You are on page 1of 76

DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH

DI KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASER

MUHAMMAD AKBAR

PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2009
DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH
DI KECAMATAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER

MUHAMMAD AKBAR

Tesis ini diserahkan kepada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam


dan Lingkungan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

MAGISTER SAINS
(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan)

Februari 2009
PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala

rahmat dan hidayah-Nya jualah Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul

”Desain Pengelolaan Sampah Di Kota Tanah Grogot Kabupaten Paser” tepat pada

waktu yang direncanakan.

Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arief Soendjoto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing

2. Bapak Ir. Ahmad Jauhari, M.P. selaku Anggota Komisi Pembimbing Pertama

3. Bapak Ir. H. Mijani Rahman, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing kedua.

3. Seluruh Staf Dosen dan karyawan Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan Unlam dan semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan

dan dukungan selama dilaksanakannya penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak terdapat kekurangan

dan kesalahan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak

untuk menyempurnakan proposal tesis ini.

Akhirnya Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna

bagi kita semua.

Banjarbaru, Februari 2009

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA.............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... v
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ................................................... 3
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 5
D. Maksud dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 5
E. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9


A. Sampah .............................................................................................. 9
B. Sampah Perkotaan .............................................................................. 11
C. Masalah yang ditimbulkan Sampah .................................................... 14
D. Pengelolaan Sampah........................................................................... 15
E. Keadaan Kabupaten Paser .................................................................. 28

III. METODE PENELITIAN....................................................................... 31


A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 31
B. Alat Penelitian .................................................................................... 31
C. Metode yang Digunakan ..................................................................... 31
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 33
E. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 35


A. Sebaran dan Volume Sampah ............................................................. 35
B. Organisasi Pengelola Sampah ............................................................. 40
C. Kendala Pengelolaan Sampah di Tanah Grogot .................................. 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 55


A. Kesimpulan ........................................................................................ 55
B. Saran .................................................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 58


LAMPIRAN .......................................................................................... 60
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar ................................................ 11

2. Komposisi Umum Sampah Kota ................................................................. 12

3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia............................................ 12

4. Ratio perbandingan C dan N terhadap beberapa Bahan................................ 22

5. Data Hasil Survey Penduduk Per Jalan di Tanah Grogot.............................. 37

6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah ................................................... 38

7. Sarana dan Prasarana Sampah Di Kabupaten Paser ..................................... 40

8. Sarana dan Prasarana Persampahan yang diusulkan ..................................... 42


DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS .......................................... 3

2. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................... 8

2. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah ...................................................... 16

3. Proses Stabilisasi Komposting..................................................................... 18

4. Kerangka Kerja Penelitian .......................................................................... 34

6. Peta Jaringan Jalan, Klas Rumah dan Rumah Sampel .................................. 36

7. Kondisi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tanah Grogot .................... 42

8. Peta Zonasi Pengelolaan dan Sebaran TPS .................................................. 43

9. Peta Sebaran Tempat Pembuangan Sementara (TPS)................................... 44

10. Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser .................. 45

11. Salah satu sarana kebersihan (TPS) dalam kondisi rusak Struktur................ 47
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia............................................ 55

2. Sistem Pembuangan di Beberapa Kota di Indonesia .................................... 56


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah sampah sudah bukan lagi sekadar masalah kebersihan dan

lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan

konflik. Lebih parahnya lagi, hampir semua kota di Indonesia, baik kota besar atau

kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah yang baik, hanya menggunakan

sistem pengelelolaan yang kuno, kumpul-angkut-buang. Sebuah pengaturan klasik

yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah

ditentukan (open dumping). Praktik itu memiliki kelemahan dan berakibat fatal

terhadap lingkungan atau manusia di sekitar lokasi pembuangan, seperti yang terjadi

di Leuwigajah, Jawa Barat. Belum lagi praktik itu membutuhkan lahan yang luas,

padahal penyediaan lahan menjadi kendala utama dalam penanganan sampah, seperti

yang terjadi di TPST Bojong, Bogor.

Sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi maka terlihat bahwa konflik

permasalahan sampah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Beberapa kejadian

yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang terdapat di Pulau Jawa seperti

yang terjadi beberapa waktu yang lalu, sebenarnya juga akan terjadi di luar Pulau

Jawa apabila kita tidak mencermati lebih jauh lagi. Pada mulanya orang hanya

beranggapan bahwa dengan adanya lahan yang tersedia sehingga menyebabkan

sampah yang ada hanya diberi perlakuan dengan membuang (menumpuk) saja.

Akan tetapi orang tidak beranggapan bahwa lahan yang ada semakin hari akan

semakin sempit sehingga permasalahan yang nantinya akan timbul adalah akan

dibuang (tumpuk) dimana lagi sampah tersebut. Pada dasarnya ini permasalahan
yang ada bukan terletak pada luas atau tidaknya lahan yang tersedia, tetapi pada

sistem manajemen pengelolaan apa yang digunakan dalam pengelolaan sampah

tersebut. Apabila menggunakan manajemen pengelolaan yang baik tentu saja semua

itu tidak tergantung pada lahan yang tersedia, karena ada beberapa alternatif

pengelolaan sampah tanpa harus membuang dan menumpuk sampah tersebut. Selain

itu kita juga bisa menggunakan prinsip 4 R dalam mengantisipasi hal tersebut yang

dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni Reuse, Reduce, Recycle,

Replace.

Tanah Grogot merupakan ibukota dari Kabupaten Paser dan merupakan salah

satu dari beberapa kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser. Kaitannya dengan

pengelolaan sampah, kabupaten Paser saat ini dapat dikatakan masih kurang dan

belum optimal. Hal ini dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk kabupaten yang

semakin tahun semakin meningkat sehingga dapat dipastikan bahwa sampah yang

hasilkan juga semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan terhadap jumlah

sampah maka seharusnya sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan

pengelolaan juga harus seimbang serta seharusnya ada manajemen pengelolaan

sampah yang sesuai dengan kondisi kota atau daerah dan adanya design tempat

pembuangan akhir (TPA) yang berbasis kesehatan penduduk. Sedangkan yang

terlihat pada keadaan di kabupaten Paser saat ini, untuk semua sarana dan prasarana

yang mendukungnya masih kurang. Contoh nyata yang terlihat bahwa secara visual

masih banyak sampah yang berserakan di sekitar TPS, selain itu juga masih

banyaknya masyarakat yang membuang sampah diluar jam yang telah ditentukan

oleh pemerintah daerah yakni jam 24.00 WITA serta kurangnya jumlah sarana dan
prasarana seperti TPS di tempat-tempat yang diperkirakan menghasilkan sampah

yang lebih banyak seperti pasar.

Gambar 1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS

Permasalahan sampah tidak akan selesai dengan hanya diwacanakan, namun

sangat perlu tindakan nyata di lapangan. Penanganan permasalahan sampah pun tidak

dapat hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Kerjasama yang baik antara

pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat luas menjadi persyaratannya. Hal ini

bukan saja harus di kabupaten Paser saja melainkan hampir diseluruh kota harus

menerapkannya.

Sehubungan dengan hal tersebut sehingga perlu dicermati untuk

menyelesaikan semua kondisi yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di

kabupaten Paser baik itu dari manajemen penggelolaan pengambilan sampah maupun

design dan keadaan dari tempat pembuangan akhirnya (TPA) yang ada.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pada dasarnya hampir semua kota besar yang berada di Indonesia mengalami

permasalahan sampah yang cukup pelik. Sebagai contoh kita dapat melihat Kota
Banjarmasin dan Kota Bandung. Kedua kota tersebut merupakan salah satu dari kota

besar yang berada di Indonesia, akan tetapi kondisi pengelolaan persampahannya pun

belum dapat dikatakan baik. Hal ini dapat terlihat dari masih berserakannya sampah

yang kedua kota tersebut.

Tanah Grogot sebagai ibukota dari Kabupaten Paser tentunya merupakan

sebuah kecamatan yang lebih berkembang jika dibandingkan kecamatan-kecamatan

lainnya. Dipilihnya Kecamatan Tanah Grogot sebagai lokasi penelitian mengingat

bahwa selain sebagai ibukota, Tanah Grogot juga dijadikan sebagai sentral

perdagangan atau kegiatan perekonomian lainnya sehingga menyebabkan limbah

atau sampah yang dihasilkan juga lebih banyak jika dibandingkan dengan daerah-

daerah lainnya di Kabupaten Paser.

Permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser semakin

hari semakin kompleks baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, estetika maupun

kesehatan. Hal ini dapat dinilai apabila melakukan pengamatan langsung di

lapangan, masih terlihat sampah yang berserakan atau masih tercium bau busuk yang

menyengat dari sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan

sampah yang telah dijalankan masih belum sempurna atau sistem pengelolaannya

masih belum optimal.

Indikator permasalahan persampahan di Tanah Grogot pada dasarnya dapat di

tinjau dari sarana dan prasarana yang ada dalam pengelolaan sampah, seperti bak

sampah (TPS) yang terbuat dari apa dan berapa besar volumenya (apa sudah sesuai

dengan volume sampah yang dihasilkan), sarana yang digunakan dalam

pengangkutan sampah dan teknis serta petugas lapangan yang ada.


Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka dapat dilihat bahwa

permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot sebagai berikut :

1. Berapa banyak volume yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Apakah volume sampah yang dihasilkan sudah sesuai dengan sarana dan

prasarana yang ada

3. Sistem keorganisasian yang ada (petugas yang mendukung)

4. Peta kepadatan sampah dan sebaran TPS

5. Kondisi tempat pembuangan akhir

6. Alternatif pengolahan sampah yang dilakukan.

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya semua bentuk penelitian yang ada pastilah memiliki suatu

tujuan yang ingin dicapai, sedangkan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis volume sampah yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Menentukan kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah

3. Menganalisis kebutuhan petugas dalam pengelolaan sampah dan sistem

organisasi yang digunakan

4. Menentukan peta kepadatan sampah dan posisi TPS.

D. Maksud dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan memiliki maksud untuk menganalisis sistem

manajemen pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Tanah Grogot Kabupaten

Paser serta mengetahui kekurangan dan permasalahan yang ada di dalam sistem

pengelolaan tersebut.
Untuk kegunaan dari penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan

ilmu-ilmu baru dalam pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan

pengelolaan sampah serta diharapkan dapat memberikan atau menyelesaikan

permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser.

Selain itu juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyelesaian-

penyelesaian permasalahan sampah yang terjadi berupa alternatif-alternatif lain

dalam pengelolaan sampah.

E. Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah

tentang pengelolaan sampah, dimana permasalahan ini sudah merupakan polemik

yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.

Kondisi persampahan yang ada di Tanah Grogot untuk saat ini masih jauh

dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan oleh

banyak faktor, baik itu dari faktor sistem pengelolaan yang digunakan maupun faktor

masyarakat sebagai penghasil sampah yang tersebar. Permasalahan-permasalahan

tersebut terlihat dari kondisi sampah baik di TPS maupun di TPA yang tidak dikelola

dengan baik.

Pada dasarnya pengelolaan sampah tersebut merupakan suatu peluang usaha,

hanya saja bagaimana cara kita (masyarakat) memanfaatkan lebih baik lagi sampah

tersebut, baik dari segi pengelolaan maupun segi pengolahannya. Selain itu kita

perlu mengubaha pola pikir atau paradigma masyarakat yang masih memaknai

bahwa sampah uitu adalah merupakan sebuh sampah yang harus diposisikan sebagai

sampah. Pola pikir yang demikianlah yang sebenarnya menghilangkan suatu peluang

yang ada pada sampah. Seandainya kita selalu berasumsi atau menganggap bahwa
sampah adalah sebuah peluang usaha yang dapat meningkatkan perekonomian, tentu

saja sampah tersebut tidak begitu saja dibuang, melainkan diolah dan dimanfatakan

sedemikian rupa untuk menghasilkan suatu usaha yang baik.

Pengelolaan sampah yang tidak baik tentunya dapat menyebabkan

pencemaran lingkungan, menimbulkan bau busuk yang tidak sedap, menimbulkan

penyebaran penyakit, dan menyebabkan menurunnya nilai estetika atau nilai

keindahan terhadap suatu areal. Oleh sebab itulah perlunya suatu sistem pengelolaan

sampah yang lebih baik dan menguntungkan, untuk disemua daerah khususnya

Tanah Grogot Kabupaten Paser.


Sumberdaya
Manusia Jaringan Jalan Sistem Organisasi

Sistem Pengelolaan Sampah


Yang kurang baik

Jumlah dan TPS / TPA Pengangkut


Sebaran Sampah

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sampah

Sampah yang dalam bahasa Inggrisnya waste, pada dasarnya mencakup banyak

pengertian. Sampah adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi,

baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sisa

proses industri yang semuanya merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia

(Apriadji, 1989).

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang

tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari

kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983),

sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil

bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi

ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan

pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan-

bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini

memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena

memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah

padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai

karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori

sumber penghasil sampah yang sering digunakan adalah : 1) sampah domestik, yaitu
sampah yang berasal dari pemukiman; 2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal

dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan

kantor; 3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi; dan 4)

sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan diatas misalnya sampah dari

pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983).

Sampah atau waste digolongkan kedalam 4 kelompok, antara lain :

1. Human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia,

seperti tinja (faeces) dan air kencing (urine).

2. Sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga,

contohnya air bekas cucian.

3. Refuse, merupakan bahan pada sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan

runah tangga. Refuse inilah yang dalam pengertian sehari-harinya kerapkali kita

sebut sampah.

4. Industrian waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa-sisa proses industri

(Apriadji, 1989).

Sampah atau refuse berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan kedalam

kelompok :

1. Sampah lapuk (gerbage) atau sampah organik, sampah ini merupakan sisa-sisa

makanan dari rumah tangga atau merupakan sampah yang berasal dari makhluk

hidup .

2. Sampah tak lapuk (rabbish) atau sampah anorganik, sampah ini tidak dapat

terdegredasi secara alami.


B. Sampah Perkotaan

Komposisi jenis zat kandungan pada sampah perkotan pada umumnya terus

berubah dari waktu ke waktu. Semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat

maka kandungan bahan organiknya semakin menurun, sedangkan kandungan plastik,

kertas makin meningkat (Budirahardjo, 2002).

Hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan komposisi sampah

yang dihasilkan di beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar

London Singapura Hongkong Jerman USA Jakarta Bandung


No Komponen
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1 Organik 28 4,6 9,4 31,6 23 74 73,4
2 Kertas 37 43,1 2,5 24 45 8 9,7
3 Logam 9 3 2,2 5,6 9 2 0,5
4 Kaca 9 1,3 9,7 8 9 2 0,4
5 Tekstil 3 9,3 9,6 - - - 1,3
6 Plastik 3 6,1 6,2 8,8 1 6 8,6
7 Lain-lain 11 32,6 29,4 21,9 - 8 6,1
Sumber : Widyatmoko dan Sintorini (2002)

Tabel 1 menunjukkan semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat suatu

negara maka kandungan sampah semakin sedikit bahan organiknya, seperti negara

London, Singapura dan USA yang merupakan negara sejahtera semakin sedikit bahan

oraniknya yang terkandung dalam sampah dibandingkan dengan Jakarta dan Bandung.

Juga sampah kertas ke tiga negara tersebut di atas lebih banyak daripada Jakarta dan

Bandung.

Apabila kita meninjau lebih jauh lagi bahwa sebenarnya Indonesia sudah siap

untuk mengelola sampah secara maksimal. Akan tetapi hambatan terbesar yang ada di

Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai betapa

pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan benara sesuai dengan standar kesehatan.
Tabel 2. Komposisi Umum Sampah Kota

No Komponen Komposisi / Persentase


1 Serat kasar 41-61 %
2 Lemak 3-9 %
3 Abu (mineral) 4-20 %
4 Air 30-60 %
5 Ammonia 0,5-1,4 mg/g sampah
6 Senyawa nitrogen organik 4,8-14 mg/g sampah
7 Total nitrogen 7-17 mg/g sampah
8 Protein 3,1-9,3 %
9 pH 5-8
Sumber : J.S.Jeris dan R.Regan (1975) dalam Hadiwiyoto (1983)

Pada sampah padatan, beberapa sifatnya telah diketahui. Sifat-sifat tersebut

sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah, dan sangat sulit

buntuk dibuat secara umum dan menyeluruh. Kekhasan sampah dari berbagai

tempat/daerah serta jenisnya berlain-lainan sehingga memungkinkan sifat-sifat yang

berbeda, seperti terlihat Tabel 2 di atas.

Serat kasar merupakan komposisi terbesar sampah saat ini sehingga tanpa kita

sadari sendiri bahwa komposisi sampah terbesar sampah di Indonesia merupakan

terbentuk dari komponen organik sehingga nantinya dapat lebih memudahkan dalam

melakukan pengelolaannya.

Berikut merupakan cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang ada

tersebar di seluruh Indonesia :

Tabel 3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia


Cakupan Pelayanan
Penduduk Jumlah
No Propinsi Jumlah Proporsi
Kota (Jiwa) Kota
(Jiwa) (%)
1 Sumatera 17.884.336 100 8.218.197 46,0
2 Jawa – Bali 75.049.732 148 21.294.350 28,4
3 Kalimantan 5.259.688 45 1.806.718 34,4
4 Sulawesi 6.103.336 62 2.228.856 36,5
5 Lainnya 5.115.469 29 1.582.065 30,9
INDONESIA 109.412.561 384 35.130.186 32,1
Sumber : Data dan Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Ditjen
TPTP, Dep Kimpraswil, 2001

Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa Indonesia hanya memiliki 32,1%

proporsi cakupan persampahan atau sebesar 35.130.186 jiwa manusia saja. Sehingga

pola pelayanan persampahan di Indonesia dinilai masih sangat kurang.

C. Masalah yang Ditimbulkan Sampah

Bahar (1986) mengatakan sampah adalah buangan berupa bahan padat

merupakan polutan umum yang menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan,

membawa berbagai jenis penyakit, menurunnya nilai sumberdaya, menimbulkan polusi,

menyumbat saluran air dan berbagai akibat negatif lainnya.

1. Nilai estetika

Sampah yang menumpuk dan dibiarkan pada tempat terbuka (open dump),

menyebabkan rendahnya nilai estetika disekitar tempat tersebut. Hal ini disebabkan

oleh penampakan fisik yang tidak enak dilihat.

2. Polusi udara dan air

Pembakaran sampah secara terbuka dan tidak dikendalikan disamping

menghasilkan residu dan penghancuran sampah juga menimbulkan emisi pada atmosfir

dengan peningkatan komponen-komponen polutan di udara, seperti CO2, CO, NO, gas-

gas sulfur, amoniak dan partikel-partikel kecil di udara. Air yang ada pada sampah

umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes

ke dalam tanah yang akan mencemarkan sumber air penduduk.


3. Sumber penyakit

Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan lingkungan kehidupan yang

baik bagi perkembangan tikus, nyamuk, lalat, insekta dan mikroba yang dapat

menimbulkan dan menyebarkan berbagai jenis penyakit.

4. Penyumbatan saluran air

Kebiasan buruk bagi sebagian orang adalah membuang sampah ke sungai, got

atau saluran air. Selain menimbulkan polusi air juga menyebabkan pendangkalan dan

penyumbatan saluran air sehingga bila hujan datang saluran air itu akan mampat dan

menimbulkan banjir.

D. Pengelolaan Sampah

Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan

memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan.

Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah

yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak

menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi

adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak

menimbulkan kebakaran.

Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan melalui 3 tahapan kegiatan,

yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir/pengolahan.

Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari

proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut :


Gambar 3. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah

Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai

ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan

ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah,

gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS). Tahapan pengangkutan

dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju

ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan,

sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis

sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.

Sidik et. al. (1985), mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir,

yakni : open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary landfill (pembuangan

secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa

membutuhkan tanah penutup, sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun

secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.

Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat

mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang

umum digunakan adalah :


1. Pengomposan (Composting)

Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria

(1996). Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara

aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan

kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah

sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba.

Proses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai.

Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup

yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses

mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan

lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air

bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan

didalamnya.

Pengomposan merupakan teknik pengolahan sampah organik yang

biodegradable, sampah tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme atau cacing

(vermicomposting) sehingga terjadi proses pembusukan, kompos yang dihasilkan sangat

baik untuk memperbaiki struktur tanah, karena kandungan unsur hara dan

kemampuannya menahan air (Damanhuri, 1999).

Pengomposan dengan menggunakan sistem agitasi dapat mempercepat proses

pengomposan awal daripada sistem statis dan dalam proses metro waste diperlukan

waktu kurang lebih 7 hari, cara pengomposannya yaitu dengan memberikan agitasi

periodik dengan diputar (Haug, 1962). Proses pengomposan secara agitasi dapat

dilakukan secara aerobik dan anaerobik, tetapi pengomposan secara aerobik lebih
banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan cepat,

menghasilkan temperatur tinggi, serta kompos yang dihasilkan lebih higienis (CPIS,

1992).

Proses stabilisasi pada komposting secara aerobik dapat digambarkan sebagai

berikut :

Protein
Asam amino
Lipida
Karbohidrat + O2 + Nutrien + Mikroorganisme Kompos + Sel-sel Baru +
Selulosa
Lignin Sel-sel Mati
Debu
+ CO2 + H2O + NO3 + SO42 + Panas
(Komponen utama dari fraksi
Organik limbah padat perkotaan)

Gambar 4. Proses Stabilisasi Komposting

Mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan dibedakan atas dua

kelompok, yaitu kelompok Mesophilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur

23°-45° C, seperti : jamur, Actinomycetes, cacing tanah, cacing kremi, keong kecil,

semut, kumbang tanah) dan Thermopilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur

45°-65° C, seperti: cacing pita, Protozoa, Rotifera, kutu jamur).

Mikroorganisme kelompok Mesophilic dan Thermophilic melakukan proses

pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan kemudian diuraikan.

Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzym yang dilarutkan ke dalam selaput air

(water film) yang melapisi bahan organik, enzym tersebut berfungsi menguraikan bahan

organik menjadi unsur-unsur yang mereka serap. Karena terjadi dipermukaan bahan,

maka proses penguraian ini akan mengakibatkan semakin luasnya permukaan bahan.
Selanjutnya permukaan yang semakin luas ini akan mempercepat proses

perkembangbiakan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar populasi

mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Harold, 1965).

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik

berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan

berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak.

Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut :

a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan

kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22°C;

b. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam

bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;

c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti,

kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini,

amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali

menjadi basa;

d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan

temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan

actinomycetes termofilik sampai batas temperatur + 86°C.

e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di

dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga

mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya

terbentuklah kompos yang siap digunakan.

Sebenarnya tujuan dari komposting itu sendiri, antara lain :


a. Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang stabil

b. Membunuh mikroba pathogen, telur insect & organisme lain

c. Menyediakan nutrient yang cukup untuk menunjang kesuburan tanah / tanaman.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalah sebagai berikut:

1. Ukuran Bahan yang Dikomposkan

Mikroorganisme adalah makhluk yang melakukan pencernaan di luar tubuhnya

(extra metabolisme). Extra metabolisme ini memerlukan suatu media untuk terjadinya

proses penguraian bahan, yang dalam hal ini adalah suatu selaput air yang terdapat di

permukaan bahan organik itu sendiri. Semakin kecil partikel, semakin banyak

jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh organisme.

Maka ukuran bahan yang layak untuk dikomposkan adalah ± 2 inchi (5 cm), sedangkan

bahan yang (berasal dari kebun bunga atau truk kebun harus dipotong ± 1/2 inchi (kira-

kira 1cm).

2. Temperatur dan tinggi tumpukan

Metabolisme mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam

bentuk panas. Panas yang ditimbulkan sebagian akan tersimpan di dalam tumpukan dan

sebagian lagi terlepas pada proses penguapan atau aerasi. Panas yang terperangkap di

dalam tumpukan akan meningkatkan temperatur tumpukan.

Dalam proses pengomposan aerobik terdapat dua fase yaitu fase Mesophilic (23-

45)° C dan fase Thermopilic (45-65)° C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos

adalah 55 °C – 65 °C. Pada temperatur tersebut, perkembangbiakan mikroorganisme

adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang

dihasilkan untuk menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya.


Temperatur yang tinggi (minimal 55° C) perlu dipertahankan

sekurangkurangnya selama 15 hari berturut-turut, dan tumpukan dibalik ± 5 kali dalam

masa tersebut dan Thcobanaglous sehingga :

a) Membunuh bibit penyakit (patogen).

b) Menetralisir bibit hama (seperti lalat).

c) Mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten.

Temperatur yang tinggi dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur

serangga pada sampah, dan serangga serta bakteri patogen akan mati. Temperatur udara

luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam tumpukan kompos. Jadi yang penting

adalah ketinggian tumpukan. Agar proses berjalan dengan cepat, maka tinggi tumpukan

sebaiknya antara 1,25-2 m.

3. Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan

Kadar oksigen yang ideal adalah 10 %-18 % (kisaran yang dapat diterima adalah

5 %-20%). Jika tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat,

ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan,

sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kekurangan oksigen

mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh

mikroorganisme anaerobik. Tetapi dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos

akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali.

Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan

organik yang akan dikomposkan dan untuk menjaga agar pada proses pengomposan

selalu ada udara segar dan kondisi anaerob dapat dihindari.


4. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)

Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan

nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan

organik yaitu apakah sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta

untuk menunjukkan umur dan kematangan kompos.

Rasio C/N optimum untuk komposting adalah 30-35. Organisme menggunakan

30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen. rasio C/N setelah menjadi kompos

adalah 10-20. Kadar nitrogen yang tinggi terdapat pada sayuran dengan rasio C/N 24:1,

dan kadar karbon yang tinggi dijumpai pada kertas, jerami, batang tebu, dan sampah

kota.

Tabel 4. Ratio Perbandingan C dan N terhadap beberapa jenis bahan


No Jenis Bahan Ratio C/N
1 Kotoran Manusia :
- Dibiarkan 6:1
- Dihancurkan 16 : 1
2 Humus 10 : 1
3 Sisa dapur/makanan 15 : 1
4 Rumput-rumputan 19 : 1
5 Kotoran Sapi 20 : 1
6 Kotoran Kuda 25 : 1
7 Sisa buah-buahan 35 : 1
8 Perdu/semak 40-80 : 1
9 Batang jagung 60 : 1
10 Jerami 80 : 1
11 Kulit batang pohon 100-130 : 1
12 Kertas 170 : 1
13 Serbuk Gergaji 500 : 1
14 Kayu 700 : 1
Sumber : Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), 1992.

5. Kadar Air dan Udara pada Tumpukan Kompos

Kadar air atau kelembaban yang ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar

yang terbaik adalah 50 %. Kisaran tersebut harus dipertahankan untuk memperoleh


jumlah populasi mikroorganisme terbesar, karena semakin besar populasinya maka

makin cepat proses pembusukannya.

6. Derajat Keasaman (pH)

Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu turun karena

sejumlah mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam

organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan memakan asam

organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali, mendekati netral. pH yang

ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima

adalah pH 5 (minimum) dan pH 12 (maksimum).

2. Incenerator (Pembakar Sampah)

Pembakaran sampah dengan menggunakan incenerator adalah salah satu cara

pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Didalam incenerator, sampah dibakar

secara terkendali dan berubah menjadi gas (asap) dan abu. Dalam proses pembuangan

sampah, cara ini bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih

memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat pencemar yang

terbawa, sehingga cara ini masih merupakan intermediate treatment (Sidik et al., 1985).

Salah satu kelebihan incenerator menurut Salvato (1982) adalah dapat mencegah

pencemaran udara dengan syarat incenerator harus beroperasi secara berkesinambungan

selama enam atau tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi temperatur yang dikontrol

dengan baik dan adanya alat pengendali polusi udara hingga mencapai tingkat efisiensi,

serta mencegah terjadinya pencemaran udara dan bau.


Kelebihan incenerator sebagai alat pengolah sampah juga dikemukakan oleh

Sidik et al. (1985), yaitu meskipun incenerator masih belum sempurna sebagai sarana

pembuangan sampah, akan tetapi terdapat beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Terjadi pengurangan volume sampah yang cukup besar, sekitar 75% hingga 80%

dari sampah awal yang datang tanpa proses pemisahan.

b. Sisa pembakaran yang berupa abu cukup kering dan bebas dari pembusukan

c. Pada instalasi yang cukup besar kapasitasnya (lebih besar dari 300 ton/hari) dapat

dilengkapi dengan peralatan pembangkit listrik

Menurut Sidik et al. (1985), sistem incenerator pada dasarnya terdiri atas dua

macam, yaitu :

a. Sistem pembakaran berkesinambungan. Sistem ini menggunakan gerakan

mekanisasi dan otomatisasi dalam kesinambungan pengumpanan sampah ke dalam

ruang bakar (tungku) dan pembuangan sisa pembakaran. Sistem ini umumnya

dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran untuk membersihkan abu

dan gas. Sistem ini dapat digunakan untuk instalasi dengan kapasitas besar (lebih

besar dari 100 ton/hari) dan beroperasi selama 24 jam atau 16 jam per hari.

b. Sistem pembakaran terputus. Sistem ini umumnya sederhana dan mudah

dioperasikan. Digunakan untuk kapasitas kecil (kurang dari 100 ton/hari). Biasanya

beroperasi kurang dari 8 jam per hari. Cara kerjanya terputus-putus dalam arti bila

sampah yang sudah dibakar menjadi abu, maka untuk pembakaran berikutnya abu

tersebut harus dikeluarkan lebih dahulu. Setelah bersih, baru dapat dilakukan

pembakaran sampah selanjutnya.


Proses yang terdapat di incenerator pada dasarnya terdiri atas enam tahap, yaitu :

1) proses pembakaran; 2) proses pengolahan abu; 3) proses pendinginan gas; 4) proses

pengolahan gas; 5) proses pengolahan air kotor; dan 6) proses pemanfaatanpanas (Sidik,

et al., 1985). Proses tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan

incenerator dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan terhadap lingkungan.

3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah = TPA (landfill)

Tempat pembuangan akhir sampah adalah tempat dimana sampah dikelola untuk

dimusnahkan baik dengan cara penimbunan dengan tanah secara berkala (sanitary

landfill), pembakaran tertutup (insenerasi), pemadatan dan lain-lain (Ditjend PPM dan

PLP Depkes, 1989).

Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir

dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah

menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan

lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya

kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan

pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi

kriteria sebagai berikut :

a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan

b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah

c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.

Lokasi untuk penempatan tempat pembuangan akhir (TPA) harus memenuhi

persyaratan teknis kesehatan seperti :


1. Jarak terhadap pemukiman minimal 2 km karena bau yang tidak enak,

2. Jarak terhadap sumber air baku untuk minum minimal 200 m,

3. Tidak terletak pada daerah banjir,

4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi,

5. Jarak dengan tepi jalan besar sedikitnya 200 m.

(Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).

Ada beberapa metode landfilling yang diterapkan di lahan urug antara lain open

dumping, controlled landfill dan sanitary landfill. Metode open dumping harus

dihindari penggunaannya. Untuk melindungi lingkungan terhadap dampak negatif yang

lebih besar maka seharusnya metode sanitary landfill yang digunakan di tempat

pembuangan akhir (TPA) atau minimal landfill (Bappeko Banjarmasin, 2001).

Pengawasan terhadap proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir

(TPA) harus dilakukan sepanjang waktu. Hal ini mengingat bahwa pengolahan sampah

di tempat pembuangan akhir (TPA) memerlukan koordinasi pekerjaan, pemisahan

buangan berbahaya/beracun, melarang pemulung sampah membongkar sampah yang

telah dipadatkan dan meyakinkan bahwa pembuangan sampah dilakukan secara baik.

Pengaturan penempatan sampah di tempat pembuangan akhir harus teratur dan pada

tempat tertentu. Hal ini mengingat bahwa penempatan sampah yang tidak teratur dan

tidak tepat akan mengakibatkan lebih banyak sampah bertebaran, pandangan jelek,

membutuhkan waktu, tenaga dan tanah penutup yang lebih banyak (Ditjend PPM dan

PLP Depkes, 1989).

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu

hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada


perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan hingga mencapai

ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah dan dipadatkan

kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang

kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-

lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary landfill dibangun

suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air

lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-

sampah organik yang ditimbun.

Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan

teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai. Dasar dari

pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan

menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga

dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga

lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan,

peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas

penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan

penutup tersebut sebagai berikut :

a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit

b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan

c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul

d. Mencegah kebakaran

e. Menjaga agar pemandangan tetap indah

f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah


g. Mengurangi volume lindi.

Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA

dengan teknik sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan

di areal TPA tersebut. Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis

pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu :

a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air

hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen

hasil penguraian sampah;

b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas

CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan

menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan

salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan

NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Secara sederhana pelaksanaan pengolahan sampah yang umum diterapkan di

perkotaan sebagai berikut :

PEMDA Penyedia Sarana Memperlancar


Angkutan,
Personil dan Pembuangan
Peralatan Sampah Ke TPA

Kota yang
Tertib, Bersih
dan Indah

Gambar 5. Tata Laksana Pengelolaan Sampah di Perkotaan


E. Keadaan Kabupaten Paser

Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak

paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" - 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5" -

1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 -

500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan

Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser

Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru,

Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.

Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km2, terdiri dari 10

Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman

Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa,

atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km2. Kecamatan dengan wilayah terluas di

Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km2,

termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah

Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya

terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.

Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan

Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan

negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan

Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa

yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran

internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang
terletak 12 Km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota

Tanah Grogot berjarak lebih kurang 145 Km dari Kota Balikpapan, atau 260 Km dari

Ibukota Propinsi Kalimantan Timur (Kota Samarinda).

Pada tahun 2003, berdasarkan hasil registrasi, Kabupaten paser mengalami

peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 2,4 %, menjadi 172.608 jiwa,

terdiri dari 90.889 jiwa penduduk laki-laki dan 81.719 jiwa penduduk

perempuan.Kepadatan penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2003 adalah 15 jiwa per

Km2. Penyebaran penduduk tersebut masih belum merata, karena penyebarannya masih

terkonsentrasi pada kecamatan yang keadaan ekonominya lebih maju. Kecamatan yang

mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Tanah Grogot

dengan kepadatan penduduk rata-rata 130 jiwa per Km2, sedangkan kepadatan

penduduk terendah terdapat di kecamatan Muara Komam dan Tanjung Aru, dengan

tingkat kepadatan penduduk rata-rata enam jiwa per Km2.

Dengan skala wilayah yang mencapai Rp 2.796.901,00 juta, kontribusi 2,86%

terhadap pembentukan ekonomi wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2005. Laju

pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama 2003-2005 melebihi rata-rata pertumbuhan

kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur. posisi ke 6 setelah Kota Bontang,

Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Samarinda.

Tingkat kemakmuran penduduk Kabupaten Paser lebih rendah dibandingkan dengan

rata-rata tingkat kemakmuran Penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Tingkat

kemakmuran penduduk Rp 16.116.838, sedangkan PDRB per Kapita Provinsi

Kalimantan Timur mencapai Rp 32.852.165,-. Ekonomi Kabupaten Paser sampai tahun


2006, kontribusi terbesar pada sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi

65,51 % dan pertanian 19,58 %.

Dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan oleh pertambangan

batubara, laju sebesar 7,70%, apabila tanpa pertambangan batubara laju 5,43%. Secara

sektoral, laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor bangunan: 16,55% per tahun,

paling rendah adalah sektor industri pengolahan: 2,96% per tahun. Sektor pertanian

sebagai mata pencaharian utama 3,41 %.


BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Lama waktu penelitian pengelolaan sampah ini kurang lebih 3 bulan, mulai dari

persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan (penulisan laporan).

Tempat penelitian pengelolaan sampah ini di Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten

Paser.

B. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian pengelolaan sampah ini sebagai

berikut :

1. GPS (Global Position System)

2. Peta Tanah Grogot / Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia)

3. Software GIS

4. Komputer

5. Kuesioner (daftar pertanyaan)

6. Alat tulis.

C. Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode ini

dipilih mengingat penelitian untuk membuat deskriptif pengelolaan sampah, gambaran

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sistem pengelolaan sampah di Tanah

Grogot.
Akan tetapi sebelum melakukan metode survey tersebut, terlebih dahulu

melakukan pengamatan terhadap kondisi persampahan dan kondisi penduduk.saat ini.

Setelah itu melakukan digitalisasi peta jalan (RBI) Kota Tanah Grogot, pemetaan rumah

dan jalan serta pendataan kondisi fisik rumah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan

peta jaringan jalan, peta sebaran pemukiman dan kondisi fisik rumah.

Setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan peta sebaran pemukiman serta

kondisi fisik rumah, maka kegiatan survey akan dilakukan. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan stratifikasi rumah yang berdasarkan atas beberapa klas (lihat berdasarkan

kuesioner). Untuk membedakan klas-klas rumah yang sama maka dapat dilakukan

dengan menggantinya dengan kode wilayah. Pada setiap klas rumah tersebut diambil

sebanyak 5 % untuk digunakan sebagai sampel (responden) terhadap jumlah populasi di

dalam klas tersebut. Setelah itu kemudian melakukan wawancara (kuesioner) pada

responden terpilih. Mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) SK-SNI-T-

12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan

sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 – 2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 –

0,00275 m3/orang/hari.

Data hasil kuesioner yang diperoleh digunakan untuk mengetahui berapa besar

volume sampah yang dihasilkan per anggota keluarga. Selain itu data hasil kuesioner

juga dapat menunjukkan sarana prasarana dan tenaga petugas yang dibutuhkan untuk

terlayaninya kondisi persampahan tersebut.

Kemudian setelah mendapatkan peta jaringan jalan dan klas rumah, maka

dilanjutkan dengan melakukan overlay terhadap peta jaringan jalan dan klas tersebut

untuk mendapatkan peta klas kepadatan sampah. Dengan peta klas kepadatan sampah
inilah nantinya digunakan untuk menentukan peta sebaran TPS dan peta zona

pengelolaan (peta arah truk pengangkut).

Dengan menggunakan dasar peta klas kepadatan sampah, peta sebaran TPS dan

peta zona pengelolaan (peta arah truk pengangkut) dapat menentukan kebutuhan tenaga

petugas, keorganisasian pengelola dan kondisi TPA.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Persiapan kemudian digitalisasi jaringan jalan pada peta RBI (Rupa Bumi

Indonesia) Kota Tanah Grogot,

2. Melakukan survey pemetaan jaringan jalan, posisi rumah dan fisik rumah

(kuesioner)

3. Melakukan wawancara (kuesioner) terhadap responden yang terpilih dan petugas

kebersihan yang ada.

4. Sedangkan jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder

a. Data primer adalah data yang didapat langsung berupa data jaringan jalan,

kondisi fisik rumah dan data dari masyarakat yang diambil secara acak, yaitu

meliputi data tentang jumlah kepala keluarga dalam 1 rumah, berapa jumlah

anggota keluarga dalam 1 kepala keluarga dan jumlah sampah yang dihasilkan

perkantongan plastik (terlampir daftar pertanyaan/kuesioner).

b. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di instansi

terkait dan pustaka.

b.
E. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah :

1. Pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut ; editing, coding data, tabulasi data,

2. Analisis data yang digunakan adalah analisis overlay, query dan tabular.

3. Pendeskripsian data yang diperoleh melalui wawancara (kuesioner) baik melalui

lisan maupun tulisan.


Sistem Pengelolaan Kegiatan Ekonomi

Volume Sampah Sarana & Prasarana Jumlah Penduduk Pemukiman

Desk Study
Survey Sampah Penduduk

Peta RBI Pemetaan Jaringan Jalan

Peta Jaringan Jalan & Posisi Pemukiman

Survey

Klasifikasi Rumah

Kebutuhan ? Petugas,
Sarana & prasarana serta Peta Klas Kepadatan Sampah
Biaya

TPS
Sarana & Prasarana

FIeld Study
Pengangkutan

• Peta Sebaran TPS


• Peta Zona Pengelolaan

Sistem Pengelolaan
TPA : Design, Volume Kebutuhan Petugas, Organisasi
& Pengelolaan Pengelola dan TPA
Sistem Pengolahan

Gambar 6. Kerangka kerja penelitian


BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran dan Volume Sampah

Berdasarkan hasil survey di lokasi mengenai jaringan jalan dan posisi rumah

maka diperoleh peta jaringan jalan dan kelas rumah, seperti yang terlihat pada gambar

6. Peta tersebut menggambarkan jalan yang dapat dilalui mobil truk angkutan sampah.

Dimana saat ini pada jalan tersebut terdapat beberapa TPS serta kondisi jalan yang

relatif baik, walaupun dibeberapa ruas jalan masih mengalami perbaikan.

Untuk sebaran dan volume kepadatan sampah, ini dilihat dari jumlah dari

kepadatan penduduk, seperti pada daerah jalan Padat Karya tentunya memiliki volume

sampah yang lebih banyak dibandingkan daerah lain mengingat daerah ini lebih padat

penduduk dibandingkan dengan daerah lain.

Jumlah responden yang diambil sesuai dengan prosedur pengambilan responden

yakni 5% dari jumlah penduduk per kelas rumah. Sehingga dengan jumlah penduduk

yang berada pada pusat kota Tanah Grogot maka diperoleh jumlah responden sebanyak

52 orang, seperti yang terlihat pada tabel 5.


Tabel 5. Data hasil Survey Samplibng Penduduk Per jalan di Tanah Grogot

Jumlah
Jumlah Penduduk Kelas Rumah
Responden
No Nama Jalan
Jalur Jalur
Jmlh A B C A B C
Kanan Kiri
1 Jenderal Sudirman 33 41 74 45 23 6 2 1 1
2 RA. Kartini 40 56 96 69 20 7 3 1 1
3 Gajah Mada 37 18 55 31 20 4 2 1 0
4 Noto Sunardi 24 32 56 27 25 4 1 1 0
5 Singa Maulana 21 11 32 18 13 1 1 1 0
6 SI. Khaliluddin 30 26 56 26 27 3 1 1 0
7 Ahmad Yani 29 28 57 38 13 6 2 1 1
8 Modang 30 27 57 38 18 1 2 1 0
9 Pangeran Menteri 38 29 67 34 30 3 2 2 0
10 HOS Cokroaminoto 30 29 59 28 31 0 1 2 0
11 Agus Salim 12 15 29 16 12 1 1 1 0
12 KS. Tubun 9 12 21 10 11 0 1 1 0
13 Piere Tendean 14 14 28 15 12 1 1 1 0
14 Ahmad Dahlan 18 24 42 24 16 2 1 1 0
15 Padat Karya 20 21 41 23 17 1 1 1 0
16 Hasanuddin 22 28 50 27 19 4 1 1 0
17 Bhayangkara 13 10 23 11 11 1 1 1 0
18 Abdurahman 16 16 36 17 19 0 1 1 0
19 Anden Oko 23 24 47 25 21 1 1 1 0
20 Lambung Mangkurat 15 9 24 13 10 1 1 1 0
Jumlah Total 950 535 368 47 27 22 3
Tabel 6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah

Kelas Jmlh Anggota Prakiraan Volume


No Nama Jalan
Rumah Keluarga Sampah (m3/hari)
1 Badriansyah A 6 0,015
2 Aminullah A 4 0,01
Jend. Sudirman
3 Abd. Rahim B 7 0,0175
4 Hasan Efendi C 12 0,03
5 Irwansyah A 7 0,0175
6 Zulkifli A 5 0,0125
7 Murhansyah RA. Kartini A 6 0,015
8 Sukasno B 4 0,01
9 I Ketut Made C 9 0,0225
10 Syamsudin A 6 0,015
11 Subandri Gajah Mada A 3 0,0075
12 Ronny B 9 0,0225
13 Syarfin Hamid A 6 0,015
Noto Sunardi
14 Aji Adjan B 4 0,01
15 Adam Malik A 8 0,02
Singa Maulana
16 Lukas Luther B 6 0,015
17 Adam Syarkawi A 3 0,0075
SI. Khaliluddin
18 Edi Suherman B 8 0,02
19 Natsir Yahya A 7 0,0175
20 M. Saleh A 5 0,0125
Ahmad Yani
21 Ir. Suprianto B 5 0,0125
22 Thamrin C 13 0,0325
23 H. Semang A 6 0,015
24 Rahman Modang A 3 0,0075
25 Ibrahim B 9 0,0225
26 Rasyidi A 5 0,0125
27 Hj. Nana A 7 0,0175
Pangeran Menteri
28 Rizaldi B 4 0,01
29 H. Syamsuddin B 6 0,015
30 Masdar A 6 0,015
HOS
31 Amin Ahmad B 8 0,02
Cokroaminoto
32 Safaruddin B 3 0,0075
33 Basrani A 4 0,01
Agus Salim
34 Aang Harlim B 8 0,02
35 Slamet Djumeri A 6 0,015
KS. Tubun
36 Asma Zaini B 9 0,0225
37 Abd. Waris A 7 0,0175
Piere Tendean
38 Jumairiah B 3 0,0075
39 Irfan A 5 0,0125
Ahmad Dahlan
40 Husaini B 5 0,0125
41 Ilyas A 8 0,02
Padat Karya
42 Mahyudin B 9 0,0225
43 Abd. Rauf A 6 0,015
Hasanuddin
44 Syaukani B 11 0,0275
45 Ridwan A 3 0,0075
Bhayangkara
46 Anwarul Naim B 7 0,0175
47 H. Riski A 9 0,0225
Abdurrahman
48 Sutrisno B 4 0,01
Lanjutan tabel 6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah

Kelas Jmlh Anggota Prakiraan Volume


No Nama Jalan
Rumah Keluarga Sampah (m3/hari)
49 Sugiono A 5 0,0125
Anden Oko
50 Zainal Abidin B 9 0,0225
51 Ishak Usman Lambung A 5 0,0125
52 Andi Azis Mangkurat B 9 0,0225

Jumlah Total 332 0,83

Berdasarkan dari data pada tabel-tabel tersebut maka diperoleh data mengenai

volume sampah yang dihasilkan serta diperoleh kepadatan sampah di beberapa wilayah.

Pada tabel tersebut disebutkan bahwa kondisi perumahan di Tanah Grogot banyak

terdapat pada kelas A, sedangkan untuk perumahan dengan kelas B dan kelas rumah C,

masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga dari klasifikasi rumah di Tanah

Grogot.

Jumlah respon yang diambil sebanyak 5% untuk setiap kelas rumah pada jalan-

jalan yang berada di lokasi studi. Pada tabel tersebut, volume sampah yang diperoleh

didasarkan atas jumlah anggota keluarga, dimaka menggunakan acuan pada Standar

Nasional Indonesia (SNI) SK-SNI-T-12.1991-03 tentang Tata Cara Pengelolaan

Sampah Pemukiman, maka untuk timbunan sampah skala kota kecil adalah sekitar 2,5 –

2,75 liter/orang/hari atau sekitar 0,0025 – 0,00275 m3/orang/hari sehingga diperoleh

volume sampah yang dihasilkan setiap rumah. Sebagai contoh terlihat pada tabel 6 hasil

survey rumah dan sampel sampah, pada sejumlah responden, misal Bapak Syaukani

memiliki kelas rumah B dengan jumlah anggota keluarga yang cukup banyak yakni 11

orang, dengan kondisi yang demikian maka sampah yang dihasilkan juga cukup banyak.
B. Organisasi Pengelola Sampah

Salah satu pendukung utama dalam pengelolaaan sampah adalah sarana dan

prasarana yang memadai, dari pantauan di lapangan didapatkan tempat pembuangan

sementara (TPS) sudah banyak yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan

sampah berserakan, menimbulkan bau yang tidak sedap, menjadi sumber penyakit dan

menyumbat saluran air. Tasrial (1998), menyatakan pengelolaan sampah yang tidak

memadai dapat mempengaruhi kesehatan dan lingkungan serta memberikan dampak

negatif pada keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan data sarana dan prasarana didapat

dari dinas yang terkait sebagai berikut:

Tabel 7. Sarana dan prasarana sampah di Kabupaten Paser yang sekarang

No Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi


1 Bak sampah beton/ulin (TPS) 20 Cukup Baik
2 Becak sampah (motor) 2 Baik
3 Container 16 Rusak 2
3 Gerobak sampah 19 Rusak 3
4 Dump Truck 3 Baik
5 Arm Roll Truck 4 Baik
6 Bulldozer 1 Baik
7 Exacavator 1 Baik
8 Bobcat 1 Baik
9 Mesin potong rumput 7 Rusak 1
10 Mesin Chain Saw 2 Baik
11 Hand Sprayer 10 Rusak 3
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser (2007).

Jika kita memperhatikan tabel di atas, yang berisikan mengenai sarana dan

prasarana pengelolaan sampah pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten

Paser, maka tentunya sarana dan prasarana tersebut sangat kurang memadai untuk

digunakan dalam pengelolaan persampahan. Sebagai contoh jumlah bak sampah (TPS)

baik yang ulin maupun yang beton. Jumlah bak sampah (TPS) yang ada pada Dinas
Kebersihan dan Pertamanan pada tahun 2007 terhitung berjumlah 20 unit dengan

kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat dikatakan cukup banyak jika tersebar pada pusat

kota Kabupaten Paser saja yakni Tanah Grogot, akan tetapi jumlah yang demikian

tersebar pada seluruh wilayah di Kabupaten Paser, sehingga jumlah bak sampah (TPS)

tersebut masih belum mencukupi jumlah sampah yang bisa terlayani.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser bahwa

jumlah penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2006 mencapai 43.616 jiwa dengan

luasan daerah sekitar 335,58 hektar, sedangkan jumlah masyarakat yang terlayani hanya

mencapai 27.040 jiwa dengan luas daerah yang terlayani sekitar 123 hektar. Selain itu,

data Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengenai total timbunan sampah yanag ada

setiap hari mencapai 77,7 m3/hari dengan kemampuan pengangkutan sampah dari TPS

yang tersedia menuju TPA hanya sekitar 69,7 m3/hari dengan jumlah sampah yang

tersisa atau tidak terangkut ke TPA mencapai 8 m3/hari, sehingga jika ditotalkan dalam

satu bulan (30 hari) maka jumlah sampah yang berserakan dan tidak terangkut ke TPA

mencapai 240 m3. hal ini mengartikan bahwa sarana dan prasarana serta petugas yang

ada dalam pengelolaan persampah tersebut belum mencukupi untuk kebutuhan daerah.

Jika kita mengacu kepada SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan

Sampah di Permukiman, dimana disebutkan bahwa kemampuan pelayanan kendaraan


3
truk sampah (dump truk) dengan kapasitas kendaraan 7-10m adalah sebanyak 10.000

jiwa. Dengan jumlah penduduk Kabupaten Paser sebanyak 43.616 juwa, maka

seharusnya kendaraan yang dibutuhkan minimum 5 unit kendaraan ditambah minimal 1

unit cadangan sehingga menjadi 6 unit kendaraan.


Berdasarkan survey kondisi tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang

tidak dapat menampung sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot, sehingga

berserakan dimana-mana, seperti yang terlihat pada gambar 7.

Gambar 7. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Tanah Grogot

Untuk itu, perlu penambahan sarana dan prasarana yang menunjang pengelolaan

sampah tersebut. Berdasarkan data tersebut di atas dan memperhatikan volume sampah

yang dihasilkan, maka penambahan sarana dan prasarana diusulkan sebagai berikut.

Tabel 8. Sarana dan prasarana persampahan yang diusulkan

No Sarana dan Prasarana Jumlah (buah)


1 Bak sampah beton/ulin 32
2 Gerobak sampah 6
3 Dump truck 3

Sarana dan prasarana dari tabel di atas dimaksudkan dapat menampung sampah

dan mengangkut sampah yang dihasilkan masyarakat Tanah Grogot setiap harinya.

Dalam hal penempatannya, baik itu bak sampah beton maupun ulin harus

disesuaikan dengan kondisi pemukiman. Artinya bak sampah (TPS) harus berdasarkan

kepadatan pemukiman yang ada. Selain itu juga melihat banyak atau tidaknya volume
yang dihasilkan pada suatu daerah serta memperhatikan jarak yang tidak terlalu jauh

(mudah dijangkau) dari pemukiman dan jarak yang memudahkan untuk proses

pengambilan dan pengangkutan menuju TPA.


KEPALA DINAS

Klp. Japung Kabag. Tata Usaha

Kasubag. Umum Kasubag. Kepegawaian Kasubag. Keuangan

Subdin Pendataan & Subdin. Operasional Subdin Sarana & Perawatan Subdin Pertamanan & Pemakaman
Pembinaan

Kasi Kebersihan Jalan Kasi Pembangunan &


Kasi Pendataan Kasi Pengadaan Pemeliharaan Taman
dan Lingkungan

Kasi Perencanaan Kasi Pengangkutan Kasi Pemeliharaan Kasi Penerangan Jalan

Kasi Pemantauan & Kasi Penampungan, Kasi Gudang Kasi Pemakaman / TPU
Penyuluhan Pemanfaatan & Pemusnahaan
Sampah

UPTD

Gambar 9. Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser


Berdasarkan gambar 8, mengenai zonasi pengelolaan dan sebaran sampah maka dapat

diperoleh bahwa zonasi pengelolaan sampah di Tanah Grogot dapat dibedakan menjadi

3 (tiga) wilayah yakni zona I, zona II dan zona III. Pembagian zonasi ini dipengaruhi

oleh kondisi pemukiman dan posisi sebaran TPS, dimana zonasi ini nantinya dapat

dipergunakan untuk mengatur arah truk pengambil dan mengangkut sampah dari TPS

menuju TPS.

Rencana penempatan tempat pembuangan sementara (TPS) baik beton maupun

ulin dan pembagian zona pengelolaan mengangkut sampah tiap truk dibagi menjadi 3

zona pengelolaan. Zona pengelolaan dibagi berdasarkan kepadatan pemukiman dan

kepadatan sampah. Berdasarkan zona pengelolaan sampah inilah nantinya dapat

ditentukan jumlah truk pengangkut sampah, kemudahan proses pengangkutan sampah

menuju TPA, penempatan TPS yang memperhatikan jarak jangkauan masyarakat.

Dalam hal ini jika suatu lokasi mempunyai kepadatan sampah dan rumah yang padat

maka penempatan TPS lebih banyak, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan sarana dan prasarana yang diusulkan maka kebutuhan akan jumlah

pekerja akan semakin bertambah. Perkiraan penambahan jumlah pekerja antara lain

sebanyak 18 orang yang terdiri dari 6 orang petugas gerobak sampah, 3 orang sopir

dump truck dan 9 orang petugas pemuat sampah.

C. Kendala Pengembangan Pengelolaan Sampah Di Tanah Grogot

Pada dasarnya pengelolaan persampahan di Tanah Grogot sudah dapat

dikategorikan baik sebagai kota kecil yang minim penduduk. Berdasarkan data dari

Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser tahun 2003 menyatakan

bahwa terdapat beberapa kendala baik berupa teknis maupun non teknis yang harus
segera diperbaiki jika tidak menginginkan terjadinya permasalahan sampah yang lebih

besar lagi seperti terjadi di beberapa kota besar di Indonesia

Kendala pertama yang terdapat pada pengelolaan persampahan ini yakni

mengenai sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimaksud disini berupa

Tempat Pembuangan Sementara (TPS), dimana data terdapat pada Dinas Kebersihan

dan Pertamanan sebagai instansi yang berwenang dalam pengelolaan sampah yakni

hanya sebanyak 20 buah baik yang terbuat dari beton maupun dari kayu (ulin), masih

belum mencukupi untuk melayani jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat. Selain

dari jumlah TPS, besar volume TPS perlu juga diperhatikan agar sampah-sampah

buangan masyarakat tidak tercecer hingga luar TPS. Untuk penempatan TPS harus

benar-benar memperhatikan kondisi pemukiman masyarakat, dimana masyarakat yang

berpemukiman padat sudah seharusnya mendapat jumlah TPS yang lebih banyak. Hal

ini terlihat dari beberapa sarana dan prasarana yang belum memadai seperti pada

gambar 9 berikut.

Gambar 10. Salah satu sarana kebersihan (TPS) dalam kondisi rusak
Pada dasarnya selain TPS, sarana dan prasarana lainnya sebenarnya sudah

mencukupi untuk melakukan pengelolaan, tetapi penggunaan sarana dan prasarana

tersebut belum optimal sehingga banyak sarana yang tidak dipergunakan, sebagai

contoh bobcat, alat ini dipergunakan untuk menyapu jalan dari jenis debu dan pasir,

akan tetapi penggunaan alat ini masih sangat jarang bahkan hampir-hampir tidak

digunakan. Hal ini menyebabkan alat tersebut menjadi rusak akibat termakan usia atau

memakan biaya yang cukup besar sebagai biaya pemeliharaannya

Kendala kedua, sistem dan manajemen pengelolaan sampah. Sistem dan

manajemen pengelolaan sampah yang digunakan di Tanah Grogot masih mengadopsi

paradigma lama, bahwa sampah yang berada di TPS diangkut dan diletakkan di TPA.

Sistem pengelolaan sampah yang seperti ini hanya mengacu kepada luasnya lahan TPA

sebagai pemberhentian akhir dari sebuah sampah. Sudah semestinya paradigma ini

ditinggalkan dan mulai merumuskan cara bagaimana menggunakan sistem pengelolaan

sampah yang baru yang dapat menghasilkan sesuatu dari sebuah sampah. Sebagi

contoh, menggunakan pola komposting, selain lebih teratur dalam membuang dan

meletakkan sampah (karena TPS terbagi dua bagian yakni sampah organik dan sampah

non organik), pihak pengelola sampah juga dapat memperoleh hasil dari pola

komposting tersebut, baik berupa pupuk kompos langsung maupun berupa uang dari

penjualan pupuk kompos tersebut. Serta pola yang seperti ini lebih optimalkan

penggunaan TPA sehingga TPA tidak cepat terpenuhi sampah.

Proses merubah sampah menjadi komposting pada dasarnya tidak terlalu sulit.

Agar sampah bisa dijadikan sebagai bahan baku kompos, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah sesuai jenis. Saat ini memang masih

terasa sulit memilah-milah sampah. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan,

pemilahan akan lebih mudah dilakukan. Pemilahan sebaiknya sudah dilaksanakan sejak

tingkat rumah tangga, pasar, atau komunitas lain. Sampah organik dipisah dari sampah

non organik. Caranya, dengan menempatkan masing-masing jenis ke dalam kantong

plastik yang berbeda warna. Misalnya kantong plastik bening untuk sampah organik,

kantong plastik putih untuk sampah kertas / karton, dan kantong warna hitam untuk

sampah lainnya.

Sampah hasil pemilahan lalu dikirim ke titik pengumpulan RT (titik pertama).

Selanjutnya, petugas yang dibiayai oleh masyarakat, sampah itu dibawa ke titik

pengumpulan RW (titik kedua). Dari situ dibawa ke tingkat kelurahan (titik ketiga),

untuk kemudian diangkut ke pedagang besi tua, sampah plastik ke pabrik plastik daur

ulang, sampah kertas/karton ke pabrik kertas/karton daur ulang. Demikian pula dengan

sampah berupa kaca.

Di pabrik kompos, sampah organik langsung dicacah menjadi halus. Setelah itu,

dibawa ke lokasi pembuatan kompos yang letaknya di tempat yang sama. Para

pemulung yang jumlahnya begitu banyak dapat dilibatkan dalam pembuatan kompos

ini. Proses pembuatan kompos ini sangat sederhana sehingga mereka jika dilatih akan

menguasainya dengan cepat. Jika proses ini dapat diselesaikan dalam waktu sehari

selesai (one day finish), bau busuk akan hilang dengan sendirinya.

Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu,

sisanya memerlukan waktu lebih lama. Sisanya sebanyak 15-20 persen sampah organik
yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH

tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun (Rochaeni, et al. 2003).

Lahan yang diperlukan sekitar 1 m2 per 2 m3 sampah dikalikan potensi jumlah

sampah yang ada dan waktu yang diperlukan untuk mengolah sampah. Misalnya,

produksi sampah mencari 150.000 ton/bulan, lahan yang dibutuhkan mencapai 15 ha.

Lahan tersebut bisa dibagi menjadi 3-4 lokasi agar jarak tempuh kendaraan pengangkut

tidak terlalu jauh. Setiap pekerja dapat membuat kompos sekitar 1 ton/hari. Jika tiap kg

kompos berharga sebesar Rp. 25 / kg, maka akan mendapatkan penghasilan Rp. 25.000.

Biaya pembuatan kompos sekitar Rp. 75 – Rp. 100 / kg termasuk biaya pembelian

mikroba pelapuk bahan organik sebesar Rp. 6.000 – Rp. 33.000 / ton sampah. Jika harga

jualnya sekira Rp. 200 /kg maka kompos ini akan laris terjual. Saat ini harga kompos di

pabrik sekitar Rp. 350 – Rp. 1.500 / kg.

Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik perkotaan akan

sangat menguntungkan. Pemerintah kabupaten pun bisa mendapatkan penghasilan

tambahan. Jika dalam sehari ada 5.000 ton sampah, dalam sehari tersedia 3.500 ton

sampah organik yang siap dikonversi menjadi kompos. Dengan asumsi 1 kg sampah

organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton

kompos. Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan

harga Rp 200.00, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp.

6,3 miliar.

Kendala yang ketiga berupa budaya masyarakat. Permasalahan sampah tidak

hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah
persampahan tidak hanya tanggung jawab instansi saja, tetapi juga melibatkan

stakeholder, pemda, masyarakat dan instansi lain.

Saat ini, masyarakat dalam mengelola sampah masih menggunakan paradigma

lama yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang tanpa dikelola dengan baik.

Bahkan sampah yang dibuang tanpa dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.

Masyarakat kita belum sadar, bahwa masalah sampah dikemudian hari akan

menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah daerah jika tidak segera dikelola

dengan baik mulai sekarang. Kita bisa melihat bagaimana repotnya pemerintah daerah

seperti terjadi di Kota Bandung dan Kota Bekasi. Ternyata masalah sampah juga

menjadi salah satu pemicu konflik sosial.

Kaitannya dengan masalah persampahan, budaya masyarakat Kota Tanah

Grogot turut andil menjadi kendala penyelenggaraan persampahan yang dihadapi DKP

Paser. Masyarakat belum disiplin dalam membuang sampah. Mereka malas membuang

sampah pada tempat yang telah tersedia.

Akibatnya, masih sering melihat tumpukan sampah berada di luar Tempat

Pembuangan Sampah (TPS). Kondisi demikian sangat mengganggu pemandangan

disamping bau tak sedap dari tumpukan sampah.

Selain malas membuang sampah pada tempatnya, warga juga tidak disiplin

dalam membuang sampah sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh Dinas

Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Paser. Jadwal waktu pembuangan

sampah yang ditetapkan DKP yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita.

Penentuan jadwal pengangkutan sampah ini dilakukan setelah pertimbangan berbagai

keluhan masyarakat yang merasa terganggu dengan kendaraan angkutan sampah milik
DKP yang mulai beroperasi bersamaan dengan jam atau waktu masyarakat berangkat ke

tempat kerjanya. Pertimbangan lain adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas

pada jam kerja.

Berbagai upaya yang telah dilakukan DKP untuk menyadarkan masyarakat

tentang sikap diantaranya melalui sosialisasi tentang kebersihan dengan mengundang

para ketua RT/RW, himbauan keliling, himbauan melalui media massa dan himbauan

melalui spanduk-spanduk. Untuk memotivasi para ketua RT/RW agar meneruskan

sosialisasi kebersihan, pemerintah daerah memberi insentif sebesar Rp. 960.000/tahun.

Untuk tahun 2008 nilai insentif diusulkan menjadi Rp. 1.200.000/tahun.

Hasil pemantauan di lokasi didapatkan bahwa jenis sampah yang dihasil dan

dibuang masyarakat Tanah Grogot adalah sampah organik dan sampah anorganik.

Sampah organik ini daihasilkan dari aktivitas rumah tangga dan pasar pagatan. Apriadji

(1989), menyatakan sampah organik merupakan sisa-sisa makanan dari rumah tangga

atau merupakan sampah berasal berasal dari mahluk hidup.

Sedangkan sampah anorganik juag dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan

pasar pagatan. Tasrial (1998), menyatakan sampah anorganik ini dihasilkan pada

tingkat rumah, misal berupa botol, botol plastik, tas plastik dan kertas.

Jenis sampah yang mendominasi yang dihasilkan dan dibuang masyarakat

Pagatan adalah sampah organik. Hal ini mungkin terjadi karena tingkat kesejahteraan

sosial masyarakat Pagatan yang masih rendah. Budirahardjo (2002), menyatakan

semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat maka kandungan bahan organiknya

semakin menurun, sedangkan kandungan plastik, kertas semakin meningkat.


Pada umumnya sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan

sampah organik, yaitu mencakup 60-70 % dari total volume sampah (www.goole.com,

2004).

Pengelolaan sampah di Tanah Grogot perlu adanya sosialisasi sampah,

berdasarkan survey kuesioner dengan masyarakat, mereka masih kurang mengetahui

tentang pengelolaan sampah yang baik, seperti waktu pembuangan sampah. Perlu

adanya sosialisasi dari pemerintah setempat dan peran serta masyarakat untuk

mengelola sampah sehingga sampah tidak mengotori dan menimbulkan dampak degatif

bagi lingkungan sekitar, dan penambahan sarana dan prasarana yang menunjang.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser bahwa

dinas tersebut memiliki jumlah sumberdaya manusia (SDM) sebanyak 105 orang yang

terdiri dari 58 sebagai tenaga kantoran sedangkan 57 orang sebagai sopir, buruh dan

petugas kebersihan (penyapu jalan dan sebagainya). Dari data yang ada disebutkan

bahwa dari 57 orang yang ada sebagai petugas kebersihan, telah ada sekitar 7 orang atau

sebanyak 12,28 % saja yang telah mengikuti pelatihan pengelolaan persampahan

sedangkan sisanya sebanyak 50 orang atau sebesar 87,72 % belum pernah mengikuti

pelatihan pengelolaan sampah. Hal ini sangat berkaitan sekali dengan kondisi petugas

kebersihan yang ditemui di lapangan bahwa melalui kuesioner yang diisi oleh beberapa

petugas kebersihan di lapangan diketahui bahwa masih banyak terdapat petugas yang

belum memahami secara benar mengenai pengelolaan sampah yang tepat serta

menghasilkan sesuatu tanpa sampah tersebut hanya dibuang ke tempat pembuangan

akhir (TPA).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa jadwal waktu pembuangan telah

ditetapkan yakni antara pukul 18.00 wita sampai 22.00 wita, maka proses pengambilan

dan pengangkutan sampah dari TPS dilakukan pada pukul 24.00 wita sampai dengan

05.30 wita. Hal ini tentunya dengan pertimbangan untuk menghindari terganggunya

masyarakat dari bau sampah tersebut serta untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pada

jam kerja.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dari segi pengetahuan

mengenai pengelolaan persampahan, petugas kebersihan masih belum memahami

secara benar pengelolaan persampahan yang baik seperti apa, sehingga banyak

ditemukan dilokasi bahwa petugas yang ada hanya bekerja berdasarkan pengetahuan

seadanya. Hal inilah yang menyebabkan para petugas kebersihan terkadang tidak

menemukan cara-cara yang baik dan menguntungkan dalam pengelolaan persampahan.


BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian desain pengelolaan sampah di Tanah Grogot

Kabupaten Paser dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Didapatkan volume sampah yang dibuang oleh masyarakat setiap harinya adalah

berkisar sekitar 77,7 m3/hari dengan volume sampah yang terlayani hanya sekitar

69,7 m3/hari. Dengan demikian terdapat 8 m3/hari atau 10,3 % sampah yang

terlantar atau tidak terlayani oleh petugas kebersihan.

2. Untuk menyelesaikan permasalahan sampah yang tidak terlayani tersebut maka

dapat diusulkan penambahan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan sampah,

seperti : bak sampah (TPS) sebanyak 32 buah, gerobak sampah 7 buah dan truk

pengangkut sampah 3 buah.

3. Sedangkan jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menangani penambahan sarana

dan prasarana tersebut adalah sebanyak 18 orang yang terdiri dari 6 orang petugas

gerobak sampah, 3 sopir dump truck dan 9 orang petugas pemuat sampah.

4. Pengelolaan sampah di Tanah Grogot, cenderung hanya dinas yang terkait (Dinas

Kebersihan dan Pertamanan) saja yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan, hal

ini terlihat dari kondisi masyarakat dimana masyarakat masih membuang sampah

hanya di sekitar TPS serta tidak membuang sampah pada waktu yang telah

ditentukan.
B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh maka diperoleh beberapa saran

yang bisa direkomendasikan dalam pengelolaan sampah, antara lain:

1. Sebaiknya dinas atau lembaga yang terkait memperhatikan dan menganalisa lebih

lanjut mengenai bentuk dan ukuran Tempat Pembuangan Sementara (TPS) seperti

membagi TPS menjadi dua bagian yakni bagian sampah organik dan bagian sampah

non organik serta memperhatikan peletakan TPS yang berdasarkan pada kepadatan

penduduk dan tidak terlalu jauh dari pemukiman sehingga memudahkan masyarakat

dalam membuang sampah pada tempatnya.

2. Perlu penambahan sarana dan prasarana kebersihan berupa bak sampah beton dan

ulin (TPS) sebanyak 32 buah, gerobak sampah sebanyak 6 buah dan dump truck

sebanyak 3 unit, sehingga kegiatan pengelolaan persampahan dapat berjalan dengan

baik tanpa mendapatkan hambatan. Selain itu penambahan petugas sebanyak 18

orang yang terdiri dari 6 orang petugas gerobak sampah, 3 orang sopir dump trcuk

dan 6 orang petugas pemuat sampah, yang disesuaikan dengan jumlah sarana dan

prasarana yang menjadi usulan.

3. Untuk lebih mengefisienkan proses pengangkutan, sebaiknya arah truk pengangkut

sampah dapat ditentukan berdasarkan pada kondisi kepadatan sampah dan titik-titik

peletakan TPS.

4. Sementara ini pengelolaan yang dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

hanya menggunakan sistem open dumping, sehingga disarankan kepada dinas atau

organisasi/lembaga yang terkait agar sampah yang berada di TPA dilakukan


pengelolaan seperti sistem control landfill atau bahkan menggunakan sistem

sanitary landfill.

5. Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa para petugas terkadang belum

memahami benar tentang pengelolaan sampah sehingga untuk lebih mengefektifkan

pada pekerjaan kebersihan, sebaiknya para petugas diberi pelatihan mengenai

pemahaman pengelolaan sampah agar para petugas tersebut memiliki suatu cara

dalam mengelola sampah selain sampah tersebut hanya dibuang seperti mengolah

sampah menjadi bahan pupuk kompos (komposting).

6. Peran serta pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sampah di Tanah Grogot,

bagi pemerintah setempat agar mensosialisasikan mengenai pengelolaan sampah,

sehingga masyarakat mengetahui dampak positif dan negatif dari sampah dan sadar

dalam membuang sampah. Selain itu diharapkan masyarakat juga dapat memperoleh

manfaat yang lebih dari sampah tersebut selain hanya dibuang.


DAFTAR PUSTAKA

Aboejoewono, A. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan


Permasalahannya. Jakarta.

Apriadji, W. H. 1989. Memproses Sampah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkugan. Yayasan Mutiara. Jakarta.

Bahar, Y. H. 1986. Teknologi Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. PT. Waca


Utama Pramesti. Jakarta.

Bappeko Banjarmasin, 2001. Penelitian Studi Informasi dan Pemanfaatan Limbah


Kota Banjarmasin. Pemerintah Kota Banjarmasin-PT. Sucofindo Banjarmasin.
Bappeda Kota Banjarmasin.

BPS Kabupaten Paser, 2004. Kabupaten Paser dalam Angka. Tanah Grogot.

Budirahardjo, 2002. Hal Ikhwal Cara-cara Pengolahan Sampah Perkotaan-DKI


Jakarta Sebagai Studi Kasus. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Dalam Negeri. Jakarta.

Center for Policy and Implementation Studies (CPIS). 1992. Buku Panduan Teknik
Pembuatan Kompos dari Sampah, Teori dan Aplikasi. Jakarta.

Damanhuri,E (Ketua Tim). 1999. Pilot Proyek Pengomposan Vermi Sampah Kota.
Kerjasama dengan Direktorat Jendral Cipta Karya - PU dengan Lembaga
Pengabdia.n Pada Masyarakat ITB. Bandung : Tim Lab. Buangan Padat dan Ba.

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser, 2003. Gambaran Umum Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser. Tanah Grogot

Dinas Kebersihan Kota DKI Jakarta, 1985. Permasalahan dan Pengelolaan Sampah
Kota Jakarta. Jakarta.

Dinul Baktian, Muhammad, Dkk, 2006. Evaluasi Tehnik Operasional Pengumpulan


dan Pengangkutan Sampah di Kabupaten Tanah Laut (Studi Kasus : Kecamatan
Pelaihari). Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi III. Jurusan
Tehnik Lingkungan, FTSP-ITS, Surabaya.

Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989. Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian Dampak Sampah (Aspek Kesehatan Lingkungan). Direktorat
Jenderal PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Ditjend TPTP. 2001. Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan.
Direktorat Jenderal, Departemen Kimpraswil, Jakarta.

Hadiwijoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu.


Jakarta.

Murtadho, D., dan S. E. Gumbira. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat.
PT. Melton Putra. Jakarta

Rochaeni, Ani dkk, 2003. Pengaruh Agitasi Terhadap Proses Pengomposan Sampah
Organik. Jurusan Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik - Universitas Pasundan.
Bandung

Salvato, J. A. 1982. Environmental Engineering And Sanitation – Third Edition. John


Wiley and Sons. New York.

Sidik, M. A., Herumartono, D. dan Sutanto, H. B. 1985. Teknologi Pemusnahan


Sampah dengan Incinerator dan Landfill. Direktorat Riset Operasi dan
Manajemen. Diputi Bidang Analisa Sistem Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. Jakarta.

Suriawiria, U. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan secara


Biologis. Penerbit Alumni. Bandung.

Tasrial, 1998. Sampah dan Pengelolaannya. PPPGT/VEDC. Malang

Widyatmoko dan Sintorini, 2002. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan


Sampah. PT. Dinastindo Adiperkasa International. Jakarta.

Www.google.com, 2004. Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup


Lampiran
Lampiran 1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia
Cakupan Pelayanan
Penduduk Jumlah
No Propinsi Jumlah Proporsi
Kota (Jiwa) Kota
(Jiwa) (%)
A Sumatera 17.884.336 100 8.218.197 46,0
1 Nangroe Aceh Darussalam 1.636.288 13 877.443 53,6
2 Sumatera Utara 6.940.581 26 2.208.142 31,8
3 Sumatera Barat 1.810.884 13 1.330.360 73,5
4 Riau 1.432.729 11 1.043.214 72,8
5 Jambi 1.214.291 11 463.028 38,1
6 Sumatera Selatan 2.380.358 13 835.891 35,1
7 Bengkulu 394.367 4 275.418 69,8
8 Lampung 2.074.838 9 1.184.701 57,1
B Jawa – Bali 75.049.732 148 21.294.350 28,4
1 DKI Jakarta 12.506.352 1 7.567.450 60,5
2 Jawa Barat 32.902.780 48 6.208.875 18,9
3 Jawa Tengah 12.221.214 37 2.468.305 20,2
4 DI Yogyakarta 856.319 6 386.248 45,1
5 Jawa Timur 14.597.730 45 4.020.317 27,5
6 Bali 1.965.337 11 643.155 32,7
C Kalimantan 5.259.688 45 1.806.718 34,4
1 Kalimantan Barat 1.016.552 12 517.094 50,9
2 Kalimantan Tengah 1.012.156 14 183.124 18,1
3 Kalimantan Timur 1.883.453 8 556.483 29,5
4 Kalimantan Selatan 1.347.527 11 550.017 40,8
D Sulawesi 6.103.336 62 2.228.856 36,5
1 Sulawesi Utara 1.548.496 11 739.880 47,8
2 Sulawesi Tengah 635.055 15 167.592 26,4
3 Sulawesi Selatan 3.544.560 28 1.128.703 31,8
E Lainnya 5.115.469 29 1.582.065 30,9
1 Nusa Tenggara Barat 2.721.435 6 193.850 7,1
2 Nusa Tenggara Timur 1.074.866 6 593.116 55,2
3 Maluku 506.772 5 326.158 64,4
4 Maluku Utara 176.298 2 40.293 22,9
5 Papua 636.098 10 428.648 67,4

I Wilayah Barat 92.934.068 248 29.512.547 31,8


II Wilayah Timur 16.478.493 136 5.617.639 34,1
INDONESIA 109.412.561 384 35.130.186 32,1
Sumber : Data dan Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Ditjen
TPTP, Dep Kimpraswil, 2001
Lampiran 2. Sistem pembuangan di beberapa kota di Indonesia
No Kota Sistem Pengolahan Jenis Kota
1 Medan Open Dumping Metropolitan
2 Palembang Open Dumping Metropolitan
3 Jakarta Controlled Landfill Metropolitan
4 Bandung Controlled Landfill Metropolitan
5 Semarang Controlled Landfill Metropolitan
6 Surabaya Controlled Landfill Metropolitan
7 Ujung Pandang Open Dumping Metropolitan
8 Padang Controlled Landfill Besar
9 Bandar Lambung Open Dumping Besar
10 Bogor Open Dumping Besar
11 Surakarta Open Dumping Besar
12 Malang Controlled Landfill Besar
13 Langsa Open Dumping Sedang
14 Pematang Siantar Open Dumping Sedang
15 Tebing Tinggi Open Dumping Sedang
16 Jambi Open Dumping Sedang
17 Batam Open Dumping Sedang
18 Pangkal Pinang Open Dumping Sedang
19 Purwakarta Open Dumping Sedang
20 Cianjur Open Dumping Sedang
21 Garut Open Dumping Sedang
22 Magelang Sanitary Landfill Sedang
23 Yogyakarta Controlled Landfill Sedang
24 Madiun Open Dumping Sedang
25 Banyuwangi Open Dumping Sedang
26 Palangkaraya Open Dumping Sedang
27 Pontianak Controlled Landfill Sedang
28 Balikpapan Controlled Landfill Sedang
29 Banjarmasin Controlled Landfill Sedang
30 Pare-pare Open Dumping Sedang
31 Bitung Open Dumping Sedang
32 Palu Open Dumping Sedang
33 Denpasar Open Dumping Sedang
34 Ambon Open Dumping Sedang
35 Kupang Open Dumping Sedang
36 Mataram Open Dumping Sedang
37 Batu Sangkar Open Dumping Kecil
38 Bandar Jaya Open Dumping Kecil
39 Pendeglang Open Dumping Kecil
40 Sukoharjo Open Dumping Kecil
41 Pacitan Controlled Landfill Kecil
42 Kandangan Open Dumping Kecil
43 Bantaeng Open Dumping Kecil
44 Watansoppeng Open Dumping Kecil
45 Singaraja Open Dumping Kecil
46 Manokwari Open Dumping Kecil
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJABARU

DAFTAR PERTANYAAN
STUDI PENGELOLAAN SAMPAH DI TANAH GROGOT
KABUPATEN PASER

Keterangan Umum
• Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tentang keadaan dan pengelolaan
sampah di Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten Paser
• Kuisioner ini terdiri dari beberapa pertanyaan mengenai pengelolaan sampah di
Tanah Grogot

Oleh :
Muhammad Akbar
E2F206022

April 2008
Keterangan Responden (Masyarakat)

1. Nama :
2. Instansi/Pekerjaan :
3. Alamat :
4. Kelurahan :
5. RT/RW :
6. Jarak domisili dari lokasi TPS : 0 – 200 m 501 – 750 m
201 – 500 m 751 – 1000 m
7. Pendapatan / bulan :

DAFTAR PERTANYAAN :

1. Sampai saat ini, apakah anda mengetahui adanya kebijakan penanganan sampah
di Tanah Grogot ?

Mengetahui Kurang mengetahui Tdk mengetahui

2. Seberapa penting kebijakan penanganan sampah di Tanah Grogot menurut anda


?

Penting Kurang penting Tidak penting

3. Menurut anda, apakah setiap warga Tanah Grogot harus ikut bertanggung jawab
terhadap penanganan sampah ?

Ya Tidak Tidak tahu

4. Sampai ssat ini, seberapa pentingkah rasa tanggung jawab setiap warga Tanah
Grogot dalam ikut menangani sampah ?

Penting Tidak penting Tidak tahu

5. Sampai saat ini, apakah anda sudah membuang sampah pada tempatnya ?

Ya Tidak Tidak tahu

6. Menurut anda, seberapa pentingkah membuang sampah pada tempatnya ?

Penting Tidak penting Tidak tahu


7. Sampai saat ini, apakah anda mengetahui ada ketentuan waktu membuang
sampah?

Ya Tidak Tidak peduli

8. Menurut anda, seberapa pentingkah membuang sampah pada waktu yang


ditentukan ?

Penting Tidak penting Tidak tahu

9. Sampai saat ini, berapa jumlah kepala keluarga dalam rumah anda ?

1 KK 2 KK ...... KK

10. Sampai saat ini, berapa jumlah anggota keluarga dalam 1 kepala keluarga di
rumah anda?

2 orang 3 orang ..... orang

11. Saat ini, berapa jumlah sampah yang anda hasilkan setiap hari (per kantong
plastik) ?

1 kantong plastik 2 kantong plastik ...kntong plastik

12. Ukuran plastik yang seperti apa yang anda gunakan untuk membuang sampah ?

Kecil Sedang Besar

13. Sampai saat ini, berapa kali anda membuang sampah dalam sehari (yang
menggunakan kantong plastik) ?

1 kali 2 kali ..... kali

14. Sampai saat ini, kemana anda membuang sampah tersebut ?

TPS Sekitar rumah


...............(tempat lain)

15. Selain membuang sampah, apakah ada perlakuan lain yang berikan terhadap
sampah?

Membakar Menanam .....................

16. Menurut anda, apakah perlu memilah milah sampah yang anda hasilkan untuk
memudahkan pengelolaan sampah ?

Perlu Sangat perlu Tidak perlu


Keterangan Responden (Petugas)

1. Nama :
2. Umur :
3. Pekerjaan :
4. Jabatan :
5. Lama kerja : 0 – 5 thn 10,01 – 15 thn
5,01 – 10 thn Lebih dari 15 thn
6. Pendidikan : SD SMU
tertinggi SMP D1/D2
D3 S1

Daftar Pertanyaan :
1. Tahukah anda bahwa ada struktur organisasi yang melaksanakan
penanganan sampah Tanah Grogot ?

2. Menurut anda, seberapa pentingkah struktur organisasi yang telah dibuat


turut menunjang keberhasilan penanganan sampah Tanah Grogot ?

3. Menurut anda, apakah sistem organisasi penanganan sampah Tanah


Grogot yang sekarang sudah berjalan dengan baik ?

4. Jika tidak berjalan dengan baik, bentuk sistem organisasi yang bagaimana
menurut anda yang akan berjalan baik ?
DATA SURVEY KEADAAN FISIK RUMAH MASYARAKAT
TANAH GROGOT KECAMATAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER

Survey Data Keadaan Fisik Rumah Masyarakat


Hari / Tanggal : 2008
Nama Surveyor : Muhammad Akbar
I. Data Masyarakat
Nama :
Alamat :
II. Data Klas (Klasifikasi Rumah)
No Parameter Data Lapangan Terukur

2 4 6
1 Tingkat rumah
1 tingkat 2 tingkat > 2 tingkat

2 4 6
2 Pagar
Tanpa pagar kayu Beton/ulin

2 4 6
3 Dinding
Kayu biasa Kayu ulin Beton

2 4 6
4 Atap
Seng/atap daun Genteng/sirap Multi roof

2 4 6
5 Luas Bangunan
< 36 m2 37 m2 - 70 m2 > 70 m2
Total Score Ranking Score Klas Jenis Pelanggan
10 - 16 A
17 – 24 B
25 - 30 C

You might also like