You are on page 1of 23

Tindak Lanjut Kebijakan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kota Salatiga

KABID PEMERINTAHAN DAN SOSIAL BUDAYA BAPPEDA

Disampaikan pada acara : SEMINAR PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK, SERTA TRAFFICKING DI KOTA SALATIGA Salatiga, 8 Desember 2012

Mengapa Trafficking menjadi isu yang krusial????


Perdagangan orang adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah terjadi sejak 200 tahun yang lalu, dan terus berlanjut hingga kini. Sampai pada akhirnya persoalan ini terus berlanjut menjadi isu internasional. Hampir setiap negara di dunia ini mempunyai catatan kasus perdagangan orang yang terjadi di negaranya, khususnya yang terkait dengan eksploitasi seksual atau kerja paksa. Persoalan trafficking ibarat gunung es, semakin lama semakin mencair dan sulit untuk dibendung. Inilah fenomena yang seharusnya butuh perhatian serta penanganan yang serius oleh berbagai pihak. Masih terjadi kasus perdagangan perempuan dan anak, TKI ilegal, fenomena kawin kontrak, jual beli bayi, tenaga kerja di bawah umur, Eksploitasi dan komersialisasi Seksual (baik perempuan maupun anak), dll

Isu lainnya adalah terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, pelaksanaan utama dari pemberantasan perdagangan orang terkait dengan pemerintah daerah. Sedangkan Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dirasakan masih kurang sehingga menyebabkan terbatasnya pemahaman personil pemerintah dan masyarakat (terutama di daerah) tentang perdagangan orang. Paradigma produksi hukum yang top down memang menuntut sosialisasi yang meluas dan mendalam. Dengan cara itu UU tersebut dapat diterapkan dengan lebih baik.

Apa Dasar Hukum Penanganan Trafficking?


Internasional 1. UniversalDeclaration of Human Right 1948 2. Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1979 3. Konvensi Internasional ttg Hak Anak Tahun 1989 (Resolusi PBB No. 44/25 tanggal 20 November 1989) 4. UN Special Session on Children (World Fit for Children tahun 2002)

Nasional
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1979 UU No.39 Tahun 1999 ttg HAM UU No. 21 Tahun 2007 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No. 23 Tahun 2002 ttg Perlindungan Anak UU N0. 39 tahun 2004 ttg Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri; UU No. 13 Tahun 2006 ttg Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 14 Tahun 2009 ttg Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 ttg Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Perdagangan Orang. Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 ttg Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Apa itu Perdagangan Orang?


tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (UU No. 21 Tahun 2007)

Banyak definisi yang bisa menjelaskan pengertian perdagangan orang. Secara sederhana perdagangan orang dipahami sebagaii dislokasi seseorang melalui penipuan atau kekerasan untuk tujuan eksploitasi dengan cara menjadikan seseorang sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh secara paksa, atau bentuk perbudakan lainnya (Steve Chalke, 2010). Perdagangan orang selalu melibatkan sejumlah pelanggaran HAM yang serius, termasuk kerja paksa, eksploitasi seksual dan tenaga kerja, kekerasan, dan perlakuan sewenang-wenang terhadap korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan.

Para pelaku perdagangan orang menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa, terlibat dalam pelacuran terpaksa atau untuk bekerja di bawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk mendapatkan keuntungan bagi pelaku perdagangan orang tersebut. Walaupun eksploitasi seksual para perempuan lebih sering disoroti, namun bentukbentuk lain dari kerja paksa seperti dalam pelayanan rumah tangga, pertanian, manufaktur adalah sama seriusnya dan harus diberikan perhatian yang sama besarnya. Konvensi ILO Nomor 29 mengenai Kerja Paksa Tahun 1930 mendefinisikan kerja paksa sebagai segala bentuk pekerjaan atau pelayanan yang diminta dengan paksa dari siapapun dibawah ancaman hukuman dan dimana orang yang bersangkutan tidak menyediakan dirinya secara sukarela.

Unsur Perdagangan Orang


1.Proses: Pertama, biasanya pelaku memindahkan korban jauh dari komunitasnya dengan merekrut, mengangkut, mengirim, memindahkan atau menerima mereka 2.Cara: Lalu pelaku menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalah gunaan kekuasaan/posisi rentan, atau jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat memaksa mereka 3.Tujuan: dan pada akhirnya, pelaku mengeksploitasi atau menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan financial mereka sendiri. Eksploitasi disini dapat berarti membuat korban bekerja dalam prostitusi, mengurung korban dengan kekerasan fisik atau psikologis (kerja paksa), menempatkan korban dalam situasi jeratan hutang atau bahkan perbudakan. Dalam beberapa kasus, eksploitasi dapat juga berarti pemanfaatan atau transplantasi organ tubuh.

Siapa menjadi pelaku trafficking?


Menurut hukum Indonesia, siapapun yang melakukan kejahatan perdagangan orang, membantu orang lain melakukan kejahatan perdagangan orang atau secara sadar diuntungkan dari perdagangan orang akan dikenakan hukuman pidana. Perusahaan, kelompok ataupun perseorangan dapat menjadi pelaku perdagangan orang. Terkadang, pelaku adalah keluarga, kerabat, teman atau tetangga dari korban sendiri.

Para pelaku perdagangan orang menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban menjalani perhambaan terpaksa, menjalani perhambaan karena hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa, terlibat dalam pelacuran terpaksa atau untuk bekerja di bawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk mendapatkan keuntungan bagi pelaku perdagangan orang tersebut

Siapa yang dikatakan sebagai korban trafficking???


Korban traffficking adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana orang

Faktor yang mendorong terjadinya Trafficking


Faktor yang mendorong terjadinya pedagangan orang/trafficking sangat bervariasi, antara lain: 1.Kemiskinan 2.KDRT 3.Konflik sosial dan peperangan 4.Rendahnya tingkat pendidikan 5.Rendahnya akses warga negara terhadap kesempatan kerja 6.Lemahnya penerapan hukum 7.Gaya hidup yang metarialistik

Perlu Upaya sinergis dalam menanggulangi perdagangan orang/anak

Di masa datang Selama ini


Parsial, Segmentatif, Sektoral

Holistik , Integratif, Berkelanjutan

Penanganan dan Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara terpadu dan terintegrasi

UU No. 21 Tahun 2007 dan Perpres No. 69 Tahun 2008

lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang

GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Pusat dan Daerah)

Apa yang menjadi dasar hukum pembentukan Gugus Tugas Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPTPPO)?
Dasar Hukum pembentukan gugus tugas UU No. 21 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 Pasal 58(2) UU No. 21/2007 mengamanatkan kepada pemerintah nasional untuk membentuk Gugus Tugas PTPPO untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkahlangkah pemberantasan perdagangan orang. Sedangkan Peraturan Presiden No. 69 / 2008 menjelaskan mengenai struktur dan tugasnya. Pasal 58 (3) UU No. 21 mengamanatkan pemerintah daerah untuk membentuk Gugus Tugas untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah pemberantasan perdagangan orang. Struktur dan tugas mereka juga dijabarkan di dalam Peraturan Presiden No. 69/2008.

GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Pusat dan Daerah) Perpres No. 69 Tahun 2008
1. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang; 2. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja sama nasional maupun internasional; 3. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial; 4. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; dan 5. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.

Apa tantangan dan permasalahan utama bagi kita????

Kasus trafficking yang belum teridentifikasi Pemahaman terhadap trafficking dirasakan masih

kurang Di Kota Salatiga belum terbentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) sebagai wadah koordinasi dalam penanggulangan dan pencegahan tarfficking

Langkah yang perlu dilakukan


Koordinasi secara intensif antar pemangku kepentingan, mengingat permasalahan perdagangan orang/trafficking bersifat multidimensi Perlu untuk membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) sebagai bentuk penguatan komitmen mencegah tarfficking dan pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2007 dan Perpres 69 Tahun 2008 Mengintergasikan kebijakan dalam RPJMD sebagai salah satu cara untuk mencegah munculnya permasalahan sosial/ekonomi yang memicu timbulnya trafficking

Pengintegrasian Kebijakan Penanggulangan Trafficking Dalam RPJMD Kota Salatiga 2011-2016


1. Sebagai bentuk komitmen terhadap upaya penanggulangan perdagangan orang/perempuan/anak, Pemerintah Kota Salatiga telah mengintegrasikan aspek perlindungan anak dan perempuan (yang seringkali menjadi obyek perdagangan orang/trafficking) dalam RPJMD Kota Salatiga 2011-2016. Hal tersebut ditunjukkan dalam Visi dan Misi Pemerintah Kota Salatiga 2011-2016 Salatiga yang Sejahtera, Mandiri dan Bermartabat. 2. Secara umum, dari 9 Misi yang tertuang dalam RPJMD terdapat 3 Misi (Misi Pertama, Ketiga, dan Misi Kesembilan) yang mempunyai keterkaitan dengan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak dan perempuan yang seringkali di jadikan obyek dalam trafficking

3 Misi dari 9 Misi RPJMD Kota Salatiga 2011-2016

Misi 1: Menyediakan Pemenuhan Kebutuhan Layanan Dasar

Misi 3: Mengembangkan penanganan atas penyandang masalah kesejahteraan sosial

Misi 9: Mengembangkan pengarusutamaan Gender dalam berbagai bidang kehidupan dan perlindungan anak, remaja, serta perempuan dalam segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi

Diimplementasikan dalam berbagai program/kegiatan yang dapat mencegah terjadinya perdagangan orang (terutama bagi perlindungan hak anak dan perempuan yang seringakli dijadikan obyek trafficking)

KOORDINASI LINTAS SEKTOR


ISU
1. Kemiskinan 2. Akses terhadap pekerjaan 3. Akses terhadap pelayanan pendidikan 4. penegakan hukum 5. KDRT 6. Pelayanan akte kelahiran 7. Anak dipekerjakan 8. dll

SEKTOR

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Hukum Kesehatan Pendidikan Sosial Budaya Ketenagakerjaan Agama Teknologi Ketahanan Pangan dll

PERLINDUNGAN HAM, HAK ANAK DAN PEREMPUAN

No TRAFFICKING

Upaya harus dilakukan bersama antar stakeholder


Koordinasi secara intensif antar pemangku kepentingan, mengingat permasalahan perdagangan orang/trafficking bersifat multidimensi Perlu untuk membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) sebagai bentuk penguatan komitmen mencegah tarfficking dan pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2007 dan Perpres 69 Tahun 2008 Melaksanakan dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap program dan kegiatan yang telah diintergasikan dalam RPJMD 2011-2016 sebagai salah satu cara untuk mencegah munculnya permasalahan sosial/ekonomi yang memicu timbulnya trafficking Perlu dilakukan pelatihan bagi penegakan hukum bagi semua pihak (pemerintah, NGOs, dll) yang berhubungan dengan pencegahan terhadap perdagangan orang. Hal tersebut harus menitik beratkan pada cara-cara pencegahan trafficking, serta mempertimbangkan isu-isu tentang HAM, anak dan kepekaan gender, serta ,mendorong kerjasama dengan organisasi non pemerintah, organisasi-organisasi lainnya yang berhubungan serta unsur masyarakat lainnya

You might also like