You are on page 1of 60

imunisasi IMUNISASI BCG

Infeksi Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, angka kesakitan dan kematian akibat Tb dari tahun semakin meningkat. Biasanya penyebab kematian akibat penyakit ini adalah infeksi Tb berat yang salah satunya adalah meningitis Tb. Meningitis Tb merupakan penyakit yang berbahaya, terutama pada bayi dan anak. Resiko kematin pada penderita sangat tinggi, atau bila penderita mengalami kesembuhan biasanya mengalami gejala sisa yang akan mengganggu fisik dan mungkin mental penderita seumur hidup. Karena resikonya yang fatal ini maka perlu vaksin yang dapat melindungi penderita dari meningitis TB.

Vaksin BCG

Vaksin BCG adalah vaksin bentuk beku kering yang mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/ dosis. Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL. Imunisasi vaksin BCG ini cukup diberikan satu kali saja, bila pemberian imunisasi ini berhasil maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam. Reaksi yang akan nampak setelah penyuntikan imunisasi ini adalah berupa perubahan warna kulit pada tempat penyuntikan yang akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8 12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut. Reaksi lainnya adalah berupa pembesaran kelenjar ketiak atau daerah leher, bila diraba akan terasa padat dan bila ditekan tidak terasa sakit. Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa pembengkakan pada daerah tempat suntikan yang berisi cairan tetapi akan sembuh spontan.

Efek Samping Vaksin BCG

Reaksi normal Bakteri BCG di tubuh bekerja dengan sangat lambat. Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis tengah 10 mm. Kemudian setelah 2-3 minggu, pembengkakan menjadi abses kecil yang kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm. Luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya dan meninggalkan jaringan parut (scar) bergaris tengah 3-7 mm. Scar ini sangat berguna karena dapat menunjukkan bahwa anak tersebut telah mendapat imunisasi BCG. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu agar tidak memberikan obat apapun pada luka dan membiarkan terbuka atau akan ditutup dengan menggunakan kain kasa kering. Reaksi berat Kadang-kadang terjadi peradangan setempat yang agak berat atau abses yang lebih dalam. Terkadang juga terjadi pembengkakan di kelenjar limfe pada leher atau ketiak. Ini mungkin disebabkan kesalahan penyuntikan yang terlalu dalam di bawah kulit, mungkin juga disebabkan dosis yang diberikan terlalu tinggi. Reaksi yang lebih cepat Jika anak sudah mempunyai kekebalan terhadap tuberculosis, proses pembengkakan mungkin terjadi lebih cepat dari 2 minggu. Ini berarti anak tersebut sudah mendapat imunisasi BCG atau kemungkinan anak tersebut telah terinfeksi TBC.

Kontra Indikasi. Adanya penyakit kulit yang berat atau menahun seperti eksim, furunkulosis dan sebagainya. (Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RI)

TUJUAN

Pemberian vaksin BCG pada bayi, diharapkan dapat memberikan daya lindung atau kekebalan aktif terhadap penyakit TBC (Tuberkulosis) berat yang diantaranya adalah penyakit meningitis tuberkulosis.

KEBIJAKAN Penentuan diagnosa penderita dilakukan melalui pemeriksaan dahak SPS dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila pemeriksaan mikroskopik memberikan hasil negative, penderita dirujuk untuk pemeriksaan Ro ke Rumah Sakit. Setiap penderita akan diberikan pengobatan sesuai dengan tipe dan klasifikasinya dengan menggunakan OAT Kat 1, Kat 2, Kat 3 dan sisipan.

Setiap penderita yang ditemukan harus mempunyai seorang PMO yang sebelumnya telah diberi penyuluhan tentang apa dan bagaimana penyakit Tb itu serta apa peran dan upaya PMO dalam menyembuhkan penderita. Petugas kesehatan harus tetap mengunjungi Rumah Sakit penderita Tb yang sudah mendapat pengobatan untuk memonitor pemberian obat dan efek samping yang kemungkinan timbul. Selain itu juga untuk mengetahui pula adanya penderita kontak serumah. Setiap penderita yang sudah mendapatkan pengobatan harus dilakukan pemantauan hasil pengobatannya melalui pemeriksaan dahak ulang pada akhir fase intensif, satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.

STRATEGI

Meningkatkan kualitas pelayanan Mengembangkan pelaksanaan program di seluruh unit pelayanan kesehatan Meningkatkan kerjasama dengan semua pihak terkait Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat Melaksanakan desentralisasi melalui titik berat manajemen program di kabupaten atau kota Mengembangkan pelaksanaan program melalui penelitian

GAMBARAN SINGKAT PENYAKIT

Penyebab Bayi atau anak yang tidak diberikan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guirine) mempunyai resiko yang cukup besar untuk terinfeksi penyakit TBC, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (bakteri TB). Kuman Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. EpidemiologiPatologi TB pada anak, dalam berbagai hal berbeda dengan pada orang dewasa karena kemungkinan komplikasi TB pada anak justru lebih luas. TB pada anak bisa berupa TB kulit, TB tulang sendi, tulang lutut, TB otak dan saraf, TB mata dan di organ lainnya. Sumber penularannya adalah

penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Terpaparnya pertama kali dengan kuman TB disebut infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus dan terus berjalan hingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Gejala klinik

Gejala umum (non spesifik) TB pada anak antara lain, berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam sebulan walau dengan penanganan gizi, nafsu makan tidak ada, demam lama dan berulang tanpa sebab dapat disertai keringat malam, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, dan diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. Gejala spesifiknya sesuai organ yang terkena. TB tulang dan sendi misalnya, anak pincang atau tulang lututnya bengkak, pembengkakan sendi, sulit membungkuk. Sedangkan, TB otak dan saraf (meningitis) menimbulkan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun.

Penularan

Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi.

Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertulari, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya karena minum susu yang tidak dipasteurisasi atau karena mengkonsumsi produk susu yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari sinus keluar discharge.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN Sasaran. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan. Biasanya diberikan beberapa hari setelah bayi lahir atau sesudahnya. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja, untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit TBC. Jenis antigen. Penyakit TBC disebabkan oleh jenis antigen bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis.

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI

Vaksin BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan, namun pemberian vaksin BCG (bacilius calmette guirine) pada anak-anak tidak bisa menjamin si anak akan bebas dari infeksi kuman penyebab penyakit tuberkulosis (TB), terutama pada anak yang kondisi kesehatannya buruk. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melakukan vaksinasi kembali pada saat anak akan masuk sekolah.

IMUNISASI DPT

Penyakit difteria, pertusis, dan tetanus (DPT) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan bersama dengan WHO menetapkan vaksinasi DPT sebagai imunisasi wajib bagi balita secara nasional.

Vaksin DPT Vaksin jerap DPT (Difteri, Pertussis, Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertussis yang telah diinaktivasi dan teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml

aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.

Efek Samping Vaksin DPT

Panas Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT, tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1 hari sesudah pemberian DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Rasa sakit di daerah suntikanSebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak di tempat suntikan. Bila hal tersebut terjadi setelah suntikan berarti ini disebabkan oleh suntikan DPT. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu sesudah imunisasi serta meyakinkan ibu bahwa keadaan itu tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan. PeradanganHal ini mungkin sebagai akibat dari: jarum suntik tidak steril, bisa karena tersentuh tangan atau sterilisasi kurang lama ataupun sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan di atas tempat yang tidak steril. Kejang-kejangAnak yang setelah pemberian vaksin DPT mengalami hal ini, tidak boleh diberi vaksin DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja. Kontra indikasi. Gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertussis harus dihindarkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT. (Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RI)

TUJUAN

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin imunisasi DPT diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang beberapa penyakit tersebut.

KEBIJAKAN Imunisasi DPT dasar diberikan pada umur 3 bulan sebanyak 3 kali dengan masa antara 4-6 minggu.

STRATEGI Meningkatkan kualitas pelayanan Mengembangkan pelaksanaan program di seluruh unit pelayanan kesehatan Meningkatkan kerjasama dengan semua pihak terkait Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat Melaksanakan desentralisasi melalui titik berat manajemen program di kabupaten atau kota Mengembangkan pelaksanaan program melalui penelitian

GAMBARAN SINGKAT PENYAKIT DIFTERI

Penyebab :Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, merupakan bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan gejala demam tinggi, pembengkakan pada amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal jantung. Epidemiologi :Bakteri Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri akan menginfeksi saluran nafas, dengan masa inkubasinya adalah 2-4 hari. Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita menjadi sangat lemah dan sakit. Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak. Penularan :Penularan umumnya melalui udara (batuk/ bersin) selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi.

PERTUSIS Penyebab :Penyakit Pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan Batuk Seratus Hari adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis. Epidemiologi :Tersebar di seluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat penduduknya dapat berupa endemi pada anak. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Pertussis dapat mengenai semua golongan umur. Tidak ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak terdapat

pada umur 1-5 tahun, lebih banyak laki-laki daripada wanita. Umur penderita termuda ialah 16 hari. Cara penularan ialah kontak dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis. Oleh karena itu di negara di mana imunisasi belum merupakan suatu prosedur rutin, masih banyak didapatkan pertussis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Dilaporkan terjadinya endemi pertussis di antara petugas rumah sakit yang sebelumnya telah mendapat imunisasi terhadap pertussis dan kemudian mendapat infeksi karena merawat penderita pertussis. Natural immunity berlangsung lama dan jarang didapatkan infeksi ulangan pertussis. Gejala khas pertussis, yaitu batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah, kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan napas panjang dan dalam berbunyi melengking. Penularan umumnya terjadi melalui udara (batuk/ bersin). Pencegahan paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan. Penularan :Melalui percikan-percikan ludah penderita waktu batuk dan bersin, saputangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.

TETANUS

Penyebab : Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistim urat syaraf dan otot. Penyebab penyakit ini ialah Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Epidemiologi : Toksin tetanospasmin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani, menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena luka, entah karena terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun frosbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteria tetanus. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir. Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang tidak bersih dan steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus dapat menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Sedangkan di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan yang sudah maju tingkat kematian akibat infeksi tetanus dapat ditekan. Selain itu antibodi

dari ibu kepada janin yang berada di dalam kandungan juga dapat mencegah infeksi tersebut. Apa yang menyebabkan infeksi tetanus? Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin. Penularan : Melalui tali pusat karena pertolongan persalinan yang tidak bersih/steril, melalui luka (tertusuk paku, beling) dll.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN

Sasaran. Imunisasi ini kepada bayi berumur di atas 3 bulan, anak usia 1-4 tahun serta ibu yang sedang hamil.

Jenis antigen

Difteri ....>bakteri Corynebacterium Diphteriae Pertussis .....> bakteri Bordetella Pertusis Tetanus .....>bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI

Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.

Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. I

munisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.

IMUNISASI POLIO

Sebelum program imunisasi polio dilaksanakan, polio merupakan penyakit endemis di Indonesia. Beberapa kejadian luar biasa polio terjadi di Biliton (1948), Bandanaire, Balikpapan, Jakarta dan Bandung (1951), Surabaya, Malang, Sidoarjo dan Tuban (1952), Semarang dan Yogyakarta (1954), Palu (1956), Bangka (1958), Bali (1976), Jawa Barat (1978,1980), Jawa Timur dan Kalimantan Tengah (1981) serta Irian Jaya (1982). Dengan pelaksanaan imunisasi polio (1981-2000) yang semakin baik, maka insiden penyakit polio cenderung turun dari tahun ke tahun. Tahun 1995 VPL (virus polio liar, bukan karena virus polio vaksin) ditemukan di 4 propinsi (Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Tahun 1996-2000 tidak ditemukan lagi adanya laporan virus polio liar.

Penemuan vaksin polio pertama pada tahun 1955 dalam bentuk suntikan IPV (Inactived Polio Vaccine) dan kemudian disusul dengan vaksin oral OPV (Oral Polio Vaccine) tahun 1961 dan eIPV (enhanced Inactived Polio Vaccine) yang dikembangkan oleh kelompok RIVM (Belanda). Sejak penemuan vaksin ini, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu antigen yang wajib diberikan dalam imunisasi dasar rutin.

Imunisasi polio yang dilakukan secara rutin di beberapa negara telah menghasilkan penurunan kasus secara drastis, sehingga timbul pikiran untuk menghilangkan polio dari dunia. Adanya faktor-faktor biologik yang mendukung, antara lain manusia merupakan satu-satunya inang bagi virus polio dan adanya vaksin yang dapat diandalkan, menimbulkan gagasan untuk mengebalkan semua manusia dan menghentikan transmisi penyakit.

Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal. Percobaan dimulai dengan memberikan adonan corda spinalis berisi virus pada kera untuk melihat apakah resipen mampu bertahan terhadap paparan virus atau tidak. Penelitian berikutnya berkembang menjadi dua arah yaitu inaktifasi virus dengan menggunakan fenol / formalin atau virus dilemahkan dengan cara melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah IPV dan disusul dengan OPV. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan angka kesakitan akibat virus polio, namun harus dipilih vaksin mana yang lebih baik untuk memberantas penyakitnya. Kriteria vaksin tersebut adalah vaksin harus

antigenik, proporsi vaksin trivalen harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkungan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang menahan virus polio menimbulkan infeksi di SSP, namun juga merangsang secretory IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus vaksin dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulinemia, bahkan dapat bereplikasi terus sampai 684 hari. Masa replikatif untuk virus liar belum diketahui. Secara patogenik, pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah replikasi virus di sel epitel dan mencegah diseminasi dari saluran pencernaan ke SSP. Pengikatan virus polio liar oleh antibodi antipolio akan mencegah infeksi SSP, sehingga tidak terjadi manifestasi klinik polio, termasuk kelumpuhan. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan intestinal yang cukup, sehingga IPV tidak mampu menghentikan transmisi.

Ada dua jenis vaksin polio, vaksin polio oral yang ditemukan Albert Sabin dan vaksin polio yang dinonaktifkan yang dikembangkan Jonas Salk.

VAKSIN POLIO ORAL (OPV) Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk. Pemberian Air Susu Ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang. Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga 6 minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru di imunisasi harus menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi. VAKSIN POLIO YANG TIDAK AKTIF (IPV) Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang

lemah. Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Selain itu dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin B. IPV harus disimpan pada suhu 2 8 0C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam jarak 2 bulan.Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk menggunakan IPV.Sejak tahun 1997 American Academy of Pediatric (AAP) dan Centers For Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat merekomendasikan pemberian IPV untuk vaksinasi rutin pada semua bayi di Amerika Serikat. Sejak itu dilaporkan Kejadian Ikutan Paska Imunsasi Polio sangat menurun. Efek samping. Umumnya tidak ada. Bila anak sedang diare ada kemungkinan vaksin tidak bekerja dengan baik karena ada gangguan penyerapan vaksin oleh usus akibat diare berat. Vaksin akan tetap diberikan kemudian dicoba mengulangi lagi 4 minggu setelah pemberian polio.Kontra indikasi. Pada individu yang menderita Immune deficiency, tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian OPV pada anak yang sedang sakit. Sedangkan bagi individu yang terinfeksi oleh HIV baik yang tanpa gejala maupun dengan gejala, imunisasi OPV harus berdasarkan standar jadwal tertentu.

Keadaan yang tidak boleh divaksinasi OPV, antara lain: Penyakit akut atau demam (suhu lebih dari 38,5oC) Muntah atau diare Sedang menerima pengobatan kortikosteroid (imunosupresan) dan pengobatan radiasi umum (termasuk kontak penerima) Penyakit kanker atau keganasan (termasuk kontak penerima) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (seperti limpoma, leukimia, penyakit hodgkin) dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu misalnya hipogamaglobulinemia Penderita infeksi HIV atau AIDS (termasuk kontak penerima) Menurut Advisory Commitees on Immunization Practices (ACIP) dan Commitees on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatric (AAP)

TUJUAN Pemberian vaksin Polio bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap virus polio dan mencegah penularannya. Oleh sebab itu dilaksanakanlah Program Eradikasi Polio Global, dengan maksud untuk menurunkan angka kejadian polio liar di seluruh belahan dunia.

KEBIJAKAN Pada tahun 1980, Indonesia mulai menyelenggarakan kegiatan imunisasi polio terhadap anak sebelum berusia satu tahun dengan 2 tetes vaksin sebanyak 3 kali pemberian. Universal Child Immunization (UCI) di Indonesia, dengan cakupan 80% di setiap kabupaten/kota, tercapai pada tahun 1990 dan masih dipertahankan sampai sekarang.

STRATEGI Strategi satu dengan strategi yang lain merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Gagalnya salah satu strategi akan berdampak pada gagalnya upaya eradikasi polio keseluruhannya.

Imunisasi Rutin

Adalah pemberian imunisasi polio (OPV) pada bayi sebayak 4 kali pemberian dengan 2 tetes vaksin Shabin setiap pemberiannya, sebelum bayi berusia satu tahun. Imunisasi rutin pasca PIN diharapkan dapat terus dipertahankan tinggi dan merata sampai tingkat desa (UCI desa). Secara periodik 3 bulanan, petugas imunisasi Puskesmas melakukan identifikasi desa dengan cakupan imunisasi rendah (<80%) Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio memiliki sedikit gejala dan jika ada, biasanya hanya berjangka pendek, termasuk sakit kepala, kelelahan, demam, kaku leher, dan nyeri otot punggung. Jika sistem saraf telah terserang, dapat terjadi kelumpuhan permanen, biasanya pada tungkai dan pada sedikit kasus melibatkan otot-otot pernapasan, yang membutuhkan saluran pernapasan buatan. Jika tak tertolong, pasien dapat meninggal dunia. Bila Polio Menyerang Otot

Penularan Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dan berkembang biak di tenggorokan dan usus. Transmisi virus dipermudah oleh sanitasi yang buruk, terutama adanya anak di bawah 2 tahun dan hygiene perorangan yang kurang dalam keluarga. Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (saliva) atau tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia (fekal-oral atau oral-oral) pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa prodromal. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun kemampuan hidup virus ini di lingkungan sangat terbatas.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN

Sasaran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Departemen Kesehatan, mengeluarkan rekomendasi pemberian Polio termasuk imunisasi yang diwajibkan atau masuk Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomandasi WHO adalah diberikan kepada bayi sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang saat anak berusia 1 tahun, 5 tahun dan usia 15 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Dalam keadaan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio, maka dilakukan Mopping Up. Artinya, strategi untuk memberikan ulangan Polio pada semua anak di bawah usia 5 tahun di daerah tersebut meskipun imunisasi sebelumnya telah lengkap. Jenis antigen Penyakit polio disebabkan oleh jenis antigen virus, yaitu virus Polio yang terdiri dari 3 strain yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (Lanzig) dan strain 3 (Leon). Virus Polio ini termasuk genus Enteroviorus, famili Picornavirus. Diantara ke tiga strain tersebut, strain yang ke-3 paling sering menyebabkan wabah.

KONDISI YANG MENJADI HALANGAN IMUNISASI

Pada dasarnya, sedikit sekali kondisi yang menyebabkan imunisasi harus ditunda. Pilek, batuk, suhu sedikit meningkat, bukan halangan untuk imunisasi.

Kondisi dimana imunisasi tidak dapat diberikan

Sakit berat dan akut; demam tinggi;

Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;

Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin hidup (polio oral, MMR,BCG, cacar air).

Alergi terhadap telur, hindari imunisasi influenza

Beberapa kondisi di bawah ini bukan halangan untuk imunisasi

Gangguan saluran napas atas atau gangguan saluran cerna ringan

Riwayat efek samping imunisasi dalam keluarga.

Riwayat kejang dalam keluarga.

Riwayat kejang demam

Riwayat penyakit infeksi terdahulu

Kontak dengan penderita suatu penyakit infeksi

Kelainan saraf menetap seperti palsi serebral, sindrom Down

Eksim dan kelainan lokal di kulit

Penyakit kronis (jantung, paru, penyakit metabolik)

Terapi antibiotika; terapi steroid topikal (terapi lokal, kulit, mata)

Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir

Berat lahir rendah

Ibu si anak sedang hamil

Usia anak melebihi usia rekomendasi imunisasi

JADWAL IMUNISASI PROGRAM & NON PROGRAM

Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004

(Revisi September 2003)

Vaksin Umur pemberian Imunisasi

Bulan Tahun

Lhr 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12

Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)

BCG

Hepatitis B 1 2

Polio 0

DTP

6 dT atau TT

Campak

Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (Non PPI, dianjurkan)

Hib

MMR

Tifoid

Ulangan, tiap 3 tahun

Hepatitis A

Diberikan 2x, interval 6 - 12bl

Varisela

www.sehatgroup.web.id

Keterangan Jadwal Imunisasi IDAI, Periode 2004

Umur Vaksin

Keterangan

Saat lahir Hepatitis B-1

Polio-0 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

1 bulan Hepatitis B-2 Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

0-2 bulan BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2 bulan

DTP-1

Hib-1

Polio-1 DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)

Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.

Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1

4 bulan DTP-2 Hib-2 Polio-2 DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T)

Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2

Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2

6 bulan DTP-3 Hib-3

Polio-3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T)

Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.

Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3

6 bulan Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

9 bulan Campak-1 Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan

15-18 bulan MMR

Hib-4 Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bln

Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).

18 bulan

DTP-4 Polio-4 DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.

Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-5

2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.

2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.

5 tahun DTP-5 Polio-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)

Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5

6 tahun MMR Diberikan untuk catch-up imunization pada anak yang belum mendapat MMR-1

10 tahun dT/TT

Varisela Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.

Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

Diposkan oleh EKA RAHAYU PURWANTO di 15:56 0 komentar Reaksi:

GIZI BALITA MEMPRIHATINKAN SEJAK PERJALANAN TUMBUH KEMBANGNYA

Gizi memiliki peranan yang tidak diragukan lagi pada tumbuh kembang anak terutama dalam kaitannya dengan lingkungan anak sejak dalam kandungan hingga remaja. Pola makan dan kualitas makanan anak di negara-negara tropik merupakan tantangan yang sangat perlu dikaji lebih mendalam untuk menjawab masalah gizi pada tumbuh kembang anak di Indonesia.

Sejak lama telah diketahui bahwa gizi sangat penting peranannya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak sejak konsepsi dalam rahim dan berakhir pada masa pubertas. Dalam tumbuh kembang anak terdapat tahapan yang perlu diperhatikan pada periode kritis:

Tahap Prenatal (dalam rahim)

Merupakan bagian dari suatu proses perkembangan genetik yang dimodifikasi oleh variable ibu (maternal), apabila ibu hamil mendapatkan makanan yang cukup, maka bayi yang dikandungnya akan lahir normal. Pada ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

Tahap Postnatal (pasca lahir)

Dimana bayi dalam proses tumbuh kembang hingga dewasa dipengaruhi oleh lingkungan hidup keluarganya, sosial, ekonomi dan faktor lingkungan lainnya.

Gizi yang tepat merupakan promosi utama untuk pertumbuhan dan perkembangan normal pada anak waktu tahap-tahap di atas. Anak membutuhkan:

Makro Nutrien (protein, lemak, karbohidrat dan cairan)

Mikro Nutrien (vitamin dan mineral)

Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu, manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin tersebut akan mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya. Sejarah klasik tentang dampak kurang gizi selama kehamilan terhadap outcome kehamilan telah didokumentasikan oleh (Stein & Susser 1975). Masa paceklik di Belanda "The Dutch Fainine" yang berlangsung pada tahun 1944-1945, telah membawa dampak yang cukup serius terhadap outcome kehamilan. Fenomena the Dutch Famine menunjukkan bahwa bayi-bayi yang masa kandungannya (terutama trimester 2 dan 3) jatuh pada saat-saat paceklik mempunyai rata-rata berat badan, panjang

badan, lingkar kepala, dan berat placenta yang lebih rendah dibandingkan bayi-bayi yang masa kandungannya tidak terpapar masa paceklik dan hal ini terjadi karena adanya penurunan asupan kalori, protein dan zat gizi essensial lainnya.

Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan konsentrasi protein pengikat nutrisi dalam sirkulasi darah, begitu juga dengan penurunan nutrisi mikro. Pada kebanyakan negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh kekurangan nutrisi dalam kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi mikro seperti anemia yang dapat berakibat fatal pada ibu hamil dan bayi baru lahir (Parra, B. E., L. M. Manjarres, et al. 2005). Pada kekurangan asupan mineral seng (zinc) dalam kehamilan misalnya, dapat berakibat gangguan signifikan pertumbuhan tulang. Pemberian asam folat tidak saja berguna untuk perkembangan otak sejak janin berwujud embrio, tetapi menjadi kunci penting pertumbuhan fungsi otak yang sehat selama kehamilan (Christiansen, M. and E. Garne 2005). Kasus-kasus gangguan penutupan jaringan saraf tulang belakang (spina bifida) dan kondisi dimana otak janin tidak dapat terbentuk normal (anencephaly) dapat dikurangi hingga 50% dan 85% jika ibu hamil mendapat asupan cukup asam folat sebelum dia hamil. Ibu hamil harus mendapatkan asupan vitamin yang cukup sebelum terjadinya kehamilan karena pembentukan otak janin dimulai pada minggu-mingu pertama kehamilan, justru pada saat Sang ibu belum menyadari dirinya telah hamil (Obeid, R. and W. Herrmann 2005)( Wen, S. W. and M. Walker 2005). Pada kasus-kasus dimana janin mengalami defisiensi asam folat, sel-sel jaringan utama (stem cells) akan cenderung membelah lebih lambat daripada pada janin yang dikandung ibu hamil dengan asupan asam folat yang cukup. Sehingga stem cells yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan otak juga berkurang. Selain itu, sel-sel yang mati juga akan bertambah, jauh lebih besar daripada yang seharusnya (Santoso, M. I. and M. S. Rohman (2005). Meski dalam jumlah terminimum sekalipun, keterbatasan nutrisi kehamilan (maternal) pada saat terjadinya proses pembuahan janin dapat berakibat pada kelahiran prematur dan efek negatif jangka panjang pada kesehatan janin. Sekitar 40 % wanita yang melahirkan prematur disebabkan oleh faktor yang tak diketahui (idiopatik). Penelitian pada hewan uji kemudian membuktikan adanya korelasi antara kelahiran prematur dengan kekurangan nutrisi sebelum kehamilan dimulai. Pada kehamilan normal, janin sendiri yang akan menentukan kapan dirinya akan memulai proses kelahiran. Pada hewan uji, telah diketahui kalau proses ini dimulai dari aktivasi kelenjar adrenal untuk memproduksi akumulasi mendadak cortisol di dalam darah. Akibatnya, terjadilah proses berantai yang berujung pada proses kelahiran, dan hal yang sama pula dianggap terjadi pada manusia. (Challis, J. R., S. J. Lye, et al. 2001).

Problemnya adalah jika kehamilan terjadi prematur. Pada kasus ini paru-paru dan organ-organ penting hanya memiliki kemampuan minimum untuk berkembang dalam rahim guna mempersiapkan kehidupan di luar rahim nantinya. Para peneliti mempercayai bahwa cortisol dari kelenjar adrenal juga memacu pematangan dari sistem organ tubuh janin seperti paru-paru, dimana penting bagi bayi agar dapat langsung bernafas dengan mengembangkan paru-parunya seketika lahir. Jika tidak terdapat cukup cortisol untuk mematangkan paru-paru di dalam rahim, bayi yang lahir akan mengalami sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome) dan berlanjut pada keadaan asfiksia (lemas) dan kemudian meninggal. Ini adalah momok menakutkan dari kelahiran premature (Challis, J. R., S. J. Lye, et al. 2001).

Penelitian pada hewan uji juga membutikan bahwa sekalipun keadaan nutrisi yang buruk dalam kehamilan diperbaiki dan kemungkinan dapat kembali ke keadaan normal, janin-janin dalam kasus di atas ternyata telah mengalami proses percepatan pematangan kelenjar adrenalnya yang memacu kelahiran prematur dalam waktu rata-rata 1 minggu. Wanita hamil harus berpikir untuk mendapatkan diet dan asupan makanan yang adekuat sebelum mereka tahu dirinya hamil, karena nutrisi yang cukup setelah kehamilan terjadi tidak dapat mengkompensasikan ketidakcukupan asupan nutrisi sebelum kehamilan. Meski dalam jumlah sekecil apapun kekurangan nutrisinya. Karena itu jika seorang wanita merencanakan untuk hamil, maka dia harus dalam kecukupan nutrisi sebelum memulai kehamilan, karena jika tidak, bayi yang akan dilahirkan kemungkinan besar akan lahir prematur.

Dalam dunia medis istilah Pertumbuhan Janin Terhambat/PJT (intrauterine growth restriction) diartikan sebagai suatu kondisi dimana janin berukuran lebih kecil dari standar ukuran biometri normal pada usia kehamilan. Kadang pula istilah PJT sering diartikan sebagai Kecil untuk Masa Kehamilan/KMK (small for gestational age). Umumnya janin dengan PJT memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama. Janin dengan PJT pada umumnya akan lahir prematur (<37>37 minggu) (Gardosi, J. O. 2005).

Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT biasanya tampak kurus, pucat, dan berkulit keriput. Tali pusat umumnya tampak rapuh dam layu dibanding pada bayi normal yang tampak tebal dan kuat. PJT muncul sebagai akibat dari berhentinya pertumbuhan jaringan atau sel. Hal ini terjadi saat janin tidak mendapatkan nutrisi dan oksigenasi yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhan organ dan jaringan, atau karena infeksi. Meski pada sejumlah janin, ukuran kecil untuk masa kehamilan bisa diakibatkan karena faktor genetik (kedua orangtua kecil), kebanyakan kasus PJT atau KMK dikarenakan karena faktor-faktor lain. Beberapa diantaranya sbb:

Faktor ibu: Tekanan darah tinggi, Penyakit ginjal, Kencing manis stadium lanjut, Penyakit jantung dan pernapasan, Malnutrisi, Anemia, Infeksi, Penyalahgunaan obat narkotika dan alkohol dan Perokok Faktor sirkulasi uteroplasenta: Penurunan aliran darah dari rahim dan plasenta, Abrupsio plasenta (plasenta lepas dari lokasi implantasi di rahim sebelum waktunya), Plasenta previa (plasenta berimplantasi di segmen bawah rahim) dan, Infeksi di sekitar jaringan janin Faktor janin: Janin kembar, Infeksi, Cacat janin dan, Kelainan kromosom

PJT dapat terjadi kapanpun dalam kehamilan. PJT yang muncul sangat dini sering berhubungan dengan kelainan kromosom dan penyakit ibu. Sementara, PJT yang muncul terlambat (>32 minggu) biasanya berhubungan dengan problem lain. Pada kasus PJT, pertumbuhan seluruh tubuh dan organ janin menjadi terbatas. Ketika aliran darah ke plasenta tidak cukup, janin akan menerima hanya sejumlah kecil oksigen, ini dapat berakibat denyut jantung janin menjadi abnormal, dan janin berisiko tinggi mengalami kematian. Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT akan mengalami keadaan berikut : Penurunan level oksigenasi Nilai APGAR rendah Aspirasi mekonium (tertelannya faeces/tinja bayi pertama di dalam kandungan) yang dapat berakibat sindrom gawat napas Hipoglikemi (kadar gula rendah) Kesulitan mempertahankan suhu tubuh janin Polisitemia (kebanyakan sel darah merah)

Pada kasus-kasus PJT yang sangat parah dapat berakibat janin lahir mati (stillbirth) atau jika bertahan hidup dapat memiliki efek buruk jangka panjang dalam masa kanak-kanak nantinya. Kasus-kasus PJT dapat muncul, sekalipun Sang ibu dalam kondisi sehat, meskipun, faktor-faktor kekurangan nutrisi dan perokok adalah yang paling sering. Menghindari cara hidup berisiko tinggi, makan makanan bergizi, dan lakukan kontrol kehamilan (prenatal care) secara teratur dapat menekan risiko munculnya PJT (Gardosi, J. O. 2005). Perkiraan saat ini mengindikasikan bahwa sekitar 65% wanita pada negara sedang berkembang paling sedikit memiliki kontrol 1 kali selama kehamilan pada dokter, bidan, atau perawat. Angkanya tinggi pada negara Amerika Latin dan Karibia (83%) sementara rendah pada negara Asia Selatan (51%) (Piaggio, G., H. Ba'aqeel, et al. 1998).

Untuk menghindari masalah yang serius karena kekurangan gizi maka hal-hal yang perlu dilakukan antara lain:

Tahap Prenatal

Perlu tambahan nutrisi dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi para ibu hamil dengan cara menerapkan pola makan yang baik, mengkonsumsi makanan dan buah-buahan yang bergizi serta meminum susu khusus ibu hamil yang memiliki kandungan gizi yang baik.

Tahap Postnatal

Perlu makanan pendamping ASI (MPASI) yang bermutu dan bergizi tinggi setelah bayi diberikan ASI Ekslusif selama 6 bulan.

Selain itu, adanya krisis energi berakibat menurunnya daya beli masyarakat terutama kelompok dibawah garis kemiskinan akan memicu masalah yang lebih besar pada masa depan bangsa. Ibu hamil serta janinya rentan terhadap dampak krisis energi yang sedang terjadi. Asupan nutrisi saat ibu hamil akan sangat berpengaruh pada outcome kehamilan tersebut.

Usaha untuk mencegah gizi buruk tidak harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40% (1976) menjadi 11% (1996). Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi perhatian pada golongan yang beresiko kekurangan asupan zat gizi akan membantu mengurai peliknya masalah kemiskinan. Dan diharapkan program perbaikan gizi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. Diposkan oleh EKA RAHAYU PURWANTO di 15:39 0 komentar Reaksi:

Malnutrisi di Indonesia UPAYA PENANGGULANGAN MALNUTRISI DI PEDESAAN

Malnutrisi adalah istilah umum untuk suatu kondisi medis yang disebabkan oleh pemberian atau cara makan yang tidak tepat atau tidak mencukupi. Istilah ini seringkali lebih dikaitkan dengan keadaan undernutrition (gizi kurang) yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang kurang, penyerapan yang buruk, atau kehilangan zat gizi secara berlebihan. Namun demikian, sebenarnya istilah tersebut juga dapat mencakup keadaan overnutrition (gizi berlebih). Seseorang akan mengalami malnutrisi bila jumlah, jenis, atau kualitas yang memadai dari zat gizi yang mencakup diet yang sehat tidak dikonsumsi untuk jangka waktu tertentu yang cukup lama. Keadaan yang berlangsung lebih lama lagi dapat menyebabkan terjadinya kelaparan. Manutrisi akibat asupan zat gizi yang kurang untuk menjaga fungsi tubuh yang sehat seringkali dikaitkan dengan kemiskinan, terutama pada negara-negara berkembang. Sebaliknya, malnutrisi akibat pola makan yang berlebih atau asupan gizi yang tidak seimbang lebih sering diamati pada negara-negara maju, misalnya dikaitkan dengan angka obesitas yang meningkat. Obesitas adalah suatu keadaan di mana cadangan energi yang disimpan pada jaringan lemak sangat meningkat hingga ke mencapai tingkatan tertentu, yang terkait erat dengan gangguan kondisi kesehatan tertentu atau meningkatnya angka kematian. Ketika berbicara mengenai gizi kurang (undernutrition), perhatian terbesar akan ditujukan pada anak, terutama balita. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, asupan kurang yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, akan memberikan dampak terhadap proses tumbuh kembang anak dengan segala akibatnya di kemudian hari. Tidak hanya pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan mentalnya. Satu hal yang akan berdampak pada produktivitas suatu bangsa. Masalah malnutrisi masih ditemukan pada banyak tempat di Indonesia, dan ironisnya Indonesia mengalami kedua ekstrim permasalahan malnutrisi. Di satu sisi, daerah yang mengalami rawan pangan dan kelompok dengan kemampuan ekonomi yang kurang memadai amat rentan terhadap terjadinya malnutrisi dalam bentuk gizi kurang. Organisasi pangan dunia (FAO) mencatat pada kurun waktu 20012003 di Indonesia terdapat sekitar 13,8 juta penduduk yang kekurangan gizi. Sementara berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 % dari jumlah anak Indonesia. Di sisi lain, di beberapa tempat seperti daerah perkotaan dan pada kelompok ekonomi berkecukupan, obesitas menjadi bagian dari masalah kesehatan. Sekalipun belum ada data resmi yang diungkapkan pemerintah, beragam penelitian menunjukkan angka obesitas yang cukup mencengangkan. Satu di antaranya menyebutkan hingga 4,7% atau sekitar 9,8 juta penduduk Indonesia mengalami obesitas,

belum termasuk 76,7 juta penduduk (17,5%) yang mengalami kelebihan berat badan atau berpeluang mengalami obesitas. Lebih menyedihkan lagi, angka obesitas pada anak juga cukup tinggi. Sekalipun keadaan undernutrisi sering disebabkan oleh keadaan kekurangan pangan baik karena masalah produksi atau masalah distribusi patut dijadikan catatan bahwa tidak jarang undernutrisi, khususnya pada anak, juga terjadi karena kesalahan pola pemberian makanan ataupun jenis makanan yang diberikan. Akibatnya anak tidak mendapatkan asupan yang memadai bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya. Hal yang serupa juga terjadi pada masalah overnutrisi di mana, asupan yang didapatkan tidak semata-mata dalam jumlah yang banyak saja tetapi juga memiliki kandungan gizi yang nilai kalorinya terlalu tinggi. Sepintas, dapat diamati bahwa kedua permasalahan ini mungkin berpangkal pada pengetahuan yang kurang memadai tentang gizi di masyarakat. Oleh karenanya, edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi yang tepat tentang pemenuhan gizi akan menjadi langkah yang baik dalam mencegah terjadinya undernutrisi maupun overnutrisi.

1. Konsep Malnutrisi

a. Definisi Malnutrisi Malnutrisi (mal: salah, nutrisi: gizi) Merupakan istilah umum dari kelainan-kelainan yang disebabkan karena gangguan gizi. Dapat berupa suatu kekurangan ataupun kelebihan dari salah satu nutrient (bahan makanan).

b. Pengelompokan Malnutrisi 1) Malnutrisi jenis bahan yang kurang Kelompok KEP yaitu kurang energi protein Ada 3 jenis: kwasiorkor, marasmik, marasmik kwashiorkor 2) Kelompok kekurangan vitamin/mineral a) Anemi kekurangan zat besi b) Defisiensi vitamin A c) Penyakit gondok endemic d) Penyakit defisiensi lainnya seperti beri-beri, pellagra, scurvy, rickets

3) Menurut derajat tingkatan keadaan gizi a) Gizi lebih b) Gizi baik c) Gizi kurang d) Gizi buruk 4) Menurut sebab terjadinya malnutrisi a) Primary malnutrition Terjadi karena makanan yg dimakan (intake) tidak cukup / berlebihan b) Secondary malnutrition Terjadi meskipun makanan yg dimakan sudah cukup untuk kebutuhannya karena sebab lain, misal karena kebutuhan meningkat, gangguan absorbsi

2. Terdapat 3 Jebakan kondisi Masyarakat di Pedesaan

a. Adat dan Budaya yang masih kuat Budaya yang turun temurun masih menjadi kiblat atau panutan bagi masyarakatnya seperti: memberi makan bayi yang masih baru lahir (di lothek). Atau anak-anak tidak boleh makan daging karena bisa menyebabkan kecacingan. (pantang terhadap makanan tertentu). Perbedaan gender : seperti laki-laki sebagai tulang punggung keluarga / kepala keluarga. Sedangkan perempuan : mengurus anak di rumah. Dampak : kebutuhan nutrisi diutamakan untuk ayah yang bekerja setelah itu baru anak-anak kemudian yang terakhir baru ibu. Sehingga anak-anak dan perempuan rentan terhadap kekurangan pangan

b. Sosial Ekonomi Umumnya bekerja sesuai kondisi tempat tinggal seperti: petani, nelayan. Dampak : pada musim kemarau terjadi kekeringan sehingga tidak ada air, tidak bisa bercocok tanam sehingga kesulitan pangan. Pada musim penghujan timbul banjir sehingga banyak sawah terendam dan gagal panen serta kesulitan pangan Keadaan keuangan yang kurang mencukupi untuk satu keluarga sehingga anggota keluarga tidak cukup mendapatkan jatah makanan.

c. Geografis Kondisi alam di pegunungan, laut, pulau terpencil sehingga jauh dari fasilitas kesehatan, jauh dari perkotaan. Dampak: terjadi kesulitan dalam transportasi pengiriman bantuan serta kekurangan pengetahuan tentang nilai gizi / nutrisi untuk anak sehingga mudah terkena malnutrisi.

3. Penyebab Malnutrisi

Penyebab langsung : 1) Kekurangan konsumsi zat gizi protein / kalori secara kualitatif / kuantitatif. 2) Proses infeksi, baik infeksi saluran pencernaan, pernapasan atau penyakit-penyakit lain yang terjadi pada anak.

Penyebab tidak langsung: 1) Pemberian ASI (Air Susu Ibu) dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) atau Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang terlambat. 2) Cara memperkenalkan makanan bayi yang salah pada tahun pertama kehidupan balita, sehingga anak tidak mau makan dan akhirnya terjadi malnutrisi.

3) Pemberian makanan terlalu dini, sehingga menyebabkan anak marasmus/kurang kalori. Hal ini disebabkan antara lain: usia penyapihan terlalu dini, kurang dari 2 tahun, susu buatan yang overdilusi (kelebihan proporsi air daripada susunya) serta kurangnya perawatan terhadap botol susu/sterilisasi kurang. 4) Masalah gizi musiman (seasonal variation), artinya pada musim paceklik, banyak balita kurang makan dan kurang kalori. Akan tetapi pada musim panen, masalah kurang makan ini hilang. 5) Kelaparan, khususnya akibat panen yang gagal. 6) Kemiskinan, khususnya pada daerah-daerah yang kebutuhan keluarganya sangat tergantung dari pendapatan pekerjaan yang mereka tekuni.

4. Tanda-tanda anak marasmus (kurang kalori) :

1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, dan pantat keriput. 2) Wajah seperti orang tua (monkey face). 3) Kulit keriput, kering, jaringan lemak sub kutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada. 4) Rambut tipis, kemerahan, dan mudah dicabut. 5) Anak cengeng dan rewel. 6) Sering disertai diare kronik atau konstipasi serta penyakit kronik. 7) Tekanan darah, denyut jantung dan pernapasan berkurang.

5. Tanda-tanda anak kwashiorkor (kurang protein) :

1) Bengkak (oedema) hampir di seluruh tubuh, terutama punggung dan kaki (dorsum pedis). 2) Wajah bulat dan sembab (moon face). 3) Mata kuyu dan sayu. 4) Rambut tipis, jarang, dan mudah dicabut. 5) Terdapat bercak merah-hitam pada kulit, kadang terkelupas (crazy pavement dermatosis).

6) Cengeng, rewel, dan apatis. 7) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak berbaring terus menerus. 8) Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia). 9) Pembesaran hati. 10) Sering disertai infeksi, anemi, dan diare.

6. Tanda-tanda anak marasmus-kwashiorkor

Tanda-tanda marasmic-kwashiorkor adalah gabungan dari tanda-tanda yang ada pada marasmus dan kwashiorkor yang ada.(Depkes RI, 1999).

7. Indeks Pengukuran

Indeks BB/U dengan standar Harvard dan klasifikasi Gomez, sebagai berikut: 1) Normal : 90% 2) Ringan : 75 - < style="color: rgb(0, 204, 204);">

8. Proses Terjadinya Malnutrisi GIZI buruk adalah

Kondisi tubuh yang tampak sangat kurus karena makanan yang dimakan setiap hari tidak dapat memenuhi zat gizi yang dibutuhkan, terutama kalori dan protein. Tanda awal gizi buruk: berat badan anak, letak titiknya dalam KMS, jauh berada di bawah garis merah (BGM). Bila hal ini tidak segera ditangani maka akan terjadi KEP. Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah.

9. Hubungan KEP dengan Tingkat Imunitas KEP

Dapat terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terhimpit kemiskinan. Anak menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi lingkungan yang buruk dan pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Hal itu dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status ekonomi. Anak orang yang berkecukupan pun bila tidak diperhatikan keseimbangan gizinya dapat terkena gizi buruk yang akhirnya bisa menjadi KEP. Setiap individu tidak akan memiliki metabolisme yang normal apabila kebutuhan kalori (energi) nya tidak terpenuhi. Sumber energi manusia adalah zat-zat gizi sumber energi seperti hidrat arang, lemak, dan protein. Kekurangan protein juga akan menurunkan imunitas terhadap penyakit infeksi. Sumber protein utama dari makanan adalah daging, ikan, telur, tahu, tempe, susu, dan lain-lain (umumnya lauk-pauk). Karena sistem imunitas tubuh itu sangat bergantung pada tersedianya protein yang cukup maka anak-anak yang mengalami kurang protein mudah terserang infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan, TBC, polio, dan lain-lain. Penyakit yang berhubungan dengan KEP antara lain Defisiensi vitamin A/ Avitaminosis A Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) dan hapusan darah, serta penyakit karena Defisiensi vitamin B2 riboflavin.

10. Angka-angka Prevalensi KEP Prevalensi KEP

Sulit ditentukan di masyarakat, sehingga jarang didapat jumlah yang akurat penderita KEP. Hal ini disebabkan karena identifikasi KEP berdasarkan antropometri (mengukur gangguan pertumbuhan fisik dan perubahan proporsi protein dan lemak) yang mana pemeriksaannya kurang spesifik. Contoh: BB/U rendah bukan saja karena kurang makan, tetapi bisa karena penyakit. Bengkak bukan saja berarti kwashiorkor. Dari contoh tersebut, sehingga muncul istilah false (+), misalnya BB/U seseorang berdasarkan standar Amerika masuk kategori status gizi buruk, padahal di Indonesia (yang berbeda ras) masuk kategori status gizi kurang/sedang. False (-), misalnya jika seseorang dikatakan sehat padahal orang tersebut sakit. KEP kebanyakan terjadi pada Negara miskin, meskipun pada Negara berkembang dan Negara majupun KEP juga ada. KEP banyak terjadi jika morbidity (angka kesakitan) dan mortility (angka kematian) tinggi. Distribusi KEP banyak didaerah-daerah rawan pangan, terpencil, juga daerahdaerah urban (perkotaan) terutama daerah slump areas (daerah kumuh). Pada tahun 2000, sekira 30% atau 7 juta anak balita masih menderita KEP dalam tingkat ringan, sedang, dan berat. Tahun 2005, jumlahnya menurun, sekira 1,67 juta dari 20,87 juta (8%) anak usia 0-4 menderita KEP. Angka prevalensi tersebut jauh di atas negara anggota ASEAN lainnya. Anak yang menderita KEP umumnya badannya

lebih pendek (stunted), sebagian lagi kurus. Data statistik menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia setiap minggu hanya makan 1 butir telur, 1/2 potong daging, dan 1/2 gelas susu. Ini tak lain karena kemiskinan yang sudah di tengkuk, sehingga mereka tidak mampu mengakses pangan hewani yang memang relatif mahal harganya. Susu misalnya, masih dianggap barang luks yang harganya mahal. Saat ini harga susu sekitar Rp 1.800 per liter. Di tengah impitan kehidupan yang makin sulit, bisa dimaklumi jika masyarakat lebih mementingkan membeli dan mengonsumsi pangan karbohidrat daripada pangan sumber protein/mineral. Bagi warga miskin, yang penting perut seluruh anggota keluarga bisa kenyang, sementara kualitas gizi urusan belakangan.

11. Dampak KEP

a. Pada usia < 2 merusak sel-sel otak sehingga jumlah sel tidak tumbuh secara optimal. Dan hal ini tidak bisa dikoreksi dengan terapi gizi. b. Pada usia > 2 tahun : jumlah sel-sel otak sudah terbentuk, terjadi pengurusan/atropi sel-sel otak. Dan bisa diperbaiki dengan terapi gizi. Tapi sulit sekali disembuhkan.

12. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Pencegahan Malnutrisi antara lain: mempertahankan status gizi anak seoptimal mungkin, menurunkan resiko timbulnya penyakit infeksi dan memperbaiki diit anak malnutrisi, meminimalkan akibat penyakit infeksi pada anak, merehabilitasi anak-anak yang menderita KEP fase dini (malnutrisi ringan). Operasional dari kebijaksanaan pencegahan Malnutrisi tersebut antara lain: Program promosi ASI Program peningkatan kualitas makanan dengan bahan-bahan lokal. Ibu hamil dan ibu menyusui diharapkan untuk meningkatkan kebutuhan zat-zat gizinya antara lain dengan : pemberian tablet besi, pemberian dan perbaikan makanan ibu hamil, program peningkatan makanan keluarga, misalnya: penyuluhan tentang proses pemasakan daging yang direbus tidak terlalu lama, sebab akan menurunkan lemak serta vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K). Program imunisasi, perbaikan sanitasi lingkungan. Deteksi dini dan pengobatan semua penyakit infeksi serta program oral dan internal pada dehidrasi karena diare.

Meningkatkan hasil produksi pertanian Penyediaan makanan formula yg mengandung tinggi protein dan tinggi energi utk anak-anak yg disapih Memperbaiki infrastruktur pemasaran Subsidi harga bahan makanan Pemberian makanan suplementer Pendidikan gizi Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan

Penanggulangan Malnutrisi antara lain: Ibu memberikan aneka ragam makanan dalam porsi kecil dan sering kepada anak sesuai kebutuhan dan petunjuk cara pemberian makanan dari rumah sakit/dokter/puskesmas. Bila balita dirawat, perhatikan makanan yang diberikan lalu, teruskan di rumah. Berikan hanya ASI, bila bayi berumur kurang dari 4 bulan. Usahakan disapih setelah berumur 2 tahun Berikan makanan pendamping ASI (bubur, buah-buahan, biskuit, dsb.) bagi bayi di atas 4 bulan dan berikan bertahap sesuai umur. Pengobatan awal (terutama: untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa) Pengobatan/pencegahan thd hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, dan pemulihan ketidakseimbangan elektrolit Pencegahan (jika ada) ancaman atau perkembangan renjatan septik Pengobatan infeksi Pemberian makanan Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti kekurangan vitamin, anemia berat, dan payah jantung Rehabilitasi (terutama: untuk memulihkan keadaan gizi) Diposkan oleh EKA RAHAYU PURWANTO di 15:02 0 komentar Reaksi:

MASALAH BBLR DI INDONESIA Secara global dikemukakan bahwa selama tahun 2000, terdapat 4 juta kematian neonatus (3 juta kematian neonatal dini dan 1 juta kematian neonatal lanjut). Hampir 99% kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Kematian tertinggi di Afrika (88 per seribu kelahiran), sedangkan di Asia angka kematian perinatal mendekati 66 bayi dari 1000 kelahiran hidup. Bayi Kurang Bulan dan Berat Lahir Rendah adalah satu dari tiga penyakit utama kematian neonatus tersebut.1

BBLR telah didefinisikan oleh WHO sebagai bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. Definisi ini didasarkan pada hasil observasi epidemiologi yang membuktikan bahwa bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram mempunyai kontribusi terhadap outcome kesehatan yang buruk. Menurunkan insiden BBLR hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama A World Fit for Children hingga tahun 2010 sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nations General Assembly Special Session on Children in 2002. 2

Lebih dari 20 juta bayi diseluruh dunia (15,5%) dari seluruh kelahiran, merupakan BBLR, 95,6% diantaranya merupakan bayi yang dilahirkan di negara-negara sedang berkembang.2 Menurut Ibrahim (1997) insidensi BBLR di Asia adalah 22%.

Di Indonesia, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal. Artinya setiap 6 menit ada 1 (satu) neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29%. Insidensi BBLR di Rumah Sakit di Indonesia berkisar 20%. Di pusat rujukan regional Jawa Barat setiap tahunnya antara 20 25% kelahiran BBLR, sedangkan di daerah pedesaan / rural 10,5%. Di daerah rural sebagian besar BBLR meninggal dalam masa neonatal. Sementara di level II di tingkat kabupaten di Jawa Barat sebagian besar Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan berat lahir <>3

Di Propinsi Jawa Timur, BBLR masih menjadi penyebab kematian neonatal tertinggi pada tahun 2001 sebesar 36,23% dan 2002 sebesar 34,72%. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 dari 232 kasus kematian neonatal sebesar 78,88% merupakan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan pada tahun 2003, 62,87% dari 307 kasus kematian neonatal merupakan BBLR, dengan infeksi sebagai penyebab kematian BBLR tertinggi sebesar 25,68% di tahun 2002 dan 37,31% di tahun 2003 disusul

asfiksia, prematuritas, gangguan napas dan kelainan kongenital. Risiko kematian BBLR 10x lipat dibanding bayi normal. Resiko akan semakin bertambah jika bayi semakin kecil dan immatur

Di negara maju mortalitas dan morbiditas neonatus menurun sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap ibu hamil dan pemanfaatan pelayanan intensif neonatus dengan risiko. Perawatan semacam ini dikenal dengan Perawatan tingkat 3 ( Level III) dimana pelayanan neonatus dilakukan secara komprehensif baik perawatan medik maupun bedah. Pelayanan tersebut meliputi perawatan bayi berisiko khususnya Bayi Kurang Bulan (BKB) baik dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) biasa, Bayi Berat Lahir Amat Rendah (Very Low Birth Weight-VLBW) ataupun Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (Extremely LBW). Perawatan level III ini mencakup pula pelayanan dengan berbagai tindakan medik, bedah serta pelayanan subspesialistik sehingga perawatan neonatus dapat dilakukan secara komprehensif.

Pada BKB dan BBLR perawatan level III dilakukan pada semua bayi dengan berat lahir 1500 gram, masa gestasi <>5 Bayi-bayi ini masih merupakan masalah tersendiri dan belum dapat terpecahkan. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mortalitas yang tinggi tetapi juga karena morbiditas yang beragam.

Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran saat ini banyak membantu menurunkan angka kematian bayi berat lahir 1200 1500 gram sampai mencapai 5%. Demikian pula angka kematian dengan berat lahir > 700 gram yang tadinya berkisar antara 50 90% saat ini menurun menjadi 10 50%. Bila ditinjau dari umur kehamilan, bayi dengan masa gestasi 32 34 minggu ke atas mempunyai angka kematian yang tidak banyak berbeda dengan bayi cukup bulan. Angka kematian yang masih tetap tinggi adalah angka kematian pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. (York J, Devoe M. Health Issues in Survivors of Prematurity. South Med J 95 (9) : 969-876,2002). Dalam tabel 1 terlihat secara rinci mortalitas BKB dan BBLR yang dilaporkan York (2002) berdasarkan usia kehamilan dan berat badan lahir.

Usia Kehamilan (mgg) Mortalitas (%) Berat Badan (g) Tabel 1.

Angka kematian menurut usia kehamilan dan berat badan

23

24

26

28

30 > 97

50-90

10-50

5-10

<5 500

700

900

1100

1350

Dalam penelitiannya di Australia, Doyle dkk (1999) melaporkan dari 2475 bayi lahir hidup dengan usia kehamilan antara 23 36 minggu ditemukan angka kematian 4,8% (118 dari 2475 bayi). Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada bayi dengan usia kehamilan dibawah 31 minggu. Angka kematian bayi usia kehamilan di atas 31 minggu tidak berbeda dengan kematian bayi cukup bulan. Selanjutnya dikemukakan 75% kematian bayi kurang bulan tersebut disebabkan kelainan bawaan berat (lethal kongenital anomalies) sedang sisanya karena asfiksia perinatal, sepsis dan komplikasi prematuritas lain termasuk perdarahan paru dan perdarahan intrakranial.5(dr. asril)

Walaupun angka kematian BBLR kurang bulan memperlihatkan perbaikan yang bermakna, tetapi pasien tidak luput dari berbagai komplikasi. Dalam kepustakaan dikenal masalah disfungsi multiorgan yang terjadi akibat infeksi dan hipoksia yang timbul karena komplikasi berbagai morbiditas neonatus. Kejadian ini sering terlihat pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif neonatus. Disfungsi multiorgan ini harus selalu diantisipasi secara aktif agar dapat dideteksi dan koreksi sedini mungkin. Selanjutnya pemantauan jangka panjang perlu pula dilakukan karena komplikasi tadi dapat bermasalah selama proses pertumbuhan bayi bahkan berdampak sampai dewasa. Morbiditas yang berkepanjangan tersebut memerlukan pelayanan kesehatan yang terus menerus agar kehidupan tumbuh kembang dapat berlangsung lebih optimal.

SEBAB DAN KONSEKUENSI BBLR

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia masa kehamilan. BBLR bisa terdiri atas BBLR kurang bulan atau bayi lahir prematur dan BBLR cukup bulan/ lebih bulan dengan hambatan pertumbuhan intrauterin (IUGR). BBLR kurang bulan / premature khususnya yang masa kehamilannya <>2,3 biasanya mengalami penyulit seperti gangguan nafas, ikterus, infeksi dan lain sebagainya, yang apabila tidak dikelola sesuai dengan standard pelayanan medis akan berakibat fatal. Sementara BBLR yang cukup/ lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya.

Penyebab BBLR sangat kompleks. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk masa kehamilan atau kombinasi keduanya.

Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu. Sebagian bayi kurang bulan belum siap hidup diluar kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulai bernapas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat.

Anemia gizi besi merupakan masalah gizi yang paling banyak dijumpai pada kelompok ini. Sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa kehamilan. Anemia gizi besi dijumpai pada 40 % ibu hamil. Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA <> menurun menjadi 16.7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun

pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada anak usia balita. Terdapat banyak penyebab ketidakaturan pertumbuhan intera uteri, dan efek mereka terhadap janin bervariasi sesuai dengan cara dan lama terpapar serta tahap pertumbuhan janin saat penyebab tersebut terjadi. Walaupun setiap organ dapat dipengaruhi oleh retardasi pertumbuhan intrauteri, efeknya pada tiap organ tidak sama. Jika retardasi pertumbuhan terjadi pada akhir kehamilan, pertumbuhan jantung, otak, dan tulang rangka tampak paling sedikit terpengaruh, sedangkan ukuran hati, limpa dan timus sangat berkurang. 4,5 Keadaan klinis ini disebut retardasi pertumbuhan asimetri dan biasa terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh wanita penderita hipertensi kehamilan (preeklamsia). Sebaliknya, jika gangguan terjadi pada awal kehamilan (30% semua bayi KMK) tampak pertumbuhan otak dan tulang rangka yang kurang seimbang. Keadaan klinis ini disebut retardasi pertumbuhan simetri dan seringkali berkaitan dengan hasil akhir perkembangan syaraf yang buruk.

Penyebab retardasi pertumbuhan intrauteri yang paling akhir ditemukan adalah penyalahgunaan kokain selama kehamilan.7,8 Obat dengan mudah masuk plasenta sehingga konsentrasinya dalam darah janin sama dengan konsentrasi ibu. Kokain adalah suatu stimulant Sistem Syaraf Pusat (SSP) dan menghambat konduksi saraf perifer. Konduksi saraf perifer yang terbatas diakibatkan oleh hambatan pengambilan kembali neurotransmitter seperti noradrenalin dan dopamine. Selanjutnya, konsentrasi neurotransmitter-neurotransmitter ini dalam serum meningkat dan secara efektif menyebabkan vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi baik pada ibu maupun janin. Efek berbahaya kokain terhadap kehamilan yang meliputi tingginya tingkat aborsi pada trimester pertama, solusio plasenta, dan prematuritas, merupakan akibat kenaikan konsentrasi bahan-bahan neurotransmitter. Bersamaan dengan vasokonstriksi fetomaternal yang menyeluruh, terjadi vasokontriksi hebat lapisan uteroplasenta. Hal ini membatasi penyediaan oksigen dan nutrisi bagi janin. Akibatnya adalah tingkat retardasi pertumbuhan janin yang lebih tinggi (IUGR), lingkar kepala yang lebih kecil (mikrosefali), dan panjang badan kurang diantara bayi-bayi dengan ibu pecandu kokain dibandingkan bayi-bayi dengan ibu bebas obat

Telah dikatakan BBLR merupakan Indikator kesehatan yang sangat penting bagi kesehatan tahun-tahun berikutnya. Pada masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Gambaran keadaan gizi balita diawali dengan cukup banyaknya bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Setiap tahun, diperkirakan ada 350 000 bayi dengan berat lahir rendah di bawah 2500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi pada dan kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%, atau terjadi penurunan sebesar 10 % (Susenas 2003).

Tingginya bayi BBLR dan gizi kurang pada balita akan berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Lebih dari sepertiga (36.1%) anak Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah, dan hal ini merupakan indikasi gangguan kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki- laki maupun perempuan. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, peningkatan status gizi yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari 39,8% menjadi 36,1%.

Upaya menurunkan angka kejadian dan angka kematian BBLR akibat komplikasi seperti Asfiksia, Infeksi, Hipotermia, Hiperbilirubinemia yang masih tinggi terus dilangsungkan melalui berbagai kegiatan termasuk pelatihan tenaga-tenaga profesional kesehatan yang berkaitan. Dalam hal ini Departemen Kesehatan RI dan Unit Kerja Kelompok Perinatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Perinatologi IDAI) bekerjasama dengan beberapa Dinas Kesehatan Propinsi telah menyelenggarakan pelatihan manajemen BBLR bagi bidan, dokter serta dokter spesialis anak menurut tahapannya.

Di Jawa Timur sendiri telah secara intensif melakukan kegiatan pelatihan terhadap para profesional kesehatan. Para tenaga yang terlatih Manajemen BBLR di Propinsi Jawa Timur dalam kurun waktu hampir dua tahun (2006-2007) telah mencakup : Dokter Spesialis Anak : 38 orang (18,36%); Dokter Puskesmas : 76 orang (5,32%) dan Bidan : 76 orang (0,72%). Melihat prosentase yang masih jauh dari jumlah keseluruhan tenaga profesional di Jawa Timur tentunya pelatihan-pelatihan manajemen BBLR di masa mendatang masih akan terus dibutuhkan.

Prevalensi kejadian BBLR di Jawa Timur dapat dilihat pada tabel berikut : BBLR 2002 2003 2004 2005 2006

Jumlah 6014 5935 5797

5671 7099

Prevalensi (%) 1.07 1.05 1.02 1.26 1.55

% BBLR yang ditangani 100 100 100 100 100

Kelangsungan Hidup BKB/BBLR pasca rawat intensif

Gangguan Tumbuh Kembang

Pada BKB dan BBLR, walaupun berbagai upaya dapat dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi, tetapi dampak jangka panjang khususnya pada bayi yang terlalu kecil, masih belum dapat terpecahkan dengan tuntas. Kemajuan teknologi kedokteran dan perawatan bayi secara intensif telah banyak membantu meningkatkan kelangsungan hidup bayi kurang bulan khususnya bayi usia kehamilan <>

Dalam tabel 5 terlihat bahwa peningkatan kejadian kelainan saraf pusat pada BKB/ BBLR sejalan dengan rendahnya berat lahir. Dari bahasan di atas dapat dipahami perawatan bayi BKB masih dihadapkan pada berbagai kendala yang belum dapat terpecahkan. Memperpanjang kehdiupan dalam rahim, khusus bila bayi terlalu kecil, tampaknya sampai saat ini masih merupakan jalan yang paling aman agar bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Dalam dasawarsa terakhir ini terdapat suatu konsep menarik dari kelompok bayi IUGR yang disebut Hipotesis Barker. Hipotesis ini dikenal dengan hipotesis : Fetal Origin of Adult Disease Hypothesis. Barker adalah dokter peneliti di RS Southampton, Inggris. Berdasarkan hipotesisnya, bahwa gangguan pertumbuhan dalam rahim mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan system kardiovaskular serta berkaitan dengan kejadian penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, resistensi insulin, hiperkolesterolemia, dan hiperurikemia pada masa dewasa.

Dari berbagai penelitian akhri-akhri ini baik di Negara maju maupun Negara berkembang telah dilaporkan bahwa hipertensi pada orang dewasa berhubungan dengan berbagai keadaan bayi berat lahir rendah seperti : Terdapat tendensi meningkatnya tekanan darah dengan menurunnya berat lahir BBLR, terutama bila disertai akselerasi berat badan pada masa anak, mempunyai risiko peningkatan hipertensi pada waktu dewasa Hubungan tersebut tidak berbeda pada pasien pria atau wanita

Hubungan tersebut diatas juga ditemukan antara berat lahir dan penyakit jantung koroner. Pada beberapa penelitian disimpulkan bahwa risiko PJK terjadi bila terdapat gangguan pertumbuhan selam masa janin dan masa bayi atau terjadi akselerasi terlalu cepat dari berat badan pada masa anak. Pengamatan lebih lanjut terlihat bahwa pada makrosomia (berat lahir terlalu besar), kejadian PJK juga meningkat.

Demikian pula hubungan gangguan pertumbuhan dalam rahim, menimbulkan pula risiko penyakit lain seperti Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan pengamatan ditemukan kejadian DM yang meningkat dengan menurunnnya berat lahir, panjang lahir, index ponderal dan berat placenta.

Dengan melihat kenyataan di atas, maka implikasinya akan cukup luas, mengingat kejadian BBLR dan premature di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Negara maju.

Ringkasan

Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kematian neonatal di Indonesia. Makin rendah masa gestasi dan berat lahir bayi makin tinggi angka kematian bayi. Kehidupan bayi biasanya berakhir di ruang perawatan intensif neonatus sebagai akibat berbagai morbiditas neonatus.

Berbagai upaya dibidang pendidikan dan kemajuan teknologi telah diterapkan guna mempertahankan kelangsungan hidup BBLR dari berbagai tingkat perawatan. Meskipun kelangsungan hidup dapat dipertahankan, gangguan jangka pendek maupun jangka panjang masih sering ditemukan akibat

komplikasi perawatan intensif ataupun karena morbiditas diderita. Pemantauan aktif dan terus menerus pada BKB/BBLR yang dirawat atau pasca rawat di Unit perawatan intensif perlu dilakukan secara ketat. Hal ini sangat bermanfaat agar diagnosa dan tatalaksana dini dapat ditegakkan sehignga tumbuh kembang bayi selanjutnya dapat berjalan optimal.

Daftar Bacaan

1.Lawn, JE., Cousens, S., Zupan, J., . 4 million Neonatal Death : When ? Where ? Why? The Lancet. 2005, 365:891-900.

2. UNICEF-WHO. Low Birth Weight : Country, Regional and Global Estimates. Unicef-WHO, New York, 2004

3. Depkes RI. Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) untuk Bidan Desa: Buku Acuan. Depkes-RI, Jakarta, 2006.

4. AAP-Policy Statement, Committee of Fetus and Newborn. Levels of Neonatal Care Pediatrics. AAP, 2004; 114: 1341-1347

5. Aswar A. Kecenderungan Masalah Gizi Dan Tantangan Di Masa Datang. Dirjen Bina Kesmas Depkes RI, Jakarta, Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program

You might also like