidak
dimiliki sistem pendidikan manusiawi sehingga menyamaratakan pendidikan para pelajar
yang akhirnya berakibat fatal, dengan lahirnya para lulusan yang tidak berminat atau tidak
berbakat pada bidangnya sehingga menghabiskan waktunya dengan pekerjaan sia-sia dan
memubazirkan pengetahuan yang telah dipelajarinya bertahun-tahun karena tidak
dimanfaatkannya dalam kehi-dupannya sebagaimana yang banyak menimpa para lulusan
pendidikan manusiawi masa kini.
Itulah pentingnya penanaman al-Qur’an sedini mungkin agar jiwa dan fikiran para
pelajar didominasi wahyu bukannya hawa nafsu. Jika wahyu sudah tertanam pada seorang
pelajar dan menjadi bagian dari kehidupannya mereka akan menjadi manusia yang mudah
dididik dan dikembangkan potensi dirinya secara maksimal sehingga mampu menjadi
manusia unggul sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Rasulullah, para shahabat dan
cendikiawan Muslim terdahulu. Tidak seperti para pelajar yang sudah tercemar oleh
pengaruh buruk pendidikan sekuler yang telah menjadikan para pelajar sebagai manusia-
manusia yang susah dididik, sukar dikembangkan potensinya, kehilangan jati diri bahkan
lebih mementingkan kenikmatan duniawi sehingga mendorong mereka melakukan
penyimpangan-penyimpangan, penyelewengan bahkan melakukan tindak kriminal yang
mengganggu ketertiban umum, bahkan sanggup saling membunuh akibat perkara sepele.
Semua ini terjadi karena jiwa dan fikirannya telah dikuasai oleh hawa nafsu jahat sehingga
kehidupannya mudah dikontrol oleh syaithan yang senantiasa menyesatkan manusia. Jika
sudah demikian keadaannya, maka berapa kerugian yang diderita sebuah bangsa akibat
salah mendidik generasi mudanya.
Pada tingkatan menengah ini, yang memakan waktu antara 5-7 tahun lebih
merupakan seleksi awal untuk mengetahui spesialisasi yang akan diberikan kepada para
pelajar. Para pelajar yang sudah dididik dan dibiasakan dengan semangat al-Qur’an dengan
mukjizat Ilahiyah yang terkandung di dalamnya akan menjadikan mereka sebagai bibit-
bibit unggul pilihan yang akan disemai sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan dasar-dasar pengetahuan fardhu ain dan fardhu kifayah yang dikuasainya, para
pelajar perlu diberikan pelajaran-pelajaran yang lebih spesifik yang bersifat pengembangan
dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Tingkat menengah dapat dibagi menjadi dua
tingkatan, yaitu menengah pertama (tsanawiyah) dan menengah atas (aliyah) atau menjadi
satu tingkatan saja seperti yang diterapkan pondok pesantren di Indonesia.
Pendidikan tingkat menengah ini akan sangat efektif jika diterapkan sistem
berasrama kepada semua pelajar, disamping untuk memaksimalkan kebarhasilan
pendidikan juga sangat efektif untuk menjaga pergaulan para pelajar agar dapat terhindar
dari perkara-perkara buruk dunia modern yang penuh dengan seruan kemaksiatan dan
penyelewengan. Karena pada usia seperti ini mereka akan memasuki masa puber yang
sangat sensitif dengan perkara-perkara baru. Jangan sampai materi pendidikan yang telah
diberikan hilang begitu saja akibat masuknya pemikiran-pemikiran sesat yang akan
menyesatkannya, terutama jangan sampai menghilangkan amalan-amalan ibadah mereka
yang merupakan proses pendidikan kerohanian yang berkelanjutan. Rasulullah ketika
mendidik para shahabat sangat ketat memelihara jiwa, pemikiran dan pergaulan mereka
agar jangan tercemar kejahiliyahan. Apalagi zaman ini yang penuh dengan berbagai bentuk
kejahiliyahan yang akan mengurangi keberhasilan pendidikan Ilahiyah yang menghendaki
penyucian jiwa dan fikiran terus menerus agar wahyu dapat menjadi bagian kehidupan.
Karena sesuatu yang suci dan agung seperti wahyu hanya dapat berada pada jiwa-jiwa
yang suci dan agung pula. Itulah sebabnya para cendikiawan Muslim terdahulu sangat
menjaga diri mereka dari perkara-perkara jahiliyah yang dapat merusak jiwa dan pemikiran
mereka agar wahyu menjadi bagian kehidupan mereka dengan mudah dan dapat
mengantarkan mereka menuju kesempurnaan hidup.
Demikian pula pada masa pendidikan ini idealnya pendidikan laki-laki dengan
perempuan dipisahkan agar masing-masing dapat berkembang menurut kodrat pencipta-
annya masing-masing sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak
sepenuhnya menerima konsep pendidikan campuran antara laki-laki dengan perempuan
sebagaimana yang diterapkan pendidikan sekuler Barat yang memberikan mereka pelajaran
yang sama. Karena pendidikan ini banyak mudharatnya dari manfaatnya. Akibat paling
minimal adalah pendidikan campuran ini akan membiasakan pergaulan bebas antara laki-
laki dengan perempuan yang akhirnya akan memudahkan mereka melakukan perkara-
perkara buruk yang dilarang agama. Tidak diragukan pendidikan ini telah mendorong
timbulnya seks bebas dikalangan muda mudi sebagimana yang terjadi di Barat yang
memang membolehkannya dan telah mulai menjadi mode di kalangan generasi muda
Muslim. Untuk menjaga perkara-perkara buruk ini Islam berusaha mencegahnya dari awal,
misalnya laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menundukkan pandangan, dilarang
bersentuhan kulit, dilarang berduaan dan dilarang mendekati perkara-perkara yang akan
mengakibatkan timbulnya perzinaan. Demikian pula dengan beberapa mata pelajaran yang
mungkin kurang tepat diberikan secara bersamaan karena Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan dengan fungsi dan tugas masing-masing. Pemisahan pendidikan antara laki-
laki dengan perempun akan memberikan beberapa keutamaan, diantara-nya terhindarnya
para pelajar dari pergaulan bebas dan dapat memaksimalkan pendidikan yang diberikan.
Di tingkat menengah pertama (tsanawiyah) yang umumnya memakan waktu 3-4
tahun, dengan beberapa pelajaran fardhu ain dan fardhu kifayah yang diberikan untuk
melengkapi pelajaran yang diberikan di tingkat dasar, diharapkan para pelajar sudah dapat
diketahui bakat dan minatnya masing-masing. Lembaga pendidikan dan orang tua tidak
dapat memaksakan kehendaknya kepada para pelajar untuk mengambil jurusan tertentu
yang bertentangan dengan bakat dan minat pelajar. Karena dalam kehidupan ini tidak
semua orang diciptakan untuk menjadi ulama, ekonom, politisi, pegawai, pekerja ataupun
buruh. Namun Allah sebagai Pencipta manusia telah memberikan kelebihan pada masing-
masing orang dengan kadarnya, ada yang berbakat jadi ulama, jadi ekonom, politisi
ataupun buruh kasar. Pemaksaan terhadap bakat dan minat akan menjadikan para pelajar
frustasi dan tidak bergairah terhadap pelajaran. Hal seperti ini perlu diperhatikan untuk
mensukseskan program pendidikan. Pengetahuan-pengartahun fardhu ain yang diberikan
pada tingkat dasar harus dikembangkan, terutama pemamahan terhadap al-Qur’an yang
merupakan pelajaran utama agar para pelajar yang sudah menghafalnya dapat menangkap
maksudnya kemudian mengamalkannya dalam kehidupan. Pemahaman dan pengamalan
yang benar terhadap al-Qur’an akan menghantarkan para pelajar menjadi manusia-manusia
yang mengenal bakat terpendam-nya dan sekaligus akan menumbuhkan minatnya
padanya.
Bagi para pelajar yang memiliki kadar intelegensia menengah dan rendah
diarahkan pada dasar-dasar pengeta-huan kejuruan praktis, seperti perdagangan,
pertanian, peternakan, industri kecil, teknologi tepat guna dan sejenisnya sebagai ilmu
fardhu kifayah. Dengan dasar pengetahuan keislaman yang dimilikinya kelak mereka
diharapkan sebagai seorang petani, pedagang ataupun pengusaha Muslim yang sukses.
Lembaga pendidikan Islam harus menyiapkan pendidikan kejuruan dengan pengelolaan
sederhana yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
Bagi yang memiliki kadar intelegensia tinggi harus diperhatikan dan diberikan
pendidikan yang lebih khusus dan intensif. Jangan sampai kelebihannya tersia-sia akibat
sistem pendidikan yang salah. Karena mereka kelak diharapkan menjadi pemimpin-
pemimpin ummah sesuai kemampuannya masing-masing. Mereka harus diberi perhatian
dan dipacu menurut minat dan bakatnya. Bagi yang berbakat dan berminat menjadi ulama
ataupun spesialis di bidang agama, porsi pelajaran ilmu agama lebih diperbanyak, terutama
ilmu-ilmu alat yang akan menghan-tarkan mereka menjadi ahli dalam bidang spesialisnya,
seperti baik pengetahuan dasar pengetahuan keislaman ataupun bahasa Arab dan lainnya.
Disamping itu mereka harus tetap diberikan pengetahuan-pengetahuan umum yang akan
menopang keahliannya kelak. Demikian pula bagi yang berminat pada pengetahuan
umum, diberikan kebebasan dan bimbingan agar berkembang kemampuannya secara
maksimal, porsi pengetahuan umum yang diminatinya dapat lebih diperdalam dengan
khusus dan lebih intensif. Diharapkan setelah mengakhiri tingkat menengah pertama ini
para pelajar sudah mengetahui dengan pasti bakatnya masing-masing, tinggal diarahkan
dan lebih dispesialisasikan lagi.
Pada tingkat menengah atas (aliyah) yang memakan waktu antara 2 sampai 3 tahun,
penjurusan para pelajar lebih terarah dan khusus. Dengan dasar-dasar pengetahuan yang
diberikan sebelumnya baik yang fardhu ain ataupun fardhu kifayah para pelajar diberikan
kebebasan untuk memilih jurusan sesuai dengan bakat dan minatnya. Bagi yang berminat
memperdalam pengetahuan eksak ataupun pengetahuan humaniora/sosial dan
pengetahuan keislaman dapat lebih menghususkan diri dengan minat dan bakatnya
masing-masing. Dengan demikian di tingkat menengah atas ini ada 3 jurusan yang dibagi
menjadi beberapa sub jurusan, yaitu jurusan eksak dengan beberapa sub jurusan seperti
fisika, kimia, biologi, matematika dan lainnya, jurusan sosial dengan beberapa sub jurusan
dan jurusan keislaman dengan beberapa sub jurusan yang dirancang menurut perkemba-
ngan pengetahuan tersebut. Masing-masing jurusan memiliki mata pelajaran fardhu ain
yang sama, diantaranya seperti al-Qur’an-tafsir/ilmu tafsir, al-Hadits-ilmu Hadits, aqidah-
kalam, akhlak, Ibadah-fiqh/ushul fiqh, sejarah Islam, bahasa Arab, dan beberapa
pengetahuan dasar penunjang lainnya seperti matematika, bahasa nasional, bahasa Inggris
dan lainnya.Yang membedakan masing-masing jurusan adalah mata pelajaran
spesialisasinya (fardhu kifayah). Misalnya jurusan eksak sub jurusan biologi. Para pelajar sub
jurusan ini disamping mempelajari pengetahuan biologi secara mendalam dengan beberapa
pengetahuan penunjangnya, namun diajarkan mata pelajaran fardhu ain sama dengan
jurusan keislaman sub jurusan ilmu tafsir misalnya. Jadi pelajar jurusan biologi dan jurusan
ilmu tafsir sama tingkat pelajaran pengetahuan fardhu kifayahnya, pengetahuan al-Qur’an
mereka sama, pengetahuan bahasa Arab mereka sama, pengetahuan aqidah akhlak mereka
sama dan lainnya, namun yang membedakan adalah pengetahuan fardhu kifayah mereka
sebagai spesialisasi. Para pelajar yang mengambil jurusan biologi ahli dalam ilmu biologi
beserta cabang-cabangnya sementara jurusan ilmu tafsir ahli dalam bidang tafsir dan
cabang-cabangnya.
Mungkin ada yang berpendapat penjurusan ini terlalu dini dengan mengambil
perbandingan sistem pendidikan masa kini yang memulai penjurusan pada tingkat tinggi.
Penjurusan yang dimaksudkan di sini adalah penjurusan yang lebih spesifik agar para
pelajar lebih maksimal dalam menguasai bidang pengetahuannya. Kerena terbukti sistem
pendidikan modern telah banyak mengajarkan pengetahuan yang terlalu umum sehingga
kurang mendatangkan manfaat bagi para pelajar dalam mengembangkan pengetahuannya.
Untuk menciptakan manusia unggul, sebagai tujuan utama pendidikan Islam, mereka harus
diarahkan dan didorong untuk mengetahui hakikat dirinya terlebih dahulu, termasuk bakat
dan minatnya. Setelah mereka mengetahui bakat dan minatnya, wahyu yang diajarkan
pada sistem pendidikan Islam akan mendorong mereka secara maksimal untuk mencapai
kesempurnaan dalam bakatnya sehingga mereka menjadi yang terbaik dan terunggul.
Sistem pendidikan modern yang terlalu umum telah melahirkan para lulusan yang
bingung karena tidak mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan. Ini
akibat dari terlambatnya mereka mengetahui bakat dan minatnya, sehingga mengambil
jurusan semaunya, yang akhirnya membingungkan mereka sendiri. Apalagi pengetahuan
yang diberikan hampir semuanya pengetahuan yang sangat umum sehingga banyak
lulusannya yang mengambil profesi yang lain dengan pendidikan yang diperolehnya.
Walaupun mereka mungkin berhasil dalam karir, namun pasti mengalami kekurangan
akibat tidak mempelajari dasar-dasar profesi yang diminatinya secara serius akibat
kesalahan sistem pendidikan. Berapa banyak lulusan jurusan pendidikan namun menjadi
seorang usahawan yang berhasil, jika mereka mengambil jurusan ekonomi sebelumnya,
maka tentu mereka akan semakin berhasil.
Jadi penjurusan pengetahuan dari awal ini dimaksud-kan agar para pelajar yang
memiliki minat pada pengetahuan tertentu dapat sedini mungkin diberikan dasar-dasar
pengetahuan yang akan mendukung minat dan bakatnya serta agar tidak diberikan
pengetahuan yang tidak diminati-nya. Ketika mereka memasuki perguuruan tinggi kelak,
mereka sudah siap dengan dasar-dasar pengetahuan yang diminatinya. Dan ini akan
memaksimalkan pengetahuan yang akan diberikan kepada para pelajar. Karena Islam
sendiri memberikan kebebasan kepada pengikutnya untuk menguasai pengetahuan
sebanyak yang mereka mampu memperolehnya.

3. Pendidikan Tingkat Tinggi


Konsep ideal tentang pendidikan Islam tingkat tinggi, baik berupa akademi ataupun
universitas telah banyak dikemukakan para cendikiawan Muslim kontemporer. Di antara
beberapa konsep pendidikan tinggi Islam tersebut yang dapat menjadi jembatan bagi
kelanjutan pendidikan yang diterapkan terdahulu adalah konsep pendidikan tinggi Islam
yang dikemukakan oleh Prof. Syed M. Naquib al-Attas, pendiri dan direktur International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia. Karena konsep pendidikan
yang beliau kemukakan bertujuan untuk menciptakan manusia-manusia unggul
sebagaimana para cendikiawan Islam terdahulu yang menguasai Islam sekaligus bidang
spesialisasinya dengan baik. Disamping lembaga ini memiliki dasar filosofis yang sangat
cemerlang dan terpadu yang akan mampu melahirkan para cendikiawan yang mengausai
pengetahuaan fardhu ain dan fardhu kifayah sebagimana dikemukakan terdahulu.100
Pada pendidikan tingkat tinggi ini pemahaman pengetahuan fardhu ain dan fardu
kifayah berkembang sesuai dengan spesialisasi pengetahuan yang akan dipelajari para
pelajar. Namun pengetahuan fardhu ain yang diberikan kepada seluruh fakultas adalah
sama, karena konsep pendidikan tinggi Islam ataupun Universitas tidak mengenal
pemisahan pengetahuan sebagaimana pendidikan sekuler. Pengetahuan fardhu ain adalah
pengetahuan fundamental yang wajib dikuasai para mahasiswa agar mereka menjadi
seorang Muslim yang baik dan dapat menjadikan Islam sebagai dasar pengembangan
pengetahuannya. Pengetahuan fardhu ain berkembang menurut keperluan spiritual para
pelajar yang semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan pengetahuan fardhu
kifayah akan berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang semakin
kompleks. Penyusunan pengetahuan modern seperti yang dilakukan para cendikiawan
Muslim yang menganjurkan “Islamisasi Pengetahuan” sangat diperlukan, terutama untuk
memberi-kan dasar-dasar pengetahuan kepada para pelajar yang berminat pada salah satu
bidang pengetahuan. Diharapkan dengan sistem pendidikan ini akan melahirkan para
lulusan yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam serta menguasai peradaban
modern, baik pengetahuan ataupun teknologinya.
Spesialialisasi pengetahuan, khususnya pengetahuan fardhu kifayah yang
dikembangkan Barat saat ini dengan segala cabang pengetahuannya mungkin dapat
dijadikan sebagi rujukan dalam mengembangkan spesialisasi sistem pendidikan Islam.
Demikian pula tidak ada halangan untuk para pelajar Islam mengambil pengetahuan dari
mereka asalkan para pelajar sudah memahami pengetahuan fardhu ain yang merupakan
pengetahuan fundamental yang wajib dikuasai sebelum mengambil pengetahuan dari
Barat. Perkara ini sangat penting agar para pelajar tidak tersekulerkan dan sekaligus dapat
menjadi penyaring unsur-unsur sekuler pengetahuan tersebut. Dan dikembangkan
menurut ajaran Islam. Itulah sebabnya Fazlur Rahman, sebagaimana dikemukakan
terdahulu, menganjurkan agar Islaamisasi pengetahuan modern dilakukan oleh mereka
yang benar-benar menguasai dan memahami Islam. Dengan sistem pendidikan yang
dikemukakan ini diharapkan akan lahir para cendikiawan yang mampu menjadi
penyambung mata rantai antara ajaran Islam dengan pengetahuan modern yang akan
membangkitkan peradaban Islam.

Dengan sistem pendidikan terpadu dari tingkat dasar sehingga tingkat tinggi ini,
diharapkan akan lahir pribadi-pribadi Muslim yang memiliki pemahaman tentang Islam
sebagai pembimbing hidup dan fundamen pengetahuan mereka sekaligus menguasai
disiplin pengetahuan dalam spesialisasinya. Setelah dididik selama 15 sampai 20 tahun dari
100
Lihat : Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Creast of a Hill. A Brief History and Philosophy of The
International Institute of Islamic
Thought and Civilization, ( Kuala Lumpur : ISTAC, 1991)
tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, kelak diharapkan akan lahir para dokter, ekonom,
pakar fisika, sosiolog, teknolog ataupun ahli fiqh, ahli tafsir yang sama-sama menghafal al-
Qur’an, menguasai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya sebagimana yang telah
dicon-tohkan para cendikiawan Islam terdahulu. Seperti Ibnu Rusy misalnya, beliau adalah
seorang ahli kedokteraan, ahli filsafat namun pada saat yang sama menguasai ajaran Islam
sehingga dikatakan sebagai ahli fiqh. Dengan diterapkannya sistem pendidikan Islam ini
tidak akan ada lagi pembedaan diantara pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lain,
karena pada hakikatnya semua pengetahuan bersumber dari Allah Sang Pencipta alam
raya.
Untuk mewujudkan pendidikan Islam seperti yang dikemukakan, diperlukan
sebuah reformasi total dalam sistem pendidikan kaum Muslimin dewasa ini. Karena pada
saat ini sistem pendidikan sekuler ataupun tradisional Islam sangat dominan dan cendrung
ingin mempertahankan posisinya masing-masing. Kegagalan penggabungan keduanya
telah menimbulkan rasa curiga kedua belah fihak yang berbeda ini. Itulah sebabnya sistem
pendidikan Islam masa depan harus sepenuhnya mengacu pada sistem pendidikan
Rasulullah yang berlandaskan wahyu dan menjadikannya sebagi amalan hidup keseharian.
Namun bagaimanapun, kaum Muslimin wajib memulai langkah-langkah strategis untuk
mengem-bangkan sistem pendidikan Islam masa depan. Karena kunci kebangkitan Islam
yang dilaungkan selama ini terdapat pada pendidikan. Selama sistem pendidikan generasi
Islam tidak dikembangkan sebagaimana yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya maka
kebangkitan tetap akan menjagi angan-angan dan slogan kosong belaka. Langkah strategis
ini harus dimulai dengan membangun lembaga pendidikan yang menerapkan secara total
kurikulum pendidikan Islam agar menjadi alternatif kepada pendidikan yang ada dan
sedang dikembangkan kaum Muslimin saat ini. Dengan berjalannya waktu, Insya Allah
berkat ketekunan dan keyakinan para pengelola pendidikan serta berkat bantuan Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, di masa depan sistem pendidikan ini akan
menjadi alternatif, khususnya bagi mereka yang senantiasa ingin menuju kebenaran sejati.

You might also like