You are on page 1of 18

PEMBARUAN

ISLAM
PASCA REFORMASI
DI INDONESIA

Hilmy Bakar Almascaty


Pendahuluan & Latar Belakang

Gerakan reformasi di Indonesia yang telah menggulingkan rezim militer


Soeharto akan memberikan dampak terhadap pembaruan Islam di masa depan.
Reformasi sendiri diartikan sebagai upaya untuk menyusun kembali tatanan yang telah
diselewengkan oleh rezim penguasa demi mempertahankan kekuasaannya. Dengan
demikian, maka reformasi bagi kaum muslimin yang mayoritas di Indonesia dapat
berarti menyusun kembali kerangka pemikiran Islam terkini yang lebih sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan zaman. Karena tuntutan di masa Orde Lama adalah
berbeda dengan tuntutan di masa Orde Baru, yang artinya berbeda pula dengan
tuntutan pasca reformasi. Pemikiran para pemimpin Islam masa Orde Lama mungkin
relevan pada zamannya, namun ternyata tidak relevan dengan kondisi yang dihadapi
pada zaman Orde Baru sehingga tampil para pembaru Islam yang mengkoreksi
pemikiran para pendahulunya sekaligus mengembangkan sebuah kerangka pembaruan
Islam di Indonesia. Maka tidak diragukan lagi di masa reformasi ini dibutuhkan
kerangka pemikiran baru yang akan menjadi fondamen membangun masyarakat
Indonesia Baru.
Reformasi yang mengantarkan Habibie, seorang demokrat Muslim, menjadi
presiden telah membuka jalan baru bagi bangsa Indonesia menuju zaman baru,
terutama kaum muslimin yang menjadi kelompok mayoritas. Keterbukaan dan
kebebasan yang diberikan oleh pemerintahan transisi Habibie telah memberikan
kesempatan bahkan merangsang tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang selama ini di
tekan rezim Orde Baru dengan alasan pembangunan dan stabilitas nasional. Bibit
kebebasan yang telah disemai Habibie telah menumbuhsuburkan kembali gerakan-
gerakan pembaruan yang mengambil bentuknya sendiri sejak 32 tahun lalu. Bersamaan
dengan itu berdiri partai-partai Islam yang menghubungkan diri dengan partai Islam
terdahulu, seperti Partai Bulan Bintang yang menghubungkan diri dengan Masyumi
misalnya.
Kebebasan dan keterbukaan telah menghasilan demokratisasi yang mebuahkan
pemilihan umum yang jujur dan adil. Hal ini pulalah yang telah mengantarkan Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) sebagai partai yang memperoleh suara
terbesar (34 %), namun gagal menempatkan Megawati sebagai Presiden. Diplomasi
politik para pemimpin Islam seperti Amien Rais dengan Poros Tengahnya akhirnya
mampu membendung ambisi kalangan nasionalis sekuler dan akhirnya mengantarkan
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Seorang yang diklassifikasikan sebagai tokoh
pembaru Islam di Indonesia yang beraliran neo-Modernis seperti dinyatakan Greg Barton
dalam desertasinya The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of
Islamic Thought in Indonesia.
Perdebatan dalam persidangan MPR/DPR pasca reformasi akan mengingatkan
orang pada perdebatan Konstituante di zaman Orde Lama, di mana hal seperti ini tidak
pernah terjadi pada Orde Baru. Demikian pula materi perdebatan disekitar tuntutan
pembentukan masyarakat Indonesia baru yang berdasarkan Islam sebagaimana
diserukan fraksi PPP dan PBB. Atau rencana perubahan bentuk negara kesatuan
menjadi negara federal, bahkan lebih jauh dasar negara Pancasila yang selama ini
disakralkan kini dituding sebagi penyebab disintegrasi bangsa akibat kekaburan
pengertiannya. Dan Indonesia benar-benar sedang mengalami perubahan demi
perubahan menuju Indonesia Baru yang belum jelas bentuknya seperti apa. Maka
sebagai kelompok mayoritas di negeri ini, kaum muslimin harus tampil ke depan
memberikan konsep pemikiran tentang Indonesia baru sesuai dengan ajaran agamanya.
Disinilah diperlukan tampilnya para pembaru Islam yang akan mengoreksi pemikiran
pendahulunya dan sekaligus mengembangkan pemikiran baru yang sesuai dengan
tuntutan reformasi.
Tulisan ini terutama tidak bertujuan untuk mengemukakan paradigma
pembaruan Islam secara mendetil, namun sebatas analisa awal yang mengemukakan
pentingnya sebuah pengembangan paradigma baru pasca reformasi berdasarkan
beberapa fakta yang ditemukan. Terutama analisa terhadap paradigma pemikiran yang
berkembang selama pemerintahan rezim Orde Baru yang telah melahirkan beberapa
bentuk gerakan pembaruan Islam, baik yang berhaluan modernis ataupun
fundamentalis. Dengan adanya analisa awal ini diharapkan tampilnya para
cendekiawan yang akan mengembangkan sebuah paradigma baru dalam pembaruan
Islam di Indonesia yang bercita-cita untuk mengantarkan menuju Indonesia baru.
Namun paradigma yang dikembangkan diharapkan bukan sebuah duplikat dari
paradigma pemikiran sebelumnya.

Memahami Makna Pembaruan Islam


Kata pembaruan Islam seringkali menimbulkan kontraversi dan
kesalahfahaman, khususnya di kalangan kaum tradisionalis dan konservatif yang ingin
mempertahankan pemahaman dan penafsiran generasi Islam terdahulu, terutama
mereka yang telah memutlakkan kebenaran dari pemikiran para generasi Islam
terdahulu dan telah menutup pintu ijtihad kepada generasi sesudahnya. Karena
menurut mereka pembaruan berarti meninggalkan segala khazanah pemikiran klasik
Islam yang kaya raya dan kembali hanya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah saja
sebagaimana diserukan kalangan modernis Islam. Namun makna pembaruan tidak
selamanya tepat jika hanya diartikan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah ansich,
karena realitasnya mereka yang menyerukan pembaruan juga menggunakan khazanah
pemikiran Islam klasik terdahulu, seperti pemikiran Ibn. Thaimiyah, Ibn. Qayyim, Abd.
Wahhab maupun Abduh dan lainya.
Fazlur Rahman telah membagi pembaruan Islam menjadi beberapa priode,
diawali dengan priode revivalisme pramodernis, modernisme klasik, neo-revivalisme dan neo-
modernisme. Gerakan revivalisme pramodernis berakan pada seruan pembaruan yang
dianjurkan Muhammad bin Abdul Wahhab yang muncul pada abad 18 dan 19 yang
menyerukan agar kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Gerakan modernisme
klasik adalah kelanjutan dari gerakan terdahulu yang lebih memfokuskan pada
pengembangan konsep ijtihad dan keinginan untuk mengadopsi peradaban Barat.
Diantara tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghany dan Muhammad Abduh. Dan
selanjutnya gerakan ini melahirkan tokoh-tokoh Islam modernis yang berinteraksi
dengan peradaban Barat, diantaranya seperti Ahmad Khan di India, Namik Kamal di
Turki, HOS Cokroaminoto dan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia dan lainnya. Gerakan
neo-revivalisme yang mengkoreksi pemikiran sebelumnya dengan lebih menekankan
pemikiran pada konsep ketotalan Islam sebagai sistem hidup dan berkeinginan keras
mengaplikasikan Islam dalam sistem kenegaraan dan kemasyarakatan. Gerakan ini
muncul pada pertengahan abad 20, diantara tokohnya seperti Hasan al-Banna dan
Sayyid Qutb di Mesir, Maududi di Pakistan dan di Indonesia dapat disebut seperti
Kartoseowirjo. Biasanya kelompok ini dikenal pula dengan fundamentalisme Islam.
Sedangkan neo-modernisme diidentikkan dengan gerakan pembaruan pemikiran yang
dilakukan oleh mereka yang memiliki pemahaman terhadap sumber-sumber klasik
Islam namun mampu berinteraksi dengan kemodernan dan mengembangkan sebuah
model pemikiran Islam yang memiliki ciri khas tersendiri. Diantara tokohnya adalah
Fazlur Rahman dan di Indonesia gerakan ini dimotori oleh Nurcholish Madjid. Sebagai
kelanjutan gerakan fundamentalisme Islam, telah muncul pula gerakan neo-
fundamentalisme Islam, sebuah pemikiran yang mewarisi pemikiran fundamentalisme
sekaligus mengkoreksinya, mereka dapat beradaptasi terhadap kemodernan, namun
tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam yang dianggapnya universal dan akan
senantiasa mampu menjawab tantangan zaman.
Pembaruan, terjemahan dari bahasa Arab tajdid biasanya diartikan sebagai
upaya-upaya serius para generasi terbaik Islam dalam menegakkan kembali ajaran
Islam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Ini bukan berarti ajaran-ajaran
Islam tidak dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga perlu diperbarui, karena
Islam sendiri adalah agama terakhir yang memiliki kesempurnaan ajaran dan tidak
memerlukan penambahan-penambahan ajarannya apalagi dicampuradukkan dengan
berbagai bentuk ajaran-ajaran duniawi sehingga menjadi ajaran baru yang berlainan
dengan ajarannya semula. Pembaruan yang dimaksud adalah lebih ditujukan kepada
penegakan kembali ajaran-ajaran Islam yang telah ditinggalkan kaum Muslimin
ataupun mengembangkan pemahaman baru yang belum ditetapkan dalam ajaran Islam
namun dengan tetap berpegang teguh pada sumber-sumber utama Islam seperti al-
Qur’an dan sunnah Rasul. Maka dengan demikian pembaruan adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat diragukan pentingnya dari masa ke masa, terutama
dalam mengangkat martabat kaum Muslimin. Para pembaru (mujaddid) sendiri
berpendapat bahwa kemunduran kaum Muslimin disebabkan karena mereka telah
meninggalkan ajaran agamanya ataupun telah menyelewengkannya, sehingga perlu
diperbarui agar kembali pada ajaran sebagaimana dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Ajaran-ajaran agung Islam dengan segala maksud dan tujuannya hanya
difahami dengan tepat oleh Rasulullah saw dan para shabatnya, karena kepada
merekalah wahyu Allah diturunkan langsung dengan adanya sebab atau tidak. Dengan
pemahaman yang tepat inilah mereka kemudian berhasil membangun sebuah
masyarakat utama sebagaimana dikehendaki Islam dengan peradabannya sehingga
mereka dijuluki Allah sebagai umat terbaik (khairo ummah). Namun berbeda dengan
generasi sesudahnya, karena mereka memahami ajaran Islam yang telah mengalami
penafsiran demi penafsiran generasi sebelumnya yang tidak terlepas dari kondisi sosial-
politik masyarakat yang dinamis dan bergolak. Sejarah menyatakan bahwa generasi
Islam pasca Khalifah terakhir, Ali bin Abi Thalib ra, telah mengalami konflik demi
konflik yang akhirnya mempengaruhi penafsiran mereka terhadap ajaran Islam.
Dimana penafsiran generasi terdahulu belum tentu sesuai untuk generasi sesudahnya
yang telah mengalami perubahan dan perkembangan. Hal inilah yang menuntut
tampilnya generasi terbaik Islam menegakkan kembali atau memberikan penafsiran-
penafsiran baru terhadap ajaran Islam agar dengannya dapat dibangun masyarakat
utama sebagaimana dicita-citakan Islam.
Keuniversalan ajaran Islam sendiri menuntut adanya upaya-upaya serius para
cendekianya dalam membumikan ajaran-ajaran Islam yang diturunkan kepada seluruh
umat manusia hingga hari qiyamat kelak. Karena tanpa adanya pemahaman dan
penafsiran kembali ajaran Islam yang universal oleh generasi terbaik pada zamannya,
maka ajaran Islam akan menjadi ajaran yang jumud dan beku, terutama jika penafsiran
generasi masa lalu dijadikan sebagai referensi mutlak tanpa adanya penafsiran kembali
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin berpengetahuan dan
berperadaban. Karena dinamika perjalanan sejarah umat manusia tidak terlepas dari
perkembangan pengetahuan yang dimilikinya dan senantiasa menuntut penafsiran-
penafsiran baru terhadap doktrin yang telah dirumuskan generasi sebelumnya. Maka
disinilah letak keuniversalan Islam karena memberikan kebebasan kepada generasi
terbaiknya untuk memberikan penafsiran kembali ajarannya sesuai dengan
perkembangan masyarakat, yang oleh cendekia Muslim disitilahkan dengan tajdid,
pembaruan. Dimana pembaruan (tajdid) menghendaki selalu terbukanya pintu ijtihad
sebagai konsekwensi mutlak dalam merumuskan kembali penafisran ajaran Islam sesuai
dengan tuntutan zaman. Namun demikian, ijtihad hanya dapat dilakukan oleh generasi
terbaik Islam yang telah memenuhi kriterianya sebagai seorang mujtahid sebagaimana
digariskan Islam. Bahkan kehadiran para pembaharu Islam (Mujaddid) yang akan
memperharui ajaran-ajaran Islam telah dinyatakan Rasulullah saw akan datang setiap
seratus tahun. Itulah sebabnya dari masa ke masa telah tampil silih berganti generasi
terbaik Islam yang telah menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan keadaan dan kehendak
zamannya, diantara mereka yang terutama misalnya Umar bin Abdul Aziz, Imam
Syafi’ii, Imam Ghazaly, Ibn. Thaimiyah sampai Jamaluddin al-Afghany dan Mohammad
Abduh. Mereka semua tampil memberikan wacana keislaman yang akan memberikan
solusi sesuai dengan kondisi yang dihadapi masyarakatnya masing-masing.
Tajdid (pembaruan) dalam Islam bukan bermakna mengganti ajaran-ajaran
Islam yang telah jelas (qoth’ii) bentuk ajarannya dengan bentuk yang lain. Misalnya
ajaran sholat lima waktu yang telah jelas hukum serta tatacaranya kemudian diganti
dengan bentuk lainnya sesuai dengan perkembangan zaman. Atau menggantikan
hukum-hukum Allah yang jelas termaktub di dalam al-Qur’an dengan hukum-hukum
tandingan lainnya. Demikian pula tajdid tidak bermakna membuat perkara-perkara
baru dalam peribadatan kepada Allah yang telah jelas tuntunannya. Semua ini,
mengganti dan membuat perkara baru yang bertentangan dengan ajaran Islam
termasuk dalam bid’ah yang dilarang Islam. Namun sebagian besar ulama mengartikan
tajdid sebagai menegakkan kembali ajaran-ajaran Islam yang telah ditinggalkan atau
memutuskan perkara-perkara baru yang belum diputuskan sesuai dengan tuntunan
ajaran Islam.
Disini perlu ditegaskan kembali bahwa tujuan utama pembaruan dalam Islam
bukan hanya sebatas pengembangan wacana intelektualitas semata, namun lebih jauh
agar ajaran Islam yang telah mengalami proses pembaruan tersebut dapat membangun
masyarakat ideal yang terunggul dari masyarakat dunia di zamannya. Unggul dalam
spitualitas maupun intelektualitas dan peradabannya. Itulah sebabnya produk
pembaruan Islam seharusnya merupakan ajaran-ajaran yang dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat Islam dan bukan sebagai teori ideal yang jauh dari realitas
masyarakat. Apalagi sampai bertentangan dengan tradisi keislaman masyarakat yang
akan mengakibatkan timbulnya dilemma dan krisis yang pada akhirnya akan
menambah keterbelakangan masyarakat Islam. Dimana hal ini banyak menimpa
generasi Islam yang mengklaim diri sebagai pembaru dengan mengemukakan
pemikiran-pemikiran yang kontraversial bahkan lebih jauh berani menggugat ajaran-
ajaran Islam yang sudah jelas dan terang. Mereka berkeyakinan dengan merubah ajaran-
ajaran Islam dan disesuaikan dengan produk pemikiran manusiawi akan dapat
mengangkat martabat masyarakat Islam. Namun tanpa disadari perbuatannya yang
telah “memperbarui” ajaran Islam, atau tepatnya menggantinya dengan ajaran lain,
telah menambah keterbelakangan dan kebingungan masyarakat yang tengah
menghadapi berbagai dilemma dan krisis. Lebih jauh “pembaruan” yang dilakukan
telah menimbulkan perpecahan dan pertentangan dikalangan masyarakat Islam.
Pembaruan dilakukan untuk menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang
kuat dan maju, bukan menjadikannya masyarakat yang lemah dan terbelakang ataupun
terpecah belah.

Sepintas Pembaruan Islam di Indonesia


Indonesia dikenal sebagai salah satu negara mayoritas Muslim yang memiliki
penduduk terbesar di antara Dunia Islam. Pada saat ini, 90 % dari 210 juta penduduk
Indonesia adalah Muslim, yang berarti 20 % dari keseluruhan kaum Muslimin di dunia.
Semua ini tidak lain berkat kegigihan para pendakwah terdahulu dalam mengislamkan
masyarakat yang beragama Hindu, Budha ataupun masih animis. Melalui pendekatan
mereka yang khas, dengan cara aman dan damai berbeda dengan Islamisasi di dunia
Arab atau India melalui peperangan dan penaklukan, Islam tersebar dengan cepat dan
menarik simpati para raja yang kemudian menjadikannya sebagai agama resmi
kerajaan. Itulah sebabnya Islam di Indonesia dikenal sebagai Islam yang ramah, toleran,
anti kekerasan, moderat, terbuka dan merakyat. Akibat dari pemahaman ajaran Islam
yang tidak sempurna serta dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama dan kepercayaan
sebelumnya, maka kaum muslimin di Indonesia termasuk kelompok yang kurang
keterikatannya pada ajaran Islam dan sebagai akibatnya sangat rentan terhadap bujukan
misionaris agama lain.
Masalah ini digambarkan Alwi Shihab dengan tepat dalam disertasinya
“Membendung Arus”; Hampir 90 persen penduduk Indonesia mengaku beragama Islam.
Tetapi, pelaksanaan ajaran-ajaran Islam oleh mereka jelas tampak bertingkat-tingkat,
sangat bervariasi dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu wilayah ke
wilayah lain. Ada yang menerima dan menjalankan secara taat prasyarat mutlak yang
dituntut dalam keimanan Islam dan ada pula mereka yang, sementara terus
menegaskan diri sebagai penganut Islam, tidak menjalankan praktik-praktik keislaman
sepenuhnya. Pada satu sisi, terdapat mereka yang berusaha, jika memungkinkan,
membangun masyarakat mereka sejalan dengan citra Islam yang paling ekstrem dan
mendirikan negara Islam; sedangkan pada sisi lain terdapat kelompok yang masih
sangat tertarik kepada kebudayaan-kebudayaan masa lalu, dan tidak lebih dari sekedar
kaum Muslim nominal.
Pembaruan Islam di Indonesia telah dimulai sejak awal abad ke 18 yang
dilakukan oleh kalangan yang disebut sebagai “Kaum Muda” di Minangkabau Sumatra.
Waktunya hampir bersamaan dengan lahirnya gerakan-gerakan pembaruan yang
dilakukan di Timur Tengah, India maupun Turki. Kaum muda ini umumnya adalah
para pelajar yang baru pulang dari Makkah dan mengembangkan ajaran-ajaran Wahabi
yang menyerukan agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini dipelopori
oleh Haji Miskin dan kawan-kawannya yang dijuluki sebagai “Harimau nan Selapan”
yang bergerak secara radikal dalam memurnikan Islam yang bersih dari taklid, bid’ah
dan khurafat (TBC) sehingga menimbulkan perang yang dikenal dengan “Perang
Paderi”. Setelah mereka tampillah beberapa generasi yang lebih moderat dalam
menjalankan pembaruan, diantaranya adalah Syeikh Muhammad Abdullah Ahmad,
Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, Syeikh Muhammad Jamil Jambek yang umumnya
bergerak secara tradisional.
Di awal abad 19 tampil generasi yang lebih modern dalam mengelola
pembaruan Islam, terutama dalam pendidikan, sosial dan politik, seperti Ahmad
Surkati Pendiri Jamia’at Khair, HOS Cokroaminoto tokoh Sarekat Islam, KH. Ahmad
Dahlan Pendiri Muhammadiyah, A. Hassan pendiri Persatuan Islam dan lainnya. Dari
gerakan pembaruan ini kemudian tampil tokoh-tokoh modernis seperti Agus Salim,
Abikusno Cokrosuyoso dan yang lebih junior seperti M. Natsir, M. Roem yang
kemudian menjadi pemimpin utama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
akhirnya menjadi penggerak kaum modernis di Indonesia zaman Soekarno (Orde
Lama). Sementara SM. Kartosoewirjo sebagai salah seorang kader HOS. Cokroaminoto
dan pemimpim Partai Syarikat Islam serta pemimpin Masyumi mengembangkan
pemikirannya sendiri dengan “politik hijrah non kooperatif”-nya yang
mengantarkannya memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pembaruan Islam di zaman Orde Lama yang digerakkan oleh para modernis
Islam di Masyumi misalnya lebih ditekankan kepada upaya-upaya untuk menerapkan
Islam dalam kehidupan bernegara daripada menegakkan negara yang berdasarkan
kepada Islam. Hal ini dilakukan akibat kekalahan mereka dalam pemilu pertama yang
menghasilkan perimbangan kekuatan antara kelompok nasionalis sekuler dan Islam,
yang akhirnya dimenangkan kelompok nasionalis dengan berhasilnya mereka
mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan dekrit presiden
Soekarno yang dianggap telah menghianati umat Islam. Penghianatan kelompok
nasionalis sekuler telah memaksa para pemimpin Masyumi mengadakan
pemberontakan dengan membentuk PRRI, yang akhirnya dijadikan alasan Soekarno
untuk membubarkan Masyumi dan menekan aktivitas para pemimpinnya. Namun
pembaruan dalam pendidikan dan sosial-kemasyarakatan yang dilakukan
Muhammadiyah berjalan lancar, bahkan telah menjadikan organisasi para pembaru ini
sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan berpengaruh di Indonesia. Aktivitas
Muhammadiyah yang menghindar dari kegiatan politik praktis, dan memfokuskan
kegiatannya pada bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan menjadi daya
tarik tersendiri bagi kalangan modernis, bahkan dijadikan sebagai sarana perjuangan
dalam mempersiapkan masa depan Islam di Indonesia.
Tekanan-tekanan dahsyat terhadap kebebasan pembaruan Islam yang dilakukan
rezim Orde Baru, terutama tekanannya terhadap mantan pemimpin-pemimpin
Masyumi yang notabene adalah penggerak pembaruan di Indonesia, telah menjadikan
generasi muda Islam, terutama tokoh-tokoh HMI, mengambil jalan akomodatif dengan
pertimbangan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar. Karena gerakan-gerakan
Islam, baik yang modernis ataupun fundamentalis dan radikal yang memaksakan
kehendak Islamisasinya kepada rezim Orde Baru akan ditumpas sampai ke akar-
akarnya tanpa kompromi. Rezim Soeharto sendiri menggagap idiologi Islam adalah
ancaman serius pembangunan disamping Komonisme. Kasus pelarangan berdirinya
kembali Masyumi dan pelarangan pemimpinnya menduduki jabatan penting dalam
Parmusi ataupun penangkapan tokoh-tokoh Islam yang ingin menerapkan syari’at
Islam adalah contoh terdekat kebiadaban rezim Soeharto terhadap Islam. Keadaan ini
telah memaksa generasi Islam mengambil kebijakan yang berbeda dengan kebijakan
para pendahulunya.
Diantara mereka yang akomodatif dengan kebijakan rezim Orde Baru ini adalah
Nurcholish Madjid yang telah melaungkan semboyan “Islam yes, Partai Islam no” di awal
tahun 70-an, yang pada hakikatnya adalah sebuah seruan deislamisasi partai politik,
melalui program yang disebutnya “sekularisasi”. Dan dengan pandangannya yang
kontraversial ini kemudian Nurcholish, yang dijuluki sebagai Natsir muda, menjadi
penarik gerbong bagi pembaruan Islam di Indonesia yang diikuti oleh generasi
seangkatannya seperti Utomo Dananjaya, Usep Fathuddien, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, M. Dawam Rahardjo dan Adi Sasono. Kemudian diikuti oleh Harun Nasution,
Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Syafi’ii Ma’arif, Amien Rais, Kuntowijoyo
dan lainnya. Walaupun mereka memiliki pandangan yang beragam sesuai dengan
bentuk dan metode gerakan yang dipilihnya, namun mereka memiliki kesamaan tujuan,
yaitu membangun keislaman yang modern di Indonesia, atau yang diistilahkan
Nurcholish sebagai “Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan”. Secara umum mereka,
sebagaimana paradigma Fazlur Rahman, dapat diklassifikasikan sebagai kalangan “neo-
modernis Islam” yang memiliki paradigma yang berbeda dengan kalangan modernis
terdahulu seperti M. Natsir dan kawan-kawannya.
Sementara kalangan Islam yang lebih “fundamentalis dan radikal” mengambil jalan
bergerak secara eksklusif menyusun kekuatan Islam dengan pendekatannya yang khas.
Karena selama ini rezim Soeharto sangat alergi terhadap sesuatu yang berbau Islam,
terutama doktrin-doktrin Islam yang akan menggugat kelanggengan kekuasaannya.
Menurut kalangan ini pemerintahan Soeharto dapat dikategorikan sebagai
pemerintahan yang menentang Islam karena menolak menjalankan ajaran Islam secara
kaffah serta diangkatnya menteri-menteri dengan kebijakannya yang anti Islam. Itulah
sebabnya kalangan generasi Islam yang non kompromis dengan rezim Orde Baru
membangun gerakan-gerakan eksklusif-illegal berupa majlis taklim, pengajian, tabligh,
usroh, sampai gerakan-gerakan radikal-revolusioner yang muncul dengan berbagai
merek yang diberikan pemerintah, seperti “Komando Jihad”, “Teror Warman”, “Kasus
Imran”, “Peristiwa Tanjung Priok”, “GPK-Warsidi” dan sejenisnya yang selalu
diidentikkan dengan penggulingan pemerintahan yang sah dan cita-cita pendirian
negara Islam serta penegakan syari’at Islam di Indonesia. Karena sifatnya yang eksklusif
inilah, para pemimpin dan tokoh intelektualnya kurang dikenal luas masyarakat karena
tidak tampil kepermukaan, dan mereka hanya dikenal apabila terjadi penangkapan-
penangkapan oleh rezim Soeharto. Diantaranya yang terkenal misalnya Adah Djaelani,
Dodo Moh. Darda, Ajengan Masduki, Ismail Pranoto dari kalangan generasi terdahulu,
dan yang lebih junior seperti Sahirul Alim, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir,
Abdul Qadir Baradja, Abdul Qadir Djaelani, Husein Al-Habsyi dan beberapa ulama dan
muballigh lainnya. Mereka dijuluki sebagai pewaris perjuangan SM. Kartosoewirjo,
salah seorang pemimpin Masyumi yang beraliran fundamentalis kemudian mendirikan
Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Mengambil paradigma Fazlur Rahman,
mereka dikategorikan sebagai kalangan “neo-Fundamentalis Islam”.
Jika dicermati dengan teliti dan jujur, reformasi yang telah menggulingkan
Soeharto bukan hanya jasa para mahasiswa dekade 98-an yang telah mengadakan
demontrasi dan menguasai gedung MPR/DPR sebagaimana selalu di klaim sebagian
orang. Namun lebih jauh, reformasi Indonesia adalah buah dari perjuangan panjang
para pemimpin Islam, baik dari kalangan “neo-Modernis” ataupun “neo-fundamentalis”
yang telah berupaya maksimal menyusun kekuatan dan strategi untuk
memperjuangkan Islam sesuai dengan tugas dan peranan mereka masing-masing.
Secara mudah dikatakan bahwa dalam era Soeharto perjuangan Islam dibagi menjadi
dua bentuk, pertama perjuangan kalangan neo-modernis Islam dari dalam sistem dan
kedua perjuangan kalangan neo-fundamentalis dari luar sistem, namun walaupun
menempuh cara-cara yang berbeda, namun memiliki kesamaan tujuan, yaitu
menjadikan ajaran Islam sebagai sistem kemasyarakatan dan kekuasaan dipegang kaum
muslimin yang mayoritas.
Perjuangan panjang kalangan neo-modernis yang menyakinkan rezim Soeharto
bahwa Islam adalah rahmat, bukan ancaman bagi negara, dan puncaknya dengan
diizinkannya terbentuknya ICMI sebagai penggerak Islamisasi di Indonesia adalah
perjuangan besar dalam menghimpun kekuatan Islam yang akhirnya ikut berperan
dalam melengserkan Soeharto di kemudian hari. Demikian pula perjuangan dan
pengorbanan para kalangan neo-fundamentalis Islam yang telah mengorbankan harta,
kehormatan, darah dan nyawa mereka untuk membina umat demi tegaknya Islam
merupakan perjuangan besar disisi Allah yang telah menyuburkan semangat generasi
Islam. Dan perjuangan para pemimpin Islam ini telah melahirkan apa yang kemudian
dikenal sebagai gerakan reformasi menuntut lengsernya Soeharto yang berpusat di
masjid-masjid ataupun di kampus-kampus, tempat utama mereka menyemai bibit-bibit
pemikiran yang telah menghasilkan gerakan sinergi yang memicu gerakan intelektual,
gerakan mahasiswa dan gerakan sosial lainnya yang telah melahirkan reformasi di
Indonesia.
Reformasi sendiri akhirnya telah banyak merubah wajah Indonesia, baik dalam
sistem pemerintahan, sistem kekuasaan, sistem sosial-politik dan lainnya. Dan reformasi
dapat dipastikan akan merubah pula bentuk maupun metode pembaruan Islam yang
selama ini diterapkan di era Orde Baru, baik di kalangan neo-modernis ataupun neo-
fundamentalis. Karena suasana yang melatarbelakangi pembaruan yang selama ini
dilakukan para pemimpin Islam telah berubah dan kurun waktu 30 tahun merupakan
rentang waktu yang signifikan untuk mengevaluasi kembali perjalanan sebuah proses
pembaruan. Perubahan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan dan perubahan inilah
yang diharapkan melahirkan sebuah pembaruan yang akan memberikan kontribusi bagi
masyarakat Islam di Indonesia yang mayoritas namun terbelakang dari segi ekonomi,
pendidikan dan peradabannya. Dengan perubahan suasana inilah perlu dikaji lagi
metode pembaruan ataupun produk pemikiran yang telah dilakukan para pemimpin
Islam terdahulu.
Apakah paradigma pembaruan Islam terdahulu yang dominan di Indonesia
dengan berbagai bentuk, seperti “Islam Peradaban”nya Nurcholis Madjid dan
Kuntowijoyo, atau “Islam Rasional”nya Harun Nasution dan Djohan Effendi ataukah
“Islam Transformatif”nya Dawam Rahardjo dan Adi Sasono, ataupun paradigma-
paradigma lainnya masih dapat diterapkan dalam era reformasi dan di masa depan ?
Apakah produk-produk pemikiran mereka masih sesuai dengan suasana reformasi yang
sangat berbeda dengan suasana Orde Baru ? Apakah pemikiran mereka masih dapat
dijadikan landasan dalam membangun paradigma baru pembaruan pasca reformasi ?
Dan produk pemikiran mana saja yang ditinggalkan atau akan diterapkan di masa
depan sesuai dengan kebutuhan masyarakat ?
Kalangan neo-fundementalis Islam yang selama ini bergerak secara sembunyi-
sembunyi, kini di era reformasi telah berani tampil secara terbuka menyuarakan
aspirasinya dengan lantang. Mereka secara terbuka telah mengkritik ideologi Pancasila
yang sangat tabu di masa Orba. Demikian pula keinginan untuk mendirikan negara
berdasarkan Islam ataupun penegakan syari’at Islam telah menjadi wacana umum,
menjadi slogan demontrasi bahkan lebih jauh mereka telah menggelar konferensi dan
konggres secara terbuka. Diantaranya seperti konggres yang diadakan kader-kader neo-
Darul Islam bertepatan dengan hari diproklamasikannya Negara Islam Indonesia pada 7
agustus lalu di Yogyakarta, dengan tema yang mencolok : Konggres Mujahidin I
Indonesia Untuk Penegakan Syari’at Islam yang dihadiri oleh lebih 2000 peserta dari
seluruh Indonesia. Para pembicara terdiri tokoh-tokoh nasional dari kalangan
intelektual maupun ulama yang konsisten dengan penegakan syari’at Islam di
Indonesia. Demikian pula kalangan ini telah menerbitkan majalah Darul Islam yang
terang-terangan menyatakan sebagai risalah Islam radikal. Kader-kader mereka dengan
berbagai atribut seperti Front Pembela Islam, Pemuda Islam, Gerakan Mujahidin, Laskar
Jihad, Laskar Santri, Jundullah, Taleban, Pasukan Hizbullah, Persatuan Pekerja Muslim
dan lainnya telah dengan lantang menuntut ditegakkannya syari’at Islam di Indonesia.
Mereka telah mendatangi gedung MPR/DPR menyuarakan aspirasinya dan
mendukung fraksi PPP dan PBB yang memperjuangkan amandemen UUD 45 dengan
dimasukkannya kembali Piagam Jakarta.
Dan akhirnya pembaruan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari
dalam memberikan rumusan baru bagi terbentuknya masyarakat madani yang
berlandaskan ajaran Islam. Untuk itu, di era reformasi ini perlu dibangun kembali
sebuah paradigma baru yang akan menjadi landasan bagi pembaruan Islam di masa
depan. Karena pembaruan yang telah dilakukan para pemimpin Islam, baik dari
kalangan neo-modernis dan neo-fundamentalis terdahulu telah menemukan momennya
dengan mencetuskan reformasi yang telah berhasil dengan gemilang
mendekonstruksikan doktrin-doktrin yang selama ini disakralkan rezim Orde Baru,
baik doktrin pembangunan, persatuan, keamanan, pemerataan, kemajuan dan
sejenisnya yang ternyata gagal mengantarkan bangsa Indonesia sebagai bangsa maju
dan berdaulat. Pembaruan Islam pasca reformasi adalah sebuah keniscayaan yang akan
menentukan masa depan masyarakat Islam di Indonesia yang mayoritas. Pembaruan ini
akan menjadi salah satu pilar utama dalam membangun Indonesia baru yang dicita-
citakan semua komponen masyarakat.

Membangun Paradigma Pembaruan Islam Pasca Reformasi


Dalam membangun paradigma pembaruan Islam Pasca Reformasi di Indonesia
ada beberapa langkah praktis yang ditawarkan yang diharapkan dapat menjadi awal
dari pengembangan paradigma di masa depan, diantaranya adalah :
- Mendekonstruksikan Paradigma Pembaruan Terdahulu
Pendekonstruksian paradigma pembaruan terdahulu, terutama pembaruan di
masa Orde Baru oleh kalangan neo-modernis dan neo-fundamentalis, dilakukan dengan
memahami paradigma yang diterapkannya, kemudian dianalisa kembali segala
relevansinya, memahami dimana keutamaan dan kelemahannya.
Thomas Kuhn dalam buku monumentalnya The Stucture of Scientific Revolution
menerangkan dengan tepat tentang proses revolusi dalam pemikiran yang harus
diawali dengan pendekonstruksian teori-teori lama dan menggantikannya dengan teori-
teori baru. Revolusi akan terjadi jika paradigma lama yang dipengaruhi oleh berbagai
situasi kondisi sosial-intelektual tertentu mengalami krisis karena tidak mampu
memberikan solusi dan akan ditinggalkan serta menggantinya dengan paradigma baru.
Pergantian paradigma lama dengan paradigma baru inilah yang telah mengembangkan
semua jenis teori dari waktu ke waktu dalam semua bidang, baik pengetahuan sosial,
fisika, biologi dan lainnya. Jika paradigma lama dipertahankan secara membabi buta
dengan meninggalkan etika intelektualisme dan digantikan dengan sikap fanatisme,
dalam artian menganggap semua yang dikemukakan generasi terdahulu mutlak
kebenarannya, maka tidak diragukan lagi pengembangan peradaban manusia akan
terhambat bahkan tidak berkembang dan akhirnya melahirkan generasi yang hanya
mengemontari (syarah – syarah min syarah) pendapat generasi terdahulu. Hal inilah yang
telah terjadi pada generasi Islam abad pertengahan yang telah menutup pintu ijtihad
akibat pembenaran mutlaknya terhadap pendapat generasi sebelumnya dan
menghasilkan kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam.
Mengambil teori yang dikemukakan Kuhn ini, maka proses pembaruan Islam
pasca reformasi di Indonesia harus diawali dengan pendekonstruksian terhadap
paradigma generasi pembaru terdahulu, terutama paradigma pembaruan yang telah
berkembang pada masa Orde Baru, baik paradigma yang dikembangkan oleh kalangan
neo-modernis ataupun kalangan neo-fundamentalis. Pendekonstruksian ini sama halnya
dengan yang dilakukan generasi pembaru masa orde baru seperti Nurcholish dkk
terhadap generasi pembaru masa orde lama seperti M. Natsir dkk yang telah berhasil
gemilang mendekonstruksikan teori partai poliitik Islam dengan teori sekularisasi dalam
menegakkan Islam di Indonesia. Pendekonstruksian paradigma lama dilakukan karena
ketidakmampuannya lagi mengatasi krisis demi krisis yang dialami masyarakat dan
perlu dikembangkan paradigma baru yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Paradigma pembaruan Islam yang dikembangkan generasi Nurcholish sejak 30
tahun lalu perlu didekonstruksikan kembali karena pada kenyataannya beberapa
pemikiran yang dikembangkan sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan reformasi.
Bahkan jika tidak berlebihan dapat dikatakan bahwa paradigma pembaruan yang
diserukan generasi ini ikut bertanggung jawab terhadap krisis dimensional yang
menimpa bangsa Indonesia saat ini, baik krisis intelektual, krisis sosial, krisis politik,
krisis ekonomi dan krisis lainnya. Karena krisis dimensional yang menimpa sebuah
bangsa adalah tanggung jawab pemimpinnya, yaitu para intelektualnya. Sikap mereka
dalam berhadapan dengan para tiran penguasa yang memaksakan kehendaknya akan
menentukan corak masyarakat yang mengikuti pemikirannya. Sikap akomodatif mereka
yang keterlaluan telah ikut bertanggungjawab membesarkan bahkan mempertahankan
kekuasaan rezim Orde Baru dengan kebijakan anti Islamnya dan memaksakan
kehendaknya menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara
sehingga memojokkan peranan Islam. Sikap mereka yang terlalu bertoleransi dan
terkesan membela kepentingan penganut agama lain dengan konsep masyarakat
majemuk telah menjadikan kaum muslimin yang mayoritas (90 %) kehilangan hak-hak
istimewanya, terutama dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Demikian pula kelonggoran mereka dalam menjalankan ajaran Islam dan terkesan
terlalu meniru pola kehidupan Barat, baik dalam pemikiran dan perilaku, menambah
kebingungan generasi Islam tentang citra Islam yang modern.
Semboyan “Islam yes dan Partai Islam no” sudah tidak relevan dan tidak pada
tempatnya lagi akibat keterbukaan pemerintah pasca reformasi. Karena tanpa partai
politik atau kekuatan politik yang akan memperjuangkan aspirasi Islam dalam sebuah
sistem demokrasi, maka kaum muslimin akan selalu menjadi bulan-bulanan musuh
idiologisnya. Citra masayarakat majemuk Indonesia yang dibingkai dalam kesatuan dan
persatuan yang berdasarkan Pancasila ternyata sangat rapuh yang akhirnya
menimbulkan pertiakaian bahkan peperangan antar suku dan agama yang tidak
berkesudahan. Hal ini membuktikan bahwa ideologi Pancasila yang diagungkan selama
ini sebagai alat pemersatu bangsa telah gagal, akhirnya diketahui bahwa bersatunya
bangsa Indonesia selama ini bukan karena pemahaman mereka terhadap ideologi
Pancasila, namun karena ancaman dan tekanan rezim Orde Baru dengan kekuatan
militernya. Ancaman dan tekanan tidak mungkin mampu membangun sebuah
masyarakat ideal, namun sebuah masyarakat persatuan yang semu dan menunggu
waktu timbulnya konflik dan peperangan seperti yang terjadi di Ambon dan Maluku
misalnya.
Sebagai sebuah pengantar dalam pen-dekonstruksi-an paradigma pemikiran
pembaru masa Orde Baru, buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat dapat dijadikan
sebagai acuan awal. Karena buku ini memuat beberapa tulisan yang mencoba,
walaupun sangat terbatas sebagai langkah awal, untuk mendekonstruksikan beberapa
paradigma pemikiran tokoh-tokoh neo-modernis Islam yang berpengaruh di masa Orde
Baru, seperti Nurcholish, Harun Nasution, Dawam Rahardjo dan Adi Sasono.
Pada saat yang sama paradigma kalangan neo-fundamentalis harus didekonstruksi
pula, terutama beberapa paradigma pemikiran yang mereka kembangkan dalam
membangun gerakan radikal-revolusioner dalam menegakkan Islam di Indonesia yang
terkesan eksklusif. Sikaf eksklusifisme yang berlebihan ini telah menimbulkan berbagai
kecurigaan pada masyarakat yang akan dibelanya, bahkan menjadi penentang
perjuangan suci mereka akibat kesalahfahaman. Tema-tema gerakan yang revolusioner-
radikal perlu dikombinasikan dengan tema-tema yang intelektual-ilmiyah sebagaimana
diajarkan Islam sebagai gerakan yang menyeimbangkan antara kekuatan aqidah dan
kekuatan aqliyah. Demikian pula penolakan membabi buta terhadap segala sesuatu
yang berbau modern dan Barat perlu dikembangkan, bagian mana yang wajib di tolak
dan bagian mana yang mubah diadopsi sebagai sebuah pilar dalam membangun
masyarakat Islam yang ideal di masa depan. Konsep-konsep tentang Tauhid, Aqidah,
muamalah sampai kepada konsep ekonomi Islam modern perlu dikembangkan lebih
detil, sebagai sebuah alternatif sistem masa depan. Sikap kecintaan dan keteguhan
kepada Islam, bukan bermakna memusuhi penganut agama dan ideologi lain secara
ekstrim, kecuali mereka benar-benar memusuhi dan menghancurkan Islam dan umat.
Konsep Jihad fi sabilillah yang merupaknan sumber kekuatan dan semangat gerakan
perlu dikaji secara mendetil, sehingga tidak hanya bermakna perang an-sih, karena
medan jihad terlalu luas masa ini. Pengertian jama’ah Islamiyah dan masyarakat Islam
perlu diperjelas dan dikembangkan maknanya agar menjadi alat pemersatu dan
bukannya sebagai alat pemecah. Kesan garang dan keras harus disesuaikan dengan
konsep Islam sebagai rahmat alam semesta.
Pendekonstruksian paradigma pembaruan pemikiran Islam masa Orde Baru ini
bukanlah sebuah pendekonstruksian total seperti menghancurkan sebuah rumah secara
membabi buta. Proses dekonstruksi dimaksudkan untuk menilai kembali relevansi
setiap paradigma yang telah dikemukakan, apakah masih memiliki urgensi dalam
pembaruan pemikiran di masa depan. Bila ternyata paradigma yang dikembangkan
ternyata masih relevan bagi pembaruan di masa depan, maka paradigma tersebut dapat
dijadikan sebagai salah satu fundamen dalam membangun paradigma selanjutnya.
Proses inilah yang diistilahkan dengan dekonstruksi untuk rekunstruksi
(deconstruction to reconstruction). Seperti merubuhkan sebuah rumah, namun dengan
tujuan untuk membangunnya kembali. Bila ada komponen rumah lama tersebut yang
masih relevan dengan bentuk rumah yang baru kenapa mesti dihancurkan, tinggal
ditambahkan dengan komponen baru agar menjadi rumah baru. Demikian pula halnya
dengan paradigma pembaruan yang lama, kenapa mesti dibuang jika masih memiliki
relevansi dengan pembaruan masa depan. Paradigma terdahulu dapat dijadikan salah
satu fundamen bagi membangun paradigma baru.

- Memahami Paradigma Islam Klasik, Paradigma Rasulullah, Shahabat dan Salaf


Memahami makna pembaruan sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan al-
Sunnah serta paradigma yang telah mereka terapkan dalam pembaruan pemikiran.
Tidak mungkin dilakukan pembaruan tanpa memahami paradigma yang telah
dikembangkan oleh generasi Islam terbaik dengan warisan intelektualnya.
Untuk itu, mereka yang akan menggerakkan pembaruan pemikiran diwajibkan
memahami paradigma Islam klasik dengan segala karakteristiknya. Karena pembaruan
Islam, kapan dan dimanapun bersumber pada paradigma yang telah dikemukakan para
pelopor Islam terdahulu. Para pembaharu wajib mengetahui pemahaman generasi Islam
awal tentang Islam, karena merekalah yang paling mengerti tentang Islam disebabkan
Islam diturunkan kepada mereka. Khazanah intelektual yang mereka tinggalkan,
berupa penafsiran-penafsiran terhadap ajaran Islam wajib diketahui, karena mereka
adalah mata rantai penghubung Islam antara generasi sebelumnya dengan sesudahnya.
Meninggalkan pemahaman para generasi Islam dalam proses pembaruan adalah
kesalahan fatal yang akan mengakibatkan semakin tersesatnya umat dari jalan Islam.
Allah dan Rasul-Nya telah menjamin para pelopor Islam, terutama para shohabat yang
diberi petujuk sebagaimana disabdakan Rasulullah, Sebaik-baik kurun adalah kurunku,
kemudian yang lebih dekat dan terdekat dengannya.
Pengertian ini membawa makna, bahwa paradigma para shohabat dan salaf al-saleh
wajib dipahami sebagai salah satu pilar dalam mengembangkan sebuah pembaruan.
Karena paradigma yang dikembangkan mereka adalah mata rantai pembaruan demi
pembaruan yang akan terus berlangsung di kalangan kaum muslimin. Itulah sebabnya
seorang pembaru wajib memahami dan menghayati segala bentuk khazanah intelektual
Islam klasik, dari al-Qur’an dan sunnah, penafsirannya hingga kepada khazanah
intelektual yang dikembangkan kaum muslim di awal Islam, masa kejayaan, abad
pertengahan, sampai perkembangannya dalam dunia modern. Kegagalan memahami
khazanah intelektual klasik Islam akan mengantarkan para pembaru dalam
kebingungan demi kebingungan dalam memahami makna ajaran Islam yang
sebenarnya. Islam hanya dapat difahami dengan benar dan selamat dari sumber aslinya
dan melalui orang-orang beriman yang meyakininya, mengamalkannya dengan ikhlas
dan memperjuangkan eksistensinya, dan bukannya melalui mereka yang hanya
mengkaji dan menganalisanya sebagai obyek ilmiyah sebagaimana di lakukan para
orientalis dan musuh Islam yang tidak dapat mendapatkan hidayah dengan
pengetahuannya. Karena pembaruan Islam bukan hanya bermakna mengkaji dan
menganalisa ajaran Islam saja, namun ia mengandung konsekwensi lebih jauh agar
bagaimana dapat diamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pembaruan Islam
sendiri bermakna menghidupkan lagi ajaran Islam sesuai dengan tuntutan dan
tantangan zaman. Inilah paradigma utama para shahabat dan salaf al-saleh dalam
mempelajari Islam, Islam dipelajari untuk diamalkan sebagai panduan yang akan
mengantarkan kepada kebahagian dunia akherat. Karena Allah mengecam mereka yang
pandai mengatakan namun tidak mengamalkan sebagaimana disebutkan al-Qur’an :
Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ?, Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (al-
Shaff : 2-3)
Kaum muslimin tidak dilarang membelajari agamanya dari orang yang tidak
meyakininya, namun hal ini akan hanya mengantarkannya kepada pemahaman Islam
belaka dan tidak dapat menghantarkannya menuju hidayah Allah. Sementara kaum
muslimin diperintahkan untuk mempelajari Islam agar dapat menjadi hidayah dalam
kehidupan mereka. Itulah sebabnya Imam al-Ghazali memberikan syarat bahwa dalam
menuntut ilmu agamanya, haruslah kepada orang yang dapat memberikan hidayah,
dan bukannya kepada kaum kafir, zindik, mulhid ataupun ahlu bid’ah. Seorang
pembaru Islam mutlak mendasarkan pengetahuannya dari sumber-sumber
pengetahuan yang dijamin keabsahannya dan dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya dari sisi aqidah dan syariah, namun mereka tidak dilarang mempelajari
pengetahuan darimanapun sumbernya, selama tidak bertentangan dengan sumber-
sumber utamanya. Maka seorang pembaru yang akan membangun sebuah kansep
paradigma pembaruan Islam, wajib memahami ajaran agama dari sumber-sumber
utama ajaran agamanya, berupa al-Qur’an, al-Sunnah dan khazanah intelektual para
shahabat dan salaf saleh jika mereka ingin selamat dalam pembaruannya dan akan
menyelamatkan umah dengan paradigma pembaruan yang dikemukakannya. Adapun
pengetahuan lainnya dapat saja dijadikan sebagai salah satu rujukan selama tidak
bertentangan dengan paradigma Islam.

- Mendamaikan Paradigma neo-Modernis dengan neo-Fundamentalis


Mendamaikan, atau mencari titik temu antara paradigma pembaruan sangat
diperlukan, karena masing-masing aliran pemikiran memiliki keutamaannya masing-
masing. Diharapkan dengan ada titik temu diantara paradigma pembaruan akan
menjadi fondasi dalam pengembangan pembaruan selanjutnya.
Setiap paradigma pembaruan pasti mengandung unsur-unsur positip yang akan
dapat dijadikan sebagai landasan pengembangan paradigma sesudahnya. Bahkan
sebuah pembaruan, pada hakikatnya adalah mata rantai yang tidak terpisahkan dengan
pembaruan-pembaruan sebelumnya. Itulah sebabnya apatis dan phobia terhadap
paradigma pembaruan, apapun bentuknya akan merugikan proses pembaruan itu
sendiri. Demikian pula halnya, paradigma-paradigma pembaruan yang dominan di
Indonesia, terutama aliran neo-modernisme dan neo-fundamentalisme pasti memiliki
keutamaan masing-masing dalam mengantarkan bangsa Indonesia menuju cita-cita
mulianya. Itulah sebabnya kedua paradigma yang dominan ini, harus didamaikan
dengan mencari titik temunya, misalnya dengan menggelar dialog diantara tokoh-tokoh
utamanya dengan dasar keikhlasan dan demi kebaikan bangsa. Sikap congkak dan
arogan tidak akan pernah mendatangkan kebaikan, bahkan akan menambah kerugian
dan penderitaan umat. Itulah sebabnya Rasulullah menyatakan : Tidak pernah ditimpa
kerugian mereka yang senantiasa beristikharah dan bermusyawarah. Jadi musyawarah
diantara kedua aliran besar pemikiran ini perlu dikembangkan dari waktu ke waktu,
dengan keikhlasan dan kesungguhan para pelopornya, maka pasti Allah akan
memberikan petunjuk terbaik bagi mereka.
Generasi muda Islam dapat menjadi jembatan dalam proses musyawarah dan
mencari titik temu aliran pemikiran ini. Keikhlasan dan kesungguhan mereka mencari
yang terbaik bagi bangsa ini dapat dijadikan pendorong utama proses mulia ini.
Generasi muda Islam, terutama mereka yang memiliki kelayakan dan keseriusan serta
komitmen dapat dijadikan sebagai kelompok katalisator yang akan menghubungkan
aliran-aliran pemikiran yang berkembang, bahkan mereka lebih jauh diharapkan
sebagai pelopor pengembangan paradigma pembaruan Islam masa depan yang akan
membentuk aliran pemikiran tersendiri dengan paradigmanya, sesuai dengan tuntutan
dan tantangan zaman yang mereka hadapi.

- Mengembangkan Paradigma Baru “Manhaj Indonesia Pasca Reformasi”


Dengan beberapa pemahaman di atas, maka dapat dikembangkan sebuah
paradigma yang sesuai dengan tuntutan masyarakat Islam pasca reformasi di Indonesia.
Paradigma pembaruan yang dikembangkan dalam sebuah masyarakat tertentu dan
berhasil mengantarkannya menjadi masyarakat utama belum tentu sesuai dengan
masyarakat lainnya. Paradigma pembaruan yang dikembangkan di masyarakat Islam
Timur Tengah, Iran ataupun Pakistan belum tentu sesuai dengan masyarakat Islam
Indonesia, Karena setiap masyarakat memiliki dinamika sejarah yang berbeda satu
dengan lainnya. Pemahaman ini tidak menolak keuniversalan ajaran Islam yang
diturunkan untuk seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun, namun paradigma
pemahaman Islam adalah cerminan pemahaman masyarakat yang telah berinteraksi
dengan ajaran Islam yang telah melahirkan tradisi Islam. Tradisi Islam Arab berbeda
dengan tradisi Islam di Iran, Pakistan dan juga di Indonesia, walaupun keislaman
mereka tetap satu. Keuniversalan Islam telah membentuk beraneka ragam khazanah
tradisi sebagai sunnatullah keberagaman umat manusia yang merupakan keunggulan
ajaran Islam dibandingkan ajaran-ajaran lainnya yang tidak mampu berinteraksi dengan
sebuah tradisi. Namun ini tidak berarti bahwa Islam harus menyesuaikan diri dengan
segala bentuk tradisi sebuah masyarakat, namun sebaliknya, tradisi masyarakatlah yang
menyesuaikan diri dengan Islam dengan proses “Islamisasi tradisi” yang telah
dijalankan oleh para pendakwah Islam awal.
Paradigma pembaruan Islam “manhaj Indonesia” mungkin berbeda dengan
paradigma pembaruan di Timur Tengah, Iran, Turki dan lainnya. Karena manhaj ini di
bagun berdasarkan keuniversalan Islam sesuai dengan tingkatan, tuntutan, dinamika,
sejarah, tradisi dan keadaan masyarakat Islam Indonesia. Itulah sebabnya seorang
pembaru bukan hanya pembeo yang akan menerapkan apapun yang dilihatnya baik di
masyarakat lain. Namun mereka adalah generasi terbaik yang mengerti hakikat
agamanya dengan baik dan mengamalkannya dengan konsisten dan berjuang
membangun masyarakatnya sesuai dengan tradisi dan kondisi masyarakatnya. Hal
inilah yang telah dilakukan Rasulullah ketika beliau menyerukan Islam di Makkah,
beliau sangat memahami ajaran Islam yang diturunkan Allah kepadanya dan
memahami masyarakatnya, sehingga beliau mengembangkan perjuangannya sesuai
dengan keadaan masyarakatnya yang jahiliyah. Kejahiliyahan masyarakat yang
dihadapi Rasulullah adalah berbeda dalam bentuknya dengan kejahiliyahan masyarakat
Indonesia saat ini, walaupun mereka mengaku sebagai masyarakat Islam namun tetap
memelihara tradisi yang digolongkan tradisi jahiliyah oleh Islam. Itulah sebabnya
seorang pembaru yang akan menegakkan masyarakat Islami harus benar-benar
memahami karakteristik masyarakat jahiliyah modern sehingga ia mampu merumuskan
sebuah paradigma pembaruan yang akan mengantarkan masyarakatnya menuju
masyarakat yang Islami dalam artian yang sebenarnya, dan bukan hanya sekendar
simbol dan namanya yang Islami, namun hakekatnya masyarakat jahiliyah.
Paradigma pembaruan ini dikembangkan dengan beberapa fondasi utama :
- Memahami masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia
- Memahami dinamika sejarah masyarakat Indonesia
- Memahami cita-cita Indonesia baru
- Menumbuhkan semangat saling memahami cita-cita
- Memahami Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sumber keadilan, kebebasan
dan toleransi serta solusi kepada nestapa manusia modrn
- Membangun citra Islam yang kaffah dan berdimensi Indonesia
- Membangun model sebuah masyarakat madani
Dengan acuan ini diharapkan lahir sebuah paradigma pembaruan Islam di
Indonesia yang sesuai dengan tuntutan reformasi dan dapat mengantarkan masyarakat
menuju Indonesia baru yang adil dan beradab serta dirahmati Pencipta alam.

Kesimpulan dan Penutup


Reformasi telah mengantarkan tokoh-tokoh neo-modernisme seperti
Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid dan lainnya menjadi tokoh sentral
kekuasaan di Indonesia. Dengan kekuasaan yang dimilikinya mereka saharusnya
mampu membangun Indonesia sebagaimana yang dicita-citakannya. Namun ternyata
mereka, terutama Abdurrahman Wahid yang menjadi Presiden telah mengecewakan
bangsa Indonesia dan kaum muslimin khususnya dengan sikap-sikapnya yang
kontraversial dan menambah permasalahan bangsa Indonesia. Ternyata kelakuan
Abdurrahman Wahid tidak jauh beda dengan tindakan para rezim sebelumnya yang
cendrung diktator, otoriter dan tidak toleran , lebih jauh tidak mencerminkan
karakteristik seorang muslim yang disebutkan Allah dan Rasul-Nya. Namun
permasalahnnya, apakah karakteristik yang ditampilkan para tokoh neo-modernisme
yang mengecewakan bangsa Indonesia ini merupakan cerminan pemahamannya
ataukah hanya watak pribadi. Padahal Islam datang untuk merubah watak jahili
menjadi watak Islami “Sesunggunya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq” sabda
Rasul. Jadi tidak diragukan bahwa karakteristik seseorang memang sangat dipengaruhi
oleh pemahaman seseorang pada nilai. Semakin berpegang teguh seseorang pada ajaran
Islam, pasti makin dekat dengan karakteristik Islami sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah. Perilaku tokoh-tokoh neo-modernisme yang longgar terhadap ajaran Islam
tidak lain mencerminkan pemahaman mereka yang longgar pula pada ajaran Islam. Hal
inilah yang menjadikan mereka “nekad” melanggar perintah-perintah Allah dan
mengutamakan keduniaan. Namun pada saat yang sama, kalangan neo-fundamentalis
Islam yang fanatik dan istiqomah pada ajaran Islam seakan tenggelam dalam hingar
bingarnya gerakan reformasi, bahkan mereka tetap hanya menjadi kelompok marjinal
yang menunggu dan melihat perubahan bangsanya yang mengkhawatirkan ini. Itulah
sebabnya kelompok katalisator perlu tampil mengadakan pembaruan yang akan
mengantarkan bangsa ini menuju kejayaan di masa depan. Mereka diharapkan mampu
mengembangkan paradigma pemikiran yang menjadi kelanjutan mata rantai
pembaruan sebelumnya. Keutamaan-keutamaan pada paradigma sebelumnya diambil
dan kekuarangannya dikoreksi secara obyektip. Pasca reformasi ini, di tengah
kebimbangan dan ketidak pastian, masyarakat mengaharapkan tampilnya para
pembaru yang akan menyelamatkan mereka dari krisis dimensional yang tak kunjung
berakhir ini. Kegagalan para tokoh neo-modernisme dalam menyelesaikan krisis
dimensional bangsa Indonesia hakikatnya adalah kegagalan paradigma yang
diterapkannya, dan paradigma ini perlu diperbaharui kembali dalam sebuah gerakan
pembaruan pemikiran pasca reformasi…..Wallahu a’lam

You might also like