You are on page 1of 12

Aspek Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air (Integrated Water Resources Management - IWRM) dalam Pebaharuan Kebijakan Menuju Pengelolaan

Sumberdaya Air yang Berkelanjutan di Indonesia

Dipersiapkan oleh: Helmi Pusat Studi Irigasi, Sumberdaya Air, Lahan, dan Pembangunan (PSI-SOALP) Universitas Andalas

Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional tentang "Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan" kerjasama Pusat Studi Irigasi, Sumberdaya Air, lahan dan Pembangunan (PSI-SDALP) Universitas Andalas; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS); dan Food and Agriculture Organization (FAO), Jakarta Office Padang, 23 Mei Mei 2003.

1.

Pendahuluan

Ada tiga fenomena penting yang perlu dicermati dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Pertam, adalah permintaan terhadap air dari berbagai sector kehidupan cenderung semakin meningkat. Perkembangan permukiman di wilayah perkotaan, perkembangan industri, pertambangan, dan peningkatan permintaan terhadap energi listrik telah meningkatkan permintaan terhadap air. Peningkatan permintaan ini pada sejumlah daerah telah menimbulkan kelangkaan sehinggal timbul kompetisi dan konflik dalam pengaloksian terutama diantara penggunaan untuk pertanian (sebagai sector pengguna terbesar) dengan sector non pertanian. Kedua, penurunan kondisi sumberdaya air itu sendiri. Peningkatan permintaan dan terjadinya kelangkaan air diikuti pula oleh penurunan kondisi sumberdaya air dalam bentuk kerusakan daerah tengkapan dan pencemaran air sehingga terjadi kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran dimusim hujan. Ketiga, krisis pengelolaan yang ditandai oleh keidak mampuan kerangka kebijakan, kerangka hokum, kerangka kelembagaan, dan kapasitas sumberdaya manusia, dalam menyikapi fenomena pertama dan kedua diatas. Ketiga fenomena tersebut mengindikasikan semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan sumberdaya air sehingga diperlukan adanya keterpaduan dalam pengelolaan dan pembaharuan kebijakan. Dalam kaitan ini pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya pembaharuan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Makalah ini mencoba menyilau aspek keterpaduan dalam kebijakan baru, terutama dalam rancangan undang-undang (RUU) sumeberdaya air yang sudah dipersiapkan. Pada bagian awal dari makalah ini akan disajikan pengertian dan prinsip0prinsip pengelolaan terpadusumberdaya air (integrated water resources management IWRM) kemudian diikuti oleh beberapa kecenderungan dan isu pengelolaan sumberdaya air di Sumatera Barat juga disajikan dengan maksud menarik beberapa pelajaran untuk mencermati RUU Sumberdaya Air. 2. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadi (IWRM)

Pengelolaan sumberdaya air secara terpadi adalah suatu proses yang mengedepankan pembangunan da pengelolaan sumberdaya terkait lainnya secara terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultan ekonomi dan kesejahteraan sisial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan (sustainability) ekosistem yang vital. Prinsip-prinsip pengelolaan air secara terpadu ini dikembangkan sebagai respon terhadap pola pengelolaan sumberdaya air yang diterapkan selama ini yang cenderung terpisah-pisah (fragmented) sehingga menimbulkan berbagai persoalan seperti banjir, intrusi air laut karena pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran, dan sebagainya. Keterpaduan ini mencakup dua komponen besar, yaitu keterpaduan pada system alam (natural system); dan keterpaduan pada sitem manusia (human system). Pada komponen system alam (natural system), setidaknya ada enam aspek keterpaduan yang diperlukan, yaitu: 1) 2) 3) Keterpaduan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan air diantaranya daerah hulu dan hilir Keterpaduan diantara pengelolaan kuantitas dan kualitas; Keterpaduan diantara pengelolaan air permukaan dan air bawah tanah;

4) 5) 6)

Keterpaduan diantara penggunaan lahan (land use) dan pengelolaan air (berkaitan dengan siklus hidrologi) Keterpaduan diantara pengelolaan green water (air yang digunakan untuk evapotranspirasi) dan blue water (air yang mengalir di sungai atau air di akuifer);dan Keterpaduan diantara pengelolaan air tawar dengan pengelolaan daerah pantai

Pada komponen system manusia (human system) setidaknya ada empat aspek keterpaduan yang diperlukan, yaitu: 1) Keterpaduan antara sector dalam pembuatan kebijakan nasional (cross-sectorral integration in national policy development). Kebijakan sumberdaya air perlulah terintregasi baik dengan kebijakan pembangunan ekonomi, social, maupun kebijakan pembangunan sektoral. Sebaliknya kebijakan ekonomi dan social perlulah memperhitungkan implikasinya terhadap sumberdaya air (seperti kebijakan nasional tentang energi dan pangan akan berpengaruh terhadap sumberdaya air). Akibatny, system pengelolaan sumberdaya air perlulah mencakup pertukaran informasi antar sector, prosedur koordinasi, dan teknik-teknik untuk mengevaluasi proyek tertentu berkaitan dengan implikasinya terhadap sumberdaya air secara khusus dan masyarakat secara umum. Keterpaduan semua stakeholders dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, Keterpaduan dalam aspek ini merupakan elemen kunci dalam menciptakan keseimbangan dan keberlanjutan penggunaan air. Realitasnya adalah bahwa masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan (konflik) satu sama lain. Dalam kaitan ini perlu dikembangkan alat-alat operasional (operational tools) untuk pengananan dan penyelesaian konflik serta untuk mengevaluasi trade-off diantara berbagai tujuan, perencanaan dan aksi. Isunya adalah keperluan untuk mengidentifikasi dan menetapkan fungsi-fungsi pengelolaan sumberdaya air pada berbagai tingkatan dan pada setiap tingkatan semua stakeholders perlu diidentifikasi dan dilibatkan. Keterpaduan diantara pengelolaan air dan air limbah. Aspek penting disini adalah bagaimana air limbah bias menjadi penambahan yang bermanfaat terhadap aliran air atau suplai air. Tanpa pengelolaan yang terkoordinasi aliran air kimbah akan mencemari air tawar dan mengurangi suplai efektif yang tersedia. Keterpaduan pada aspek ini hanya bias dicapai jika ia menjadi bagian dari system ekonomi, politik, social dan administrasi.

2)

3)

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (IWRM) ada tiga criteria utama yang dijadikan acuan, yaitu: 1) Efisiensi ekonomi. Dengan meningkatnya kelangkaan air dan sumberdaya keuangan, dan dengan sifat sumberdaya air yang tersedia secara terbatas dan mudah tercemar, serta semakin meningkatnya permintaan maka efisiensi ekonomi penggunaan air sudah harus menjadi perhatian. 2) Keadilan. Air adalah salah satu kebutuhan dasar kehidupan, oleh sebab itu maka semua orang perlu mempunyai akses terhadap air yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mempertahankan kehidupannya. 3) Keberlanjutan (sustainablility) lingkungan dan ekologi. Penggunaan sumberdaya air haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan dating terhadap air. Ketiga criteria tersebut perlulah mendapat perhatian secara berimbang. Dalam kaitan ini maka ada beberapa elemen penting dan kerangka dan pendekatan IWRM, Yaitu:

1)

2) 3)

Lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) dalam bentuk kebijakan nasional, peraturan perundang-undangan, dan informasi tentang stakeholder pengelolaan sumberdaya air; Peran kelembagaan (institusional roles) pemerintah dan stakeholders pada berbagai tingkatan; dan Instrumen-instrumen pengelolaan (managemen instruments) untuk pengaturan yang efektif (seperti regulasi pada berbagai tingkatan dari pusat sampai kedaerah), untuk monitoring, dan untuk penegakan aturan yang memungkinkan pengambil keputusan untuk membuat pilihan diantara alternative pilihan yang tersedia Kecenderungan dan Isu Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air di Indonesia

3.

Ada beberapa kecenderungan dan isu pokok pengelolaan terpadu sumberdaya air perlu menjadi perhatian dalam kaitan dengan pengelolaan yang berkelanjutan, yaitu1 Pertama, tanggung jawab pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air yang terbagi (fragmented) diantara berbagai instansi pemerintah tersebut antara lain: Departemen Kimpraswil, Departemen Petanian, Departemen Kehutanan, Departemen energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Perhubungan, dan lainnya. Masing-masingnya mempunyai prioritas sendiri dalam pengelolaan sumberdaya air. Isunya disini adalah membangun sebuah kerangka koordinasi antar instansi pemerintah dan diatas itu diantara semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) Kedua, sebagian besar air (sekitar 85%) digunakan untuk irigasi dengan efisiensi pengaliran (delivery) yang rendah (sekitar 40%). Disamping itu, secara ekonomi nilai air untuk penggunaan ini rendah. Ketika permintaan air dari sector lain semakin meningkat (untuk air minum, energi, industri, dlsb) maka cenderung terjadi relokasi air dari kegiatan pertanian ke kegiatan non-pertaian. Disini timbul isu dan persoaolan jaminan air bagi petani yang merupakan kelompok yang lemah dalam masyarakat. Ketiga. Pengelolaan sumberdaya air di Indonesia bias sisipenyediaan (supply) yang ditandai oleh perlakuan terhadap air sebagai sumberdaya yang ketersediaannya tidak terbatas, peran pemerintah yang dominant dalam penyediaan pelayanan air dengan beban biaya yang relative rendah (gratis sama sekali) terhadap pengguna, dan pendekatan kontruksi untuk menjawab kelangkaan supply dan kecenderungan penilaian efisiensi dari sudut pandang teknis. Isunya adalah bagaimana merubah orientasi pengelolaan dari sisi penyediaan (suplly) ke sisi permintaan (demand). Prinsip Pengelolaan pada strategi sisi permintaan menekannkan pada mempengaruhi perilaku pengguna dalam memakai air dengan mengembangkan organisasi pengelolaan yang menagani kedua aspek tersebut secara bersamaan (tiodak hanay sisi penyediaan saja)2 Keempat, organisasi pengelolaan belum berkembang untuk menjawab tantangan yang ada dan jika organisasi sudah ada otonomi organisasi ini masih rendah sehingga sebagian besar keputusan masih dibuat secara tersentralisasi. Isu penting dalam kaitan ini adalah keterlibatan semua pihak yang
Lihat juga Helmi (1997), Kearah Pengelolaan sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan agenda untuk Penyesuaian Kebijakansanaan dan Birokrasi Air di Masa Depan. Jurnal Visi Irigasi Indonesia Nomer 13,1997. Padang: PSI-SDALP Universitas andalas 2 Wynpenny (1994) mengemukakan bahwa ada tiga cirri pokok dari strategi pengelolaan sisi permintaan ini, yaitu: (1) memperhitungkan nilai air dalam hubungan dengan biaya penyediaannya; (2) mengambil tindakan-tindakan yang menghendaki pengguna menghubungkan tingkat pemakaian air mereka dengan biaya yang harus mereka bayar; (3) memperlakukan air sebagai barang ekonomi bukan sebagai suatu bentuk pelayanan pemerintah yang gratis (tidak perlu dibayar)
1

berkepentingan (stakeholders) dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek pengelolaan sumberdaya air. Kelima, konservasi daerah tangkapan air dan isi keadilan dalm hubungan hulu dengan hilir. Konservasi daerah tangkapan air adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Tetapi, perhatian terhadp aspek konservasi ini kelihatannya belum cukup memadai yang ditandai dengan terjadinya kekeringan dan kebanjiran. Disamping itu aspek keadilan distribusi manfaat dan biaya diantara masyarakat yang tinggal didaerah hulu yang diharapkan melakukan konservasi dan masyarakat di bagian hilir yang menikmati hasil kegiatan konservasi belum banyak mendapat perhatian. Keenam, Isu peningkatan kapasitas untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. Pengelolaan yang bersifat sektoral selama ini juga diikuti dengan pengembangan kapasitas yang sifatnya sektoral. Pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan mensyaratkan diaplikasikannya prinsip-prinsip pengelolaan terpadu sumberdaya air. Aplikasi prinsip-prinsip pengelolaan terpadu sumberdaya air menghendaki pengetahuan dn ketrampilan teknis yang berbeda sama sekali dengan pengelolaan yang terfragmentasi dan sektoral. Oleh sebab itu upaya peningkatan kepasitas dalam kerangka pengelolaan terpadu merupakan salah satu elemen pokok pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan. 4. Masalah yang Muncul Berkaitan dengan Ketidak Terpaduan yang Berpengaruh Kepada Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya air, Beberapa Ilustrasi dai Sumatera Barat

4.1. Pengalaman Sub-Dar Ombilin Sub-daerah aliran sungai Ombilin adalah bagian dari satuan wilayah sungai (SWS) Inderagiri yang beralokasi pada bagian hulu DAS tersebut. Panjan sungai ini mulai dari muaranya di Outlet Danau Singkarak sampai pertemuan dengan sungai Sinamar adalah sekitar 71 km. Sungai Ombilin ini mengalir kearah timur Pulau Sumatera dari ketinggian sekitar 360 meter dapat sampai dengan 180 meter dpl. Pengalaman Sub-Das Ombilin menjadi menarik dalam konteks Sumatera Barat karena beberapa alas an berikut: Kondisi dimana penggunaan air melibatkan sejumlah pihak seperti: penggunaan untuk irigasi dengan menggunakan kincir air dan pompa; penggunaan untuk air minum;penggunaan untuk pembangkit tenaga listrik; penggunaan untuk indusri (pencucian batu bara); dan pengunaan untuk mandi dan mencuci oleh masyarakat yang tinggal disekitar sungai. Penggunaan air yang melibatkan banyak pihak ditambah dengan pembangunan PLTA di danau Singkarak yang merupakan sumber air Sungai Ombilin , yang kemudian mengurangi debit air yang dapat dialirkan kesungai Ombilin dari danau Singkarak, telah memunculkan kerumitan kerumitan dalam penggunaan dan pengelolaan air di sungai ini. Pengambilan air PLTA Singkarak pada dasarnya merupakan satu bentuk inter-basin water transfer karena air yang dipakai oleh PLTA tersebut dialirkan kearah barat Pulau Sumatera dan kemudian masuk se sungai Bt. Anai (tidak kembali lagi ke Sungai Ombilin)

Dampak Pengoperasian PLTA Singkarak Terhadap Pengguna Air Pada Sub-DAS Ombilin. Pengoperasian PLTA Singkarak dilakukan dengan mengatur outflow ke Sungai Ombilin. Sebelumnya, rata-rata outflow ke Sungai Ombilin adalah 49,6 m3/detik dan pada musim kemarau normal outflownya sekitar 15m3/detik. Setelah beroperasinya PLTA outflow dari Danau Singkarak

ke Sungai Ombilin diatur dengan kisaran 2m3/detik pada musim hujan dan 6m3/detik pada musim kemarau. Penurunan outflow tersebut telah menyebabkan berkurangnya debit air sungai ang berpengaruh terhadap pengguna lain. Berikut ini adalah beberapa dampak pengoperasian PLTA Singkarak terhadap pengguna air disepanjang Sungai Ombilin. (1) Berkurangnya jumlah irigasi kincir air dan luas pertanian beririgasi. Dampak pengurangan debit Batang Ombilin ini paling dirasakan oleh kelompok pengguna terbesar yaitu irigasi untuk pertanian. Pada dasarnya kincir air merupakan sistim irigasi tradisional yang ada semenjak lama dan dirasakan paling cocok untuk tipologi sub_DAS Ombilin tersebut yang dicirikan oleh penampang sungai yang lebar, permukaaan air yang dalam kondisi normal jauh kebawah, dan debit air yang berfluktuasi besar sekali antara musim hujan dengan musim kemarau, kondisi tanah yang poros sehingga cepat terjadi kehilangan air, dan kondisi topografi yang terbukti sehingga luas areal pelayanannnya relative kecil. Secara rata-rata, lebar penampang Batang Ombilin adalah sekitar 50 meter, dan perbedaan elevasi antara muka air dan areal sawah rata-rata sekitar 3 meter. Pada musim hujan, debit sungai meningkat besar sekali yang biasanya akan menimbulkan banjir dan menggenangi sawah-sawah yang dekat dengan sungai. Dengan tipologi sungai seperti ini dan rata-rata luas hamparan sawah yang kecil menyebabkan membangun irigasi permukaan bukanlah pilihan karenan akan memerlukan biaya cukup besar. Jadi, Irigasi dengan menggunakan kincir air merupakan sisitem irigasi sederhana yang secara ekonomis dapat dijangkau oleh petani dan teknologinya mereka kuasai. Kesulitan penyediaan air irigasi dengan kincir ini kemudian diatasi dengan penggunaan pompa air. Pada tahun 2000 terdapat 14 unit irigasi pompa yang beroperasi disepanjang DAS Ombilin dengan total luas areal yang dilayani sekitar 138,5 hektar dan jumlah petani lebih kurang 200 orang. Sebahagian besar pompa-pompa tersebut merupakan bantuan dari pihak luar seperti dari dinas pertanian atau instansi lainnya yang diberikan kepada sekelompok petani yang telah mengorganisasikan diri. Namun demikian, sebahagian petani yang dilayani pompa ini juga mengeluhkan besarnya biaya operasional pompa dibandingkan dengan kincir air. Persoalan lain adalah kondisi tanah sawah yang sebahagiannya tergolong poros sehingga membutuhkan aliran air masuk yang terus menerus (continous flow) untuk menjaga agar suplai air dilapangan tetap cukup. Sementara pompa air tidak dapat dioperasikan secara terus menerus. Dalam kondisi seperti itu kincir air memiliki keunggulan komperatif karena bias beroperasi secara terus-menerus tanpa pertambahan biaya operasional yang signifikan. Bila dibandingkan kondisi sebelum beroperasinya PLTA (1996) dengan kondisi tahun2000, maka telah terjadi penurunan jumlah kincir yan gdapat beroperasi sebesar 50% (366 buah menjadi 184), dan areal pelayanan berkurang dengan 40% (549 Ha menjadi 333 Ha) (2) Meningkatnya biaya operasioanl dan pemeliharaan kincir air. Sementara itu, bagi pemilik kincir air yang masih beroperasi sekarang ini, pengurangan debit Batang Ombilin menimbulkan beberapa persoalan dalam operasi dan pemeliharaan kincir. Pertama, tidak mempunyai debit air sungai yang ada (terutama pada musim kemarau) untuk memutar kincir air secara normal. Hal ini berarti bahw agar kincir tetap beroperasi maka pemiliknya harus memperpanjang bendung tradisional (punun) untuk menaikan muka air dan mengarahkan aliran air ke lokasi kincir, atau mengurangi jumlah tabung air pada kincirnya sehingga kincir menjadi masingmasingnya adalah bertambahnya beban kerja dan biaya pengoperasian kincir air serta berkurangnnya kapasitas kincir untuk mensuplai air sehingga luas areal sawah yang bias dialiripun menjadi

berkurang. Disamping itu, seringnya gangguan dalamsuplai air ini mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan padi sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi rendah. Persoalan kedua adalah hanyutnya bendung dan bahkan kincirnya oleh aliran air sungai yang deras sebagai akibat dari pertambahan debit sungai secara drastis yang deras sebagai akibat dari pertambahan debit sungai secara drastic yang biasanya disebabkan oleh pembuangan air danau Singkarak ke Batang Ombilin. Biasanya hal ini sering terjadi pada musim hujan, dimana kelebihan air danau harus dibuang ke Batang Ombilin untuk menghindari terendamnya daerah permukiman dan lahan pertanian disekeliling danau. Dengan kata lain, intensitas kerusakan bendung dan kincir menjadi meningkat yang jugaberarti meningkatnya beban kerja dan biaya untuk perbaiakn tersebut. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap pemilik kincir diketahui bahwa secara rata-rata intensitas kerusakan kincir meningkat dari 2 kali per musim tanam (MT) sebelum adanya PLTA Singkarak menjadi 5 kali per MT setelah beroperasinya PLTA Singkarak. Beban biaya yang lebih berat justru dirasakan oleh pemilik kincir dimana dia harus mencarikan solusi bagi semua petani yang dilayani kincirnya bila kincir tersebut tidak mampu menyediakan air sebagaimana mestinya. Biasanya pemilik kincir akan menyewa pompa air untuk mengairi sawah dalam areal kincirnya, dan harus menanggung semua biayanya sendiri. (3) Berkurangnya kontinuitas aliran air irigasi dan tingkat hasil padi. Sebagai akibat dari meningkatnya intensitasnya kerusakan fasilitas kincir air maka kontinuitas aliran air untuk sawah mengalami gangguan yang juga membawa akibat terhadap usaha tani beririgasi itu sendiri. Seperti telah disinggung diatas, seringkali hal itu menyebabkan terganggunya pertumbuhan padi yang menyebabkan turunnya tingkat hasil dan berujung pada kerugian pihak petani secara ekonomis.Dari informasi yang diperoleh terlihat bahwa tingkat penurunan hasil padi ini bervariasi. Sebahagian petani melaporkan penurunan produksi sebesar 50% dari produksi normalnya.

(4) Menurunnya kualitas air sungai sebagai air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Meskipun secara kuantitas suplai air Batang Ombilin masih diatas kebutuhan POAM namun pengurangan inflow dari danau Singkarak telah menyebabkan kualitas air Batang Ombilin menurun seiring dengar. meningkatnya kekeruhan air. Hal ini disebabkan karena inflow dari Batang Selo yang keruh menjadi sumber terbesar debit Sungai Ombilin. Bagi pihak PDAM, konsekwensinya adalah meningkatnya biaya pengolahan (treatment) air baku dari sungai tersebut karena bertambahnya jumlah pemakaian bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan atau penjernihan air. Selain itu, biaya operasional dan pemeliharaan peralatan pengolah juga meningkat karena intensitas kerusakan alat (terutama saringan atau filter) yang bertambah meskipun frekwensi pembersihannya telah ditingkatkan. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas air baku yang tingkat kekeruhannya sudah melebihi kapasitas atau ambang batas kemampuan peralatan pengolahan yang ada. Pada saat tingkat kekeruhan air Batang Ombilin sudah melebihi ambang batas yang layak untuk diolah, biasanya POAM tidak lagi melakukan pengolahan karena tingkat pemakaian bahan kimia yang diperbolehkan tidak akan mampu lagi mengendapkan partikel-partikellumpur yang terkandung dalam air baku tersebut. Pada sisi lain, jumlah pemakaian bahan kimia tidak bisa ditingkatkan lagi karena mungkin akan berdampak buruk bagi pemakai air. Dalam kondisi seperti ini PDAM biasanya langsung mensuplai air baku tersebut ke jaringan distribusi sehingga air baku itulah nantinya yang diterima pelanggan. Sejauh ini belum ada keluhan dari masyarakat pemakai air tentang akibat yang ditimbulkannya, dan juga belum ada studi mendalam tentang itu.

(5) Berkurangnya populasi ikan di sungai. Dengan berkurangnya debit Batang Ombilin akibat beroperasinya PL TA Singkarak, pendapatan masyarakat pencari ikan dari usaha menangkap ikan ini juga menurun secara drastis karena ketersediaan ikan di sungai berkurang jauh sekali. Bahkan menurut beberapa informan, jenis-jenis ikan tertentu yang harganya mahal seperti patin dan garing, populasinya sudah sangat langka sekali. Hal ini berkaitan dengan habitat ikan tersebut yang menyukai hidup pada sungai yang dalam sehingga pengurangan debit sungai membuatnya jadi habitat yang tidak disukai lagi oleh ikan-ikan tersebut. (6) Dampak bagi masyarakat pengguna air sungai untuk mandi dan mencuci. Walaupun dari kuantitas belum terjadi kekurangan air untuk memenuhi keperluan kelompok masyarakat, namun karena debit yang berkurang dan air Bt. Selo yang (yang masuk ke Sungai Ombilin) sering keruh maka kualitas air terutama pada musim kemarau menjadi menurun. (7) Pengaruh terhadap Perusahaan Tambang Bukit Asam - Unit Pengelolaan Ombilin (PTBA-UPO). Penurunan debit air di Sungai Ombilin diatasi dengan membuat bangunan peninggi muka air sehingga belum dirasakan dampaknya. Dampak pengoperasian PLTA Singkarak ini juga dirasakan oleh masyarakat di sekitar Danau yang menggantungkan hidupnya dari penangkapan ikan dari danau tersebut. kecenderungan memperlihatkan bahwa setelah beroperasinya PLTA populasi ikan menjadi menurun yang diduga salah satunya disebabkan oleh perubahan tinggi muka air danau yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan-ikan tersebut.

4.2.

Konflik Pendayagunaan Sumberdaya Air Lainnya di Sumatera Barat.

Peningkatan kompleksitas pengelolaan air tersebut tidak hanya terjadi di Sungai Ombilin dan Danau Singkarak saja. Seperti sudah disinggung pada oendahuluan konflik pendava gunaan sumberdaya air lainnya juga sudah bermunculan di daerah-daerah lain di Sumatera Barat. Berikut ini disajikan deskripsi singkat dari berbagai konflik tersebut (1) Konflik pemanfaatan air antara masyarakat Nagari Sungai Tanang dan Perusahaan Oaerah Air minum (POAM) Kota Bukittinggi, Substansi dari konflik ini adalah klaim hak masyarakat adat atas sumber air yan berada di dalam lahan ulayat mereka yang dimanfaatkan oleh PDAM Kota Bukittinggi. Konflik ini sempat menimbulkan terputusnya aliran air ke Kota Bukittinggi beberapa hari. Penyelesaian adalah bahwa PDAM Bukittinggi membayar bagi hasil penjualan kepada masyarakat sebesar 6% dari total nilai jual air (dengan harga dasar Rp. 350/m3) setiap bulannya, (2) Konflik antara masyarakat Kelurahan Gunuang Sariak dengan POAM Kota Padang, Substansi konflik ini adalah realokasi sebagian air Sungai Guo yang sebelumnya digunakan untuk irigasi sekarang juga melayani penyediaan air baku PDAM Kota Padang. Peningkatan volume air yang diambi oleh PDAM tanpa kesepakatan dengan petani telah mengakibatkan sebagian sawah yang ada tidak lagi mendapat air secara mencukupi. Penyelesaian konflik yang difasilitasi oleh DPRD Kota Padang sejauh ini menetapkan 80% debit air untuk irigasi dan 20% untuk PDAM. (3) Konflik penggunaan air dari jaringan irigasi Bandar Usang, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Substansi konflik ini adalah diversifikasi penggunaan air irigasi untuk padi sawah dan usaha perikanan. Berkembangnya usaha peternakan ikan disepanjang saluran telah menyebabka aliran air menjadi tidak lancar. Petani padi sawah yang merasa dirugikan telah melaporkan keadaan ini dan memusyawarahkannya di tingkat kecamatan dan dengan DPRD. Tetapi karena tidak ada tindak lanjut penyelesaian maka masyarakat petani pada sawah mengambil tindakan sendiri untuk memperlancar aliran air irigasi ke sawah mereka, Pengalaman di Sub-DAS Ornbilin dengan semua dampak yang ditimbulkannya dan konflik-konflik pemanfaatan air lainnya yang sudah terjadi mengindikasikan bahwa kompleksitas pengelolaan dan penggunaan air telah semakin meningkat sehingga diperlukan pula upaya-upaya kearah peningkatan pengelolaan sumberdaya air. Pengalaman dan konflik yang ada tersebut juga memunculkan berbagai substansi pengelolaan sumberdaya air yang perlu mendapat perhatian dalam upaya peningkatan pengelolaan tersebut, seperti: kerangka kebijkan dan pengelolaan menyeluruh; koordinasi diantara berbagai pihak yang terkait (stakeholders); hak guna atas air; status air sebagai barang ekonomi3, dan substansi lainnya yang terkait.

4. Kearah Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan Sumberdaya Air di Indonesia: Beberapa Tanggapan Terhadap RUU Sumberdaya Air.
3 Untuk diskusi lebih rinci tentang status air sebagai barang ekonomi dalam konteks Indonesia, lihat helmi (1998), Memposisikan

Status Air Sebagai Barang Ekonomi di Indonesia: Isu Konstitusi, Kebijakan dan Implementasi dalam Kerangka memberikan Jaminan Air Bagi Petani Jurnal Visi Irigasi Indonesia Nomor 14, 1998. Padang: PSI-SDALP Universitas Andalas

Dalam upaya merespon isu dan tantangan pengelolaan sumberdaya air tersebut pemerintah Indonesia sekarang sedang melaksanakan pembaharuan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Secara garis besarnya agenda yang tercakup dalam upaya pembaharuan kebijaksanaan ini, yaitu: (1) (2) (3) (4) membentuk wadah nasional sumberdaya air (badan air nasional, atau dengan nama lainnya); merumuskan kebijaksanaan sumberdaya air nasional; menyesuaikan undang-undang dan peraturan pemerintah (termasuk peraturan daerah); memperkuat sistem koordinasi kelembagaan sumberdaya air baik pada tingkat propinsi maupun pada tingkat wilayah sungai dengan membentuk/mengaktifkan Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) di tingkat propinsi, Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air (PPTPA) pada tingkat wilayah sungai, dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (PSDA) yang berperan sebagai regulator dan/atau operator sungai-sungai kunci (dibawah pengawasan PPTPA), dengan melibatkan semua pengguna dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders); membentuk kerangka sistem informasi dan jaringan data sumberdaya air, menyelenggarakan korporatisasi pengelolaan wilayah sungai; mempersiapkan kerangka kerja untuk alokasi air yang adil dan efisien, dan mekanisme hak guna air untuk air permukaan dan air tanah; membentuk kerangka peraturan yang efektif dan dapat dijalankan untuk pengendalian pencemaran air dan pengelolaan kualitas air; merevisi kebijaksanaan, kelembagaan, dan peraturan untuk meningkatkan manajemen irigasi.

(5) (6) (7)

(8)

(9)

Agenda-agenda tersebut diatas mengindikasikan komitmen pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Secara lebih spesifik agenda-agenda tersebut sudah diterjemahkan kedalam bentuk rancangan undang-undang sumberdaya air. Berikut ini adalah beberapa tanggapan terhadap RUU Sumberdaya Air tersebut yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air terpadu, kecenderungan dan isu pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, dan beberapa pelajaran dari ilustrasi pengalaman Sumatera Barat. Pertama, isu keterpaduan (Iihat diantaranya Pasal 10 dan Pasal 59). Hanya keterpaduan diantara air permukaan dan bawah tanah yang muncul dengan jelas. Aspek keterpaduan lainnya belum muncul dengan kuat. Kedua, kuatnya pertarungan antar sector terutama yang menyangkut air tanah (Iihat Pasal 11 dan PasaI12). Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini, yaitu: (1) siapa yang memerlukan adanya perbedaan antara wilayah sungai dan wilayah cekungan air tanah (pembedaan ini tidak mencerminkan adanya keterpaduan pengelolaan air permukaan dan air tanah lihat juga butir Pertama). Selanjutnya (2) penetapan wilayah sumberdaya air (yang terdiri dari wilayah sungai dan wilayah cekungan air tanah) hanya dilakukan dengan berkonsultasi dengan pemerintah daerah, bukan melalui kajian ilmiah. Kesannya lebih kepada kompromi politik. Ketiga, isu keadilan hulu dan hilir (Iihat Bab III dan Bab V). Tidak jelas (atau belum muncul secara

tegas) bagaimana aspek keadilan hulu-hilir dalam konservasi dan pengendalian daya rusak diatur. Keempat, isu polluters pay principle (Iihat pasal 22, Ayat 3) belum muncul dengan tegas. Untuk users pay principles sudah ada (Iihat Pasal 25, Ayat 7). Kelima, isu izin vs. hak guna (pakai dan usaha). Tidak terlalu jelas penerapannya. Apakah hak guna pakai hanya untuk pertanian? (Lihat rasa! 41) Bagaimana dengan keperluas air untuk sanitasi? Apakah tidak ada hak guna usaha (Iihat Pasal 43)? Lebih lanjut tidak jelas kaitan iuran dengan hak guna pakai dan usaha (Iihat Pasal 80). Keenam, isu jaminan air untuk petani (Iihat Pasal 47). Tidak terlalu jelas bagaimana jaminan alokasi air bagi petani akan dilakukan dalam kondisi dimana kecenderungan alokasi air dari pertanian ke non-pertanian semakin meningkat. Ketujuh, isu kelembagaan (Iihat Pasal 62). Belum terlalu jelas bagaimana reran dewan sumberdaya air relatif terhadap instansi pemerintah yang bertugas dalam bidang sumberdaya air. Kesannya reran instansi pemerintah masih sangat kuat sehingga ada kemungkinan reran dewan sumberdaya air yang diharapkan sebagai wadah koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan akan menjadi terpinggirkan (minor). Kedelapan, isu privatisasi pengelolaan dan penyediaan pelayanan (Iihat rasa! 40 dan Pasal 46). Apakah mungkin privatisasi pengelolaan sebagain wilayah sungai? Bagaimana dampaknya terhadap akses masyarakat miskin dan marginal terhadap air untuk memenuhi keutuhan dasarnya? Kesembilan, isu pemberdayaan (Iihat bab IX dengan pasal-pasalnya). Tidak terlalu jelas dimana peran perguruan tinggi dan LSM. Selanjutnya, pola pendidikan yang dianut bersifat sektoral (Iihat Pasal 71, Ayat 1 dan 2). Kesepuluh, isu konsep one river, one plan and one coordinated management (polycentric governance). Tidak tercermin dengan jelas (Iihat Pasal 86, Ayat 3), bagaimana kalau wadah koordinasi nasional, tingkat propinsi dan kabupaten berada pada wilayah sungai yang sama? 5. Catatan Penutup.

Makalah ini telah mencoba secara spesific memberikan beberapa tanggapan terhadap Draft RUU Sumberdaya Air. Tanggpan ini didasarkan atas prinsip-prinsip pengelolaan terpadu sumberdaya air, kecenderungan dan isu pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, dan beberapa pengalaman dari Sumatera Barat. Mudah-mudahan tanggapan tersebut bermanfaat dalam menyempurnakan draft RUU tersebut.

Referensi. BAPPENAS. 2000. Letter of Sector Policy Water Resources and Irrigation Sector: Policy, Institutions, Legal and Regulatory Reform Program. Jakarta: Pokja Reformasi Kebijakan Sektor Sumberdaya Air, Bappenas GWP. 2000. Integrated Water Resources Management. TAC Background Paper No.4. Stockholm: GWP. Helmi. 1997. Kearal7 Penge/o/aan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi Air di Masa Oepan. Jurnal Visi Irigasi Indonesia Nomor 13, 1997. Padang PSI-SDALP Universitas Andalas. Helmi. 1998. Memposisikan Status Air Sebagai Barang Ekonomi di Indonesia: Isu Konstitusi, Kebijakan dan Implementasi dB/am Kerangka memberikan Jaminan Air Bagi Petani. Jurnal Visi Irigasi Indonesia Nomor 14, 1998 Pad3ng: PSI-SDALP Universitas Andalas Helmi, Ifdal, Erigas Ekaputra, Osmet, Sugiyanto. 2000. Studi Penggunaan dan Air di Sub-Daerah Aliran Sungai Bt. Ombilin Sumatera Barat. Padang: PSI-SDALP UNAND. Sjarief, Roestam. 2001. Arah Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air. Makalah disajikan.dalam Diseminasi Konsep Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Satuan Wilayah Sungai (BWRM). Padang, November 2001. Winpenny, James. 1994 Managing Water as an Economi Resources. London: Routledge.

You might also like