You are on page 1of 10

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI KOTA MAKASSAR (SUATU PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA

ANAK) APPLICATION OF RESTORATIVE JUSTICE IN CHILDREN CRIMINAL COURT SYSTEM IN MAKASSAR (AN INNOVATION OF CHILDREN CRIMINAL LAW)

Sri Rahmi, Aswanto, Muh.Syukri Konsentrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi : Sri Rahmi, S.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90216 HP: 085656883232 / 082188344344 Email: amifighter@yahoo.co.id 1

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar dan mengetahui upaya-upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dan Jakarta. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi dan wawancara dengan berbagai pihak yang terkait dan diperoleh melalui dokumen, buku, makalah, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif secara lengkap, penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal. Sedangkan upaya-upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal di kota Makassar adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat, koordinasi antar aparat penegak hukum di kota Makassar, dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan retributive dan restitutive justice menjadi restorative justice. Kata Kunci : Keadilan restoratif, sistem peradilan pidana anak, pembaruan hukum.

Abstract The aims of the study were to determin the factors hindering the implementation of restorative justice in children criminal court system in Makassar and to acknowledge the effort undertaken for law enforcement so that the restorative justice is optimally implemented. The research was conducted in Makassar and Jakarta. Primary data was obtained from an observation and interviews with various related persons, and secondary data was obtained from documents, books, papers, and legislation closely related to the object of the study. The results of the research indicated that the factors hindering the implementation of restorative justice in Makassar city were legal substance which had not accomodated the full implementation of restorative justice, law enforcement officers who had not optimally implemented the existing rules and were unflexible, as well as legal culture/community participation which were still not optimumally implemented. Efforts of law enforcement in order that restorative justice were optimally implemented in Makassar were the establishment of regulations which accomodate all rules of managing ABH through restorative justice approach, socialization among all legal enforcement apparatus and community, coordination among law enforcement apparatus in Makassar city, and changing the legal enforcement apparatus paradigm from retributive and restitutive approach to restorative justice. Keywords : Restorative justice, Children Criminal Justice System, legal innovation.

PENDAHULUAN Salah satu bentuk penanganan terhadap ABH diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 dengan menyatakan bahwa proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. (Marlina, 2009) Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam UU tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4). Dalam implementasinya telah juga dipertegas oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dalam tulisannya di Harian Kompas yang mengimbau para hakim agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan daripada pidana penjara. (Dewi, dkk., 2011) Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Akan tetapi kenyataannya, banyak ABH yang melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara seperti hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju. Anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia. Kasus pencurian voucher pulsa Rp. 10.000 yang dilakukan oleh anak laki-laki kelas 1 SMP menjalani proses hukum dan dituntut Pasal 362 KUHP dan diancam penjara selama 7 tahun (Fokus Pagi di Indosiar tanggal 29 April 2011 pukul 7.50 WITA). Begitupula dengan kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh seorang anak yang berinisial AL di Palu kemudian diproses secara hukum formal dan diperhadapkan di meja hijau. Dari kasus di atas, ini menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia yang berkonflik dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana anak. Tentu saja semua ini butuh perhatian yang serius dari semua pihak karena mengingat anak merupakan penerus generasi bangsa yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini. (Nugraheni, 2009).

Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan ABH. Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Restorative Justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. (Mansyur, 2010) Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya Aparat Penegak Hukum menerapkan pendekatan Restorative Justice/keadilan restoratif sambil menunggu disahkan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sangat dibutuhkan koordinasi antara Aparat Penegak Hukum agar terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) untuk menyamakan persepsi dalam penanganan ABH. Dibutuhkan kesadaran dari Aparat Penegak Hukum dalam menerapkan keadilan restoratif lebih menggunakan Moral Justice (keadilan menurut nurani) dan memperhatikan Sosial Justice (keadilan masyarakat) selain wajib mempertimbangkan Legal Justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan) sehingga tercapainya Presice Justice (Penghargaan tertinggi untuk keadilan). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar dan untuk mengetahui upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal. (Dewi, dkk., 2011)

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Dalam penyusunan tesis ini, penulis memilih lokasi penelitian di kota Makassar dan kota Jakarta. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka memperoleh data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis melakukan pengumpulan data dengan 2 cara yakni melalui kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan sejumlah data dengan jalan membaca dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan metode penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan dengan pengamatan langsung. Dalam 4

metode ini penulis menempuh dua jalan yaitu Wawancara (penulis mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan masalah yang dibahas) dan dokumentasi, (penulis mengambil data kenakalan yang dilakukan oleh anak). Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak-pihak yang terkait yaitu dalam hal ini Pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Balai Pemasyarakatan Anak, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dari populasi tersebut ditetapkan atau dipilih secara acak. Sampel yang dipilih adalah narasumber yang terdiri atas 2 (dua) orang dari Pihak Kepolisian Kota Makassar, 2 (dua) orang dari Kejaksaan Negeri Makassar, 2 (dua) orang dari Pengadilan Negeri Makassar, 1 (satu) orang dari Balai Pemasyarakatan Anak, dan 1 (satu) orang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jenis dan Sumber Data Jenis data dan sumber data dalam penelitian ini adalah Data primer (data yang diperoleh secara langsung dari sebuah penelitian lapangan baik berupa wawancara langsung terhadap narasumber maupun wawancara dengan pihak terkait dalam hal ini Pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Balai Pemasyarakatan Anak di kota Makassar dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta. Data sekunder (data yang diperoleh melalui kepustakaan yang relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen serta peraturan perundang-undangan). Analisis Data Setelah semua data terkumpul baik data primer atau sekunder, selanjutnya akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif untuk lebih mendapatkan gambaran nyata yang selanjutnya akan disajikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Menghambat Terlaksananya Penerapan Keadilan Restoratif di Kota Makassar Menurut Amir Syamsuddin (Faisal, 2010: 81), terdapat empat fakta yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum di Indonesia:
Pertama, ketidakmandirian hukum. Kedua, integritas aparat penegak hukum yang buruk. Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh. Keempat, perumbuhan hukum yang mandek.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif 5

atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang menghambat penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah sebagai berikut: Substansi Hukum Substansi hukum menurut Lawrence M. Friedman (Ali, 2009) mengemukakan bahwa:
Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penanganan ABH sebenarnya sudah berupaya menetapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Namun demikian, meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, dalam kenyataannya tidak cukup membawa perubahan yang cukup baik bagi anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Kelemahan yang terkandung dalam peraturan-peraturan yang terkait dengan penanganan ABH itu sendiri, yaitu Undang-Undang Pengadilan Anak juga belum memberikan alternatif mekanisme penerapan keadilan restoratif (seperti diversi atau mediasi) yang jelas untuk bisa menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Menurut Makmur (Hakim Anak Pengadilan Negeri Makassar, wawancara tanggal 6 Februari 2012) bahwa:
Undang-Undang Pengadilan Anak sudah bagus, tetapi kelemahannya yaitu komposisinya yang menempatkan penjatuhan pidana lebih di atas daripada tindakan. Seharusnya penjatuhan tindakan lebih utama daripada penjatuhan pidana. Pidana penjara ditempatkan paling akhir.

Struktur Hukum Sebenarnya kelemahan dari peraturan yang ada bisa teratasi apabila ada kepedulian dan sensitivitas dari aparat penegak hukum dalam penanganan ABH. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai diskresi untuk memberikan alternatif yang lebih baik daripada penjara untuk melindungi kepentingan masa depan anak. Namun sayangnya, aparat penegak hukum lebih banyak yang mempunyai paradigma legalistik yang hanya berpedoman pada hukum tertulis an sich dengan alasan mereka memang dilatih untuk itu. Padahal, hukum sendiri juga memberikan kelenturan dalam penanganan ABH. (Supeno, 2010). Kendala yang dihadapi di instansi kepolisian dalam melakukan pendekatan keadilan restoratif adalah banyaknya para penegak hukum yang masih berparadigma legalistik, kaku, dan kurangnya pemahaman tentang penanganan ABH. Hal ini diungkapkan oleh Ros Dalima (Kanit PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa:
Masih adanya kasus-kasus ringan yang diproses secara hukum oleh Kepolisian, dikarenakan kurangnya pemahaman penyidik dan kurangnya sosialisasi terhadap aturan yang ada.

Hal senada juga diungkapkan oleh Andi Armasari (Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar, wawancara tanggal 7 Februari 2012) bahwa:
Seharusnya pada tingkat penyidikan dilakukan pendekatan keadilan restoratif agar tidak diteruskan pada tingkat penuntutan. Fakta yang terjadi, penyidik yang kadang menghalangi pihak pelaku dan

korban untuk berdamai. Kita bukan ingin merendahkan penyidik, kenyataannya banyak penyidik yang tamatan SMA sehingga dalam memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat sangat minim.

Kendala yang sama dihadapi juga di tingkat penuntutan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini: Tabel 1 Data Penanganan ABH Kejaksaan Negeri Makassar Tahun 2010-2011 Tahun 2010 2011 Total Jumlah Kasus 172 117 289 Keadilan Restoratif (Upaya Damai) Proses Hukum 172 117 289

Sumber: Kejaksaan Negeri Kota Makassar Tahun 2012 Tabel 1 menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2011, penanganan ABH di tingkat penuntutan tidak melalui pendekatan keadilan restoratif, tetapi semua kasus anak diproses sesuai prosedur hukum formal. Menurut Andi Armasari (Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Makassar, wawancara tanggal 7 Februari 2012) bahwa:
Kami dalam melakukan kebijakan, harus sesuai dengan aturan karena akan dilaporkan kepada pimpinan. Apabila sudah disetujui oleh pimpinan, kemudian kami akan lanjutkan. Prosedur menghambat kami untuk melakukan pendekatan keadilan restoratif karena kami harus melaksanakan tugas sesuai aturan yang berlaku.

Achmad Ali (Faisal,2010), memberikan kritik terhadap penegak hukum positivist yang mengatakan:
Dewasa ini cara berhukum bangsa ini sangat memprihatinkan, karena akibat penggunaan kacamata positivistik yang kaku dalam menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan hakim gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekadar keadilan yang prosedural.

Pernyataan tersebut hendak mengatakan bahwa penerapan positivisme hukum dalam praktik lebih mengutamakan prosedur atau hukum acara, maka tidak heran akan menghasilkan keadilan prosedural yang belum tentu merefleksikan keadilan yang substansial. Kultur Hukum/Partisipasi Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat memengaruhi penegakan hukum tersebut. 7

(Soekanto, 2005). Salah satu kendala terhambatnya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah paradigma masyarakat yang masih beranggapan bahwa setiap tindak kejahatan yang dilakukan harus ada balasannya (retributif justice). Sehingga jika ada anak yang melakukan perilaku menyimpang, harus dilaporkan ke pihak kepolisian untuk dilanjutkan ke proses persidangan. Kendala yang dihadapi oleh kepolisian dalam melakukan pendekatan keadilan restoratif adalah dari pihak korban yang tidak ingin memaafkan pihak pelaku karena adanya kerugian besar yang dialami oleh pihak korban. Hal ini diungkapkan oleh Ros Dalima (Kanit PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa:
Kendala yang dihadapi adalah pihak orang tua korban yang keberatan dan masih ngotot untuk lanjut ke proses hukum dan pihak orang tua korban berpikir bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan harus dihukum.

Paradigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum juga mempunyai pengaruh besar terhadap penerapan keadilan restoratif. Hal ini diungkapkan oleh Wahyudi (Penyidik Pembantu PPA, wawancara tanggal 3 Februari 2012) bahwa:
Ketika mereka didamaikan, masyarakat beranggapan bahwa penyidik membela dan dibayar oleh pihak pelaku sehingga pelaku tidak diproses. Padahal kami melakukan upaya damai untuk kepentingan terbaik bagi anak. Penyidik harus hati-hati dalam proses mediasi karena pihak korban beranggapan bahwa kami memihak ke pelaku.

Upaya Penegak Hukum agar Penerapan Keadilan Restoratif Berjalan Secara Optimal Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak menjadi tujuan hukum secara konkrit. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. (Sukanegara, 2007). Adapun upayaupaya yang harus dilakukan agar penerapan keadilan restoratif dapat berjalan secara optimal adalah sebagai berikut: a. Regulasi, yaitu dengan membentuk peraturan yang mengakomodir tentang keadilan restoratif; b. Melakukan sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat; c. Melakukan koordinasi dan kerja sama antara aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), advokat, petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS), petugas Rumah Tahanan (RUTAN), Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lainnya yang terkait dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Koordinasi dan kerja sama tersebut, selain untuk penyamaan persepsi juga untuk penyelarasan gerak langkah.; d. Perubahan paradigma, Untuk menerapkan keadilan restoratif di kota Makassar khususnya dan di Indonesia pada umumnya, peranan masyarakat sangat penting. Mengubah paradigma masyarakat dari paradigma bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan harus dihukum menjadi paradigma bahwa setiap orang yang melakukan 8

kejahatan harus diselesaikan dulu melalui musyawarah dan perdamaian. Selain itu, perlu juga mengubah paradigma penegak hukum agar berparadigma progresif karena perilaku penegak hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali paradigma pembebasan itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, akan membuat perilaku penegak hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya. (Sudirman, 2007).

KESIMPULAN DAN SARAN Faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan keadilan restoratif di kota Makassar adalah substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif secara lengkap, penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal. Upaya penegak hukum agar penerapan keadilan restoratif berjalan secara optimal di kota Makassar adalah pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat, koordinasi antar aparat penegak hukum di kota Makassar, dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan retributive dan restitutive justice menjadi restorative justice. Oleh karena itu, perlunya diupayakan agar aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga mengacu pada instrumen nasional dan internasional serta Surat Keputusan Bersama. Kepada aparat penegak hukum yang menangani masalah anak hendaknya mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal. Mediasi dalam perkara anak perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Diperlukan peningkatan sumber daya manusia aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH melalui sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami wujud dari peradilan anak dan hak-hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sehingga hakhak anak pelaku tindak pidana dapat dilindungi dan ditegakkan. Diperlukan pemisahan registrasi berkas perkara anak di instansi kepolisian dan kejaksaan. Perlunya pengadaan ruang tahanan khusus anak dan ruang sidang anak serta jaksa yang bersertifikasi khusus menangani masalah anak.

DAFTAR PUSTAKA Ali. ( 2009). Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group. Dewi dkk., (2011). Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. Depok: Indie Publishing. Faisal. (2010). Menerobos Positivisme Hukum. Yogyakarta: Mata Padi Presindo. Mansyur. (2010). Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT. Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia. Marlina. (2009). Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice). Bandung: PT. Refika Aditama. Nugraheni. (2009). Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang: Undip. Soekanto. (2005). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sudirman. (2007). Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sukanegara. (2007). Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Universitas diponegoro. Supeno. (2010). Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

10

You might also like