You are on page 1of 9

MENUJU PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

YANG ADIL, DEMOKRATIS DAN BERKELANJUTAN :


PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN

(Oleh: T. Nazaruddin)

I. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar, manakala dilihat
dari sisi luasnya perairan lautan, letak geografis, wilayah maupun panjang garis
pantai. Sebagai negara kepulauan, hampir dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Luas
lautnya sekitar 3,1 juta km2, yang terdiri dari perairan laut nusantara 2,8 juta km2
dan perairan laut territorial 0,3 km2. Bila ditambah dengan perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), maka secara keseluruhan luas perairan laut Indonesia
adalah 5,8 juta km2. Sementara itu, garis pantai yang dimiliki Indonesia mencapai
81.800 km. Garis pantai ini termasuk salah satu garis pantai yang paling panjang di
dunia.
Di sektor kelautan dan perikanan, Indonesia memiliki potensi maksimum
perikanan laut sebesar 6,7 –7,7 juta metrik ton dan potensi perikanan darat mencapai
3,6 juta metrik ton. Sedangkan terumbu karang di Indonesia dikenal memiliki
keanekaragaman koral paling tinggi di dunia, dengan lebih dari 70 genus biota laut di
dalamnya. (Choi & Hutagalung : 1988, sebagaimana dikutip oleh Nurjaya, 2001 : 1).
Menurut data Dirjen Perikanan (1995), potensi lestari sumber daya
perikanan tangkap di laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,7 juta ton dengan rincian
4,4 juta ton di perairan laut territorial dan perairan laut nusantara, serta 2,3 juta ton di
perairan laut ZEEI. Dilihat dari penyebarannya potensi sumber daya ikan di laut
territorial dan nusantara, yaitu 53,6 % berada di wilayah perairan Kawasan Timur
Indonesia, yaitu 30,9 % di perairan Irian Jaya dan Maluku, dan 22,7 % di perairan
sekitar pulau Sulawesi. Sedangkan potensi sumber daya perikanan di perairan ZEEI,
sebagian besar ada di ZEE Laut Hindia (Selatan Jawa dan Barat Sumatera), yakni
sebesar 38,3 %, di Laut Cina Selatan sebesar 23,4 %, serta Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik (Utara Irian Jaya) sebesar 21,2 %.
Kendati demikian, kenyataan pula bahwa nasib nelayan kampung
(fisherfolks) tidak semakin membaik dengan adanya potensi perikanan yang besar itu.
Jika Dirjen Perikanan menyajikan data bahwa produksi perikanan di Indonesia pada
Pelita V terus meningkat dengan rata-rata 5,4 % pertahun dan sementara itu,
kehidupan sebagian besar nelayan kampung di Indonesia tidak semakin membaik,
maka ini adalah persoalan besar dan sekaligus membuktikan bahwa, pertama,
potensi perikanan yang sedemikian besar itu hanya dinikmati oleh sedikit orang
pemodal besar. Kedua, adanya ketidakadilan di dalam pola produksi perikanan, yakni
cenderung mengeksploitasi massa nelayan kampung untuk kepentingan pemodal
besar itu.

1
Masalah di atas, sesungguhnya tidak hanya terjadi di Kawasan Barat
Indonesia, yakni di perairan yang padat penduduk seperti di perairan Pantai Utara
Jawa, Selat Malaka, Pantai Barat dan Timur Sumatera, dan Selat Bali. Pada
kenyataannya, hal yang sama juga terjadi dan dialami nelayan kampung di Kawasan
Timur Indonesia. Menurut Laporan nelayan kampung asal Aru Tenggara, telah sejak
lama kapal pukat udang milik kongsi perusahaan Indonesia dengan perusahaan asing
dengan menggunakan jaring pukat harimau (bottom trawl nets) beroperasi di Laut
Arafura. Kegiatan pukat udang ini, lanjut laporan tersebut, tidak hanya merusak
habitat kerang mutiara dan hampir seluruh habitat dasar laut. Tapi lebih jauh
menyebabkan nelayan kampung setempat sulit memperoleh ikan untuk kebutuhan
sehari-hari. (Hardiyanto, 1997 : 170).
Dampak buruk dari operasi pukat udang memang sudah dikenal luas dan
terjadi pada hampir seluruh wilayah perairan Laut Indonesia. Perlawanan nelayan
terhadap beroperasinya pukat udang ini menggores sejarah tersendiri, tetapi hal
tersebut senyatanya belum menunjukkan realitas nasib dan kehidupan nelayan
kampung. Masalah sesungguhnya begitu kompleks.
Dalam konteks pembangunan Indonesia saat ini, nelayan kampung1
dihadapkan pada masalah baik yang datang dari wilayah laut maupun daratan.
Pertama, ditandai dengan semakin terbatasnya akses mereka ke sumber daya
perikanan laut. Kapal-kapal besar yang kebanyakan menggunakan teknologi
destruktif sudah menjarah wilayah tangkapan ikan mereka. Kedua, ditandai dengan
desakan industrialisasi dari daratan dengan mengirim limbah, bahkan limbah beracun
dan berbahaya (B3) ke wilayah perairan laut. Secara keseluruhan, semua ini membuat
ekosistem pesisir dan (dasar) laut menjadi rusak dan tercemar. Berakibat menurunkan
dan mematikan sumber daya ikan tangkapan. Akibat lebih jauh, semakin menurunnya
kualitas kehidupan nelayan kampung.
Kegiatan pembangunan yang berlangsung selama tiga dekade terakhir ini,
secara sengaja diorientasikan sekedar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
(economic growth development) dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA)
secara besar-besaran (Reppeto, 1988; Gillis, 1988; Barber : 1989; Zerner : 1990;
Poffenberger : 1990; Peluso: 1992; Lynch & Talbott: 1995 sebagaimana dikutip oleh
Nurjaya : 2001 : 1). Karena itu, paradigma penguasaan dan pengelolaan SDA (sumber
daya Perikanan, Pen.) cenderung didesain dengan corak sentralistik, pendekatan yang
bernuansa sektoral, dan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keadilan, demokratis,
dan berkelanjutan.
Paradigma penguasaan dan pengelolaan SDA sebagaimana tersebut di atas
telah menimbulkan konsekwensi ekologis di sektor kelautan dan perikanan yaitu :
a. Dalam konteks pembangunan Indonesia saat ini, nelayan kampung dihadapkan
pada masalah baik yang datang dari wilayah laut maupun daratan. Pertama,
ditandai dengan semakin terbatasnya akses mereka ke sumber daya perikanan
1
Istilah nelayan kampung disebutkan oleh Andik Haryanto (1997), sedangkan UU No.9 Tahun
1985 tentang Perikanan menyebutkan istilah nelayan dan petani kecil. Nelayan kampung adalah
mereka yang menggantungkan hidupnya pada sumber-sumber perikanan, seperti sungai, danau, pesisir
dan lautan. Kerja mereka dalam penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tradisional yang cara
pembuatan dan pemakaiannya didasarkan pada kearifan dan kondisi lokal.

1
laut. Kapal-kapal besar yang kebanyakan menggunakan teknologi destruktif
sudah menjarah wilayah tangkapan ikan mereka. Kedua, ditandai dengan desakan
industrialisasi dari daratan dengan mengirim limbah, bahkan limbah beracun dan
berbahaya (B3) ke wilayah perairan laut. Secara keseluruhan, semua ini membuat
ekosistem pesisir dan (dasar) laut menjadi rusak dan tercemar. Berakibat
menurunkan dan mematikan sumber daya ikan tangkapan. Akibat lebih jauh,
semakin menurunnya kualitas kehidupan nelayan kampung.
b. Hampir 70 % terumbu karang mengalami rusak berat akibat endapan erosi,
pengambilan batu karang, penangkapan ikan dengan bom atau racun, dan karena
pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan bakau (mangrove) di
pesisir laut Indonesia, diperkirakan hanya sekitar 36 % dari seluas 3 juta hektar
yang hidup dalam kondisi baik, karena telah mengalami kerusakan yang serius
akibat penebangan untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi tambak.
Jika dicermati dari sisi ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka fakta
degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam (ecological loss) juga berarti :
(1) menghilangkan sumber-sumber mata pencaharian hidup masyarakat lokal
(economic resource loss), (2) menggusur dan memarjinalisasi kearifan lokal melalui
perusakan sistem pengetahuan, teknologi, institusi, religi, dan tradisi masyarakat local
(social and cultural loss), dan (3) mengabaikan keberadaan hak-hak masyarakat
lokal dan keanekaragaman hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan SDA (the
political of legal pluralism ignorance) (Bodley: 1982; Gillis: 1988; Poffenberger:
1990, 1999; Lynch & Talbott: 1995; sebagaimana dikutip oleh Nurjaya, 2001 : 2).
Tulisan ini mencoba mengungkap masalah pengelolaan sumber daya
perikanan, khususnya untuk perairan laut dan pesisir dimana masyarakat nelayan
kampung sangat tergantung pada keberadaannya. Karakteristik dan kelemahan
substansial dari produk Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
yang telah ada, dan urgensi prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya perikanan yang
semestinya diakomodasi dalam suatu revisi terhadap undang-undang perikanan
tersebut, agar hukum dan kebijakan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
mencerminkan keadilan, demokratis, dan berkelanjutan.

II. Kebijakan Perikanan dan Realitas Posisi Nelayan Kampung


Kebijakan di bidang perikanan merupakan bagian dari kebijakan di bidang
pertanian yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sumber makanan, bahan baku,
dan industri, ekspor, dan peluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat, serta jaminan keberhasilan pembangunan. Sejak diproklamirkannya
Indonesia sebagai negara kepulauan pada tahun 1957, perikanan telah mendapat
perhatian utama. Di beberapa propinsi pemerintah pusat memberikan hak kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan melindungi kaum nelayan yang miskin pada
jalur laut sampai batas 6 mil dari pantai. Dewasa ini perikanan laut dan payau baru
menyumbang sekitar 11,56 % dari total produk domestik bruto kelautan, sedangkan
potensi lestari perikanan Indonesia diperkirakan sebesar 6,7 ton. (Agoes, 1999 : 229).
Undang-undang perikanan dengan kalimatnya yang sangat menjanjikan,
seperti dalam Mukaddimahnya menyatakan, “Pengelolaan sumber daya perikanan
wajib dilaksanakan sebaik mungkin berdasarkan asas keadilan dan pemerataan

1
dalam pemanfaatannya, dengan menekankan pentingnya perluasan kesempatan kerja
dan perbaikan baku kehidupan para nelayan, terutama nelayan kecil.” Ternyata
dalam kenyataannya, cenderung menempatkan nelayan kampung sebagai “plasma”
dalam usaha perikanan, seperti halnya petani plasma dan program PIR.
Nelayan kampung adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada
sumber-sumber perikanan, seperti sungai, danau, pesisir dan lautan. Kerja mereka
dalam penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tradisional yang cara pembuatan
dan pemakaiannya didasarkan pada kearifan dan kondisi lokal. Hal ini dapat
diperjelas dengan kenyataan bahwa norma-norma lokal sangat mempengaruhi cara
kerja maupun pola penguasaan sumber-sumber perikanan mereka. Itulah sebabnya,
sarana penangkapan ikan milik nelayan kampung sangat beragam, baik dalam soal
nama, bentuk dan cara penggunaannya. Begitu juga dalam konteks norma-norma
lokal yang mempengaruhi cara kerja dan pola penguasaan lautan. Beberapa contoh
yang dikenal luas, seperti hukum adat “Sasi” di wilayah Maluku dan Irian Jaya dan
hukum adat laut “Petorosan” di wilayah pantai utara Jawa Bagian Timur.
Dalam keberagaman sarana penangkapan ikan dan norma-norma lokal yang
menopang ada satu nilai yang sama di dalamnya, yakni kearifan dalam pengelolaan
sumber-sumber perikanan. Nilai kearifan ini telah diuji dan dipelihara pertahun-tahun
antar generasi dan bahkan menjadi identitas harkat dan martabat mereka dihadapan
dunia luar. Norma-norma kearifan penguasaan sumber-sumber perikanan ini
sebenarnya ada pada hampir semua pulau di Indonesia di mana nelayan kampung
tinggal.
Persoalannya, hukum nasional khususnya peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan tidak cukup melindungi keberadaan mereka dan berikut norma-
norma kearifan penguasaan sumber-sumber perikanannya. Sementara itu, kapal-kapal
besar penangkap ikan, baik Kapal Berbendera Indonesia (KII) maupun Kapal
Berbendera Asing (KIA) juga sudah menjarah wilayah perairan dekat pantai. Pada
hampir semua wilayah perairan laut di Indonesia, wilayah perairan dangkal dekat
pantai adalah sumber utama tangkapan ikan bagi nelayan kampung dimana udang
biasanya bersarang dan hidup. Perahu mereka berkapasitas kecil dan tidak dilengkapi
dengan motor tempel. Kalaupun dilengkapi dengan motor tempel hanya berkekuatan
5 s/d 10 PK dan paling besar adalah 15 PK. Sangat sulit bagi mereka untuk
menembus wilayah perairan ZEEI. Sehingga wilayah perairan dangkal dekat pantai
benar-benar menjadi andalan sumber perikanan mereka. Kenyataannya sekarang,
kapal-kapal besar penangkap ikan KII maupun KIA, yang pada umumnya adalah
pukat jenis “pukat harimau” atau “pukat berang-berang” (otter) dengan kapasitas
antara 10 s/d 30 GT (Gross Tonage) menjadikan udang di perairan dangkal dekat
pantai sebagai sasaran tangkapannya. Meski pukat-pukat harimau ini sudah dilarang
beroperasi, tapi realitas menunjukkan mereka tetap saja beroperasi. (Hariyanto,
1995).
Masyarakat nelayan kampung sebenarnya tidak mendiamkan masalah ini.
Mereka melakukan perlawanan. Banyak kasus sengketa di tengah laut antara nelayan
kampung dengan armada pukat harimau terjadi. Bahkan, pernah terjadi pembakaran
kapal-kapal pukat harimau. Namun sering juga terjadi, karena kapasitas pukat-pukat
ini besar maka mudah bagi mereka untuk lari dan menghilang, termasuk dari kejaran

1
armada Angkatan Laut RI. Memang sebagian dari pukat-pukat itu juga tertangkap
tapi masalah tetap berlanjut karena begitu banyaknya jumlah pukat yang beroperasi.
Praktek pukat-pukat harimau ini jelas sangat merugikan nelayan-nelayan
kampung, semakin memojokkan mereka dalam kemiskinan. Bahkan di Kawasan
Bagian Timur, praktek pukat benar-benar merajalela dengan cara-cara manipulatif,
yakni dengan mengontrak wilayah-wilayah petuanan laut tradisional nelayan
kampung setempat. Kontrak ini banyak diperoleh dengan cara-cara paksaan dan
intimidasi. Walaupun dalam setiap Izin Usaha Perikanan (IUP) sebenarnya terdapat
larangan bagi perusahaan pemilik ijin untuk beroperasi di wilayah petuanan laut
tradisional nelayan kampung setempat.
Sementara itu, praktek manipulatif lain dari pukat harimau ini adalah
merubah nama (dengan nama sebutan lokal) dan sedikit memodifikasi bentuknya
dengan menambah peralatan khusus. Praktek demikian sebenarnya tidak ada bedanya
dengan pukat harimau. Praktek ini banyak terjadi di wilayah perairan pantai utara
Jawa, Selat Malaka, Selat Bali, dan juga ditemukan di perairan Kei, Tanimbar, Aru,
Irian Jaya, dan Laut Arafura.
Masalah pesisir dan lautan, serta nasib nelayan kampung ini menjadi kian
kompleks ketika terdapat limbah-limbah industri dari wilayah daratan pada akhirnya
terbawa ke laut. Kasus-kasus ini nyata terjadi di banyak wilayah, seperti Pantai Timur
Surabaya (PTS), Pantai Utara Jawa (Pantura), dan di Sumatera. Kualitas degradasi ini
semakin meningkat ketika pemerintah kota membangun kota-kota marina.
Dibangunnya kota-kota pantai, seperti di Pantai Indah Kapuk dan Kota Marina PTS
ini membuat hilangnya lahan hutan bakau (mangrove) dan semakin sempitnya
wilayah tangkapan ikan dari nelayan kampung. Di beberapa wilayah seperti di pesisir
Lampung dan Pantura, dikembangkannya pertambakan dalam kapasitas besar juga
menyebabkan hilangnya sebagian besar hutan bakau dan lebih jauh menyumbang
pada degradasi ekosistem pesisir dan lautan.
Secara keseluruhan masalah di atas semakin menyudutkan masyarakat
nelayan kampung dalam kemiskinan, menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan
yang sulit terpecahkan. Pencarian ikan untuk kebutuhan sehari-haripun menjadi sulit.
Tidak hanya itu, lingkungan tempat tinggal masyarakat nelayan kampung juga
tampak kumuh, jauh dari fasilitas yang layak untuk hidup yang baik.
Kenyataan yang mengharuskan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari keluarganya membuat banyak nelayan semakin tergantung pada juragan.
Sebagian besar dari mereka meminjam modal dari juragan untuk ke laut, dan ketika
laut tidak memberi hasil atau sedikit hasil tangkapan maka ini menjadikan hutang
mereka menumpuk. Perahu yang rusak tidak mampu diperbaiki, sementara itu adalah
tidak mungkin bagi mereka untuk membeli perahu baru. Itulah sebabnya jebakan
kemiskinan membuat sebagian mereka tunduk pada kemauan dan kepentingan
juragan, sebagai pemilik alat produksi. Pada akhirnya, masyarakat nelayan kampung
diharuskan menggunakan teknologi destruktif, seperti racun sianida dan bom untuk
penangkapan ikan. Realitas seperti ini terjadi pada masyarakat nelayan kampung di
kepulauan Seribu dan di kawasan Nusa Tenggara Timur.
Begitulah gambaran wajah masyarakat nelayan kampung saat ini.
Menurunnya kualitas kehidupan mereka juga dipengaruhi oleh bagaimana negara

1
mengambil keputusan berkenaan dengan alokasi sumber daya alam (SDA) di sektor
perikanan ini.

III. Karakteristik Undang-undang Perikanan


Produk Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, jika kita
cermati secara lebih kritis dan mendalam maka akan tampak beberapa karakteristik
yang mendasarinya yaitu :
1. Menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang
berbasis pada negara (state-based resource on control and management), bercorak
sentralistik, dan pendekatan yang bernuansa sektoral. Penjelasan Umum UU
9/1985 menyebutkan, “Pasal 33 UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan
landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang
berkaitan dengan sumber daya ikan.”
2. Hubungan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya perikanan tidak diatur
secara terkoordinasi dan terintegrasi (sectoral policy), sehingga setiap sektor
cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
3. Hak-hak masyarakat lokal atau nelayan kampung atas penguasaan dan
pengelolaan sumber daya perikanan belum diakui secara utuh atau masih bersifat
mendua (ambiguity).
4. Kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih berpihak pada
kepentingan pemilik modal besar (capital oriented), dengan mengabaikan
kepentingan dan mematikan potensi perekonomian nelayan kecil (nelayan
kampung).
5. Mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), terutama hak-hak
masyarakat lokal atau nelayan kampung atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya perikanan.
6. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan masih bersifat
semu atau belum bersifat sejati (ungenuine public participation).
7. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan belum
diatur secara jelas.
8. Akuntabilitas pemerintah kepada publik (public accountability) dalam
pengelolaan sumber daya perikanan belum diatur secara tegas.
9. Pengelolaan yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam/perikanan
(natural resources oriented) untuk menjamin kelestarian dan bekerlanjutan fungsi
sumber daya alam/perikanan tampak dalam kebijakannya, namun kekuatan
penegakannya masih lemah sehingga tidak mampu menjerat pelaku kejahatan di
bidang perikanan/kelautan.
Lilley (1999 : 251) menyatakan, sampai saat ini pengelolaan sumber daya
laut masih sangat bersifat sektoral. Ia mengindentifikasi berbagai permasalahan
antara lain :
1. Ketidakjelasan tanggung jawab dari instansi yang berkepentingan dengan masalah
sumber daya kelautan, sementara tidak ada badan khusus yang mengatur masalah
sumber daya kelautan.

1
2. Ada perbedaan kepentingan antar departemen sehingga peraturan yang
dikeluarkan seringkali bersifat sangat sektoral, tumpang tindih atau bertentangan.
3. Lemahnya kerangka hukum yang mengatur sumber daya kelautan dan pesisir,
serta perangkat hukum untuk penegakannya.
4. Tidak adanya tata ruang yang mengatur secara khusus kawasan pantai dan pesisir.
5. Kurangnya pemahaman akan pentingnya nilai dari sektor kelautan, sifat-sifat dari
kelautan, termasuk sumber daya lautnya.
6. Masih minimnya keikutsertaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber
daya laut dan pesisir.
7. Tidak adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional
serta wilayah ulayat laut dalam pengelolaan sumber daya laut dan pesisir.
8. Kurangnya tenaga hali, sumber daya manusia dan keuangan untuk bidang
kelautan.
9. Pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi laut
tidak sepenuhnya berjalan efektif.
Berdasarkan atas karakteristik faktual dari undang-undang perikanan
sebagaimana tersebut di atas, maka dalam rangka (1) menjamin kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber-sumber daya perikanan, (2) meningkatkan partisipasi
masyarakat, transparansi, dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan
sumber daya perikanan, (3) menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor
dalam pengelolaan sumber daya perikanan, dan (4) mendukung terwujudnya good
environmental governance,2 maka pemerintah perlu segera merevisi undang-undang
perikanan yang lebih mencerminkan keadilan, demokrasi, serta keberlanjutan.
Berkeadilan dalam pengertian ini adalah pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya perikanan harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan
dievaluasi secara berkelanjutan, sehingga dapat memenuhi kepentingan pelestarian
fungsi sumber daya perikanan dan lingkungan hidup bagi kepentingan manusia,
untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (inter-antar generasi).
Demokratis adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan
mengakomodasi penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah
(desentralisasi), transparansi dalam proses pengambilan keputusan, meningkatkan
partisipasi semua pihak terkait (partisipasi publik), pengawasan publik pada
kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan, pertanggung jawaban pemerintah
kepada publik (akuntabilitas publik), penyelesaian konflik secara bijaksana, dan
pengakuan hak-hak asasi manusia terutama hak nelayan kampung/lokal dalam
pengelolaan sumber daya perikanan.
Sedangkan keberlanjutan yang dimaksud adalah pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya perikanan harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumber daya alam secara terus-menerus, manfaat bagi negara dan
2
Good Environmental Governance adalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup, termasuk perlindungan daya dukung ekosistem dan perlindungan fungsi lingkungan hidup,
secara efektif, efisien, aspiratif dan responsif yang didasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaraan
negara yang baik (good governance) yaitu penyelenggaraan negara dan penanganan masalah-masalah
publik yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, partisipasi publik yang sejati
(genuine public participation), dan akuntabilitas publik (public accountability).

1
masyarakat secara seimbang dan proporsional, serta manfaat bagi generasi sekarang
dan yang akan datang secara berkelanjutan (Nurjaya, 2001 : 5).

IV. Penutup
Berdasarkan gambaran dan analisis di atas makin jelaslah bahwa instrumen
hukum dan kebijakan yang bercorak sentralistik (legal and policy centralism) dengan
mengedepankan pendekatan sektoral, yang digunakan untuk memacu pertumbuhan
ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya perikanan selama Orde Baru dan
berlanjut hingga Orde Reformasi ini, secara nyata menjadi pemicu terjadinya
kerusakan kuantitas maupun kualitas sumber daya perikanan, yang membuat
kehidupan nelayan kecil/kampung semakin terpuruk.
Sehubungan dengan itu, untuk mengakhiri praktek pengelolaan sumber daya
perikanan yang bercorak eksploitatif, sentralistik, sektoral, dan bernuansa
fragmentaris, dan mewujudkan good environment governance, menuju pengelolaan
sumber daya perikanan yang berkeadilan, demokratis, dan berkelanjutan, maka
undang-undang perikanan seharusnya perlu direvisi, sehingga mencerminkan
karakteristik yang responsif dengan memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Ideologi pengelolaan sumber daya perikanan yang dianut adalah pengelolaan
sumber daya perikanan yang berbasis masyarakat (community-based resource
management).
2) Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan
sumber daya perikanan (integrated resource management principle).
3) Pengelolaan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan
terintegrasi (komprehensif-integral), karena sumber daya perikanan merupakan
satu kesatuan ekologi yang terintegrasi (resource ecosystem management).
4) Menyediakan ruang bagi transparansi dan partisipasi publik sebagai wujud
demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya perikanan (transparency and
genuine public participation principle).
5) Menyerahkan wewenang pengelolaan sumber daya perikanan kepada daerah
berlandaskan prinsip desentralisasi yang demokratis (decentralization principle).
6) Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan
sumber daya perikanan (public accountability principle).
7) Menyediakan ruang bagi akses informasi dan pemberian persetujuan nelayan
kampung/ lokal dalam penetapan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan (prior informed-consent principle).
8) Memberi ruang bagi penghormatan dan pengakuan hak-hak asasi manusia
(HAM), khususnya hak-hak nelayan kampung/lokal atas penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya perikanan (indigenous property right principle).
9) Memberi ruang bagi pengakuan atas keanekaragaman hukum (sistem normatif)
yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan (legal
pluralism principle).
10) Memperhatikan secara lebih serius masalah penegakan hukum (law enforcement)
dalam upaya perlindungan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan
dari kerakusan nelayan modern yang menggunakan pukat harimau.

1
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Etty R, 1999. “Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Alam Laut Secara


Berkelanjutan : Suatu Tinjauan Yuridis.” Dalam Firsty Husbani, Ed,
Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Prosiding Lokakarya
Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta :
ICEL.

Dirjen Perikanan, 1995. “Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Sumber


Daya Perikanan Laut.” Mimeo. Makalah pada Seminar Dua Hari DPR-RI
tentang Sumber Daya Kelautan. 30-31 Januari.

Hardiyanto, Andik, 1997. “Pembaruan Agraria di Sektor Perairan : Perlu dan


Mendesak.” Dalam Dianto Bachriadi, et al, Reformasi Agraria : Perubahan
Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Lilley, Gayatri R, 1999. “Pengelolaan sumber Daya Alam Laut.” Dalam Firsty
Husbani, Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Prosiding
Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Jakarta : ICEL.

------------------------ , 1995. “The Fisherfolks Reality : A View From Indonesia.”


Makalah pada ACFOD Fisherfolks Asia-Pasific Region Consultation.
Tanggal 20-22 Agustus 1995 di Chonburi, Thailand.

Nurjaya, I Nyoman, 2001. “Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil, Demokratis,
dan Berkelanjutan : Wacana Hukum dan Kebijakan.” Mimeo. Makalah
pada Workshop Pengelolaan Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah.
Diselenggarakan oleh Walhi Sulawesi Tengah, 9 Mei 2001 di Golden
Hotel, Palu.

You might also like