You are on page 1of 13

sumber:www.oseanografi.lipi.go.

id

Oseana, Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 : 25 - 36

ISSN 0216-1877

POTENSI RUMPUT LAUT DIBEBERAPA PERAIRAN PANTAI INDONESIA Oleh Achmad Kadi 1)
ABSTRACT POTENTIAL OF SEAWEED IN INDONESIA WATERS. Indonesia is one of seaweed producer countries. The potency of seaweed resources come from nature and culture. The seaweed production is needed to fulfil the national market and as export material. The distribution and the habitats of the seaweed are found in the coastal waters which have reef flats, i.e. Riau Islands, Bangka-Belitung Islands,Lampung Bay, Sunda Strait, Seribu Islands, Karimun Jawa Islands, Southern coast ofJawa and Bali, West Nusa Tenggara and East Nusa Tenggara waters, South Sulawesi & North Sulawesi waters and Maluku waters. The use of seaweed as material for industry are for food, pharmacy, cosmetic and so forth.

PENDAHULUAN

Rumput laut atau makro algae sudah sejak lama di Indonesia dikenal sebagai bahan makanan tambahan, sayuran dan obat tradisional. Rumput laut menghasilkan senyawa koloid yang disebut fikokoloid yakni agar, algin dan karaginan. Pemanfaatannya kemudian berkembang untuk kebutuhan bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan kedokteran. Potensi rumput laut di Indonesia ikut andil dalam peningkatan pendapatan masyarakat pesisir antara lain Riau, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sulawesi dan Maluku meskipun masih dalam skala kecil. Kebutuhan rumput laut dari tahun ke tahun selalu meningkat. Peningkatan ini adanyapermintaan pasar dalam dan luar negeri. Apabila dilihat dari kenaikan nilai ekspor, pada tahun 1985 adalah sebanyak 5.445,678 ton dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 6.560,770 ton. Produksi rumput laut meningkat lebih tinggi pada tahun 1990, yakni mencapai 119.276 ton dan pada tahun 1994 produksi rumput laut mengalami penurunan menjadi 110.462 ton (BPS 1994). Penurunan produksi alami maupun budidaya ini biasanya dipengaruhi kondisi panen yang tidak tepat waktu petik atau oleh pengaruh

25

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

penyimpangan musim yang berakibat buruk tehadap pertumbuhan rumput laut sebagai akibat dari faktor hidrologi yang tidak sesuai, sehingga pertumbuhan akan kerdil atau mati. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup juga ditunjang oleh kestabilan substrat sebagai tempat tumbuh, yakni pengaruh aktivitas manusia sehari-hari diatas substrat "reef flats" di daerah terumbu karang yang dapat menimbulkan tekanan terhadap kehadiran dan keanekaragamanrumput laut. ARTHUR(1972) menyatakan, bahwa sebaran beserta kompleksitas habitat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman jenis. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman jenis rumput laut yang sangat tinggi, bahkan oleh para ahli rumput laut mengatakan sebagai lumbung rumput laut. Perkembangan kearah industrialisasi rumput laut, Indonesia masih jauh ketinggalan dengan negara lain seperti Jepang, Korea, Taiwan dan China. Di Indonesia sendiri, hasil produksi rumput laut masih sebatas industri makanan dan bahan baku komoditi ekspor. Dalam upaya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan industri makanan, kosmetik, farmasi, kedokteran dan pertanian masih perlu belajar kepada negara-negara yang telah ahli dalam pengolahan rumput laut. Oleh karena itu, tindakan kedepan masih perlu penelitian pemanfaatan rumput laut yang berkesinambungan.

DAERAH PENGHASIL RUMPUT LAUT Luas perairan karang di Indonesia lebih kurang 6800 km2 (MUBARAK et al 1990). Perairan ini merupakan daerah pertumbuh rumput laut. Daerah penghasil rumput laut meliputi perairan pantai yang mempunyai paparan terumbu (reef flats), seperti Kepulauan

Riau, Bangka-Belitung, Seribu, Karimunjawa, Selat Sunda, pantai Jawa bagian selatan, Bali, NusaTenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, pulau-pulau di Sulawesi dan Maluku. Perairan ini merupakan tempat tumbuh dari semua jenis rumput laut yang ada di Indonesia. Jenis yang mempunyai nilai ekonomis dapat diperoleh diberbagai paparan terumbu. Menurut MUBARAK et al (1998) luas penyebaran rumput laut di Indonesia marga Gracilaria mencapai 255 km2, Eucheuma 215 km2 dan Gilidium 47 km2. Pertumbuhan rumput laut alam perlokasi juga diperoleh nilai biomassa yang cukup tinggi terutama daerah paparan terumbu pulau - pulau kecil. Di beberapa paparan terumbu di Teluk Lampung biomassa berat basah mencapai 112,50 g/m2 sampai 508,75 g/m2 dan jumlah jenis yang diperoleh mencapai 33 jenis (KADI 2000). Rumput laut penghasil alginat dari marga Sargassum banyak diperoleh di Selat Sunda yakni di sekitar daerah tubir mencapi 500 sampai 900 g/m2 dan jumlah jenis yang diperoleh 7 jenis. Di Kepulauan Seribu terdapat jumlah jenis rumput laut yang menonjol mencapi 101 jenis dengan biomassa berat basah dari berbagai kelas Chlorophyceae 1370 g/m2, Phaeophyceae 2719 g/m2 dan Rhodophyceae 1542 g/m2 (ATMADJA 1977). Kisaran jumlah jenis dan biomassa berat basah di perairan Pulau Jawa dan sekitarnya 30-90 jenis dengan berat basah yang diperoleh 211,20g/m21356 g/m2 (KADI&SULISTIJO 1988).Beberapa kehadiran rumput laut di paparan terumbu yang mewakili daerah penghasil rumput laut antara lain di daerah pantai Pananjung, Pangandaran diperoleh 50 jenis dengan berat basah 144 324 g/m2. Pulau Bali di Tanjung Benoa 43 jenis dengan berat basah 732 g/m2. Pulau-pulau di Sulawesi Selatan dan Tenggara 64 jenis dan berat basah 292-684 g/m2. Pulau-pulau di Maluku diperoleh 88 jenis (ATMADJA dan SULISTIJO1980) (Tabel 1).

26

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

27

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Rumput laut di perairan pantai diberbagai daerah di Indonesia sekarang ini telah mengalami penurunan, terutama kuantitas kehadiran jenis dan panenan tegakan (standing crops ) berat basah yang diperoleh dalam satu meter kwadrat. Kondisi ini banyak dialami di perairan pantai Kepulauan Seribu, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara dengan panenan tegakan berat basah hanya mencapai 22,05 g/m2 - 89,5 g/m2 (KADI 2001). Penurunan ini disebabkan oleh beberapa indikasi yang terjadi didaerah pertumbuhan rumput laut. Salah satu faktor yang umum yakni adanya pencemaran air yang berasal buangan limbah kota melalui aliran sungai yang terbawa arus dan tersebar di berbagai perairan pulau-pulau kecil disekitarnya. Pencemaran dalam tingkat lokal bisa terjadi disebabkan oleh para nelayan yang mencari ikan hias dengan menggunakan bahan sianida. Pengaruh racun tersebut, menyebabkan pertumbuhan rumput laut akan mengalami pengelupan kulit thallus dan kemudian mati. Tingkat perusakan yang paling fatal dan bersifat permanen ini, dilakukan oleh para penambang batu karang masyarakat setempat yang digunakan sebagai bahan bangunan. Apabila kejadian ini di biarkan terusmenerus, maka akan terjadi erosi pantai serta hilangnya subtrat rumput laut dan biota lainnya. Kondisi semacam ini banyak dijumpai di pantai Teluk Lampung, Selat Sunda bagian utara, Kepulauan Seribu bagian utara, pulaupulau kecil di Sumbawa dan Sulawesi Utara. SEBARAN DAN HABITAT RUMPUT LAUT Kehadiran rumput laut di perairan Indonesia banyak dijumpai di perairan pantai yang mempunyai paparan terumbu. Distribusi dan kepadatannya tergantung pada tipe dasar

perairan, kondisi hidrografis musim dan kompetisi jenis (SOEGIARTO 1977). Sebaran rumput laut di berbagai perairan Indonesia mempunyai habitat yang berbeda-beda yakni substrat berlumpur, grave-pasir kasar dan batu karang. Rumput laut yang tumbuh menancap di tempat berlumpur atau pasir-lumpuran kebanyakan dari marga Halimeda, Avrainvillea dan Udotea thallus basal mempunyai karakteristikberubi atau "Bulbous". Kehadiran jenis ini dapat diketahui dari perairan pantai Kepulauan Riau, Selat Sunda, Kepulauan Seribu, Karimunjawa dan pulau-pulau di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Pasir merupakan substrat bagi tempat tumbuh hampir semua jenis rumput laut dengan cara holfast menancap, menempel atau mengikat partikelpartikel pasir. Pengikat substrat ini kebanyakan dimiliki oleh marga Caulerpa, Gracilaria, Eucheuma dan Acanthophora, tumbuh di seluruh perairan pantai di Indonesia. Substrat batu karang dapat dijumpai pada pulau-pulau yang mempunyai arus deras dan ombak besar dan berfungsi secara tidak langsung untuk menahan erosi pantai. Rumput laut yang tumbuh dengan cara melekat menggunakan holfast berbentuk cakram, kebanyakan berada di daerah tubir, dari marga Gelidium, Gelidiopsis, Gelidiella, Hypnea, Laurecia, Hormophysa, Turbinaria dan Sargassum. Catatan hasil penelitian P2O-LIPI menunjukan bahwa sebaran dan habitat rumput laut di beberapa paparan terumbu di Indonesia, kehadirannya banyak dijumpai di perairan Selat Sunda, Jawa bagian selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, pulau-pulau di Sulawesi Selatan dan Utara serta perairan Maluku. Rumput laut ini tumbuh pada perairan pantai yang jernih banyak ombak dan arus deras (Tabel 2) dan (Gambar 1).

28

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

29

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

Gambar 1. Daerah Pertumbuhan dan Penghasil Rumpul Laut Alam dan Budidaya di Perairan Laut
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

a. Kawasan Indonesia Bagian Barat. Sebaran rumput laut di kawasan ini terdapat keanekaragaman jenis yang sangat bervariasi kebanyakan habitat paparan terumbu dan subtrat lumpur, gravel, pasir, batu karang dan kombinasi dari substrat yang ada. Panjang paparan dari tubir ke arah garis pantai 50 - 300 m atau lebih. Kedalaman air di paparan terumbu pada waktu surut rendah mencapai 5-80 cm. Salinitas air di dalam paparan 28 - 33 ppm. Parameter lingkungan ini diperoleh pada tahun 1999 - 2004 di Kepulauan Anambas, Natuna, Selat Malaka, Riau, Bangka, Belitung, Selat Karimata, Teluk Lampung, Selat Sunda, Kepulauan Seribu dan Karimunjawa. Perolehan jenis rumput laut mencapai 30 - 45 jenis. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian di tempat yang sama pada tahun 1977-1980 perolehan jenis rumput mencapai 50-101 jenis (ATMADJA & SULISTIJO 1980). Pengaruh lingkungan menunjukan adanya penurunan jumlah jenis yang bisa diakibatkan oleh faktor biotik maupun abiotik. Hasil catatan survei lapangan menunjukan bahwa, kerusakan substrat di paparan terumbu di Indonesia bagian barat sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau faktor biotik "anthropogenic." Pola pengrusakan substrat melalui penambangan batu karang dan pasir. Hal ini lebih parah dari pada yang dilakukan oleh faktor abiotik. Pada paparan terumbu ini sedikit rumput laut yang tumbuh, dan jarang dijumpai pertumbuhan marga Sargassum, Turbinaria, Eucheuma dan Gracilaria. Perairan pantai Pulau Jawa bagian selatan merupakan salah satu habitat rumput laut dengan kondisi substrat yang stabil, dapat dijumpai di daerah PameungpeukGarut, Binuangeun, Cilurah-Pandeglang serta Krakal-Wonosari. Daerah ini merupakan penghasil rumput laut alam marga Gelidium , Gellidiella, Gracilaria dan Sargassum. b. Kawasan Indonesia Bagian Tengah Pada paparan terumbu pulau-pulau kecil di perairan pantai Indonesia bagian tengah,

banyak dijumpai panenan rumput laut yang bersifat musiman (annual) salah satu contoh marga Gracilaria, sedangkan yang panen sepanjang tahun (perenial) dari marga Sargassum. Sebaran jenis rumput laut di pulau besar dan kecil kadang terdapat perbedaan yang nyata. Rumput laut Gracilaria tahan terhadap pengaruh air tawar, bahkan dapat hidup di air payau, sehingga banyak jenis Gracilaria dijumpai di pantai pulau-pulau besar, sedangkan Sargassum tidak tahan terhadap air tawar bila terlalu lama terendam akan mati dan banyak dijumpai di pulau-pulau kecil. Habitat kedua marga ini banyak dijumpai di paparan terumbu dari campuran berbagai substrat batu karang, rubble-gravel - pasir dan karang mati. Kawasan perairan pantai Indonesia bagian tengah kadang-kadang mempunyai panjang paparan terumbu bervariasi dan yang umum dari tubir ke arah garis pantai adalah mencapai 50 - 800 m, banyak juga paparan terumbu berjarak pendek dan langsung dalam (drop off). Kedalaman air surut rendah 0 - 10 cm atau paparan terumbu bisa menjadi kering sekali. Salinitas perairan yang diambil di daerah sekitar paparan adalah berkisar antara 32-34 ppm. Parameter lingkungan ini diperoleh pada tahun 1997 - 2003 yang dilakukan dibeberapa perairan pulau seperti Bali, Lombok, Moyo, Sumbawa, Kupang, Kalimantan Timur, Baran Lompo, Baran Ca di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kwandang, Sulawesi Utara, Tagulandang, Ruang, Pasige serta Sangir-Talaud. Kehadiran rumput laut yang dominan adalah Halimeda, Padina, Sargassum, Gracilaria, Bornethella dan Acanthophora. Di perairan Kalimantan Timur, yaitu di Pulau Derawan, Sangalaki, Panjang, Kakaban, Samama dan sekitarnya kebanyakan diperoleh pertumbuhan rumput laut yang mengandung "starch", sedangkan yang mengandung "gel" sangat jarang ditemukan. Hal ini diakibatkan perairan pantai di pulau-pulau tersebut merupakan daerah asuhan penyu hijau dan rumput laut merupakan pakan bagi penyu hijau (KADI, 2000).

31

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

c. Kawasan Indonesia Bagian Timur. Kawasan perairan pantai di pulau-pulau kecil banyak dijumpai rumput laut yang tumbu pada substrat yang terbentuk dari batu karang dan bagian tepi di daerah garis pantai terdapat substrat pasir. Panjang paparan dari tubir kearah garis pantai pada umumnya mencapai 50 - 450 m atau lebih, banyak dijumpai paparan pendek dan langsung dalam (drop off). Kedalaman air di daerah paparan pada waktu surut rendah kering sekali dan ketinggian air pada waktu pasang sangat ekstrim. Salinitas air yang diambil dari daerah tubir mencapai 3034 ppm. Parameter tersebut diambil tahun 1984 -1998 yang dilakukan di beberapa pulau-pulau, seperti Ambon, Seram, Kai, Gorong, Tanimbar dan Maisel. Pertumbuhan rumput laut yang dominan adalah marga Caulerpa, Codium, Ulva, Dictyota, Padina, Sargassum, Amphiroa, Gracilaria, Halimenia, Hypnea, dan Acanthophora. Perairan kawasan Indonesia bagian timur, kondisi pertumbuhan rumput laut banyak yang masih virgin dan dapat dikatakan sebagai gudang rumput laut untuk mewakili suluruh perairan yang ada di Indonesia. Kehadiran rumput laut yang ada di pulaupulau terpencil baru sebagian kecil dimanfaatkan dan masih terbatas sebagai bahan makanan dan sayur oleh penduduk setempat. Habitat rumput laut di Indonesia bagian timur relatif lebih baik, jika dibandingkan kawasan Indonesia bagian tengah dan barat. Sebaran jenis rumput laut di kawasan Indonesia bagian timur relatif lebih merata di berbagai perairan pantai. PRODUKSI RUMPUT LAUT Di Indonesia, rumput laut yang dihasilkan dari sediaan alami maupun hasil budidaya, kadang-kadang produksinya menurun yang disebabkan oleh faktor musim yang tidak menguntungkan dan sering terjadinya serangan hama dan penyakit. Faktor

lain adalah karena keengganan dari petani rumput laut untuk menanam kembali setelah panen, karena harga jual yang terlalu murah sehingga banyak beralih usaha ke bidang lain. Kondisi seperti ini juga terjadi pada pulau-pulau terpencil yang potensi produksi rumput laut alamnya sangat melimpah, bahkan eksploitasi para nelayan pencari rumput laut alam sangat sedikit. Kedala utama dalam budidaya rumput laut tersebut adalah sulitnya menjual hasil produksi, sedangkan jika dijual pada pasar lokal tidak laku, kemudian transportasi antar pulau masih jarang. Penduduk setempat kebanyakan tidak tertarik dan lebih memilih mecari ikan atau biota lain yang langsung bisa dikonsumsi. Sejak tahun 1977 kondisi pasang surut produksi rumput laut mulai berubah, sejak dirintis oleh Lembaga Oseanologi Nasional (LON)-LIPI yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O)-LIPI dan sekarang menjadi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O)-LIPI. Saat itu LON-LIPI berusaha untuk meningkatkan produksi rumput laut melalui pilot project dan percobaan budidaya di Kepulauan Seribu dan Bali. Pola budidaya ini kemudian berkembang di berbagai daerah seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Utara serta Maluku. Peningkatan intensifikasi budidaya rumput laut dilakukan kembali pada tahun 1998 - 2000 dilakukan oleh P3O-LIPI kepada para petani rumput laut melalui pelatihan dan pratek lapangan penanaman rumput laut langsung. Metode yang digunakan dengan tehnologi tepat guna budidaya rumput laut di berbagai daerah antara lain Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Sumbawa dan Padang. Menurut MUBARAK et al (1998) areal potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut di perairan Indonesia diperkirakan 8.600 ha. DOTY (1987) produksi untuk jenis Eucheuma cottonii 74-104 ton/ha/tahun. Dalam kisaran produksi yang umum biasanya hanya mencapai 15-30 ton/ha/tahun (Tabel 3).

32

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Tabel 3. Produksi dan ekspor rumput laut Indonesia (ton)

Keterangan : 1) Berat Basah, 2) Berat Kering

Di Indonesia, mempunyai musim panen rumput laut produksi alam sepanjang tahun, banyak dijumpai didaerah Cilurah - Pandeglang. Hasil panen Gelidium sepanjang tahun produksinya mencapai 1-3 ton/bulan. Di perairan Jawa bagian selatan, yaitu di daerah pantai Pameungpeuk-Garut panen Gelidium dan Sargassum di musim kemarau produksinya mecapai 2-3 ton/bulan. Di Pulau Bali terdapat di Nusa Penida dan di Nusa Tenggara Barat. Di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi panen rumput laut jatuh pada bulan Agustus Oktober. Sedangkan di Propinsi Maluku hampir sepanjang tahun. a. Produksi Sediaan Alam Produksi rumput laut di Indonesia sebagian besar diperoleh dari pertumbuhan alam yang dipanen oleh para nelayan lokal. Sediaan alam ini merupakan daya dukung ekspor rumput laut dari jenis yang belum di budidayakan seperti Gelidium, Gelidiopsis, Gelidiella, Gracilaria dan Sargassum. Menurut MUBARAK et al (1998), hasil survei menunjukan bahwa banyak dijumpai jenis rumput laut yang tidak termasuk nilai ekonomis, sedangkan jenis yang termasuk ekonomis

sedikit jumlahnya. Untuk memenuhi kebutuhan rumput laut dari sediaan alam ini diperlukan eksploitasi sumberdaya rumput laut dari jenis yang bernilai ekonomis dan belum teridentiflkasi, terletak di pulau terpencil dan susah dijangkau perahu nelayan. Selama ini produksi rumput laut diperoleh dari perairan pantai yang ada transportasi antar pulau, mudah dijangkau dan dikunjungi oleh para tengkulak dalam maupun luar daerah. Hasil survei produksi lokal penduduk setempat menunjukan di Pulau Kambuno, Sulawesi Selatan dengan kepadatan biomassa Eucheuma alami mencapai 7 ton/km2. Di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat Gracilaria 31,4 ton/km2. Di Selat Sunda Sargassum mencapai 5-10 ton/km2. Pantai selatan Pulau Jawa Gelidium 2-5 kwintal/km2 dan Sargassum 5 15 ton/km2. Produksi di Kepulauan Riau tahun 1979 sebanyak 251,4 ton dari luas pantai 84 ha. Pulau-pulau di Sulawesi Selatan tahun 1979 mencapai 142 ton dan Maluku tahun 1979 sebanyak 4,301 ton (KADI & WANDA 1988). b. Produksi Hasil Budidaya Beberapa perairan Indonesia telah banyak dilakukan budidaya rumput laut seperti

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

di Kepulauan Riau, Lampung, Selat Sunda, Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Flores. Adapun jenis yang dibudidayakan masih terbatas pada Eucheuma cottonii sedangkan jenis lain masih dalam taraf percobaan. Pengembangan rumput laut tersebut mencapai luas 25.000 ha. Produksi mulai berkembang pesat pada tahun 1985 1988 dari 9.087 ton menjadi 62.974 ton. (WAHONO1991). MANFAAT RUMPUT LAUT Di Indonesia, rumput laut sudah sejak lama dikonsumsi secara langsung baik dimakan mentah sebagai lalap atau dijadikan kue oleh masyarakat Jawa, Bah, NTB, NTT, Sulawesi dan Maluku. Ada beberapa kelompok rumput laut yang telah dikenal dalam dunia perdagangan dan telah dimanfaatkan sebagai bahan bakau industri farmasi, kosmetik, bahan campuran berbagai industri, makanan serta beberapa jenis yang berkhasiat sebagai bahan obat (Tabel 4). a. Rumput Laut Hijau (Chlorophyta) Rumput laut hijau dikenal sebagai bahan sayur mayur dengan karakteristik thalli mengandung khlorofil a, b, lambda, beta, gama, karoten, santhofil dan thilakoid. Komposisi plastida terdapat pirenoid, dinding sel mengandung sellulose dan mannan. Persedian makanan didalam thalli berupa kanji (starch), protein, asam amino dan lemak. Kandungan kimia esensial yang paling menonjol adalah vitamin C banyak dijumpai dari marga Caulerpa mencapai 1000 - 32001.U/mg dan rumput laut hijau mengandung koloid berkadar rendah (DUBINSKY et al 1978). Di bidang peternakan rumput laut hijau sebagai bahan industri pakan campuran ternak. Di beberapa negara rumput laut ini digunakan dalam industri makanan yakni sebagai pembungkus makanan dan langsung

dapat dimakan. Di restoran Cina disajikan dalam bentuk segar sebagai sayuran dan lalap. Kelompok rumput laut hijau dikenal sebagai "Sea vegetable"sebagai obat anti jamur, anti bakteri dan tekanan darah tinggi (SMITH and YONGE1955; TRONO & GANZON1988). b. Rumpu Laut Coklat (Phaeophyta) Rumput laut ini lebih dikenal sebagai penghasil algin dan iodine. Karakteristik kandungan thalli lebih didominasi oleh pigmen dengan khlorofil a, c, beta karoten, violassantin dan fucosantin. Plastida terdapat pirenoid dan thilakoid. Persediaan makanan dalam thalli berupa laminarin (beta 1 - 3 ikatan glucan). Dinding sel mengandung asam alginik dan garam alginat. Kandungan koloid yang paling utama adalah algin yang diekstrak dari marga Sargassum, Turbinaria dan Macrocystis. Koloid algin dalam dunia perdagangan disebut asam alginik. Algin dalam bentuk derivat garam dinamakan garam alginat terdiri dari sodium alginat, potasium alginat dan amonium alginat. Garam alginat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam larutan alkali. Koloid Fucoidin terdapat

dalam Macrocystis dan Laminaria dalam


bentuk ester dari kandungan polisacharida dan asam sulflrik. Kandungan koloid algin dalam industri kosmetik digunakan sebagai bahan pembuat sabun, fomade, cream, body lution, sampo dan cat rambut. Di bidang industri farmasi, digunakan sebagai bahan pembuat pembuat kapsul obat, tablet, salep, emulsifier, suspensi dan stabilizer. Di bidang pertanian sebagai bahan campuran insektisida dan pelindung kayu, sedangkan di bidang industri makanan digunakan sebagai bahan saus, dan campuran mentega. Manfaat lainnya digunakan dalam industri fotografi, kertas, tekstil dan keramik. Di bidang kesehatan iodine yang terkandung di dalam rumput laut coklat dari kelompok "alginofit" dapat digunakan sebagai obat pencegah penyakit gondok.

34

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Tabel 4. Rumput laut sebagai bahan makanan dan obat-obatan (TRONO & GANZEN, 1998)

35

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

c. Rumput Laut Merah (Rhodophyta) Rumput laut merah ini di kenal sebagai penghasil karagenan dan agar. Karakteristik thalli mengandung figmen ficobilin dari ficoerithrin yang berwarna merah dan bersifat adaptasi kromatik. Proforsi figmen dapat menimbulkan bermacam-macam warna thalli seperti warna coklat, violet, merah tua, merah muda, dan hijau. Dinding sel terdapat sellulose, agar, karagenan, profiran, dan furselaran. Persedian makanan dalam thalli berupa kanji (floridan starch). Rumput laut merah mempunyai kandungan koloid utama adalah karagenan dan agar. Karagenan diekstrak dari marga Eucheuma, Gigartina, Rhodimenia dan Hypnea. Koloid agar diekstrak dari Gracilaria, Gelidium, Gelidiopsis dan Gelidiella. Di dunia perdagangan rumput laut merah ada dua kelompok yakni karagenofit dan agaroflt. Karagenan lebih dikenal sebagai asam karagenik. Koloid karagenan dalam bentuk derivat garam dinamakan karagenat terdiri dari potasium karagenat dan calcium karagenat. Rumput laut merah penghasil agar sering disebut sebagai asam sulfirik atau asam agarinik. Bentuk derivat garam berupa calcium agarinat, magnesium agarinat, potasium agarinat dan sodium agarinat. 1). Kelompok Agaroflt yakni rumput laut merah penghasil koloid agar dan asam agarinik, diperoleh dari marga utama Gracilaria, Ahnfeltis, Acanthopeltis, Gelidium, Gelidiopsis dan Gelidiella. Di dunia industri kelompok ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Di bidang kedokteran "Agar"atau sering disebut "Agar Rose" jenis ini digunakan untuk media biakan bakteri. Di sektor pertanian digunakan sebagai media tumbuh jaringan tanaman (tissue-culture), sedangkan di bidang kesehatan sebagai obat anti desentri/diare dan anti gondok.

2). Kelompok karagenofit yakni rumput laut merah penghasil koloid karagenan, asam karagenik dan garam karagenat. Koloid karagenan mempunyai fraksi iota dan kappa. Fraksi iota kandungan koloid karagenan larut dalam air dingin, dapat diperoleh dari jenis Eucheuma spinosum, Eucheuma isiforme dan Eucheuma uncinatum. Fraksi kappa kandungan koloid karagenan larut dalam air panas, dapat diperoleh dari jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma edule dan Acanthophora. Karagenan dari kelompok ini dimanfaatkan dalam industri makanan. Karaginan dapat dimanfaatkan seperti algin, sebagai bahan kosmetik, farmasi, pasta gigi dan salep. Khasiat lain dari marga Acanthophora dapat digunakan sebagai obat alami anti mikroba dan anti kesuburan (WAHIDULLA et al. 1986).

PENUTUP Potensi sumber daya rumput laut di Indonesia masih melimpah hampir di seluruh perairan pantai di pulau besar dan kecil. Namun demikian, eksploitasi produksinya masih terbatas di perairan pantai yang terjangkau oleh para nelayan pencari rumput laut, sedangkan di pulau-pulau terpencil masih banyak yang belum terjamah. Kendala utama adalah terbentur pada mahalnya ongkos transportasi antar pulau, dan belum diimbangi harga jual produksi rumput laut yang memadai. Kedepan, diharapkan produksi rumput laut akan lebih stabil dan mudah diperoleh, baik yang berasal hasil budidaya maupun sedian alam beserta peningkatan kualitas dan kuantitas produksi.

36

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

DAFTAR PUSTAKA
ARTHUR, M.R.H. 1972. Geographycal, Ecology, Pattern in the Distribution of species. Haper & Row. Publ. New York : 269 pp. ATMADJA, W. S. 1977. Notes on the distribution of red algae (Rhodophyta) on the Coral Reef of Pan Island. Seribu Islands. LON-LIPI, Jakarta :21pp. ATMADJA,W.S.danSULISTIJO1980.Algae Bentik. Dalam: Peta SebaranGeografik Beberapa Biota laut Di Perairan Indonesia (M.K. Moosa; W. Kastoro dan K. Rohmimohtarto eds.) LON-LIPI, Jakarta :42-51. BIRO PUSAT STATISTIK 1994 .Statistik Perdagangan LuarNegeri Indonesia Tahun 1994 Jakarta: 25- 35.Doty, M.S. 1987. The Production and Use of Eucheuma. In : Case Studies of Seven Comersial seaweed.(M.S.DOTY, J.P.CALDY and B. LICES eds.) FAO FishTechn Paper 261. Rome: 123-161. DUBINSKY,Z.,T.BERNERand SAARONSON 1978. Potential of large algae culture for biomss and lipid production in Prid Lands. In : Biotechnology in energy production and conservation. ( C. D. Scott ed.). Biotechnology and Bioengenering Symp. S. John wille & Sons :51-68. KADI, A. 1988. Rumput laut (Algae); Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pascapanen. P3O-LIPI, Jakarta: 71 hal. KADI, A. 2000. Ruput laut di Perairan Kalimantan Timur. Dalam: Pesisir dan Pantai Indonesia IV. (D. P. Praseno dan W.S. Atmadja eds.). PuslitOseonolografi-LIPI Jakarta: 107-114.

KADI, A. 2000. Makro Algae Di Paparan Terumbu Karang Perairan Teluk LampungDalam: Pesisir dan Pantai Indonesia (Ruyitno, W.S. Atmadja, I. Supangat dan B. S.Sudibyo eds.). P3OLIPI, Jakarta: 27-37. KADI, A. 2001. Inventarisasi Di Perairan Sulawesi Utara Dalam : Perairan Indonesia; Oseanografi, Biologi dan Lingkungan (A. Aziz dan M. Muchtar) P3O-LIPI.Jakarta:147-153. KADI, A. dan SULISTIJO 1988. Inventarisasi Jenis-jenis Rumput laut di Karimunjawa. Dalam : Perairan Indonesia; Biologi, Budidaya,Kualitas air dan Oseanografi (M.K.Moosa; Djoko, P. Praseno dan Soekarno eds.). 12-22. MUBARAK, H., S.ILYAS, W.ISMAIL, I.S. WAHYUNI, S.T. HARTATI, E. PRATIWI, Z.JANGKARU dan R. ARIFUDIN 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut PHP/KAN/PT/ 13/1990.Jakarta: 93hal. MUBARAK, H., SULISTIJO, A. DJAMALI dan O. K. SUMADHIHARGA 1998. Sumber daya rumput laut Dalam: Potensi dan Penyebaran Sumber daya Ikan laut Di Perairan Indonesia (W. Johanes; K.A. Azis; B.E. Priyono; G.H. Tampubolon; N. Naami dan A.Djamali) Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber daya Ikan Laut, LIPI, Jakarta : 226241. SMITH, D. G. and G. E. YONGE 1955. The Combined amino acid in several species of Marine algae. J. Biol Chem.: 645 853. SOEGIARTO, A. 1977. Indonesia Seaweed Resources, their utilization and management. International Seaweed Symp. IX Santa Barbara, California (USA), 20 - 28 August. 1977:15 pp.

37

Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004

You might also like