You are on page 1of 23

Syok Hipovolemik et causa Ruptur Hepar Dwita Permatasari 10-2008-214 Itazmania_214@yahoo.

com Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 www.ukrida.ac.id

SKENARIO 4
Seorang laki-laki berusia 23 tahun dibawa oleh masyarakat ke UGD RS paska kecelakaan lalu lintas. Menurut saksi mata, saat kejadian laki-laki ini tengah mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang, tiba-tiba dari sebelah kiri jalan muncul truk. Laki-laki tersebut tampak tidak sempat mengerem, sehingga ia menabrak truk tersebut. Saat kejadian laki-laki tersebut memakai helm. Di UGD RS, laki-laki tersebut masih dapat menjawab ketika diajak berbicara walaupun jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan. Pasien masih dapat membuka mata secara spontan. Pasien dapat menggerakkan ekstremitasnya dan menunjukkan lokasi nyeri sesuai perintah yang diberikan. Nyeri yang dialami adalah pada perut bagian kanan atas. Pasien tampak pucat dan konjungtiva kedua mata tampak anemis. Pada inspeksi daerah abdomen tampak hematom dan bintik-bintik merah didaerah perut bagian kanan atas. Beberapa saat kemudian, kesadaran pasien makin menurun, pasien juga semakin tampak gelisah dan mengeluh haus. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital TD 90/60 mmHg, denyut nadi 110x/menit.

I. PENDAHULUAN
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahanam tentang patofisiologi syok. Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Trauma hepar lebih banyak disebabkan oleh trauma tumpul yang bisa menyebabkan kehilangan banyak darah ke dalam peritoneum. Trauma tumpul mempunyai potensi cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan penanganan trauma terlambat lebih besar dari insiden luka tembus

II. PEMBAHASAN
Pertolongan Pertama Kecelakaan Resusitasi awal pada penderita cedera akut Perawatan awal pada penderita cedera memerlukan 2 anggapan. Pertama, penderita mungkin mengalami lebih dari satu cedera, kedua, cedera nyata tidak perlu merupakan yang terpenting. Kunci untuk perawatan awal adalah pendekatan berdasarkan preoritas cedera oleh potensi membahayakan jiwa penderita. Prioritas perawatan trauma awal sering dinyatakan sebagai ABC resusitasi trauma. Airway (jalan napas). Langkah pertama yang kritis dalam penanganan penderita cedera adalah menjamin jalan napas yang adekuat. Pada kebanyakan pernderita dengan cedera berat, ini meliputi intubasi endotrakeal. Kemungkinan terjadi cedera vertebra servikalis harus selalu dipikirin, dan gerakan leher yang tidak bijaksana dalam proses intubasi endotrakeal harus dihindari. Ntubasi nasotrakeal merupakan pilihan pada penderita yang bernapas spontan tanpa cedera pada pertengahan wajah. PadCa penderita yang jarang, jalan napasd bedah (trakeostomi) mungkin diperlukan.1

Breathing (pernapasan). Bila jalan napas yang adekuat terjamin, ventilasi harus dipastikan. Tiga alasan terpenting adalah untuk ventilasi yang tidak efektif setelah penempatan jalan napas yang berhasil adalah malposisi pipa endotrakeal, pneumotoraks, dan hemotoraks. Umumnya tedapat waktu untuk melakukan rontgen toraks sebelum prosedur terapuetik invasif. Tetapi, dengan kecurigaan akan pneumotoraks tension yang tinggi pada penderita dengan ketidakstabilan hemodinamik yang nyata, perlu dilakukan dekompresi kateter jarum sebelum radiografi toraks dengan tujuan diganosis dan terapuetik. Cirkulation (sirkulasi). Kontrol perdarahan yang nyata, pemasangan infus intravena, dan resusitasi cairan merupakan prioritas berikutnya. Kanula intravena biasanya dipasang perkutan pada lengan atau lipat paha. Kanula ini harus berlubang besar dan paling sedikit harus dipasang dua buah. Infus tidak boleh dipasang distal dari luka pada ekstrimitas karena mungkin sekali terjadi cedera pembuluh darah. Disability (Penilaian Neurogenik). Pada saat tersebut, pemeriksaan singkat untuk menentukan cedera neurologis merupakan indikasi. Ini meliputi perhitungan glasgow Coma Scale, yang merupakan metode dari evolusi disabilitas neorologis dan memperkirakan prognosis penyembuhan di kempudian hari. Exposure For Complete Examination. Langkah berikutnya adalah pemeriksaan ulang lengkap, tetapi cepat, pada penderita untuk mendiagnosis cedera lainnya. Infus tambahan, kateter, dan alat pemantau sekarang dipasang sesuai kebutuhan. Rencana pengobatan dengan prioritas berdasarkan temuan awal ini harus ditentukan. Pasien yang tidak sadar pada tingkat pemeriksaan ini, harus diusahakan jalan napasnya baik, bila sebelumnya tidak diketahui. Pada pasien dengan hipotensi dan cedera kepala, harus selalu dievaluasi terjadinya perdarahan intratorakal atau intraabdominal.

Tingkat kesadaran : a. Kompos mentis : Sadar penuh b. Apatis : Penurunan kesadaran paling ringan, psien anggan berhunbungan

dengan sekitarnya tampal acuh tak acuh c. Somnolen : Adanya penurunan kesadaran pasien dapat dibangunkan dengan

rangsangan digerakan tubuhnya, ditekan akan timbul respon verbal dan motorik yang memadai

d. Sopor

: Penurunan kesadaran lebih dalam kira-kira diantara somnolen dan

koma, hanya dengan rangsangan yang kuat misalkan dicubit, ditekan agak keras pada kestermitas tubuh masih ada respon motorik dan masih ada reflek e. Koma : Penuruna kesadaran yang paling berat, tidak ada respon apapun

terhadap rangsangan apapun

1. Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis. Tujuan anamnesis yaitu untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara.1,2

Kapan peristiwa kecelakaan terjadi? Bagaimana persitiwa kejadiannya? Apakah yang terjadi setelah kecelakaan ? Apakah sudah dilakukan tindakan di tempat kejadian Apakah sebelum tidak sadar pasien mengeluh nyeri?dimana? Apakah ada pendarahan yang banyak pada pasien? Sejak kapan pasien tidak sadar? Apakah pasien memiliki riwayat gangguan pencernaan? Apakah pasien memliki riwayat nyeri abdomen? Apakah pasien memiliki riwayat operasi abdomen? Apakah pasien minum obta-obatan tertentu? Apakah pasien merokok atau minum alkohol? Apakah pasien terdapat alergi obat?

2. Pemeriksaan

2.1. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital Yang diperiksa ialah tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan suhu tubuh.

Pemeriksaan Kesadaran
Secara sederhna, tingkat kesadaran dapat dibagi atas ; kesadaran yang normal (kompos mentis), somnolen, sopor, koma ringan, koma.

a. Somnolen
Keadaan mengantuk, kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberikan jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

b. Sopor
Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri, penderita tidak dapat dibangunkan secara sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

c. Koma ringan
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisir. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.

d. Koma
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. Untuk menggikuti tingkat perkembangan kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow seperti gambar di bawah ini.3

Gamar 1.1 Skala koma glasgow Inspeksi Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:

Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya), striae (cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal).

Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung). Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali,

splenomegali, hidronefrosis).

Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas. Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau tumor apa.

Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).

Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilikal.

Palpasi

Palpasi superficial dilakukan untuk melihat ada ketegangan otot, nyeri tekan lepas atau tidak (prinsipnya dilakukan pada area yang diduga tidak nyeri/normal dulu), masa dengan ujung jari bersamaan dengan lembut semua kuadran. Nyeri pada abdomen ada yang sifatnya visceral (hilang timbul, tidak bisa ditunjuk dengan jelas), ada yang somatik (bisa ditunjuk dengan jelas). Kelainan pada dinding ditandai dengan hilangnya nyeri apabila ada ketegangan perut jika masih nyeri berarti ada kelainan dari dalam dinding perut. Palpasi adanya masa, dilihat konsistensinya apakah padat keras (seperti tulang), padat kenyal (seperti meraba hidung), lunak (seperti pangkal pertemuan jempol dan telunjuk), atau kista (ditekan mudah berpindah seperti balon berisi air, berisi cairan). Adanya tumor pada abdomen diperkirakan dari 9 regio anatominya. Ukuran massa ditentukan dengan pasti yakni dengan meteran/jangka sorong mengenai panjang, lebar, tebal (kalau tidak ada peralatan, bisa dengan ukuran jari penderita).2 Palpasi hati

Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelakang penderita menyangga costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke depan, diraba dari depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan ditempatkan pada lateral otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan lembut ke arah atas. Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke bawah (tangan dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga meraba permukaan yang lunak tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran). Perkusi Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat). Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness). Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang. Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites) akan menimbulkan suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau suara dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah. Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara yang timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-batas dari organ dibawah kulit. Organ berongga seperti lambung, usus, kandung kemih berbunyi timpani, sedangkan bunyi pekak terdapat pada hati, limfa, pankreas, ginjal. Auskultasi

Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltik usus dan bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit. Mendengarkan suara peristaltik usus

Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh bagian abdomen. Suara peristaltik usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit. Bila terdapat obstruksi usus, peristaltik meningkat disertai rasa sakit (borborigmi). Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak membesar dan tegang, peristaltic lebih tinggi seperti dentingan keeping uang logam (metallic- sound).Bila terjadi peritonitis, peristaltik usus akan melemah, frekuensinya lambat bahkan sampai hilang. Mendengarkan suara pembuluh darah

Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolik, atau kedua fase. Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah epigastrium. Pemeriksaan auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan gerakan usus dan adanya gangguan pembuluh darah. Bunyi usus akan terdengar tidak teratur seperti orang berkumur dengan frekwensi 5 35 kali permenit. Normal tidak terdengar bunyi vaskuler disekitar aorta, ginjal, iliaka atau femoral, apabila terdapat desiran mungkin suatu aneurisma.2,3

2.2. Pemeriksaan Penunjang 2.1. Laboratorium


Kadar Hemoglobin Darah Kadar Hb apda bayi lebih tinngi dibandingkan orang dewasa dan kadar Hb pria lebih tinggi daripada wanita. Kadar Hb Pria terendah 13 g/dL sedangkan kadar Hb pada wanita 12 g/dL. Kadar Hb penduduk yang berdomisili pada dataran tinggi lebih tinggi daripada dataran rendah. Pada ketinggian 2000 m terjadi peningkatan kadar Hb sebanyak 1 g/dL dan ketinggian 3000 m, kadar Hb ,meningkat 2 g/dL. Pemeriksaan kadar Hb secara sahli akan lebih rendah bila dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode sian met Hb. Hasil pemeriksaan kadar Hb dengan metode sian met Hb cukup memuaskan tapi saat ini metode ini mulai ditinggalkan karena mengandung sianida yang bersifat toksik bagi petugas laboratorium dan mencemari lingkungan. Sekaranga pemeriksaan Hb mulai diganti dengan metode Sodium Lauril Sulfat (SLS) dengan menggunakan alat otomatik. Batas bawah kadar

Hb untuk pemduduk indonesia mengacu pada surat kepurtusan menteri kesehatan no.736/Menkes/XI/189.

Usia Pra Sekolah Usia Sekolah Wanita Hamil 26 bulan Post Partum Wanita Dewasa Pria Dewasa

Kadar Hb 11 g/dL 12 g/dL 11 g/dL 12 g/dL 12 g/dL 13 g/dL

Tabel 1. Batas bawah kadar Hb untuk penduduk Indonesia

Kadar Hb Pria dewasa Wanita dewasa Anak- anak 14-17 g/dL 12-15 g/dL 10-14,5 g/dL

Hematokrit 42-53% 38-46% 31-43%

Jumlah eritrosit 4,6-6,2 juta/uL 4,2-5,4 juta/uL 3,8-5,8 juta/uL

Tabel 2. Kadar Hb, Hematokrit, Jumlah Eritrosit Normal

Kadar SGOT, SGPT dan bilirubin. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT dapat menunjukkan adanya kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan. Bilirubin dikeluarkan melalui empedu dan dibuang melalui feses. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan adanya penyakit hati atau saluran empedu. Albumin dan globulin Kadar albumin yang rendah mencerminkan kemampuan sel hati yang berkurang. Sintesisnya terjadi di hati, dan kadarnya akan menurun sesuai dengan perburukan sirosis. Kadar globulin konsentrasinya akan meningkat pada sirosis. Kadar ureum dan keratinin

Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum dapat dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan. Normal perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35, kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di bawah 35, kemungkinan perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB).4 Azotemia sering terjadi pada perdarahan saluran cerna. Derajat azotemia tergantung pada jumlah darah yang hilang, lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi ginjal. Azotemia terjadi tidak tergantung pada penyebab perdarahan. BUN mempunyai kepentingan untuk menentukan prognosis. BUN sampai setinggi 30mg/100ml mempunyai prognosis yang baik. 50 70 mg/100 ml mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di atas 70 mg/100 ml mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai ureum darah.

2.3. Radiologi
Pemeriksaan rontgen Servikal lateral, toraks anteroposterior (AP) dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan penderita multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung) mungkin nerguna untuk mengetahui udara ektra luminal di retroperitoneum atau udara bebas dibawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila tegak dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur ( left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal

Ultrasonografi Beberapa dokter telah menganjurkan penggunaan ultra sonografi untuk menyelidiki abdomen bagi trauma abdomen. Tetapi pengalaman dengan

ultrasonografi setelah trauma tumpul abdomen cukup terbatas serta memerlukan adanya teknikus dan interpreter yang berpengalaman.is pemeriksaan yang sama sekali non invasif yang memerlukan hanya 10 menit sampai 15 menit untuk mencapai seluruh layar abdomen, tetapi sensitivitas seluruh metode ini belum diketahui pada saat sekarang. Kerugian lebih lanjut dari penggunaan ultrasonografi adalah sering

adanya gas usus berlebih setelah trauma abdomen yang menggangu pemeriksaan sonografi.2 Tomografi dekomputerisasi Selama setengah desawarsa yang lalu, gambaran Ct telah lebih luas digunakan untuk penyaringan abdomen setelah trauma tumpul. Tomografi dekomputerisasi sangat spesifik untuk cedera pada limpa, hati, ginjal, pankreas, duadenum, diagfragma, dan retroperitoneal. Banyak ahli di amerika serikat mengusulkan bahwa CT menggantikan bilas peritoneal sebagai metode terpilih untuk mengevaluasi trauma tumpul abdomen. Harus ditekankan bahwa, bila menggunakan CT maka bilas peritoneal tidak boleh dilakukan. Keuntungan utama adalah jumlah perdarahan intraabdomen dapat dinilai secara kunatitatif dan pasien dengan laserasi organ padat ringan tetapi dengan sedikit hemoperitoneum atau tidak dapat dilakukan bedah.perdarahan abdomen bisa diklasifikasikan ringan atau sedang,dan penemuan ini bisa dikorelasikan dengan penilaian klinik. Hematoma kecil cenderung terkumpul dekat tempat asal, sedangkan perdarahan intraperitoneal bebas sering ditunjukan oleh akumulasi darah di dalam parit (gutter) pericolica dan pelvis. Kerugiaan utama pada scanning CT untuk mendeteksi cedera intraabdomen berhubungan dengan fasilitas dan kemampuan lembaga. Scanner tubuh diperlukan dalam tempat yang sangat dekat dengan kamar gawat darurat serta interpretasi ahli atas bayangan CT diperlukan berdasarkan 24 jam sehari.
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). Diagnostic Perotoneal Lavage Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain: Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya Trauma pada bagian bawah dari dari dada Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)

Pasien cedera abdominalis dan cidera bmedula spinalis (sumsum tulang belakang) Patah tulang pelvis

Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt darah segar dalm BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) mengenai kolon atau usus besar, dan apabila darah hitam terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui hasil Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), seperti adanya darah pada rektum atau pada saat BAB. Perdarahan dinyatakan positif bila sel darah merah lebih dari 100.000 sel/mm dari 500 sel/mm, empedu atau amilase dalam jumlah yang cukup juga merupakan indikasi untuk cedera abdomen. Tindakan selanjutnya akan dilakukan prosedur laparotomi Kontra indikasi dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), antara lain: Hamil Pernah operasi abdominal Operator tidak berpengalaman Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

3. Diagnosis Kerja
Syok Hipovolemik et causa Trauma Hepar Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi : Trauma Tumpul Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik

Trauma Tajam

Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior abdomen.4,5 Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar. Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti: Subcapsular atau intrahepatic hematom Laserasi Kerusakan pembuluh darah hepar Perlukaan saluran empedu.

Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi darah dan empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar. Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hepar. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah.

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat nonperdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stres serta ekpansi besar guna pengisian volume darah dengan menggunakan cairan interstitial, intraseluler dan menurunkan produks urin.7 Berikut adalah gejala klinik yang tampak menurut derajat syoknya.

5. Etiologi
Trauma Hepar Kecelakaan Jatuh Benturan Dengan adanya kompresi berat hepar bisa tertekan ke tulang belakang

Syok Hipovolemik Penyebab syok hipovolemik: 1. Perdarahan: Hematom subkapsular hati

Aneurisma aorta pecah Perdarahan Gastrointestinal Perlukaan berganda

2. Kehilangan plasma Luka bakar luas Pancreatitis Deskuamasi kulit

3. Kehilangan cairan ekstraseluler Muntah Dehidrasi Diare Terapi diuretic yang sangat agresif Diabetes Insipidus

6. Epidemiologi
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple organ failure.5,7 Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang. Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas.

7. Patofisiologi
Pendarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:

Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu. Neuroendokrin Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonomi tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.6 Kardiovaskular Tiga variable seperti ; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam menontrol volume sekucup. Curah jantung.Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung.Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup.Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung. Gastrointestinal Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negative yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.8,9

Ginjal Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras

angiografi.Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosterone dan vasopressin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.

8. Penatalaksanaan 8.1. Trauma Hepar


Penanggulangan Trauma hepar Non Operatif:

Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda pendarahan serta defans muscular dilakukan perawatan non-operatif dengan observasi ketat selama minimal 2 x 24 jam.

Harus dilakukan pemeriksaan CT Scan serial, USG maupun Hb serial.

Penanggulangan Trauma hepar secara operatif:


Desinfeksi lapangan operasi dengan antiseptik dipersempit dengan linen steril. Insisi midline, darah dan bekuan darah segera dievakuasi. Lakukan packing pada masing-masing quadrant abdomen untuk hemostasis dan memberikan kesempatan kepada anaestesi untuk melakukan resusitasi intra operatif. Pada trauma hepar yang berat lakukan kontrol perdarahan dengan menekan secara langsung pada hepar dan packing dapat ditinggalkan dalam abdomen dan diangkat sesudah 48-72 jam.

Perdarahan yang sudah berhenti begitu cavum abdomen dibuka tidak perlu dilakukan tindakan penjahitan.6,8

Memobilisasi hepar

Pada trauma hepar yang tidak jelas sumber perdarahan hepar dapat dimobilisasi dengan memotong ligamentum inferior dan anterior dilanjutkan dengan

memotong ligamentum falciforme.

Untuk mobilisasi lebih luas dapat dipotong ligamentum triangular sinistra dan dekstra.

Pringle Maneuver

Untuk mencegah perdarahan hebat pada trauma hepar dan memudahkan tindakan pada parenchym hepar, aliran darah ke hepar dapat dihentikan dengan melakukan manuver pringle yakni dengan menutup triad portal di ligamentum hepatoduodenale dengan vascular clamp dan dibuka setiap 15-20 menit pada foramen winslow.

Penjahitan Hepar

Hepar dapat dijahit dengan chromic 2.0 dengan menggunakan jarum hepar yang panjang dan ini direkomendasikan pada cedera parenchym hepar yang berat.

Jahitan secara matrass menyilang permukaan hepar yang cedera dan jangan terlalu tegang karena dapat merobek hepar.8,10

Hepatoraphy dan finger fracture tehnik

Perdarahan persisten dari trauma hepar dapat dilakukan hepatoraphy untuk mengkontrol perdarahan.

Lakukan Pringle Maneuver dan parencym hepar diinsisi dengan electrocauter. Pembuluh darah dan bile duct diligasi. Hindarkan cedera dari ductus hepaticus kanan dan kiri. Lepaskan klem perlahan lahan dan apabila masih ada perdarahan ligasi kembali.

Permukaan luka dijahit tanpa meninggalkan dead space. Bila ada dead space biarkan luka terbuka dan dilakukan omental patch.

Reseksi Hepar

Reseksi Hepar pada trauma hepar sangat jarang dilakukan. Reseksi hepar diindikasikan pada trauma hepar dengan kerusakan parenchym hepar yang sangat berat, perdarahan yang sangat sulit diatasi dengan berbagai maneuver dan hpotensi.

Kerusakan bilateral dari hepar dapat dilakukan total reseksi dan dilakukan hepar transplantasi.

Prehepatic Packing Tehnik prehepatic packing diindikasikan pada:


trauma hepar dengan coagulopathy akibat tansfusi, trauma hepar bilobar dengan perdarahan yang tidak dapat dikontrol, subkapsular hematom yang meluas dan rupture dan hypothermia.

Packing dapat berupa kasa tebal yang luas diletakkan langsung pada permukaan anterior dan posterior hepar dan cavum abdomen ditutup. Pengangkatan packing dilakukan 24-48 jam kemudian. Cavum abdomen dicuci dan dipasang drain intra peritonial.4,5

8.2. Syok Hipovolemik


Hipovolemia adalah keadaan volume sirkulasi yang berkurang. Volume sirkulasi yang berkurang ini dapat menyebabkan menurunnya curah jantung hingga menyebabkan perfusi jaringan dan sel menurun menjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme di tingkat seluler, di mana situasi ini disebut syok. Etiologi hipovolemia yang paling sering adalah perdarahan. Prinisp dasar tatalaksana syok yang disebabkan oleh perdarahan adalah: 1. Diagnosis berdasarkan bukti adanya iskemia jaringan. 2. Penghentian perdarahan secara anatomis dengan cepat dan pemantauan perdarahan. 3. Oksigenasi jaringan dengan memperhatikan jenis cairan dan hipotermia. 4. Memfasilitasi hemostasis dan mempertahankan komposisi darah.11

Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intra arterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti Ringers laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada

syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi.12 Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin 10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif. Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.

Fungsi ginjal dipantau dengan kateter yang dibiarkan terpasang dan urin yang dikeluarkan harus 20-70 ml per jam. Bila kurang dari 30 ml per jam, pemberian cairan harus ditambah dan diberikan manitol 25 g intravena. Bila tidak ada perbaikan, furosemid ditambahkan dan diberikan terus menerus atau dibagi mejadi beberapa dosis samapi mencapai 2000 mg. Bila ini juga tidak bermanfaat, maka pertimbangan harus diberikan ke pengobatan pasien bagi gagal ginjal yang telah terjadi dengan dialisis peritoneum atau ginjal Tekanan darah lebih baik dipantau dengan kanulasi arteri radialis. Keuntungan lain kanulasi arteri adalah kemampuannya mengukur pH dan gas darah.11 Pengukuran pH, PCO2, dan PO2 diteliti karena dapat menunjukkan jumlah oksigen yang diterima sel. Pembentukan asam berlebihan karena metabolisme anaerobik dapat diperbaiki dnegna penggantian volume dan natrium bikarbonat. Dosis antasid yang diperlukan tergantung pada pengukuran pH dan PCO2 serta kekurangannya. Alkalosis respirasi dapat timbul pada beberapa pasien untuk mengimbangi asidosis. PO2 juga harus dipantau dengan cermat karena setelah resusitasi, atelektasis konfluen dapat timbul pada kedua daerah paru, berhubungan dengan tingkat PO2 kurang dari 60 torr yang tetap tidak berubah setelah pemberian oksigen 100%. Ini dapat menimbulkan sindroma gawat pernapasan dewasa.

Vasokonstriktor norepinefrin dan metaraminol bitartrat dikontraindikasikan dalam terapi syok hipovolemik karena terlalu mengkonstriksi arteriola perifer sehingga menambah metabolisme anaerobik serta asidosis. Tetapi pada pasien yang dibawa ke bagian gawat darurat dengan penurunan ekanan darah yang besar, tekanan perfusi organ vital harus dipertahankan sampai volume yang diberikan cukup untuk resusitasi. Larutan fenilefrin hidroklorida (2 mg per 100 ml) dapat diberikan intravena agar tekanan darah sistolik tetap 80 torr. Dapat juga diberikan dopamin 10-20ug per kg per jam. Vasodilator fentolamin dalam dosis 5 mg per jam bermanfaat untuk pasien yang tetap konstriksi berlebihan dengan kulit yang dingin dan lembab serta pengeluaran urin berkurang walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang tepat.11,12 Setelah resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik.

9. Komplikasi
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi, khususnya jika tindakan operasi dilakukan. Knudson dkk, mencatat komplikasi terjadi pada 52% pasien trauma hepar Grade IV-V merupaka hasil dari trauma tajam. Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah perdarahan post operatif, koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pembentukan abses. Perdarahan post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi, koagulopati atau asidosis, maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi, meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.8,9

10. Prognosis
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada: Jumlah volume darah yang hilang

Tingkat kehilangan darah Cedera yang menyebabkan kehilangan Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru, dan penyakit ginjal

Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih baik dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik berat, dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian medis segera. Orang tua yang mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil yang buruk.7

Daftar Pustaka 1. Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.20-1. 2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik. Pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.7-10. 3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates; Guide to physical examination and history taking. 10th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.434-69. 4. Simadibrata M. Pemeriksaan abdomen, urogenital dan anorektal. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.51-55. 5. Kusumobroto H. Penatalaksanaan perdarahan varises esofagus. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.219-25. 6. Lindseth GN. Gangguan lambung dan duodenum. Dalam: Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Volume I edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005.h.423-7.. 7. Wijaya IP. Syok hipovolemik. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.180-1. 8. Lindseth GN. Gangguan hati, kandung empedu dan pankreas. Dalam: Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Volume I edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005.h.493-8. 9. Jurnalis YD, Sayoeti Y, Hernofialdi. Sirosis hepatis dengan hipertensi portal dan pecahnya varises esofagus. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Majalah Kedokteran Andalas; 2007.

10. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.289-92. 11. Mulyono I, Harijanto E, Rahardjo E. Cairan kristaloid. Dalam: Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia: PP IDSAI; 2010.h.108-16 12. Nurman A. Ligasi varises esofagus dengan gelang karet perendoskopi pada penderita sirosis hepatis dewasa. J Kedokter Trisakti 2003;22(1):12-6.

You might also like