You are on page 1of 94

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN
PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (P2KP)
DI KECAMATAN BONTOMANAI KABUPATEN SELAYAR
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Andi Irmayanti Azis

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan memperoleh


gambaran, hambatan dan upaya mengenai implementasi kebijaksanaan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan penelitian terdiri dari :
Bupati Selayar, Camat Bontomanai, Kepala Badan Keswadayaan
Masyarakat, Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Miskin. Teknik
pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Kebijaksanaan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar masih dalam tahap pelaksanaan dengan
kriteria cukup baik. Hambatan dalam implementasi Kebijaksanaan P2KP
di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar terbagi dalam dua bagian
yaitu 1). Hambatan dari Individu yang meliputi a). Kebiasaan (habit), b).
Ketergantungan (Dependence), c). Superego d). Rasa tidak aman dan regresi
(insecurity and regression), sedangkan hambatan berikutnya adalah hambatan
dari sistem sosial yang meliputi kesepakatan terhadap norma tertentu
(conformity to norms) dan kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya
(systemic and cultural). Upaya-Upaya yang dilakukan dalam implementasi
kebijaksanaan P2KP meliputi upaya Dimensi Makro yang terdiri dari a).
Strategi pembangunan daerah dengan mengikutsertakan daerah-daerah
pemasok migran; b). Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net
working) dengan pemerintah daerah asal. c). Investasi pembangunan di
daerah asal migran. d). Insentif bagi non-government organizations (NGO).
Upaya dalam Dimensi Mikro melalui peningkatan kesadaran masyarakat
dengan melakukan pendidikan masyarakat (community education) dan
pemasaran sosial serta kesalehan sosial (adanya pemimpin yang teladan),
sedangkan upaya dalam Dimensi Meso melalui pendekatan
"pengembangan masyarakat" (community development), dan pendekatan
"pelayanan masyarakat (community service approach).

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala.
Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena
kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau
materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini, mereka tidak
menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-
kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Kemiskinan
sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara
negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk sangat menarik untuk
disimak dari berbagai aspek sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek
sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan
informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat
produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah
mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah
diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik
berkaitan dengan kecilnya akses terhadap sarana dan prasarana dan
berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam
proses pengambil keputusan.
Mencermati situasi sosial tersebut, maka diperlukan intervensi
pemerintah melalui kebijaksanaan publik yang berorientasi kepada
pemberdayaan masyarakat. Melalui kebijaksanaan tersebut, maka pada
gilirannya dapat tercipta kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Hal
ini berarti, pemerintah tidak menempatkan masyarakat sebagai pihak yang
lemah yang selalu bergantung pada pemerintah. Akan tetapi, pemerintah
menempatkan masyarakat sebagai pihak yang memiliki potensi sehingga
perlu dibangkitkan kesadaran, motivasi, mendorong serta

2
mengembangkan potensi sumber daya yang mereka miliki. Dengan kata
lain, masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai obyek pembangunan untuk
kepentingan politik tertentu, melainkan masyarakat selaku subyek yang
paling berperan dalam implementasi kebijaksanaan pemberdayaan.
Ermaya Suradinata (1993:192) :
Konsep kebijaksanaan dimaknai sebagai policy dan wisdom.
Sebagai wisdom, maka kebijaksanaan adalah pandangan luas
yang masih dalam pemikiran, bersifat universal, mondial dan
objeyektif. Sebagai policy atau kebijaksanaan adalah
kebijaksanaan yang diterapkan secara subyektif yang operatifnya
merupakan :
1) Suatu penggarisan ketentuan.
2) Bersifat pedoman, pegangan, bimbingan yang mencapai
kesepahaman dalam maksud atau cara atau sasaran.
3) Bagi setiap usaha dan kegiatan sekelompok manusia yang
berorganisasi.
4) Sehingga terjadi dinamika gerakan tindakan yang terpadu,
sehaluan dan seirama dalam mencapai tujuan tertentu.

Secara konstitusional, permasalahan kemiskinan di Indonesia telah


dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya Undang-
Undang Dasar 1945. Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud
terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang
mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Menurut
Chamsyah, B (2006:1) berbagai model penanganan kemiskinan yang
telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial
Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE
KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha
Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah (KUKM),
Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program), Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP) dan lain-lain.
Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pembangunan yang
multidimensi sehingga cara pemecahannya diperlukan suatu strategi

3
komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Oleh karena
itu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah
merancang suatu program untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di
perkotaan yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP). Namun patut disadari bahwa program penanggulangan
kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemerintah masih belum mampu
mengatasi seluruh persoalan kemiskinan di tingkat masyarakat baik
sebagai kelompok sasaran maupun dalam pengertian masyarakat warga
secara keseluruhan. Hal ini antara lain disebabkan karena aspek
penguatan terhadap kelembagaan yang bertumpu pada masyarakat
dalam program dimaksud kurang mendapat perhatian yang memadai dari
sisi konsep. Oleh karena itu dalam upaya penanggulangan kemiskinan
tersebut, pemerintah dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah
merancang suatu program yang diharapkan dapat menjamin
keberlanjutan upaya-upaya dalam penguatan kelembagaan dan kapasitas
masyarakat yang mengutamakan pendekatan pemberdayaan masyarakat
dan institusi lokal. Kedua hal tersebut diyakini merupakan syarat menuju
terbentuknya masyarakat yang mampu mengatasi persoalan kemiskinan
yang dihadapi secara mandiri, efektif dan berkelanjutan.
P2KP adalah suatu program yang dirancang dengan suatu
paradigma baru bahwa untuk menanggulangi kemiskinan secara
berkelanjutan diperlukan suatu pendekatan yang berbasis pada prinsip-
prinsip pemberdayaan komunitas sehingga dalam proses pelaksanaan
program perlu dilakukan upaya-upaya tertentu yang harus dilakukan oleh
komunitas itu sendiri dengan sasaran utama adalah masyarakat miskin di
tingkat kelurahan di perkotaan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa
P2KP adalah program penanggulangan kemiskinan di perkotaan dari, oleh
dan untuk rakyat. Sifat dan konsep dasar P2KP berbeda dengan program
lainnya,dimana P2KP adalah program yang mengutamakan pada
pengokohan/penguatan kelembagaan di masyarakat agar program ini

4
berkelanjutan. Dalam hal ini, masyarakat diperankan sebagai pelaku
utama melalui partisipasi aktifnya sehingga masyarakat miskin sebagai
kelompok sasaran tidak hanya difungsikan sebagai obyek program,tetapi
ikut serta dalam merumuskan program yang paling cocok bagi mereka
melalui proses, perencanaan, pemantauan serta evaluasi hasil dari
implementasi program. P2KP bukanlah program yang semata-mata
menyalurkan dana ke masyarakat melainkan juga mendorong upaya
pemberdayaan masyarakat untuk dapat berdiri sendiri dalam
menyelesaikan berbagai persoalan kemiskinan yang dihadapi.
Tujuan P2KP yaitu untuk memberikan bantuan teknis berupa
pendampingan kepada masyarakat dalam rangka membantu
pengorganisasian kelembagaan di tingkat komunitas dan melakukan
upaya bagi peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi,
perbaikan sarana dan prasarana dasar lingkungan serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat dapat secara mandiri
melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
terhadap berbagai program yang terkait dengan penyelesaian
permasalahan serta penyebab kemiskinan yang dihadapi. Memberikan
bantuan kepada masyarakat miskin dalam bentuk dana yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat
baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah.
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Bontomanai sebagai
salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Selayar.
Kecamatan Bontomanai terdiri dari 10 Desa. Desa penerima bantuan
P2KP di Kecamatan Bontomanai sebanyak 4 desa yaitu Desa
Polebunging, Bontolempangan, Parak, dan Jambuiya. Dalam rangka
melaksanakan program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi
Selatan, pemerintah daerah telah berusaha meningkatkan anggaran untuk
program-program yang berkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan

5
data BPS Tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar
37,70 juta jiwa atau sekitar 16,58 persen dari jumlah penduduk sebesar
220.953.634 jiwa. Sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal
di pedesaan, yaitu mencapai 154,667,543.80 juta jiwa atau 70,00 %
(persen) dari seluruh penduduk Indonesia (Data BPS 2005).
Sementara itu tingkat kemiskinan di perdesaan (ditinjau dari
indikator jumlah dan persentase penduduk miskin maupun kedalaman dan
keparahan kemiskinan) memiliki persentase yang cukup tinggi. Jumlah
penduduk miskin total adalah sekitar 37,4 juta jiwa (BPS 2005) atau
sekitar 17,2 % (persen) dengan persentase penduduk miskin perdesaan
mencapai 20,2 % (persen) sedangkan di perkotaan sebesar 13,6 %
(persen).
Berdasarkan data BPS Tahun 2006 jumlah penduduk miskin yang
menerima Program Beras Miskin (Raskin) di Kabupaten Selayar sebanyak
7.806 jiwa atau sekitar 6,81 % (persen) dari jumlah penduduk sebanyak
114.598 jiwa. Berdasarkan Profil Kabupaten Selayar 2006 terlihat bahwa
jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin di Kecamatan Bontomanai pada
tahun 2005 sebanyak 1.272 atau sekitar 16,29 % dari seluruh Kepala
Keluarga miskin yang ada di Kabupaten Selayar. Tingginya angka
kemiskinan tersebut menjadi bukti bahwa Kabupaten Selayar tercatat
sebagai salah satu daerah tertinggal di Kawasan Timur Indonesia
sehingga dengan kondisi yang demikian, maka Kabupaten Selayar
khususnya Kecamatan Bontomanai merupakan salah satu daerah yang
wajib diberikan kesempatan untuk pelaksanaan P2KP sebagai wujud
program untuk penanggulangan kemiskinan.
Adapun kegiatan yang dilaksanakan telah menghabiskan dana
anggaran sebesar Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) yang terdiri dari
empat desa masing-masing menerima Rp.250.000.000,- Perincian alokasi
dana kegiatan adalah Rp. 297.600.000 untuk kegiatan lingkungan,

6
kegiatan sosial sebesar Rp. 155.950.000,- kegiatan ekonomi diperlukan
anggaran sebesar Rp.516.450.000,- sedangkan BOP Rp. 30.000.000,-
Hal inilah yang melatarbelakangi dan mendorong penulis untuk
melakukan penelitian dan pengkajian tentang “ Implementasi
Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar”.

1.2. Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Latar belakang permasalahan tersebut dapat diidentifikasi masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Kurang optimalnya pelaksanaan P2KP dalam pemberdayaan
masyarakat di Kecamatan Bontomanai.
2. Kurangnya sumber daya yang tersedia.
3. Kurangnya sinergi koordinasi antar instansi terkait (stakeholder)
dalam pelaksanaan program P2KP.
4. Kurang optimalnya pelaksanaan evaluasi program P2KP.

1.2.2. Pembatasan Masalah


Untuk mempersempit ruang lingkup masalah, maka perlu adanya
pembatasan. Penulis membatasi masalah penelitian yang berfokus pada
bagaimana implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), hambatan-hambatan serta upaya-upaya
yang dilakukan dalam implementasi kebijaksanaan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar.

1.2.3. Perumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka
dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

7
1. Bagaimana implementasi kebijaksanaan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar ?
2. Bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi
kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten
Selayar ?
3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan dalam implementasi
kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten
Selayar ?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian


1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan
informasi serta menggambarkan tentang :
1. Implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai
Kabupaten Selayar.
2. Hambatan-hambatan dalam implementasi kebijaksanaan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di
Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar.
3. Upaya-upaya yang dilakukan dalam implementasi
kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten
Selayar.

8
1.3.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memahami dan memperoleh gambaran implementasi
kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten
Selayar.
2. Untuk memahami dan memperoleh gambaran hambatan-
hambatan dalam implementasi kebijaksanaan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar.
3. Untuk memahami dan memperoleh gambaran upaya-upaya
yang dilakukan dalam implementasi Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai
Kabupaten Selayar.

1.4. Kegunaan Penelitian


1.4.1. Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan administrasi
pemerintahan daerah khususnya dalam implementasi
kebijaksanaan program pemberdayaan masyarakat miskin kota.

1.4.2. Aspek Praktis


1. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan daya
analisis penulis dalam menyikapi berbagai fenomena
implementasi kebijaksanaan khususnya pemberdayaan
masyarakat miskin kota.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan

9
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah.
3. Bagi Program Pascasarjana (MAPD) Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
pengembangan koleksi perpustakaan Program Pascasarjana
MAPD-IPDN dalam bidang kajian implementasi kebijaksanaan
pemberdayaan masyarakat miskin kota.

1.5. Kerangka Pemikiran


Keinginan menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukan hal baru.
Pada periode 1980-an, pemerintah pernah mencanangkan dua pokok
kebijaksanaan pembangunan yaitu pertama, mengurangi jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan kedua,
melaksanakan delapan pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian
pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan
memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha,
berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan
memperoleh keadilan. Program pembangunan dilaksanakan tidak hanya
mengejar kemajuan lahiriah melainkan juga memenuhi kepuasan batiniah.
Hasil pembangunan diarahkan merata ke seluruh penjuru tanah air,
bukan hanya dinikmati oleh segolongan masyarakat, dan dapat dirasakan
oleh segenap masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan sampai
sekarang belum mencapai hasil yang diharapkan. Kemiskinan belum
berkurang dan isu-isu ketimpangan semakin besar bahkan terus
membengkak. Roesmidi, (2006:95) menyatakan bahwa program
pembangunan ekonomi ternyata tidak efektif, bantuan yang dikucurkan
pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin. Lebih lanjut beliau
menyatakan :

10
Untuk memahaminya perlu ditelaah kembali dimensi struktural
kemiskinan itu sendiri. Secara sosiologis, dimensi struktural
kemiskinan dapat ditelusuri melalui "institutional arrangments"yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya
adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berangkat pada
"kelemahan diri", sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural
seperti diungkap di atas. Kemiskinan semacam itu justru
merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan
ekonomi yang selama ini dilaksanakan serta dari pengambilan
posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi
pembangunan ekonomi.

Kondisi kemiskinan di wilayah perkotaan pada umumnya hampir


sama dengan pedesaan meskipun dengan wajah yang agak berbeda. Di
antara pengusaha yang memperoleh kucuran dana untuk menunjang
proses industrialisasi, ternyata banyak yang melakukan manipulasi dan
monopoli. Dengan dalih efektivitas dan efisiensi, mereka telah
"merampas" tanah dan tenaga kerja yang murah dalam proses produksi.
Ironisnya, beberapa kebijaksanaan justru memperlicin proses perampasan
itu. Di samping itu, golongan menengah kota belum terbentuk atau masih
semu, belum terbuka pandangan dan kepentingan politik yang integral
terhadap perkembangan ekonomi secara keseluruhan, belum tumbuh
kesadaran kelas. Oleh karena itu, sebutan "kelas menengah" sebenarnya
merupakan sub-elit yang feodalistik dan quasi liberal. Bahkan langkah-
langkah yang diambil kerap kali justru menutup akses kelompok miskin
pada kegiatan perekonomian. Mereka melakukan berbagai macam
monopoli dan mengatur strategi untuk memanfaatkan subsidi pemerintah
yang berujung pada kesenjangan sosial masyarakat yang terus menganga
lebar.
Kemiskinan merupakan suatu kondisi hidup yang merujuk pada
keadaan kekurangan. Chamsyah, B (2006:15) menyatakan bahwa :
Sering pula dihubungkan dengan kesulitan dan kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu kemiskinan sering juga
didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang

11
terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki,
rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya
produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil
produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta
dalam pembangunan

Bank Dunia (World Bank) dalam Chamsyah, B (2006:16)


memberi definisi keadaan miskin "Poverty is concern with absolute standard of
living of part of society the poor in the equality refers to relative living standards
across the whole society.". Mengenai pentingnya peran pemerintah,
Ndraha (2000 : 79) mengemukakan bahwa “Pemerintah mengembang
dua fungsi yaitu fungsi pelayanan dan pemberdayaan”. Selanjutnya
tugas-tugas pokok sebagaimana di atas, secara ringkas dikemukakan
oleh Rasyid (1997 : 13) menjadi tiga fungsi yang hakiki dari
pemerintahan modern yaitu “pelayanan (service), pemberdayaan
(empowerment) dan pembangunan (development). Dikatakan lebih lanjut
bahwa “pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat,
pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan
pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Inilah
yang sekaligus menjadi misi pemerintahan”.
Mardiasmo, (2002:59) menyatakan bahwa :
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1)
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan.

Peran pemerintah selaku pelayan lebih konkret dijelaskan oleh


Rasyid (1997 : 42) dalam konsepnya tentang pemerintahan yang baik,
yaitu :

12
Pemimpin atau pemerintah yang baik adalah memberi kepada
rakyat apa yang mereka inginkan sebelum mereka minta.
Pemerintahan yang amanah adalah pemerintah yang semua
keputusan dan kebijaksanaannya diorientasikan kepada
pemenuhan kebutuhan rakyat atau membahagiakan orang
banyak”.

Secara jelas memberikan pemahaman konseptual pemerintah yang


baik manakala melalui kebijaksanaannya selain orientasikan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat atau memerangi kemiskinan, juga
membahagiakan atau meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berkenaan
dengan itu, Hogerwerf dalam (Islamy 1984:9) berpendapat bahwa “fungsi
sentral dari suatu pemerintahan adalah menyiapkan, menentukan dan
menjalankan kebijaksanaan atas nama dan untuk keseluruhan
masyarakat”.
Definisi berikutnya dikemukakan James Anderson dalam Islamy,
(1984 :17) bahwa kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut:
“A purposive course of action, followed by an actor or a set of
actors in daling with a problem or metter of concern.”
(“serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok
pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.”).

Jika kebijaksanaan publik dipandang sebagai suatu proses, maka


pusat perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijaksanaan. Pada
umumnya siklus kebijaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, dan
kegiatan-kegiatan tersebut adalah Perumusan, Implementasi dan Evaluasi
(Nugroho, 2004:74).
Menurut Ermaya (1993:193) ciri-ciri Policy (kebijaksanaan), yaitu
sebagai berikut :
a) Mengandung hubungan dengan tujuan organisasi atau tujuan
lembaga yang bersangkutan;
b) Dikomunikasikan dan dijelaskan kepada semua pihak yang
bersangkutan;

13
c) Dinyatakan dengan bahasa yang mudah dipahami, sebaiknya
tertulis;
d) Mengandung ketentuan tentang batas-batasnya dan ukuran
bagi tindakan di kemudian hari;
e) Memungkinkan diadakan perubahan dimana perlu meskipun
secara relatif tetap dan stabil;

Selanjutnya Nugroho (2004:158) memberikan definisi


implementasi policy adalah sebagai berikut:
Cara agar sebuah kebijaksanaan dapat mencapai tujuannya,
tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijaksanaan publik, maka ada dua pilihan langkah yaitu
langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program
atau melalui formulasi kebijaksanaan turunan dari kebijaksanaan
tersebut.

Dari aspek implementasi kebijaksanaan, Dunn (1981 : 80)


berpendapat bahwa :
The policy implementation was to action and driving to purposed
policy action to target of policy
Implementasi kebijaksanaan adalah pelaksanaan dan
pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil
kebijaksanaan”.

Marse dalam Islamy (1984:10) mengatakan “Implementasi


kebijaksanaan adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu dan dalam urutan waktu tertentu”. Ini berarti bahwa
implementasi kebijaksanaan merupakan tahapan yang sangat esensial
dari suatu kebijaksanaan. Udoji dalam Dunn (1981 : 83) uraiannya
mengemukakan “the execution of pilicies is a important if or not more
important than policymaking. Policies will remain dreams or blue prints file
jackets unless they are implemented”. Dengan demikian, implementasi
kebijaksanaan merupakan sesuatu yang sangat penting karena apabila
gagal dalam tahap implementasi kebijaksanaan secara langsung akan
berdampak pada publik secara luas.

14
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI)
(2003:145) dalam bukunya mengenai Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia/SANKRI menyatakan bahwa pembentukan
kemampuan dan komitmen individu dan institusi negara dan masyarakat
bangsa yang terlibat dalam proses kebijaksanaan publik, tidak cukup dengan
mengetahui dan menghafal berbagai dimensi nilai yang terkandung, melainkan
perlu disertai kompetensi dalam mengaktualisasikannya secara arif dan
efektif, melalui pengelolaan proses kebijaksanaan yang rasional dan realistis,
berdasarkan ilmu pengetahuan yang relevan dan teruji.
Lebih lanjut LAN-RI (2003:146) menyatakan bahwa :
Proses kebijaksanaan dapat dipandang merupakan rangkaian kegiatan
yang meliputi paling tidak tiga kelompok utama, yaitu (a) pembuatan
atau formulasi kebijaksanaan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan, dan
(c) evaluasi kinerja kebijaksanaan, yang dilakukan dalam rangka
pemantauan, pengawasan (internal/eksternal), dan pertanggung
jawaban. Semua itu berlangsung dalam, dan merupakan core
business dari, sistem administrasi negara modern yang juga berperan
sebagai suatu "sistem kebijaksanaan".

Berkenaan dengan implementasi Program Penanggulangan


Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dimaksudkan untuk meningkatkan derajat
kesejahteraan masyarakat, diharapkan pula ada partisipasi masyarakat
dalam implementasi program dimaksud. Ini sesuai dengan pendapat
Mustopadidjaja (2002 : 11) yang mengemukakan “salah satu unsur
keberhasilan implementasi kebijaksanaan adalah adanya dukungan dari
target group atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat dan perubahan serta peningkatan”.
Pendapat itu menunjukkan secara jelas bahwa partisipasi
masyarakat memang mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan
implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Davis (2003 : 128) mendefinisikan konsep partisipasi, sebagai berikut:
“Participation can be defined as mental and emotional involment of a

15
person in a group situation which encourages him to contribute to group
goals and to share rensposibility for them”. Selanjutnya Davis dalam
Sastropoetro, (1988 : 13) mengemukakan unsur pokok partisipasi yaitu:
Partisipasi adalah keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan
seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai
tujuan serta turut bertanggung jawab atas usaha yang
bersangkutan tiga unsur penting dalam partisipasi adalah (1)
keterlibatan jasmaniah, mental dan perasaan, (2) kesediaan
memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan
kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan
untuk membantu kelompok, (3) tanggung jawab merupakan segi
yang menonjol dari rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota
artinya ada rasa sense of belongingness.

Dalam kaitannya itu, Ndraha (2000 : 33) menyatakan bahwa :


Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan fisik dan mental
seseorang atau suatu kelompok masyarakat desa di dalam gerakan
pembangunan yang mendorong yang bersangkutan untuk atas
kehendak atau prakarsa sendiri menurut kemampuan yang ada
mengambil bagian dalam usaha menyelenggarakan suatu program
atau proyek atau kegiatan pembangunan desa yang bersangkutan
dalam pertanggung jawabannya.

Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pembangunan yang


multidimensi sehingga cara pemecahannya diperlukan suatu strategi
komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Oleh karena
itu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, telah
merancang suatu program untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di
perkotaan yaitu P2KP : Proyek Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan.
Namun patut disadari bahwa program atau proyek penanggulangan
kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemerintah masih belum mampu
mengatasi seluruh persoalan kemiskinan di tingkat masyarakat baik
sebagai kelompok sasaran, maupun dalam pengertian masyarakat warga
secara keseluruhan. Hal ini antara lain disebabkan karena aspek

16
penguatan terhadap kelembagaan yang bertumpu pada masyarakat
dalam program atau proyek dimaksud kurang mendapat perhatian yang
memadai dari sisi konsep.
Freire, (1985:44) menyarankan cara yang tepat bagi suatu
kepemimpinan revolusioner dalam melakukan tugas pembebasan
kemiskinan, adalah bukannya propaganda pembebasan. Kepemimpinan
juga tidak dapat hanya menanamkan pada kaum miskin suatu keyakinan
pada kebebasan. Cara yang benar terletak dalam dialog, keyakinan kaum
miskin bahwa mereka harus berjuang bukanlah suatu hadiah yang
dianugerahkan oleh kepemimpinan revolusioner, tetapi hasil dari
penyadaran diri mereka sendiri.
Lebih tegas lagi apa yang disampaikan oleh Mas’oed (1997:69)
bahwa :
Kata pembangunan telah cenderung menjadi mitos dan mengalami
sakralisasi. Arti pembangunan sendiri adalah perubahan sosial dari
kondisi tertentu ke kondisi yang lebih baik. Seolah-olah tersembunyi
"nilai kebaikan" di balik pelaksanaan pembangunan. Karena tujuan dan
anggapan dasarnya adalah baik maka proses pembangunan
mengizinkan pengorbanan-pengorbanan berbagai dimensi
kemanusiaan. Persoalannya adalah nilai yang dianggap baik dalam
pembangunan tersebut adalah baik menurut siapa, lapisan mana, dan
siapa atau kelompok mana yang harus dikorbankan.

Oleh karena itu dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut,


Pemerintah dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah merancang
suatu program yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan upaya-
upaya dalam penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat yang
mengutamakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal.
Kedua hal tersebut diyakini merupakan syarat menuju terbentuknya
masyarakat yang mampu mengatasi persoalan kemiskinan yang dihadapi
secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. Program tersebut dikenal
sebagai Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan yang disingkat

17
dengan P2KP. Sifat dan konsep dasar P2KP berbeda dengan
program lainnya.
a) P2KP adalah program yang mengutamakan pada pengokohan/
penguatan kelembagaan di masyarakat agar program ini
berkelanjutan.
b) Masyarakat diperankan sebagai pelaku utama melalui partisipasi
aktifnya, sehingga masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran
tidak hanya difungsikan sebagai obyek program, tetapi ikut serta
dalam merumuskan program yang paling cocok bagi mereka
melalui proses, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta
evaluasi hasil dari implementasi program.
c) Hasil program akan terus berlanjut atau kemungkinannya berhenti,
sangat tergantung pada motivasi dan komitmen masyarakat sendiri.
d) P2KP bukanlah program yang semata-mata menyalurkan dana ke
masyarakat melainkan juga mendorong upaya pemberdayaan
masyarakat untuk dapat berdiri sendiri dalam menyelesaikan
berbagai persoalan kemiskinan yang dihadapinya.
e) Program ini tidak mempunyai batas waktu, program ini harus tetap
berproses dan berjalan walaupun sebagai proyek telah dianggap
selesai.
f) Proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan hanya bertugas
mendampingi dan memfasilitasi masyarakat dalam
mengimplementasikan konsep dasar P2KP pada waktu yang telah
ditentukan.
Secara konseptual, pentingnya partisipasi masyarakat dalam
implementasi program pembangunan termasuk Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) merupakan suatu keharusan demi
menjamin tercapainya keberhasilan program dimaksud. Hal ini ditegaskan
oleh Korten dalam Supriatna, (2000 : 209) mengatakan “salah satu
indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi

18
masyarakat penerima program”. Hanya dengan partisipasi masyarakat
penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya
kesesuaian itu, maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat
optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat (Supriatna, 2000 : 209).
Berkaitan dengan pendapat itu, Moelyarto (1987 : 48)
mengemukakan sebagai berikut:
Terdapat beberapa alasan pembenar bagi partisipasi rakyat dalam
pembangunan, yaitu :
1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan
partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut;
2. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi
untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang
menyangkut masyarakat;
3. Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus
informasi untuk berhasilnya pembangunan;
4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di
mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki;
5. Memperluas jangkauan pemerintah masyarakat;
6. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi
aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia;
7. Partisipasi merupakan cara efektif membangun kemampuan
masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna
memenuhi kebutuhan khas daerah,
8. Demokrasi dipandang sebagai pencerminan hak demokrasi
individu.

Dengan demikian tak dapat disangkal bahwa partisipasi


masyarakat memegang peranan penting dalam pelaksanaan
pembangunan termasuk implementasi Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), namun untuk menumbuhkan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukanlah
merupakan hal yang mudah sebab partisipasi tidak tumbuh dengan
sendirinya. Ini secara tegas diungkapkan oleh Supriatna (2000 : 32) yang
menyatakan :

19
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak datang dengan
sendirinya tetapi harus diusahakan terus menerus secara tekun
dan diberi kesempatan untuk tumbuh, berakar dan berkembang
secara wajar sehingga masyarakat mempunyai sikap, orientasi,
persepsi dan identifikasi selaku subyek di dalam penyelenggaraan
pembangunan

Dalam kaitan dengan itu, Tjokroamidjodjo (1995 : 226)


mengemukakan bahwa Faktor yang mempengaruhi partisipasi meliputi (1)
masalah kepemimpinan; (2) komunikasi; (3) pendidikan”. Ndraha (2000
:27) mengatakan faktor-faktor yang mendukung partisipasi masyarakat
adalah :
1) Memberikan stimulasi kepada masyarakat
2) Menyesuaikan program pemerintah dengan kebutuhan
(keinginan) yang telah lama dirasakan oleh masyarakat desa.
3) Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan kebutuhan
atau perlu perubahan di masyarakat dengan memberikan
pendidikan.

Kedua pendapat itu menunjukkan secara jelas semangat partisipasi


masyarakat akan muncul apabila didukung oleh kepemimpinan,
komunikasi, pendidikan, stimulasi. Karena itu dalam rangka
menggerakkan partisipasi masyarakat, haruslah memperhatikan beberapa
faktor pendukung partisipasi masyarakat tersebut.
Selanjutnya oleh Sastropoetro (1988 : 56 - 57) mengemukakan
bentuk, jenis dan persyaratan melaksanakan partisipasi yang efektif,
sebagai berikut:
1. Bentuk partisipasi : konsultasi, sumbangan uang, barang,
proyek berdikari, jasa kerja, aksi masa mengerjakan proyek
secara suka rela, perjanjian bersama untuk bekerja sama
mencapai tujuan, pembangunan proyek komuniti yang otonom.
2. Jenis-jenis partisipasi : partisipasi dengan pikiran (psycological
participation), tenaga (physical participation), pikiran dan tenaga
(active participation), partisipasi dengan keahlian (participation
with skill), barang (material participation), uang (money
participation), jasa-jasa (service participation).

20
Partisipasi masyarakat dalam implementasi Program P2KP dapat
diukur dari keterlibatan masyarakat secara sadar dan sukarela berupa
pikiran, tenaga, benda, uang, tanggung jawab, menerima, memanfaatkan
dan mengembangkan serta melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap hasil yang dicapai. Dalam penelitian ini indikator implementasi
kebijaksanaan publik penulis adopsi dari teori implementasi kebijaksanaan
publik berdasarkan konsep Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam
Tachjan, (2006:57-58) yaitu : 1) Mudah/ tidaknya masalah dikendalikan,
2). Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses
implementasi, 3). Variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi
proses implementasi. Alasan dipilihnya model implementasi ini adalah
karena model ini oleh penulis dianggap cukup sesuai dengan kondisi
program yang sedang dijalankan yaitu P2KP yang memerlukan sebuah
tahapan implementasi meliputi masalah yang akan dipecahkan, struktur
implementasinya dan perhatiannya terhadap variabel luar. Bertolak dari
keseluruhan uraian kerangka pemikiran di atas, dapat dikonstruksikan
dalam bentuk gambar berikut :

21
GAMBAR 1.1
KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN

Masyarakat Miskin Kota


Di Kecamatan Bontomanai

Pemerintah
Kecamatan Bontomanai

Masa Orba Reformasi


Inpres IDT
KUBE KMM RASKIN
TAKESRA PPK
KUKESRA BLT
KUKM PKBM
JPS P2KP
Pemberdayaan
Masyarakat Miskin
Belum Optimal

Impelementasi Kebijaksanaan
1. Mudah/tidaknya Masalah
Dikendalikan
2. Kemampuan kebijaksanaan
untuk menstrukturkan proses
implementasi
3. Variabel Luar Kebijaksanaan
yang Mempengaruhi Proses
Implementasi

Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam


Tachjan, (2006:57-58)

Pelaksanaan Target Kondisi


P2KP Kebijaksanaan Lingkungan
Sasaran

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kebijaksanaan


Berbagai aktivitas pemerintah dalam hubungannya dengan
masyarakat (public) bisa saja dikatakan sebagai suatu kebijaksanaan
pemerintah. Secara teoritik Istilah kebijaksanaan seringkali
penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti
tujuan (goals), program, keputusan, Undang-undang, ketentuan-
ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Menurut
United Nation dalam Wahab (2005:2), kebijaksanaan diartikan sebagai
suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah
tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau
suatu rencana.
Menurut Rasyid (1997, 12) kebijaksanaan publik adalah
keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran
strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas
publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijaksanaan
publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima
mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses
pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya,
kebijaksanaan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di
jalankan oleh birokrasi pemerintah.
Pengertian kebijaksanaan negara dalam arti luas dikemukakan oleh
Anderson dalam Wahab (2005:5) yang merumuskan kebijaksanaan
sebagai “perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan
tertentu”. Pendapat ini sejalan dengan pengertian kebijaksanaan
pemerintah secara umum yang menurut Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia (2003:2) bahwa :

23
Kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan
yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap
usaha dan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan ruang
lingkup kebijaksanaan digolongkan ke dalam dua ruang lingkup,
yaitu lingkup nasional dan lingkup wilayah atau daerah.

Selanjutnya Friedrich dalam Wahab (2005:3) mendefinisikan


kebijaksanaan sebagai :
Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya
mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan.

Berkaitan dengan definisi di atas, Anderson dalam Wahab


(2005:3) merumuskan kebijaksanaan sebagai : “Langkah tindakan yang
secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapi”.
Melalui suatu definisi kerja, Mustopadidjaja (2002:16-17)
merumuskan kebijaksanaan sebagai :
Keputusan suatu organisasi (publik atau bisnis) yang dimaksudkan
untuk mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan
tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan
pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut
yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit)
organisasi pelaksana kebijaksanaan, dan (2) penerapan atau
pelaksanaan dari sesuatu kebijaksanaan yang telah ditetapkan,
baik dalam hubungan dengan unit organisasi pelaksana maupun
dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Pengertian kebijaksanaan tersebut cukup relevan bila dihubungkan


dengan kebijaksanaan pemerintah, dimana terkait pula dengan suatu
pedoman, rencana, program dan kegiatan tertentu yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah (pejabat, instansi pemerintah). Lebih lanjut

24
untuk membedakan apakah kebijaksanaan tersebut merupakan
kebijaksanaan pemerintah atau bukan kebijaksanaan pemerintah, akan
diungkapkan beberapa pandangan di bawah ini.
Dye dalam Wahab (2005:4) berpendapat bahwa “kebijaksanaan
negara ialah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak
dilaksanakan oleh pemerintah”. Sedangkan Udoji dalam Wahab (2005:5)
mengidentifikasikan kebijaksanaan negara sebagai suatu tindakan
bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada
suatu masalah atau pada suatu kelompok masalah tertentu yang saling
berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Dengan demikian, yang membedakan antara kebijaksanaan
pemerintah dan bukan kebijaksanaan pemerintah adalah : Pertama,
bahwa kebijaksanaan pemerintah dibuat oleh suatu badan pemerintah,
baik pejabat maupun instansi pemerintah. Kedua, kebijaksanaan dibuat
dalam rangka hubungan pemerintah dengan masyarakat (sebagian besar
warga masyarakat). Ketiga, kebijaksanaan merupakan pilihan pemerintah,
baik melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang menyangkut
masyarakat banyak (publik).
Bila dihubungkan dengan kebijaksanaan pemerintah secara umum,
maka kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan
yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha
dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan
dalam mencapai tujuan tertentu, yang digolongkan ke dalam dua ruang
lingkup, yaitu : 1) Lingkup Nasional, dan 2) Lingkup Wilayah atau
Daerah (LAN-RI, 2003:2).

2.1.1. Implementasi Kebijaksanaan


Menurut Thomas R. Dye dalam bukunya yang berjudul
Understanding Publik Policy (1978, 3-2) secara simpel, kebijaksanaan
publik dapat diartikan sebagai apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

25
dilakukan atau untuk tidak dilakukan (publik policy is whatever
governments choose to do or not to do). Maksudnya adalah bahwa
kebijaksanaan publik itu merupakan fungsi utama dari setiap
pemerintahan dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat umum
(publik). Fungsi pelayanan publik inilah yang di dalam wacana akademis
dikenal dengan “administrasi publik”.
Berdasar argumen sederhana ini dapatlah dipahami bahwa ada
kaitan antara kebijaksanaan publik dengan administrasi publik. Lebih
lanjut kaitan antara kebijaksanaan publik dan administrasi publik menurut
Nicholas Henry (1975, 3) menyatakan bahwa “for the letter part of the
twentieth century, the publik bureaucracy has been the locus of publik
policy formulation and the major determinant of where this contry is going”.
Dalam tulisannya itu Henry menggunakan istilah “birokrasi publik” untuk
menyebut “administrasi publik”. Perbedaan penyebutan peristilahan ini
bukanlah hal yang substansial, karena di dalam istilah birokrasi itu sendiri
sebetulnya terkandung pengertian sebuah agen yang menyelenggarakan
proses pelayanan publik. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan itu
adalah bahwa sejak abad-20 birokrasi pemerintah (administrasi publik)
telah menjadi tempat percaturan dan perumusan kebijaksanaan publik
(kebijaksanaan negara).
Begitu sentralnya peran administrasi Negara dalam pandangan
Henry sehingga ia membuat pembagian paradigma tentang administrasi
negara. Pembagian paradigma ini sangat berguna bagi para mahasiswa
yang mempelajari ilmu kebijaksanaan publik, setidaknya berguna untuk
mengetahui dan memahami bahwa ada berbagai perbedaan dan variasi
dalam mengkonsepsikan kebijaksanaan publik sebagai suatu ilmu
maupun sebagai suatu praktek kenegaraan. Hal itu disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam cara pandang (paradigma).
Secara konseptual, Kebijaksanaan Publik (Publik Policy) itu
dipelajari oleh dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu administrasi

26
publik. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda terhadap Kebijaksanaan Publik. Hal ini dikarenakan
masing-masing disiplin ilmu itu memiliki Locus dan Focus yang berbeda.
Locus ilmu politik adalah kekuasaan (power), sedangkan locus ilmu
administrasi negara adalah organisasi dan manajemen. Focus ilmu politik
adalah memperbesar akses kekuasaan, sedangkan focus ilmu
administrasi negara adalah efektivitas dan efisiensi. Adanya perbedaan
locus dan focus tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan
konseptualisasi kebijaksanaan publik. Dalam konsepsi Ilmu Politik,
kebijaksanaan publik itu berasal dan dibuat oleh organ-organ yang
memiliki kekuasaan yang sah (dalam hal ini adalah negara atau
pemerintah). Tujuan dan sasaran dibuatnya kebijaksanaan publik semata-
mata untuk memperjuangkan dan memperbesar akses kekuasaan yang
sudah ada. Sedangkan menurut konsep ilmu administrasi negara,
kebijaksanaan publik itu berasal dan dibuat oleh pemerintah (manajemen)
sebagai fungsi dinamis dari negara (organisasi), yang ditujukan untuk
menciptakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel perbandingan perspektif administrasi berikut :
TABEL 2.1
PERBANDINGAN PERSPEKTIF TENTANG PUBLIK POLICY
Faktor Disiplin Ilmu
Pembanding Politik Administrasi Publik
(1) (2) (3)
Locus Power (Kekuasaan) Organisasi dan
(Sumber) Manajemen
Focus (Obyek) Power (Kekuasaan) Efektivitas dan Efisiensi
Persepsi Public Policy dibuat Public Policy Dibuat oleh
tentang Public oleh lembaga formal pemerintah untuk
Policy yang memiliki menciptakan
kekuasaan (yakni, penyelenggaraan
pemerintah) untuk administrasi
memperjuangkan, Pemerintahan secara

27
memperbesar, dan efektif dan efisien.
mempertahankan
kekuasaan.

Secara umum, kebijaksanaan dipandang sebagai suatu alat bagi


organ-organ yang membuat (dalam hal ini adalah pemerintah) untuk
mendapatkan kekuasaan, memperjuangkan kekuasaan, memperbesar
kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan perspektif ilmu
administrasi negara terhadap kebijaksanaan publik dijelaskan bahwa ilmu
administrasi negara itu memiliki delapan unsur (pilar) utama; yaitu
organisasi, manajemen, personalia, material, finansial, human relations,
komunikasi, dan ketatausahaan. Menurut Siagian (1999:14) bahwa :
Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari
keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada
umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Menurut Nawawi (1999:15) bahwa :


“Administrasi adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan sebagai
proses pengendalian usaha kerja sama sekelompok manusia untuk
mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya”.

Kebijaksanaan publik (public policy) adalah fungsi dari pilar


organisasi dan manajemen. Unsur organisasi di dalam perspektif ini
adalah 'Negara', sedang unsur manajemen adalah “Pemerintahan”.
Negara dipandang sebagai suatu wadah atau organisasi dalam arti statis.
Unsur ini memerlukan mesin penggerak yang dapat
mendinamisasikannya. Unsur dinamis itu adalah manajemen, yang di
dalam sistem kenegaraan lebih dikenal sebagai pemerintahan. Dalam
perspektif ini bertemunya unsur Negara dan pemerintahan akan
menghasilkan sebuah ketentuan, peraturan atau hukum yang lazim
disebut kebijaksanaan publik.

28
Dengan demikian, materi studi kebijaksanaan publik menurut
perspektif ini adalah multi disiplin. Ia memerlukan berbagai bantuan ilmu-
ilmu lain, misalnya ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi
dan lain-lainnya. Dalam perspektif ini lokus kebijaksanaan publik adalah
teori organisasi dan manajemen, sedangkan fokusnya adalah efektivitas
dan efisiensi. Kebijaksanaan publik dilihat sebagai instrumen pemerintah
yang diambil dalam rangka menciptakan efektivitas dan efisiensi
pelayanan publik.
Menurut Tachjan (2006, 106) implementasi kebijaksanaan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijaksanaan dapat mencapai
tujuannya. Lebih lanjut Tachjan (2006, 106) menyatakan :
Untuk mengimplementasikan kebijaksanaan publik, maka perlu ada
dua pilihan langkah yaitu langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program-program atau melalui formulasi kebijaksanaan
turunan dari kebijaksanaan publik tersebut. Kebijaksanaan publik
dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis
kebijaksanaan publik penjelasan atau yang sering diistilahkan
sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijaksanaan yang bisa langsung
operasional antara lain keputusan presiden, keputusan kepala
daerah, keputusan kepala dinas dan lain lain. Secara prinsip
terdapat dua jenis teknik atau model implementasi kebijaksanaan.
Pertama, implementasi kebijaksanaan yang berpola dari “atas ke
bawah “(top down) versus “dari bawah ke atas” (bottom up) dan
kedua, implementasi kebijaksanaan publik yang bersifat paksa
(command-and-control) dan mekanisme pasar (economic
incentive).

Tahap implementasi kebijaksanaan merupakan aspek yang penting


dari keseluruhan aspek kebijaksanaan dan juga dapat dipandang sebagai
suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden). Menurut Hoogerwerf
dalam Nugroho, (2004:137), bahwa “implementasi kebijaksanaan yaitu
berbagai penggunaan sarana-sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-

29
tujuan yang dipilih. Sarana yang dimaksudkan adalah berupa peraturan-
peraturan atau keputusan keputusan yang telah ditetapkan pemerintah”.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Nugroho,
(2004, 102), menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan
bahwa :
”Memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.

Jadi implementasi kebijaksanaan adalah kompleks, tidak akan


dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan tidak mungkin dapat mewakili
seluruh kelompok masyarakat yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut,
jelaslah bahwa mereka yang terlibat dalam implementasi kebijaksanaan
yang telah ditetapkan sebelumnya adalah pihak pemerintah sendiri
dengan pihak kelompok-kelompok atau individu yang berkepentingan
yang ada dalam masyarakat dimana kebijaksanaan itu diimplementasikan.
Peranan pemerintah dalam proses implementasi kebijaksanaan
tampak dalam cara-cara suatu pemerintah mengadakan intervensi
kebijaksanaan. Menurut Mustopadidjaja (2002:124) bahwa hal ini bisa
berupa :
1. kebijaksanaan langsung, yaitu kebijaksanaan dimana untuk
mencapai tujuan-tujuan yang dimaksud pemerintah
mengimplementasikan berbagai keputusan, ketentuan dan
aturan yang terdapat dalam kebijaksanaan.
2. kebijaksanaan tak langsung adalah berbagai keputusan atau
perundang-undangan, dimana untuk mencapai tujuan yang
dimaksudkan, pemerintah tidak mengiimplementasikan sendiri
kebijaksanaan tersebut tetapi hanya mengeluarkan ketentuan
atau aturan yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan
masyarakat sehingga bergerak ke arah yang sesuai dengan
tujuan yang dimaksudkan.

30
3. kebijaksanaan campuran adalah kebijaksanaan dimana untuk
mencapai tujuan tujuan yang dimaksudkan, terbuka
kesempatan atau peran yang dapat diimplementasikan baik
oleh instansi pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat
ataupun campuran keduanya.

Implementasi kebijaksanaan publik pada umumnya diserahkan


kepada lembaga-lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang, dari
pemerintahan pusat hingga pemerintah desa. Disamping itu, setiap
pelaksanaan kebijaksanaan masih memerlukan pembentukan
kebijaksanaan dalam wujud peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam implementasi kebijaksanaan publik biasanya akan terkait dengan
aktor pelaksana dalam berbagai kedudukan dan peran yang disertai
dengan penggunaan berbagai sarana. Organisasi pelaksana meliputi
keseluruhan para aktor pelaksana dan pembagian tugas masing-masing.
Implementasi kebijaksanaan publik sangat penting untuk memberikan
perhatian yang khusus kepada peran kelompok kepentingan (interest
groups) yang bertindak sebagai wakil pelaksanaan atau objek
kebijaksanaan.
Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam suatu kebijaksanaan publik, maka para pelaksana kebijaksanaan
sebenarnya dihadapkan pada dua permasalahan yaitu berkaitan dengan
lingkungan interaksi program dan administrasi program. Idealnya
lembaga-lembaga publik harus selalu tanggap terhadap perkembangan
dan kebutuhan dan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang akan
menerima manfaat program. Untuk itu para pelaksana pertama-tama
harus berusaha untuk mendapatkan dukungan dari para elite politik, atau
pihak-pihak yang diharapkan menerima manfaat dari program tersebut
dan sebagainya. Implementasi kebijaksanaan merupakan aspek yang
penting dari seluruh proses kebijaksanaan.

31
Implementasi mengandung makna sebagaimana yang
dikemukakan dalam kamus Webster dalam Wahab (2002 : 64), ”to
implement berarti to provide the means for carrying out yang menekankan
bahwa implementasi kebijaksanaan dapat dipandang sebagai suatu
proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan”. Meter dan Horn
dalam Wahab (2002 : 65), memberikan rumusan atau batasan tentang
implementasi kebijaksanaan “Those action by publik are private
aindividuals (or groups) that are directed at the achievement objectives set
forth in prior policy decision”.
Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa implementasi
kebijaksanaan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Demikian yang diperlukan dalam implementasi kebijaksanaan
tidak hanya menyangkut tindakan atau perilaku institusi yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada
kelompok sasaran. Secara prinsip, terdapat empat hal yang perlu dipenuhi
dalam hal keefektifan implementasi kebijaksanaan (Nugroho, 2003 : 179-
180) yaitu :
”Pertama, apakah kebijaksanaan itu sendiri sudah tepat. Sisi
pertama ketepatan kebijaksanaan ini dinilai dari sejauhmana
kebijaksanaan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Sisi kedua adalah
apakah kebijaksanaan tersebut telah dirumuskan sesuai karakter
masalah yang hendak dipecahkan, sisi ketiga apakah
kebijaksanaan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan
yang sesuai dengan karakter kebijaksanaannya.
Kedua, tepat dalam pelaksanaannya. Aktor implementasi
kebijaksanaan bukan hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang
bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kejasama antara
pemerintah-masyarakat/swasta atau implementasi kebijaksanaan
yang diswastakan. Kebijaksanaan yang bersifat monopoli, seperti
kartu identitas penduduk atau yang mempunyai derajat politik
keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan,
sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijaksanaan yang
bersifat memberdayakan masyarakat, seperti penanggulangan
kemiskinan, pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) sebaiknya
diselenggarakan pemerintah dan masyarakat. Kebijaksanaan yang

32
bertujuan mengarahkan masyarakat seperti bagaimana
perusahaan harus dikelola, maka sebaiknya diserahkan kepada
masyarakat/swasta.
Ketiga, tepat target. Dalam hal ini perlu memenuhi tiga syarat,
yaitu : 1) apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang
direncanakan, 2) apakah targetnya dalam kondisi siap untuk
diintervensi, misalnya sosialisasi kebijaksanaan pertanian didaerah
konflik tidaklah salah namun tidak efektif karena prioritas utama
adalah keselamatan. Penertiban PKL di saat krisis ekonomi
tidaklah tepat karena akan terjadi penolakan dan perlawanan laten.
3) apakah intervensi bersifat baru atau memperbaharui
implementasi kebijaksanaan sebelumnya.
Keempat, tepat lingkungan. Ada dua lingkungan yang paling
menentukan yaitu lingkungan kebijaksanaan : interaksi antara
lembaga perumus kebijaksanaan dan pelaksana kebijaksanaan
atau disebut dengan lingkungan endogen dan kedua adalah
lingkungan eksternal atau lingkungan eksogen yang terdiri dari
opini publik yaitu persepsi publik terhadap kebijaksanaan dan
implementasi kebijaksanaan”.

Menurut Nugroho, (2004 ; 180) keempat hal tersebut di atas masih


perlu didukung oleh dukungan politik, dukungan strategi dan dukungan
teknis. Ketiga hal ini akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kelangsungan implementasi kebijaksanaan.

2.1.2. Model Implementasi Kebijaksanaan


Implementasi kebijaksanaan publik akan lebih mudah
dipahami apabila menggunakan suatu model atau kerangka pemikiran
tertentu. Suatu model akan memberikan gambaran kepada kita secara
bulat lengkap mengenai sesuatu objek, situasi, atau proses. Komponen-
komponen apa saja yang terdapat pada objek, situasi, atau proses
tersebut.
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model
proses atau alur Smith (1973). Menurut Smith, dalam proses implementasi
ada empat variabel yang perlu diperhatikan. Keempat variabel tersebut
tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling

33
mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu terjadi
ketegangan-ketegangan (tensions) yang bisa menyebabkan timbulnya
protes-protes, bahkan aksi fisik, di mana hal ini menghendaki penegakan
institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran kebijaksanaan tersebut.
Ketegangan-ketegangan itu bisa juga menyebabkan perubahan-
perubahan dalam institusi-institusi lini.
Keempat variabel dalam implementasi kebijaksanaan publik
tersebut, yaitu : (1) Kebijaksanaan yang diidealkan (idealised policy), yakni
pola-pola interaksi ideal yang telah mereka definisikan dalam
kebijaksanaan yang berusaha untuk diinduksikan; (2) kelompok sasaran
(target groups), yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung
dipengaruhi oleh kebijaksanaan dan yang harus mengadopsi pola-pola
interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijaksanaan; (3)
implementing organisation, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit
birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi
kebijaksanaan; (4) environmental factor, yakni unsur-unsur dalam
lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi
kebijaksanaan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Model
proses atau alur Smith tersebut dapat disajikan di bawah ini.
GAMBAR 2.1
A MODEL OF THE POLICY IMPLEMENTATION PROCESS

34
Dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan model klasik Alur
Smith, karena penulis menilai bahwa model Alur Smith belum
menampilkan kesempurnaan tentang proses-proses implementasi
kebijaksanaan. Pada Model Alur Smith hanya menampilkan apa bentuk
dari implementasi, sasaran dan faktor lingkungan yang mempengaruhi.
Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Van Meter
dan Van Horn (1975) yang disebut sebagai Model of the Policy
Implementation Process. Model ini menjelaskan bahwa kinerja
kebijaksanaan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang saling
berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijaksanaan.
2. Sumber daya.
3. Karakteristik organisasi pelaksana.
4. Komunikasi atar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan.
5. Sikap para pelaksana.
6. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.

GAMBAR 2.2
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN
MENURUT METER DAN HORN

35
Pada model kedua, yaitu model yang dikemukakan Van Meter dan
Van Horn (1975) sebenarnya relatif lebih lengkap dibandingkan model
klasik Alur Smith. Dalam Model of the Policy Implementation Process
penulis menganalisis bahwa telah tercantum sebuah runutan proses
implementasi kebijaksanaan, namun demikian tampak belum membahas
lebih jauh mengenai bagaimana sebuah kebijaksanaan diciptakan.
Model ketiga adalah model yang dikembangkan oleh Brian W
Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978;1984). Model ini disebut sebagai "The
top down approach". Seperti halnya juga Hood, Gunn menekankan
bahwa, kesempurnaan atau penyempurnaan dalam konteks ini hanya
merupakan suatu konsep analitis atau idea dan bukan dalam pengertian
colloquial dari ketentuan itu, suatu ideal yang akan dicapai. Menurut Hood
dan Gunn (1984 : 199-206) untuk dapat mengimplementasikan
kebijaksanaan negara secara sempurna (perfect implementation) maka
diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah
sebagai berikut:
1. The circumtances external to the implementing agency do not
impose cripling constraints.
2. That adequate time and sufficient resources rare made
available to the programme.
3. That the requires combination of resources is actually available.
4. That the policy to be implemented is based upon a valid theory
of cause and effect.
5. That the relationship between cause and effect is direct and that
there are few if any, intervening link.
6. That dependency relationships are minimal.
7. Thatthereisunderstandingoj, and agreement on objectives.
8. That tasks are fully specified in correct sequence.
9. That there is perfect communication and coordination.
10. That those in authority can demand and obtain perfect

36
compliance.

Model ketiga yang disebut sebagai "The top down approach"


menurut analisa penulis merupakan penyempurna dari model kedua.
Dalam model ketiga ini hanya ditampilkan persyaratan dalam
implementasi sebuah kebijaksanaan negara, namun belum dijelaskan
secara menyeluruh (lengkap) mengenai bentuk kebijaksanaannya dan
siapa melakukan apa.
Model keempat adalah model atau kerangka pemikiran yang
dikemukakan oleh Hoogewerf (1978) dalam Tachjan (2006, 123). Menurut
Hoogewerf sebab musabab yang mungkin menjadi dasar dari kegagalan
implementasi kebijaksanaan, sangat berbeda-beda satu sama lain.
Sebab-musabab ini ada sangkut-pautnya berturut-turut dengan isi
(content) dari kebijaksanaan yang harus diimplementasikan, tingkat
informasi dari aktor-aktor yang terlibat pada implementasi, banyaknya
dukungan bagi kebijaksanaan yang harus diimplementasikan dan akhirnya
pembagian dari potensi-potensi yang ada (struktur organisasi,
perbandingan kekuasaan dan seterusnya).
Model kelima adalah model yang dikemukakan oleh Elmore
(dalam Hill, 1993 :314-345), ia mengemukakan bahwa, pada hakekatnya
semua kebijaksanaan publik diimplementasikan oleh organisasi-organisasi
publik yang besar, oleh karena itu pengetahuan tentang organisasi-
organisasi telah menjadi suatu unsur penting dari analisis kebijaksanaan.
Kita tidak dapat berkata dengan banyak kepastian bagaimana suatu
kebijaksanaan itu adanya, atau mengapa tidak diimplementasikan, tanpa
mengetahui sebagian besar tentang bagaimana organisasi-organisasi itu
berfungsi.
Model keenam adalah yang dikembangkan oleh Daniel
Mazmanian dan Paul A. Sabatier, yang disebut A Frame Work for
Implementations Analysis. Menurut kerangka pemikiran ini, variabel-

37
variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori (Mazmanian dan Paul A. Sabatier, 1983:21-30) dalam Tachjan
(2006:57-59) sebagai berikut:
1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap/
dikendalikan.
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk
menstrukturkan secara tepat proses implementasinya.
3. Pengaruh langsung pelbagai variabel yang termuat dalam
keputusan kebijaksanaan tersebut.

Ketiga kategori variabel tersebut sebagai variabel bebas yang


mempengaruhi terhadap langkah-langkah proses implementasi
kebijaksanaan. Hal ini seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

38
GAMBAR 2.3
VARIABEL YANG TERLIBAT DALAM PROSES IMPLEMENTASI

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa, setiap kategori


variabel terdiri dari beberapa dimensi, yaitu:
Adapun untuk masing-masing konsep di atas dapat dilihat secara
rinci sebagai berikut :
1. Mudah/ tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem),
dengan indikator:
1) Dukungan Teori dan Teknologi.
2) Keragaman perilaku kelompok sasaran.
3) Tingkat perubahan perilaku yang diinginkan.
2. Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses
implementasi (Ability of policy decision to structure implementation),
dengan indikator:
1) Kejelasan dan konsistensi tujuan.

39
2) Dipergunakannya teori kausal.
3) Ketepatan alokasi sumber dana.
4) Keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana.
5) Akses formal pihak luar.
3. Variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses
implementasi (nonstatury variable affecting implementation), dengan
indikator:
1) Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi.
2) Dukungan publik.
3) Dukungan dari pejabat atasan.
4) Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat
pelaksana.
Selanjutnya, mengenai langkah-langkah dalam proses
implementasi sebagai variabel yang dipengaruhi (variabel tergantung)
terdiri dari :
GAMBAR 2.4
LANGKAH-LANGKAH PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN

Model keenam yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Paul


Sabatier atau A Frame Work for Implementations Analysis penulis adopsi
dalam penelitian ini karena penulis anggap model ini relatif lengkap
dibandingkan kelima model tersebut di atas. Dalam model ini tampak
sangat jelas mengenai seluruh hal yang diperlukan dalam proses
implementasi kebijaksanaan publik yang meliputi aspek kebijaksanaannya
itu sendiri sampai bagaimana proses implementasinya. Kelengkapan

40
lainnya adalah adanya faktor-faktor yang mempengaruhi proses dalam
implementasi yang dikemukakan secara jelas.

2.2. Manajemen Pemerintahan Daerah


Organisasi dapat diibaratkan sebagai suatu organisme hidup yang
selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan
lingkungannya. Ada organisasi yang dengan cepat beradaptasi terhadap
perubahan, adapula yang lebih lambat. Organisasi pemerintah termasuk
dalam kategori yang lambat menghadapi perubahan, begitu pula dengan
manajemennya.
Pada dekade 1980 - 1990-an, terjadi perubahan cukup besar pada
manajemen pemerintahan. Ada beberapa konsepsi pemikiran mendasar
yang secara nyata dan mampu mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah
di berbagai negara, misalnya Savas (1987) dalam Sadu Wasistiono
(2003:15) yang menawarkan perlunya privatisasi penyelenggaraan
pemerintahan. Menurut Savas, privatisasi merupakan kunci ke arah
pemerintahan yang lebih baik.
Dari sudut pandang yang lain, Barzelay (1992) dalam Sadu
Wasistiono (2003:16) menawarkan paradigma pasca birokrasi yang intinya
mengurangi sebanyak mungkin keterlibatan birokrasi terhadap
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masyarakat maju sebagai suatu
kesatuan diyakini akan mampu mengurus sebagian besar kepentingannya
oleh anggota masyarakatnya sendiri.
Perubahan besar pada manajemen pemerintahan terjadi dengan
hadirnya konsepsi pemikiran dari Osborne dan Gaebler (1992) dalam
Sadu Wasistiono (2003:17) yang menawarkan perlunya transformasi
semangat kewirausahaan pada sektor publik. Osborne dan Gaebler,
mengemukakan sepuluh pokok pikiran yang intinya adalah mengurangi
peranan pemerintah dengan memberdayakan masyarakat serta
menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih efisien. Inti pemikiran Osborne

41
dan Gaebler ini sebenarnya sejalan dengan pandangan Savas dan
Barzelay.
Berkaitan dengan efisiensi, Stewart (1988) dalam Sadu
Wasistiono (2003:18) mengemukakan bahwa kegiatan organisasi
pemerintah yang baik tidak cukup hanya memenuhi kriteria 2E (efficiency
and effectiveness), melainkan harus memenuhi kriteria 4E (economic,
efficiency, effectiveness, equity). Artinya, pemerintah tidak hanya
memperhatikan faktor efisien dan efektif di dalam menjalankan
organisasinya, melainkan juga perlu memperhatikan faktor ekonomis dan
keadilan. Tindakan-tindakan pemerintah perlu memperhitungkan aspek-
aspek ekonomi yang dapat menguntungkan pemerintah maupun masyarakat
luas.
Menurut Osborne dan Plastrik (1996) dalam Sadu Wasistiono
(2003:21) mengemukakan lima strategi untuk melakukan pembaharuan
pemerintahan. Kelima strategi tersebut adalah:
(1) The core strategy;
(2) The consequences strategy;
(3) The customer strategy;
(4) The control strategy;
(5) The culture strategy.

Kelima strategi tersebut perlu digunakan untuk meningkatkan kinerja


sektor publik agar menjadi lebih baik. Strategi tersebut sekaligus juga
menunjukkan bahwa pemerintahan yang berpusat pada masyarakat (the
customer centered government) mungkin untuk dilaksanakan. Berikut penulis
tampilkan lima strategi perubahan pemerintahan menurut Sadu Wasistiono
(2003:24) sebagai berikut :

42
GAMBAR 2.5
LIMA STRATEGI PERUBAHAN PEMERINTAHAN DAERAH

Perubahan yang terjadi pada manajemen pemerintahan daerah,


dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun bersifat
eksternal. Menurut Sadu Wasistiono (2003:26) ada tiga faktor
dominan yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor struktural, faktor
fungsional dan faktor kultural. Uraian lebih lanjut mengenai ketiga faktor
dominan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Perubahan Struktural
Terjadi perubahan hubungan struktural antara pemerintah
Pusat dengan pemerintah Daerah. Daerah akan diberi
kebebasan dan kewenangan yang lebih luas. Hal tersebut
dengan sendirinya menuntut kesiapan daerah untuk mengatur
dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri secara lebih
leluasa. Kemampuan mengelola kegiatan operasional secara
lebih profesional menjadi tuntutan kebutuhan utama, seiring
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat sebagai
konsumen.

43
2. Perubahan Fungsional
Organisasi pemerintah Daerah yang berfungsi sebagai pelayan
masyarakat, perlu pula berubah guna mengimbangi
perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi. Hal tersebut
dengan sendirinya menuntut perubahan pada bentuk dan iklim
organisasi.
3. Perubahan Kultural
Perubahan kultural adalah yang paling sulit untuk dilaksanakan.
Perubahan kultural akan menyangkut cara pandang, kebiasaan,
mekanisme kerja maupun hubungan manusiawi yang mungkin
sudah berjalan bertahun-tahun dengan pola tertentu. Perubahan
struktural dan fungsional tanpa diikuti dengan perubahan kultural
hanya menghasilkan perubahan pada bentuk belum pada tingkatan
isi.

Perubahan struktural, fungsional dan kultural pada manajemen


pemerintahan akan mencakup semua aspek. Akan tetapi ada beberapa
aspek yang perlu memperoleh perhatian utama menurut Sadu Wasistiono
(2003:29) mengingat urgensinya sebagai berikut :
1. Apek manajemen sumber daya manusia.
2. Aspek manajemen perencanaan.
3. Aspek manajemen keuangan.
4. Aspek manajemen logistik.
5. Aspek manajemen konflik.

2.3. Pengertian Kemiskinan


Kemiskinan merupakan masalah klasik yang selalu dihadapi oleh
manusia, karena melibatkan seluruh aspek kehidupan. Bagi mereka yang
tergolong miskin, kemiskinan merupakan keadaan nyata yang ada dalam

44
kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka merasakan dan menjalani
sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan.
Menurut Soekanto (1990:365) mengartikan kemiskinan sebagai
suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan
kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin
kemiskinan bukan merupakan masalah sosial, karena mereka
menganggap bahwa semua telah ditakdirkan , sehingga tidak ada usaha-
usaha untuk mengatasinya. Pada masyarakat modern yang rumit,
kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci
kemiskinan. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci
kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk
memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan
akan adanya ketidakadilan.
Menurut Subroto (2005:4), kemiskinan adalah kondisi di mana
seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi
standar kebutuhan hidup minimal dengan urutan prioritas yakni : cukup
pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Menurut
Soetrisno (2002:16-17), kemiskinan dapat dipahami melalui akar
penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu :
1. Kemiskinan Natural
Kemiskinan kategori ini timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah
sumber daya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi
yang rendah, artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu
masyarakat menjadi miskin adalah faktor alam yang kurang
menguntungkan. Keadaan kemiskinan yang demikian mungkin saja
terjadi perbedaan-perbedaan kemampuan (kekayaan), tetapi

45
dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh
adanya pranata tradisional, seperti pola hubungan patronclient, jiwa
gotong royong, dan sejenisnya yang secara fungsional dapat
meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.
2. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan kategori ini lebih disebabkan oleh struktur sosial yang
ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai
sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Dengan demikian
sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya
jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila
dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari
kemiskinan.
Soemardjan dalam Soetrisno (2002:19) merumuskan
“Kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat
ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia
bagi mereka”.
Menurut Subroto (2005:4), indikator kemiskinan adalah sebagai
berikut :
1. Cukup Pangan
Yaitu apabila seseorang mampu mengonsumsi pangan <2.100
kalori per hari atau kurang dari dua kali makan makanan pokok per
hari. Kecukupan pangan adalah indikator paling penting untuk
menentukan tingkat kegawatan kemiskinan. Mengingat pangan
adalah kebutuhan dasar hidup manusia maka apabila masyarakat
atau seseorang kekurangan pangan atau tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangan dari hasil usahanya maka tingkat kemiskinan
masyarakat atau seseorang pada kondisi demikian dapat dikatakan
sangat miskin.

2. Cukup Sandang
Yaitu apabila seseorang mempunyai atau mampu membeli kurang
dari dua setel pakaian dalam satu tahun untuk diri dan keluarganya.
Kecukupan sandang adalah indikator paling penting berikutnya.
Mengingat sandang adalah kebutuhan primer untuk kesehatan dan

46
bersosialisasi. Maka apabila masyarakat atau seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan sandang tersebut maka dapat
dikatakan miskin.
3. Cukup Papan
Apabila masyarakat atau seseorang tidak atau belum mampu
tinggal pada tempat tinggal (rumah) yang layak huni dalam kriteria
tersedia cukup air (untuk mandi, cuci dan kakus), cukup sirkulasi
udara dan cahaya serta mempunyai sistem sanitasi yang sehat
maka dapat digolongkan cukup miskin. Mengingat papan adalah
kebutuhan primer untuk kehidupan berkeluarga dan masyarakat
maka kekurangan papan yang layak huni dapat menjadi indikator
penting kemiskinan.
4. Cukup Pendidikan
Apabila seseorang belum mampu membiayai pendidikan, minimal
pendidikan dasar sembilan tahun bagi anggota keluarganya
terutama anaknya maka tergolong miskin, karena pendidikan
adalah kebutuhan primer untuk pembangunan sumber daya
manusia.
5. Cukup Kesehatan
Apabila masyarakat atau seseorang belum mampu memanfaatkan
fasilitas kesehatan modern minimal puskesmas terdekat dan tidak
berprilaku hidup sehat maka tergolong miskin, mengingat
kesehatan dan perilaku hidup sehat adalah kebutuhan primer untuk
pembangunan sumber daya manusia.

6. Cukup Rekreasi
Apabila seseorang atau masyarakat belum mampu melakukan
rekreasi ulang atau membangun kreasi mental dan spiritual minimal
satu kali dalam satu minggu untuk membangun motivasi, inovasi
serta sikap mental positif sadar akan kewajiban dan tanggung
jawabnya terhadap upaya peningkatan kesejahteraan baik secara
kolektif maupun individual melalui kegiatan rekreasi. Kegiatan
rekreasi tersebut seperti melaksanakan ibadah ritual agama,
mendengarkan radio, tape recorder, televisi, tamasya, olahraga,
berkesenian. Apabila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka
dapat digolongkan miskin karena rekreasi juga termasuk kebutuhan
primer untuk membangun potensi produktif sumber daya manusia
lahir dan batin.

47
Adapun beberapa kriteria kemiskinan sebagai berikut :
1. Kriteria Kemiskinan Menurut Bank Dunia
Kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak
dengan penghasilan USD 1,00 per hari.
2. Kriteria Kemiskinan Standar Nasional
a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang.
b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/
kayu murah.
c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ kayu berkualitas
rendah/ tembok tanpa diplester.
d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar (WC)/ bersama-sama
dengan rumah tangga lain (WC umum).
e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/
sungai/ air hujan.
g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/
minyak tanah.
h. Hanya mengonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam sebulan.
i. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun.
j. Hanya sanggup makan satu/ dua kali dalam sehari.
k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/
poliklinik.
l. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan
luas lahan 0.5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh
perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah
Rp. 600.000,00 per bulan.
m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah,
tidak tamat SD atau hanya SD.

48
n. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai
minimal Rp.500.000,00 seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal
motor atau barang modal lainnya.
Walaupun kriteria kemiskinan telah ditetapkan secara standar
nasional, tapi pada pelaksanaannya dalam penentuan kemiskinan tetap
disesuaikan dengan kondisi daerah karena pada dasarnya setiap daerah
memiliki ciri yang berbeda sehingga kategori kemiskinan tidak dapat
disamaratakan di seluruh daerah.

2.4. Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)


Era reformasi yang menuntut perubahan kondisi sosial, politik,
desentralisasi, transparansi, dan otonomi menghendaki “paradigma baru”
dalam pembangunan nasional yang berorientasi pada peningkatan peran
serta masyarakat. Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) merupakan salah program pemberdayaan masyarakat miskin
khusus di perkotaan. Program ini berasal dari Departemen Pemukiman
dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil). Adapun nilai-nilai dasar yang
ingin dikembangkan melalui P2KP adalah agar seluruh pihak terkait
menjunjung tinggi serta memegang asas-asas :
a) Keadilan.
b) Kejujuran.
c) Kesetaraan.
d) Dapat dipercaya.
e) Keikhlasan, dan
f) Kebersamaan dalam keragaman.
Sedangkan prinsip-prinsip P2KP menurut Buku Panduan P2KP
yang dikeluarkan oleh Depkimpraswil (2004) adalah bahwa seluruh pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan P2KP harus pula berlandaskan pada :
a) Demokrasi.
b) Partisipasi.

49
c) Transparan.si.
d) Akuntabilitas, dan
e) Desentralisasi.
Masyarakat mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak
untuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami secara mandiri,
efektif dan berkelanjutan. Misi P2KP adalah memberdayakan masyarakat
miskin perkotaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui
pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan membudayakan
kemitraan sinergis antara masyarakat dengan pelaku-pelaku
pembangunan lokal lainnya.
Untuk itu, melalui P2KP diharapkan masyarakat mampu :
a) Mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi, merumuskan
serta menetapkan prioritasnya.
b) Merumuskan alternatif jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
c) Mengorganisasi diri, sebagai salah satu cara penanggulangan
permasalahan secara bersama.
d) Mengembangkan aturan main, nilai norma yang disusun,
disepakati serta dipatuhi bersama.
e) Memperluas kerja sama serta mampu menjalin "kemitraan"
yang setara.
Memberikan bantuan teknis berupa pendampingan kepada
masyarakat dalam rangka membantu pengorganisasian kelembagaan di
tingkat komunitas dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan
melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana dasar
lingkungan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga
masyarakat dapat secara mandiri melaksanakan perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap berbagai program yang
terkait dengan penyelesaian permasalahan serta penyebab kemiskinan
yang dihadapi. Memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dalam

50
bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang
diusulkan oleh masyarakat baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah.
Sasaran P2KP adalah warga masyarakat miskin perkotaan,
termasuk didalamnya adalah masyarakat yang telah lama miskin.
Masyarakat yang penghasilannya merosot dan tidak berarti, akibat inflasi,
serta Masyarakat yang kehilangan sumber nafkahnya dikarenakan krisis
ekonomi.

51
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian adalah
desain penelitian Deskriptif Kualitatif. Menurut Nazir (2005:54) :
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu obyek, suatu situasi, suatu kondisi,
suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan dari penulisan deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki.

Al-Wasilah (2002:143) dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya


kualitatif : dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif”
mengemukakan bahwa :
Desain penelitian deskriptif kualitatif merupakan desain penelitian
yang tidak terstruktur seperti desain penelitian kuantitatif, karena
bila terstruktur berarti kaku, tidak fleksibel sehingga data-data yang
berharga sekalipun, bahkan percikan yang mencuat dan
mencerdaskan akan diperlakukan sebagai tamu tak diundang.
Kekuatan paradigma kualitatif justru terletak pada inductive dan
grounded, yang memang tidak sejalan dengan pendekatan atau
desain terstruktur. Peneliti kualitatif berfokus pada fenomena
tertentu yang tidak memiliki generalizability dan comparability,
tetapi memiliki internal validity dan contextual understanding.

Lebih lanjut Al-Wasilah (2002:106) Dalam mencapai tujuan


penelitian kualitatif, secara garis besarnya peneliti harus melakukan empat
hal yaitu : 1). membangun keakraban dengan informan 2) penentuan
sampel, 3) pengumpulan data, 4) analisis data. Untuk pendekatan metode
analisis data penulis menggunakan pendekatan induktif sebagaimana
yang dikemukakan oleh Al-Wasilah (2002:105) bahwa :

52
Metode analisis data dengan pendekatan induktif dipilih ketimbang
metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti
mengidentifikasi realitas yang berbeda-beda di lapangan, membuat
interaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak dan
mudah dilakukan; dan memungkinkan identifikasi aspek-aspek
yang saling mempengaruhi.

3.2. Data yang diperlukan


Dalam penelitian ini data yang diperlukan meliputi data tentang :
1. Gambaran umum atau kondisi umum Kecamatan Bontomanai yang
meliputi keadaan demografi, sosial ekonomi, pendidikan, agama,
kelembagaan sumber daya manusia aparatur dan fasilitas penunjang.
2. Peraturan-peraturan dan dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin di
Kecamatan Bontomanai khususnya program P2KP.
3. Informasi yang berhubungan dengan proses implementasi
kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan Bontomanai.

3.3. Sumber Data


Menurut Lonfland dan Lonfland dalam Moleong (2006 : 157)
bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain. Sedangkan Amirin (2000 : 132) berpendapat bahwa menurut
derajat sumbernya, data terdiri dari dua yaitu data primer dan data
sekunder. Untuk itu data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif ; yang terdiri atas :
1. Data Primer
Data primer yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber primer,
yakni sumber asli yang memuat informasi atas data tersebut Amirin (2000
: 132). Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah data
yang langsung dari sumbernya, melalui wawancara yang dilakukan oleh

53
peneliti dengan informan. Informan adalah orang yang mampu
memberikan data/informasi yang sebenar-benarnya tentang diri orang lain
atau lingkungannya (Rusidi, 2006:28). Pada penelitian ini sumber data
primer yang digunakan ialah hasil wawancara. Adapun Informan yang
diwawancarai di dalam penelitian ini tidak hanya terbatas di kalangan
Pejabat Pemerintahan Daerah, akan tetapi juga kalangan di luar unsur
Pemerintahan Daerah. Pemilihan dan penetapan informan dalam
penelitian ini menggunakan teknik snow ball sampling. Untuk lebih
jelas dan terperinci dapat dilihat pada tabel berikut :

TABEL 3.1
INFORMAN PENELITIAN
JUMLAH
NO INFORMAN
(ORANG)
1. Bupati Selayar 1
2. Camat Bontomanai 1
3. Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat 1
4. Tokoh Masyarakat 4
5. Masyarakat Miskin 8
Total 15

2. Data Sekunder
Menurut Amirin (2000:132) menyatakan bahwa data sekunder
adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat
informasi atau data tersebut. Data sekunder ini dikumpulkan untuk
melengkapi data primer, yaitu seluruh data yang berkaitan dengan
kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan Bontomanai. Data sekunder
juga diperoleh dari data yang diperoleh dari penelitian dokumen, laporan,
serta berkas-berkas yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang paling utama dalam penelitian kualitatif adalah
interview dan observasi. Istilah fieldwork dan field study terutama merujuk

54
pada kedua kegiatan ini dan kadang mencakup analisis dokumen
(documentary analysis). Observasi berbeda dengan interview dalam dua
hal. Interview dilakukan pada latar yang direncanakan, sedangkan
observasi peran serta (participant observation) dilakukan pada latar yang
alami.
1) Wawancara
Nazir (2005:234) metode wawancara adalah proses tanya jawab
dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dua orang atau lebih
bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi
atau keterangan-keterangan. Dalam rangka pengumpulan data
dilakukan wawancara mendalam dengan Bupati Selayar, Kepala
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Camat Bontomanai, tokoh
masyarakat dan beberapa masyarakat miskin menyangkut
implementasi, hambatan dan dukungan serta upaya-upaya yang
dilakukan dalam menyukseskan implementasi Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar. Teknik Snow Ball Sampling penulis
gunakan dalam wawancara mendalam, dapat digambarkan sebagai
berikut :

55
GAMBAR 3.1
INFORMAN TERWAWANCARA MELALUI SNOW BALL SAMPLING

Bupati Selayar Kepala BKM


H. Syahrir Wahab Ir. H. Abd.Mapaseng

T. Masyarakat T. Masyarakat T. Masyarakat T. Masyarakat


Andi Zaenudin Achyar Pajrin Daulat Taba H. Abd Karim

H. Baso Tala Abd Wahab Bantasiku Ropi’ah


Musawwir S. Rambe Khodijah Martadukeng

2) Dokumentasi
Teknik dokumentasi menurut Arikunto (2005:200) yaitu “mencari data
mengenai variabel yang berupa catatan transkrip, surat kabar,
majalah, agenda dan sebagainya”. Pada penelitian ini dokumen yang
digunakan adalah dokumen-dokumen yang menyangkut program
pemberdayaan masyarakat miskin di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Selayar seperti ; Peraturan Daerah, Rencana Strategis
(Renstra) Pembangunan, Laporan Pertanggungjawaban Bupati Tahun
2002-2006, Statistik Kabupaten Selayar.

56
3.5. Teknik Pengujian Keabsahan Data
Pada tahap pengujian keabsahan data, dilakukan dengan
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pengujian
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Teknik pengujian yang memanfaatkan penggunaan sumber yaitu
membandingkan dan mengecek terhadap data yang diperoleh.
Triangulasi dilakukan dengan sumber data dan penelitian atau
pengamat lain. Teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber (wawancara dan
triangulasi) dengan sumber berarti membandingkan dengan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Triangulasi ini dilakukan
dengan cara :
1. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang saling berkaitan.
3. Mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk
mencapai pemahaman tentang suatu atau berbagai hal.

3.6. Instrumen Penelitian


Moleong (2006:4-5) mengemukakan bahwa :
"Jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan
terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian
klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian
terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu
hanya "Manusia sebagai alat" sajalah yang dapat berhubungan
dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang
mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan.
Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai
apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila

57
terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat
mengatasinya".

Dalam melakukan penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian


adalah penulis sendiri di mana penulis akan hadir secara langsung di
lokasi penelitian dan melaksanakan wawancara, pengumpulan data, serta
pencatatan data. Fungsi penulis sebagai instrumen penelitian bertujuan
untuk mendapatkan data yang valid dan reliable, yang dapat dipenuhi
karena peneliti langsung ke lapangan melakukan wawancara dengan
informan.

3.7. Teknik Analisis Data


Analisis data kualitatif menurut Bogdam dan Biklen (dalam
Moleong, 2006:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Mengacu pada pendapat
tersebut, maka analisis dan penafsiran data untuk penelitian ini secara
umum dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus
menerus dari awal sampai akhir, adanya data baru yang terkumpul secara
simultan akan dianalisis dalam penelitian ini. Analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (wawancara
dan dokumen).
Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini data dianalisis
secara kualitatif melalui model analisis linier. Menurut Sutopo (1998:19)
model linier ini cenderung dekat dengan struktur yang sudah standar
dalam penelitian kualitatif tetapi menghilangkan tahap penyusunan
hipotesis sehingga dalam kegiatannya berjalan secara suksesif, tidak
pernah berulang namun tetap fleksibel terhadap kenyataan-kenyataan di

58
lokasi penelitian. Menurut Milles dan Huberman (Sutopo, 1998:34-36)
inti dari analisis mengalir atau linier (flow model of analysis) adalah :
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan pencarian informasi baik dari data
primer maupun data sekunder, seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pengumpulan data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan
cara wawancara dengan informan dan pengumpulan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini, di mana hasil
wawancara tersebut akan menghasilkan data primer dan hasil
pengumpulan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data
sekunder.
2. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses seleksi atau pemilihan, pemfokusan
atau pemusatan perhatian penyederhanaan dan abstraksi data kasar
yang ada dalam catatan lapangan. Dengan kata lain reduksi data
sebagai bagian analisis ini mempertegas, memperpendek,
memusatkan perhatian membuang hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa. Dalam penelitian ini penulis
melakukan reduksi data dengan cara menyederhanakan data-data
yang didapat dalam lapangan, dengan cara menganalisis data-data
yang mana saja yang berhubungan dengan penelitian ini dan perlu
untuk ditulis dalam penelitian ini. Proses ini berlangsung terus
sepanjang pelaksanaan penelitian dimulai dari sebelum pengumpulan
data, saat pengumpulan data sampai dengan penelitian ini selesai
ditulis.
3. Penyajian data
Penyajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi secara
teratur supaya mudah dilihat dan mudah dimengerti dalam bentuk
yang kompak untuk menarik kesimpulan penelitian. Dalam penelitian
ini penyajian data sangat berhubungan dengan proses pembahasan

59
dan analisis lebih lanjut dari perumusan masalah dan tujuan penelitian,
penyajian data menjadi satu-kesatuan dengan pembahasan penelitian
ini sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, dimana
data-data yang didapat penelitian ini dianalisis sesuai dengan
perumusan masalah dan tujuan penelitian.
4. Penarikan Kesimpulan/verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan suatu usaha menarik konklusi dari
hal-hal yang ditemui dari pengumpulan data, reduksi data maupun
penyajian data. Dalam penelitian ini kesimpulan terdiri dari tiga hal
pokok sebagai hasil pembahasan dari perumusan masalah dan tujuan
penelitian, yaitu :
1. Kesimpulan yang berkaitan dengan implementasi kebijaksanaan
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di
Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar.
2. Kesimpulan yang berkaitan dengan hambatan-hambatan dalam
implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar.
3. Kesimpulan yang berkaitan dengan upaya-upaya yang dilakukan
dalam implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai
Kabupaten Selayar.

60
3.8. Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penulis memilih lokasi penelitian Kecamatan Bontomanai
Kabupaten Selayar sebagai objek observasi dengan pertimbangan
bahwa :
1) Kecamatan Bontomanai memiliki persoalan yang substantif dan
teoritik untuk diteliti.
2) Belum pernah dilakukan penelitian dengan tema yang sejenis.
3) Aspek praktis dalam hubungannya secara geografis dimana tempat
peneliti melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara.
4) Mudah diakses berbagai kendaraan baik pribadi maupun umum.
5) Data-data yang diperlukan lebih lengkap dan mudah diperoleh.
6) Biaya hidup selama penelitian relatif rendah, sehingga penulis
dapat mengalokasikan dana untuk biaya penelitian yang lain.
Adapun proses pelaksanaan penelitian dalam rangka penyusunan
tesis ini dapat dilihat pada tabel :
TABEL 3.2
JADWAL PENELITIAN
2008
No KEGIATAN
Jan Febr Mart Aprl Mei
1 2 3 4 5 6 7
1 Penyusunan Usulan Penelitian
2 Penelitian dan Pengumpulan Data
3 Pengolahan dan Analisis data serta
Bimbingan
4 Sidang Tesis

61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Implementasi Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan


Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar
Dalam penelitian ini variabel implementasi kebijaksanaan publik
penulis adopsi dari teori implementasi kebijaksanaan publik berdasarkan
konsep Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Tachjan, (2006:57-58)
yaitu : 1) tractability of the problem, 2). Ability of policy decision to
structure implementation, 3). nonstatury variable affecting implementation.
Adapun untuk masing-masing konsep di atas dapat dilihat secara rinci
sebagai berikut :

Mudah/tidaknya Masalah Dikendalikan (tractability of the problem)


1) Dukungan teori dan teknologi
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program atau kebijaksanaan
Pemerintah baik Pusat dan Daerah akan tergantung pada sejumlah
persyaratan teknis, termasuk di antaranya kemampuan untuk
mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja, teori dan
teknologi serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal
yang mempengaruhi masalah. Kebijaksanaan penanggulangan
kemiskinan perkotaan masih berjalan tersendat, hal ini disebabkan
pembuat kebijaksanaan atau program belum memahami benar apa yang
harus dilakukan apa. Tersendatnya implementasi kebijaksanaan
berdampak pada masih tingginya angka kemiskinan di wilayah perkotaan
sebagai ekses hebat dari pembangunan yang lebih berorientasi pada
pembangunan fisik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati Selayar Bapak H.
Syahrir Wahab pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 bertempat di
Kantor Pemerintah Kabupaten menyatakan bahwa :

62
“Program Penanggulangan Kemiskinan (P2KP) sudah bergulir
sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang di Kabupaten Selayar
diharapkan dapat berlangsung secara terus menerus atau
berkelanjutan, pemberdayaan yang sinergis bagi penanggulangan
kemiskinan sehingga diharapkan masyarakat dapat,
menyelesaikan sendiri masalah kemiskinan yang ada di
wilayahnya, seiring dengan perjalanannya banyak masukan dan
kritikan yang berharga bagi keberlanjutan program ini. Pemerintah
Kabupaten Selayar sendiri dengan serius memberdayakan
masyarakat miskin,dengan tujuan menurunkan angka kemiskinan
di Indonesia dengan salah satunya mengacu pada target MDGs
dan HDI, sehingga dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut
Pemerintah Kabupaten Selayar berusaha mensinergikan semua
program penanggulangan kemiskinan dengan nama Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dengan
menggunakan metodologi P2KP untuk Perkotaan dan Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) di pedesaan. Dengan demikian
tujuan memberdayakan masyarakat miskin menjadi berdaya,
mandiri dan madani dapat terlaksana dengan baik. Dari aspek teori
dan teknologi saat ini masih belum maksimal karena ada masalah
kendala Anggaran dalam pengadaan Teknologi Informasi”

Sejalan dengan pendapat tersebut, Berdasarkan hasil wawancara


dengan Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten
Selayar Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19
Maret 2008 bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa
“dalam rangka mensukseskan penanggulangan kemiskinan di
Kabupaten Selayar, maka bukan hanya dari aspek kebijaksanaan
saja, namun lebih dari itu yaitu kualitas sumber daya manusia dan
dukungan teori (ilmu) serta teknologi yang handal, sehingga dapat
mendeteksi sejauhmana penyebab kemiskinan dan dampak
kemiskinan terjadi”

Berdasarkan dua hasil wawancara tersebut di atas, dapat


disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan dari kebanyakan program akan
dipengaruhi pula oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknologi
tertentu. Keefektifan Biro Pusat Statistik dalam upaya penghimpunan,
penganalisaan dan penyajian data Statistik mengenai pelbagai sektor
pembangunan dibantu oleh penggunaan peralatan komputer yang mampu

63
bekerja dengan cepat dan cermat sangat membantu dalam memperoleh
data yang akurat dan handal. Implementasi kebijaksanaan tentang
Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang
dilaksanakan di Kabupaten Selayar sejalan dengan visi dan misi
Kabupaten Selayar sebagai Kabupaten termaju di Provinsi Sulawesi
Selatan.

2) Keragaman perilaku kelompok sasaran


Semakin beragam perilaku yang diatur atau semakin beragam
pelayanan yang diberikan, semakin sulit upaya untuk membuat peraturan
kebijaksanaan yang tegas dan jelas serta komprehensif, dengan demikian
semakin besar kebebasan bertindak yang harus diberikan kepada para
pejabat di lapangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak
Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008
bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa
“Perlu dilakukan upaya pendekatan perencana program yang
mampu menciptakan keserasian dan kesesuaian antar tujuan-
tujuan program/kebijaksanaan dengan kebutuhan kelompok
sasaran. Dengan dipenuhinya persyaratan-persyaratan ini maka
akan dapat dipastikan resiko kegagalan pelaksanaan program atau
penolakan dari kelompok sasaran dapat diminimalkan.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dikemukakan bahwa


adanya kemungkinan perbedaan komitmen diantara pejabat lapangan
terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam keputusan
kebijaksanaan, maka pemberian kebebasan bertindak tersebut
kemungkinan akan menimbulkan perbedaan-perbedaan yang cukup
mendasar dalam tingkat keberhasilan pelaksanaan program.

3) Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki

64
Jumlah modifikasi perilaku yang diinginkan bagi tercapainya tujuan
formal/tujuan kebijaksanaan adalah fungsi dari jumlah total orang yang
menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yang dituntut dari
mereka. Dalam kaitan dengan implementasi kebijaksanaan
penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai, hasil analisis penulis menyatakan bahwa kelompok sasaran
masyarakat miskin perkotaan tersebut merupakan sebagian kecil dari
totalitas penduduk dan tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
diinginkan memiliki kategori sedang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar Bapak Ir. H.
Abdullah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2008
bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa
Tingkat perubahan perilaku masyarakat miskin perkotaan dari
adanya program ini adalah masyarakat memiliki kepercayaan diri
dan bangit melawan kemiskinan yang menghimpitnya melalui
bantuan teknis berupa pendampingan kepada masyarakat dalam
rangka membantu pengorganisasian kelembagaan di tingkat
komunitas dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan
melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana
dasar lingkungan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sehingga masyarakat dapat secara mandiri melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap
berbagai program yang terkait dengan penyelesaian permasalahan
serta penyebab kemiskinan yang dihadapi. Memberikan bantuan
kepada masyarakat miskin dalam bentuk dana yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh
masyarakat baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah.

Hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa


implementasi kebijaksanaan P2KP ini relatif mudah untuk diwujudkan.

65
Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses
implementasi (Ability of policy decision to structure implementation),

Pada prinsipnya, setiap undang-undang, keputusan Mahkamah/


pengadilan atau perintah eksekutif dapat menstrukturkan proses
implementasi ini dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang
akan dicapainya dengan cara menseleksi lembaga-lembaga yang tepat
untuk mengimplementasikannya, memberikan kewenangan dan dukungan
sumber-sumber finansial pada lembaga-lembaga tersebut, mempengaruhi
orientasi kebijaksanaan dari para pejabat pemerintah, dan dengan cara
memberikan kesempatan berpartisipasi bagi pihak swasta atau lembaga-
lembaga swadaya masyarakat dalam proses implementasi itu. Dengan
demikian, nampak bahwa para pembuat kebijaksanaan sebenarnya dapat
memainkan peran yang cukup.
1). Kejelasan dan konsistensi tujuan
Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan dengan cermat dan disusun
secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan
yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program,
sebagai pedoman yang konkrit bagi pejabat-pejabat pelaksana dan
sebagai sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri. Kebijaksanaan P2KP
diluncurkan dengan maksud pemberdayaan masyarakat melalui
pembelajaran nilai-nilai luhur kemanusiaan : adil, jujur, dapat dipercaya
dan kepedulian. Nilai-nilai baik inilah yang dijadikan pondasi untuk
penanggulangan kemiskinan melalui pembelajaran Tridaya;
1) Pembangunan sarana dan prasarana lingkungan ; perbaikan
jalan setapak, gorong-gorong dan penataan lingkungan lainnya
2) Pemberian pinjaman (Modal bergulir) bagi masyarakat miskin
dalam peningkatan penapatan berkelanjutan, usaha
kecil masyarakat

66
3) Kegiatan sosial, pemberian santunan, bea siswa,
pelatihan, perbaikan rumah kumuh dan lain-lain
Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak
Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008
bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa :
Kebijaksanaan P2KP adalah suatu kebijaksanaan yang dirancang
dengan suatu paradigma baru bahwa untuk menanggulangi
kemiskinan secara berkelanjutan diperlukan suatu pendekatan
yang berbasis pada prinsip-prinsip pemberdayaan komunitas
sehingga dalam proses pelaksanaan program perlu dilakukan
upaya-upaya tertentu yang harus dilakukan oleh komunitas itu
sendiri. Dari aspek kejelasan dan konsistensi tujuan sudah sangat
bagus tinggal bagaimana implementasinya di lapangan. Namun
demikian harapan kami pejabat dilapangan baik dari semua Kepala
Bidang maupun Kepala Seksi mampu menjabarkan tujuan dan misi
dari kebijaksanaan tersebut

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, tampak bahwa


responden penelitian menilai program P2KP ini dari aspek kejelasan dan
konsistensi tujuan sudah baik, namun masih meragukan pada tataran
implementasinya.

2) Dipergunakannya teori kausal


Setiap usaha pembaharuan sosial besar-besaran, setidaknya
secara implisit memuat suatu teori kausal tertentu yang menjelaskan
bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan itu akan dicapai. Suatu
teori kausal yang baik mempersyaratkan: a) bahwa hubungan-hubungan
timbal balik antara campur tangan pemerintah di satu pihak, dan
tercapainya tujuan-tujuan program dapat dipahami dengan jelas; b) bahwa
para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan
program mempunyai kewenangan yang cukup atas sejumlah matarantai
hubungan yang penting guna mengusahakan tercapainya tujuan.

67
Dalam kerangka implementasi kebijaksanaan penanggulangan
kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar persyaratan teori kausal telah
terpenuhi. Hal ini seperti yang telah disampaikan berdasarkan hasil
wawancara dengan Bupati Selayar Bapak H. Syahrir Wahab pada hari
Senin tanggal 17 Maret 2008 bertempat di Kantor Pemerintah Kabupaten
menyatakan bahwa :
Campur tangan pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten
Selayar dalam menanggulangi kemiskinan perkotaan dengan
melibatkan masyarakat melalui P2KP sudah tercapai dan dipahami
dengan jelas serta para pejabat yang mengimplementasikan sudah
memahami tanggung jawabnya masing-masing.

Dapat disimpulkan berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas


bahwa salah satu kontribusi penting dari analisis implementasi Program
P2KP ialah perhatiannya pada teori yang menyeluruh mengenai
bagaimana cara mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki.

3) Ketepatan alokasi sumber dana


Dana tak dapat disangkal merupakan salah satu faktor penentu
dalam program pelayanan masyarakat apapun. Dalam program-program
regulatif, dana juga diperlukan untuk menggaji atau menyewa tenaga
personalia dan untuk memungkinkan dilakukannya analisis teknis yang
diperlukan untuk membuat regulasi tersebut, mengadministrasikan
program perizinan dan memonitor pelaksanaannya.
Dalam kerangka implementasi kebijaksanaan penanggulangan
kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar dari aspek pendanaan
administrasi sudah cukup baik. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil
wawancara dengan Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
Kabupaten Selayar Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu
tanggal 19 Maret 2008 bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa :

68
“Yang mengatur mengenai alokasi dana implementasi
kebijaksanaan adalah Bupati. Bupati selaku pelaksana
kebijaksanaan tingkat atas, telah menganggarkan sejumlah dana
untuk kesuksesan kebijaksanaan ini”

Penjelasan hasil wawancara tersebut adalah tersedianya dana


pada tingkat batas ambang tertentu amat diperlukan agar terbuka peluang
untuk mencapai tujuan-tujuan formal, dan tersedianya dana di atas tingkat
batas ambang ini akan sebanding dengan peluang tercapainya tujuan-
tujuan tersebut.

4). Keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana


Masalah koordinasi semakin bertambah runyam jika menyangkut
peraturan pemerintah pusat, yang dalam pelaksanaannya seringkali amat
tergantung pada pemerintah daerah dan instansi-instansi di daerah
kabupaten, karena perlu dijabarkan dalam bentuk program-program dan
terjalin dalam suatu sistem yang amat heterogen.
Koordinasi dalam rangka implementasi kebijaksanaan
penanggulangan kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar telah
berjalan cukup baik. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan
Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa
tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa :
“telah terjadi keterpaduan hirarkis dalam implementasi
kebijaksanaan P2KP, jika sistem ini hanya terpadu secara longgar,
maka kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan perilaku
kepatuhan yang cukup mendasar di antara pejabat-pejabat
pelaksana dan kelompok-kelompok sasaran, sebab mereka akan
berusaha untuk melakukan modifikasi atau perubahan-perubahan
tertentu sejalan dengan rangsangan atau insentif yang muncul di
lapangan”

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa


salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan

69
perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hierarki
badan-badan pelaksana.

5). Keterbukaan dari pihak luar


Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijaksanaan
ialah sejauh mana peluang-peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi para
aktor di luar badan-badan pelaksana mempengaruhi para pendukung
tujuan resmi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak
Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008
bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa :
Dalam proses implementasi kebijaksanaan mengenai
penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Bontomanai telah
mempertimbangkan keterbukaan bagi pihak luar untuk memberikan
masukan baik dari tokoh masyarakat, mantan pejabat LSM, dan
akademisi.

Mengacu hasil wawancara tersebut dapat dikemukakan bahwa


Undang-undang, selain dapat mempengaruhi proses implementasi melalui
pemilihan badan-badan pelaksana yang tepat (merancang bangun sifat
strukturalnya), ia dapat pula mempengaruhi partisipasi dua kelompok
aktor di luar badan-badan pelaksana tersebut, yaitu:
a) calon-calon penerima manfaat dan atau kelompok-kelompok
sasaran masyarakat miskin yang ada
b) badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang merupakan
atasan-atasan dari badan-badan pelaksana itu.

70
Variabel Luar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses
Implementasi (nonstatury variable affecting implementation)

1) Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi


Perbedaan - perbedaan waktu dan wilayah hukum pemerintahan
dalam hal kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan teknologi berpengaruh
terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-
undang. Kemungkinan perbedaan-perbedaan kondisi semacam itu dapat
mempengaruhi efektivitas dukungan politik terhadap tujuan-tujuan dan,
karena itu, berpengaruh pula terhadap output kebijaksanaan dari badan-
badan pelaksana serta pada gilirannya terhadap pencapaian tujuan-tujuan
itu sendiri.
Kondisi ekonomi masyarakat miskin di Kecamatan Bontomanai
serba terbatas disertai dengan kurangnya tingkat pendidikan diantara
mereka, membuat implementasi kebijaksanaan ini relatif menemui
kendala. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Camat
Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal
18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa :
“perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomi dapat
mempengaruhi persepsi mengenai kadar pentingnya masalah yang
akan ditanggulangi oleh suatu proyek dalam hal ini P2KP.
Keberhasilan implementasi mungkin akan lebih sulit dicapai
mengingat perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomis setempat
dan tingkat keseriusan masalah yang sedang dihadapi.

Perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomis tersebut akan


menimbulkan desakan-desakan untuk membuat program-program
pemberdayaan yang luwes dan yang memberikan keleluasaan untuk
melakukan tindakan-tindakan administrasi tertentu pada satuan-satuan
organisasi lokal (badan-badan pelaksana daerah). Dalam keadaan seperti
ini, maka output-output kebijaksanaan badan-badan pelaksana akan

71
mencerminkan derajat dukungan lokal terhadap tujuan-tujuan undang-
undang tersebut.

2) Dukungan publik
Perbedaan-perbedaan waktu dan perbedaan wilayah hukum dalam
dukungan publik bagi tujuan undang-undang adalah merupakan variabel
kedua yang dapat mempengaruhi implementasi. Perhatian publik (dan
juga perhatian media) pada kebanyakan isu kebijaksanaan cenderung
mengikuti suatu siklus di mana pada suatu saat mula-mula perhatian dan
dukungan publik terhadap suatu masalah begitu menggebu-gebu,
kemudian tiba-tiba dukungan yang luas itu merosot secara tajam karena
orang mulai menyadari ongkos untuk mengatasi masalah tersebut,
Kebijaksanaan mengenai penanggulangan masyarakat miskin kota
melalui proyek P2KP di Kecamatan Bontomanai telah mendapat
dukungan penuh baik dari anggota DPRD, tokoh masyarakat, pemerhati
sosial, sehingga dengan dukungan publik yang penuh tersebut
Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar lebih giat lagi dalam
implementasinya untuk memberantas kemiskinan. Adapun program-
program yang telah dilaksanakan di Perkotaan antara lain :
1. KBP (Komunitas Belajar Perkotaan)
Fungsi KBP adalah sebagi forum untuk belajar, sharing
pemikiran dan pengalaman, tempat berkomunikasi, yang dilandasi
prinsip kemitraan untuk menemukan best practice tentang model
penanggulangan kemiskinan yang partisipatif dan perencanaan yang
partisipatif. Keberadaan atau eksistensi Komunitas Belajar Perkotaan
(KBP) di kabupaten Selayar, masih sangat perlu didorong dan lebih
dikembangkan lagi agar menjadi lebih baik, hal ini sangat penting
karena keberadaan KBP belum optimal memberikan warna dalam
melakukan kegiatan-kegiatan TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan), namun demikian kegiatan KBP sudah berjalan dengan

72
tersusunnya Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)
serta Perencanaan Jangka menengah Program Penanggulangan
Kemiskinan Kabupaten Selayar
2. Forum BKM Tingkat Kota
Forum Antar BKM merupakan wadah dan atau wahana individu
anggota BKM untuk secara bersama-sama dan teratur mengadakan
dialog-diskusi-konsultasi tentang berbagai masalah dalam upaya
mengembangkan peran dan fungsi BKM sebagai institusi lokal yang
bertanggungjawab mengatasi kemiskinan di wilayah kabupaten
selayar. Forum BKM sebagai suatu forum yang beranggotakan
institusi-institusi masyarakat -BKM secara lembaga berusaha untuk
memperkuat daya dan kesadaran kritis serta posisi tawar masyarakat
miskin dengan memulai dan terus menerus membangun dan
memperkuat masyarakat miskin serta institusi masyarakat (institusional
building) ke arah yang lebih kuat, sehingga pada saat-nya institusi
masyarakat tersebut dapat menjalankan peran sebagai pelaku utama
pembangunan lokal, mampu berperan menciptakan mekanisme atau
aturan saluran-saturan alternatif (channeling) aspirasi masyarakat
serta mampu berperan sebagai control social terhadap
penyelenggaraan urusan public atau pelayanan umum. Meskipun
demikian, sebagai forum komunikasi dan koordinasi ataupun jejaring
kerjasama, maka keberadaan Forum BKM tidak dimaksudkan untuk
mensubordinasi BKM-BKM yang ada di kota/kabupaten bersangkutan
dan atau menjurus pada exclusivisme yang lebih memenuhi
kepentingan personil pengurus forum BKM-nya.
Keberadaan forum BKM, baik ditingkat kecamatan maupun
kota/kabupaten, harus nyata-nyata berorientasi pada
penguatan kapasitas dan memperjuangkan kepentingan bersama
BKM-BKM.

73
3. TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah)
Kegiatan Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Selayar
dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah
dengan Keputusan Bupati Nomor 110 Tahun 2006 yang merupakan
forum lintas sektor sebagai wadah penanggulangan kemiskinan yang
bertugas melakukan langkah-langkah konkrit untuk mempercepat
pengurangan jumlah penduduk miskin melalui koordinasi dan
sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijaksanaan
penanggulangan kemiskinan.
4. SPKD (Strategi Penanggulangan Kemsikinan Daerah) dan
PJM Pronangkis (Program Jangka Menengah) Penanggulangan
Kemiskinan
SPKD dan PJM Pronangkis Kabupaten Maritim Selayar disusun
dengan serangkaian diskusi-diskusi tentang kemiskinan di kabupaten
selayar, kemudian dilanjutkan diskusi/FGD pengkajian pemetaan
sampai disusunnya strategi penanggulangan kemiskinan kemudian
dirumuskan dalam matriks kebijaksanaan, tujuan, sasaran dan
program penanggulangan kemiskinan di kabupaten selayar. Kemudian
ditindaklanjuti dengan penyusunan PJM.
SPKD menjadi bahan rujukan atau koridor dalam upaya
penanggulangan kemiskinan dengan mengedepankan sinergitas
program-program penanggulangan kemiskinan di kabupaten selayar.
Begitupula SPKD yang disinergikan dengan kegiatan masyarakat yang
ada di desa/kelurahan Sementara itu, kegiatan review PJM Pronangkis
kota harus setiap tahun dilakukan dalam rangka untuk meng up date
data yang ada di masyarakat
5. Fasilitasi Pelaksanaan Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan
Terpadu (PAKET)
PAKET merupakan program kemitraan antara pemerintah
Daerah, swadaya masyarakat dan kelompok peduli, sinergitas

74
inilah yang selanjutnya merupakan program bersama menjadi
keterpaduan. Untuk pengambilan keputusan di program PAKET
dilakukan oleh Kelompok Kerja (POKJA) PAKET, yang menentukan
Panitia kemitraan (PAKEM) yang berhak mendapatkan pendanaan
kegiatan PAKET tersebut. Di Kabupaten Selayar, pelaksanaannya
setelah MoU ditandatangani pada bulan Juni 2007, dimulailah
serangkaian kegiatan dimulai tahapan :
a. Persiapan daerah
b. Perencanaan
c. Penetapan Proposal
d. Pelaksanaan
e. Monitoring dan Evaluasi
Untuk kegiatan di Tingkat Masyarakat pelaksanaan kegiatan P2KP,
diluncurkan dengan maksud pemberdayaan masyarakat melalui
pembelajaran nilai-nilai luhur kemanusiaan : adil, jujur, dapat dipercaya
dan kepedulian. Nilai-nilai baik inilah yang dijadikan pondasi untuk
penanguulangan kemiskinan melalui pembelajaran Tridaya;
a. Pembangunan sarana dan prasarana lingkungan ; perbaikan
jalan setapak, gorong-gorong dan penataan lingkungan lainnya
b. Pemberian pinjaman (modal bergulir) bagi masyarakat miskin
dalam peningkatan penapatan berkelanjutan, usaha kecil
masyarakat.
c. Kegiatan sosial, pemberian santunan, bea siswa,
pelatihan, perbaikan rumah kumuh dan lain-lain
Saat ini jumlah Keluarga miskin di Kecamatan Bontomanai cukup
tinggi yaitu 1.324 Keluarga dan menempati urutan ketiga terbesar di
seluruh Kabupaten Selayar setelah Kecamatan Bontosikunyu dan
Bontomatene. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut :

75
TABEL 4.9
JUMLAH KELUARGA DAN PENDUDUK MISKIN
DI KECAMATAN BONTOMANAI TAHUN 2007

BANYAKNYA
DESA / KELURAHAN Rumah Tangga Penduduk
Miskin Miskin
(1) (2) (3)
Parak 202 783
Jambuiya 114 298
Bontomarannu 188 638
Bonea Timur 71 262
Mare-Mare 104 339
Barugaiya 148 513
Polebunging 149 477
Bonea Makmur 70 283
Koala 106 362
Bontolempangan 172 642
Jumlah 1.324 4.587
Sumber : Selayar dalam Angka, 2007

Alokasi dana P2KP di Kabupaten Selayar yang berlangsung dari


tahun 2004-2006 sebesar Rp 1.000.000.000,- untuk 4 desa, dengan pagu
dana per Desa Rp 250.000.000,-. Untuk lebih jelasnya alokasi BLM P2KP
2 tahap 1 dapat dilihat pada tabel berikut :

76
TABEL 4.10
ALOKASI DANA BLM P2KP 2 TAHAP 1
Pagu Dana BLM
No Desa
(Rp)
1. Polebunging 250.000.000,-
2. Bontolempangan 250.000.000,-
3. Parak 250.000.000,-
4. Jambuiya 250.000.000,-
Jumlah 1.000.000.000,-
Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007

Adapun rekapitulasi penyerapan dana dan penerima manfaat untuk


program P2KP 2 Tahap 1 dapat dilihat sebagai berikut :

TABEL 4.11
PENYERAPAN DANA DAN PENERIMA MANFAAT P2KP 2 TAHAP 1
No Jenis Kegiatan BLM Jumlah Jumlah
(Rp) KSM/Panitia Anggota
1. Lingkungan 297.600.000 46 322
2. Sosial 155.950.000 17 841
3. Ekonomi 516.450.000 172 1.027
4. BOP 30.000.000
Jumlah 1.000.000.000 235 2.190
Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007

Perkembangan Kelompok Keswadayaan Masyarakat (KSM)


Ekonomi dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat sebagai
berikut :

77
TABEL 4.12
PERKEMBANGAN KSM EKONOMI

Desa BLM Jumlah Jumlah


KSM
(Rp) KSM/Panitia Anggota
Ekonomi Polebunging 134.000.000 31 268
Bontolempangan 125.700.000 42 252
Kondisi Awal
Parak 129.750.000 50 259
Jambuiya 127.000.000 49 248
Jumlah Ekonomi Awal 516.450.000 172 1027
Kondisi Polebunging 232.250.000 53 421
Bontolempangan 212.500.000 102 486
Perguliran
Parak 399.000.000 125 788
sampai bulan Jambuiya 127.000.000 49 248
Desember
2007
Jumlah Perguliran 970.750.000 329 1943
Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan P2KP, maka mulai bulan April
2007 diperkenalkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) yang merupakan program payung dari program pemberdayaan
yang dimulai P2KP dan PPK. Kecamatan Bontomanai tidak mendapatkan
alokasi PNPM P2KP pada tahun 2007, yang ada yaitu penambahan 2
alokasi daerah baru yaitu di Kecamatan Benteng dengan 2 kelurahan
yaitu Kelurahan Benteng dan Benteng Utara. Di dua kelurahan ini dimulai
tahapan siklus/kegiatan :
a. Sosialisasi awal dan rembuk kesiapan masyarakat.
b. Refleksi kemiskinan.
c. Pemetaan swadaya.
d. Pembangunan BKM.
e. Perencanaan partisipatif PJM Pronangkis.
f. Koordinasi Program IPM.

78
g. Pembentukan KSM.
Alokasi dana PNPM P2KP Tahun 2007 sebesar Rp. 600.000.000,-
untuk 2 kelurahan, dengan dana pagu per kelurahan sebesar Rp.
300.000.000,- Fasilitas kegiatan PAKET oleh kelompok kerja (POKJA)
dan penanggung jawab operasional kegiatan (PJOK) Paket, dilakukan
secara beriringan di tingkat kota dalam rangka untuk pelaksanaan
kegiatan dari panitia kemitraan (Pakem). Pelaksanaan PAKET tahun
2007, dimulai dengan pembentukan Pakem didahului dengan sosialisasi,
kemudian pembentukan Pakem di setiap desa, penyusunan proposal dan
serangkaian pertemua warga di sekitar lokasi dan pelaksanaan kegiatan.

3) Dukungan pejabat yang lebih tinggi (atasan)


Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi program-program
antar lembaga pemerintahan ialah bahwa badan-badan pelaksana
bertanggung jawab pada lembaga-lembaga atasan yang berlainan yang
masing-masing ingin melaksanakan kebijaksanaan yang berlainan pula.
Seringkali, dalam situasi seperi ini, pada saat suatu badan antar lembaga
pemerintah bawahan tersebut menghadapi petunjuk-petunjuk yang saling
bertentangan yang berasal dari lembaga-lembaga antar pemerintah
atasannya masing-masing dan dari lembaga atasan yang berperan selaku
koordinator, maka badan ini akan cenderung mematuhi petujuk-petunjuk
dari lembaga atasannya masing-masing yang paling berpengaruh
terhadap sumber-sumber hukum (termasuk di sini penilaian prestasi kerja,
jabatan dan kepangkatan) serta sumber-sumber keuangan mereka (gaji,
dana rutin/proyek dan sebagainya) dalam jangka panjang.
Dalam kerangka implementasi kebijaksanaan penanggulangan
masyarakat miskin melalui P2KP berdasarkan hasil wawancara dengan
Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar
Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret
2008 bertempat di Kantor BKM mengungkapkan bahwa kebijaksanaan

79
tentang P2KP ini sepenuhnya didukung oleh Bupati dan Gubernur
Provinsi Sulawesi Selatan sehingga tidak menjadi hal yang
mengkhawatirkan dalam tataran dukungan.

4) Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana


Variabel yang paling berpengaruh langsung terhadap output
kebijaksanaan badan-badan pelaksana ialah kesepakatan para pejabat
badan pelaksana terhadap upaya mewujudkan tujuan kebijaksanaan. Hal
ini sedikitnya terdiri dari 2 (dua) komponen: pertama, arah dan ranking
tujuan-tujuan tersebut dalam skala prioritas pejabat-pejabat tersebut; dan,
kedua, kemampuan pejabat-pejabat tersebut dalam mewujudkan
perioritas-prioritas tersebut, yakni kemampuan mereka untuk menjangkau
apa yang dalam keadaan normal dapat dicapai dengan memanfaatkan
sumber-sumber yang tersedia. Pentingnya persoalan sikap dan
kemampuan ini, tentu saja, tergantung pada luas tidaknya kebebasan
bertindak yang dimiliki para administrator.
Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
kebijaksanaan tentang P2KP di Kabupaten Selayar sudah cukup baik,
karena didasarkan pada spesifikasi keahlian di bidang masing-masing.
Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak
Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008
bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa :
“komitmen dan kualitas pejabat pelaksana P2KP di Kecamatan
Bontomanai tidak perlu diragukan lagi, karena mereka terdiri dari
para ahli di bidangnya dan berkompeten”

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis, penulis simpulkan


bahwa implementasi kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan
Bontomanai telah berjalan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari
keberhasilan program P2KP dalam menurunkan jumlah keluarga miskin di

80
empat desa dimana program P2KP tersebut berjalan. Untuk lebih terinci
penulis tampilkan tabel berikut :
TABEL 4.13

PERKEMBANGAN JUMLAH KELUARGA MISKIN


SEBELUM DAN SESUDAH PROGRAM P2KP DILAKSANAKAN
PERIODE 2004-2006
Jumlah Keluarga Miskin
Desa
Sebelum P2KP Setelah P2KP
Polebunging 149 68
Bontolempangan 172 95
Parak 202 118
Jambuiya 114 50
Total 637 331
Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007

Hambatan Dalam Implementasi Kebijaksanaan Program


Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar
Meski proses pemberdayaan masyarakat merupakan proses
yang berkesinambungan, dalam penerapannya tidak semua strategi
yang telah direncanakan dapat berjalan mulus. Ada kalanya kelompok
masyarakat melakukan penolakan terhadap perubahan dan
pembaharuan yang dilakukan, sehingga merupakan kendala atau
hambatan yang dapat menghalangi terjadinya perubahan atau
pembangunan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak yang
berkepentingan dalam penelitian ini, penulis mencoba menguraikan
beberapa hal yang menjadi daya hambat atas terlaksananya program
P2KP di Kecamatan Bontomanai. Hambatan ini penulis bagi dalam 2
kategori hambatan yaitu :

81
Hambatan dari Individu
Meski proses pemberdayaan masyarakat merupakan proses
yang berkesinambungan, dalam penerapannya tidak semua strategi
yang telah direncanakan dapat berjalan dengan mulus. Ada kalanya
kelompok masyarakat melakukan penolakan terhadap perubahan dan
pembaharuan yang dilakukan. Hambatan dari individu berasal dari
kepribadian individu.
a) Kebiasaan (habit)
Setiap individu akan bereaksi sesuai dengan kebiasaannya;
kebiasaan adalah suatu tindakan yang sebaiknya dilakukan,
walaupun mungkin kebiasaan tersebut dinilai pihak lain tidak baik.
Dalam penelitian melalui observasi singkat, penulis menemukan cara
kebiasaan hidup masyarakat miskin di wilayah Kecamatan
Bontomanai yang kumuh dan tidak peduli terhadap lingkungannya.
Mereka sudah terbiasa dengan sampah yang bertumpuk-tumpuk,
kondisi jalan becek dan membuang hajat (Buang Air Besar) di
sungai-sungai. Tampak sekali mereka tidak begitu hirau dengan
keadaan tersebut.
b) Ketergantungan (Dependence)
Ketergantungan terhadap orang lain akan menghambat proses
"pemandirian" masyarakat. Hal ini penulis temukan dalam beberapa kali
kunjungan/observasi serta wawancara dengan salah satu masyarakat
miskin di Kecamatan Bontomanai yaitu Ibu Khodijah pada hari Kamis
tanggal 20 Maret 2008 yang menyatakan bahwa :
“tampaknya ini proyek mereka semua mau, karena kalaupun gagal
mereka mesti tanggung jawab, semua pasti seperti lalu-lalu, yang
sering saja pemerintah ini bikin proyek. Semua mereka enak dibuatnya

Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat


dikemukakan bahwa mereka cenderung pasif dalam proyek P2KP ini dan

82
terlalu menggantungkan nasib mereka dengan proyek P2KP, serta orientasi
berfikir mereka bahwa program ini adalah hampir sama dengan program
yang telah dilaksanakan sebelumnya yaitu pemerintah “memberi”
kebutuhan mereka atau sejenis uang (BLT).
c) Superego
Superego yang terlalu kuat membuat seseorang tidak mau
menerima pembaharuan dan menganggap pembaharuan merupakan
hal yang tabu. Dorongan dari diri untuk hasil yang lebih baik (pleasure
principle) dikalahkan oleh kekuatan superego. Hal ini penulis temui ketika
wawancara dengan salah satu masyarakat miskin yaitu Saudara Martadukeng
yang menyatakan bahwa :
“semua program pemerintah itu “bulsyit”alias bohong besar. Saya
berpandangan bahwa pemerintah saat ini lebih asyik bermain
kekuasaan, bahkan saya menduga bahwa proyek P2KP ini
adalah kampanye terselubung bagi kepala daerah bersama
para anteknya”

Penulis menyadari bahwa pola pikir semacam itu tidak bisa


dihindari dan pasti akan ditemui pada suatu komunitas/masyarakat
yang serba terbatas. Namun dengan informasi tersebut justru harapan
penulis pemerintah khususnya aparatur kecamatan Bontomanai lebih
pro aktif dalam sosialisasi proyek P2KP serta mengajak yang
bersangkutan untuk menjadi pelaksana di lapangan.
d) Rasa tidak aman dan regresi (insecurity and regression)
Rasa tidak senang/tidak nyaman dengan keadaan saat ini,
dengan banyaknya para aparat dan masyarakat yang ditangkap oleh
pihak berwajib karena diduga menyelewengkan dana KUT dapat
meningkatkan kecemasan dan ketakutan. Hal ini penulis temui dalam
wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Bapak H. Achyar
Fajrin hari Jum’at tanggal 21 Maret 2008 di Masjid Al-Huda yang
menyatakan bahwa :

83
Sebenarnya saya ingin membantu dalam memberdayakan
masyarakat miskin di daerah ini melalui dukungan kepada
pemerintah, namun demikian tampaknya baik aparat maupun
pelaksana tingkat desa kurang amanah, sehingga saya takut
terbawa arus, program semacam ini memang pernah dan hasilnya
ada yang masuk tahanan dan pengadilan.

Berdasarkan wawancara di atas, kondisi ini menurut penulis sangat


tidak baik, sebab keberadaan seorang tokoh masyarakat sangat penting
dalam suksesnya program pemerintah. Hemat penulis sebaiknya pihak
Kecamatan Bontomanai menjelaskan mekanisme program ini lebih
komprehensif termasuk aspek legalitas hukumnya.

Hambatan dari sistem sosial


Sistem sosial suatu tempat akan selalu berbeda dengan tempat
yang lainnya. Sistem sosial dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat
setempat. Sistem sosial yang ketat dan tertutup menyebabkan
informasi, inovasi (adopsi) terhadap hal-hal baru relatif sulit
dilaksanakan.
a) Kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity to norms)
Norma sebagai aturan tidak tertulis akan mengikat perilaku
masyarakat. norma-norma yang negatif, tidak sehat, tidak mendidik
dari masyarakat dapat merupakan hambatan. Pembaharuan akan
dilihat sebagai penyimpangan. Keadaan ini penulis temui ketika
wawancara informal dengan salah satu masyarakat yaitu Bapak
Musawwir Jum’at tanggal 21 Maret 2008 yang menyatakan bahwa :
”Saya cukup bahagia dengan anak bini disini, tak usahlah
pemerintah repot-repot pikirkan kita, pikir saja perilaku dan moral
mereka semua, kami makan tidak makan yang penting kumpul”

84
Hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa pada umumnya
masyarakat miskin di Kecamatan Bontomanai masih memiliki pola pikir
“Makan enggak makan yang penting kumpul” sehingga ketika ada salah
satu anggota keluarganya aktif dan mulai meninggalkan keluarga untuk
program ini, oleh anggota keluarga yang lainnya dipertanyakan.
b) Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural
coherence)
Dalam komunitas terdapat berbagai sistem yang saling terkait/
terpadu yang memunculkan kehidupan yang "mapan" (steady state) dan
mantap. Perubahan pada satu sistem akan berpengaruh pada sistem
lain. Dalam penelitian ini penulis temukan beberapa masyarakat yang
berpindah profesi setelah mengikuti program P2KP. Pada saat awal
penulis melihat mereka agak canggung dengan profesinya namun
lambat laun (15 hari kemudian selama penelitian) penulis melihat sudah
terbiasa. Hasil wawancara dengan salah satu masyarakat yaitu Bapak
Abd. Wahab hari Minggu tanggal 23 Maret 2008 menyatakan bahwa :
“sebelumnya saya adalah buruh nelayan yang menjadi ABK sebuah
kapal, namun penghasilan tidak cukup untuk istri anak saya, dengan
P2KP ini saya sekarang baganti profesi jadi perakit jala, sekarang
saya terbiasa setelah 15 hari saya jalani dan meningkat
penghasilannya.

Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam Implementasi Program


Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan
Bontomanai Kabupaten Selayar

85
Sebelum melakukan beberapa upaya dalam implementasi program
pemberdayaan masyarakat miskin di wilayah perkotaan, penulis mencoba
mengurai secara umum tentang penyebab kemiskinan itu terjadi dalam
tiga dimensi yaitu dimensi Makro, Mikro dan Meso. Lebih detil penulis
uraikan sebagai berikut :
Upaya Dalam Dimensi Makro: kesenjangan "Desa" - "Kota"
Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota merupakan salah
satu faktor penyebab utama terjadinya migrasi dari desa ke kota yang tak
terkendali (urbanisasi). Pemusatan pembangunan pada kota-kota besar
membuat kota-kota besar ini semakin menjulang sementara daerah
pedesaan menjadi terpinggirkan, tertinggal dibanding dengan kota besar.
Urbanisasi menyebabkan potensi "human capital" yang mestinya dapat
untuk membangun desa justru mengalir ke kota dengan bekal
keterampilan seadanya mereka tidak mampu bersaing untuk
memperoleh lapangan kerja sehingga akhirnya terdampar ke sektor
informal, atau terlempar ke "jalan".
Kesenjangan desa-kota nampak pula pada sektor pendidikan,
kesehatan, sosial, teknologi dan lain-lain yang akan mendorong tumbuhnya
kemiskinan. Keadaan ini sangat nampak sekali terjadi dimana, Desa
Polebunging yang merupakan Ibu kota Kecamatan Bontomanai begitu
ramai dan pesat serta lengkap dari sarana pendidikan, kesehatan dan
hiburan, sedangkan desa-desa lainnya hanya berupa hamparan sawah
dan kebun, mereka umumnya berkebun dan nelayan musiman dengan
alat tangkap yang sangat sederhana. Keadaan mereka jauh
memprihatinkan dibandingkan Desa yang terletak dengan ibu kota
kecamatan. Oleh sebab itu terjadilah proses kemiskinan struktural,
dimana struktur yang ada membuat jurang pemisah antara mereka yang
berada di pusat/ kota mempunyai akses yang lebih besar untuk menikmati
hasil pembangunan sementara yang di pinggir/desa sulit untuk
memperolehnya. Hal ini menimbulkan sikap pasrah yang membentuk

86
budaya kemiskinan atau bahkan memicu timbulnya tindak kejahatan dan
kerawanan sosial lainnya. Dalam kaitan dengan kebijaksanaan sosial
yang ada, pemerintah Kabupaten Selayar telah melakukan berbagai
upaya antara lain sebagai berikut.
a. Strategi pembangunan daerah dengan mengikutsertakan
daerah-daerah pemasok migran dan telah mengalokasikan
dana guna mengembangkan daerah asal migran tersebut.
Dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersinergi
dengan seluruh Kabupaten yang ada bersatu membuat
kebijaksanaan pembangunan yang merata, sehingga tidak
terjadi perpindahan antar Kabupaten. Upaya lainnya adalah
menangkap gelandangan dan pengemis serta
memulangkannya ke daerah asal, sehingga membuat sedikit
jera para gelandangan dan pengemis. Namun penulis
berpendapat bahwa langkah penertiban tersebut akan sia-sia
jika tidak diidentifikasi dari mana asal migran. Strategi ini
bersifat jangka panjang yang harus dilakukan secara konsisten
untuk membangun daerah asal migran yang bermasalah.
b. Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net working)
dengan pemerintah daerah asal yaitu dengan Forum Muspida
seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut penulis hal ini sangat
penting guna menghindari sikap mementingkan daerahnya
sendiri saja. Kebijaksanaan ini meminimalisir egoisme daerah
dan ini perlu dikembangkan dalam era desentralisasi guna
mengembangkan model kerja sama antar sesama daerah dalam
pembangunan
c. Investasi pembangunan di daerah asal migran. Kebijaksanaan ini
mendorong pihak dunia usaha untuk mau menginvestasikan
sebagian dananya di daerah asal migran, serta mendidik
masyarakat sekitar agar mereka dapat terserap pada unit-unit

87
produksi tersebut. Upaya ini ditindaklanjuti dengan keluarnya
Surat Keputusan Bupati Nomor 114 Tahun 2004 tentang
kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di
Kabupaten Selayar.
d. Insentif bagi non-government organizations (NGO). Insentif ini
diberikan kepada LSM yang mau mengembangkan migran di
daerah asal mereka. Contoh pelaksanaan ini adalah antara LSM
Semawar dengan LSM Gelatik yang telah dua tahun
mengembangkan proyek budi daya rumput laut di kawasan pulau
terpencil.

Upaya Dalam Dimensi Mikro: mentalitas materialistik dan ingin serba


cepat (instant)
Perkembangan mentalitas ini menurut penulis pada titik akhirnya
akan memunculkan "mentalitas korup". Mentalitas korup ini di Indonesia
demikian merajalela hampir-hampir tidak ada sektor yang tidak terjangkit.
Departemen yang seharusnya menjadi penjaga gawang aspek mental dan
spiritual pun menjadi salah satu departemen yang tertinggi dalam
perbuatan korupsi.
Bencana banjir, pembalakan hutan (ilegallogging), pengelolaan
sampah, penerimaan pegawai, proyek pembangunan, pemberian gelar,
transportasi dan lain-lain merupakan masalah konkret yang merupakan
buah dan mental korup. Deretan ini akan bertambah panjang kalau kita
memperhatikan kehidupan keseharian di sekitar kita yang juga terimbas
dengan banyaknya mentalitas korup pada masyarakat kita. Hal yang
semakin memperumit adalah sudah semakin terlatihnya para pelaku,
sehingga serumit apa pun sistem pengawasan yang dikembangkan akan
selalu ada celah untuk melakukan korupsi.
Perubahan dalam dimensi makro di atas, pada dasarnya harus
diikuti dengan perubahan terhadap dimensi mikro. Tanpa adanya

88
perubahan, maka sulit pembangunan dalam dimensi makro akan dapat
berjalan dengan baik. Bila aparat pada organisasi pemerintah, organisasi
non-pemerintah maupun dunia usaha, serta masyarakat di tingkat grassroot
sebagai stakeholders pembangunan masih mendukung pada mentalitas
korup; maka yang terjadi tetap pembusukan dari dalam.
Strategi yang diterapkan Kecamatan Bontomanai dalam rangka
mengatasi permasalahan yang ada adalah melalui peningkatan kesadaran
masyarakat dengan melakukan pendidikan masyarakat (community edu-
cation) dan pemasaran sosial. Upaya ini melalui penyuluhan, pendidikan
dan pengajian rutin di setiap desa yang ada di Kecamatan Bontomanai.

Upaya Dalam Dimensi Meso : melemahnya social trust dalam


komunitas dan organisasi
"Social trust" sebagai unsur pengikat suatu interaksi sosial yang
sehat dan menjadi bagian utama modal sosial memainkan peranan
penting dalam pembangunan. Pembangunan tidak akan mencapai hasil
optimal bila tidak ada trust antara pelakunya, baik secara vertikal antara
pemerintah dengan warganya maupun secara horisontal antara
sesama kelompok/ warga dalam suatu komunitas masyatakat.
Masalah trust akan dapat melemahkan integrasi sosial, baik
pada komunitas lokal, regional maupun nasional. Dalam satu
organisasi melemahnya trust antara lain muncul karena adanya tenaga-
tenaga yang tidak berkompeten akan tetapi menempati posisi tertentu.
Melemahnya trust dalam komunitas dapat membuat masyarakat
bertindak anarkis; seperti melemahnya kepercayaan terhadap
penegakan hukum membuat main hakim sendiri dan membakat pelaku
kejahatan di tingkat lokal.
Berdasarkan pada paparan penulis di atas, maka langkah/ tindakan
yang ditempuh harus pula mendasarkan pada upaya yang sekurang-
kurangnya meliputi tiga dimensi tersebut yakni dimensi makro

89
(kebijaksanaan pemerintah), mikro (individu, keluarga dan kelompok
kecil), serta dimensi Meso (komunitas dan organisasi).
Sejalan dengan arah perubahan pada dimensi makro, maka arah
implementasi pembangunan diharapkan akan dapat berubah dari fokus
pada aspek relief dan rehabilitatif ke arah preventif dan mitigasi dari
bencana yang mungkin terjadi kalau arah pembangunan masih
dilakukan seperti saat ini. Pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
dan dunia swasta disini diharapkan concern dengan pengembangan daerah
asal migran yang bermasalah, dibandingkan dengan upaya pembangunan
yang hanya fokus pada pemberian paket bantuan penambahan modal
(income generating) yang ternyata tidak mengangkat kondisi masyarakat
yang rendah.
Dalam kaitan dimensi Meso ini, maka pendekatan alternatif
strategi yang dapat diterapkan untuk mengembangkan daerah asal migran
yang bermasalah adalah melalui pendekatan "pengembangan masyarakat"
(community development), dan pendekatan "pelayanan masyarakat (community
service approach) yaitu :
a) Realisasi pembangunan daerah asal migran diharapkan terjadi
secara konsisten dengan melakukan pendampingan masyarakat
di daerah asal migran. Disini perlu dilakukan pemberdayaan
ekonomi utamanya, di samping pemberdayaan sosial, hukum,
politik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain sesuai prioritas
kebutuhan/ kondisi masyarakat setempat.
b) Pemberdayaan memerlukan keterlibatan LSM guna membantu
proses pendampingan yang tidak mungkin hanya dari unsur
pemerintah, dengan konsekuensi pendanaannya. Pendampingan
juga berfungsi untuk mendidik masyarakat di daerah asal migran
serta "membina" aparat pemerintah di daerah itu.
c) Sejalan dengan upaya untuk meningkatkan trust pada
masyarakat dan meningkatkan jenis pelayanan pada

90
masyarakat, maka perlu juga dilakukan "capacity building',
terutama dalam kaitan mengembangkan pelaku perubahan
yang lebih bergaya partisipatif dibandingkan instruktif, supaya
tenaganya mempunyai kemampuan sesuai kebutuhan. Tenaga/
agen perubahan yang perlu ditingkatkan kapasitasnya bukan
saja tenaga pada organisasi pemerintah, akan tetapi juga tenaga
pada organisasi non-pemerintah.
Ketiga strategi sebagaimana penulis kemukakan di atas pada
dasarnya merupakan strategi umum (general strategy) yang harus
dikembangkan secara konsisten dan berkesinambungan. Karena
perbaikan pada satu dimensi saja, tidaklah akan dapat memberikan efek
yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.

91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Implementasi Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar
masih dalam tahap pelaksanaan dengan kriteria cukup baik. Hal ini
ditandai dengan sebagian aspek implementasi kebijaksanaan telah
dilaksanakan secara baik, walaupun demikian masih ada yang harus
lebih ditingkatkan lagi.
2. Hambatan dalam implementasi kebijaksanaan P2KP terbagi dalam
dua bagian yaitu 1). hambatan dari Individu yang terdiri dari a).
kebiasaan (habit), b) ketergantungan (Dependence), c). Superego dan
rasa tidak aman dan regresi (insecurity and regression), sedangkan
hambatan dari sistem sosial terdiri dari a). kesepakatan terhadap
norma tertentu (conformity to norms) dan b). kesatuan dan kepaduan
sistem dan budaya (systemic and cultural).
3. Upaya-Upaya yang dilakukan dalam implementasi Program P2KP di
Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar terdiri dari upaya dalam
dimensi makro yang terdiri dari 1). Strategi pembangunan daerah
dengan mengikutsertakan daerah-daerah pemasok migran; 2).
Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net working) dengan
pemerintah daerah asal. 3). Investasi pembangunan di daerah asal
migran dan Insentif bagi non-government organizations (NGO). Upaya
dalam Dimensi Mikro dengan cara meningkatkan kesadaran
masyarakat dengan melakukan pendidikan masyarakat (community edu-
cation) dan pemasaran sosial serta kesalehan sosial (adanya pemimpin
yang teladan), sedangkan upaya dalam Dimensi Mezzo melalui

92
pendekatan "pengembangan masyarakat" (community development), dan
pendekatan "pelayanan masyarakat (community service approach) yaitu :a).
Realisasi pembangunan daerah asal migran secara konsisten dengan
melakukan pendampingan masyarakat di daerah asal migran; b)
Melibatkan LSM guna membantu proses pendampingan yang tidak
mungkin hanya dari unsur pemerintah dan c). Perlu dilakukan "capacity
building', terutama dalam kaitan mengembangkan pelaku perubahan
yang lebih bergaya partisipatif dibandingkan instruktif.

5.2. Saran
1. Implementasi kebijaksanaan P2KP yang ada di Kecamatan
Bontomanai harus lebih ditingkatkan dengan cara memberikan
partisipasi lebih luas kepada seluruh pihak yang berkompeten dalam
pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan kerja
sesuai dengan mata pencaharian.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi perlu segera dievaluasi dengan
peningkatan frekuensi evaluasi antara lain per triwulan atau per
semester, sehingga Pemerintah Kecamatan Bontomanai terbebas dari
masalah-masalah yang ada.
3. Kecamatan Bontomanai perlu menjalin koordinasi yang baik dengan
pihak/instansi yang mendukung program P2KP, khususnya Dinas
Kesbang dan Pemberdayaan Masyarakat yang bertanggung jawab
terhadap keluhan dan pengaduan dari masyarakat.

93
94

You might also like