You are on page 1of 12

PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS PADA RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI)

Hendarman
Peneliti Madya bidang Kajian Pendidikan, Balitbang Kemdiknas/ Pengajar pada FKIP, Universitas Pakuan Bogor email: hendarmananwar@gmail.com Abstrak: Kritikan terhadap penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah dengan label rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dilontarkan berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi, dan masyarakat umum. Penggunaan bahasa Inggris pada RSBI dianggap kurang tepat karena dapat menyebabkan capaian belajar antara peserta didik di RSBI dan peserta didik di sekolah reguler tidak berbeda secara signifikan. Dalam tulisan ini, dikaji kepatutan penggunaan bahasa Inggris di RSBI berdasarkan tafsiran hokum dan penguasaan bahasa Inggris guru-guru pada RSBI. Metode kajian adalah melalui meta-analysis dengan fokus pada tinjauan yuridis yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tinjauan empiris, yaitu melalui pengalaman di berbagai negara dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh berbagai institusi maupun perseorangan. Secara yuridis ditemukan bahwa keharusan penggunaan bahasa Inggris pada sejumlah RSBI adalah akibat adanya penafsiran yang kurang tepat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Secara empiris ditemukan bahwa penguasaan bahasa Inggris guru RSBI masih rendah dan pada hakikatnya belum layak untuk mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris serta penggunaan bahasa Inggris pada proses pembelajaran di berbagai negara menyebabkan menurunnya mutu capaian peserta didik. Kajian ini merekomendasikan agar penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar ditinjau kembali dan bahkan dihapuskan. Kata kunci: RSBI, bahasa Inggris, mutu pendidikan Abstract: The use of English as medium of instruction in schools labeled as RSBI has been criticized by various stakeholders including academicians, practitioners, and public in general. They assumed that English as medium of instruction is inappropriate that brings about no differences between the achievement of students in RSBI and in regular schools. This paper aims for analyzing the appropriate use of English as a medium of instruction in RSBI in the view of regulations and law, and the proficiency of teachers to teach through English. The method used is meta-analysis focusing on juridical aspect which is on related law and regulations, and empirical aspect based on other countries experiences using English in their learning process as well as the findings of research conducted. By juridical point of view, it was found that the use of English in teaching-learning process is a misinterpretation towards the regulation and in certain degrees against the regulation. On the other hand, by empirical point of view, it was found that RSBIs teachers mostly not proficient and incompetent in English language, whilst the use of English in learning situation in a number of countries lead to decrease the learning achievement of students. The recommendation is to revisit the policy of using English as medium of instruction in RSBI and even to abolish its practice. Key words: RSBI, English, educational quality

PENDAHULUAN
Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada saat mulai dijalankan sampai pada saat ini, tidak berhenti menuai berbagai kritikan. Kritikan-kritikan yang dimaksud terutama disebabkan RSBI yang telah diposisikan pada status tinggi tersebut, tidak memberikan cerminan kualitas dan standar internasional. Seperti diketahui, penyelenggaraan RSBI dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
1

Nasional (UUSPN), Pasal 50 ayat (3), menyatakan bahwa pemerintah dan/ atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Sesuai dengan penjelasan Menteri Pendidikan Nasional dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada tanggal 21 Maret 2011, sekolah-sekolah di Indonesia dikategorikan atas Sekolah yang memenuhi SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan Sekolah yang memenuhi Standar Nasional (SSN). Persentase terbesar adalah sekolah-sekolah yang belum dan bahkan baru mencapai status SPM. Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 1.305 RSBI, yang kira-kira setara dengan 0.65% dari seluruh jumlah sekolah yang ada, yaitu 201.557 sekolah. Jumlah RSBI itu cenderung relatif kecil secara persentase dibandingkan dengan status sekolah-sekolah di Indonesia yang 89.20% di antaranya baru sampai pada status Standar Pelayanan Minimal (SPM) atau yang belum SPM (Sekretariat Jenderal, 2011). Salah satu aspek yang dikeluhkan oleh berbagai pihak terhadap penyelenggaraan RSBI adalah penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di RSBI. Berbagai alasan dikemukakan oleh berbagai kalangan termasuk akademisi, praktisi, maupun dari kalangan birokrasi. Kompasianer Ihya Ulumuddin, misalnya, menunjukkan kekurangan RSBI tersebut dengan mengutip pernyataan Kistono, anggota Badan Akreditasi Provinsi Jatim (http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/13/rsbi-pembodohan-sistemik/). Kistono menyatakan bahwa materi yang diberikan di sekolah-sekolah berlabel RSBI hingga kini kurang memadai, karena penyusunan dan penyampaian materi tidak sepenuhnya berbasis internasional. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak semua buku ajar (Matematika dan IPA) ditulis dalam bahasa Inggris sebagaimana mestinya. Kritikan lain mengungkapkan bahwa tingkat penguasaan Bahasa Inggris guru-buru Matematika dan IPA cenderung rendah. Padahal, bagi sebagian besar masyarakat dipahami bahwa ciri utama RSBI dibandingkan sekolah-sekolah reguler lainnya adalah dominannya penggunaan bahasa Inggris verbal dalam proses belajar-mengajar. Untuk meningkatkan kemampuan menggunakan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran, guru-guru Matematika dan IPA pada RSBI sesungguhnya telah dilibatkan dalam berbagai pelatihan bahasa Inggris, termasuk pelatihan content teaching (mengajar matematika dan IPA dalam bahasa Inggris). Melalui pelatihan tersebut, para guru diharapkan mampu menyampaikan materi pelajaran dalam bahasa Inggris dengan baik untuk menunjang kinerja buku-buku ajar yang sudah tercetak secara bilingual (Indonesia-Inggris). Akan tetapi, belajar bahasa Inggris sesungguhnya tak mudah seperti membalik telapak tangan. Proses belajar bahasa Inggris secara instant biasanya tidak membuahkan hasil maksimal. Dengan demikian, walaupun sudah mengikuti pelatihan, belum tentu para guru tersebut berhasil mencapai tingkat kemahiran yang cukup signifikan dalam penguasaan bahasa Inggris. Pada sisi lain, terungkap bahwa banyak siswa yang bahasa Inggrisnya lebih baik dibandingkan dengan guru-guru Matematika dan IPA mereka di sekolah RSBI. Akibatnya, proses belajar-mengajar yang full bahasa Inggris di dalam kelas di bawah bimbingan guru, belum terlihat sempurna. Sementara itu, para siswa yang juga diharapkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris --yang menjadi salah satu tujuan program RSBI-- ternyata juga tidak banyak yang mampu unjuk gigi. Dikaitkan dengan permasalahan dalam penggunaan bahasa Inggris pada sekolah-sekolah yang termasuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dua pertanyaan berikut: 1. Apakah peraturan perundang-undangan yang ada menyiratkan bahwa bahasa Inggris wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran di RSBI?
2

2. Apakah penguasaan bahasa Inggris guru-guru mengajarkan mata pelajaran yang diampunya?

RSBI

sudah

memadai

untuk

METODOLOGI
Kajian ini pada hakikatnya merupakan kajian dokumentasi secara meta-analysis dengan menggunakan sejumlah data sekunder. Sumber data untuk menjawab pertanyaan pertama adalah sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur tentang rintisan sekolah bertaraf internasional, sedangkan sumber data untuk menjawab pertanyaan kedua adalah data dan informasi empiris yang antara lain berupa pengalaman negara lain dalam penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran serta pandangan berbagai pakar terhadap signifkansi dari penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran khususnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kajian pertama pada hakikatnya merupakan kajian yuridis terhadap peraturan perundangundangan yang ditujukan untuk menjawab penafsiran terhadap dokumen peraturan perundangundangan tersebut. Hal ini dikaitkan dengan kemungkinan adanya penafsiran yang berbeda atau multitafsir terhadap pernyataan atau klausul yang ada. Adapun kajian kedua lebih sebagai kajian empiris sehingga dapat diperoleh dasar-dasar argumentasi yang kuat untuk menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan merujuk kepada berbagai pengalaman keberhasilan maupun kegagalan di negara-negara tertentu atau dengan merujuk kepada landasan teoretis akademik yang sudah dibuktikan kebenarannya secara akademik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertanyaan mendasar adalah apakah benar perundang-undangan yang berlaku menetapkan dan mengatur bahwa proses pembelajaran pada RSBI harus menggunakan bahasa pengantar Inggris? Apabila sebagai keharusan, pertanyaan berikutnya adalah apakah pendidik pada RSBI sudah dibekali dengan kompetensi yang memadai dalam penguasaan bahasa Inggris untuk menyampaikan mata-mata pelajaran yang diampunya? Kajian Yuridis Bahasa Inggris sebagai Bahasa Pengantar di RSBI Pengaturan tentang rintisan sekolah bertaraf internasional dapat ditelusuri dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dari peraturan perundang-undangan tersebut, keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional dapat dinyatakan sah secara hukum, yaitu ditafsirkan sebagai suatu tahap dalam spektrum yang luas menuju terwujudnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dengan demikian, setiap pengaturan atau regulasi yang ditujukan untuk SBI dapat ditafsirkan mempunyai kekuatan hukum untuk diterapkan pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
3

Adapun klausul yang menyatakan tentang penggunaan bahasa asing termasuk bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar ditemukan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Beberapa ayat yang terdapat dalam Pasal 5 Permendiknas dimaksud berkaitan dengan bahasa pengantar pada RSBI. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Ayat (4) menyatakan bahwa Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Ayat (5) menyatakan bahwa penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, RSBI dalam implementasinya mengacu kepada Permendiknas Nomor 78/2009, yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang dinyatakan atau dituliskan pada Permendiknas tersebut adalah tujuan akhir diselenggarakannya RSBI. Merujuk pada Permendiknas tersebut, sesungguhnya perlu dicermati penafsiran dari kata dapat pada Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi lengkap SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/ atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Kata dapat dalam penafsiran hukum tidak diartikan sebagai suatu keharusan atau yang sifatnya wajib, tetapi sebagai pilihan dalam makna boleh digunakan. Makna lain yaitu apabila bahasa Inggris tidak digunakan dalam proses pembelajaran, tidak bertentangan dengan hukum. Apabila ayat (3) tersebut tertulis tanpa menggunakan kata dapat, maknanya adalah sebagai harus dan hukumnya wajib untuk menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, memaksakan penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang berstatus RSBI, sesungguhnya merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Rujukan lain untuk mencermati kebenaran penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 29 undang-undang ini terdiri atas 3 (tiga) ayat, yaitu: (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional; (2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik, (3) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing. Tafsiran ayat (1) pasal 29 UU Nomor 24/2009 ini cukup jelas yaitu bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, yang digunakan sebagai bahasa pengantar wajib adalah Bahasa Indonesia. Adapun ayat (2) dimaknai bahwa penggunaan bahasa asing dibolehkan hanya dalam rangka kegiatan-kegiatan peserta didik yang bermuara pada kemampuan berbahasa asing, bukan pada kemampuan mata pelajaran tertentu. Dengan mengacu kepada ayat-ayat tersebut, semakin jelas bahwa terjadi kesalahan secara hukum apabila dalam proses pembelajaran dipaksakan untuk menggunakan bahasa pengantar pada pengajaran mata-mata pelajaran tertentu. Pada sisi lain, para peserta didik di RSBI diharuskan mengikuti Ujian Nasional yang kesemuanya diuji dengan menggunakan bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada peserta didik tersebut yang selama masa belajar tertentu menggunakan bahasa Inggris, tetapi pada waktu mengikuti Ujian Nasional (UN) yang bersangkutan harus menghadapi soal-soal yang ditulis dalam bahasa yang tidak digunakan sehari-hari dalam proses pembelajaran yang ada.
4

Untuk dapat mendukung pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, pendidik pada RSBI yang mengampu mata-mata pelajaran tertentu dipersyaratkan mampu mengajar dalam bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran/bidang studi tertentu, kecuali Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Permendiknas Nomor 78/2009. Padahal, apabila merujuk pada kurikulum di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang dahulu dikenal sebagai IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), guru-guru dengan latar belakang pendidikan IPA yang mengajar Matematika dan Guru IPA (Fisika atau Biologi) di sekolah-sekolah, tidak disiapkan untuk mengajarkan kedua mata pelajaran tersebut dalam bahasa Inggris. Kalaupun mereka menerima mata pelajaran bahasa Inggris pada saat kuliah, itu hanya 2 (dua) SKS yaitu khusus untuk mata kuliah bahasa Inggris. Dapat dibayangkan apabila mereka kemudian diminta untuk mengajarkan Matematika atau IPA dalam bahasa Inggris dengan menggunakan bahasa Inggris yang semata-mata dipelajari terkait dengan mata kuliah bahasa Inggris. Menarik untuk disimak pengakuan yang disampaikan oleh Itje Chotidjah, seorang praktisi dan guru yang sering diminta mengajari guru-guru SBI belajar bahasa Inggris. Diungkapkannya bahwaGuru-guru SBI itu hanya belajar bahasa Inggris dalam lima hari dan mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris (Kompas.com - Selasa, 8 Maret 2011). Hal yang juga perlu dicermati adalah Pasal 6 ayat (8) yang terkait dengan ayat (3) sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki skor TOEFL 7,5 atau yang setara atau bahasa asing lainnya yang ditetapkan sebagai bahasa pengantar pembelajaran pada SBI yang bersangkutan. Patut dipertanyakan dasar dari batas bawah persyaratan penguasaan bahasa Inggris yaitu dengan skor TOEFL 7,5 atau yang setara tersebut. Pada kenyataannya, untuk mengikuti program-program magister yang diadakan oleh berbagai perguruan tinggi termasuk LPTK yang sebelumnya disebut sebagai IKIP, tidak banyak mahasiswa yang berhasil menembus persyaratan minimal TOEFL yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan persyaratan guru-guru di RSBI. Apabila dicermati latar belakang mahasiswa peserta program magister tersebut, ada sebagian yang juga mengajara di RSBI atau yang terdaftar tersebut mayoritas berasal dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan. Berdasar atas kajian pasal-pasal terkait penggunaan bahasa pengantar tersebut, dapat dijelaskan bahwa penggunaan bahasa Inggris yang sifatnya harus dalam pembelajaran pada RSBI sesungguhnya tidak sejalan dengan makna yang tertulis pada landasan yuridis hukum. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pada RSBI masih dimungkinkan dimana guru-guru yang mengajar memiliki kemampuan yang memadai dalam penguasaan bahasa Inggris. Kajian Empiris Penggunaan Bahasa Inggris dalam Pembelajaran Penguasaan bahasa Inggris sebagian besar masyarakat Indonesia sangat rendah. Salah satu indikatornya ialah yaitu terbatasnya kemampuan mereka berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik secara lisan maupun tertulis dan secara pasif maupun aktif. Keadaan tersebut mengindikasikan kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Inggris di sekolah. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kekurangberhasilan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Di antaranya adalah kurangnya pelajaran bahasa Inggris terhadap siswa, kurang bermaknanya pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa, dan terbatasnya kesempatan siswa untuk berinteraksi dalam bahasa Inggris untuk mengkomunikasikan gagasan, perasaan, dan pengalaman riil
5

dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, keadaan tersebut disebabkan kemampuan berbahasa Inggris guru yang terbatas, sarana/prasarana pembelajaran bahasa Inggris yang kurang memadai, dan lingkungan (baik kultural dan sosial) yang kurang mendukung juga berkontribusi terhadap kurang suksesnya pembelajaran bahasa Inggris di sekolah. Hasil riset Jim Cummins, ahli bahasa dari University of Toronto (Kanada), dalam Kompasioner Itje (2011) menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa untuk kegiatan sosial atau basic interpersonal communication skills (BICS) perlu dipelajari selama 2 (dua) tahun. Sementara itu, untuk kegiatan belajar-mengajar akademik atau cognitive academic language proficiency (CALP) diperlukan lima hingga sepuluh tahun. Adapun BICS adalah kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di restoran, dan lain-lainnya. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk nonverbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, obyek acuan, dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan. Sementara CALP, lebih mengacu kepada bahasa yang digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu, misalnya ilmu Fisika, Biologi, Sosiologi, dan Seni Suara. Menarik untuk mencermati laporan yang ditulis Imron (2008) terkait kemampuan bahasa Inggris dari 260 Kepala RSBI pada satuan pendidikan sekolah dasar yang mengikuti tes Bahasa Inggris dengan TOEIC (Test of English for International Communication). Hasilnya adalah sekitar 50% nilainya di bawah 245, atau setara tingkat kemampuannya berada di bawah elementary (tingkat paling dasar). Yang benar-benar dianggap memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan baik kurang dari 10% yang umumnya mereka berlatarbelakang pendidikan bahasa Inggris. Tes untuk mengukur kemampuan berbahasa Inggris dari kepala-kepala sekolah dan guru-guru RSBI baik guru mata pelajaran bahasa Inggris dan guru mata-mata pelajaran lain, yang berasal dari 478 sekolah pernah dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2007 dan 2008. Instrumen ukur yang digunakan adalah TOEIC (Test of English for International Communication). TOEIC mempunyai 6 (enam) kategori kemampuan bahasa Inggris dari yang tertinggi hingga terendah yaitu general professional, advanced working, basic working proficiency, intermediate, elementary, dan novice. Untuk kepala sekolah, ternyata hasil tes menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya (81.5%) termasuk dalam dua kategori terendah yaitu elementary dengan skor 255-400 (30.5%) dan novice dengan skor 10-250 (51.0 %). Yang masuk kategori menengah (intermediate) dengan skor 405-600 yaitu 14.6%. Tidak ada satupun kepala sekolah yang masuk dalam kategori general professional. Apabila merujuk kepada persyaratan untuk menjadi kepala sekolah SBI sebagaimana yang ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 78, Tahun 2009, hanya mereka yang termasuk dalam kategori intermediate ke atas yang dianggap memenuhi persyaratan yaitu mencapai 14,6% yang terdiri atasb adalah mereka yang mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif atau mereka yang sudah mencapai skor TOEFL minimal 450 (level intermediate). Hasil tes untuk guru mata pelajaran Bahasa Inggris menunjukkan bahwa masih ada di antara mereka yang termasuk kategori Novice (7,4%) dan Elementary (26,1 %). Sebagian besar guru bahasa Inggris RSBI (39,4%) masuk dalam kategori intermediate, yang sesungguhnya batas minimal untuk dapat diasumsikan layak mengajar di RSBI. Sebanyak 21,7% telah mencapai level yang lebih tinggi (Basic Working Proficiency). Adapun guru-guru bahasa Inggris pada RSBI lainnya masuk pada kategori Advanced Working (4.4%) atau kategori general
6

professional (1.1%). Tabel berikut menunjukkan kategori penguasaaan guru-guru RSBI yang mengajar Matematika dan Sains. Tes menggunakan TOEIC dan dilakukan pada tahun 2008.
Tabel 1. Kemampuan Bahasa Inggris Guru RSBI Mata Pelajaran Matematika dan Sains
Guru mata pelajaran Novice (10-250) Elementar y (255-400) 35,5 36,0 40,9 42,9 Kategori Intermediat Basic e (405-600) working Proficiency (605-780) 13,8 14,3 13,0 11,6 1,8 1,5 2,2 2,1 Advance working Proficienc y (785-900) 0,2 0,2 0,7 0,3 General Professional Proficiency (905-990) -

Matematika Biologi Kimia Fisika

48,7 48,0 43,2 43,1

Sumber data: Departemen Pendidikan Nasional (2009).

Tabel 1 di atas menunjukkan kekhawatiran terhadap capaian belajar siswa RSBI untuk matamata pelajaran Matematika dan Sains (Biologi, Kimia, dan Fisika) apabila menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Secara umum apabila menggunakan dua kategori terendah yaitu novice dan elementary, guru-guru 4 (empat) mata pelajaran tersebut lebih dari 80% masuk dalam kategori tersebut. Apabila merujuk kepada ketentuan yang ada pada pasal 6 ayat (8) Permendiknas nomor 78 tahun 2009 tentang tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah maka jelas bahwa guru-guru RSBI yang mengajarkan mata pelajaran Matematika, Biologi, Kimia, dan Fisika sesungguhnya tidak layak. Sebagaimana halnya pengalaman negara-negara lain dalam penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu? Menarik menyimak pengalaman negara tertentu Menurut Coleman (2011) berdasarkan pengamatannya di tiga negara di lingkungan Asia (Korea, Thailand, Indonesia), setidaktidaknya diperlukan waktu 5 (lima) tahun bagi guru-guru mata pelajaran selain bahasa Inggris untuk dapat mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Coleman juga mengatakan bahwa mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris yang regular bagi guru-guru belum memadai untuk membantu mereka dapat mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris. Diperlukan berbagai terobosan untuk dapat memungkinkan percepatan penguasaan bahasa Inggris bagi guru-guru yang tidak berlatarbelakang pendidikan bahasa Inggris. Terobosan yang dimaksud tidak akan berhasil apabila Pemerintah maupun pemerintah daerah tidak turun tangan untuk membantu melalui program khusus dengan pengadaan alokasi tertentu. Temuan-temuan Coleman lainnya yang menarik untuk dicermati terkait dengan pengaruh penggunaan bahasa ibu (mother tongue) terhadap capaian belajar siswa-siswa. Salah satunya, yaitu ditunjukkan pada Tabel 2 terkait jumlah bahasa yang digunakan di Korea, Thailand dan Indonesia, persentase populasi yang dapat mengakses pendidikan menggunakan bahasa ibu, dan indikator capaian pendidikan di masing-masing negara melalui PISA (the Programme for International Student Assessment). Pada Tabel 2 tersebut terungkap bahwa Korea yang memiliki hanya satu bahasa yaitu bahasa Korea memungkinkan seluruh populasi untuk mengakses pendidikan. pada sisi lain yang sangat ekstrim, Indonesia yang memiliki 742 bahasa, hanya 10% dari populasi yang memang sudah menggunakan bahasa Indonesia ketika mengawali mengkses pendidikannya. Sedangkan sisanya yang 90% cenderung menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah.
7

Pada keikutsertaan dalam PISA (Programme for International Student Assessment) yaitu kemampuan membaca, kemampuan Matematika, dan kemampuan Sains siswa-siswa usia 15 tahun, terungkap bahwa Korea termasuk sebagai salah satu negara tersukses untuk sistem pendidikannya di dunia. Siswa-siswa mereka memiliki kemampuan membaca (yaitu dalam bahasa Korea) dengan peringkat tertinggi di dunia seperti juga halnya untuk Matematika, sedangkan untuk sains, siswa-siswa Korea berada pada peringkat ke 7 dari 57 negara yang berpartisipasi.
Table 2. Bahasa Ibu dan Capaian Pendidikan di Korea, Thailand, dan Indonesia (Coleman, 2011)
Jumlah Bahasa (Gordon, 2005 dalam Coleman 2011) Populasi dengan akses terhadap pendidikan dalam bahasa ibu (Kosonen 2008) Skor rerata Kemampuan membaca dalam bahasa nasional usia 15 tahun (OECD 2007) Peringkat (peserta 56 negara Skor rerata Kemampuan Matematika usia 15 tahun (OECD 2007) Peringkat (peserta 57 negara) Skor rerata Kemampuan Sains (OECD 2007) Peringkat (peserta 57 negara) Korea 1 100% 556 1 549 1 522 7 Thailand 83 50% 417 41 417 43 421 44 Indonesia 742 10% 393 44 391 49 391 50

Di lain pihak, capaian siswa-siswa Indonesia termasuk rendah. Kemampuan membaca dengan menggunakan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia berada dalam peringkat 44 dari 56 negara peserta. Sedangkan kemampuan Matematika dan Sains berturut-turut berada dalam peringkat 49 dan 50 dari 57 negara yang berpartisipasi. Siswa-siswa Thailand menunjukkan hasil yang cenderung lebih baik yaitu untuk membaca, matematika dan bahasa berturut-turut berada pada peringkat 41, 43, dan 44. Kosonen (2008) dalam Coleman (2011) melihat ada hubungan kausal yang kuat antara penggunaan bahasa dan capaian akademik yaitu bahwa guru dan siswa berbicara dalam bahasa Indonesia. Kutipan asli Kosonen dalam Coleman (2011) adalah sebagai berikut:
[In Thailand] minority children with poor Standard Thai skills had 50% lower learning results than Thai speaking students in all main subjects. In Indonesia 69% of 15-year-old students performed at or below the lowest of five proficiency levels for reading literacy, 94% at level 2 or below. A reason: teachers and students speak different languages.

Korea dan Thailand juga melakukan program Sekolah Bertaraf Internasional seperti halnya yang dilakukan di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi adalah dalam pengadaan guru dengan penguasaan bahasa Inggris yang layak. Melalui skema English Programme in Korea (EPIK) dilakukan rekrutmen guru-guru bahasa asing yang bukan berasal dari Korea. Fakta yang ditemukan adalah Korea bukan tempat tujuan yang menarik bagi orang-orang yang mengajar bahasa Inggris sehingga guru-guru bahasa asing yang sudah direkrut mayoritas tidak layak. Wawancara dengan kepala sekolah menyatakan pengalaman di sekolahnya yang merekrut dua guru asing menunjukkan mereka tidak memiliki kemampuan dan tidak mempunyai sertifikat mengajar sebagai guru bahasa Inggris. Guru-guru Korea yang cenderung dipaksa menggunakan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran mengeluhkan kesulitan dan merasakan frustrasi untuk menjelaskan segala sesuatu dalam bahasa Inggris, sebagaimana hasil wawancara dengan salah satu kepala sekolah dasar di salah satu perkotaan teachers feel burdensome [to use English] and frustrated to explain things in English (wawancara dilakukan Coleman pada tanggal 1 April 2009). Ketidakmampuan guru-guru bangsa Korea mengajarkan dalam bahasa Inggris menjadi salah satu faktor utama para orangtua menentang
8

rencana pengajaran dengan menggunakan bahasa Inggris di sekolah dasar dan juga sekolah menengah. TInjauan lain adalah pengalaman Malaysia yang menerapkan kebijakan Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik dalam Bahasa Inggeris (PPSMI) pada satuan pendidikan yang ada. Kebijakan ini mendapat kritikan dari berbagai pihak khususnya dikaitkan dengan prestasi siswa Malaysia dalam TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Studi ini dilakukan untuk mata pelajaran Matematika dan Sains pada siswa-siswa tingkat 8 atau setara dengan kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP). Hasil studi tahun 2007 menunjukkan skor rata-rata pencapaian pelajar Malaysia dalam Matematika dan Sains merosot. Skor Matematika merosot yaitu 474 pada tahun 2007 dibandingkan 508 pada tahun 2003 dan 519 pada tahun 1999, Skor mata pelajaran Sains juga merosot menjadi 471 pada tahun 2007 dibandingkan 510 pada tahun 2003 dan 492 pada tahun 1999. Hasil studi juga menunjukkan bahwa hanya 2% siswa Malaysia tergolong dalam kategori Advanced Benchmark untuk Matematika dalam TIMSS 2007, sedangkan pada TIMSS 2003 sebanyak 6% siswa Malaysia berada pada kategori tersebut. Untuk kategori Highbench Mark (skor 550), hanya 18% siswa Malaysia yang mencapai kategori ini pada tahun 2007 yaitu menurun dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 30%. Selanjutnya untuk Intermediate Benchmark (skor 475) penurunan terjadi dari 71% pada tahun 2003 menjadi 50% pada tahun 2007. Merosotnya nilai capaian siswa Malaysia tersebut adalah yang terbesar dari 59 negara yang berpartisipasi dalam TIMSS dimaksud. Prof Emeritus Datuk Dr Isahak Haron seorang guru besar pendidikan di Universiti Pendidikan Sultan Idris menduga bahwa kemerosotan tersebut adalah sebagai implikasi penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran Matematika dan Sains. Haron (2009) lebih lanjut menggunakan prestasi siswa dalam Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) tahun 2008 menjelaskan asumsi penggunaan bahasa ibu (lokal) dan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran di Matematika dan Sains di Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina (SRJKC) dan di Sekolah Kebangsaan (SK). Pada SRJKC kedua mata pelajaran diajarkan dalam bahasa Cina; sedangkan pada SK) semua murid belajar Matematika dan Sains dalam bahasa Inggeris. Pengumuman Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) tahun 2008 menunjukkan bahwa persentase siswa SRJKC yang mencapai tingkatan baik atau cemerlang meningkat, sementara untuk SK mengalami penurunan. Lebih dari 90% siswa pada SRJKC mengisi jawaban tes Matematika dan Sains dalam bahasa China, sedangkan 70% siswa SK memilih mengisi tes kedua mata pelajaran tersebut dalam bahasa Melayu, walaupun sehari-hari mereka diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Ishak Haron tidak sepakat terhadap pandangan yang mengatakan bahwa kemampuan dalam bahasa Inggris menjadi prasyarat penting dan menentukan untuk memungkinkan siswa-siswa melanjutkan pendidikannya dalam bidang sains, teknologi dan bidang-bidang lainnya. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa yang utama dikuasai siswa adalah konsep-konsep atau substansi kedua mata pelajaran tersebut dan bukan bahasa pengantar Inggris yang akan mengubah capaian siswa. Menurut Haron, sepanjang enam tahun lalu mereka belajar dua mata pelajaran penting ini dalam bahasa Inggeris (bukan bahasa keluarga). Fakta yang ada yaitu bahwa pembelajaran dan prestasi mereka lemah. Kebijakan PPSMI tersebut dikatakan tidak dilaksanakan oleh SRJKC karena mereka terus belajar Matematik dan Sains dalam bahasa Cina dan ditambah dengan istilah Inggeris. Hasilnya adalah prestasi siswa SRJKC cenderung lebih baik dibandingkan dengan siswa-siswa SK (Sekolah Kebangsaan). Haron berpendapat bahwa penggunaan bahasa Inggris menyukarkan umumnya siswa-siswa untuk dapat memahami Matematika dan Sains.
9

Ulasan laporan TIMSS 2007 mengenai faktor yang dikaitkan dengan pencapaian Matematika dan Sains adalah bahwa di kebanyakan negara peserta yang siswanya menggunakan bahasa pengantar yaitu bahasa ibu untuk mata pelajaran Matematika dan Sains secara rerata menunjukkan capaian yang lebih tinggi dibandingkan siswa-siswa dari negara yang menggunakan bukan bahasa ibu atau bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Laporan TIMSS tersebut tidak sepenuhnya benar apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa ibu dan capaian siswa-siswa Indonesia. Indonesia juga berpartisipasi dalam TIMSS (Trends inInternational Mathematics and Science Study) sejak tahun 1999. Indonesia berpartisipasi berturut-turut pada tahun 1999, 2003 dan 2007 karena studi ini dilakukan setiap 4 tahun sekali. Hasil menunjukkan bahwa peserta didik Indonesia termasuk dalam kelompok capaian rendah (low achiever) baik dalam Sains maupun Matematika khususnya apabila dikaitkan dengan 3 elemen utama dari instrument TIMSS yaitu pengetahuan (knowing), terapan (applying), dan bernalar (reasoning). Suatu tim telah dibentuk untuk menganalisis data TIMSS untuk ketiga tahun tersebut (Rustaman, 2008). Analisis ditujukan berdasarkan tinjauan substansi dan capaian siswa Indonesia terhadap capaian rata-rata internasional. Temuan yaitu bahwa (1) implementasi kurikulum atau standar isi mata pelajaran sains tidak utuh pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen), (2) belum adanya standar pembelajaran sains yang menekankan pengembangan kemahiran berpikir dan menggunakan konsep dasar sains dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) belum sinkronnya standar buku pelajaran, standar penilaian (eksternal dan PBK) dan standar peralatan pendidikan dengan tujuan pendidikan sains dalam standar isi. Akan lebih menarik apabila dilakukan telaahan lebih lanjut tentang sekolah-sekolah Indonesia yang berpartisipasi dalam TIMSS dimaksud. Apabila diantaranya terdapat RSBI yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dapat dibayangkan capaian siswasiswanya. Asumsinya adalah hasilnya akan lebih jelek karena dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja hasilnya sudah memprihatinkan. Pembahasan di atas memberikan suatu indikasi bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar cenderung akan menemui sejumlah kendala. Kendala-kendala tersebut terutama terkait dengan kemampuan guru-guru dalam menggunakan bahasa Inggris. Kesulitan yang dihadapi guru-guru untuk menjelaskan segala sesuatu dalam bahasa Inggris bukan tidak mungkin akan menimbulkan tingkat stress tertentu kepada mereka. Dampak terburuk adalah tidak tersampaikannya target kurikulum sesuai dengan kelayakan substansi.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan 1. Penggunaan bahasa Inggris pada RSBI bukan merupakan kewajiban atau keharusan. Hal ini dikaitkan dengan penafsiran dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada khususnya beberapa klausul dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah;
10

2. Pasal 5 ayat (3) dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai pilihan bagi RSBI untuk menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dasar dari hal ini adalah bahwa dalam Pasal 5 ayat (3) digunakan kata dapat yang secara hukum tidak dapat diartikan sebagai harus. Pasal tersebut berbunyi lengkap SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu; 3. Guru-guru RSBI khususnya yang mengajarkan mata pelajaran Matematika, Biologi, Kimia dan Fisika pada kenyataannya belum layak berbahasa Inggris karena penguasaan bahasa Inggris mereka berdasarkan TOEIC berada dalam kategori novice dan elementary yaitu tingkat dasar. Apabila dikaitkan dengan ketentuan yang tertulis dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, sesungguhnya mayoritas guru-guru RSBI yang ada pada RSBI tidak layak untuk mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar; 4. Pengalaman di Korea menunjukkan bahwa para orangtua menentang penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran Matematika dan Sains karena kekhawatiran anak-anak mereka tidak dapat menguasai substansi mata-mata pelajaran tersebut sehingga akan kehilangan peluang untuk dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi; 5. Kajian yang dilakukan terhadap kemerosotan prestasi siswa-siswa Malaysia dalam TIMSS diduga terkait dengan ketetapan pemerintah Malaysia untuk melaksanakan kebijakan Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik dalam Bahasa Inggeris (PPSMI). Saran 1. Ketetapan yang tertulis tentang penggunaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 perlu dicermati dan dievaluasi dengan merujuk kepada sejumlah fakta empiris yaitu penguasaan bahasa Inggris guru-guru pada RSBI serta pengalaman negara-negara lain; 2. Penggunaan bahasa pengantar sebagai bahasa Inggris seyogianya tidak dianjurkan pada RSBI mengingat hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Tafsiran dari ayat (1) pasal 29 UU Nomor 24/2009 ini cukup jelas yaitu bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, yang digunakan sebagai bahasa pengantar wajib adalah Bahasa Indonesia; 3. Dalam hal RSBI masih ingin menggunakan bahasa pengantar untuk proses pembelajaran beberapa mata pelajaran, perlu dipastikan bahwa guru-guru yang akan mengajarkan mata-mata pelajaran tersebut memang memiliki kemampuan bahasa Inggris minimal tingkat intermediate; 4. Mengingat pengalaman di Korea, sebaiknya untuk satuan pendidikan sekolah dasar sama sekali tidak diperkenankan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini didasarkan fakta bahwa di Indonesia tidak semua siswa pada satuan pendidikan dasar yang cukup menguasai bahasa Indonesia; 5. Capaian pendidikan siswa-siswa baik pada Ujian Nasional, PISA maupun TIMSS seyogianya dipertimbangkan untuk menetapkan kepatutan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar khususnya pada RSBI yang ada. PUSTAKA ACUAN
11

Coleman, Hywel. (2011). Teaching other Subjects through English in Three Asian Nations: A Review (minor revisions March 2011). London: School of Education, University of Leeds,UK. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia. (2006a). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia. (2006b). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional. (2009). Peta Kemampuan Bahasa Inggris Pendidik dan Tenaga Kependidikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Berdasarkan Test of English for International communication (TOEIC). Jakarta : Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional. Roesdiono, Eddy (www.kompasiana.com/Eddyroesdiono: Bahasa Inggris, Anak Tiri RSBI. OPINI | 09 June 2011 | 12:31 Haron, Isahak. (2009). Bahasa Melayu untuk Sains, Matematik Tetap Realistic. Posted 04/03/2009 10:23:20 AM http://nicosaga.aceboard Imron, Ali. (2007). Kajian Manajemen Sekolah Unggulan pada Satuan Pendidikan Dasar. Jakarta: Direktorat TK SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Kementerian Pendidikan Nasional. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Kompasianer Itje Chodidjah http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/13/sbirsbi-lantaran-seorang-butameraba-gajah/) Kompasianer Ihya Ulumuddin pembodohan-sistemik/) dalam tulisannya (http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/13/rsbi-

Rustaman, Nuryani. (2008). Science Content Analysis and Students Achievement: INDONESIA (paparan).

12

You might also like