You are on page 1of 47

LAPORAN TUTORIAL BLOK XI

Disusun oleh: KELOMPOK 7

Anggota Kelompok: Dwi Novia Putri Risha Meilinda M. Jim Christover Niq Lina Wahyuni Harahap Nurbaiti Oktavia Amini Kevin Putrawan Tri Nisdian Wardiah Fatimah Shellya S. Robiokta Alfi Mona Feddy Febriyanto M. Prass Ekasetia Poetra Tutor: dr. A. Azhari DAHK 04111001053 04111001069 04111001076 04111001093 04111001100 04111001105 04111001109 04111001123 04111001125 04111001128 04111001139

PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya Laporan Tutorial Skenario C Blok 11 ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dalam pembuatan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan. pihak-pihak yang terlibat

Tim Penyusun

I.

SKENARIO C BLOK 11 Nn. C, 19 tahun, datang ke RSMH dengan keluhan utama demam sejak dua minggu

SMRS. Sejak dua minggu SMRS os mengeluh demam tinggi terus menerus, terutama sore dan malam hari, demam turun pada pagi hari. Os juga mengeluh bibirnya kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor, mual dan konstipasi.

Pemeriksaan fisik: Keadaan umum sakit sedang, sensorium kompos mentis TD: 120/70 mmHg, N: 86 x/mnt, RR: 20 x/mnt, Temperatur: 40oC Keadaan spesifik: Kepala: bibir pecah-pecah, lidah berselaput putih kekuningan, kotor di tengah, tepid dan ujung merah serta tremor (Coated tounge) Abdomen: hepar teraba satu jari di bawah arcus costae, lien teraba schuffner 1.

Pemeriksaan penunjang: Hb: 11,5%, WBC: 3.000 mm3, trombosit 184.000 mm3, LED 40 mm/jam DC: 0/0/2/76/18/4, Widal titer O: 1/640

II.

KLARIFIKASI ISTILAH : Peningkatan suhu tubuh di atas suhu normal yaitu 36-37oC. : Evakuasi feses yang jarang atau sulit. : Fisura, retakan, atau jaringan parut berbentuk garis halus pada kulit seperti ditemukan sekitar mulut.

1. Demam 2. Konstipasi 3. Rhagaden

4. Tremor 5. Lidah kotor 6. Mual

: Getaran atau gigilan yang involunter. : : Sensasi tidak menyenangkan pada epigastrium dan dan abdomen dengan kecendrungan untuk muntah.

7. Komposmentis

: Kesadaran penuh, pasien dapat menjawab seluruh pertanyaan dari sekelilingnya.

8. Arcus costae

: Lengkungan iga bagian bawah.

9. Coated tounge

: Lidah yang tertutup oleh lapisan putih atau kekuningan yang mengandung epitel yang mengalami deskuamasi, debris, bakteri, jamur, dan lain-lain.

10. Schuffner 11. LED

: : Pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan kecepatan pengendapan sel

darah di dalam plasmanya. Pemeriksaan rutin untuk darah untuk mengetahui tingkat peradangan dalam tubuh seseorang. 12. DC : Perbandingan persentase basofil, eosinofil, N. batang, N.segmen,

Limfosit, dan monosit 13. Widal titer O : Prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella enterica yang

mengakibatkan penyakit Thipoid

III.

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Nn. C, 19 tahun, mengeluh demam tinggi yang terus menerus, terutama sore dan malam hari serta turun pada pagi hari sejak dua minggu SMRS. (Prioritas) 2. Bibir Nn. C kering dan pecah-pecah (rhadagen), lidah kotor, mual dan konstipasi. 3. Pemeriksaan fisik: Keadaan umum sakit sedang, sensorium komposmentis TD: 120/70 mmHg, N: 86 x/mnt, RR: 20 x/mnt, Temperatur: 40oC Keadaan spesifik: Kepala: bibir pecah-pecah, lidah berselaput putih kekuningan, kotor di tengah, tepid dan ujung merah serta tremor (Coated tounge) Abdomen: hepar teraba satu jari di bawah arcus costae, lien teraba schuffner 1. 4. Pemeriksaan penunjang: Hb: 11,5%, WBC: 3.000 mm3, trombosit 184.000 mm3, LED 40 mm/jam DC: 0/0/2/76/18/4, Widal titer O: 1/640.

IV.

ANALISIS MASALAH

Masalah 1 (risha, jim, lina) 1. Apa saja jenis-jenis demam dan jelaskan? Tergolong dalam kategori manakah demam pada Nn. C?

Tipe demam : Demam Septik: Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik. Demam Remiten: Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. Demam Intermiten: Pada tipe damam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. Demam Kontinyu: Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. Demam Siklik: Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. Jenis demam: 1. Demam karena infeksi yang suhunya bisa mencapai lebih dari 38C. Penyebabnya beragam, yakni infeksi virus (seperti flu, cacar, campak, SARS, flu burung, demam berdarah, dan lainlain) dan bakteri (tifus, radang tenggorokan, dan lain-lain). 2. Demam noninfeksi, seperti kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun seseorang (rematik, lupus, dan lain-lain). 3. Demam fisiologis, seperti kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara yang terlalu panas, dan lain-lain. Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam Kontinyu Remitten Intermiten Hektik septik Quotidian Double quotidian atau

Penyakit Demam tifoid, malaria falciparum malignan Sebagian besar penyakit virus dan bakteri Malaria, limfoma, endokarditis Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Malaria karena P.vivax Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile

rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin) Relapsing periodik Demam rekuren Familial Mediterranean fever atau Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Referensi : 1. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6. 2. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13. 3. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.

:Butterworths;1990.h.990-3. 4. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24.

2. Apa saja penyebab terjadinya demam secara umum?

uran kencing

-obatan tertentu -kadang disebabkan oleh masalah-masalah yang lebih serius seperti pneumonia, radang usus buntu, TBC, dan radang selaput otak.

lingkungan yang panas. -penyebab lain: penyakit rheumatoid, penyakit otoimun, Juvenile rheumatoid arthritis, Lupus erythematosus, Periarteritis nodosa, infeksi HIV dan AIDS, Inflammatory bowel disease, Regional enteritis, Ulcerative colitis, Kanker, Leukemia, Neuroblastoma, penyakit Hodgkin, Non-Hodgkin's lymphoma http://suryo-wibowo.blogspot.com/2006/05/demam.html Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007). Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

3. Bagaimana mekanisme terjadinya demam yang dimiliki oleh Nn. C? Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid berdasarkan penelitian terbaru ialah : a. bacterial type III protein secretion system (TTSS) b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode Sips (Salmonella Invasion Proteins). c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12 Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mulamula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9 Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang

menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman

mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8 Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh

monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9 Kemudian kuman akan masuk kedalam organorgan system retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1 Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5 Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas. Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi. Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu

panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2 Kuman Salmanella typhi , Salmanella paratyphi masuk ke saluran cernaSebagian masuk usus halusDi ileum terminalis membentuk limfoid plaque peyeriSebagian menembus lamina propiaMasuk aliran limfeMasuk dalam kelenjar limfe mesentrialMenembus dan masuk aliran darahMasuk dan bersarang dihati dan limpaHepata megali, SplenomegaliInfeksi Salmonella typhi, Paratyphi dan EndotoksinDilepasnya zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradangDEMAM TIFOIDGangguan rasa nyaman : Panas peningkatan suhu badan Di ileum terminalis membentuk limfoid plaque peyeriSebagian hidup dan

menetapPerdarahanPerforasiPERITONITISNyeri TekanGangguan rasa nyaman =nyeri Kuman Salmanella typhi , Salmanella paratyphi masuk ke saluran cernaSebagian dimusnahkan asam lambungPeningkatan asam lambungMual, muntahIntake kurang ( madequat )Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5 Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1 Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak

kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,

sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2 4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit demam Nn. C? Masa inkubasi rata-rata 7 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari. Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas berupa demam yang tinggi terus menerus, bradikardia relative (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma). Pada demam tifoid, pasien memiliki ciri lidah yang khas yaitu berselaput(kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor). Lidah berselaput ini akan mengganggu fungsi papila tengah pada lidah yang andil dalam pengecapan rasa pahit sehingga fungsi papila tengah lebih dominan terhadap intake cairan dan makanan ke tubuh selanjutnya lidah akan terasa pahit.

Tuan lakoni merasakan nyeri ulu hati. Nyeri ini terjadi karena pembengkakan hati dan limpa yang dapat menimbulkan rasa sakit di perut yaitu pada ulu hati. Pembengkakan hati dan limpa terjadi karena kuman telah menyebar (bakteremia pertama yang asimptomatik) ke organ retikuloendotelial tubuh. Di dalam hati, kuman masuk di dalam empedu kuman dapat berkembang baik karena kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap S. Typhi dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Nyeri pada ulu hati dapat menyerupai gejala sakit lambung (sakit maag). Konstipasi pada demam tifoid dapat terjadi karena, di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Akibat hyperplasia jaringan di usus menyebabkan penyempitan lumen usus yang mengganggu pergerakan makanan. Pasien demam tifoid juga sering mengeluhkan mual. Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medulla yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan impuls iritasi yang dating dari traktus gastrointestinal. Pada tahap awal dari iritasi atau distensi yang berlebihan, antiperistalsis mulai terjadi, sering beberapa menit sebelum muntah terjadi. Antiperistalsis dapat dimulai sampai sejauh ileum di traktus intestinal, dan gelombang antiperistalsis bergerak mundur naik ke usus halus dengan kecepatan 2-3 cm/ detik; proses ini benar2 dapat mendorongsebagian besar isi usus kembali ke duodenum, lambung dalam waktu 3- 5 menit. Kemudian pada saat bagian atas traktus gastrointestinal, terutama duodenum, menjadi sangat meregang, peregangn ini menjadi factor pencetus yang menimbulkan tindakan muntah sebenarnya. Distensi berlebihan atau iritasi traktus gastrointestinal menyebabkan suatu rangsangan khusus yang kuat untuk muntah. Impuls ditransmisikan, baik oleh saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke pusat muntah bilateral di medulla, yang terletak dekat traktus solitaries lebih kurang pada tingkat nucleus motorik dorsalis vagus. Impuls2 motorik yang menyebabkan muntah ditransmisikan dari pusat muntah melalui

saraf kranialis V, VII, IX, X & XII ke traktus gastrointestinal bagian atas & melalui saraf spinalis bagian atas Penyebab iritasi: Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel2 mononuklear di dinding usus.

5. Bagaimana temuan laboratorium dari penyakit Nn. C? Pemeriksaan Rutin Walaupun pada pemeriksaan perifer sering terjadi leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukosotosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SSPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi meningkat setelah sembuh. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid.

Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : 1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). 2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman). 3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid. Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal : a. Faktor yang berhubungan dengan klien : 1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6. 2. Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut. 3. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi. 4. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial. 5. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. 6. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah. 7. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.

b. Faktor-faktor Teknis 1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.

2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal. 3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain. 4. 5. 1.1.1 Interpretasi Hasil Laboratorium Tuan Lakoni

Nilai Normal pemeriksaan Darah : Ukuran Eritrosit (sel darah merah) Hemoglobin (Hb) g/dl Satuan Juta/ul Nilai Rujukan 4,0 4,9 (P) 4,5 5,5 (L) 12,0 16,0 (P) 13,0 18,0 (L) Hematokrit % 39,0 45,0 (P) 40,0 48,0 (L) Laju (LED) endap darah mm < 25 (P, usia < 50) < 30 (P, usia > 50) < 15 (L, usia < 50) < 20 (L, usia > 50) Leukosit (sel darah putih) Basofil Eosinofil Batang1 Segmen1 Limfosit % % % % % 0,0 1,0 1,0 3,0 2,0 6,0 50,0 70,0 20,0 40,0 103/ul 5,0 10,0

Monosit MCH/HER MCHC/KHER MCV/VER Trombosit

% Pg g/dl Fl 103/ul

2,0 8,0 27,0 31,0 32,0 36,0 82,0 92,0 150 400

6. Bagaimana prognosis demam yang dialami Nn. C?

Masalah 2 1. Bagaimanakah mekanisme dari: Bibir kering dan pecah-pecah (okta, tri) Lidah kotor (shella, feddy) Mual (tri, kak mona) Konstipasi (feddy, Kevin)

2. Bagaimanakan hubungan antar keluhan dan hubungannya terhadap keluhan demam? (okta, shella)

Masalah 3 1. Bagaimana cara mengetahui kondisi seseorang yang sedang sakit (sakit ringan, sedang, berat)? (kak mona, dwi) 2. Komposmentis: (sella, lina) a. Apa saja tingkat-tingkat kesadaran? b. Bagaimana cara memeriksa kesadaran dari masing-masing tingkat kesadaran? 3. Tekanan Darah (lina, tri) a. Bagaimana cara mengukur tekanan darah? b. Apa saja tingkatan tekanan darah? c. Bagaimana interpretasi TD Nn. C? 4. Nadi (tri, Kevin) a. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan nadi? b. Bagaimana frekuensi, kualitas, isi, dan tegangan nadi?

c. Berapa nilai nadi normal? d. Berapa nilai nadi seharusnya Nn. C yang temperaturnya 40oC? e. Mengapa nadi Nn. C 86 x/mnt pada suhu 40oC? 5. Pernafasan (Kevin, feddy) a. Bagaimana cara menghitung RR? b. Berapa nilai normal RR? c. Bagaimana interpretasi RR Nn. C? d. Bagaimana frekuensi, sifat, dan irama pernafasan? 6. Temperatur (feddy, okta) a. Bagaimana cara memeriksa suhu tubuh? Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat pengukuran Aksila Sublingual Rektal Telinga

Jenis termometer Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik Emisi infra merah

Rentang; rerata suhu normal ( C) 34,7 37,3; 36,4 35,5 37,5; 36,6 36,6 37,9; 37 35,7 37,5; 36,6 37,4 37,6 38 37,6
o

Demam (oC)

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF).

Oral

Aksila

Membran timpani

b. Apa saja rentang suhu tubuh manusia? c. Bagaimana interpretasi temperature pada Nn. C? d. Bagaimana hubungan peningkatan suhu tubuh dengan proses fisiologis tubuh? 7. Bibir dan Lidah (okta, kak mona) a. Bagaimana cara pemeriksaan bibir dan lidah? b. Baaimana kondisi normal dari lidah dan bibir manusia? c. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan bibir dan lidah Nn. C? 8. Hepar (kak mona, prass, jim) a. Bagaimana cara pemeriksaan hepar? b. Bagaimana keadaan normal pada pemeriksaan hepar? c. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan hepar Nn. C? d. Bagaimana kategori dari pemeriksaan hepar (kondisi permukaan, ujung, dll)? e. Mengapa hepar teraba pada satu jari di bawah arcus costae (patofisiologinya)? 9. Lien (dwi, shella) a. Bagaimana cara pemeriksaan lien? b. Bagaimana keadaan normal pada pemeriksaan lien? c. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan lien Nn. C? d. Bagaimana kategori dari pemeriksaan lien metode schuffner? e. Mengapa lien teraba pada schuffner satu (patofisiologinya)?

Masalah 4 (prass, risha, dwi) 1. Berapa nilai normal Hb, WBC, trombosit, LED, DC, Widal titer O?

Hemoglobin (Hb)

g/dl

12,0 16,0 (P) 13,0 18,0 (L) 5,0 10,0

Leukosit (sel darah putih) Trombosit Laju (LED) endap darah

103/ul

103/ul mm

150 400 < 25 (P, usia < 50) < 30 (P, usia > 50) < 15 (L, usia < 50) < 20 (L, usia > 50)

Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. - Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). - Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).

- Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.

Uji Widal didasarkan pada :

Antigen

somatic

badan

- Antigen H ( flagel/semacam ekor sebagai alat gerak ) DIFFERENTIAL Nilai rujukan Relatif (%) Basofil/Eosinofil/N.Batang/N. segmen/Limfosit/Monosit = COUNT (HITUNG JUMLAH LEUKOSIT)

0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8 PR: 0-1/0-5/0-3/40-60/20-45/2-6 Absolut (/uL )

Jenis Basofil

Nilai normal 0,4-1% 40-100/L

Eosinofil

1-3% 100-300/L

Neutrofil

55-70% (25007000/L) Bayi Baru Lahir 61% Umur 1 tahun 2% Segmen 5065% (25006500/L) Batang 0-5% (0-500/L) 20-40% 17003500/L BBL 34% 1 th 60% 6 th 42% 12 th 38% 2-8% 200-600/L Anak 4-9%

Melebihi nilai normal inflamasi, leukemia, tahap penyembuhan infeksi atau inflamasi Umumnya pada keadaan atopi/ alergi dan infeksi parasit Inflamasi, kerusakan jaringan, peyakit Hodgkin, leukemia mielositik, hemolytic disease of newborn, kolesistitis akut, apendisitis, pancreatitis akut, pengaruh obat

Kurang dari nilai normal stress, reaksi hipersensitivitas, kehamilan, hipertiroidisme stress, luka bakar, syok, hiperfungsi adrenokortikal. Infeksi virus, autoimun/idiopatik, pengaruh obatobatan

Limfosit

infeksi kronis dan virus

kanker, leukemia, gagal ginjal, SLE, pemberian steroid yang berlebihan

Monosit

Infeksi virus, parasit, anemia hemolitik, SLE< RA

Leukemia limfositik, anemia aplastik

LED Pada cara Wintrobe nilai rujukan untuk wanita 0 20 mm/jam dan untuk pria 0 10 mm/jam, sedang pada cara Westergren nilai rujukan untuk wanita 0 15 mm/jam dan untuk pria 0 10 mm/jam.

Dewasa Pria Pria Wanita < > < 50 50 50 tahun tahun

(Metode = = = kurang kurang kurang dari dari dari 15 20 20

Westergren): mm/jam mm/jam mm/jam

tahun

Wanita > 50 tahun = kurang dari 30 mm/jam (Metode lahir = 0 2 Westergren): mm/jam

Anak-anak Baru

Baru lahir sampai masa puber = 3 13 mm/jam

Prosedur 1. Metode Westergreen


o

Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.

Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun sinar matahari langsung.

Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.

2. Metode Wintrobe
o

Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.

Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur sampai tanda 0.

o o

Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus. Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.

Nilai Rujukan

1. Metode Westergreen :
o o

Pria : 0 - 15 mm/jam Wanita : 0 - 20 mm/jam

2. Metode Wintrobe :
o o

Pria : 0 - 9 mm/jam Wanita 0 - 15 mm/jam

Masalah Klinik

Penurunan kadar : polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit, mononukleus infeksiosa, defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Pengaruh obat : Etambutol (myambutol), kinin, salisilat (aspirin), kortison, prednison.

Peningkatan kadar : artirits reumatoid, demam rematik, MCI akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), penyakit Hodgkin, mieloma multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepatitis, sirosis hati, inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis), SLE, kehamilan (trimester kedua dan ketiga). Pengaruh obat : Dextran, metildopa (Aldomet), metilsergid (Sansert), penisilamin (Cuprimine), prokainamid (Pronestyl), teofilin, kontrasepsi oral, vitamin A.

Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan laboratorium :

Faktor yang mengurangi LED : bayi baru lahir (penurunan fibrinogen), obat (lihat pengaruh obat), gula darah tinggi, albumin serum, fosfolipid serum, kelebihan antikoagulan, penurunan suhu.

Faktor yang meningkatkan LED : kehamilan (trimester kedua dan ketiga), menstruasi, obat (lihat pengaruh obat), keberadan kolesterol, fibrinogen, globulin, peningkatan suhu, kemiringan tabung.

http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/laju-endap-darah-led.html 2. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan penunjang?

Hb rendah, WBC rendah(leukositopenia), trombosit normal, LED tinggi, DC: normal, ?, normal, tinggi, rendah, normal, widal titer O tinggi. 3. Apa yang menyebabkan munculnya kelainan pada hasil pemeriksaan penunjang?

4. Bagaimana dasar pemeriksaan widal titer O? Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglAutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan diagnosis Demam tifoid.[1] Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen tersebut :

Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer.

Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.

Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa. Penilaian Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid.

Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan. Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi. Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.

Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).

Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas.

Puspa Wardhani, Prihatini, Probohoesodo, M.Y.Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya. Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto.Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Divisi Tropik dan Penyakit Infeksi . Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya

V.

KETERKAITAN ANTAR MASALAH Nn. C, 19 tahun demam 2 minggu yg lalu disertai bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, mual, dan konstipasi

Masuk Rumah Sakit

Melakukan pemeriksaan: 1. Pemeriksaan fisik 2. Pemeriksaan penunjang

VI.

LEARNING ISSUE 1. DEMAM (dwi, shella) I. DEFINISI, KLASIFIKASI DAN POLA DEMAM

1.1. Definisi

International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan

thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.1,2 Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3,4

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Rentang; Tempat pengukuran Jenis termometer rerata suhu normal (oC) Aksila Air elektronik raksa, 34,7 36,4 37,3; 37,4 Demam (oC)

Sublingual

Air elektronik Air elektronik

raksa,

35,5 36,6

37,5;

37,6

Rektal

raksa,

36,6 37,9; 37 35,7 36,6 37,5;

38

Telinga

Emisi infra merah

37,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF).5

1.2. Pola demam

Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam Kontinyu Remitten Intermiten Hektik septik Quotidian atau

Penyakit Demam tifoid, malaria falciparum malignan Sebagian besar penyakit virus dan bakteri Malaria, limfoma, endokarditis Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Malaria karena P.vivax

Double quotidian

Kala

azar,

arthritis

gonococcal,

juvenile

rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin) Relapsing periodik Demam rekuren Familial Mediterranean fever atau Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6-8 Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari. Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal. Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel.

Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).

Relapsing fever dan demam periodik: o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam

rekuren yang

disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai JarishHerxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown. o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis. o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

1.3. Klasifikasi demam Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.2 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. kelompok utama demam yang digunakan.1 dan Tabel 4. memperlihatkan tiga

yang ditemukan di praktek pediatrik beserta definisi istilah

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Lama Klasifikasi Penyebab tersering demam pada umumnya Demam dengan Infeksi saluran nafas atas Infeksi virus, infeksi <1 minggu

localizing signs Demam localizing signs Fever origin of unknown tanpa

saluran kemih Infeksi, juvenile

<1minggu

idiopathic arthritis

>1 minggu

Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan

Istilah Demam localization dengan

Definisi Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat didiagnosis setelah anamnesis dan

pemeriksaan fisik Demam localization tanpa Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan sekitarnya Toxic appearance Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi Infeksi serius bakteri Menandakan penyakit yang serius, yang dapat mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih, pneumonia Bakteremia septikemia dan Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah, dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan, menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.1

Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs

Kelompok Infeksi saluran nafas atas Pulmonal Gastrointestinal Sistem pusat Eksantem Kolagen Neoplasma Tropis saraf

Penyakit ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis herpetika Bronkiolitis, pneumonia Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis Meningitis, encephalitis

Campak, cacar air Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki Leukemia, lymphoma Kala azar, cickle cell anemia

Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 6. menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.6

Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs

Penyebab Infeksi

Contoh Bakteremia/sepsis Sebagian virus (HH-6) Infeksi kemih Malaria saluran besar

Petunjuk diagnosis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis Tampak baik, CRP normal, leukosit normal Dipstik urine Di daerah malaria Pre-articular, splenomegali, ruam, antinuclear

PUO (persistent pyrexia of unknown origin) atau FUO Pasca vaksinasi

Juvenile idiopathic arthritis

factor tinggi, CRP tinggi

Vaksinasi triple, campak

Waktu

demam dengan

terjadi waktu

berhubungan vaksinasi

Drug fever

Sebagian obat

besar

Riwayat minum obat, diagnosis eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.1

1. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24. 2. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting. Moffets Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73. 3. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6. 4. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13. 5. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.

:Butterworths;1990.h.990-3. 6. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h. 7. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am 1996;10:33-44 8. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: LippincottRaven;1997.h.215-36

2. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran (shella, lina) TD (lina, tri) N (tri, Kevin) RR (Kevin, Feddy) Temperatur (Feddy, Okta) Kepala (Okta, kak Mona)

Abdomen (kak Mona, Prass, jim)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG (Prass, Risha, dwi) 4. Solmonella typhii ( Risha, Jim) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.A. Salmonella Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya yang berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan ke dalam enterobacteriaceae (Brooks, 2005). Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali dilaporkan pada tahun 1884 oleh Gaffky dengan nama spesies Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun 1886 perkembangan nomenklatur semakin kompleks karena peranan Salmon dan Smith serta sempat menjadi bahan pembicaraan yang rumit. Bahkan dalam perkembangannya, Salmonella menjadi bakteri yang paling kompleks dibandingkan enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri ini memiliki lebih dari 2400 serotipe dari antigen bakteri ini (Winn, 2006). Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah disepakati bahwa hanya terdapat dua spesies, yakni S. bongori dan S. enterica dengan enam subspesies (tabel 2.1). Tabel 2.1 Klasifikasi spesies dan subspesies Salmonella Spesies Salmonella enterica Subspesies S. enteric subsp. enteric (I) S. enteric subsp. salamae (II) S. enteric subsp. arizonae (IIIa) S. enteric subsp. diarizonae (IIIb) S. enteric subsp. houtenae (IV) S. enteric subsp. indica (VI)

Salmonella bongori (V) Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H.

Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa lipopolisakarida (LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk menentukan subgrup secara serologis. Region II merupakan bagian yang melekat pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3-deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003). Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini, yang disebut juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan pemanasan atau dengan menggunakan alkohol. Antibodi untuk antigen ini terutamanya adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini memiliki phase variation, yaitu perubahan fase salam satu serotip tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen H fase-1, antigen H fase-2 sedang disintesis (Chart, 2002). Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen kapsul polisakarida dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai berbagai bentuk sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai virulence antigen (antigen Vi). Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, antigen menentukan klasifikasi dari Salmonella, yakni ke dalam serogrup dan serotipnya seperti contoh pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Contoh penggolongan dengan menggunakan antigen Antigen O Antigen O Antigen H Antigen

grup Fase-1 S. enteriditis bioserotip parathypi A A B C 1,2,12 1,4,5,12 6,7

Fase-2 K a b c 1,2 1,5 Vi

bioserotip parathypi B bioserotip parathypi c S. typhi D 9,12 d Vi

Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya Salmonella typhi, Salmonella cholera, dan mungkin Salmonella paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi penyebab infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari manusia, namun kebanyakan Salmonella menggunakan binatang sebagai reservoir infeksi pada manusia, seperti babi, hewan pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi merupakan yang tersering (Brooks, 2005). 2.B. Salmonella typhi Penamaan yang umum digunakan, seperti Salmonella typhi sebenarnya tidak benar. Taksonomi S. typhi adalah sebagai berikut. Phylum : Eubacteria Class : Prateobacteria Ordo : Eubacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella Species : Salmonella enterica Subspesies : enteric (I) Serotipe : typhi Karena itu, penamaan yang benar adalah S. enterica subgrup enteric serotip typhi, ataupun sering dipersingkat dengan S. enteric I ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah umum digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan dalam tulisan ini. 2.B.1. Morfologi S. typhi merupakan bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai facultative intracellular parasites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan (Dzen, 2003).

Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan mannosa. Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit (Winn, 2006). Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (Brooks, 2005).

Gambar 2.1. S. typhi di bawah mikroskop Sumber: Kunkel (2001) dalam Pollack, 2003

Gambar 2.2. S. typhi pada McConkey Sumber: Kelleher, 2004

2.B.2. Penentu Patogenitas, Patogenesis dan Patologi S. typhi yang menginfeksi manusia dan menyebabkan demam enterik, yakni demam tifoid. Jumlah organisme dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi menentukan infection rate. 2.B.2.a. Penentu patogenitas Antigen Vi dari serotip S. typhi merupakan bentuk antigen K. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Vi mempunyai sifat antiopsonik dan antifagositik, mengurangi sekresi TNF terhadap S enterica ser. Thypi oleh makrofag inang, meningkatkan resistensi bakteri terhadap oxidative killing (Wain, 2005). Antigen Vi meningkat infektivitas dari S. thypi dan keparahan penyakitnya. Antigen O menurunkan kepekaan bakteri terhadap protein komplemen, host cationic proteins, dan interaksi dengan makrofag. Antigen O memberikan perlindungan dari serum normal karena adanya complement-activating A dan LPS core polysaccharides. Selain itu, antigen O juga mencegah aktivasi dan deposisi faktor komplemen (Dzen, 2003). Plasmid virulensi untuk Salmonella hanya ditemukan pada beberapa serotip dari subgrup I saja, salah satunya S. typhi. Plasmid virulensi ini penting untuk multiplikasi bakteri di sistem retikuloendotelial. Namun, beberapa mengatakan bahwa plasmid tidak menentukan keparahan

dari invasi bakteri karena perannya yang hanya bekerja di luar sel-sel intestinal. Berdasarkan penelitian, plasmid ini hanya membantu replikasi bakteri di makrofag (Rotger, 1999). S. typhi juga diduga memiliki adhesion yang berasal dari Outer Membrane Protein (OMP) dengan berat molekul sekitar 36kDa, yang kemudian dikenal sebagai Adh036. Adh036 ini bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon imun mucosal dengan terbentuknya SIsA protektif pada mencit (Dzen, 2003). Seperti halnya semua bakteri basil enterik, S. typhi juga menghasilkan endotoksin. Endotoksin merupakan senyawa lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan dari lisisnya sel bakteri. Di peradaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan protein tertentu kemudian berinteraksi dengan reseptor yang ada pada makrofag dan monosit serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan IL-1, TNF, dan sitokin lainnya. Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin, namun hanya sedikit sekali (Dzen, 2003) S. enterica memiliki region DNA yang berhubungan dengan patogenitasnya dan dimiliki oleh semua serotipnya. Region ini disebut sebagai Salmonella Patogenicity Island sering disingkat dengan SPI (Retamal, 2010). SPI berfungsi dalam menambah fungsi virulensi yang kompleks oleh bakteri terhadap inang yang diinfeksinya (Saroj, 2008). Hensel (2004), Chiu (2005), Vernikos & Parkhill (2006) dalam Saroj (2008) mengatakan bahwa adalah sekitar 17 jenis SPI yang sudah dideteksi. SPI-1 dan SPI-2 mengatur type III secretion system (T3SS) yang membentuk organela berbentuk syringe. Organela ini akan mempermudah bakteri untuk menginjeksi langsung sitosol dari sel inang. SPI-1 dan SPI-2 mempunyai peran yang berbeda sesuai dengan organ yang dipengaruhi. SPI-1 bekerja pada sel enterosit dan menginisiasi inflamasi. SPI-2 bekerja dalam pertahanan dan multiplikasi bakteri pada sel fagositik. SPI-7 merupakan genom terbesar yang mencapai ukuran 134 kb dan pertama kali ditemukan pada S. typhi (Seth, 2008). S. typhi juga memiliki SPI-8 dan SPI-10 (Saroj, 2008). Kemampuan patogen pada manusia untuk mempengaruhi siklus Na+ memungkinkan adanya faktor virulensi, salah satunya pada S. typhi (Hase, 2011). 2.B.2.b. Patogenesis Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus

besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S. typhi dapat menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos, 2003). Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi berpfoliferasi di Payers patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi sehingga bakteri akan dapat menyebar ke hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan menyebar ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian jaringan limfoid dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu sel epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, INF, GM-CSF (Singh, 2001). 2.B.2.c. Patologi Huckstep (1962) dalam Singh (2001) membagi keadaan patologi di Payer patch akibat S. typhi menjadi 4 fase sebagai berikut. 1. Fase 1 : hiperplasia dari folikel limfoid. 2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi mukosa dan submukosa. 3. Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya perforasi dan perdarahan. 4. Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak terbentuk striktur. Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payers patch yang lebih banyak dan besar. Meskipun kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar juga mungkin mengalami kelainan dari folikel limfoid. Egglestone (1979) dalam Singh (2001) mengatakan bahwa perforasi pada demam tifoid biasanya sederhana dan mempengaruhi pinggiran antimesentrik dari usus dimana lubang muncul. Ditemukan pembesaran dan kongesti dari limpa dan kelenjar mesentrik pada sistem retikuloendotelial. Pada biopsi, kemungkinan ditemukan nekrosis fokal hati yang berhubungan dengan infiltrasi mononuklear (nodul tifoid) dilatasi dan kongesti sinusoidal dan infiltrasi sel mononuklear pada area portal.

Gambaran yang penting untuk infeksi S. typhi adalah adanya infiltrat neutrofil dan pada hewan coba ditemukan dominasi dari leukosit mononuklear (Santos, 2003). 2.B.3. Gejala klinis demam tifoid Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri abdomen dan muncul akibat infeksi S. typhi dan S. paratyphi. Gejala klinis demam tifoid bervariasi dari asimtomatik, ringan, berat, bahkan sampai menyebabkan kematian. Masa inkubasi S. typhi berkisar 3-21 hari dimana durasinya merefleksikan ukuran inokulum dan kesehatan serta status imun inang yang terinfeksi. Gejala klinis yang umum adalah demam yang panjang (38,840,5C). Demam ini dapat berkelanjutan selama empat minggu jika tidak segera ditangani. Keluhan nyeri abdomen hanya berkisar 30-40% dari penderita yang menderita demam tifoid (Fauci, 2008). Pada minggu pertama, keluhan yang dapat muncul sangat umum, seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk, dan epistaksis. Jika dilakukan pemeriksaan fisik, hanya dapat ditemukan suhu tubuh yang meningkat. Di minggu kedua gejala mulai lebih menonjol, yakni demam, bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis (Sudoyo, 2006). 2.B.4. Patofisiologi demam tifoid Adanya infeksi dari S. typhi baik pada saluran cerna maupun organ lain, akan menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan menghasilkan pirogen endogen sehingga set point tubuh meningkat, dan suhu tubuh pun meningkat. Rasa tidak nyaman pada bagian perut juga merupakan hasil reaksi inflamasi pada saluran cerna yang menghasilkan bradikinin. Adanya bradikinin akan menimbulkan sensasi nyeri. Sedangkan endotoksin yang dihasilkan S. typhi dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular, gangguan neuropsikiatrik, dan gangguan pernafasan (Sudoyo, 2006). Gambar 2.3. Skema patofisiologi infeksi S. typhi 2.B.5. Diagnosis laboratorium 2.B.5.a. Metode isolasi Salmonella Kultur merupakan metode pembiakan bakteri dalam suatu media. Salmonella pada umumnya tumbuh dalam media peptone ataupun kaldu ayam tanpa tambahan natrium klorida atau

suplemen yang lain. Media kultur yang sering digunakan dan sangat baik adalah agar MacConkey (Brooks, 2005) Media seperti EMB, MacConkeys atau medium deoksikholat dapat mendeteksi adanya lactose non-fermenter dengan cepat. Namun lactose non- fermenter tidak hanya dihasilkan oleh Salmonella, tetapi juga Shigella, Proteus, Serratia, Pseudomonas, dan beberapa bakteri gram negatif lainnya. Untuk lebih spesifik, isolasi dapat dilakukan pada medium selektif, seperti agar Salmonellashigella (agar SS) ataupun agar enteric Hectoen yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan Shigella. Untuk mendeteksi S. typhi dengan cepat dapat digunakan medium bismuth sulfit (Wilson & Blair). S. typhi akan membentuk koloni hitam (black jet) karena bakteri ini menghasilkan H2S (Dzen, 2003).

Gambar 2.4. SS agar Sumber: Todar, 2011 Kultur pada Enrichment Medium memerlukan tinja sebagai bahan pemeriksaan yang kemudian akan ditanamkan pada medium cair selenit F atau tetrathionat. Kedua medium ini meningkatkan pertumbuhan Salmonella dan cenderung menghambat pertumbuhan flora normal yang berasal dari usus. Pada medium ini, biakan diinkubasi selama satu sampai dua hari, kemudian ditanam pada media diferensial dan media selektif (Dzen, 2003). 2.B.5.b. Metode serologi Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya Salmonella dengan tes aglutinasi, yakni reaksi dengan antibodi atau mendeteksi titer antibodi penderita yang terinfeksi Salmonella. Tes aglutinasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni tes aglutinasi pada gelas objek dan tes aglutinasi dilusi tabung yang disebut juga tes Widal (Dzen, 2003).

2.B.5.c. Blood culture PCR method Dalam perkembangan PCR dalam mendeteksi S. typhi, Song telah berhasil menggunakan gen flagellin (fliC-d) sebagai tanda infeksi S. typhi (Zhou, 2010). Pemeriksaan ini mengungguli kultur darah yang memakan banyak waktu, ataupun tes Widal yang kurang sensitif dan spesifik. 2.B.5.d. Reaksi biokimia S. typhi sedikit mengurai glukosa, maltosa dan mannite, tidak mengurai sukrosa dan laktosa. Tidak menghasilkan urease, oksidase, maupun indol. Bakteri ini bersifar motil dan hanya menghasilkan sedikit sitrat (Dzen, 2003). TSI digunakan untuk melihat apakah bakteri gram negatif mengurai glukosa dan laktosa atau memfermentasi sukrosa dan membentuk hydrogen sulfit (H2S). Pada media ini S. typhi akan menunjukkan hasil alkalin-asam (K/A) yang berarti hanya memfermentasi glukosa. Bakteri ini juga menghasilkan bagian hitam di dasar yang menunjukkan adanya penghasilan H2S (Forbes, 2007). 2.B.6. Penatalaksanaan Sudoyo (2006) menyarankan untuk menggunakan trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yakni istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta pemberian antimikroba. a. Istirahat dan perawatan Istirahat dengan tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi. Perawatan kebersihan dari tempat pasien juga menjadi sangat penting. Posisi pasien harus diperhatikan guna mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. b. Diet dan terapi penunjang Diet yang buruk dapat menurunkan keadaan umum pasien sehingga memperlambat proses penyembuhan. Pemberian makanan halus dulu dipercaya berguna untuk mengurangi beban kerja saluran cerna. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini rendah selulosa tidak member efek buruk pada pasien. c. Pemberian antimikroba Pilihan antibiotik yang biasa digunakan adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol, Kotrimoksazol, Ampisillin dan Amoksisillin, Sefalosporin generasi ketiga, serta golongan Fluorokuinolon. Kombinasi dua antimikroba atau lebih hanya bisa diindikasikan pada keadaan seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan dua jenis mikroorganisme dalam kultur darah selain Salmonella.

Catatan: Pertanyaan aku bagi ada yang sesuai LI ada yang nggak. Krn itu mohon maaf y. Per orang dapat antara 9-11 pertanyaan, belum termasuk LI Tlg cari juga klarifikasi istilah yang belum ketemu. Hasil pencarian wajib ketik di word yang rapi, font times new roman 12, spasi 1,5 Ngumpul paling lambat hari Jumat jam 12 siang ke email aku. Klu nggak, namanya aku hapus dari laporan Terimakasih

You might also like