You are on page 1of 6

BAB II PENELAHAAN PUSTAKA

I. DASAR TEORI Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja, dan efek samping, analgetika dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: o o Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat Analgetika berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja (hipnoanalgetika, kelompok obat opiat) terutama pada perifer dengan sifat antipiretika kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik (Mutschler, 1991). Sebagai analgetika, obat analgetika non narkotika efektif terhadap rasa nyeri dengan intensitas rendah hingga sedang, misalnya sakit kepala, mialgia dan nyeri lainnya yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesik dari analgetika non narkotik jauh lebih rendah dari obat golongan narkotik dan tidak menimbulkan efek toleransi atau ketagihan (Anief,1997). Analgetik merangsang reseptor nyeri yang letaknya pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan saraf pusat melalui sumsum tulang belakang ke thalamus kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, dimana rangsang terasa sebagai nyeri. Sebagai mediator nyeri antara lain: 1. Histamin 2. Serotonin 3. Plasmokinin (antara lain bradikinin) 4. Prostaglandin 5. Ion kalium (Anief, 1995).

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan , melindungi, dan memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, kebanyakkan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas dari nyeri (Mutschler, 1991). Rasa nyeri diartikan sebagai suatu sensasi karakteristik meningkat dari rangsang yang menyakitkan yang merupakan aspek neurologist. Nyeri timbul jika rangsang mekanik,thermal,kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri ( Mutschler,1991). Nyeri menurut tempat terjadinya dibedakan atas nyeri somatic dan nyeri dalaman (viscecal). Nyeri somatic dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Nyeri permukaan mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan hilang dengan cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri dalam dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Nyeri visceral mirip dengan nyeri dalam, sifatnya menekan dan reaksi vegetatif yang menyertainya (Mutschler,1991). Cara pemberantasan nyeri: a. Menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri perifer oleh analgetik perifer atau oleh anastesi lokal. b. Menghalangi penyaluran rangsang nyeri dalam saraf sensoris, misalnya dengan anastesi local. c. Menghalangi pusat nyeri dalam susunan saraf pusat dengan analgetik sentral (narkotik) atau dengan analgitik umum (Anief,1995). Berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai rasa nyeri pada kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relative tinggi (108 g/l) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa

ini bersama-sama dengan senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat menimbulkan rasa nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri paling efektif dari kelompok transmitter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin yang termasuk senyawa penyebab nyeri kuat. Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalm peristiwa nyeri, mensensibilisasi rseptor nyeri dan disamping itu menjadi penentu dalam nyeri lama (Mutschler, 1991). Analgetik dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: 1. Analgetik narkotika Analgetik narkotik mempunyai daya penghalang nyeri yang kuat sekali, mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan (habituasi), ketergantungan psikis dan fisik, dan gejala-gejala abstinesia bila obat dihentikan segera. Contoh golongan obat ini adalah Hidromorfon HCl, Petidin HCl, Opii puluis 9 dan sediaannya, Morfin HCl. Petidin merupakan suatu zat sintesis secara kimia lebih menyerupai atropine daripada morfin, memiliki sifat spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap batuknya sama dengan morfin. (Mutschler, 1991). Mekanisme kerja analgetik narkotik berkaitan secara selektif pada banyak tempat di seluruh tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi. Tempat kerja utama di lokus otak yang terlibat transmisi rasa nyeri (Mutschler, 1991). 2. Analgetik non narkotik Obat analgesic non narkotik berefek melalui mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin berperan dalam nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jantung atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan keluarnya mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamine, merangsangnya dan menimbulkan rasa nyeri yang nyata. Golongan obat ini menghambat enzim sklooksigenase

sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Contoh obat golongan ini adalah aspirin, asetosal, asam mefenamat, parasetamol, fenilbutason, pirosikan, dan asam salisilat. Setiap obat menghambat sikooksigenase dengan cara yang berbeda. Khususnya parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah perioksidasenya seperti di hipotalamus. Aspirin menghambat biosintesis prostaglandin dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini (Anonim, 1995). Sebagai analgetik, obat analgetik non narkotik efektif terhadap rasa nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artaglia, dan rasa nyeri lain yang berasal dari integumentum juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesic dari analgesic non narkotik jauh lebih rendah dari obat golongan narkotik. Tetapi obat ini tidak menimbulkan ketagihan dan efek samping sentral yang merugikan seperti golongan narkotik. (Anonim, 1995) Beberapa efek samping yang timbul setelah pemakaian analgesik non narkotik yaitu kerusakan lambung, usus, kerusakan darah seperti leucopenia, agranulositosis serta kerusakan hati dan ginjal. Penggolongan obat analgesic non narkotik: Salisilat-salisilat, misal: asetosal, salisilamida, Na salisilat Derivat para amino fenil, misal: fenasetif, asetamenofen Derivat pirazolon, misal: antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutason, dan turunannya Derivat antranilat, misal : glafenin, asam mefenamat (Anonim, 1995)

Turner membagi metode pengujian daya analgesic menjadi dua berdasarkan jenisnya, yaitu: Golongan narkotik o o o o o o o Metode jepit ekor Metode pengukur tekanan Metode rangsang panas Metode potensi petidin Metode antagonis nalortin Metode kejang oksitoksin Metode pencelupan pada air panas (Mutschler,1991)

Golongan non narkotik o o o Metode rangsang kimia Metode pododolorimetri Metode rektodolorimetri (Turner, 1995).

DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh, 1995, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, 45-46, UGM Press, Yogyakarta Anonim, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, UI Press, Jakarta Mutschler, Ernst, 1991, Dinamika Obat, 177-197, ITB, Bandung Turner, 1995, Screening Methods in Pharmacology, 100-107, Academic Press, New York

You might also like