You are on page 1of 4

7. Pemeriksaan Diagnostik PPOM 1.

Anamnesis Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOM, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll. 2. Pemeriksaan Fisik Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang-kadang terdengar ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda-tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah. Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih kecil ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung lemah. Kadangkadang disertai kontraksi otot pernapasan tambahan. Sering didapatkan hernia inguinal. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih keras, terutama di ruang interkostal 2 dan 3 sebelah kiri. Pada pembesaran jantung kanan akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah pinggir sternum. Pasien dengan bronkitis kronik yang lebih dominan, pada stadium lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi eritropoiesis dan vasokontriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya bertambah berat. Pasien demikian dinamakan blue bloaters. Pasien dengan emfisema yang lebih dominan, pada stadium lanjut terlihat sebagai pasien yang kurus, sesak napas, terlihat menggunakan otot pernapasan tambahan. Bila duduk biasanya membungkuk dengan kedua tangannya diletakkan di muka sebagai penahan. Saturasi hemoglobin masih cukup, karena volume pernapasan permenit dinaikkan. Pasien tersebut dinamakan pink puffer. 3. Pemeriksaan Faal Paru Spirometri Dengan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal paru yaitu: Kapasitas vital paksa (KVP) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa setelah inspirasi maksimal.

Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama. Rasio VEPl/KVP. Arus puncak ekspirasi (APE). Apabila nilai VEP1 kurang dari 80% nilai dugaan, rasio VEP1/KVP kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas. Bila digunakan spirometri yang lebih lengkap dapat diketahui parameter lain: Kapasitas vital (KV), jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Kapasitas paru total (KPT), yaitu jumlah total udara dalam paru pada saat inspirasi maksimal. Kapasitas residu fungsional (KRF), yaitu jumlah udara dalam paru saat akhir ekspirasi biasa. Volume residu (VR), jumlah udara yang tertinggal dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Air trapping, selisih antara KV dengan KVP Pada pasien bronkitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (Kecepatan Arus Ekspirasi Maksimal) atau MEFR (Maximal Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Kelainan di atas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan KAEM, closing volume, flow volume curve dengan O2 dan gas helium dan N2 wash out curve. Pada emfisema, kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang. Dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kapasitas difusi untuk CO. Uji Bronkodilator Uji bronkodilator adalah suatu pemeriksaan faal paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator untuk menilai reversibilitas penyakit. Uji bronkodilator dikerjakan sebagai berikut : Dilakukan pengukuran APE atau VEP1 pada pasien yang telah dibebaskan dari bronkodilator sebelumnya. Pemakaian teofilin dihentikan selama 12 jam, untuk lepas lambat 24 jam. b 2 agonis oral dibebaskan 12 jam dan b 2 agonis inhalasi 8 jam. Kemudian diberikan inhalasi b 2 agonis sebanyak 8 semprot memakai alat nebuhaler atau volumatik. 15 menit setelah

pemberian inhalasi bronkodilator, dilakukan pemeriksaan faal paru kembali. Kemudian ditentukan persentase kenaikan nilai APE atau VEP1 (reversibilitas) dengan rumus berikut : Reversibili tas = VEP1 post bronkodilator - VEP1 pre bronkodilator x 100% VEP1 pre bronkodilator Apabila nilainya > 15% dianggap masih reversibel. 4. Pemeriksaan Radiologis Foto dada pada bronkitis kronik Bronkitis kronik bukan suatu diagnosis radiologis. Menurut Fraser dan Pare, lebih dari 50% pasien bronkitis kronik mempunyai foto dada yang normal, sedangkan Hardiarto mendapatkan 26% pasien. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Tubular shadows atau tram lines terlihat bayangan garis-garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apek paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal. Dari 300 pasien yang diperiksa Fraser dan Pare, ternyata 80% mempunyai kelainan tersebut. b. Corak paru yang bertambah. Menurut Gamsu dan Nadel kira-kira pada 0-20% pasien. Foto dada pada emfisema Pemeriksaan radiologis pada emfisema paru telah diselidiki antara lain oleh Thurlbeck dkk., dan ternyata lebih khas daripada bronkitis kronik. Terdapat 2 bentuk kelainan foto dada pada emfisema, yaitu: a. Gambaran defisiensi arteri Terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bulae. Menurut Fraser dan Pare lebih sering didapat pada emfisema panlobular dan pink puffer. Overinflasi, hampir selalu terlihat diafragma yang rendah dan datar, bahkan kadang-kadang terlihat konkaf. Pada pemeriksaan sinar tembus gerakannya berkurang. Udara di ruang retrosternal bertambah (trapped air) yaitu jarak antara sternum dan pinggir depan aorta asendens. Juga sternum lebih melengkung, penambahan kifosis, tulang iga lebih mendatar dan melebar. Oligoemia, penciutan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan ke distal. Mungkin disebabkan karena darah yang mengalir ke bagian bawah paru yang emfisema sangat berkurang, disebabkan karena darah dialirkan ke bagian atas paru. Bulae, sering terdapat pada pasien emfisema. b. Corakan paru yang bertambah (increased marking pattern)

Lebih sering terdapat pada kor-pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat. 5. Analisis Gas Darah Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emfisema paru sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. Sebaliknya pasien bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga PaCO2 naik. Saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis. Terjadi juga vasokontriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoiesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoietin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada pasien yang berumur lebih dari 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan timbul cepat. 6. Pemeriksaan EKG Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan kor pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)(Rubenstein, et.al., 2007). Pada pemeriksaan EKG, untuk penderita korpulmonal paru diperhatikan hal-hal seperti dibawah ini: 1) Adanya emfisema dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemeriksaan EKG 2) Perubahan pada EKG yang ditimbulkan oleh emfisema mengaburkan penilaian perubahan EKG yang disebabkan hipertrofi bilik kanan jantung 3) EKG bisa normal walaupun diagnosis korpulmonal telah jelas Emfisema dan hipertrofi bilik kanan jantung secara bersama-sama dapat menimbulkan perubahan pada EKG. Hal ini kadang-kadang dapat menimbulkan kesalahan dalam penilaian. 7. Pemeriksaan Laboratorium Darah Terjadi peningkatan jumlah sel darah putih. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat sedikit meningkat

You might also like